Hubungan Antara Suami & Istri Dalam Buddhisme
Di zaman yang modern ini semakin sulit bagi sepasang suami istri untuk membina keluarga yang harmonis, karena aspek-aspek yang mempengaruhi sebuah keluarga semakin lama semakin banyak dan semakin bervariasi. Seorang suami tidak hanya menjadi suami, tetapi juga harus mencari uang, menjadi teman yang menyenangkan bagi isteri, menjadi ayah yang bijaksana bagi anak-anaknya dan lain sebagainya. Demikian pula seorang isteri tidak hanya melayani suami, ia juga harus mengurus rumah tangga, menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya, turut menambah penghasilan keluarga dan segudang tanggung jawab lainnya.
Tidak jarang perkawinan yang diharapkan akan menjadi surga dalam kehidupan ini ternyata berubah menjadi neraka yang mengerikan. Karena itu sebuah perkawinan harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya agar keluarga yang terbentuk adalah keluarga yang harmonis, bukan, keluarga yang berantakan.
Proses kelangsungan hubungan suami isteri:
I. Sejajar, artinya sejak awal perkawinan jarak hubungan antara suami dan isteri tetap stabil, tidak menjadi lebih dekat atau lebih jauh.
II. Ketika masih baru kawin hubungan agak jauh, namun semakin lama semakin dekat
III. Ketika baru kawin hubungan sangat dekat, namun semakin lama semakin menjauh
IV. Ketika baru kawin jarak antara kedua suami istri jauh, kemudian setelah itu saling mendekat, akan tetapi kemudian saling menjauh lagi
V. Ketika baru kawin hubungan antara suami dan isteri cukup dekat, kemudian menjauh, namun setelah beberapa saat saling mendekat lagi.
HIDUP PERKAWINAN
Banyak orang tidak berani memasuki hidup perkawinan, takut akan kegagalan. Memang tidak sedikit bahtera perkawinan yang kandas di karang tajam penghalang, karena itu agar dapat mencapai tujuan perkawinan maka setiap orang yang ingin kawin harus mempelajari dan akhirnya dapat menguasai serta mengendalikan bahtera perkawinannya; ia harus mempunyai kompas yang bekerja dengan baik sehingga ia tidak akan tersesat, ia tahu kapan hujan badai akan menjelang dan tahu bagaimana bersikap apabila dilanda badai tersebut, ia harus tahu bagaimana menghindari karang-karang tajam dan bukit-bukit es yang menghadang diluar pandangan mata, demikian pula ia harus dapat mengatasi mabuk laut yang menyerang!
Dalam minggu pertama perkawinan, semua terasa manis dan menyenangkan, semua kesalahan si kekasih sudah dimaafkan sebelum dilakukan. Dunia ini sepertinya adalah milik si pengantin baru! Sepertinya bulan madu janganlah berakhir, karena kenikmatan belum dirasakan semuanya.
Dalam tujuh minggu pertama perkawinan mulailah tampak cacad cela si pasangan, akan tetapi maaf masih mudah diberikan. Mulai terasa bahwa “mengalah” harus dilakukan agar tetap rukun akan tetapi mengalah terus menerus akan menimbulkan rasa tertekan. Tidak jarang pertengkaran mulai menjelma pada masa krisis pertama ini. Ada yang tidak dapat melewati masa krisis ini, tetapi setelah melewatinya bukan berarti sudah aman. lbarat bahtera baru saja keluar dari pelabuhan, belum ada gelombang besar yang menganggu.
Pada akhir bulan ke tujuh setelah upacara perkawinan, mulailah belang semakin jelas terlihat, cacad semakin nyata. lbarat gunung yang tampak indah kebiruan apabila dilihat dari jauh, setelah didekati ternyata tidaklah seindah itu. Sebelum kawin dibayangkan bahwa perkawinan itu adalah surga, tetapi kemudian ternyata bahwa surga itu adalah palsu belaka. Perlu usaha yang luar biasa untuk memelihara kedamaian dalam rumah tangga, karena watak asli dan kebiasaan-kebiasaan yang buruk mulai terkuak nyata. Bulan madu sudah lama berlalu, bahtera sudah berada di laut lepas, itu berarti gelombang sebesar apapun harus dihadapi, badai seganas apapun harus di tantang. Menyesuaikan diri dengan orang lain tidaklah mudah, mengalah terus menerus lebih sulit lagi, apalagi kalau sudah dianggap, keterlaluan.
Sampai tahun ke tujuh dari perkawinan adalah masa yang penuh dengan pertentangan batin, baik bagi si suami maupun si isteri. Watak asli semakin jelas terlihat, yang menjadi masalah adalah mau bertahan atau menyerah! Menyerah berarti pulang ke rumah orang tua atau pisah yang kemudian dilanjutkan dengan bercerai. Bertahan berarti berusaha hidup bersama si pasangan hidup tidak perduli ia itu baik atau buruk perilakunya. Banyak wanita yang sudah siap menjadi isteri, tetapi tidak banyak yang siap untuk menjadi ibu, demikian pula banyak pria yang sudah siap untuk menjadi suami akan tetapi belum siap untuk menjadi ayah. Sehingga kehadiran si kecil bukanlah sesuatu yang diharapkan atau didambakan, akan tetapi hanya menjadi si pengganggu belaka. Kehamilan akan membuat si isteri menjadi semakin manja, egosentrisme semakin nyata, selalu berusaha menjadi pusat perhatian suaminya. Karena itu si suami harus memahami kondisi yang mudah memancing ketegangan di dalam rumah tangga, dan secara bijaksana berusaha mengemudikan perahunya ke arah yang benar.
Melahirkan untuk pertama kali merupakan trauma yang sangat besar bagi si isteri yang belum berpengalaman. Biasanya ia menuntut agar ditemani oleh ibunya ketika menghadapi peristiwa yang menakutkan tersebut. Rasa aman sangat penting bagi si calon ibu, karena sering ia dengar bahwa melahirkan adalah suatu peristiwa yang sangat berbahaya, karena maut suka mendekat. Dengan pemeriksaan selama hamil yang seksama, dan dengan kondisi kesehatan jiwa maupun fisik yang prima, maka pada saat ini melahirkan anak bukanlah hal yang perlu ditakuti lagi.
Yang menjadi masalah serius adalah apabila setelah sekian lama si isteri tidak juga berisi, atau hamil. Dimulai dari rasa heran, lalu berlanjut dengan rasa curiga dan mungkin diteruskan dengan pertengkaran. Banyak pihak suami yang tidak bersedia pergi ke dokter untuk diperiksa kesuburannya setelah si isteri bolak-balik pergi ke dokter spesialis kandungan tanpa hasil, karena ia merasa bahwa kejantanannya diragukan! Tujuh tahun adalah waktu yang cukup lama untuk menunggu kehadiran seorang anak, karena itu tidak jarang bila ada suami yang ingin cepat punya anak lalu berpikir untuk menikah lagi dengan wanita lain. Hampir semua wanita tidak suka dimadu, akan tetapi kalau keadaan terpaksa ya apa boleh buat.
FAKTOR-FAKTOR YANG MENOPANG KELUARGA BAHAGIA
SALING SETIA
Kesetiaan adalah masalah yang sangat penting. Saling setia merupakan salah satu pilar yang menopang keutuhan bangunan perkawinan. Perlu suatu kejujuran yang tulus untuk memelihara kesetiaan dalam perkawinan, karena banyak orang yang tidak setia selalu mencari-cari alasan untuk membenarkan perbuatan nyelewengnya. Setiap kesalahan yang telah dilakukan haruslah disesali oleh si pelaku dan ia harus bertekad untuk tidak mengulanginya, selanjutnya perlu dimaafkan oleh pihak lain; karena apabila tidak demikian maka hanya keruntuhanlah yang akan terjadi. Merasa puas dengan isteri atau suami sendiri akan sangat menunjang dalam memelihara aspek kesetiaan di dalam keluarga yang harmonis.
SALING PERCAYA
Semakin lama semakin sukar mencari orang yang jujur, mungkin mencari orang yang pandai jauh lebih mudah. Kejujuran adalah landasan dari sikap saling percaya diantara sepasang suami istri. Ada orang yang menganggap bahwa berbohong untuk kebenaran boleh dilakukan, akan tetapi sikap jujur sebaiknya tetap harus diutamakan. Kadang-kadang sangat sukar untuk berterus terang, karena menyangkut banyak faktor lain yang perlu dipertimbangkan, namun di antara sepasang suami istri seharusnya tidak ada rahasia. Ada yang mengatakan bahwa wanita itu suka dibohongi, tetapi ungkapan tersebut adalah tidak benar! Pada dasarnya tidak ada orang yang suka dibohongi atau ditipu, karena apabila di kemudian hari kebohongan itu terbongkar maka akan timbul rasa sakit hati dan dendam. Tentunya setiap orang mempunyai alasan masing-masing untuk berdusta, akan tetapi dalam sebuah keluarga sebaiknya tidak perlu ada dusta.
SALING MENGHORMATI
Saling menghormati dan saling menghargai adalah merupakan pilar yang lain. Penghinaan yang terus menerus akan membuat perasaan terluka dan sakit, karena itu kebiasaan buruk seperti ini tidak boleh dibiarkan berlama-lama hidup dalam sebuah keluarga. Ada orang dihina karena berasal dari keluarga miskin, atau karena sekolahnya kurang tinggi, atau karena cacad fisik atau karena sebab-sebab lainnya. Perlu disadari bahwa semua orang itu mempunyai kekurangan, karena itu sebelum menghina atau merendahkan orang lain, apalagi pasangan hidup kita sendiri, renungkanlah bahwa setiap orang tidak mau dihina atau direndahkan termasuk diri kita sendiri.
SALING MENGALAH
Mengalah bukan berarti kalah, karena itu saling mengalah juga merupakan pilar lain yang penting untuk dipelihara. Ada saatnya seseorang itu tidak mau dibantah, mungkin karena ada masalah pelik lain yang sedang mengganggu, karena itu pihak lainlah yang harus dengan penuh pengertian menyesuaikan diri dengan mengalah. Jarang sekali dua orang yang keras kepala dapat menjadi pasangan hidup yang rukun, mereka lebih tepat disebutkan sebagai pasangan anjing dan kucing! Setiap soal, biarpun soal kecil, menjadi bahan perdebatan sengit.
SALING MEMBANTU
Setiap orang memiliki kelemahan, karena itu ia patut dibantu. Adalah hal yang patut apabila sepasang suami isteri itu saling membantu, saling melengkapi; sehingga segala kesulitan hidup terasa lebih ringan untuk dipikul. Membantu orang lain, terutama ketika ia sangat membutuhkan, seperti ketika sedang sakit, adalah hal yang sangat terpuji, sangat mulia dan sangat luhur. Janganlah karena kebencian kita mengabaikan hal yang satu ini.
SALING BERSAHABAT
Pada dasarnya sepasang suami isteri adalah sepasang sahabat atau teman. Seharusnya hubungan mereka tidak tergantung pada orang lain, akan tetapi ada pihak-pihak tertentu yang dapat mengganggu hubungan tersebut, seperti misalnya mertua, ipar, teman, bekas pacar, dll. Persahabatan perlu dipelihara dengan baik, agar keharmonisan keluarga dapat tetap dipertahankan dalam waktu yang relatif lama. Sepasang sahabat baik akan selalu saling percaya, saling membantu, saling memperingatkan dalam setiap situasi; Sahabat sejati tidak akan meninggalkan temannya di dalam kesulitan.
SALING MEMELIHARA KOMUNIKASI
Komunikasi di dalam keluarga tidak selalu berlangsung dengan mulus, adakalanya tersendat-sendat, kadang-kadang terputus sama sekali untuk waktu yang sebentar atau lebih lama. Adalah sukar untuk menyingkirkan semua hal yang mengganggu lancarnya komunikasi karena jenisnya terlalu banyak dan intensitasnya tidak menentu, misalnya perbedaan tingkat pendidikan, perbedaan kegemaran, perbedaan orientasi, perbedaan nilai, pengaruh emosional, jarak dll.
Apabila sepasang suami isteri ingin selalu bersama-sama (berjodoh) dalam kehidupan ini maupun dalam kehidupan yang datang maka ada empat hal yang harus diperhatikan, yaitu keduanya harus setara dalam keyakinan (saddha), setara dalam sila (moral), setara dalam kemurahan hati (caga) dan setara dalam kebijaksanaan/ pengertian (pañña). (Anguttara N II, 62)
Yang dimaksud dengan Saddha adalah keyakinan terhadap Sang Tiratana (Triratna), yaitu Buddha, Dhamma dan Sangha. Dalam keadaan yang bagaimanapun juga umat Buddha hanyalah berlindung kepada Sang Tiratana, tidak kepada obyek lainnya seperti pohon-pohon, gunung-gunung, gua-gua, batu-batu, alat-alat senjata, kuburan-kuburan keramat, tempat-tempat pemujaan dan mahluk-mahluk lain.
Setelah memiliki keyakinan dan berlindung kepada Sang Tiratana, berikutnya adalah melaksanakan sila sebagai kelanjutannya. Bagi setiap umat Buddha yang hidup berkeluarga terdapat lima sila yang wajib untuk ditaati, yang merupakan tekad atau latihan yang sungguh-sungguh sebagai berikut :
Tekad melatih diri dengan sungguh-sungguh untuk tidak menghilangkan nyawa dari makhluk lain yang bernafas;
Tekad melatih diri dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengambil barang yang tidak diberikan;
Tekad melatih diri dengan sungguh-sungguh untuk tidak melakukan perbuatan asusila;
Tekad melatih diri dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengucapkan kata-kata yang tidak benar, tidak berguna, tidak beralasan dan tidak tepat waktu;
Tekad melatih diri dengan sungguh-sungguh untuk tidak menggunakan segala zat yang dapat melemahkan kesadaran. (misalnya alkohol, ganja, morfin, heroin, cocain, dll)
Berikutnya adalah mengembangkan kemurahan hati, suka atau berdana, suka membantu mereka yang perlu dibantu, merasa gembira dan bahagia melihat orang lain berbahagia dan damai.
Kebijaksanaan adalah merupakan landasan dari segala hal baik yang dilakukan oleh seseorang yang memahami ajaran Sang Buddha dan akan berkembang terus dengan dilaksanakannya sila pengembangan batin sebagai pengalaman batin dan penalaran
pribadi. Tanpa kebijaksanaan maka seseorang akan melakukan perbuatan-perbuatan baiknya hanya karena ikut-ikutan atau karena disuruh.
KEWAJIBAN SEORANG SUAMI
Di dalam agama Buddha tidak dibahas hak seorang suami, yang ada hanyalah kewajiban seorang suami sebagai kepala keluarga. Dalam Mangala Sutta terdapat sebuah bait yang bunyinya sebagai berikut:
MATAPITU UPATTHANAM (Menyokong dan merawat ayah dan ibu)
PUTTADARASSA SANGAHO (Membahagiakan anak dan istri)
ANAKULA CA KAMMANTA (Pekerjaan yang bebas dari keruwetan)
ETAMMANGALAMUTTAMAM (Itulah Berkah utama )
(Khuddaka Patha halaman 3)
Seorang suami sebagai kepala keluarga wajib memiliki penghasilan yang secukupnya agar dapat memenuhi segala kebutuhan keluarganya. Ia wajib membahagiakan anak dan isterinya di samping menyokong dan merawat kedua orang tuanya yang masih hidup. Kepada orang tua dan leluhur yang sudah meninggal maka ia wajib melakukan Pattidana (Melakukan perbuatan-perbuatan jasa yang kemudian dilimpahkan kepada para almarhum tersebut)
Agar seorang suami tidak dibenci oleh isterinya maka ia wajib rajin bekerja agar tidak jatuh miskin, wajib memelihara kesehatan agar tidak sakit-sakitan, wajib menghindarkan minuman keras agar tidak mabuk-mabukan, wajib banyak belajar agar tidak bodoh, wajib bersikap telaten dan perduli agar tidak mengabaikan isterinya, jangan terlalu sibuk dan dapat membagi waktunya untuk isteri, wajib berhemat dan tidak meng-hambur-hamburkan uang. (Jataka V, 433)
Di dalam Sigalovada Sutta terdapat 5 kewajiban seorang suami terhadap isterinya sebagai berikut:
Menghormati isterinya;
Bersikap lemah lembut terhadap isterinya;
Bersikap setia terhadap isterinya;
Memberikan kekuasaan tertentu kepada isterinya;
Memberikan atau menghadiahkan perhiasan kepada isterinya. (Digha Nikaya III, 190)
Dalam Khuddaka Patha (halaman 138) disebutkan bahwa seorang suami harus bersikap ramah terhadap isterinya, membantu istrinya dalam segala bentuk pekerjaan, mengajak isterinya untuk menghadiri upacara-upacara dan pesta-pesta, mendorong isterinya melakukan perbuatan-perbuatan yang baik.
Seorang suami sebagai kepala keluarga wajib menghindarkan empat macam apayamukha, yaitu sebab-sebab, yang akan membawa keruntuhan, yaitu:
Suka menggoda wanita lain;
Suka bermabuk-mabukan
Suka berjudi
Suka bergaul dengan orang jahat dan akrab dengan orang jahat.
(Anguttara Nikaya IV, 283)
Terdapat empat macam Ditthadhammikatthapayojana, yaitu hal-hal yang berguna pada kehidupan sekarang:
Utthanasampada: rajin dan bersemangat dalam bekerja mencari nafkah.
Arakkhasampada: bersikap penuh hati-hati, menjaga harta yang telah diperoleh, tidak membiarkannya hilang atau dicuri, menggunakannya dengan hemat. Menjaga cara kerja yang baik sehingga tidak mengalami kemunduran atau kemerosotan.
Kalyanamitta: memiliki teman-teman yang baik, dan tidak bergaul dengan orang-orang dungu dan jahat.
Samajivita: menempuh hidup sesuai dengan penghasilan, tidak terlalu kikir dan tidak terlalu boros
(Anguttara Nikaya IV, 281)
Bagi seorang kepala rumah tangga terdapat empat Dhamma yang wajib untuk dimiliki, yaitu :
Sacca : Kejujuran dan selalu menepati janji kepada orang lain
Dama : Pengendalian pikiran yang baik
Khanti : Kesabaran dalam menghadapi setiap persoalan sulit
Caga : Kemurahan hati terhadap mereka yang pantas untuk diberi
(Samyutta Nikaya I, 215)
Berikut ini terdapat 38 hal yang akan membawa Berkah Utama (Mangala), yang wajib diperhatikan oleh seorang kepala keluarga:
Tidak bergaul dengan orang dungu
Bergaul dengan orang bijaksana
Menghormati mereka yang patut dihormati
Hidup di tempat yang sesuai
Telah melakukan kebajikan dalam kehidupan lampau
Menuntun diri ke arah yang benar
Memiliki pengetahuan yang tinggi
Memiliki keterampilan yang memadai
Memiliki tatasusila yang baik
Ramah tamah dalam tutur kata
Menyokong ayah dan ibu
Membahagiakan anak
Membahagiakan isteri
Mempunyai pekerjaan yang bebas dari keruwetan
Suka berdana
Hidup sesuai dengan Dhamma
Menolong sanak keluarga yang perlu ditolong
Perbuatan tanpa cela
Menjauhi kejahatan
Menghindari minuman keras
Tekun melaksanakan Dhamma
Selalu menghormat
Selalu rendah hati
Merasa puas dengan apa yang telah diterima
Berterima kasih menerima kebaikan orang lain
Mendengarkan Dhamma pada saat-saat tertentu
Memiliki kesabaran
Rendah hati apabila diberi peringatan
Sering mengunjungi para bhikkhu/pertapa
Membahas Dhamma pada saat-saat yang sesuai
Hidup sederhana
Bersemangat menjalani Hidup Suci
Menembus Empat Kesunyataan Mulia
Mencapai Nibbana
Batin tidak tergoyahkan meskipun digoda oleh hal-hal duniawi
Batin tiada susah
Batin tanpa noda
Batin penuh damai
KEWAJIBAN SEORANG ISTRI
Atas perlakuan yang diterimanya dari seorang suami yang baik, berdasarkan Sigalovada Sutta maka seorang isteri yang mencintai suaminya mempunyai kewajiban sebagai berikut:
Melakukan semua tugas kewajibannya dengan baik
Bersikap ramah kepada keluarga dari kedua belah pihak
Setia kepada suaminya
Menjaga baik-baik barang-barang yang dibawa oleh suaminya
Pandai dan rajin dalam melaksanakan semua pekerjaannya
(Digha Nikaya III, 190)
Adalah merupakan hal yang pantas dipuji apabila setiap isteri berusaha untuk memenuhi 5 ciri isteri yang sempurna, yaitu:
Bangun lebih dahulu dari suaminya
Pergi tidur setelah suami tertidur
Selalu mematuhi perintah suaminya
Selalu bersikap ramah dan sopan
Dari mulutnya hanya keluar kata-kata yang ramah.
(Anguttara Nikaya IV, 265)
Telah dicatat bahwa disamping menjadi isteri dengan 5 ciri di atas, Ratu Mallika juga bertekad agar batinnya terbebas dari iri hati dan cemburu. (Anguttara Nikaya II, 205)
Kepada Sujata, adik perempuan dari Maha Upasika Visakha, yang menjadi menantu dari Maha Upasaka Andthapindika, Sang Buddha telah berkotbah mengenai tujuh jenis isteri dari segala zaman sebagai berikut :
1. Seorang isteri yang jahat, mempunyai keinginan buruk, kejam/bengis mencintai pria lain, suka melacur, selalu berbeda pendapat dengan suaminya, selalu mencari alasan untuk bertengkar disebut sebagai isteri yang menyusahkan (vadhakhabhariya)
2. Seorang isteri yang suka menghamburkan kekayaan yang diperoleh suaminya dengan susah payah, tidak mau berpikir, suka menggelapkan harta benda suaminya untuk kepentingannya sendiri, untuk berjudi dan bermabuk-mabukan, disebut sebagai isteri pencuri (corabhariya)
3. Seorang isteri yang tidak mau berbuat apapun, malas, rakus, kasar, suka mencaci maki, selalu ingin berkuasa, ingin menguasai suaminya, mengambil kesempatan dari kedudukan suaminya untuk menonjolkan dirinya, selalu ingin menang sendiri, disebut sebagai isteri penguasa (ayyabhariya);
4. Seorang isteri yang ramah dan penuh welas asih, merawat suaminya seperti seorang ibu yang melindungi anaknya, menjaga harta yang telah dikumpulkan oleh suaminya dengan teliti dan hati-hati, disebut sebagai isteri keibuan (matubhariya);
5. Seorang isteri yang menghormati suaminya seperti seorang adik perempuan yang patuh terhadap kakaknya, bersikap rendah hati, hidup sesuai dengan keinginan suaminya, disebut sebagai isteri saudara (bhaginibhariya)
6. Seorang isteri yang bergembira ketika melihat suaminya bertemu dengan teman baik yang lama tidak berjumpa, terhormat, baik hati, selalu menolong dan suci, sebagai isteri sahabat (sakhibhariya);
7. Seorang isteri yang tidak marah dan tetap sabar/tenang meskipun diancam dengan siksaan dan hukuman, mengerjakan semua tugas yang diberikan suaminya tanpa mengeluh, bebas dari kebencian, hidup sesuai dengan kehendak suaminya, disebut sebagai isteri yang melayani (dasibhariya). (Anguttara Nikaya IV, 92)
Setelah mendengar kotbah diatas Sujata batinnya menjadi sadar lalu mencapai tingkat kesucian yang pertama (Sotapanna). Atas pertanyaan Sang Buddha Sujata memilih menjadi dasibhariya bagi suaminya.
Sang Buddha menjelaskan bahwa para isteri dari tiga jenis yang pertama adalah buruk dan tidak dikehendaki oleh suami manapun dan kelak akan terlahir di neraka, akan mengalami penderitaan yang tidak terhingga, terpanggang oleh api neraka. Sedangkan empat jenis isteri yang berikutnya adalah baik dan patut dipuji, mereka akan berbahagia dalam kehidupan sekarang ini dan setelah kematian akan terlahir di alam-alam surga yang berbahagia.
Ketika Visakha ingin menikah, ayahnya memberikan nasehat sebagai berikut (Lihat Dhammapada Atthakatha, Buddhist Legends jilid II halaman 72-73) :
Jangan membawa keluar api yang berada di dalam rumah
(Api di sini berarti fitnah. Seorang isteri seharusnya tidak menceritakan keburukan suami atau mertuanya kepada orang lain, demikian pula tidak menceritakan kekurangan-kekurangan atau pertengkaran dalam keluarga kepada orang lain)
Jangan memasukkan api dari luar ke dalam rumah
(Seorang isteri seharusnya tidak mendengarkan hasutan-hasutan atau gosip dari keluarga-keluarga lain dan membawanya ke dalam rumah)
Memberi hanya kepada mereka yang memberi
(Hanya meminjamkan sesuatu kepada mereka yang mau mengembalikan)
Jangan memberi kepada mereka yang tidak memberi
(Jangan meminjamkan sesuatu kepada mereka yang tidak akan mengembalikan barang yang dipinjam)
Memberi kepada mereka yang memberi dan tidak memberi
(Menolong orang-orang miskin atau kawan-kawan tanpa memperdulikan apakah mereka akan mengembalikan atau tidak)
Duduk dengan bahagia
(Duduk pada posisi yang sesuai, apabila mertua datang menghampiri ia harus berdiri untuk menghormat)
Makan dengan bahagia
(Sebelum makan seorang isteri terlebih dahulu mempersiapkan segala hidangan untuk mertua dan suaminya, di samping memperhatikan juga kebutuhan makanan dari para pembantu rumah tangga)
Tidur dengan bahagia
(Sebelum tidur memeriksa dahulu apakah pintu-pintu dan jendela-jendela sudah ditutup atau belum, apakah masih ada api yang menyala di dapur, apakah ada bahaya yang mungkin mengancam keselamatan keluarga, apakah para pembantu telah menyelesaikan tugasnya, apakah mertua dan suaminya sudah tidur atau belum. Kemudian bangun pagi-pagi sekali dan tidak akan tidur siang kecuali sedang sakit)
Rawatlah api dalam rumah
(Rawatlah mertua dan suami dengan baik, seperti merawat api di dapur dan api merawat kita di dapur)
Hormatilah dewata keluarga
(Mertua dan suami dipandang sebagai dewata yang patut untuk dihormati)
Menurut tradisi timur, seorang isteri wajib memandang suami sebagai “yang dipertuan”. Sang Buddha pernah bersabda bahwa isteri juga adalah sahabat karib dan dewa penolong dari suaminya, oleh karena itu ia pantas untuk diperlakukan dengan baik dan dicintai oleh suaminya
Diposkan oleh Ada Aja Lah di 17.13
http://bluelotus4happiness.blogspot.com.au/2009/12/hubungan-antara-suami-dan-istri-dalam.html