Renungan Waisak Nasional 2562 BE/2018
Namo Bhagavate Sakyamunaye Tathagataya Arhate Samyak Sambuddhaya
Kepada Siswa dan seluruh Umat Buddha dimana saja berada,
Salam Waisak, Namo Buddhaya
Setiap bulan Mei saat purnama Siddhi, kembali kita memperingati dan merayakan Hari Raya Trisuci Waisak. Untuk mengingat dan merayakan sejarah kelahiran Bodhisattva Siddharta Gotama, mencapai penerangan sempurna jadi Buddha dan memasuki Maha Parinirvana. Adapun makna dan tujuan Waisak adalah mencerminkan bahwa manusia memiliki hakikat Buddha, berpotensi bisa jadi Buddha, dan kelak bakal jadi Buddha.Untuk itu, agar bisa jadi Buddha, maka manusia harus berjuang melepaskan semua kebodohan dan kejahatan, baik yang dilakukan oleh pikiran, ucapan dan perbuatan. Lalu dilanjutkan dengan sempurnakan segala kebajikan yang dilakukan ke dalam yaitu oleh pikiran, ucapan dan perbuatan, disertai kebajikan keluar menolong semua makhluk bebas dari bodoh dan derita. Utamanya sucikan hati dan pikiran, melepaskan khayalan dan kemelekatan kepada apapun baik subjek maupun objek.
Adapun tema Waisak Nasional 2562 BE/2018 adalah: ”Transformasikan Kesadaran Delusi Menjadi Kesadaran Murni”; dan Sub Tema nya adalah: ”Marilah Kita Berjuang Bersama Untuk Mengalahkan Ego”
Buddhisme menduduki posisi unik dalam sejarah pemikiran manusia dalam hal penolakannya terhadap adanya suatu Roh / Jiwa, Diri atau Atma. Menurut ajaran Sang Buddha, pandangan tentang adanya ‘DIRI’ adalah suatu khayalan, kepercayaan yang keliru / salah yang tidak berkaitan dengan kenyataan, dan hal itu menghasilkan pikiran – pikiran yang membahayakan dari “Aku” dan “Milikku”, keinginan yang egois, nafsu, kemelekatan, kebencian, niat jahat, kepongahan, kesombongan, egoisme, dan noda – noda lainnya, serta ketidakmurnian dan problem – problem yang begitu banyak. Hal ini merupakan sumber dari segala kesulitan di dunia ini, dari konflik pribadi hingga peperangan antar bangsa. Singkatnya, semua keburukan / kejahatan di dunia ini dapat ditelusuri sumbernya yakni dari pandangan keliru, dan pikiran salah tersebut.
Di dalam Abhidharma Ta Sheng Chi Sin Lun, disabdakan: Semua kondisi diciptakan oleh pikiran khayal. Semua dharma dihasilkan dari pikiran khayal sehingga terdapat ragam perbedaan. Bila menjauhi hati dan pemikiran, maka tiada wujud dan kondisi. Bila dapat melepaskan bentuk-bentuk perasaan, semua jenis perasaan, derita-bahagia, galau-gembira atau hati bodoh, pikiran khayal dan sebagainya yang membuat kerisauan, maka dapat terbebas dari proses kelahiran dan kematian, dan mudah mencapai Nirvana.
Segala sesuatu di alam semesta ini terus berubah dan bergerak. Bumi terus bergerak. Setiap detiknya, segala hal berubah. Sel-sel tubuh terus berubah. Ada yang hancur, ada pula yang tumbuh dan berkembang. Namun, ada sesuatu yang tak pernah berubah. Ia juga tak pernah bergerak. Ia tak pernah datang, dan tak pernah pergi. Ia tak pernah diciptakan, dan juga tak akan pernah hancur. Inilah substansi dari diri kita, sekaligus substansi dari alam semesta. Ketika orang menyadari substansi dirinya, maka ia juga menyadari substansi seluruh alam semesta. Kesadaran semacam ini jauh melampaui sekedar pemahaman intelektual teoritis. Belajar di universitas, atau menghafal beragam informasi, tidak akan banyak membantu. Sebaliknya, semua itu justru kerap kali mengaburkan pikiran kita, dan kita kehilangan kesadaran akan substansi diri kita sendiri, atau jati diri sejati kita. Semua usaha intelektual tidak dapat dibandingkan dengan pengalaman langsung, ketika kita menyadari substansi diri kita sendiri, yakni jati diri sejati kita. Dapat juga dikatakan, bahwa jati diri sejati kita selalu bersama kita. Ia berada sebelum segala bentuk bahasa dan konsep di dalam pikiran kita. Filsafat Eropa menekankan pikiran manusia. Namun, filsafat Asia menekankan apa yang ada sebelum pikiran, yakni substansi diri kita, dan substansi semesta itu sendiri.
Anda bukan Identitas, bukan Pikiran, bukan Perasaan, bukan Tubuh fisik, bukan Indera, bukan Persepsi, bukan peran, bukan itu semua, anda adalah KESADARAN MURNI. Anda tidak dapat memahaminya sampai anda mengalaminya sendiri.
Satu pikiran tidak berkesadaran murni munculkan tiga khayalan halus, kondisi diluar yang mengundang enam khayalan kasar. Kita memiliki jati diri yang seharusnya sadar murni , karena kegelapan batin sehingga mengarah kepada ketahayulan akibatnya mengalami kebodohan, menciptakan karma dan menerima akibat, adalah rentetan yang membentuk karma. Terjadinya 3 khayalan halus dan 6 khayalan kasar dikarena kan jati dirinya memasuki ketahayulan, bagaikan memasuki mimpi kegelapan batin. Sehingga bergejolak memunculkan 9 khayalan timbul lenyap yang mengalir. Kebodohan memuncukan perwujudan kesadaran, siapa yang melihat dan apa yang dilihat. Ada yang melihat, ada yang dituju, ada yang dilekatkan, terjebak nama, memunculkan perbuatan, terciptalah karma memunculkan penderitaan.
Di dalam Sutra Altar: Jati diri dapat menampung puluhan ribu dharma. Bilamana muncul pikiran yang membandingkan, maka bergejolaklah kesadaran, muncul 6 kesadaran, keluar melalui 6 organ, melihat 6 sensasi, demikian 18 dhatu beraktivitas semua berasal dari jati diri yang digunakan. Bilamana jatidiri mengarah kepada kesesatan, maka muncul 18 kesesatan; bilamana jati diri ini mengarah kepada kebenaran maka muncul 18 kebenaran. Bila digunakan untuk kejahatan adalah makhluk awam yang menggunakan. Bila digunakan untuk kebajikan adalah Buddha yang menggunakan. Bagaimana digunakan semua berpulang kepada jati dirinya sendiri.
Dunia khayal ini diproyeksikan oleh pikiranmu seperti seutas tali yang disangka sebagai seekor ular. Jika kau menyadari hal ini, maka kau akan terberkati dengan kedamaian, kebahagiaan paripurna dan selanjutnya kau akan mengembara dengan gembira. Orang yang menyadari dirinya bebas, maka dia telah terbebaskan. Orang yang menganggap dirinya terikat, maka dia selalu hidup dalam keterikatan. Dunia ini seperti yang diungkapkan oleh sebuah pepatah kuno : “Kau akan menjadi seperti apa yang kau pikirkan”.
Makhluk-makhluk dan benda-benda sama sekali tidak memiliki inti (ego) dari diri mereka sendiri. Untuk mendapatkan individualitas apapun yang sejati, mereka harus di satukan di dalam Dharmakaya. Hal ini terjadi melalui pencerahan, ketika makna tanpa-ego yang sebenarnya terungkap. Itu tereliminasinya keakuan, karena hanya ada satu diri yang sejati, yaitu Dharmakaya, dan tidak ada pengertian keterpisahan darinya. Tetapi apa yang merupakan Diri Sejati hanya dapat ditemukan melalui pengalaman pencerahan.
Jika kau berkata : “AKU adalah sang pelaku”, maka berarti kau telah membiarkan ular hitam EGO atau ke-AKU-an mematuk dirimu. Dan jika kau sadar hakikat bahwa : “Aku bukanlah sang pelaku”, maka berarti kau telah memiliki kesadaran realita sehingga hidup dalam kebebasan dan kebahagiaan.
Jati diri sejati kita berbeda dengan ego kita. Ego terbentuk melalui pola hidup kita di masa lalu. Ini menghasilkan cara berpikir dan cara merasa. Jati diri sejati kita berada sebelum ego kita ada. Ia bersifat abadi dan universal. Artinya, ia memiliki substansi yang sama dengan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini, termasuk alam semesta itu sendiri. Ketika kita sungguh menyadari jati diri sejati kita, maka ego kita pun runtuh. Ia menjadi relatif. Artinya, ia hanya muncul, ketika kita membutuhkannya. Ketika ego runtuh, maka kebenaran akan tampil di depan kita. Semuanya akan menjadi jelas secara alami dan langsung. Ketika kita mendengar, melihat, mencium, merasakan atau berpikir, semuanya tampil apa adanya. Segalanya adalah kebenaran itu sendiri.
Kesadaran akan jati diri sejati ini disebut juga sebagai pencerahan batin. Namun, dua kata ini, yakni jati diri sejati dan pencerahan batin, sejatinya tidak berarti apa-apa. Keduanya hanyalah kata dan konsep yang lahir dari pikiran. Ketika orang melekat padanya, maka ia juga akan tersesat, dan jatuh kembali ke dalam penderitaan. Maka, orang tidak boleh melekat pada kata dan konsep, semacam jati diri sejati atau pencerahan batin. Satu prinsip yang terus harus diingat adalah, bahwa jati diri sejati itu sudah selalu ada di dalam diri kita. Kita hanya perlu melihat ke dalam. Kita hanya perlu melepas semua pikiran di kepala kita, dan kembali ke keadaan sebelum pikiran. Jadi, pencerahan batin bukanlah pengetahuan baru untuk ditambahkan ke dalam diri kita, melainkan sebaliknya, kita mengurangi segala bentuk pengetahuan, lalu masuk ke dalam kebijaksanaan. Keadaan ini bisa juga disebut sebagai pikiran yang jernih. Dengan pikiran jernih semacam ini, kita bisa menjalani hidup kita sehari-hari. Pikiran jernih ini juga bisa disebut sebagai pikiran sehari-hari. Pikiran sehari-hari adalah pencerahan batin.
Jati-Dirimu itu tidak pernah sekejap pun berpisah darimu. Jati-Dirimu juga ada di mana-mana, segala yang kaulihat adalah Jati-Dirimu. Tetapi ketika yang merasa melihat dan mengetahui itu mulai muncul, maka kebijaksanaan dihalangi. Ketika si peragu dalam pemikiran muncul, maka kenyataan menghilang. Oleh karena itulah, kamu selalu dilahirkan kembali berulang-ulang di dalam ketiga dunia dan mengalami bermacam kesengsaraan.
Pikiran tidak punya bentuk yang tetap; pikiran menembus semua arah di sepuluh penjuru. Di dalam mata, kita menyebutnya penglihatan; di dalam telinga, kita menyebutnya pendengaran; di dalam hidung, kita menyebutnya penciuman; di dalam mulut, kita menyebutnya pembicaraan; di dalam tangan, kita menyebutnya perabaan; di dalam kaki kita menyebutnya kemampuan untuk berjalan. Pada dasarnya pikiran ini merupakan suatu intisari cerdas yang tunggal, tetapi pikiran itu juga membagi dirinya sendiri ke dalam ini enam fungsi. Dan karena pikiran yang tunggal ini tidak punya bentuk yang tetap, maka di mana-mana pikiran ini berada dalam keadaan pembebasan.
Kesadaran Murni
Di dalam Shurangama Sutra, bab ke-4 disabdakan buah Kebuddhaan: Bodhi, Nirvana, Tathata, Hakikat Buddha, Amala Vijnana (Kesadaran murni), Sunyata Tathagatagarbha, Kebijaksanaan Cermin Besar adalah tujuh jenis, nama berbeda, tapi kebenarannya sama. “Sempurnanya kemurnian, hakikat tubuh kesadaran tunggal. Seperti Vajra Raja, senantiasa menetap tidak rusak”.
Kesadaran murni yang merupakan jati diri kita selalu hadir dan aware / sadar, serta mengetahui semua yang terjadi di dalam dan di sekitar kita. Kesadaran murni adalah realitas diri kita maupun realitas dari semua hal yang terlihat di dunia. Tanpa realitas ini, semua hal yang ada dan terjadi di dunia tidak mungkin bisa diketahui atau dialami oleh kita. Kita bukanlah nama kita. Nama adalah pemberian orang tua. Itu bisa diganti. Kita juga bukan agama, ras ataupun suku kita. Semua itu bisa berubah.
Kita perlu mencari yang tak berubah di dalam diri kita. Tubuh kita berubah. Pikiran kita pun berubah. Yang tak berubah adalah jati diri sejati kita sebagai manusia.
Jati diri ini adalah ‘Kesadaran Murni’ (pure awareness) kita. Namun, kesadaran bukanlah otak. Otak adalah bagian dari tubuh. Dan kita jelas bukanlah tubuh kita.
Kesadaran inilah yang memungkinkan kita melihat atau mendengar renungan ini. Kesadaran inilah yang memungkinkan kita terus bernafas. Ia adalah sumber dari segala aktivitas di dalam diri kita. Ia selalu ada, bahkan ketika kita pikun, atau masuk dalam keadaan koma, kesadaran asalnya masih ada cuma terbungkus oleh penyakit karmanya.
Wahai yang berkesadaran murni, agama dan tidak beragama, kebahagiaan dan penderitaan : semua itu berasal dari pikiran. Semua hal itu bukanlah untukmu. Kau bukanlah subjek atau objek. Sejak semula kau telah berada dalam keadaan terbebaskan. Pada hakekatnya kau selalu bebas. Kau menjadi terikat karena kau terjerat kepada Sang Aku, melekat kepada Milikku .
Sayangnya, kita sering lupa pada jati diri sejati kita ini. Kita lupa, bahwa kita bukanlah identitas sosial yang berupa suku, agama, ras dan antar golongan. Kita melupakan jati diri sejati kita, meskipun ia selalu ada bersama kita. Untuk melampaui kelupaan semacam ini, ada satu metode yang bisa digunakan, yakni metode mencerap (perceiving method). Sejak kita lahir di dunia ini, kita sudah mencerap segala sesuatu. Kita merasakan segala sesuatu secara langsung. Kita tidak menilai ataupun menganalisis. Kita bisa mencerap, karena kita memiliki kesadaran murni di dalam diri kita. Lalu, kita belajar bahasa dan konsep dari keluarga kita. Kita juga belajar di sekolah. Kita juga mulai belajar untuk melakukan analisis dan penilaian atas segala sesuatu. Akhirnya, kita berhenti untuk mencerap, dan selalu menggunakan daya analisis dan daya penilaian di dalam hidup kita.
Ketika ini terjadi, kita melupakan jati diri sejati kita, yakni Kesadaran Murni kita. Kita terjebak pada dunia khayal, dunia konsep dan dunia analisis. Kita menilai segala sesuatu berdasarkan ego dan nafsu kita. Kita terjerat oleh permainan corak dan kata, sehingga kita terhanyut oleh kesadaran diskriminasi, kesadaran ego dan terkurung ke dalam gudang kesadaran. Akibatnya kita pun sulit untuk menghindar dari aktivitas bawah sadar jejak karma masa lampau yang mendominasi sikap perilaku pada saat sekarang. Kesadaran bermuatan delusi tentu sulit menemukan kedamaian dan kebahagiaan di dalam hidup kita, karena terlalu banyak berpikir dan dipengaruhi banyaknya kesadaran khayal..
Analisis jelas diperlukan di dalam hidup kita. Daya penilaian juga amat penting. Namun, keduanya bukanlah yang terpenting. Yang terpenting adalah Kesadaran Murni kita.
Kesadaran murni juga merupakan sumber dari daya analisis dan daya penilaian kita. Kesadaran murni ini tidak dapat ditunjuk, tetapi dapat dengan mudah dirasakan. Kita hanya perlu berhenti untuk menganalisis dan menilai. Kita hanya perlu mencerap segala yang ada dari saat ke saat, tanpa analisis dan tanpa penilaian.
Ketika ini dilakukan, pikiran kita menjadi jernih. Kita menemukan ketenangan, kebebasan dan kebahagiaan di dalam diri kita sendiri. Kita lalu bisa menolong diri kita sendiri dan orang lain. Kita bisa berfungsi dengan baik sebagai manusia.
Kesadaran-Murni dapat memasuki yang biasa, yang suci, yang bersih, yang kotor, yang riil, hingga yang konvensional; tetapi Kesadaran-Murni bukanlah pikiran-pikiranmu tentang “yang riil” atau “yang konvensional,” “yang biasa” atau “yang suci.” Kesadaran-Murni dapat menaruh label pada semua hal yang konvensional dan yang riil, yang biasa dan yang suci. Tetapi yang konvensional dan yang riil, yang biasa dan yang suci, tidak bisa memberi label pada Kesadaran Murni di dalam diri seseorang. Jika kamu dapat meraih Kesadaran-Murni, maka gunakanlah Kesadaran-Murni itu, tanpa meletakkan label apa pun pada Kesadaran-Murni itu.
Dunia modern dengan segala corak kehidupan masyarakatnya yang beragam, pendidikan modern yang selalu menuntut kita untuk berpikir kritis dualitas dan menganalisa segala sesuatu – telah menyebabkan kita secara tanpa sadar menjadi rumit, menjadi kompleks.
Masalahnya adalah bahwa apa yang seharusnya biasa telah menjadi tidak biasa bagi sebagian besar manusia karena pikiran kita yang telah dipenuhi oleh konsep-konsep, analisa pemikiran dan lain sebagainya. Mengembangkan Kesadaran murni ini akan mengarahkan kita untuk mencari harmoni dengan apa yang ada di sekitar kita : alam , manusia dan makhluk lain – dan terutama juga dengan ‘ diri ‘ kita sendiri. Kesadaran murni ini akan membebaskan kita dari segala sesuatu yang hanya mengacu pada ‘ aku ‘ , pada ‘ diriku ‘ – tetapi akan membawa kita ke suatu wawasan yang jauh lebih luas – yang pada akhirnya dengan ketekunan akan mengantar kita pada tingkat kesadaran tertinggi : Kesadaran Murni, Kesadaran Kosmis, Kesadaran No-Mind , Shunyata – Pencerahan Total.
Wahai yang berkesadaran murni, agama dan tidak beragama, kebahagiaan dan penderitaan : semua itu berasal dari pikiran. Semua hal itu bukanlah untukmu. Kau bukanlah subjek atau objek. Sejak semula kau telah berada dalam keadaan terbebaskan. Pada hakekatnya kau selalu bebas. Kau menjadi terikat karena kau terjerat kepada Sang Aku, melekat kepada Milikku .
Di dalam Avatamsaka Sutra, disabdakan: “Buddha, hati dan semua makhluk tidaklah berbeda”; Realitanya memang Buddha, hati dan semua makhluk tidak berbeda; Cuma bedanya Buddha gunakan kesadaran murni, hati cenderung gunakan kesadaran diskriminasi, sedang semua makhluk gunakan kesadaran delusi/khayal. Terlihat berbeda ta pi intinya tidak berbeda. Setiap makhluk harus menyadari pada hakikatnya Buddha dan Aku adalah manunggal, Sifat Mula adalah Buddhata. Karena selama ini kita mengabaikan Buddhata-nya sendiri, hanya gunakan ‘khayalan aku dan diri’ sehingga cenderung mengejar berbagai sensasi, fantasi, reputasi, prestasi dan kenikmatan yang berasl dari luar diri kita, yang bersifat semu, maya dan tidak berlangsung lama. Kita lupa dan alpa sehingga mengabaikan mustika yang sejati yang berada di dalam diri kita, yaitu: ‘Benih Kebuddhaan’. Karena ketidak tahuan maka selama ini kita telah menelantarkan ‘Benih Kebuddhaan’dan tidak mengembangkan “Hati Buddha’ nya sendiri sehingga hati kita cenderung khayal, melekat dan terbalik, sehingga hidup kita bergelimang dengan keserakahan, kebencian dan kebodohan akibatnya hidup kita lelah, sengsara, dipermainkan kondisi dan terhanyut oleh banjir nafsu dan terbenam dalam arus kelahiran dan kematian di roda tumimbal lahir. Sekarang harus kita menyadari terlebih dahulu, yaitu ‘Benih Kebuddhaan’, yaitu: dimata bisa melihat, di telinga bisa mendengar, di hidung bisa merasakan bebauan, di mulut bisa merasakan cita rasa; di tubuh bisa merasakan sentuhan, dipikiran bisa penyadaran. Benih Kebuddhaan ini bisa dirasakan tapi tidak terlihat, menggunakan setiap saat tapi tidak menyadari. Karena kebodohan sehingga menelantarkan.
Salah satu prinsip utama ajaran Buddhis adalah tidak melekat pada segala bentuk pikiran yang muncul. Ajaran to the point mengajak kita untuk kembali ke keadaan sebelum pikiran muncul, yakni keadaan alamiah, atau jati diri sejati kita. Titik ini adalah substansi diri kita, sekaligus substansi seluruh alam semesta. Manusia berusaha menamainya dengan banyak nama, seperti Buddha, Tuhan, energi, pikiran, kesadaran, kesucian, yang absolut dan sebagainya. Namun, sejatinya, titik ini berada sebelum nama. Ia tidak punya nama dan tidak punya bentuk. Segala bentuk konsep dan bahasa tidak akan bisa membantu. Mereka justru kerap menjadi penghalang. Jadi, titik ini, jati diri sejati manusia, tidak tergantung pada konsep. Ia juga tidak tergantung pada “bukan konsep”. Konsep adalah ilusi. Sementara, “bukan konsep” adalah kehampaan. Hubungan kita dengan dunia sejatinya tidak berpijak pada konsep apapun. Hubungan asali kita dengan dunia tidak datang dari pikiran ataupun teori apapun. Jika orang ingin masuk dan hidup dari titik asali ini, segala bentuk kelekatan, atau kecanduan, pada pikiran harus dilepas. Dengan cara ini, orang lalu bisa kembali ke keadaan alamiah, atau jati diri sejatinya, sebelum segala bentuk konsep dan bahasa muncul. Kita bisa menyebut titik ini sebagai “tidak tahu”. Pikiran “tidak tahu” ini adalah jati diri alamiah kita.
Dengan kata lain, kita tidak lagi kecanduan pada uang, kuasa, jabatan dan bahkan hidup itu sendiri. Kita bisa menggunakan itu semua sesuai fungsinya. Kita juga bisa menggunakan itu semua untuk membantu orang lain. Bahkan, kita rela berkorban untuk menyelamatkan makhluk lain. Ketika kita menyadari kembali kesadaran murni kita, kita menciptakan jarak dengan segala hal. Kita tidak lagi terikat dengan identitas sosial maupun pikiran-pikiran kita. Kita lalu sadar, bahwa itu semua terus berubah, dan amat rapuh. Jarak semacam ini menciptakan kejernihan dan kewarasan di dalam diri kita.
Dengan kejernihan dan kewarasan, kita bisa hidup dengan jernih dari saat ke saat. Kita mencerap dari saat ke saat. Kita menggunakan analisis dan penilaian, jika diperlukan. Selebihnya, kita beristirahat di dalam rumah kesadaran murni di dalam diri kita sendiri.
Jika setiap orang menyadari kesadaran murni di dalam dirinya, hidup bersama akan menjadi mudah. Perbedaan tidak menjadi sumber bagi konflik, melainkan sumber bagi dialog. Politik menjadi efektif dan efisien. Korupsi, kolusi dan nepotisme pun hanya tinggal kenangan.
“Apa itu Buddha?” dan dimanakah Buddha? Selama ini yang kita hormati adalah Rupang Buddha; yang kita puja muliakan Sakyamuni Buddha adalah Guru Buddha; Lalu kita setiap tahun merayakan Waisak adalah memperingati Sejarah Buddha, merayakan kelahiran, kesempurnaan dan Mahaparinirvananya Manusia Buddha. Sekarang coba kita renungkan apa itu Buddha, dan dimanakah Buddha yang sejati? Gelar Buddha adalah seorang manusia telah mencapai kesadaran murni dan kesempurnaan sarva paramita baru bisa jadi Buddha. Berapa lama seorang praktisi mencapai tingkatan Kebuddhaan? Seseorang ingin jadi Samyaksambuddha ia harus melatih diri selama 3 maha asankya kalpa dihitung sejak praktisi tersebut tidak mundur lagi dalam pembinaan diri. Seperti kita ketahui, Buddha masa lampau adalah Amitabha Buddha, Buddha yang akan datang adalah Maitreya Buddha, lalu Pertanyaan nya Buddha sekarang sejati ada dimana? Ada di dalam hati kita masing-masing. “Pikiran adalah Buddha. Tidak ada pikiran, tidak ada Buddha.” ‘Hati sendiri ada Buddha, Kebuddhaan dalam diri adalah kebenaran Buddha, bila diri sendiri tidak ada hati Buddha, kemana lagi dapat memohon kepada Buddha? ‘
我心自有佛,自佛是真佛,自若无佛心,何处求真佛?Semua makhluk memiliki hakikat Buddha, dikarenakan tertutup oleh kebodohan dan kegalauan, sehingga tidak menampakkannya.
【般若三昧經】云:「佛是我心,是我心見佛,是我心作佛。」
Di dalam Sutra Pan Ruo San Mei Cing, disabdakan: Buddha adalah hati saya, adalah saya punya hati melihat Buddha, adalah hati saya menjadi Buddha.
佛心 就是:(Hati Buddha adalah:)
大慈悲心是 (hati maha penuh cinta kasih dan welas asih)
平等心是 (hati yang seimbang, adil sama rata)
无为心是 (hati yang tanpa pamrih)
无染着心是 (Hati yang tidak ternoda)
空观心是 (hati yang merenungkan kesunyataan/kekosongan)
恭敬心是 (hati yang penuh respek)
卑下心是 (hati yang penuh kerendahan hati)
无杂乱心是 (Hati yang tidak kacau)
无见取心是 (hati yang tidak melekat pada pandangan)
无上菩提心是 (hati yang mengembangkan Anuttara Bodhicitta)
Pikiran orisinal manusia, adalah Buddha. Buddha, atau kondisi pencerahan batin, tidak berada di luar manusia, melainkan di dalam pikirannya. Orang yang mencari pencerahan batin di luar dirinya tidak akan menemukan apapun, karena sia-sia bila dicari di luar. Pikiran yang bersih dari segala “pikiran” adalah Buddha. Tidak ada pembedaan antara baik dan buruk, karena pikiran yang asli, yakni pikiran yang bersih, melampaui semua pembedaan yang biasa kita temukan di dalam dunia. Di dalam hidup, kita tidak boleh memilih yang baik dan menolak yang buruk. Keduanya merupakan gangguan pada kemurnian pikiran kita. Keduanya adalah kosong dan ilusi yang harus dihindari, jika orang ingin mencapai pencerahan batin. Nilai baik dan buruk adalah hasil ciptaan manusia. Ia masih terjebak pada dunia sosial. Yang lebih dalam lagi adalah intuisi tentang kenyataan yang berada melampaui penilaian baik dan buruk tersebut. Di dalam intuisi ini, dunia adalah satu. Ia tidak dipisahkan oleh kutub-kutub penilaian. Inilah yang disebut sebagai pemikiran non-diskriminatif, yakni pemikiran yang tidak lagi membeda-bedakan. Jika orang memahami ini dengan intuisinya, maka segala bentuk pembedaan akan menjadi tidak berarti baginya.
Kita semua memiliki Hakikat Buddha di dalam tubuh manusia tapi orang-orang duniawi tidak menyadari. Hakikat Buddha tersebut tidak bermodel, tidak berpakaian, tidak berukiran, juga tidak berbentuk. Tidak perlu didempul juga tidak berwarna. Orang mau melukisnya juga tidak bisa. Pencuri yang mau mencuri juga tidak bisa. Kesejatian Hakikat Buddha bersifat alamiah, murni tidak perlu dibersihkan. Walupun berupa kesatuan kesadaran tapi dapat menjelma tubuhnya menjadi milliaran. Barang siapa yang memahami hati dan menampakkan Hakikat Buddha , praktisi tersebut tidak lama lagi jadi Buddha.
Intinya kesadaran yang timbul lenyap adalah kesadaran relatif, kesadaran yang tidak timbul lenyap adalah kesadaran absolut. Kesadaran yang ternoda adalah pengetahuan, kesadaran murni itulah kebijaksanaan unggul. Orang awam batinnya timbul lenyap; Makhluk suci batinnya tidak timbul tidak lenyap; Bodhisattva batinnya timbul tapi tidak timbul, lenyap tapi tidak lenyap; Buddha batinnya tidak pernah timbul pun tidak pernah lenyap. 凡夫生灭心; 圣者不生不灭心; 菩萨生而不生, 灭而不灭心; 佛不曾生不曾灭心。
Hati pada hakikatnya sunya (kosong), walau kosong tapi tanggap. Walau sunyi tapi punya daya luar biasa. Bagi yang lemah kondisi di luar mempengaruhi hatinya, sehingga timbul-lenyap, pasang, surut, bertambah-berkurang, kotor-bersih dipermainkan dualitas kondisi. Setiap kondisi memunculkan ‘corak hati‘, yaitu: timbul, melekat berubah dan lenyap. Hati memunculkan kondisi hati adaah ‘Khayal’; Hati terjerat dengan kondisi hati adalah ‘Kemelekatan’; Hati tertuju untuk kondisi hati itulah ‘Terbalik’.Hati memunculkan pilihan kondisi hati itulah diskriminasi. Hati memunculkan kondisi hati mengetahui itulah kebodohan. Bila ingin tiada kondisi, seketika sunyakan (kosongkan) hati, bila hati sunya kondisi sunya, jati diri pasti muncul.
Memahami kepalsuan adalah intelektual; Memahami kebenaran adalah kebijaksanaan; Memahami realita adalah pencerahan.
Memperingati dan merayakan Hari Trisuci Waisak adalah untuk menyadari bahwa manusia bisa jadi Buddha. Marilah kita semua meneladani keagungan Guru Buddha, kita semua harus melihat ke dalam diri kita yang memiliki Hakikat Kebuddhaan dan menyelaminya. Berjuanglah untuk mentransformasikan kesadaran delusi menjadi kesadaran murni. Jangan sia-siakan kelahiran manusia yang sudah berjodoh dengan Buddha Dharma dan Sangha untuk menapak jalan Buddha. Jangan tunda dan malas membina diri untuk merealisasikan kebenaran-kebenaran Dharma, jangan lagi mengabaikan dan menelantarkan Hakikat Kebuddhaan kita. Guru Agung Sakyamuni Buddha hanya mengajar dan menyadarkan kita saja, tapi pengembangan dan praktik semua berpulang kepada individual masing-masing. Berjuanglah dengan penuh semangat untuk meraih pencerahan dan Maha Bodhi! Selamat Merayakan Hari Trisuci Waisak: Tadyatha Om Gate Gate Para Gate Parasamgate Bodhi Svaha, Semoga semua makhluk berbahagia. Sadhu-sadhu-sadhu. Amituofo.
Note: Renungan ini telah dibacakan oleh YM Bhiksu Tadisa Paramita Mahasthavira saat acara Waisak Naional 2562/2018 menjelang Detik-detik Waisak Nasional di Candi Agung Borobudur.