Pahami Hati, Tampakkan Jati Diri
Oleh: YM Bhiksu Tadisa Paramita Mahasthavira
Kepada seluruh Umat Buddha dimana saja berada, Salam Waisak, Namo Buddhaya, semoga kita semua dalam keadaan sehat sejahtera dan bahagia.
Saat kita menyambut dan merayakan Hari Trisuci Waisak, kembali kita mengingat dan mengenang sejarah kelahiran, kesempurnaan dan Mahaparinirvananya Buddha historis, Guru Agung Sakyamuni Buddha beserta ulang tahunnya para Buddha lainnya. Momentum perayaan Waisak bukan sekedar untuk dikenang dan dirayakan saja, melainkan kita semua umat Buddha harus memahami kebijaksanaan, pelepasan, perjuangan, pengorbanan dan keberhasilan seorang manusia mulia untuk menjadi Buddha. Untuk apa Ia mau jadi Buddha? Tentu saja untuk menjadi manusia yang sempurna, menegakkan kebenaran, melenyapkan ketahayulan dan membuka misteri alam semesta, utamanya untuk keselamatan dan kebahagiaan semua makhluk agar semua makhluk memahami kebenaran, realita, berkembangnya kebijaksanaan dan kesucian. Manusia Buddha sudah pernah hadir dimuka bumi ini dan sudah susah payah mengajarkan Dharma selama 49 tahun tujuannya agar kita semua bisa terbebas dari bodoh dan derita.
Sebagai siswa maupun umat Buddha tentu kita wajib menyambut dan merayakan Waisak baik itu secara individual maupun secara bersama dilingkungan sendiri atau di pusatkan di Candi Agung Borobudur. Sekian lama kita sudah yakin dan berjodoh, juga merayakan ritual dan seremonial Waisak, pertanyaannya apakah kita semua tambah maju dalam pengertian dan praktik Buddhadharma? Ataukah masih berjalan ditempat? Ataukah malah berjalan mundur kebelakang? Coba renungankan, introspeksi diri, evaluasi diri, refleksi diri, koreksi diri dan perbaiki diri. Adakah kemajuan kita terhadap Buddhadharma? Bagaimana kualitas mental kita? bagaimana pula kemajuan spiritual kita? Perlu dipahami, kesadaran adalah cahaya penerangan kita, kejujuran adalah awal dari praktik Buddhadharma, pelepasan adalah kebijaksanaan kita, ketekunan adalah usaha kita, Target adalah untuk mencapai buah kesucian kita.
Perlu disadari, Hyang Buddha pernah bersabda, penghormatan kepada Buddha banyak cara, yaitu: menghias altarNya, bernamaskara kepadaNya dan Praktikkan ajaranNya. Tentu mempraktikkan ajarannya adalah penghormatan yang tulen, baik dan bener. Bukan melakukan penghormatan biasa saja sekedar ritual dan seremonial belaka. Memperingati Hari Trisuci Waisak bertujuan untuk meneladani kesempurnaan Buddha untuk kita gugu dan tiru. Perbaiki cara pandang, watak dan sikap perilaku kita. Janganlah kita lengah dan malas membina diri, ingatlah semua yang berkondisi tidaklah kekal, tanpa kepemilikan dan dukkha tidak memuaskan. Seringlah mengunjung vihara yang ada pembabaran Dharma dan temuilah guru bijak agar pemahaman dan praktik Buddhadharma kita semua meningkat dan berhasil.
Semua makhluk hakikatnya memiliki Tathagatagarbha, ia tidak timbul-lenyap, tidak kotor-bersih, tidak bertambah-berkurang, tidak datang-tidak pergi. Tanpa wujud tapi gaib, ia bukan bodoh-cerah, juga non dualitas orang awam atau suciwan. Membina diri ditujukan untuk membina hatinya, pembebasan mutlak juga diarahkan kepada hati yang bebas dari ilusi, terbalik dan kemelekatan. Hati yang memunculkan kondisi hati itulah khayal, hati terikat dengan kondisi itulah kemelekatan, hati yang mempunyai kecenderungan dan tertuju kepada kondisi hati itulah hati terbalik. Cuma dilepaskan hati khayal, hati kemelekatan dan hati terbalik saja yang musti dilepaskan. Bila hati sudah tidak khayal, tidak melekat, tidak terbalik, tidak diskrimasi, tidak timbul, tidak tergerak maka jati diri kita otomatis akan tertampak dan keluar secara natural, karena hati sejatinya bagaikan ruang angkasa, tidak bertambah-berkurang, tidak timbul-tidak lenyap, hanya yang sadar menjaga agar tidak terhanyut dan terjerat oleh kondisi.
Awal membina diri ditujukan ke pada hati, hati itu dilatih cuma “pelepasan 放下 (fang xia)”. Supaya bisa lakukan pelepasan harus mampu melihat realita kenyataan 看破 (kan po)“ saja. Kenapa harus melihat realta kenyataan dan lakukan pelepasan? Karena sebenarnya semua makhluk sudah memiliki sumber pahala dan kebijaksanaan unggul, tetapi tertutup oleh kebodohan dan khayalan, dicengkeram oleh aktivitas kondisi hati, terjerat dengan kondisi yang ada, dan terbungkus oleh karma yang mereka ciptakan sendiri, sehingga semua makhluk mengalami bodoh dan derita yang tidak berakhir. Bila hati tidak timbul pikiran tidak tergerak, maka realitanya semua kondisi juga tidak muncul, walau ada kondisi karena hati tidak timbul dan pikiran tidak tergerak, maka semua menjadi sunya kosong. Inilah yang disebut pembebasan mutlak. Setelah peroleh pembebasan mutlak baru sempurnakan segala kebajikan/paramita menjadi Buddha.
Sutra Shurangama, disabdakan: Hati tidak di dalam, tidak diluar, tidak di antaranya. Sutra Intan disabdakan: “Hati masa lampau tidak diperoleh, hati sekarang tidak diperoleh, hati akan datang tidak diperoleh”. Penjelasan singkatnya, Hati masa lalu sudah berlalu tidak diperoleh, Hati sekarang terus berubah sehingga tidak diperoleh, Hati yang akan datang belumlah tiba sehingga tidak diperoleh. Bagaimana hati dikendalikan? Sutra Intan disabdakan: “HATI JANGAN DILEKATKAN KEPADA APAPUN”. Itulah cara kendalikan hati dan juga cara menemtramkan hati. Sutra Hati: Lepaskan, Lepaskan, semua dilepaskan, konsep lepaskan juga dilepaskan, itulah pembebasan, keheningan non dualitas. Calon Buddha hanya gunakan kekosongan hati menyempurnakan paramita jadi Buddha.
Sesungguhnya jati diri dan hati menyatu dan manunggal, tidak memahami jati diri akibatnya jati diri terbungkus oleh kebodohan ia jadi hati. Bila tidak memahami hati ia terjerat dan dipermainkan oleh wujud rupa, perasaan, pikiran, persepsi dan kesadaran (panca skandha). Bila panca skandha dikosongkan ia akan kembali ke hakikat hati yaitu jati diri. Membina diri tapi tidak membina hati cepat atau lambat jadi siluman; Membina hati tapi tapi tidak membina diri sulit menghindari cibiran banyak orang;
Sutra Pan Juo San Mei Cing, disabdakan: “Buddha adalah hati saya, adalah hati saya melihat Buddha, adalah hati saya menjadi Buddha”. Avatamsaka Sutra, disabdakan: “Buddha, hati dan semua makhluk, ketiga ini sesungguhnya tidaklah berbeda”. Buddha dan semua makhluk memiliki hati, cuma Buddha sudah memahami hati, menampakkan jati diri, sudah sempurna merealisasikan semua kebajikan dan kesucian diri. Sedang semua makhluk awam masih belum memahami hati, apalagi menampakkan jati diri, dan belum melaksanakan kebajikan dan kesucian diri secara tekun tidak mundur lagi.
Saat lapar kita makan, saat lelah kita istirahat tidur,saat berjalan, berdiri, duduk dan rebahan hati tidak bergejolak, hatinya sunya (kosong), lingkungan terasa sepi dapat membuka mata kebenaran, saling bertemu hakikat diri sendiri.
Terhadap kondisi tiada hati melepaskan debu orang awam, tiada hati juga bukan praktik benar, tiada melekat saat memunculkan hati untuk membina Sad Paramita (enam praktik luhur), orang demikan bakalan jadi pewaris Tathagata.
Pintu enam indera terdapat satu kebenaran manusia, saat pagi maupun malam hari selalu menyertai anda, sayangnya anda semua tidak saling mengenal, sehingga mencelakakan banyak kalpa menerima derita roda samsara (lautan derita).
Di dalam Sutra Altar, disabdakan: hanya sucikan hati, sehingga enam kesadaran keluar melalui enam pintu (enam indera), terhadap enam sensasi tidak polusi dan kena debu, sehingga datang dan pergi leluasa, menembusi saat digunakan tapi tiada tergerak, ini adalah Samadhi Prajna (kebijaksanaan tenang), leluasa dan bebas dinamakan praktik tanpa ingatan.
Satu ingatan yang melekat khayalan kondisi luar, dimana-mana muncul kemelekatan adalah makhluk awam; Satu ingatan hati menembusi realita kenyataan, dharma-dharma adalah sunya (kosong) kan menjadi Tathagata.
Di dalam Sutra Maha Prajna, disabdakan: semua dharma bila tidak sunya maka tidak ada kesucian dan tidak adalah buah kesempurnaan. Melekat kepada wujud hati bakalan kerasukan mara (iblis); Melepaskan corak hati jadi leluasa; semua adalah sama yang harus direnungkan, tidak diingini pun tiada yang dilepaskan. Satu ingatan yang diskriminasi sehingga awam kegelapan menyelimuti; Orang suci dan orang awam hakikatnya adalah tinggal satu rumah, mengikuti kemauan berbagai kondisi tiada risau dan galau, karena Nirvana dan hidup- mati lainnya bagaikan bunga sunya (kosong).
‘Melihat’ itu itu adalah jati diri, lepaskan melihat tiada jati diri, lepaskan jati diri tiada bisa melihat, melihat itulah jati diri. Melihat dan jati diri tidak mendua (non dualitas). Jati diri tidak berbentuk tidak berwujud, bukan hijau, kuning, ungu, putih atau hitam, bukan panjang atau pendek, bukan besar atau kecil, bukan murni, bukan kotor, bukan datang atau pergi, bukan bertambah bukan pula berkurang. Jati diri melepaskan kata menyebut wujud, lepaskan wujud hati berkondisi, kata dan bahasa (sekedar pengantar) ditanggalkan (bagaikan jari menunjuk bulan, praktisi awam hanya melihat teliunjuk jari tapi praktisi sejati langsung melihat Bulan). Hati dan perilaku sunya (timbul-lenyap sudah lenyap), bagaikan orang meminum air, panas dingin dirasakan sendiri, tapi jati diri tersebut bukan lenyap juga bukan kosong melompong.
Bila bertanya jati diri ada dimana? Jawabannya jati diri sering digunakan, saat digunakan ada delapan tempat, dimana delapan tempat tersebut? Bila di mata ia bisa melihat; di telinga ia bisa mendengar; bila di hidung ia bisa mencium; bila di mulut ia bisa mengecap; bila di tubuh bisa rasakan sentuhan; bila di kaki ia bisa berjalan; bila di tangan ia bisa mengangkat; bila ia di hati ia bisa bedakan; bila menyadari kesadaran murni ini adalah hakikat Buddha, bila tidak menyadari disebut arwah/roh.
Praktisi Buddhis bila ingin menampakkan jati dirinya, janganlah hatinya melekat satu benda/urusan; bagaikan angkasa raya satu debupun tidak menodai, tiada satu dharma yang diperoleh, seketika itu dapat menampakkan jati dirinya, sehingga dapat terbebas dari Triloka Dhatu (alam nafsu, alam rupa, dan alam arupa), terbebas dualitas awam dan suciwan, inilah jalan pembebasan untuk keluar dari jeratan dan siklus tumimbal lahir.
Siapapun yang memahami hatinya dan menampakkan jati dirinya, ia tidak dirintangan dharma, ia tidak terjatuh ke dalam abu dharma, ia tidak menjadikan pandangan diri layaknya Buddha, ia tidak terpinggirkan dari Buddha, tidak terhanyut oleh pandangan para makhluk, juga tidak menjauhkan semua makhluk; tidak melekat kepada pandangan ‘ada’, juga tidak terjerumus kepada yang ‘ada’; tidak merasa memiliki pandangan suci, juga tidak terjerumus kepada kesamping dari pandangan orang suci; hanya tiada semua pandangan sehingga ia memiliki tubuh yang tidak terbatas, tubuh Dharmakaya, seluas mahachillicosmos; Bila ada pandangan yang melekat itu dinamakan aliran sempalan; Bila tidak terjerumus ke dalam abu dharma, setiap detik menampakkan jati dirinya sendiri, setiap bulan berganti ke tahun juga menampakkan jati dirinya sendiri. Jati dirinya adalah hati sendiri, hatinya sendiri adalah jati dirinya. Berhubungan dengan abu/kekotoran tapi tidak ternoda. Mengetahui Puluhan dharma tidak terjerat. Tubuh sejatinya bercahaya, sehingga tidak berbeda dengan Buddha. Hanya saja jangan mencari keluar, satu pikiran dan hati manunggal itulah kemurnian cahaya, ini adalah Dharmakaya yang berada di dalam rumah/tubuh fisik.
Para Tathagata selama ini mengajarkan Dharma dari hati ke hati untuk menampakkan jati dirinya sendiri. Bila Anda bertanya dimanakah hati saya? Pertanyaan itulah hati Anda, Jawaban itulah hati saya. Bila tiada hati bagaimana bisa menjawab pertanyaan Anda? Bila tiada hati bagaimana Anda bisa bertanya? Sejak kalpa tiada awal semua yang bergerak semua berpusat dari hati Anda, itulah dasar Kebuddhaan Anda. Orang Bijak yang sudah cerah mengatakan: Tengoklah ke dalam diri sendiri untuk merenungkan diri sendiri, dengan jelas menyadari hakikat diri sendiri. Bila sudah sadari hakikat diri sendirinya punya mustika yang tidak ternilai, maka selamanya akan berguna tiada akhir.
Akhir kata, Selamat menyambut dan merayakan Hari Raya Trisuci Waisak 2562 BE/2018, semoga pancaran sinar anugerah Hyang Buddha menyinari kegelapan dunia dan berkah Waisak senantiasa membimbing dan melindungi kita semua, svaha, Sadhu-sadhu-sadhu, Amituofo.