Renungan Waisak Nasional 2561 BE/2017

Oleh: YM Bhiksu Tadisa Paramita Mahasthavira

Salam Sejahtera dan Selamat Hari Trisuci Waisak, Namo Buddhaya                         

Umat Buddha di seluruh dunia termasuk di Indonesia, Setiap tahunnya tentu merayakan Hari Trisuci Waisak, untuk memperingati Kelahiran, Kesempurnaan, dan Parinirvananya atau mangkatnya Hyang Buddha.

Bagaimanakah  seorang Pangeran Siddharta bisa menjadi seorang Buddha?, apakah karena dengan banyak belajarkah? Apakah dengan banyak bergurukah Ia mencapai penerangan sempurna? Apakah ilmu Kebuddhaannya Ia dapatkan dari luarkah? Apakah dengan banyak berbuat kebajikan saja kah Ia bisa jadi Buddha?   Perlu kita renungkan bagaimanakah Ia bisa menjadi Buddha?    Intinya tiada lain karena pelepasan agung. Sejak ia melihat orang tua, orang sakit, orang mati dan seorang petapa. Beliau bertekad melepaskan tatha, harta dan wanita. Utamanya Beliau mampu melepaskan ‘Ciri Sang Aku , ‘Ciri Kepribadian’, ‘Ciri Keusiaan’, dan ‘Ciri Bentuk Kehidupan’. Melepaskan ‘Khayalan Sang Aku’, melepaskan ‘Kepalsuan Sang Aku, melalui tahapan ‘Tiada Sang Aku untuk meraih “Kebenaran Aku’. Umumnya  ‘Kebenaran Aku’ disebut “Universalnya Aku”, sehingga memperoleh “Delapan Maha Keluasaan Aku”, mencapai kesempurnaan Samyak Sambuddha.

Adapun Tema Waisak BE 2561 tahun 2017 adalah “Tingkatkan Kesadaran Menjadi Kebijaksanaan”, dan sub Tema adalah “Kembangkan Hati Buddha dan Potensi Kebuddhaan.” Tentu kita bertanya: Apa yang disebut kesadaran? Kenapa kesadaran harus ditingkatkan menjadi kebijaksanaan? Dalam Renungan Waisak ini saya akan menjelaskan secara singkat saja.

Ia menyadari maka disebut kesadaran. Kesadaran itu menyadari apa? Ia  mengenal, misalnya: ada kesenangan, ada kesedihan, bukan kesenangan atau bukan kesedihan.  Ia menyadari  adanya fenomena adanya subjek dan objek. Setiap kesadaran tentu bergantung dan berkaitan dengan gudang kesadaran dan karma masa lampau, juga dibentuk oleh  kesadaran kini dan karma sekarang.

Kesadaran orang awam umumnya dipengaruhi oleh kekotoran batin dan terjerat oleh kemelekatan.Kecenderungan kesadaran itu bersifat diskriminatif atau bersifat memilah-milah. Ini meliputi “pengetahuan” dasar terhadap obyek sensori dan mental, dan pemilahan terhadap aspek dasarnya. Yang sebenarnya dikenali oleh ‘Sanna pencerapan’. Ia terdiri dari enam jenis sesuai dengan pintu masuk kesadaran, yaitu: melalui mata, telinga, hidung, lidah, tubuh atau pikiran.

Terdapat delapan rangkaian kesadaran yang belum suci dan satu kesadaran yang telah bebas dari noda. Total ada sembilan kesadaran, yaitu:

  1. Kesadaran visual, kegiatan bergantung pada mata;
  2. Kesadaran Pendengaran, tergantung pada telinga;
  3. Kesadaran penciuman, tergantung pada hidung;
  4. Kesadaran pengecapan, tergantung pada lidah;
  5. Kesadaran sentuhan, tergantung pada kulit atau tubuh;
  6. Kesadaran pusat indera, mano vijnana, kesadaran pikiran, pembentuk gagasan atau pemikiran.;
  7. Kesadaran pusat pikiran, muaranya kesadaran sang ego atau sang aku;
  8. Kesadaran gudang ideasi, citta vijnana/ atau alaya vijnana, gudang kesadaran yang merupakan sumber dari segenap perwujudan.
  9. Kesadaran bebas noda, Amala vijnana, kesadaran yang mampu melihat sebagaimana adanya, kedemikianan, tidak lagi bersifat dualitis dan tidak lagi membedakan.

Bentuk-bentuk kesadaran banyak beragam ada yang positf, negatif, baik maupun jahat, kesadaran yang diliputi ketamakan, kebencian, kebodohan, kesombongan/kemalasan, keraguan dan pandangan salah. Sesungguhnya kehidupan kita adalah serangkaian dari proses kesadaran. Tugas kita hanyalah mengawasi, memperhatikan, menyaksikan fenomena yang terjadi sebagaimana adanya, dengan sifat alamiahnya muncul, berkembang, dan lenyap.  Ibarat gelombang laut, hanya mengamati tanpa terhanyut dalam permainan pikiran dan perasaan. Bila hati dikendalikan dan memasuki kesunyataan, pada akhirnya tibalah kita pada samudera keheningan yang mendalam nan jernih yang memantulkan cahaya rembulan. Dengan kebijaksanaanlah  yang menguak kebenaran sesungguhnya.

Intinya kesadaran yang timbul lenyap adalah kesadaran relatif, kesadaran yang tidak timbul lenyap adalah kesadaran absolut. Kesadaran yang ternoda adalah pengetahuan, kesadaran murni itulah kebijaksanaan.

Di dalam Sutra Prajna disabdakan:
“Satu pemikiran tidak muncul maka kebijaksanaan Prajna muncul.”  Di dalam Avatamsaka Sutra, disabdakan: “Semua makhluk ada Benih Tathagata yang memiliki kebijaksanaan dan pahala Unggul, disebabkan khayalan, kemelekatan dan pikiran terbalik sehingga tidak menyadari dan tidak perolehnya. Apabila dapat melepaskan khayalan, kemelekatan dan pikiran terbalik, maka akan peroeleh semua kebijaksanaan, kebijaksanaan natural, kebijaksanaan tanpa guru, kebijaksanaan tanpa rintangan dengan sendirinya akan menampakkannya. “ Orang yang mencapai kebijaksanaan meraih ke dalam pengalaman kebebasan mutlak yang tidak tertandingi, bebas dari hawa nafsu, bersih dari sifat keserakahan, kebencian dan kebodohan. Batinnya bebas dari kemelekatan dan noda.  Kondisi ini memang dicapai oleh mereka yang bijaksana secara mendalam. Kadang sulit untuk dilihat, sulit dimengerti, tetapi sangat tenang, melampaui dualitas subjek dan objek, diluar jangkauan logika belaka, halus, licin dan sekali lagi semua diwujudkan oleh para bijaksana.

Orang awam hanya melihat ciri kepalsuan sebagai nama benda dan menyebut fenomena sebagai perwujudan ciri belaka saja. Sedangkan orang bijaksana melihat apapun, berkaitan adanya fenomena nama maupun rupa, ia memahami kepalsuan, kesunyataan dan jalan tengah.  Misalnya: Bunga, bukan bunga sekedar disebut bunga.

Orang yang beragama tidak mengerti ajaran agamanya adalah orang yang tahayul dalam beragama; Orang yang  tidak mengembangkan kesadaran beragama adalah orang yang munafik dalam beragama; Orang yang tidak mengembangkan kebijaksanaan dalam beragama adalah orang-orang yang fanatik dalam beragama.Di dalam Sutra Intan, Hyang Buddha bersabda: orang yang masih terjebak dan melekat kepada sang aku, kepribadian, keusiaan, dan bentuk kehidupan bukanlah seorang Bodhisattva. Buddha pun mengatakan Dharma yang  Aku ajarkan jangan dilekatkan dan jangan didebatkan. Buddha juga mengatakan bahwa: Buddhadharma saja harus dilepaskan apalagi yang bukan Buddhadharma.

Di dalam Sutra Pan Juo Sam Mei Cing, disabdakan: Buddha adalah hati saya, adalah hati saya melihat Buddha, adalah hati saya menjadi Buddha. Di dalam Abhidahrma Ta Ce Tu Lun, disabdakan: ”Satu hati ada dua pintu: satu pintu adalah pintu kebenaran demikian yang tidak timbul-lenyap; Satunya lagi adalah pintu timbul lenyap.”  Di dalam Sutra Kuan Wu Liang Sou Cing, disabdakan: Hati adalah Buddha, Hati Menjadi Buddha.”  Hati yang tidak timbul-lenyap adalah Hati Buddha, sedang hati menjadi Buddha artinya hati yang timbul-lenyap ini harus dilatih. Bila timbul lenyap sudah lenyap, itulah Hati Buddha sejatinya. Juga di dalam Sutra Avatamsaka, Disabdakan: Buddha, hati dan semua makhluk tidaklah berbeda.

Setiap makhluk mempunyai Hakikat Kebuddhaan, Hakikat Kebuddhaan ini adalah Buddha yang sebenarnya; Bila kita tidak mengembangkan hati Buddha, kemana lagi kita dapat memohon kepada Buddha?

Hati pada hakikatnya sunya (kosong), walau kosong tapi tanggap. Walau sunyi tapi punya daya luar biasa. Bagi yang lemah kondisi di luar mempengaruhi hatinya, sehingga timbul-lenyap, pasang, surut, bertambah-berkurang, kotor-bersih dipermainkan dualitas kondisi. Setiap kondisi memunculkan ‘corak hati, yaitu: timbul, melekat berubah dan lenyap. Hati memunculkan kondisi hati adaah ‘Khayal’; Hati terjerat dengan kondisi hati adalah ‘Kemelekatan’; Hati tertuju untuk kondisi hati itulah ‘Terbalik’. Kenapa tamu ditukar jadi majikan? Kenapa hati kondisi mempermainkan pemilik hati? Para bijaksanawan , mereka gunakan hati secara bijak dan bajik, walau mereka berhadapan dengan berbagai kondisi, hati muncul tapi tidak khayal, tidak melekat dan hati tidak terbalik, yaitu:  menghindari kondisi hati menjadi pemilik hati. Gunakan hati untuk kebajikan tanpa melekat kepada subjek dan objek kebajikan itu, karena mereka menyadari tiga  hati, waktu dulu, sekarang dan akan datang tidak diperoleh, juga hati tidak di dalam, tidak di luar juga tidak di antaranya. Mereka hanya berjuang menyatukan semua potensi hati, melebur menjadi sunya, dalam kesunyataan tiada derita, tiada lahir, tiada kebodohan, tiada kebijaksanaan dan tiada yang diperoleh mencapai pencerahan sempurna non dualitas.

Apakah khayalan aku itu? Tiada lain panca skandha kita, yaitu: batin kita yang selalu timbul lenyap. Di dalam Sutra San Mei Tu Cing di sabdakan: hati manusia timbul lenyap pasang surut sebanyak delapan Milyar empat ribu kali dalam satu hari satu malam. Sutra hati juga bersabda: Apabila panca skandha sudah sunya maka semua derita juga lenyap. Lalu apakah yang di sebut kepalsuan sang Aku? Tiada lain adalah tubuh ilusi kita yang terdiri empat unsur, padat, cair, panas dan udara, gabungan yang sangat rapuh, sumber kelapukan, menjadi sarang penyakit dan mengeluarkan kotoran setiap saat melalui sembilang lobang. Lalu apa yang disebut kebenaran aku? Di dalam Abhidharma Ta Ce Tu Lun disebutkan satu hati yang tidak timbul lenyap, disebut Hati kedemikianan yang disebut ‘Kebenaran Aku.’

Peringatan Hari Trisuci Waisak bukan sekedar di adakan Ritual Waisak untuk berdoa dan memohon saja, melainkan kita semua harus menyadari Hakikat Kebuddhaan dan menyelaminya, Berjuang untuk Kembangkan Hati Buddha dan potensi Kebuddhaan dalam diri kita masing-masing. Jangan sia-siakan kelahiran manusia untuk menapak jalan Buddha, jangan malas membina diri untuk merealisasikan kebenaran-kebenaran Dharma, jangan mengabaikan dan menelantarkan Hakikat Kebuddhaan kita.  Guru Agung Sakyamuni Buddha hanya mengajar dan menyadarkan kita saja, tapi pengembangan dan praktik semua berpulang kepada individual masing-masing. Berjuanglah dengan penuh semangat  untuk meraih pencerahan dan Maha Bodhi! Selamat Merayakan Hari Trisuci Waisak:  Tadyatha Om Gate Gate Para Gate Parasamgate Bodhi Svaha, Semoga semua makhluk berbahagia. Sadhu-sadhu-sadhu. Amituofo.

(Note: Renungan ini telah dibacakan oleh YM Bhiksu Tadisa Paramita Mahasthavira saat acara Waisak Naional 2561/2017 menjelang Detik-detik Waisak di Candi Agung Borobudur.)