Zen, Antara Kekosongan dan Kebebasan

Tafsiran atas Filsafat Zen Buddhisme
Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya

Prinsip utama Zen adalah tanpa usaha.1 Tidak ada kesulitan. Tidak ada ambisi. Tidak ada tujuan yang ingin dicapai. Semua itu harus dilepaskan. Tidak ada suka dan tidak suka. Tidak ada pilihan. Ketika orang berhenti membuat pilihan suka atau tidak suka, maka semuanya akan menjadi jelas. Jarak antara penderitaan dan kedamaian sejati hanyalah sehelai rambut. Kebenaran yang sejati lebih dari sekedar penilaian baik dan buruk. Justru penilaian baik dan buruk yang ada di kepala kita menjauhkan kita dari kebenaran yang sesungguhnya. Orang yang hidupnya sibuk dengan penilaian baik-buruk ataupun benar-salah adalah orang yang menderita sakit pikiran.

Orang memang sulit untuk berhenti berpikir. Orang sulit untuk tidak melakukan apa-apa. Banyak orang berpikir, bahwa Zen adalah soal mengheningkan pikiran. Akan tetapi, di dalam proses, mereka justru sibuk berpikir untuk mengheningkan pikiran. Orang yang merasa berhasil menghentikan pikiran justru akhirnya hidup dalam ketidakpedulian. Inilah salah satu kecenderungan umum di kalangan para praktisi Zen. Mereka terjebak di dalam kekosongan. Untuk mengatasi ini, para Zen master mencoba mengajak orang untuk melihat hakekat sesungguhnya dari segala sesuatu di hidup ini. Di balik segala yang baik terdapat kejahatan, dan dibalik segala yang jahat terdapat kebaikan.

Segala bentuk penilaian selalu mengandung kontradiksi di dalamnya. Ketika penilaian baik dibuat, maka sifat buruk selalu terkandung di dalamnya. Ketika orang melihat sesuatu sebagai cantik, maka penilaian tentang kejelekan selalu tersembunyi di baliknya. Perubahan dan permanensi selalu jalan berbarengan, karena keduanya merupakan konsep-konsep yang saling membutuhkan. Kemudahan dan kesulitan saling mengandaikan satu sama lain. Setiap ukuran juga saling mengandaikan dua kutub yang berlawanan. Kedua kutub ini saling membutuhkan satu sama lain. Tinggi mengandaikan rendah, dan sebelum selalu mengandaikan sesudah.

Di dalam Zen, dan juga di dalam Taoisme, orang yang memperjuangkan kebaikan dalam hidupnya, dan kemudian menolak kejahatan, itu seperti orang yang hanya membakar daging di satu sisi saja, tetapi melupakan sisi lainnya. Hidupnya berat sebelah. Ketidakseimbangan semacam ini akan menghasilkan tegangan yang bermuara pada penderitaan hidup. Di balik ide ini, ada kesederhanaan berpikir yang luar biasa mendalam. Manusia modern kerap berpikir terlalu rumit, sehingga sulit untuk memahami kesederhanaan dan ke dalaman ide ini. Mereka ingin memperbaiki segala sesuatu, dan dengan itu, mereka justru merusak apa yang sebelumnya sudah baik. Segala bentuk usaha dilakukan, supaya hidupnya menjadi lebih bahagia dan bermakna. Mereka takut akan ketiadaan dan kekosongan. Padahal, kedua hal itulah yang menjadi sumber dari kedamaian sejati. Ketakutan akan ketiadaan dan kekosongan menciptakan penderitaan batin yang luar biasa. Banyak orang menderita penyakit kejiwaan dan melakukan bunuh diri, karena ketakutan ini. Akar dari semua ini adalah pola berpikir dualistik, yakni membagi dunia ke dalam dua kelompok yang dianggap saling terpisah dan bertentangan satu sama lain.

Zen adalah pembebasan dari pola berpikir dualistik. Zen tidak melihat baik terpisah dari buruk, atau benar terpisah dari salah. Semuanya adalah satu, tetapi juga bukan hanya satu, karena satu hanyalah sekedar nama. Baik buruk, benar salah, adalah konsep-konsep hasil ciptaan pikiran kita, yang sesungguhnya tak punya jangkar pada kenyataan. Kehidupan yang sesungguhnya menerima segalanya, dan kemudian melepas segalanya. Ketika orang bisa menerima dan melepas segalanya, tidak ada lagi ketegangan dan penderitaan batin yang bercokol di dalam batinnya.

Zen mengajak orang untuk merasakan kehidupan apa adanya, tanpa konsep dan tanpa penilaian. Tidak ada yang perlu diraih di dalam hidup ini. Tidak ada yang perlu diperjuangkan. Tidak ada alasan untuk menjadi fanatik dalam hal apapun. Setiap keberhasilan dalam hidup selalu mengandaikan bentuk kegagalan tertentu. Artinya, orang lalu berharap untuk terus berhasil dalam hidupnya, dan itu tidaklah mungkin. Ketika orang sudah begitu terbiasa oleh keberhasilan, namun akhirnya dihantam oleh kegagalan, maka penderitaan pun akan muncul. Orang makan enak hanya untuk merasa lapar lagi nantinya.

Di dalam hidup, sesungguhnya, perubahan dan perkembangan itu hanya masalah sudut pandang. Tidak ada perubahan dan perkembangan yang berdiri sendiri secara absolut, lepas dari pengamatan manusia. Apa yang kita anggap lebih baik berdiri tergantung dengan keadaan kita sebelumnya. Ketika keadaan baru yang dianggap lebih baik tersebut menjadi keadaan normal, maka kita pun mulai kembali melihat kekurangannya, dan kemudian merasa, bahwa keadaan itu juga tidak baik, dan perlu diubah. Kita pun lalu berusaha untuk membuat perubahan lagi, yang nantinya juga akan memiliki ciri yang sama, yakni sementara dan rapuh.
Misalnya, kita merasa, tidur kita tidak nyenyak. Kita lalu mengubah posisi kita. Untuk sementara, tidur terasa lebih nyaman. Namun, kita pun sadar, bahwa tidak kita lalu lalu kembali menjadi tidak enak. Kita lalu mengira, kita perlu membeli tempat tidur baru. Kita pun melakukannya. Untuk sementara, tidur kita terasa lebih nyaman. Namun, dengan berjalannya waktu, tidur kita kembali tidak enak. Kita pun mengira, kita memerlukan cat kamar baru, atau justru kamar baru. Begitu seterusnya. Pola yang sama tidak hanya terjadi dalam hal tempat tidur, tetapi juga di semua hal lainnya. Ada semacam ketidakpuasan yang bercokol di kepala kita, yang membuat kita kita tegang dan menderita di dalam hidup.

Muncul juga kesadaran, bahwa segala hal selalu mengandaikan lawannya. Kenyamanan hanya bisa dipahami dan dipertahankan, jika kita memiliki dan mengingat, apa artinya ketidaknyamanan. Kita hanya dapat melihat suatu benda dengan mata kita, jika kita membuat semacam perbandingan antara benda itu dan benda-benda lainnya. Apa yang baik harus dipahami dalam perbandingan dengan apa yang buruk. Apa yang menyenangkan harus dipahami dalam kaitan dengan apa yang tidak menyenangkan. Hal-hal yang bertentangan sebenarnya saling membutuhkan satu sama lain. Bahkan, para Zen Master menegaskan lebih jauh, segala hal adalah satu dan sama, termasuk hal-hal yang kita anggap bertentangan. Keadilan adalah ketidakadilan. Cinta adalah benci. Menerima masalah berarti juga menerima keberuntungan besar. Mendapatkan persetujuan berarti juga menerima perlawanan.

Ketika orang menyadari hal ini, maka hidupnya akan menjadi responsif. Ketika dia lapar, maka dia makan. Makan pun dilakukan dengan secukupnya, bukan berlebihan, bukan sekedar untuk memuaskan nafsu. Ketika hal buruk terjadi, maka orang akan melakukan apapun yang diperlukan, guna melampaui hal buruk tersebut, tanpa menyakiti siapapun. Ketika hal baik terjadi, ia juga tidak melekat pada hal tersebut, karena ia sadar, bahwa itu semua pun akan berlalu. Keputusan-keputusan dibuat secara alamiah dan responsif. Tidak ada kebingungan. Tidak ada ketidakpastian. Tidak ada ketakutan. Jalan terus. Kesalahan terjadi. Kebaikan terjadi. Ia jalan terus dalam hidupnya.

Segala bentuk dualisme dilampaui. Baik-buruk, benar-salah, hitam-putih, semua dijalani dengan kejernihan dan keterbukaan penuh pada kehidupan. Sejatinya, di alam ini, tidak ada dualisme. Tidak ada pilihan. Orang hanya perlu jalan terus dalam hidupnya. Ia perlu melepaskan semua kategori-kategori abstrak yang melekat pada pikirannya. Ia juga perlu melepaskan semua ambisi dan ketakutannya, serta maju terus di dalam kehidupan. Segalanya menjadi jelas dan begitu sederhana. Ketika cuaca panas, maka orang berteduh di bawah pohon. Ketika cuaca dingin, maka orang menyelimuti tubuhnya. Ketika waktunya tertawa, orang tertawa. Ketika waktunya bersedih, orang menangis. Segalanya datang. Segalanya pergi. Orang membuka dirinya. Orang melepas segalanya. Inilah pola hidup Zen, yang juga berarti pola hidup biasa-biasa saja.

Di dalam keseharian yang biasa-biasa saja, orang menemukan kebenaran, kebahagiaan dan kedalaman hidup. Tidak ada penderitaan batin. Tidak ada depresi. Tidak ada stress. Semua dilakukan secara alamiah, seperti layaknya napas manusia yang berlangsung tiap detik. Dunia dan kehidupan adalah apa adanya. Tidak baik. Tidak buruk. Ketika ada penderitaan, orang berusaha menguranginya. Semua dilakukan dengan memperhatikan keadaan nyata sebagaimana adanya. Tidak ada keterpisahan antara manusia dan keadaannya. Manusia adalah keadaannya. Keadaannya adalah kemanusiannya. Konsep ego-subjek pun juga dilampaui. Person dan ego dianggap ilusi yang menjadi akar dari segala penderitaan hidup. Ketika cuaca panas, maka kita berkeringat. Akan tetapi, siapakah kita itu? Tidak ada. Kita lalu menjadi satu dengan cuaca panas, dan juga menjadi satu dengan keringat yang menetes di tubuh kita. Dalam arti ini, konsep sebab akibat pun juga harus dilepaskan. Kebenaran tidak terletak di dalam hubungan sebab akibat, melainkan di dalam kesekarangan. Kebenaran dan kebahagiaan dapat diraih dan dialami secara langsung, ketika orang hidup dari saat ke saat dengan semangat “biasa-biasa saja”.

Zen berusaha melampaui logika. Ia menolak pola berpikir rasional yang justru menjadi kecenderungan utama masyarakat modern. Ia berusaha melihat realitas apa adanya. Kebenaran pun dipahami tidak dengan konsep ataupun dengan kata-kata, tetapi dengan mengalami langsung kenyataan apa adanya. Ini semua terjadi secara alami. Hanya kebiasaan dan pikiran manusia yang menghalangi proses alami ini. Sama seperti air yang memantulkan cahaya bulan di malam hari, begitu pula segala sesuatu di alam ini bergerak secara alami, tanpa halangan. Orang hanya perlu untuk berhenti sejenak dari pikiran dan kebiasaannya, guna mengalami langsung hal sederhana yang mencerminkan kebenaran serta kesejatian dari kehidupan itu sendiri.

Hidup manusia ditentukan oleh persepsi pikirannya atas dunia. Panca indera menerima informasi dari dunia luar, yang kemudian diolah menjadi persepsi oleh pikiran manusia. Jadi, pikiran manusia memainkan peranan penting di dalam menciptakan dunia, sebagaimana dipersepsi oleh manusia. Dari persepsi semacam ini lahirlah perasaan keterpisahan, bahwa aku terpisah dari dunia, dan bahwa aku adalah individu yang otonom dan utuh, yang tidak membutuhkan apapun dan siapapun di luar diriku. Zen mengajak kita bertanya, siapakah aku ini? Siapakah individu ini? Apakah ia sungguh-sungguh ada? Pertanyaan tersebut diulang berkali-kali di dalam meditasi, dan di dalam keseharian hidup. Orang lalu sampai pada kesimpulan, bahwa tidak ada yang disebut sebagai aku. Konsep aku lahir dari kesalahan berpikir dan kesalahan berbahasa yang berkembang menjadi kebiasaan hidup. Struktur ego adalah ilusi ciptaan manusia yang membuatnya merasa terpisah dari segala yang ada. Ia juga menjadi akar dari segala penderitaan di dalam hidup manusia.

Pikiran manusia juga mampu menciptakan konsep. Dalam arti ini, konsep adalah abstraksi dari kenyataan. Konsep adalah sekumpulan simbol untuk menggantikan benda di dalam kenyataan. Ide tentang aku adalah bagian dari konsep yang merupakan simbol hasil dari pikiran manusia. Yang terjadi kemudian adalah, manusia terpaku pada konsep, dan lupa kembali pada kenyataan itu sendiri. Manusia lebih mudah memahami konsep, daripada mengalami kenyataan secara langsung. Ide tentang “aku” disalahpahami sebagai kenyataan yang tak dapat diubah. Padahal, “aku” hanyalah ide yang merupakan representasi dari kenyataan, dan bukan kenyataan itu sendiri. Orang perlu melampaui ide “aku” ini, dan kemudian mengalami langsung kenyataan sebenarnya yang tak memiliki batas. Inilah tujuan utama dari Zen, yakni memecah “aku”, dan mengajak orang untuk kembali ke jati diri asalinya, yakni alam semesta itu sendiri.

Ketika orang tidak lagi melihat dirinya sebagai “aku” yang terpisah dari alam, maka hubungannya dengan manusia dan dengan alam pun mengalami perubahan mendasar. Tidak ada lagi “aku” sebagai subyek, dan orang lain serta alam sebagai obyek. Tidak ada lagi “aku” sebagai subyek yang mengetahui, dan alam ataupun manusia lain sebagai obyek yang diketahui. Yang tercipta kemudian adalah hubungan kesatuan. Tidak ada lagi pemisahan. Subyek dan obyek menjadi satu, serta tak bisa lagi dilihat sebagai terpisah. Tidak ada lagi “aku” yang melihat dunia, karena “aku” adalah bagian dari dunia, dan dunia adalah bagian dari diriku. Aku dan kehidupan serta alam ini menjadi satu. Inilah kenyataan yang sesungguhnya.

Manusia adalah mahluk yang terhubung dengan segala hal, termasuk alam dan manusia lainnya. Pandangan, bahwa kita adalah mahluk yang terpisah dengan kepribadian tersendiri, adalah hasil dari ilusi. Ilusi lainnya terkait dengan isolasi semacam ini adalah ilusi soal keputusan. Kita berpikir, bahwa tindakan kita adalah hasil dari keputusan bebas kita. Namun, jika diperhatikan lebih dalam, banyak dari tindakan kita tidak lahir dari kebebasan, melainkan terjadi semacam alamiah, misalnya bernapas. Jika tidak makan, maka perut kita secara otomatis akan terasa lapar. Jika tidak minum, akan terasa haus. Jantung kita juga berdetak secara alamiah, tanpa keputusan. Ini semua adalah peristiwa yang terjadi secara alami begitu saja. Seperti hutan yang menjadi hijau, ketika musim panas tiba, dan kembali menggugurkan daunnya, begitu musim gugur tiba, begitulah hidup kita sebagai manusia terjadi dan berjalan secara alami di muka bumi ini. Kebebasan manusia tidak pernah bisa dipisahkan dari keniscayaan gerak alam yang bersifat alami dan otomatis.

Sifat alami ini sudah selalu tertanam di dalam diri manusia. Namun, manusia melupakannya, dan menggantikannya dengan konsep, ide serta pikiran yang mengaburkan jati diri sejatinya. Zen mengajak orang melepaskan semua pikiran, ide, perasaan serta apapun dalam hidupnya. Semua kata-kata, ingatan, identitas dan harapan pun juga dilepaskan. Pada titik ini, ketika orang melepaskan semuanya, ia akan menemukan ketenangan yang sesungguhnya. Ia akan menyatu dengan seluruh alam. Tidak ada lagi batas antara dia dan totalitas alam semesta. Tidak ada lagi batas antara dia dengan alam. Tidak ada lagi batas antara dia dengan orang-orang lainnya. Konsep individualitas menjadi kehilangan maknanya. Tidak ada lagi diri pribadi. Inilah hubungan sesungguhnya di alam semesta, yakni kesatuan yang tak terpisahkan antara segala sesuatu. Keterpisahan adalah ilusi yang diciptakan oleh pikiran yang tersesat.

Konsep diri mencoba memperlihatkan, bahwa ada sesuatu yang tetap di dalam identitas manusia. Ada semacam ilusi tentang keajegan tentang diri manusia. Namun, jika dilihat lebih dalam, identitas kedirian manusia terdiri dari ingatan tentang masa lalu yang dibuat secara selektif. Artinya, tidak semua ingatan menjadi dasar bagi identitas pribadi, melainkan hanya ingatan yang dianggap cocok untuk kepentingan pelestarian identitas tertentu. Ingatan yang dilihat secara selektif inilah yang lalu menjadi dasar untuk identitas. Proses ini juga ditunjang oleh kepentingan kontrol sosial oleh negara atau pemerintah tertentu atas warganya. Orang lalu melihat identitas diri ini sebagai sesuatu yang nyata dan benar. Identitas diri lalu terkait dengan moralitas dan peran sosial tertentu yang harus ia jalankan di dalam kehidupan bermasyarakat. Inilah yang disebut dengan kewajiban sosial, yang terkait langsung dengan identitas pribadi seseorang yang dianggap sebagai nyata dan benar. Di dalam Zen, orang diajak untuk menyadari ini. Orang diajak mempertanyakan keberadaan identitas pribadinya, yang sebenarnya dibangun di atas ingatan selektif semata. Pada titik tertentu, ia lalu sadar, bahwa semua ini hanya ilusi belaka. Ia pun terbangun dari tidur dogmatisnya.
Jika dilihat lebih dalam, identitas juga sebenarnya tidaklah pernah tetap. Tidak ada identitas yang sifat absolut dan permanen. Ini sejalan dengan prinsip dasar kehidupan, bahwa segala hal bergerak dan berubah. Namun, perubahan itu pun juga sebenarnya suatu ilusi. Perubahan mengandaikan adanya masa lalu, masa kini dan masa depan. Namun, di dalam kenyataan, tidak ada yang disebut sebagai masa lalu, masa kini dan masa depan. Ketiganya adalah konsep yang diciptakan oleh pikiran manusia. Ketika kita menyebut masa kini, ia sudah lenyap dari mata kita. Yang sesungguhnya ada, yang tidak tergantung pada pikiran kita, adalah saat demi saat. Di dalam segala penampakan perubahan, ada keabadian yang terjadi setiap saat. Dapat juga dikatakan, bahwa waktu dan gerak yang diamati manusia selalu bersifat relatif. Ketika kita berlayar dengan perahu, kita merasa, bahwa seorang sungai yang bergerak. Namun, jika dilihat lebih jeli, ternyata perahu yang bergerak. Begitu pula dengan waktu. Perubahan mengadaikan adanya waktu. Namun, waktu pun ternyata juga tidak ada. Ia hanya ciptaan pikiran manusia.

Ketika orang berhenti melihat gerak dan waktu sebagai sesuatu yang nyata dan absolut, maka ia bisa melihat saat demi saat dalam hidupnya sebagai keabadian. Di saat ini, ada kebenaran dan keabadian, asal kita bisa menyesuaikan pikiran kita dengan keadaan alami dari apa yang ada, dan bukan dengan keinginan ataupun pikiran kita. Ketika pikiran mulai melepaskan segala bentuk konsep dan analisis, maka ia akan bisa mencerap saat ini dengan tepat, yakni saat keabadian itu sendiri yang mengalir dari saat ke saat. Inilah yang di dalam Zen disebut sebagai kebenaran apa adanya, tanpa tambahan dari pikiran maupun emosi manusia. Apa yang kita anggap sebagai perubahan sebenarnya merupakan aliran dari pikiran kita. Hal ini sama dengan ego atau konsep diri yang sesungguhnya juga merupakan ciptaan dari pikiran kita. Sejatinya, tidak ada perubahan, dan tidak ada gerak.

Banyak orang hidup dengan menanti masa depan. Mereka berharap, masa depan akan lebih baik dari masa kini. Mereka juga berpikir, apa yang baik hanya bisa terjadi nanti, dan bukan hari ini. Dengan pandangan ini, orang lalu berusaha untuk hidup lebih panjang, supaya mereka bisa merasakan kenikmatan dan kebahagiaan di masa depan. Perhatian dan pikiran mereka diarahkan pada masa depan, dan bagaimana supaya bisa hidup sehat, sehingga bisa mencapai usia tua. Padahal, seperti sudah disinggung sebelumnya, waktu dan gerak adalah kesan semata, dan bukan kenyataan. Di masa lalu, usia 30 sudah merupakan usia tua, dan orang harus segera mempersiapkan kematiannya. Di masa kini, banyak orang baru mulai berkarya di masyarakat pada usia tersebut. 30 tahun adalah waktu yang lama di masa lalu. Namun, 30 tahun terasa bagaikan kilat di depan mata sekarang ini. Zen mengajak kita untuk melepaskan semua pandangan ini, dan kembali ke saat ini.

Orang yang pikirannya terarah ke masa depan akan sulit menemukan kebebasan di dalam batinnya, karena kebebasan hanya dapat ditemukan disini dan saat ini. Ini juga berlaku untuk orang yang hidupnya terus mengarah ke masa lalu yang mungkin saja dipenuhi dengan penyesalan. Padahal, jika dipikirkan lebih dalam, yang sesungguhnya ada hanyalah masa kini. Orang hanya bisa hidup di masa kini. Jika orang terjebak pada masa lalu dan masa depan yang tidak ada, maka ia sesungguhnya sama sekali tidak hidup. Segala sesuatu di alam ini hidup dan berkembang di saat ini. Ikan hidup dan bergerak di air. Burung terbang di udara. Semuanya sudah sempurna disini dan saat ini. Sebagai manusia, tentu saja, membuat rencana adalah sesuatu yang penting. Namun, rencana tersebut haruslah dilihat sebagai akibat dari keadaan saat ini. Saat ini tetap menjadi yang terpenting.

Zen adalah pengalaman langsung akan kenyataan sebagaimana adanya. Di dalam kenyataan ini, tidak ada tujuan. Semuanya sudah baik dan sempurna, apa adanya. Tidak ada yang perlu diubah. Tidak ada masa depan. Tidak ada masa lalu. Tidak ada konsep diri yang terpisah dari diri-diri yang lain, dan dari alam. Tidak ada ambisi dan tidak juga ada penyesalan atas apa yang telah terjadi. Semua yang kita anggap nyata dalam hidup ini sesungguhnya adalah simbol-simbol hasil ciptaan pikiran kita. Jika kita melihat simbol-simbol tersebut sebagai nyata, maka kita hidup dalam ilusi. Kita pun lalu hidup dalam penderitaan, dan berakhir pula dengan kekecewaan. Di sini dan saat ini, kita menemukan kebenaran dan kebijaksanaan. Tidak ada lagi yang perlu dicari. Pada titik terdalam, Zen mengajak orang melepaskan segalanya, termasuk melepaskan Zen itu sendiri. Ketika orang sungguh melepaskan semuanya, maka ia akan menjadi sepenuhnya kosong dan jernih. Pada saat itu, ia menyatu dengan semuanya.

Banyak orang juga mencari cara, guna mengembangkan dirinya. Ia merasa, dirinya yang sekarang belumlah sempurna. Maka, ia lalu berusaha mencari cara, supaya bisa melepaskan kekurangannya, dan mengembangkan kemampuannya. Namun, semua cara berpikir ini berpijak pada satu dasar yang ilusif, yakni keberadaan konsep diri. Artinya, di dalam alam, tidak ada yang disebut sebagai diri. Ini hanyalah konsep yang tidak berpijak pada kenyataan. Maka, usaha untuk mengembangkan diri pun adalah usaha yang sia-sia. Di dalam Zen, konsep diri semacam ini disadari sebagai ilusi, lalu orang diajak untuk menyatu dengan alam. Dititik inilah hadir yang disebut sebagai “diri besar”. Ia juga disebut sebagai Buddha. Ia sudah selalu sempurna pada dirinya. Tidak perlu ada pengembangan diri dalam bentuk apapun. Sejatinya, tidak ada satu kata pun yang mampu menggambarkan keadaan batin Buddha semacam ini. Ia adalah segalanya, sekaligus bukan apa-apa.

Dari alur berpikir ini, kita bisa menarik semangat dasar sekaligus tujuan utama dari Zen, yakni hidup biasa-biasa saja. Pencerahan batin tertinggi yang bisa diraih manusia justru sama sekali bukanlah pencerahan batin, melainkan pengalaman hidup sehari-hari yang dijalani sepenuhnya dengan biasa-biasa saja. Kesadaran biasa-biasa saja ini berakar pada sikap alamiah di dalam memandang dan menjalani kehidupan. Tidak ada bumbu atau tambahan apapun. Alam ini juga sejatinya juga merupakan Buddha, yakni sudah sempurna pada dirinya sendiri. Ketika para Zen master mengalami pencerahan batin untuk pertama kalinya, mereka kerap menulis puisi untuk menggambarkan alam ini apa adanya, tanpa tambahan apapun. Sebelum pencerahan batin, gunung adalah gunung, dan air adalah air. Ketika mulai mendalami Zen, gunung bukanlah gunung, karena ia hanya merupakan kekosongan belaka. Begitu pula air bukanlah air, karena ia adalah kekosongan juga. Namun, setelah mengalami pencerahan batin dan memahami hakekat dari segalanya apa adanya, gunung kembali menjadi gunung, serta air kembali menjadi air. Semua apa adanya, sudah sempurna, biasa-biasa saja.

Kita seringkali terjebak pada pola berpikir simbolik. Artinya, kita mengira simbol sebagai kenyataan, dan akhirnya juga lupa pada kenyataan itu sendiri. Zen mengajak kita untuk membalik pola berpikir kita, yakni dari yang abstrak-simbolik kembali pada yang konkret itu sendiri. Yang konkret itu disini adalah kenyataan sebagaimana adanya, sebelum ia masuk ke dalam dunia simbol dan konseptual. Di dalam dunia sebagaimana adanya ini, kita memiliki substansi yang sama dengan alam dan manusia lainnya. Tidak ada perbedaan. Inilah yang disebut sebagai kenyataan sebelum pikiran, atau sebelum dijadikan simbol dan konsep. Hakekat diri kita sebagai manusia, yang juga adalah sama dengan seluruh alam ini, terletak di ranah sebelum pikiran ini. Zen juga bergerak melampaui segala bentuk rumusan ajaran maupun ritual yang kerap ditemukan di dalam agama-agama tradisional. Zen berusaha menunjuk langsung pada hakekat sejati kita sebagai manusia, sehingga kita bisa lepas berjarak dari gerak pikir konseptual dan simbolik. Fokus kita tidak lagi dunia simbolik, melainkan dunia sebagaimana adanya. Dalam arti ini, kata Zen juga merupakan simbol yang harus dilepas sepenuhnya. Untuk bisa masuk dalam Zen, orang justru harus melepaskan Zen sama sekali.

Dengan alasan ini, para Zen master bicara amat sedikit soal Zen. Mereka mencoba mengajak orang untuk menyentuh realitas itu sendiri secara langsung. Dalam arti ini, realitas berarti realitas alamiah, sebelum kita merumuskannya ke dalam bahasa dan konsep. Realitas yang ada hidup itu sendiri yang biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa. Tidak buruk. Tidak baik. Tidak pendek. Tidak panjang. Tidak subyektif dan juga tidak obyektif. Tidak ada diri. Tidak juga ada “tanpa diri”. Tidak ada ilusi. Tidak ada realitas. Semua itu hanya konsep yang kita gunakan untuk menggambarkan kenyataan, tetapi bukanlah kenyataan itu sendiri.

Tentang pertanyaan soal kebenaran dan kebijaksanaan, seorang Zen master hanya akan menjawab tentang keadaan kontekstual di titik ini dan saat ini, karena hanya inilah yang sesungguhnya ada, dan layak disebut sebagai kebenaran dan kebijaksanaan. Zen tidak melihat masa depan dan masa lalu sebagai kenyataan. Tradisi dan sejarah dilihat sebagai alat. Jika tidak dilihat secara jernih, maka ia menjadi menganggu untuk sampai pada pencerahan batin. Seperti sudah disinggung sebelumnya, Zen juga mengajak orang melampaui bahasa dan konsep yang menjadi dasar dari pikiran manusia. Beberapa Zen master bahkan memotong kecenderungan berbahasa dan konsep manusia dengan langsung mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang irasional yang mengagetkan, yang juga disertai dengan jawaban-jawaban absurd yang membuat orang terputus dari kecenderungan berpikir dan berbahasa. Fokus Zen bukanlah tradisi, kata ataupun konsep, melainkan pengalaman langsung dengan kenyataan apa adanya.

Sejatinya, seluruh kenyataan adalah kekosongan itu sendiri. Sebelum nama dan sebelum konsep, yang ada adalah ruang hampa luas yang siap menampung segalanya. Manusia merumuskan bahasa dan konsep dengan pikirannya. Ia mengira, bahwa itulah kebenaran. Ia pun melekat pada bahasa dan konsep, serta lupa pada kenyataan sebagaimana adanya. Ia membuat pembedaan antara baik dan buruk, benar dan salah, suci dan kotor, serta melekat pada pembedaan-pembedaan semu tersebut. Namun, sejatinya, yakni di dalam kenyataan sebagaimana adanya, tidak ada pembedaan, dan tidak ada penilaian. Tidak ada batas antara yang satu dengan yang lainnya. Ketika orang menyadari dan hidup dari titik tanpa nama ini, ia mengalami pencerahan batin. Dalam arti ini, pencerahan batin sesungguhnya bukanlah sebuah keadaan pikiran. Ia adalah kondisi batin sebelum titik nol. Jadi, pada awalnya, kenyataan yang tak memiliki nama ini sudah ada, dan akan selalu ada. Lalu, manusia, dengan pikirannya, memberi kenyataan ini nama dan konsep.

Ada kenyataan sebagaimana adanya, dan kenyataan sebagaimana manusia menamai dan memikirkannya. Zen mengajak kita untuk kembali pada yang pertama, dan menjaga jarak dari yang kedua. Kenyataan pada dirinya sendiri itu sejatinya tak mempunyai nama. Kita bisa menyebutnya “kenyataan pada dirinya sendiri”. Ia hanyalah ada. Ia tidak memiliki dimensi waktu ataupun ruang, karena dua dimensi itu adalah hasil dari pikiran manusia. Para Zen master hendak menunjuk langsung ke kenyataan pada dirinya sendiri ini. Mereka menyebutnya sebagai hakekat Buddha dari segala sesuatu. Orang yang telah menyadari kenyataan semacam, dan kemudian hidup dari titik ini, disebut sebagai Buddha, yakni orang yang telah bangun, atau telah tercerahkan.
Di dalam Zen, ada tradisi percakapan guru dan murid. Di dalam percakapan ini, yang penting bukanlah menemukan jawaban yang benar, melainkan mengarahkan pertanyaan kembali ke keadaan disini dan saat ini, dimana kebenaran sesungguhnya berada. Yang juga perlu diperhatikan adalah, bahwa Zen mencoba menembus kata-kata, dan memasuki ranah sebelum kata. Maka, yang terpenting bukanlah argumentasi cerdas, melainkan demonstrasi atas kepekaan seseorang di dalam mencerap keadaan disini dan saat ini. Di dalam demonstrasi ini, tidak ada kata dan konsep. Batas dan perbedaan pun dilampaui. Kata dan konsep hanyalah simbol atas kenyataan, dan tidak pernah boleh disamakan dengan kenyataan itu sendiri. Banyak juga orang terjebak pada sebutan. Sejatinya, sebutan hanyalah suara. Ia bukanlah representasi atas kenyataan itu sendiri.

Tentang kenyataan, Zen menggambarkannya sebagai “seperti itu”. Tidak ada kata ataupun simbol yang bisa sungguh secara akurat menjelaskannya. “Seperti itu” tidak memiliki dimensi waktu dan ruang. Tidak ada masa lalu, masa kini ataupun masa depan. Tidak ada lebar, panjang atau tinggi. Ia juga tidak memiliki jumlah. Ia tidak dua, dan juga tidak satu. Ia tidak bervariasi, tetapi juga tidak homogen. Semua konsep-konsep manusiawi, yang biasanya kita anggap sebagai kenyataan, hanyalah merupakan hasil dari abstraksi pikiran, dan ini seringkali tidak ada terhubung secara langsung dengan kenyataan sebagaimana adanya. Hasil abstraksi ini juga berupa beragama kategori yang digunakan untuk menjelaskan kenyataan, seperti konkret-abstrak, fisik-non fisik, dan sebagainya. Ketika orang menggunakannya di dalam diskusi, maka orang akan semakin sadar, bahwa semua kategori ini rapuh.

Kenyataan “seperti itu”, pada hakekatnya, bersifat kosong. Ia menolak untuk dijelaskan dengan konsep dan kata hasil pikiran manusia. Ia mendorong orang untuk masuk ke dalam kesunyian. Hanya di dalam kesunyian, “seperti itu” baru bisa sungguh terpahami. Kekosongan juga tidak boleh diartikan sebagai kehampaan, dimana orang lalu menyerah, dan hidup tanpa gairah. Jika diperhatikan lebih dalam, segala sesuatu di dunia ini adalah kosong. Kita tidak bisa sungguh memahami apapun. Kita juga tidak pernah sungguh memiliki apapun. Pada titik terdalam, materi adalah kekosongan. Bahkan, kita tidak bisa sungguh yakin akan keberadaan diri atau ego kita sendiri sebagai pribadi. Yang bisa kita yakin adalah, bahwa pikiran kita bekerja memberikan tanda dan nama untuk segala yang kita ketahui.

Namun, jika dilihat lebih dalam, pikiran kita pun tidak memiliki hakekat yang jelas. Ia selalu berada dalam bentuk hal-hal yang dipikirkannya. Tidak ada fondasi yang lebih mendasar lagi dari pikiran dan hal-hal yang dipikirkannya. Ketanpadasaranlah yang menjadi dasar dari keberadaan kita dan segala sesuatu yang ada di alam ini. Di dalam ketanpadasaran ini terdapat kebebasan yang sesungguhnya, yang memungkinkan kita untuk melakukan apa yang perlu dilakukan saat demi saat. Keadaan batin tanpa pikiran dan tanpa hal-hal yang dipikirkan ini memberikan rasa indah, bebas dan damai yang sejati.

Kebebasan batin hanya dapat diperoleh, ketika orang melepaskan semuanya. Ia lalu menjadi kosong sekaligus indah. Ia bisa bertindak tanpa halangan untuk menanggapi berbagai keadaan yang muncul di depannya. Kebebasan semacam ini jauh dari keliaran, atau bertindak semaunya sendiri. Kebebasan ini justru mewujud di dalam hidup biasa-biasa saja. Segala hal didalam hidup di lakukan dengan sepenuh hati dan biasa-biasa saja. Ketika batas antara diri dan dunia menghilang, orang tidak lagi merasakan penderitaan batin, walaupun beragam tantangan hidup muncul di depan matanya. Berbagai peristiwa datang dan pergi. Namun, ketenangan batin yang lahir dari kebebasan dan kekosongan membuat orang mampu menjalani semuanya tanpa halangan. Hari berganti. Musim berubah. Namun, orang yang hidup dalam Zen bergerak dengan bebas di dalam semua perubahan yang ada.

Orang hidup dalam takdir, namun sekaligus menari dan bergerak di antara takdirnya. Ia menyatu dengan alam itu sendiri. Semua pembedaan hilang. Ego atau diri pribadi pun melebur di dalam gerak alam yang harmonis sekaligus dinamis. Orang yang hidup dalam Zen menata dan merawat segalanya, tetapi tidak menguasainya. Ia melakukan segalanya secara alamiah, sehingga tampak tidak melakukan apapun. Semua dilakukan dari kesadaran akan kekosongan sekaligus keindahan dari segala sesuatu, apa adanya. Ketika orang menjalani hidupnya di dalam Zen, maka ada satu keajaiban tertinggi di dalam hidupnya; ia bernafas, ia bergerak. Biasa-biasa saja.