Kesurupan
Oleh: Pdt. Dharma Mitra (Peter Lim)
Sepulang dari tamasya, sekujur tubuh si Santi (bukan nama sebenarnya) kejang-kejang dan mulutnya berkomat-kamit mengeluarkan kata-kata yang maksudnya sulit untuk dimengerti. Kedua orang tua Santi telah berusaha kemana-mana mencari paranormal dan ahli kebathinan (istilah awamnya dikenal dengan sebutan dukun) untuk menyelamatkan nyawa Santi, tetapi semuanya sia-sia saja dan akhirnya Santi diberitakan meninggal dunia dengan kondisi yang menggenaskan. Setelah pemakaman Santi, terdengarlah isu-isu yang menyatakan bahwa semasa hidupnya, Santi sangat doyan berbicara sembarangan (cakap kotor, kasar dan adakalanya melecehkan siapapun juga). Ada lagi yang mengatakan bahwa Santi telah kesurupan “Mbah”, karena dia terlalu sombong dan berbicara yang nggak-nggak sewaktu tamasya.
Disisi lain, ada juga yang bangga bisa kesurupan “mbah” ini dan itu. Banyak dijumpai terutama sekali di kalangan umat yang mengaku beragama Buddha tetapi tidak mengenal sama sekali ajaran Sang Buddha (alias Buddha KTP) menjadi korban oknum-oknum yang menyatakan bisa kesurupan “mbah” ini dan itu. Dan yang lebih kocaknya lagi adalah oknum tersebut mengaku bisa kesurupan apapun juga sesuai dengan “order” dari si korban.
Dari kedua jenis kesurupan ini, bisa disimpulkan bahwa kesurupan tipe yang pertama adalah bukan kehendak dari si pemilik tubuh, sedangkan kesurupan tipe kedua adalah keinginan dari si pemilik tubuh (mengundang makhluk alam halus “peta” memasuki/mendiami tubuhnya untuk sementara waktu). Mengapa semua ini bisa terjadi? Kalau diterjemahkan, makna “kesurupan” secara sederhana adalah menerima getaran-getaran atau gaya-gaya bathin dari luar dan secara utuh mempengaruhi/mengalahkan bathin si pemilik tubuh. Untuk tipe kesurupan yang pertama bisa saja terjadi pada setiap makhluk, terutama sekali dikarenakan kekuatan “kusala karma-perbuatan baik” yang melekat di tubuhnya sudah mulai melemah, dalam arti “aura-cahaya tubuh” nya telah mulai redup. Makhluk di alam setan “peta bumi” boleh dikatakan sama usilnya dengan manusia. Manusia pada umumnya berani mengganggu atau menggoda temannya ataupun orang lain karena orang tersebut tidak memberikan perlawanan. Seandainya orang tersebut bertambah takut maka akan semakin menjadi-jadilah dia menggoda dan mengganggu serta jika memungkinkan sekalian menyakiti dan membunuhnya. Demikian pula halnya dengan orang yang dimana simpanan kusala karmanya mulai melemah dan auranya mulai redup dan merupakan sasaran yang empuk bagi makhluk yang berada di alam kegelapan untuk mencoba menyakiti dan menerobos masuk ke dalam tubuh orang tersebut. Bagi yang tidak sanggup mempertahankan “sati-kesadaran” nya akan menderita pada proses kesurupan ini dan adakalanya makhluk alam rendah yang berhasil menembus pertahanan ini akan merasa betah mendiami rumah yang baru ini bagaikan penjajah yang berhasil menjarah negara lain dan enggan melepaskan daerah jajahannya. Orang yang kesurupan yang tidak tertangani dengan baik, akan meninggal dunia lebih awal dari semestinya jika tidak ditolong sedini mungkin.
Untuk menghindari dari kesurupan yang tidak diinginkan maka hanya ada satu cara yang bisa ditempuh yaitu memperbanyak perbuatan baik “kusala kamma” agar aura tetap cemerlang seperti sediakala. Makhluk alam rendah berani menampakkan ataupun memasuki tubuh sesesorang dikarenakan aura mulai memudar. Sejauh yang diketahui, rasanya belum pernah kedengaran seorang Bhikkhu/ni sampai kesurupan “mbah” ini dan itu. Perihal kesurupan yang tidak mempan terhadap anggota Sangha (para Bhikkhu/Bhikkhuni) adalah dikarenakan banyaknya timbunan kusala karma yang melekat ditubuh mereka sehingga aura bercahaya demikian terangnya melindungi dan membentengi si pemilik tubuh.
Aura yang terang benderang akan menyilaukan makhluk alam rendah sehingga takut untuk mendekati apalagi memasuki (menyurupi) tubuh seseorang. Aura bisa diibaratkan bagai cahaya matahari yang menyilaukan dan menyakitkan jika ditatap langsung dengan mata polos.
Demikianlah kesurupan tipe yang pertama dimana tanpa kehendak dari si pemilik tubuh, makhluk dari alam lain masuk seenaknya tanpa izin. Lalu…. bagaimana dengan tipe kesurupan yang kedua? Kesurupan tipe yang kedua ini adalah mengosongkan pikiran sehingga bathin menjadi pasif dan getaran dari luar dengan mudah menerobos/ memasuki sipemilik tubuh. Kesurupan tipe kedua inilah yang dalam prakteknya banyak dijumpai memperdaya umat Buddha yang hanya sebatas KTP. Dan tidak sedikit korbannya mengalami banyak hal yang fatal sebagai akibat dari ulahnya yang tidak bertanggung jawab. Banyak dijumpai umat Buddha KTP yang menyakini oknum yang mampu kesurupan ini dan itu, terperdaya akan akal bulus si oknum. Misalnya secara “medis” sikorban dinyatakan menderita penyakit “hipertensi-darah tinggi”, tapi karena percaya pada si oknum yang mengaku mampu kesurupan “mbah” ini dan itu, enggan memakan obat-obatan yang telah diresepkan, malahan mengikuti nasehat si oknum yang mampu kesurupan ini dan itu. Memakan ramuan jampi-jampi sehingga akhirnya diberitakan si korban terpaksa “check out-pindah” dari alam manusia…. alias meninggal dunia. Didalam agama Buddha, praktek “kesurupan” tidak dibenarkan karena bisa menghambat/menekan proses kemajuan bathin menuju ke arah kesucian. Agar terlepas dari praktek “kesurupan” baik yang tidak dikehendaki maupun yang diinginkan, marilah kita kembali mengembangkan “kesadaran” melalui praktek “meditasi” yang benar, agar yang namanya “dukkha-derita” jauh keberadaannya dari lingkaran “samsara: kematian dan kelahiran yang tanpa adanya awal dan akhir”.
Oleh sang Buddha telah dibabarkan bahwa terdapat 4 dasar kesadaran “cattari Satti-patthana” yang sudah seharusnya dikembangkan agar kita terlepas dari “kesurupan” makhluk ini dan itu. Keempat dasar kesadaran tersebut terdiri dari:
Kayanupassana-perenungan terhadap tubuh jasmani. Kita hendaknya senantiasa melatih diri dalam meditasi dan mewaspadai:
Pernafasan. Setiap saat dan setiap detik, kita benar-benar menyadari keluar masuknya udara, dan semua aroma yang tersebar di sekitar kita, baik yang harum, busuk, maupun yang tidak berbau sama sekali. Kesemuanya itu harus diketahui keberadaannya dengan jelas, dengan kata lain kita benar-benar menyadari apapun yang ada di lingkungan kita.
Posisi Tubuh. Menyadari dengan baik posisi tubuh yang sedang terjadi, apakah pada waktu tersebut kita sedang duduk, berdiri maupun berbaring. Tidak akan pernah merasakan “Fly-melayang-layang” dikala masih duduk, berdiri maupun berbaring. Penguasaan diri sangat baik dan tidak tergoyahkan adalah hal yang mutlak harus dimiliki/dikuasai.
Waktu Bergerak. Menyadari dengan baik apakah gerak langkahnya maju, mundur atau diam sama sekali. Dengan kata lain bahwa semua gerak-gerik anggota tubuh dikala bangun, mandi, makan, memakai pakaian, bekerja dan lain sebagainya, dikuasai dengan sebaik-baiknya. Semua gerak-gerik badan jasmani terkontrol dan terawasi dengan penuh perhatian disamping “kesadaran” dibina dengan sebaik-baiknya.
Vedananupassana-Perenungan terhadap perasaan Kita hendaknya senantiasa melatih diri dalam “meditasi” dan mewaspadai:
Perasaan Senang. Dikala menikmati sesuatu yang menyenangkan atau yang menggembirakan, hendaknya jangan sampai terlena (lupa daratan). Dikala ber “uang”, hendaknya disadari bahwa suatu hari kelak mungkin saja mengalami kepailitan. Begitu juga dikala masih sehat “jasmani dan rohani” hendaknya selalu dimanfaatkan untuk penimbunan perbuatan-perbuatan baik. Dan yang terpenting adalah dikala masih bernafas janganlah disia-siakan kehidupan ini dengan perbuatan-perbuatan tercela.
Perasaan Sakit. Terlahirkan di alam manusia ini “sehat dan sakit” datangnya silih berganti. Dikala sakit mendera badan jasmani, hendaknya pikiran ini senantiasa terlatih dengan baik untuk tidak mencelakakan orang lain. Orang baru pantas dikatakan baik jika seandainya dia berada dalam kondisi yang menggenaskan dan memiliki kesempatan untuk berbuat “jahat” untuk melepaskan penderitaannya, namun dia tidak melakukannya. Orang beginilah yang pantas dikatakan orang baik !
Perasaan Netral. Bathinya benar-benar seimbang dan tidak tergoyahkan bagaikan batu karang yang bediri kokoh yang tidak tergoncangkan oleh gempuran ombak.
Cittanupassana-Perenungan terhadap kondisi bathin. Kita hendaknya senantiasa melatih diri dalam “meditasi” dan mewaspadai:
Keserakahan sebagai Keserakahan. Menuntut lebih dari yang dibutuhkan serta tidak dimilikinya sifat puas akan apa yang telah dimiliki adalah merupakan ciri khas orang yang serakah. Cara untuk menekan “keserakahan” ini adalah dengan rutinnya “dana” disalurkan kepada orang-orang yang membutuhkan. Tanpa pernah memberi dan melepaskan kemelekatan (sesuatu yang telah dimilikinya) maka keserakahan tidak akan pernah berhasil dibasmi habis sampai keakar-akarnya.
Kebencian sebagai Kebencian. Merasa diperlakukan dengan tidak sewajarnya ataupun iri atas keberhasilan orang lain adalah merupakan salah satu bibit awal tercetusnya “kebencian” didalam kehidupan ini. Hidup yang diliputi oleh kabut kebencian akan menghambarkan keceriaan hidup. Hanya dengan “Metta-Cinta kasih” yang universallah kebencian bisa diatasi atau dibabat keakarnya yang mendalam.
Kebodohan sebagai Kebodohan. Semua orang menyadari bahwa rokok dan minuman alkohol yang berkadar tinggi akan merusak kesehatan, tetapi kenyataannya kedua “racun” ini sangat laris dipasaran. Mengapakah hal ini terjadi? Tidak lain dan tidak bukan adalah karena tebalnya kabut kebodohan yang telah menyelimuti mata bathin seseorang. Agar terlepas dari kebodohan, hanya ada satu cara yang harus ditempuh, yaitu dengan mempelajari, menyelami dan mengamalkan “Dharma-kebenaran” di dalam setiap derap langkah yang akan dilalui. Hanya dengan “Dharma-kebenaran” ajaran sang Buddha-lah, kebijaksanaan bisa diraih. Dengan dimilikinya kebijaksanaan maka kebodohan akan terkikis habis setahap demi setahap.
Dhammanupassana-Perenungan terhadap bentuk-bentuk pikiran. Kita hendaknya senantiasa melatih diri dalam “meditasi” dan mewaspadai bentuk-bentuk pikiran yang mungkin timbul. Didalam sabda-Nya, Sang Buddha menekankan bahwa pikiran sangat dominan sekali mempengaruhi “Kebahagiaan dan Kesusahan” yang dialami oleh setiap makhluk. Oleh karena itu, Sang Buddha bersabda:
Orang bijaksana hendaknya menjaga pikiran
yang sukar diawasi, sangat halus
dan cenderung mengarah pada objek yang digemari
Pikiran yang terjaga dengan baik
akan membawa kebahagiaan
Selanjutnya Sang Buddha pun menekankan bahwa pikiran yang terarah secara benar akan membuat seseorang menjadi mulia dan memperoleh pahala baik, melebihi apa yang dapat diberikan oleh Ibu, Ayah atau Sanak Keluarga.
Kesimpulan
Kesurupan bisa saja dialami oleh setiap manusia. Seseorang bisa mengalami kesurupan adalah dikarenakan lemahnya “sati-kesadaran” bersemayam ditubuhnya. Boleh disimpulkan bahwa kesurupan yang dialami oleh setiap manusia, apakah itu atas kehendak si pemilik tubuh maupun yang bukan adalah suatu hal yang sangat patut untuk dikasihani. Kesurupan bisa diibaratkan bagai tamu yang datang ke rumah kita dan langsung berkuasa, memerintah ini dan itu, bertindak semau gue dan adakalanya merusak apapun yang disekitarnya. Hanya orang-orang yang kurang berbuat kebajikanlah yang menjadi sasaran empuk bagi makhluk dari alam rendah “peta” untuk dikuasai dan dikontrol tubuhnya.
Agar terlepas dari kesurupan yang bertentangan dengan ajaran Sang Buddha, marilah kita bersama-sama melaksanakan pembinaan kesadaran “Cattari Satti-patthana” dengan melaksanakan:
a. Kayanupassana (Perenungan terhadap tubuh jasmani)
b. Vedanupassana (Perenungan terhadap perasaan)
c. Cittanupassana (Perenungan terhadap kesadaran bathin)
d. Dhammanupassana (Perenungan terhadap bentuk-bentuk pikiran)
Semoga dengan adanya perenungan ini, kita hendaknya memiliki “kesadaran” yang mantap serta bermanfaat bagi semua makhluk pada umumnya dan bagi bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia yang tercinta pada khususnya.
Kesurupan/kerasukkan menurut Buddhis!!!
by leevenaiy
Penjelasan di bawah ini merupakan penjelasan mengenai keberadaan makhluk hidup lain selain manusia, dimana di dalam Buddhisme juga dinyatakan bahwa kita tidak hidup sendiri.
Kesurupan adalah sebuah fenomena di mana seseorang berada di luar kendali dari pikirannya sendiri. Beberapa kalangan mengganggap kesurupan disebabkan oleh kekuatan gaib yang merasuk ke dalam jiwa seseorang. –Wikipedia
Istilah roh tidak umum dipergunakan dalam Buddhisme. Dalam pandangan Buddhisme di dalam kehidupan terdapat banyak jenis makhluk hidup, ada yang nampak maupun tidak nampak dengan mata telanjang atau mata biasa. Makhluk tak nampak pun dibagi lagi menjadi berbagai jenis sesuai dengan tempat/alam kelahirannya yang ditinggalinya. Perlu digaris bawahi disini bahwa jahat atau baiknya suatu makhluk ditentukan oleh niat perbuatannya. Makhluk-makhluk ini pun dilahirkan dan juga bisa mati. Dan pada umumnya mereka dilahirkan dalam kondisi menderita akibat perbuatan buruk yang ia lakukan pada kehidupan sebelumnya.
Makhluk yang tidak nampak atau disebut makhluk halus juga ada yang tinggal di dunia manusia. Mereka ada yang jahat maupun baik , dan juga ada yang bisa menyalin rupa. Mereka inilah yang bersinggungan dengan kehidupan manusia, sama seperti manusia bersinggungan dengan dunia hewan.
Dalam pandangan Buddhisme, apa yang dimaksud dengan makhluk hanyalah perpaduan dari jasmani dan batin. Jasmani dan batin tidak bisa dipisahkan satu sama yang lain. Hanya ketika mati maka jasmani dan batin terpisahkan. Selain itu Buddhisme menyatakan tidak ada roh/inti dalam tubuh suatu makhluk termasuk manusia. Tidak ada bagian dari jasmani manusia yang ”kosong” dari batin/kesadaran manusia itu sendiri.Dengan demikian tidak ada yang namanya atau peristiwa roh manusia keluar dari jasmani kemudian digantikan dengan roh lain atau disisipkan seperti di film-film horor.
Lalu bagaimana dengan fenomena ”kerasukan”? Dari pemahaman di atas, fenomena ini bukanlah peristiwa roh manusia keluar dari jasmani kemudian digantikan dengan roh lain atau disisipkan. Fenomena ini tidak lain adalah lemahnya pikiran/kesadaran manusia yang bersangkutan, yang kemudian mendapat pengaruh dari pikiran/kesadaran makhluk lain. Perlu dicatat bahwa pikiran/kesadaran manusia sendiri merupakan gelombang, bila menggunakan detektor kita bisa menemukan adanya gelombang alpha, beta, dsb pada saat-saat tertentu. Fenomena ”kerasukan” ini dapat diilustrasikan seperti channel radio. Ketika kita memutar channel radio ke channel A misalnya dan mendapatkan frekuensinya yang lemah, maka kita akan mendengar siaran radio dari channel B yang frekuensinya tinggi.
Mengapa terjadi?
Karena pikiran/kesadaran manusia yang lemah dan adanya “kenakalan” dari makhluk lain (makhluk halus). Selama pikiran/kesadaran manusia tinggi dan terkendali maka tidak akan terjadi fenomena ini. Perasan yang meluap-luap seperti kemarahan, kesedihan, keharuan, depresi merupakan salah satu faktor melemahnya kesadaran manusia. Oleh karena itu tidak heran jika kita juga menemukan fenomena “kerasukan” ini dirumah-rumah ibadah, dan biasanya terjadi pada saat acara/kegiatan yang menciptakan kondisi sehingga perasaan yang meluap-luap tersebut timbul. Sampai saat ini belum terdengar dalam kebaktian di vihara ada umat Buddha yang “kerasukan”. Hal ini karena kegiatan kebaktian di vihara tidak mengkondisikan perasaan umat menjadi meluap-luap dan melemahkan kesadaran. Tetapi justru meningkatkan kesadaran dengan adanya kegiatan meditasi.
Tujuannya fenomena ini?
Tujuannya tergantung dari mana kita memandangnya. Ada 2 sisi.
Pertama, dari sisi manusia. Ada manusia yang tidak bertujuan apapun tetapi ia tidak menjaga kesadarannya dengan baik sehingga terjadi fenomena tersebut. Adapula yang sengaja melemahkan kesadarannya (demi kepopulerannya) dengan memberikan kesempatan kesadaran makhluk lain mempengaruhi kesadarannya untuk berbagai tujuan seperti kekuatan supranatural, petunjuk-petunjuk dari masalah pengobatan sampai nomor togel. Tindakan berupa pelemahan kesadaran secara sengaja ini sangat bertentangan dengan ajaran Buddhisme yang selalu mengedepankan kesadaran untuk dapat mengendalikan diri.
Kedua, dari sisi makhluk lain. Walaupun mereka dilahirkan dalam kondisi yang menderita, sama seperti manusia mereka pun ada yang memiliki pikiran baik maupun buruk, memiliki rasa iri, keserakahan,dsb. Ada yang memiliki pikiran baik untuk menolong makhluk lain meskipun jumlahnya jarang karena mereka kebanyakan sibuk dengan penderitaan mereka sendiri, dan mereka tidak memiliki kesempatan untuk berbuat baik, satu-satunya cara mungkin adalah dengan mempengaruhi kesadaran manusia untuk memberikan petunjuk-petunjuk kepada manusia, meskipun tidak jarang mereka memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi berupa meminta sesaji dan memberikan petunjuk yang tidak benar. Ada pula yang sengaja mengganggu kesadaran manusia, ada pula yang terpaksa sebagai protes karena tempat tinggalnya diganggu/digusur. Semua hal ini sama seperti kehidupan manusia, ada yang mengganggu makhluk lain seperti menebang hutan yang merupakan tempat tinggal hewan, mengadu hewan seperti jangkrik, ayam, domba, dan berburu demi kesenangan. Hal ini terjadi karena para makhluk masih memiliki dosa (kebencian), lobha (keserakahan), dan moha (kegelapan batin).
Apapun perbuatan yang didasari oleh NIAT yang dilandasi oleh 3 akar kejahatan yaitu dosa (kebencian), lobha (keserakahan), dan moha (kegelapan batin) merupakan perbuatan buruk (karma buruk) yang akan mengakibatkan penderitaan. Untuk itu, Buddha Dhamma mengajarkan untuk melatih diri mencegah timbulnya dan melenyapkan 3 akar kejahatan tersebut. Dan untuk melatih hal ini kita membutuhkan pengendalian diri yang tinggi dan kesadaran yang penuh.
Kerasukan Tuhan
Waktu kecil, saya kerap menjumpai fenomena orang yang kerasukan setan. Peristiwa ini umumnya menimpa anak kecil dan kaum perempuan.
Orang yang kemasukan setan biasanya berteriak-teriak, meronta, dan melontarkan kata-kata yang kurang dimengerti. Biasanya, seorang dukun atau “orang pintar” dipanggil untuk mengusir setan dari tubuh orang yang kemasukan setan itu.
Meskipun agresif, orang yang kemasukan setan umumnya tidak berbahaya. Mereka akan lunglai begitu diatasi oleh sang dukun. Setelah beberapa jam, biasanya, semuanya kembali normal.
Sekarang, saya sudah tidak lagi menjumpai fenomena orang kemasukan setan. Hampir tidak ada lagi cerita orang kemasukan setan di tempat saya tinggal. Entah pada ke mana setan-setan itu.
Yang banyak saya jumpai kini adalah orang-orang yang kerasukan Tuhan. Bukan hanya di sekitar saya tinggal, fenomena kerasukan Tuhan mewabah ke mana-mana, hampir di setiap sudut negeri ini saya menjumpai fenomena orang kerasukan Tuhan.
Yang menarik, orang-orang yang kerasukan Tuhan punya perilaku agak mirip dengan orang-orang yang kemasukan setan: suka teriak-teriak, kadang kalau dirasa kurang keras mereka menggunakan pengeras suara. Mereka juga agresif dan kerap mengumbar kata-kata yang kurang bisa dimengerti.
Berbeda dengan orang yang kerasukan setan, agresifitas orang yang kerasukan Tuhan sungguh berbahaya. Pada kondisi yang parah, para pengidap Tuhan ini bisa mencelakakan orang lain. Mereka bisa membunuh orang lewat bom bunuh diri, menyerang orang yang dianggap berbeda, serta menyebarluaskan kebencian.
Orang-orang yang kerasukan Tuhan menghalalkan segala cara, termasuk memecah-belah persatuan, menebar fitnah, serta menggunakan isu SARA yang berbahaya. Orang yang kerasukan Tuhan tak peduli pemimpin yang mereka usung apakah berkualitas atau tidak. Yang penting sama dengan mereka dalam soal kerasukan.
Jadi, camkan saudara-saudara, kerasukan Tuhan jauh lebih berbahaya daripada kerasukan setan.
KESURUPAN: Bukanlah Kemasukan Roh Jahat, Ini Penjelasan Ilmiahnya
Film horror dengan judul The Conjuring 2. Selama menonton, beberapa orang telah mengalami sebuah fenomena yang secara umum oleh masyarakat Indonesia disebut “kesurupan”. Sebenarnya, saya belum menyaksikan film horror ini, tetapi saya telah menyaksikan The Conjuring 1. Secara pribadi, saya melihat, film tersebut tidak mengerikan, tidak pula menakutkan. Dengan kata lain, film tersebut biasa saja. Sebenarnya, “kesurupan” atau “kerasukan” adalah fenomena yang biasa dialami oleh masyarakat, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di negara lain. Karena itu, dapat dikatakan bahwa “kesurupan” atau “kerasukan” adalah hal yang lumrah dialami oleh anggota masyarakat dari berbagai belahan di bumi ini.
Apakah “kesurupan” itu?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “kesurupan” didefinisikan sebagai “kemasukan (setan, roh) sehingga bertindak yang aneh-aneh”. Sedangkan, kata “kerasukan” dipahami sebagai “kemasukan (roh jahat dsb); kesurupan”. Dari definisi ini, dapat dilihat bahwa secara umum dalam pemahaman masyarakat Indonesia, orang yang dianggap mengalami fenomena “kesurupan” atau “kerasukan” berarti sedang dikuasai oleh setan, atau makhluk lain, sehingga tindakan fisiknya dan ucapannya di luar kendali dia.
Kalau ditelisik, kata “kesurupan” sendiri berasal dari Bahasa Jawa, “surup”. Surup artinya, “petang”, “senja” atau “sore hari saat menjelang dan sesaat setelah matahari terbenam. Kata ini dipergunakan secara umum mungkin karena banyak orang yang mengalami fenomena “kesurupan” pada saat senja, petang atau sore hari ketika matahari terbenam atau sesaat setelah matahari terbenam. Meski memiliki definisi yang kurang lebih sama dan tanpa bukti historis yang otentik, dapat diasumsikan bahwa kata “kesurupan” lebih awal dipergunakan oleh masyarakat Indonesia. Hal ini dipergunakan untuk menandai suatu fenomena yang terjadi pada seseorang yang sikap dan perilakunya di luar kendali dirinya sendiri. Hanya saja, setelah perkembangan waktu, fenomena ini disebut juga dengan istilah “kerasukan”. Namun, bisa juga diasumsikan, istilah “kesurupan” dipergunakan oleh orang-orang empiris untuk menandai fenomena tersebut dan istilah “kerasukan” lebih banyak dipergunakan oleh orang-orang yang lebih cenderung terlibat dalam dunia atau pengalaman mistis.
Dalam Bahasa Inggris, istilah yang dipergunakan untuk mengacu pada fenomena “kesurupan” adalah “possessed”. Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary, istilah “possessed” didefinisikan sebagai “(of a person or their mind) controlled by an evil spirit”. Definisi tersebut dapat diartikan sebagai “(seseorang atau pikirannya) dikuasai oleh makhluk jahat”. Penyertaan istilah “possessed” sebagai salah satu lema dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary adalah bukti bahwa masyarakat barat pun mempercayai akan fenomena tersebut atau fenomena “kesurupan” juga dialami oleh masyarakat barat.
Istilah dalam dunia psikologi
Sejauh ini, saya belum pernah menemukan kamus psikologi Indonesia atau buku panduan untuk merujuk berbagai gangguan kejiwaan di Indonesia. Oleh karena itu, saya tidak bisa memastikan apakah istilah “kerasukan” atau “kesurupan” diikutsertakan sebagai lema dalam buku tersebut atau tidak. Hanya saja, kalau merujuk pada The Cambridge Dictionary of Psychology, istilah “possessed” tidak dimasukkan sebagai lema dalam kamus tersebut.
Yang menjadi alasan istilah “possessed” tidak dimasukkan sebagai lema dalam kamus tersebut, tampaknya, adalah karena para psikolog memiliki pandangan yang berbeda dalam menyikapi fenomena yang disebut sebagai “possessed” atau “kesurupan” atau “kerasukan”. Dalam dunia psikologi, fenomena yang biasa dikenal dengan sebutan “possessed” atau “kesurupan” atau “kerasukan” disebut dengan istilah “split personality” atau “dissociative identity disorder”. Frasa “split personality” atau bisa diterjemahkan sebagai “kepribadian ganda” dipahami sebagai “suatu gangguan psikologis yang ditandai oleh hadirnya dua atau lebih identitas atau kepribadian yang berbeda dalam orang yang sama, yang sering berulang kali mengendalikan orang tersebut dan yang mungkin hanya memiliki sedikit pengetahuan masing-msing pribadi dan sejarah orang yang bersangkutan.”
Dalam kondisi “kesurupan”, terutama “kesurupan” akut, yang bersangkutan juga pada umumnya tidak mengerti apa yang terjadi, tidak mengetahui mengapa dia bersikap semacam itu. Artinya, pribadi saat sadar dan pribadi saat sedang mengalami fenomena “kesurupan” tidak saling memahami atau mengetahui. Keduanya tidak saling mengenal satu sama lainnya.
Bagaimana “kesurupan” bisa terjadi?
Khalayak ramai mempercayai bahwa orang yang sedang mengalami fenomena “kesurupan” atau “kerasukan” sedang dirasuki atau dikuasai oleh makhluk lain. Kadang yang merasuki bisa saja makhluk jahat, atau bisa juga kerabatnya sendiri. Karena itu, seluruh tindakan maupun ucapannya diluar kendalinya.
Benarkah demikian yang terjadi? Dunia psikologi modern tidak mempercayai pengalaman yang bersifat mistis, sebab pengalaman-pengalaman yang kita alami dapat dijelaskan secara empiris. Sebenarnya, apa yang terjadi pada orang-orang yang disebut mengalami “kesurupan” atau “kerasukan” adalah kesadarannya turun dan bawah sadarnya naik.
Pada saat kita sedang tidak mengalami “kesurupan”, kesadaran kita dominan atau aktif dan kondisi bawah sadar tidak bisa muncul ke permukaan. Hal ini bisa terjadi karena bawah sadar terhalang oleh ego kita yang begitu kuat. Namun, ketika kesadaran kita turun atau lemah, ego sudah tidak mungkin membendung kondisi bawah sadar sehingga kondisi bawah sadar bisa keluar dengan leluasa. Kondisi bawah sadar juga bisa bergerak dengan leluasa saat kita sedang bermimpi. Dalam kedua situasi tersebut, ego benar-benar tidak berdaya sehingga tidak bisa merintangi bawah sadar untuk bereaksi sebebas-bebasnya.
Sebenarnya, kondisi ini juga tidak ada bedanya dengan kondisi saat kita sedang dihipnotis. Hanya saja, saat dihipnotis masih banyak yang egonya berkuasa sehingga masih bisa mengendalikan diri dan mengingat apa yang terjadi. Jika memang demikian yang terjadi, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kita bisa berperilaku dan berucap dengan gaya yang berbeda, bahkan kekuatan fisik yang berbeda?
Sesungguhnya, kondisi bawah sadar kita menyimpan segudang kemampuan dan talenta. Akan tetapi, kemampuan dan talenta tersebut tidak bisa diekspresikan atau diungkapkan dengan bebas karena terbelenggu oleh ego yang begitu dominan. Karena adanya berbagai kemampuan dan talenta, kita mampu berucap, dan bertindak secara tidak normal dan diluar batas kewajaran. Mengenai kemampuan fisik, sebenarnya dari seluruh energi yang kita miliki hanya sekitar 20% yang kita pergunakan. Selebihnya, energi tersebut tidak dimanfaatkan sama sekali. Tidak percaya? Gampang saja untuk membuktikannya. Bagaimanakah Anda berlari saat dikejar anjing atau ular berbisa? Lebih cepat dari biasanya, bukan? Mampu melompati pagar yang tingginya melampui batas kewajaran? Itulah bukti bahwa energi kita banyak yang tidak dipergunakan secara maksimal atau bisa juga dikatakan fungsinya hanya sebagai energi cadangan.
Proses “kesurupan”
Ketika senja sedang berlangsung, umumnya orang sudah lelah setelah bekerja seharian. Saat itulah banyak orang melamun, teringat akan apa yang telah terjadi. Dalam kondisi badan lelah dan pikiran yang terus bergentayangan, ditambah lagi suasana sedikit redup, mudah membuat orang terlena, kesadarannya menurun dan bawah sadarnya bisa naik. Dalam konteks ini, cahaya luar yang redup berfungsi sebagai penghipnotis sebab cahaya juga bisa dijadikan sebagai media untuk menghipnotis.
Dalam permainan kuda lumping, musik yang ditabuh selama pemain kuda lumping menari dalam tahap awal, berperan sebagai sarana penghipnotis. Suara musik itulah yang membuat para pemain kuda lumping menjadi lemah kesadarannya dan bawah sadarnya naik. Jika memang hanya bawah sadar yang naik, bagaimana dengan jarum, kaca dan barang-barang keras lainnya yang dimakan?
Sejauh ini saya masih berusaha untuk meneliti hal ini karena secara medis, jangankan benda-benda keras semacam itu, rumput sekalipun sistem pencernaan kita tidak sanggup mengurainya. Pada saat seseorang dihipnotis, arahan atau hentakan dari orang lain menjadi sarana untuk menurunkan kesadaran dan secara otomatis menaikkan bawah sadar. Proses semacam ini sebenarnya tidak ada bedanya dengan para pendeta di Kelenteng yang kesurupan. Mantra yang dibaca menjadi sarana untuk menurunkan kesadaran dan menaikkan bawah sadar. Karena itu, mereka bukan kerasukan para dewa atau para leluhur tetapi karena kondisi bawah sadarnya naik. Oleh karena itu, yang aktif berbicara saat para pendeta di Klenteng tersebut “kerasukan” atau “kesurupan” adalah bawah sadar pendeta tersebut dan bukan para dewa atau para leluhur.
Sebab “kesurupan”
Penyebab utama seseorang bisa mengalami fenomena yang disebut sebagai “kesurupan” adalah lemahnya kesadaran seseorang. Dengan kata lain, orang-orang yang memiliki kesadaran yang lemah akan mudah “kesurupan”. Sedangkan orang yang kesadarannya kuat akan sulit bahkan tidak mungkin kesurupan. Faktor kedua adalah perasaan bersalah (guilty feeling). Orang-orang yang memiliki penyesalan tinggi akan mudah menjadi terlena sehingga mudah mengalami “kesurupan”.
Hal ini pernah terjadi di Sri Lanka, dan menjadi semacam epidemi di kalangan masyarakat pedesaan terpencil. Pada suatu ketika, banyak wanita yang mengalami “kesurupan”. Ketika sedang kesurupan, mereka merasa didatangi oleh “Kalu Kumara” atau “Black Prince”. “Kalu Kumara” itulah yang menggerakkan seluruh aktivitas mereka. Ketika hal ini terjadi, pemerintah mengirimkan para psikolog untuk meneliti kasus ini. Ketika diteliti, penyebabnya adalah perasaan bersalah (guilty feeling). Yang menyebabkan para wanita pedesaan memiliki guilty feeling adalah mereka pernah selingkuh. Masyarakat Sri Lanka memegang teguh moralitas sehingga begitu kesalahan dilakukan guilty feeling akan sangat kuat muncul. Mereka tidak mampu mengungkapkan kesalahan tersebut sehingga mau tidak mau mereka harus menanggung beban mental yang berkepanjangan. Selain perselingkuhan, fantasi seksual yang tidak tersalurkan juga bisa menjadi penyebabnya.
Fantasi seksual yang tidak normal tentu dianggap tabu di kalangan masyarakat pedesaan. Karena itu, fantasi seksual semacam itu hanya dipendam dan tidak terekspresikan. Pada akhirnya, fantasi seksual itu juga memicu munculnya penyesalan dan berujung pada “kesurupan”. Yang ketiga adalah faktor kebiasaan. Faktor kebiasaan juga bisa menjadi penyebab “kesurupan”. Contohnya, seorang pemain kuda lumping. Begitu dia mendengar suara gendang, dia akan mudah terlena karena kesadarannya turun, terhanyut oleh alunan music. Oleh karena itu, begitu mendengar suara musik dia akan mudah “kesurupan”. Yang keempat adalah faktor ketakutan. Hal ini bisa terjadi dalam kasus kesurupan massal yang sering terjadi disekolah atau sebuah institusi yang memiliki beberapa orang atau karyawan. Saat seseorang merasa ketakutan melihat temannya “kesurupan”, kesadarannya pun akan menurun dan menyebabkan bawah sadarnya naik. Oleh karena itu, karena tidak paham akan fenomena ini, banyak orang yang terjangkit “kesurupan” dan dianggap tempat tersebut telah dihuni oleh banyak setan gentayangan.
Cara menyembuhkan orang “kesurupan”
Saat ada orang yang mengalami kesurupan, banyak yang menjadi takut karena berpikir bahwa orang yang “kesurupan” sedang dikuasai oleh roh jahat, makhluk halus, para leluhur atau para dewa. Sebenarnya, fenomena ini tidak perlu ditakuti karena fenomena ini sangat mudah disembuhkan. Cara menyembuhkannya sangat mudah. Pertama-tama yang harus dilakukan adalah jangan bersikap kasar pada orang yang sedang “kesurupan” sehingga tidak memicu dia untuk memberontak atau berbalik bersikap kasar pada kita.
Cukup pegang tangannya atau kakinya atau bagian tubuhnya. Pijitlah dengan lembut tangan atau kaki atau bagian tubuh yang lainnya. Tujuannya adalah untuk mengembalikan kesadaran dia. Jika cara tersebut tidak mempan, pijit dengan keras sela antara jempol dan telunjuk jari. Jika sela ini dipijit dengan keras, akan menimbulkan rasa sakit. Rasa sakit tersebut akan bisa menyadarkan dia. Jika yang bersangkutan masih “kesurupan” kembali, pijitlah berulang kali hingga orang tersebut menjadi benar-benar sadar. Oleh karena itu, memijit sela jempolan dan telunjuk jari bukan untuk mengeluarkan setan atau roh yang ada dalam tubuh orang yang sedang kesurupan, tetapi sekadar untuk memicu rasa sakit. Rasa sakit tersebut bertujuan untuk membangkitkan kesadaran orang tersebut. Di kalangan pemain kuda lumping, cara praktik untuk menyembuhkan orang-orang yang sedang “kesurupan” adalah dicambuk. Begitu dicambuk dengan keras, mereka akan langsung tersadarkan.
Karena itu, intinya sebenarnya hanya membuat orang tersebut bisa kembali sadar karena rasa sakit yang ditimbulkan oleh cambukan. “Kesurupan” tidak hanya dialami sekali saja dalam hidup, tetapi juga ada yang menahun. Artinya, ada orang yang “kesurupan” berulang kali selama bertahun-tahun dalam momen-momen tertentu. Misalnya, setiap bulan purnama, setiap akhir bulan, setiap datang bulan dan sebagainya. Untuk menangani orang-orang semacam ini, lakukanlah suatu tindakan yang disebut shock therapy. Dengan kata lain, therapy tersebut membuat dia jera dan merasa takut untuk mengalami “kesurupan” kembali.
Saya sering kali kurang ajar. Karena itu, saya sering mengatakan “Kalau ada yang sering kesurupan, ambil saja air toilet dan siramkan pada orang yang sedang kesurupan. Dia pasti sembuh seumur hidup.” Shock Therapy ini juga pernah saya praktikkan di Padepokan Dhammadipa Arama, Batu. Begitu tiba di sana, saya mendapatkan cerita bahwa banyak samanera dan atthasilani yang sering “kesurupan”. “Gampang saja untuk mengobatinya”, demikian saya berseloroh. “Kalau ada yang kesurupan, ikat dia dan cemplungkan ke kolam ramai-ramai. Sejak saat itu, tidak ada samanera atau atthasilani yang “kesurupan” lagi.
Di vihara Ajahn Chah juga pernah terjadi demikian. Ajahn Chah menasihatkan orang yang kesurupan untuk dikubur hidup-hidup. Setelah itu, orang yang kesurupan tidak kumat kembali. Di zaman Sang Buddha, ada juga bhikkhu yang “kesurupan”. Para bhikkhu membawa bhikkhu yang “kesurupan” ke tempat penjagalan hewan dan diminumi darah binatang yang telah disembelih. Hasilnya, bhikkhu tersebut tidak pernah “kesurupan” lagi.
Kesimpulan
Apa yang disebut sebagai “kesurupan” bukanlah “kemasukan” setan, roh jahat, para dewa atau makhluk lainnya, melainkan merupakan fenomena psikologis. Hal ini bisa terjadi karena kesadaran orang tersebut melemah dan menyebabkan kondisi bawah sadar naik. Karena itu, fenomena “kesurupan” tidak perlu ditakuti atau disembuhkan secara mistis. Sebenarnya tidak ada unsur mistis sedikit pun. Masyarakat pada umumnya mengaitkan fenomena ini dengan unsur mistis karena mereka tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi. Oleh sebab itu, sudah saatnya kita mengubah persepsi dan menangani dan menyembuhkan mereka yang mengalami fenomena “kesurupan” secara manusiawi.
Sumber Referensi:
* Kesurupan, Pdt. Dharma Mitra (Peter Lim); https://artikelbuddhis.blogspot.com.au/2010/09/kesurupan.html
* Kesurupan/kerasukkan menurut Buddhis; by leevenaiy; https://leevenaiy.wordpress.com/2011/06/29/kesurupankerasukkan-menurut-buddhis/
*Kerasukan Tuhan; Luthfi Assyaukanie; https://nalarpolitik.com/kerasukan-tuhan/
* KESURUPAN: Bukanlah Kemasukan Roh Jahat, Ini Penjelasan Ilmiahnya; Artikel ini diambil dari catatan yang ditulis oleh Dhammasiri Sam, seorang Samanera yang saat ini sedang belajar di Colombo, Sri Lanka. Artikel aslinya dapat dilihat di Link berikut: https://www.facebook.com/notes/dhammasiri-sam/kesurupan