“Racun” Di dalam Pikiran

Oleh Reza A.A Wattimena; Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang belajar di Jerman

Racun korupsi masih menjalari tubuh politik kita di Indonesia. Penyebabnya bersifat sistemik dalam bentuk kegagalan penegakan hukum, sekaligus bersifat personal dalam bentuk lemahnya integritas kepribadian para penjabat publik kita. Dalam hal ini, pemberantasan korupsi masih menjadi pekerjaan rumah yang besar dan berat bagi kita sebagai bangsa. Dukungan dari seluruh rakyat amatlah dibutuhkan.

Menjalarnya korupsi di berbagai bidang juga dapat dilihat sebagai kegagalan demokrasi. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi di berbagai benua. Demokrasi sebagai bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat yang mendorong menuju keadilan sosial dan kemakmuran bersama semakin menjadi mimpi yang jauh dari jangkauan. Yang banyak tercipta adalah oligarki, yakni pemerintahan oleh sekelompok orang kaya yang hendak menghancurkan kepentingan umum, demi keuntungan pribadi mereka.

Keadaan ini menciptakan ketidakadilan sosial di tingkat global yang lalu menciptakan kemiskinan dan penderitaan yang begitu besar bagi banyak orang. Dari kemiskinan dan penderitaan lahirlah terorisme. Terorisme bermuara pada perang antar kelompok dan bahkan antar negara. Ini semua seperti lingkaran kekerasan yang justru membawa kemiskinan dan penderitaan yang lebih besar lagi.

Di bagian dunia lain, orang hidup dalam kelimpahan yang luar biasa. Ratusan tahun penaklukan dan perampokan atas negara lain memberikan kemakmuran yang luar biasa bagi mereka. Mereka adalah negara-negara di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Ketika bagian dunia lain berjuang melawan kemiskinan dan korupsi, negara-negara ini berpesta pora dan menghabiskan sumber daya alam untuk menopang gaya hidup mewah mereka.

Sikap hidup semacam ini melahirkan arogansi yang dibarengi dengan kebodohan. Mereka melihat negara-negara di bagian dunia lain sebagai musuh bagi kemakmuran mereka. Padahal, jika ditelisik lebih dalam, arogansi dan kebodohan gaya hidup mewah merekalah yang menciptakan masalah besar bagi seluruh dunia, mulai dari penjajahan, perbudakan, perang, nuklir, sampai dengan penghancuran alam. Semua itu seolah dibenarkan, selama mereka bisa mempertahankan gaya hidup mewah yang boros dan merusak.

Mereka membunuh hewan, supaya bisa memajang kepala hewan itu di ruang tamu mereka. Mereka menghancurkan hutan, supaya mereka bisa membangun lapangan golf ataupun vila mewah untuk orang-orang kaya. Mereka menolak untuk belajar dari bangsa lain, walaupun sejatinya, mereka bodoh dan terbelakang dalam hal gaya hidup dan kedalaman pikiran. Arogansi dan kebodohan adalah kombinasi yang mematikan.

Di Timur Tengah, kelompok teroris berbasis ekstrimis juga semakin biadab. Mereka tak segan menculik orang sipil, dan memenggalnya secara biadab. Mereka menggunakan ajaran ajaran tertentu sebagai pembenaran untuk kekerasan. Penderitaan yang diakibatkan oleh kelompok ini bagi negara-negara di Timur Tengah nyaris tak dapat diungkapkan dengan kata-kata.

Racun di Sekitar Kita
Semua kekacauan ini berakar pada kegagalan manusia menata dirinya sendiri. Mereka gagal menata pikirannya dan kemudian juga gagal menata kehidupan bersama yang berpijak pada keadilan dan kemakmuran. Lebih dari itu, kegagalan tata kelola kehidupan ini juga membawa kerusakan pada hewan dan tumbuhan lainnya. Seluruh alam terancam rusak, karena manusia gagal menata hidupnya.

Mengapa manusia gagal menata hidupnya? Mengapa ia gagal membangun hidup bersama yang adil dan makmur untuk semua? Mengapa ia gagal membangun hubungan yang baik dengan hewan dan tumbuhan? Mengapa ia menghancurkan alam, yang berarti juga menghancurkan dirinya sendiri?

Saya melihat, pikiran manusia dilumurin oleh racun. Akibatnya, pikirannya tak lagi mampu melihat keadaan secara tepat. Pikirannya pun tidak bisa bersikap menanggapi keadaan dengan tepat. Racun ini berkembang dari kesalahan berpikir yang diajarkan kepada kita, lalu berkembang menjadi kebiasaan sekaligus bagian dari kepribadian kita sendiri.

Racun pertama adalah kesalahan berpikir mendasar soal waktu. Kita percaya, bahwa masa lalu itu ada. Akhirnya, banyak orang terjebak pada masa lalunya. Ia hidup di dalam penderitaan, akibat kenangan atas masa lalu yang gelap, yang sebenarnya sudah tidak ada.

Banyak orang juga yakin, bahwa masa depan itu ada. Akhirnya, mereka sibuk bekerja, guna menata masa depan. Orang yang pikirannya terus berayun di antara masa lalu dan masa depan akan terus hidup dalam penyesalan masa lalu, dan ketakutan akan masa depan. Pikirannya dipenuhi ketegangan dan penderitaan.

Orang yang pikirannya penuh dengan ketakutan dan penyesalan tidak akan pernah menemukan kedamaian. Ia hidup di dalam penderitaan, dan akhirnya membuat orang lain menderita. Ia akan mencari segala cara untuk menemukan kedamaian, jika perlu dengan menghancurkan orang lain dan alam, guna memuaskan kebutuhan pribadinya. Ketakutan akan masa depan juga membuat orang menumpuk harta secara buta, kalau perlu dengan korupsi, menipu dan merugikan orang lain.

Racun kedua adalah pikiran curiga dan prasangka. Pikiran curiga berarti pikiran yang selalu melihat dunia dari sisinya yang paling jelek. Pikiran curiga lalu menghasilkan prasangka. Orang pun tidak lagi dapat melihat dunia apa adanya, tetapi selalu dengan kaca mata curiga dan prasangka. Pendek kata, ia selalu melihat dunia dan orang lain sebagai musuh yang mengancam dirinya.

Curiga dan prasangka membuat kita membenci orang lain. Kita tak merasa ragu membuat orang lain menderita, selama kebutuhan kita terpenuhi. Curiga dan prasangka juga membuat kita menjadi tak peduli dengan penderitaan orang lain. Curiga dan prasangka adalah akar dari kebencian dan konflik yang melanda begitu banyak bagian dunia sekarang ini.

Racun ketiga adalah pikiran dualistik-dikotomik. Artinya, pikiran yang melihat dunia dengan kaca mata hitam putih. Ada pihak yang benar secara absolut, dan ada pihak yang salah secara absolut. Tidak ada jalan tengah. Keduanya harus saling menghancurkan satu sama lain.

Inilah salah satu akar dari banyak masalah di dunia sekarang ini. Cara berpikir dikotomik menjadi cara berpikir kawan lawan. Aku dan kelompokku benar. Sementara, orang lain dan kelompoknya adalah lebih rendah dan salah, maka harus dihancurkan. Perbedaan agama, suku, rasa dan cara berpikir digunakan untuk membenarkan pikiran dualistik-dikotomik ini.

Racun keempat adalah dorongan untuk menambah terus menerus. Kita tidak pernah merasa cukup dengan apa yang ada. Kita sudah punya satu mobil, tetapi kemudian merasa kurang, dan membeli mobil yang baru. Ekonomi juga harus tumbuh terus menerus, tidak boleh berhenti.

Akar dari dorongan ini adalah rasa tidak cukup di dalam hati. Kita bahkan bersedia untuk mengorbankan orang lain, demi memuaskan kebutuhan kita. Kita juga menghancurkan alam, guna memenuhi kebutuhan palsu kita akan kemewahan dan kerakusan. Pikiran yang selalu ingin menambah dan rakus ini membuat kita, dan segala hal di sekitar kita, menderita.

Melampaui Racun
Sejatinya, waktu itu tidak ada. Waktu adalah produk dari pikiran. Jika kita berpikir, maka waktu dan segala penyesalan akan masa lalu dan ketakutan akan masa depan akan muncul. Berpikir, takut dan menyesal atas hal yang tidak ada adalah hal yang sia-sia.

Banyak orang menghabiskan hidupnya untuk mencari uang. Namun, apakah uang itu ada? Uang adalah simbol. Ia tidak bernilai pada dirinya sendiri. Ia hanya bernilai sebagai alat tukar.

Banyak orang juga membunuh demi uang. Mereka korupsi. Mereka menghancurkan alam untuk mendapat uang. Ini semua adalah tindakan yang amat sia-sia.

Akar dari pikiran curiga dan prasangka adalah rasa takut. Namun, sejatinya, rasa takut adalah ilusi. Tidak ada yang perlu ditakuti di dalam dunia ini. Kematian dan penderitaan menjadi menakutkan, karena manusia berpikir, bahwa itu semua adalah hal buruk yang harus dijauhi.

Yang sesungguhnya terjadi adalah peristiwa alami. Alam sedang bekerja dengan hukum-hukumnya. Baik atau buruk adalah penilaian manusia. Jika orang bisa menata pikirannya sejalan dengan gerak alami alam semesta, maka tidak ada yang perlu ditakuti di dalam hidup ini.

Pikiran dualisme juga sejatinya adalah ilusi. Tidak ada dualisme di dalam alam ini. Semuanya adalah sebagai jaringan yang saling terkait erat, tanpa bisa dipisahkan. Baik-buruk, benar-salah, untung-malang, semua dikotomi ini adalah hasil dari kesalahpahaman yang bercokol di dalam pikiran manusia.

Bahkan, jika dipikirkan lebih dalam, apa yang kita sebut sebagai dunia juga sebenarnya adalah bentukan dari persepsi pikiran yang kita yang berpijak pada kelima panca indera kita. Artinya, dunia adalah dunia sebagaimana dipersepsikan oleh panca indera kita. Hewan dan tumbuhan memiliki panca indera yang berbeda. Mereka pun memiliki pemahaman dunia yang berbeda.

Ketika panca indera kita terganggu, maka pemahaman kita akan dunia juga berubah. Ketika pikiran kita terganggu, misalnya karena minum bir terlalu banyak, maka persepsi kita pun berubah. Ketika kita lapar, maka seluruh panca indera kita juga terganggu. Pemahaman kita tentang dunia juga berubah.

Maka, dunia sebagai kenyataan mutlak juga sebenarnya tidak ada. Dunia ada, sejauh kita memikirkannya dengan panca indera kita. Dunia ada selalu dalam kaitan dengan pikiran kita. Tidak ada Dunia, dengan huruf d besar yang bersifat mutlak dan berlaku untuk semua makhluk.

Jika dunia ini tak ada, lalu apa yang ada? Sejatinya, kenyataan adalah ruang besar yang luas. Ia kosong dan bisa menampung segalanya. Namun, apa yang ditampung di dalamnya, termasuk manusia dan segala hal yang ada di dalam alam semesta, bersifat sementara. Ia berubah, menghilang dan kemudian muncul lagi dalam bentuk yang lain.

Jika pikiran kita bisa sejalan dengan kenyataan sebagai ruang hampa yang besar ini, maka segala racun di dalam pikiran kita bisa dihilangkan. Persepsi akan waktu menghilang. Rasa takut menghilang. Rasa rakus yang menjadi akar dari segala korupsi juga menghilang.

Pandangan ini ditopang oleh penelitian terbaru di dalam fisika teoretik. Alam semesta adalah ruang hampa yang luas. Segala yang ada di dalamnya merupakan hasil dari pikiran. Artinya, isi dari ruang hampa besar bernama alam semesta ini amat tergantung dari makhluk yang mempersepsinya. Hewan, tumbuhan, manusia dan segala mahluk lainnya memiliki pemahaman yang berbeda-beda, tergantung pada struktur fisiknya.

Keberadaan segala hal yang ada di dunia, dengan kata lain, tergantung pada pengamatnya. Pandangan ini juga ditopang oleh Buddhisme. Di dalam Buddhisme, keberadaan kenyataan relatif pada orang yang memikirkannya. Segala hal lahir dari pikiran, begitu kata Zen Master Seung Sahn.

Kehidupan kita sekarang ini dipenuhi racun. Perang antar negara, korupsi sampai pada penderitaan pribadi diakibatkan oleh racun yang bercokol di pikiran kita. Namun, racun itu bisa dilampaui, jika kita mampu melepaskan memahami segala yang ada sesuai dengan hakekat alamiahnya, dan bukan mengikuti semata pikiran kita yang rapuh dan seringkali salah. Kita harus sadar, bahwa pikiran yang bergerak di kepala kita lebih banyak menipu, daripada menyajikan kebenaran kepada kita.

Tiga Akar Kejahatan
Demikian telah dikatakan oleh Sang Buddha …
“Wahai para bhikkhu, ada tiga akar kejahatan.” “Apakah tiga akar itu?”
“Akar kejahatan keserakahan (lobha), akar kejahatan kebencian (dosa), dan akar kejahatan kebodohan batin (moha). Itulah ketiganya.”

Keserakahan, kebencian dan kebodohan batin, yang muncul dari dalam dirinya,
akan merugikan orang yang berpikiran jahat, seperti buah bambu menghancurkan tumbuhnya pohon itu sendiri. (Itivuttaka 3.1; Khunddaka Nikaya)

Lobha (Keserakahan): Adalah kemelekatan yang sangat terhadap sesuatu, sehingga membuat pikiran selalu merasa lapar, serakah,serta tidak puas dengan apa yang telah dimiliki.

Setiap orang pasti memiliki keinginan untuk sesuatu. Ini adalah hal yang wajar. Tetapi keinginan akan sesuatu hal yang terus menerus dan ingin lebih dan lebih inilah Lobha.

Sebagai contoh: karena kemelekatan yang sangat terhadap kehidupan mewah, seseorang menginginkan kehidupan yang lebih mewah lagi, maka timbullah keserakahan dan agar keinginannya untuk hidup lebih mewah lagi tercapai, ia melakukan berbagai cara termasuk melakukan tindakan kejahatan.

Untuk mencegah timbulnya Lobha dalam diri, maka perlu:

  • Menggunakan Sati (perhatian,kewaspadaan, kesadaran).
  • Berusaha untuk tidak selalu menuruti keinginan.
  • Merenungkan untung dan rugi dengan menggunakan Panna (kebijaksanaan).
  • Membangkitkan Hiri (malu berbuat jahat) dan Ottapa (takut berbuat jahat).
  • Mengembangkan Dhamma yang berlawanan dengan Lobha, seperti berdana.(Ajitamanavasa, Solasa panha)

Dosa (Kebencian): adalah penolakan yang sangat terhadap sesuatu sehingga membuat pikiran selalu emosi, kesal dan penuh dengan kebencian.

Pikiran untuk menyakiti, merusak, menghilangkan, mengingkirkan, memusnahkan sesuatu karena adanya rasa tidak suka yang sangat atau benci terhadap sesuatu tersebut, inilah Dosa.

Dosa ini dapat diibaratkan dengan sebuah titik api yang menyala, dan bila tidak segera dipadamkan maka akan menjadi kobaran api yang lebih besar, sehingga dapat merusak segalanya, dalam hal ini merusak pemikiran, kesehatan fisik dan mental, bahkan dapat membuat seseorang menjadi pembunuh.

Sebagai contoh: karena tidak menyukai seekor lalat, terjadi penolakan yang sangat dan timbul kebencian terhadap lalat tersebut, seseorang menginginkan lalat tersebut tersebut musnah, hilang, menyingkir dari hadapannya, menyakiti, merusak, maka ia melakukan berbagai cara untuk memusnahkan, menghilangkan, menyingkirkannya termasuk dengan melakukan tindakan kejahatan berupa pembunuhan.

Untuk menghindari timbulnya Dosa dalam diri, maka diperlukan menjalankan Panca Sila (Lima Sila)

  • Tidak melakukan pembunuhan makhluk hidup.
  • Tidak mencuri
  • Tidak berzinah
  • Tidak berbohong
  • Tidak minum minuman memabukkan

Moha (kebodohan batin): adalah kebodohan batin, yaitu tidak dapat membedakan mana yang buruk dan mana yang baik.

Dari ketiga akar kejahatan inilah seseorang berbuat jahat.

Moha ( Kebodohan batin )
Kebodohan batin atau kegelapan batin, yaitu tidak dapat membedakan mana yang buruk dan mana yang baik, tidak dapat menembus arti dari empat kebenaran Mulia, Hukum Tilakkhana, Hukum Paticcasamuppada, Hukum Kamma.

Jika diibaratkan, Moha seperti kegelapan yang membuat seseorang tidak dapat berbuat-apa-apa bahkan hanya dapat berbuat kesalahan.

Sebagai contoh: karena tidak mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk seseorang melakuan pencurian terhadap seorang hartawan untuk dibagian kepada kaum miskin. Ia menganggap mencuri hanya dari orang kaya adalah hal yang baik dan sah-sah saja sehingga ia melakukan pencurian tanpa merasa bersalah.

Untuk mencegah timbulnya Moha dalam diri, maka cara terbaik adalah mengembangkan Panna (kebijaksanaan). Panna (kebijaksanaan dapat dicapai dengan berbagai macam cara, seperti banyak membaca, belajar dan mendengar serta meditasi.)

(disusun oleh Bhagavant.com; diposkan oleh Tanhadi)