Pesan Waisak BE 2556/2012 – Spiritualitas Waisak Mencerminkan Manusia Berpotensi Jadi Buddha
(Oleh YM Bhikshu Tadisa Paramita Mahasthavira; Nayaka Sangha Mahayana Buddhis Internasional)
Namo Bhagavate Sakyamunaye Tathagataya Arhate Samyaksambuddhaya.
Tiga Peristiwa agung, yaitu: Kelahiran, Kesempurnaan dan Maha ParinirvanaNya Hyang Buddha yang terjadi di saat Purnama Siddhi di bulan Waisak, adalah mengajarkan kita bahwa umat manusia dapat membebaskan diri dari penjara kehidupan dan siklus kelahiran-kematian di arus lingkaran tumimbal lahir. Ini sudah dibuktikan oleh Pertapa Siddharta yang mencapai Kebuddhaan dengan usahanya sendiri. Lalu dalam memperingati Hari Trisuci Waisak apakah kita sudah mengembangkan kesadaran luhur untuk mengikuti suri tauladan dan jejak mulia dari Guru Buddha? Tentu kehadiran Buddha di dunia ini, bukan sekedar untuk dikenang, dihormati atau dipuja dan pujikan oleh umat manusia di muka bumi ini, melainkan mengharapkan semua makhluk dapat menggugu dan meniru kehidupan luhur dan praktik Dharma yang sudah dilakukan oleh Guru Buddha. Untuk itu, apakah kita sudah memiliki visi, misi, tekad dan target yang berpedoman kepada Buddhadharma untuk mencapai cita-cita luhur ke atas mencapai Kebuddhaan dan ke bawah menolong semua makhluk?
Setiap tahun kita sebagai siswa atau umat Buddha secara individual atau kolektif ikut ambil bagian untuk memperingati Hari Trisuci Waisak. Seperti biasanya, setiap event Waisak kita membuat acara spesial dan upacara khusus Waisaka Puja. Pertanyaannya, apakah setiap perayaan Waisak yang kita rayakan ada hikmahnya dan bermanfaat? Apakah kualitas Bodhicitta kita masih begitu saja tidak ada peningkatan atau malah meredup? Bagaimana pula kemajuan spiritualitas kita? Apakah kita sudah berbakti dan membalas budi besar Guru Agung Sakyamuni Buddha, dengan mengamalkan ajarannya dalam kontek kehidupan sehari-hari secara konsisten dalam berjuang meraih pencerahan dan pembebasan mutlak? Apakah kita sebagai siswa atau umat Buddha sudah berperan aktif untuk membabarkan atau menyebarkan Buddhadharma? Berapa banyakkah kebajikan murni yang sudah kita lakukan untuk membimbing dan menolong semua makhluk? Setiap moment Waisak kiranya sangat tepat untuk kita refleksi, introspeksi dan mengevaluasikan sikap perilaku kita sepanjang tahun, guna melenyapkan tiga racun ganas, yaitu: keserakahan, kebencian dan kebodohan dan menyempurnakan segala kebajikan.
Bhagavan Buddha bersabda: “Semua penderitaan bermula dari khayalan, prasangka dan keras kepala yang timbul dari khayalan. Penderitaan akan mengikuti sebagai hasilnya”. “Saat manusia mencari kebahagiaan dari nafsu eksternalnya, kesenangan ini akan menjadi sumber derita”. Kita adalah apa yang kita pikirkan. Bagaimana jadinya kita, semua timbul dari pikiran kita. Kita menciptakan dunia ini berdasarkan persepsi kita sendiri. Kita terjerat dan terkurung oleh dunia materi, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran dan kesadaran, sehingga saat kita bicara atau bertindak dengan pikiran yang tidak benar. Akibatnya kekhawatiran dan penderitaan akan mengikuti kita, seperti halnya roda mengikuti sapi yang menarik pedati. Pikiran kita mempertajam pandangan kita tentang dunia. Saat kita senang, kita melihat bunga tersenyum dan awan tertawa gembira. Tetapi saat kita sedih, kita mendengar angin terisak dan laut menangis nyaring.
Hanya pikiran kita sendiri yang dapat mengubah pandangan terhadap dunia luar. Kalau kita memeluk kebencian, kita mungkin akan lebih membenci. Memeluk kasih akan membuat kita lebih mengasihi. Memeluk kegembiraan akan secara otomatis membawa kita hidup yang penuh kegembiraan. Intensitas penderitaan itu secara proposional tergantung pada seberapa dekat kita berhubungan dengan benda-benda dan penggunaan perasaan kita? Jika kita tidak melekat kepada benda-benda, dan perasaan kita tidak sensitif dan cengeng maka kita tidak mengalami penderitaan. Karenanya bisa dikatakan bahwa penderitaan itu tidak memiliki tempat apabila kita tidak mementingkan diri sendiri. Keserakahan, kebencian, khayalan dan nafsu adalah badai yang paling buruk yang selalu dikobarkan umat manusia, juga penyebab paling besar dari rasa sakit dan penderitaan yang di alami manusia. Tugas yang paling penting dalam menjaga pikiran kita, ialah membasmi keempat deraan itu sampai ke akarnya.
Hidup itu berharga. Bisa hidup sehat, normal dan selamat adalah merupakan anugerah yang tiada taranya. Realitanya kelahiran mengarah kepada kematian. Adanya sebab tentu mengarah kepada akibat. Hukum universal ini tidaklah pernah berubah atau hilang. Kita harus menerima konsekuensi atas semua sebab yang telah kita perbuat. Kita telah dilahirkan di dunia ini dan pada akhirnya harus menghadapi kematian. Oleh sebab itu, kita harus melindungi diri, menggunakan bakat dan kesempatan kita untuk berbuat baik. Orang bijak telah mengetahui kebenaran ini dan mempraktikannya dengan sungguh-sungguh tanpa takut menghadapi kematian. Orang awam biasanya hanya mengembangkan secara keliru dan berlebihan terhadap kesadaran diri yang khayal sehingga timbullah egoisme “Sang Aku”, akibatnya selalu haus untuk mengejar ketenaran dan keberuntungan dalam hidup mereka. Hati mereka hanya berkhayal dan bermimpi kapan ‘AKU’ bisa kaya, dan di muliakan oleh banyak orang? sehingga rakus mengejar dan mencari uang yang cuma bisa membeli lebih banyak nafsu, akibatnya sepanjang hidup diperbudak oleh uang dan nafsu untuk memiliki kekayaan materi yang tidak pernah terpuaskan.
Hasil yang kita peroleh dari mendapatkan barang-barang duniawi tidak akan memuaskan keserakahan kita, hanya terlihat kesenangan sesaat. Segera setelah itu kesenangan itu berlalu berganti memunculkan penderitaan lebih lanjut. Kenapa bisa demikan? Karena kita akan selalu mencari yang lebih baik dan takut kehilangan apa yang sudah diperoleh. Akhirnya mereka memutarbalikkan arti dan tujuan hidup, dan menyia-nyiakan kesempatan hidup atau merusak kehidupan yang berkualitas. Buddha Bersabda: “Mengejar kesenangan duniawi adalah penyebab kesengsaraan manusia”. Para bijaksana hanya berjuang mencapai Kebuddhaan dan peduli kepada keselamatan dunia beserta isinya, tidak mau menukar hidupnya dengan ketenaran dan keberuntungan yang hanya bersifat maya dan sekejab saja.
Kita memiliki hati, dan hati kita adalah tuan dari semua tindakan dan membimbing kita ke mana kita pergi. Bila hati benar tindakan kita ikut benar, hati sesat tindakan kita jahat, hati sunya derita juga lenyap, hati suci surga disekeliling kita. Perbuatan salah yang di dorong oleh hati kita adalah hal yang paling menyakitkan. Tindakan mulia oleh cetusan hati adalah hal yang paling menguntungkan. Semua manifestasi, entah baik atau jahat, semuanya berasal dari hati kita. Kita sendiri yang akan yang akan memperoleh keberuntungan atau kesakitan dari manifestasi hati kita masing-masing.
Orang senang dan bangga bila menyatakan tentang “AKU” dan mengharapkan semua bakal jadi “MILIKKU”. Tapi sebenarnya kita sendiri tidak dapat mengontrol kelahiran, kesehatan, penyakit, dan kematian kita. Juga kita tidak bisa mendisiplinkan indera, nafsu, kemarahan, ketakutan, kebencian dan keserakahan kita. Lalu bagaimana kita dapat menyebut si “AKU” yang sebenarnya tidak dapat mengontrol dirinya sendiri sebagai “MILIKKU?” Jangan berpegang pada konsep “AKU” dan “MILIKKU” dalam setiap hubungan baik fisik maupun mental. Saat kita tak lagi memiliki konsep “AKU” dan “MILIKKU” dalam diri kita, kita tidak akan merasakan sakit dan menderita yang diciptakan oleh ego dan kebodohan sendiri. Orang yang berperilaku seperti ini benar-benar seorang yang sudah sadar dan mau memperbaiki mentalnya. Orang bijak mendisplinkan pikiran mereka, dan praktik utamanya ialah tidak terjebak dan melekat kepada konsep “AKU” dan “MILIKKU” sehingga tidak bodoh dan menjadi egois. Secara bertahap mungkin kita dapat mendisiplinkan si “AKU”. Perlu diketahui, bahwa manusia mempunyai dua sisi sang “AKU” yang berbeda. Sisi pertama adalah “AKU yang dilihat orang lain, sedangkan sisi kedua adalah “AKU yang berada dalam jiwa kita sendiri. Saat kita sendirian, adalah paling baik bagi “AKU” dalam jiwa kita muncul. Jangan takut sendirian, ini adalah waktu yang tepat untuk berkomunikasi dengan diri sendiri dan waktu yang tepat untuk memurnikan pikiran, melepas “AKU” yang khayal dan gunakan “AKU” yang Sunya.
Keserakahan adalah api yang bisa membakar tubuh kita, kebencian adalah iblis yang bisa melukai pikiran kita, dan khayalan dapat menimbulkan penderitaan bagi mental kita karena ketidak-seimbangan dari lima kumpulan eksistensi diri kita. Satu-satunya jalan untuk mengakhiri penderitaan dan mencapai kegembiraan ialah memadamkan pengertian “AKU” dan “MILIKKU”. Tidak membiarkan adanya pemikiran yang bersifat ilusi atau lamunan, adalah satu-satunya jalan untuk mencapai kegembiraan yang tidak berkondisi untuk memperoleh ketenangan dan merawat kesehatan jasmani dan rohani.
Perlu di sadari, bahwa “Manusia memiliki jiwa Buddha, berpotensi jadi Buddha dan kelak bakal jadi Buddha”. Bhagavan Buddha bersabda: “Kegembiraan adalah sumber dari segala pencerahan yang membuka kebijaksanaan”. Makna Buddha berarti “Maha Sadar” atau “Maha Tahu”. Sadar akan kebenaran universal dan tahu membuka kunci kebijaksanaan. Namun sebelum kita menemukan kebijaksanaan, pertama kali kita harus menemukan kegembiraan dan sebelum menemukan kegembiraan, maka kita harus menemukan diri kita sendiri. Dalam rangka mencapai tingkat pencerahan tertinggi kita harus terlebih dahulu mengerti diri kita sendiri, mengendalikan diri, mengembangkan potensi diri dan juga hubungan kita dengan ruang dan waktu. Jalur perbaikan spiritual ditujukan untuk menuju kebijaksanaan mutlak. Kita akan memahami bahwa ada dua bentuk kebenaran mutlak, bentuk yang pertama ialah mencapai pencerahan di tengah-tengah penderitaan; sedangkan bentuk yang kedua ialah menghargai arti hidup dalam kegembiraan.
Di saat Bulan Suci Waisak, seyogyanya kita merenungkan kembali makna hidup dan tujuan hidup manusia yang singkat di muka bumi ini, apa yang kita cari? dan apa yang sudah kita lakukan untuk keselamatan diri kita dan bagaimana pula kebajikan menolong semua makhluk? Bila kita masih belum lakukan, sadarilah dan bertindaklah segera. Bila sudah dilakukan, tingkatkan terus kesadaran dan tekad luhur tersebut. Ingat! Pengembangan Bodhicitta dan kualitas kebajikan jangan sampai redup lagi, berjuanglah terus dengan penuh semangat dalam kegembiraan untuk mencapai Kebuddhaan, akhir kata “Selamat Merayakan Hari Raya Waisak” Semoga Semua Makhluk Berbahagia, Svaha.