Sutra Diam, Sutra Tanpa Kata
Bodhidharma – Patriat ke 28 – Buddhisme Zen India yang membawa Zen ke Tiongkok.
Tuntunan spiritual pada tahap tinggi – seringkali tidak lagi disampaikan melalui kata-kata. Siswa yang tingkat kesadaran-nya telah sampai – akan mengerti. Yang belum – akan melewatinya begitu saja. Ketika di Bukit Grakutha – sang Buddha Gautama memegang sekuntum bunga tanpa kata dan tersenyum – Mahakasyapa mengerti. Dan ia-pun menjadi Pewaris Ajaran Inti sang Buddha yang pertama – menjadi Patriat Pertama Buddhisme Zen India.
Sutra Diam – Sutra Tanpa Kata – ini saya adopsi, sadur dan terjemahkan secara bebas dari buku The First Principle : Talks on Zen – sebuah buku mahakarya dari Master Zen India – Osho. Terimakasih pada Samanera Dhammasiri – teman yang telah memberikan buku ini – membawanya dari jauh – dari tempat ia sedang memperdalam Buddhisme – di Srilanka.
Raja Bijak
Alkisah – Patriat ke 27 Buddhisme Zen India – Hanyatara diundang oleh seorang Raja di India Selatan. Baginda telah mendengar nama harumHanyatara sebagai Pewaris – Patriat ke 27 Ajaran Inti Buddhisme dari para pembantunya. Kini Baginda mengundang Hanyatara untuk datang ke Istana. Untuk apa? Untuk membacakan beberapa sutra dari sang Buddha Gautama kepada Baginda. Raja telah tak percaya lagi pada para Intelektual – para Profesor – yang hanya pandai mengolah teori dan nalar. Demikian pula Raja tak lagi percaya pada para Rohaniwan yang hanya pandai berkotbah. Ia ingin sang Master – sang Patriat – untuk datang dan membacakan sutra. Pasti akan lain – Baginda berharap akan memperoleh pencerahan spiritual daripada-nya.
Hanyatara – pun datang menghadap. Ia membawa seorang pembantu- Asistennya – yang biasa melayani keperluannya sehari-hari. Seorang biasa. Seorang yang sangat biasa. Selesai menyapa sang Baginda – ia pun menyuruh Asisten untuk mulai membaca beberapa bagian dari sutra sangBuddha Gautama. Sedang ia sendiri memejamkan mata – bernapas teratur sangat lembut bagaikan seorang bayi. Sangat tenang.
Baginda pun terhenyak. Beliau tak habis pikir mengapa bukan Hanyatarasendiri yang membaca sutra sang Buddha. Tapi demi sopan santun – Baginda pun mencoba mendengarkan sutra yang dibacakan oleh AsistenHanyatara. Aduh – pikir Baginda – Asisten ini hanya orang biasa yang tampaknya tak tahu bagaimana cara membaca sebuah sutra. Tata Bahasa-nya salah, ucapannya tak meyakinkan.
Demi sopan santun – Raja tetap berdiam diri – hingga pembacaan sutra oleh Asisten sang Master selesai. Kemudian dengan tetap sopan Baginda mendekati Hanyatara dan bertanya: ‘Guru-Ji, mengapa bukan anda sendiri yang membaca sutra sang Buddha?’ Jawaban Hanyatara ternyata sangat mengejutkan Baginda: ‘Aku tidak membaca sutra? Lalu apa yang kulakukan sedari tadi? Apakah Baginda tak melihatnya?’ Raja pun jadi semakin bingung – tetapi dengan rendah hati ia pun bertanya: ‘Maaf – Guru Ji – mungkin ada yang terlewatkan. Anda membaca sutra?’ – tanya sang Baginda.
Dan Hanyatara pun menjawab: ‘Ya. Aku berdiam diri. Bernapas masuk – keluar – masuk – keluar. Aku menyatu dengan hembusan dan tarikan napas-ku dan dengan demikian Kesadaran dapat terpisah dari Pikiran dan Perasaan. Aku membacakan pada Baginda tentang Kesadaran Total – Kesadaran yang mengambil jarak dari Perasaan dan Pikiran. Itulah sutra yang kubacakan untuk Baginda. Aku tidak membaca sutra dengan kata-kata. Tiap kali napas menghembus masuk – aku melakukannya dengan kesadaran total. Demikian pula ketika napas menghembus keluar. Itulah tujuan dari mendengarkan sutra – Baginda. Menjadi sadar total – sadar total terus menerus. Bukankah demikian – Baginda? Aku telah membacakan sutra pada Baginda. Hanya memang – aku tidak membacanya dengan kata-kata. Sutra tidak harus dibaca dengan kata-kata – Baginda. Demikianlah ada-nya’.
Baginda bukan lagi terhenyak – kali ini ia terkejut dengan jawabanHanyatara. Tapi bagaimana-pun Baginda merasakan kebenaran dari apa yang Hanyatara katakan. ‘Ya – memang ia benar’ pikir Baginda. ‘Napas. Napas adalah inti kehidupan. Dengan menyadari napas secara total – kita menyadari kehidupan. Ketika kita mampu menyatu total dengan napas – Kesadaran akan terpisah dari Pikiran dan Perasaan. Dan Hanyatara telah mengajarkannya padaku dalam diam. Benar – ia tak membaca Sutra dengan kata-kata – ia membacakannya kepadaku dengan caranya sendiri. Inilah Sutra Diam. Sutra Tanpa Kata-Kata’ – dan sang Baginda pun kini menyadarinya.
Baginda pun kemudian mengucapkan terimakasih kepada Hanyatara dan kepadanya diberikannya sebuah permata besar. Hanyatara tak membutuhkan permata – tetapi demi sopan santun – ia pun menerima pemberian Baginda.
Kini Baginda memperkenalkan Hanyatara kepada ke tiga putranya – beliau ingin Hanyatara memberikan berkat kepada ke tiga putranya itu.
Putra Pertama maju ke depan. Ia berusia sekitar 15 tahun. TetapiHanyatara tak memberikan berkat – Hanyatara sesungguhnya hanya ingin melihat bagaimana kedalaman spiritual dari ke tiga Putra Baginda ini.
Ketika Putra Pertama mendekat – Hanyatara menunjukkan permata besar yang diberikan sang Baginda kepadanya – kepada anak muda itu. Tanpa berkata apa-apa, Hanyatara memandang tajam – menanti apa yang akan dikatakan Putra Pertama.
Melihat permata besar di tangan Hanyatara – Putra Pertama kemudian berkata: ‘Oh. Permata yang indah. Jenis permata air. Sangat bening. Sungguh indah dan sangat langka. Bukan batu permata sembarangan. Darimana Guru-Ji memperolehnya?’.
Hanyatara hanya tersenyum – tak memberikan jawaban. Ia berpikir: ‘Ya – anak ini benar. Memang permata yang indah dan langka. Belum pernah kulihat yang seperti ini’.
Kemudian Putra ke Dua dipanggil mendekat. Putra ke Dua ini berusia sekitar 10 tahun. Ketika melihat permata itu di tangan Hanyatara – ia pun berkata :
‘Permata yang bagus. Yang terbaik. Pasti itu milik Ayah-ku karena di Kerajaan ini tidak mungkin ada yang memiliki permata semacam itu selain Ayah. Guru-Ji, anda tidak dapat memilikinya. Tidak bisa – oleh karena untuk menjaga permata semacam itu – Guru-Ji harus selalu dikawal tentara yang cukup banyak – sedang anda Guru-Ji tak punya tentara. Banyak yang ingin memilikinya. Berbahaya bagi anda – permata semacam itu – Guru-Ji!’
Hanyatara terkesiap. ‘Sungguh satu jawaban yang sangat cerdas’ – pikirnya.
Kini giliran Putra ke Tiga. Yang terkecil. Usianya baru 7 tahun. Anak kecil itu melihat permata besar di tangan Hanyatara dan kemudian tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak, terpingkal-pingkal’.
Kata anak kecil itu : ‘Guru-Ji. Apa anda ini ingin membodohiku? Tidak bisa. Permata Sejati tidak berada di luar. Anda telah memiliki permata itu di dalam diri anda. Aku dapat dengan jelas melihatnya. Anda samasekali tidak membutuhkan permata semacam yang ada di tangan anda sekarang. Buang permata itu – lempar saja – Guru-Ji’.
Hanyatara tertegun – dan kemudian tersenyum. ‘Ya. Ya – tak salah lagi – anak inilah! Dialah orang nya. Dialah yang akan menggantikan diriku’.Hanyatara pun memeluknya.
Putra ke Tiga ini bernama Bodhitara. Hanyatara kemudian mengubah namanya menjadi Bodhidharma. Dan seperti kita semua telah ketahui – memang Bodhidharma – lah yang kemudian menggantikan Hanyatara – dan menjadi Patriat Zen India yang ke 28.
Pelajaran tentang Sutra Diam – Sutra Tanpa Kata-Kata – seperti yang pernah pada suatu kali diajarkan oleh Hanyatara kepada ayahnya tak pernah dilupakannya.
Bodhidharma kemudian membawa Ajaran Inti sang Buddha ini ke Tiongkok dan mendirikan sebuah Biara di Lo Yang yang kemudian dikenal sebagai Biara Shaolin. Ajaran Inti Buddhisme yang dibawa Bodhidharmaini kemudian menyerap inti yang terbaik dari Taoisme dan Konfusianisme – dan pada saat sekarang ini Ajaran ini dikenal sebagai Buddhisme Zen.
Zen – seperti yang diajarkan oleh Bodhidharma memang tidak terlalu ingin bertumpu pada kata-kata. Ia diajarkan – diberikan – dengan cara transmisi langsung – dari Hati ke Hati : I-Shin-Den-Shin demikian istilahnya dalam Bahasa Jepang. Dan Zen sendiri – demikian selalu Bodhidharma katakan: Tak dapat disampaikan lewat buku.Tak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Hanya dapat dialami. Itulah Zen!