Ciri dan Gerak Pikiran Manusia Serta Bagaimana Kita Menanggapinya

Oleh: Reza A.A Wattimena

egitu banyak orang mengalami penderitaan dalam hidupnya. Hampir semua bentuk penderitaan datang dari pikiran, baik dalam bentuk kecemasan akan masa depan, maupun penyesalan atas masa lalu. Penderitaan nyata sehari-hari bisa dilampaui dengan baik, jika orang mampu berpikir jernih, jauh dari kecemasan dan penyesalan yang kerap mencengkram pikirannya. Sebaliknya, hal kecil akan menjadi sulit dan rumit, ketika pikiran orang dipenuhi dengan kecemasan dan penyesalan.

Orang semacam itu akan sulit berfungsi di masyarakat. Mereka tidak bisa menolong diri mereka sendiri. Akibatnya, mereka pun cenderung menjadi penghambat bagi orang lain, dan bahkan bisa membuat orang lain menderita. Beban pikiran yang berlebihan membuat orang tak mampu menyadari, betapa indah dan sederhana hidup manusia itu sebenarnya.

Pikiran Manusia
Kunci untuk mencegah hal ini adalah dengan memahami hakekat dan gerak pikiran manusia. Setiap bentuk konsep adalah hasil dari pikiran manusia. Dengan konsep itu, manusia lalu menanggapi berbagai keadaan di luar dirinya. Dalam hal ini, emosi dan perasaan juga merupakan hasil dari konsep yang berakar pada pikiran manusia.

Apa ciri dari pikiran manusia? Ada tiga ciri mendasar, yakni tidak nyata, sementara dan rapuh. Pikiran itu bukanlah kenyataan. Ia adalah tanggapan atas kenyataan. Pikiran dibangun di atas abstraksi konseptual atas kenyataan.

Pikiran juga sementara. Ia datang, ia pergi, dan ia berubah. Cuaca berubah, maka pikiran juga berubah. Ketika lapar, pikiran melemah. Dan sebaliknya, ketika perut kenyang, pikiran bekerja lebih maksimal.

Ini menegaskan ciri selanjutnya, bahwa pikiran itu rapuh. Apa yang kita pikirkan sama sekali belum tentu benar. Bahkan, keyakinan kita atas pikiran kita cenderung mengarahkan kita pada kesalahan dan penderitaan, baik penderitaan diri sendiri maupun orang lain. Pikiran kita begitu amat mudah berubah, dan ini jelas menandakan kerapuhan dari semua bentuk pikiran kita.

Ekspresi, Represi dan Observasi
Namun, sayangnya, banyak orang mengira, bahwa pikiran mereka adalah kenyataan. Mereka mengira, bahwa pikiran mereka adalah kebenaran. Emosi dan segala bentuk perasaan, yang merupakan buah dari pikiran, juga dianggap sebagai realita. Mereka mengalami kesulitan untuk menjaga jarak dari pikiran mereka sendiri.

Pada titik ini, biasanya orang melihat dua kemungkinan, yakni ekspresi dan represi. Ekspresi berarti mengeluarkan semua bentuk pikiran tersebut dalam bentuk tindakan ataupun kata-kata. Biasanya, orang lain menjadi obyek dari tindakan ini. Beberapa diantaranya merasa terhina, sehingga membalas, dan membentuk semacam lingkaran kekerasan yang lebih besar.

Represi berarti menekan dan menelan semua emosi dan pikiran yang muncul. Pada pikiran dan emosi yang ekstrem, ini menciptakan rasa sakit yang luar biasa. Dalam jangka panjang, ini bisa menciptakan penyakit fisik yang berbahaya, seperti misalnya kanker atau sakit jantung. Represi emosi dan pikiran jelas bukan merupakan jalan yang tepat.

Ekspresi menciptakan masalah sosial. Represi menciptakan masalah personal. Banyak orang terjebak di antara keduanya. Mereka tidak dapat keluar dari pikiran dan emosi yang mereka anggap nyata.

Namun, ada jalan keluar dari kebuntuan ini, yakni observasi. Observasi berarti tindak mengamati apa yang terjadi di dalam pikiran kita secara seksama. Kita mengamati muncul dan bergantinya pikiran dari satu obyek ke obyek lainnya. Kita bisa melihat, bagaimana emosi, perasaan dan pikiran terbentuk, dan kemudian berlalu.
Dengan cara ini, kita menciptakan jarak dengan segala hal yang muncul di kepala kita. Kita tidak lagi percaya, bahwa itu semua adalah kebenaran. Hasilnya, semua emosi, pikiran dan perasaan tidak akan mempengaruhi kita. Kita mengalami kebebasan yang sesungguhnya.

Apa yang Sedang Mengamati?

Ketika kita mengamati semua bentuk emosi, perasaan dan pikiran yang muncul, kita lalu bertanya, apa ini yang sedang mengamati? Siapa ini yang sedang mengamati? Yang jelas, kita bukanlah pikiran kita. Kita juga bukanlah emosi dan perasaan kita, karena semua itu datang dan pergi, serta amat rapuh.

Jika kita bukan pikiran, perasaan maupun emosi kita, lalu apa atau siapakah kita? Siapa ini yang sedang mengamati? Kita bisa menjawab dengan jawaban-jawaban lama, seperti jiwa atau roh. Namun, jiwa dan roh adalah konsep-konsep yang merupakan hasil dari pikiran kita, maka ia juga tidak nyata, sementara dan amat rapuh.

Pertanyaan ini membuka ruang baru di dalam hidup kita. Jika dilakukan secara berkala, yakni bertanya “Siapa ini yang sedang mengamati?”, kita akan menyadari kehadiran sang pengamat ini. Ia mengamati setiap detik pikiran, emosi dan perasaan yang muncul dan pergi di dalam diri kita. Kesadaran ini membuat kita lebih kuat menghadapi segala hal yang mungkin terjadi di dalam hidup. Dalam jangka panjang, tidak ada emosi, pikiran ataupun perasaan yang bisa mempengaruhi diri kita lagi.

Bukankah ini yang disebut kedamaian sejati?