Jalan Tengah Buddha Menuju Pengetahuan, Menjembatani Sains & Spiritualitas

Semua pengetahuan sains itu provisional. Segala yang “diketahui” oleh sains, bahkan fakta-fakta paling umum dan teori-teori yang telah lama ada, tetap terpapar pada studi ulang ketika informasi-informasi baru muncul. —editorial Scientific American, Desember 2002.

Kebanyakan pendidikan kontemporer kita didominasi oleh pandangan dunia sains materialistik Barat. Pandangan dunia ini menjadi landasan orientasi kognitif perorangan, kelompok, ataupun masyarakat. Pandangan dunia ini melingkupi seluruh pengetahuan masyarakat dan sudut pandang masyarakat termasuk filosofi alam, Dhamma, etika, dan tata krama. Pandangan dunia berkembang dalam konteks bahasa, kultur, dan niaga. Ia mengkondisikan pola pikir umum, model mental, persepsi, dan kebiasaan manusia dalam membuat pilihan.

Oleh karena itu, menamai jalan kuno yang ditemukan oleh Buddha yang telah memutar Roda Dhamma sebagai Jalan Tengah menjadi penting maknanya. Jalan yang moderat dan bijaksana ini Jalan Mulia Berunsur Delapan: “Menghindari kedua ekstrim [dari pemanjaan-diri dan dari penolakan-diri, dan dari segalanya-ada dan segalanya-tak-ada]. Jalan Tengah yang diketahui oleh Tathagata—menghasilkan visi dan pengetahuan—mengantar pada ketenangan, pada pengetahuan melalui pengalaman sendiri, pada pengertian langsung [melalui pengalaman sendiri], pada pencerahan diri, pada ketidakmelekatan”. (1) Tulisan ini mengadvokasi pandangan bahwa Jalan Tengah dapat ditemukan kembali saat ini sebagai jalan menuju pengetahuan yang dapat menjembatani jurang antara pandangan sains material and sains spiritual.

Ada beberapa poin perbedaan penting antara pendekatan Buddhis terhadap pengetahuan dan pendekatan sains modern terhadap pengetahuan. Kata Sanskrit veda berarti pengetahuan. Veda-veda (500-1000 SM) tercakup dalam tulisan-tulisan suci yang dikatakan telah diwahyukan kepada rishi atau rishika (orang-orang suci) di zaman India kuno. Namun, pendiri Buddhisme, Jainisme, dan Sikhisme menolak otoritas Veda-veda. Terutamanya adalah Buddha yang menolak kepercayaan buta, kepercayaan dogmatis, ritual, pengorbanan hewan untuk menyenangkan dewa, kepercayaan bahwa pengetahuan spiritual muncul dari menghapal teks-teks suci, atau dari keturunan tinggi dari kelas Brahmin di India. Tak seperti Brahmanisme Veda, pengikut tradisi Shramana esketik (pertapaan keras) adalah gerakan heterodoks bukan-Veda yang hadir bersamaan dengan tradisi Hindu Veda. “Shrama” berarti upaya atau membuat upaya pribadi untuk melakukan kesederhanaan untuk mencapai pembebasan.

Kata sains berasal dari bahasa Latin scientia yang berarti pengetahuan. Sains adalah proses mengumpulkan pengetahuan tentang dunia alam dan perilaku manusia-sosial dengan menggunakan metode-medode ilmiah yaitu observasi, riset empiris, hipotesa, eksperimen berulang, pengukuran, dan kesimpulan. Sains modern dimulai hanya sejak abad ke-19. Kamus bahasa Inggris Oxford menulis bahwa kata scientist (peneliti) mulai ada pada tahun 1834. Apa yang hari ini kita sebut sebagai sains, dulunya disebut filosofi natural. Ini termasuk studi alam semesta fisik dari yang teramat besar hingga teramat kecil. Newton menulis bukunya yang terkenal Mathematical Principles of Natural Philosophy pada tahun 1687 dan Francis Beacon percaya bahwa ia telah memulai metode baru bagi filosofi natural.

Spiritualitas adalah jalan internal praktek kontemplasi yang memungkinkan seseorang menemukan kealamian dari pikiran-realitas-diri dan koneksi seseorang dengan alam semesta hidup, Tuhan atau Kuasa Agung. Kata “Religion (Agama)” berasal dari bahasa Latin religare, yang berarti “untuk mengikat, untuk mengekang”. Agama terorganisir biasanya mengadopsi dan melembagakan suatu pandangan dunia dan kepercayaan pada otoritas Tuhan supernatural eksternal atau dewa-dewa, tulisan-tulisan suci, adat-adat moral, simbol suci, ritual, liturgi, komentar-komentar oleh cendikiawan dan oleh tatanan imam, biarawan, dan pendeta. Dhamma, sebagaimana yang Buddha ajarkan, bukanlah agama, melainkan suatu cara hidup yang luhur dan ditujukan untuk kedamaian hati, kebahagiaan, dan kebebasan dengan mengakhiri penderitaan melalui pengertian benar. Ajaran Jalan Tengah membantu penyebaran Buddhisme di berbagai kultur yang berbeda. Ajaran-ajaran ini mempunyai kekuatan penyembuhan karena mereka mengurangi konflik batin dan pikiran melalui pengertian benar.

Jalan Mulia Berunsur Delapan yang mengantarkan ke pengetahuan, visi, dan berhentinya kamma —adalah jalan utuh untuk membuka potensi psiko-spiritual pencerahan yang ada dalam setiap manusia. Jalan ini harus dikembangkan oleh praktisi setiap generasi di waktu dan kultur yang berbeda. Cara paling sederhana dalam menyuarakan Dhamma di dunia modern adalah dengan menerjemahkan Tiga Perlindungan sebagai perlindungan pada pengetahuan supremasi (dari Buddha), kebenaran (dari Dhamma), dan kebijaksanaan dari orang-orang luhur (sangha).

Istilah Buddhis putthujjana merujuk pada manusia-manusia biasa, biarawan, maupun umat awam yang masih memiliki sepuluh belenggu yang mengikat mereka pada lingkaran kelahiran kembali dan adalah orang-orang yang belum meraih salah satu dari empat tahap pencerahan ariya-puggala. Baik Tiga Permata maupun Jalan Mulia Berunsur Delapan dapat direalisasi secara mendalam. Sutta tentang pandangan benar (Sammaditthi Sutta) yang dijelaskan oleh Yang Mulia Sariputta menyelami inti dari ajaran-ajaran Buddha dan dapat dimengerti pada pengertian intelektual level keduniaan (lokiya), dan kemudian di level pengalaman non-konseptual. Level supra-keduniaan (lokuttara) membawa kebebasan yang sebenarnya dari lingkaran kesengsaraan berulang.

Sains empiris Barat modern telah memberikan kita konsep-konsep dan ide-ide intelektual yang impresif sejak abad ke-16, tetapi itu juga menciptakan dualitas pikiran dan bentuk. Pendidikan kita gagal untuk menyikapi problem sistemik besar-besaran di masyarakat dan ekonomi kita karena pendidikan terpisah dari pengalaman duka yang sebenarnya di dalam kehidupan sosial manusia. Pemimpin-pemimpin kita kehilangan koneksi-antar-hati dan kepintaran hati. Jika kita tidak melihat, menyadari, dan menerima penderitaan di dalam pengalaman kita sendiri, maka tidak mungkin ada gerakan psikologis untuk mengenali penyebab penderitaan, tidak ada harapan pula untuk mengakhiri penderitaan, dan tidak ada jalan. Jalan Tengah menghubungkan dunia spiritual dan sains dengan mengembangkan kekuatan spiritual dari kewaspadaan, salah satu dari tujuh faktor pencerahan.

Ada empat dimensi dari alam kita: tubuh, sensasi perasaan (vedana), pikiran dan isinya. Mereka menyediakan empat cara untuk membangun kesadaran sebagaimana yang diajarkan oleh Buddha dalam Satipatthana Sutta. Karena semua enam pintu indera ada di tubuh, semua kontak dengan dunia luar ada di level tubuh. Kewaspadaan konstan dengan mengerti ketidakkekalan vedana di aliran tubuh-pikiran disebut dalam bahasa Pali sampajanna. Riset oleh Institut HeartMath menunjukkan bahwa jantung manusia mengeluarkan gelombang elektromagnetik yang kuat di sekitar tubuh. Gelombang ini 50 kali lebih kuat daripada [gelombang] otak. Studi menunjukkan adanya komunikasi antara hati dan otak yang dapat meningkat pesat dengan adanya energi positif dari cinta-kasih (metta) dan apresiasi (mudita).(2) Meditasi mengajari kita untuk tetap ada di saat ini dan membawa kesadaran kita pada pengalaman-pengalaman kita ketika mereka muncul, tanpa menghakimi. Praktek Buddhis tonglen dan empat brahmavihara—cinta-kasih, welas asih, kebahagiaan apresiatif, dan ketenang-seimbangan—melatih hati-pikiran kita untuk tetap terbuka dan menghasilkan emosi positif bagi penyembuhan sakit di diri sendiri dan orang lain.

Orientasi dari Jalan Mulia Berunsur Delapan adalan teori sistem Buddha dan itu dimulai dan berakhir dengan pandangan benar. Penting untuk mengerti susunan langkah—apa yang duluan dan apa yang belakangan–agar mahir dalam jalan ini.

Para bhikkhu, seperti dini hari mendahului dan menjadi indikasi pertama dari terbitnya mentari, begitu pula pandangan benar mendahului dan merupakan indikasi pertama dari keadaan-keadaan baik. Karena adanya pandangan benar, niat benar muncul. Karena adanya niat benar, ucapan benar muncul. Karena adanya ucapan benar, tindakan benar muncul. Karena adanya tindakan benar, penghidupan benar muncul. Karena adanya penghidupan benar, upaya benar muncul. Karena adanya upaya benar, kewaspadaan benar muncul. Karena adanya kewaspadaan benar, konsentrasi benar muncul. Karena adanya konsentrasi benar, pengetahuan benar muncul. Karena adanya pengetahuan benar, pembebasan dari bahaya yang benar muncul. (3)

Bhikkhus, ketidaktahuan (avijja) mendahului munculnya faktor-faktor yang menurunkan moral; tiadanya rasa malu berbuat salah (ahirika) dan tiadanya rasa takut berbuat salah (anottapa) hanyanya pengikutnya. Para bhikkhu, seseorang yang tidak tahu dan kurang bijak akan memegang pandangan salah. Dalam diri orang yang memegang pandangan tidak baik akan muncul pemikiran yang tidak benar; orang yang memiliki pemikiran tidak benar akan mengatakan hal-hal yang tidak baik; orang yang mengatakan kata-kata tidak benar akan melakukan tindakan tidak baik; orang yang tercela dalam tindakannya akan melakukan mata pencaharian salah; orang yang bermata pencaharian salah akan membuat upaya-upaya yang tidak terampil; dan orang yang berupaya tidak terampil akan mempraktekkan kewaspadaan yang tidak terampil; dan orang yang mempraktekkan kewaspadaan yang tidak terampil akan mengembangkan konsentrasi yang tidak terampil. (4)

Ada enam kualitas tak terlampaui dari Buddha Dhamma:

  1. Svakkhato: diverifikasi sendiri dan bukan spekulasi
  2. Sanditthiko: mampu untuk ditelaah dan dicek dengan penelusuran ilmiah
  3. Akaliko: tak lekang waktu dan segera ada hasilnya; tidak terbatasi oleh waktu relatif
  4. Ehipasiko: mengundang seseorang untuk datang dan melihat
  5. Opanayiko: mengarah ke dalam
  6. Paccattaṃ veditabbo vinnuhi: direalisasikan langsung oleh murid-murid bijak dan luhur.

Pikiran disebut hadir-bersamaan dengan waktu dan kesadaran, terutama dalam tradisi Dzogchen dari Buddhisme Tibet. Pengetahuan dan sains Veda (dalam bahasa Sanskrit vijnana) di India kuno menempatkan kesadaran (dalam bahasa Pali vinnana) tempat penting dalam mengerti alam semesta, termasuk manusia. Dalam Buddha Dhamma, semua hal di dunia materi terbuat dalam unit-unit kecil—kalap, semacam partikel kuantum terkecil, yang berada dalam kondisi selalu berubah dan membentuk segala hal di alam semesta. Di dunia fisika kuantum, tidak ada fenomena dasar yang merupakan fenomena jika ia belum terobservasi. Kognisi (pengenalan) menggantikan kesadaran pengobservasi. Segala fenomena yang timbuh bersama di dalam jaringan sebab-akibat yang saling bergantungan. Penyatuan fenomena mental (nama) dan fenomena fisik (rupa) adalah terkondisi oleh kesadaran non-lokal (dari si pengobservasi) di dalam hubungan sebab-musabab (paticcasamuppada).

Realita itu mengalir, tetapi untuk mencari rasa aman maka kita terus menciptakan dan memodifikasi struktur-struktur untuk berpegang pada tempat kita, bukannya memberikan ruang untuk perubahan atau agar pertumbuhan terjadi. Disfungsi struktural dan membludaknya dukkha dimulai oleh pandangan dualistik reduksionis [pandangan bahwa segalanya bisa dimengerti dengan mengerti komponen pembentuknya] dan pandangan materialistik.

Jalan Tengah bukan hanya suatu cara untuk pencerahan-diri tetapi juga dapat diaplikasikan dalam pencerahan sosial dan transformasi kultur. Tugas transformasi sosial dan masyarakat yang tercerahkan ini dipandang Buddha dapat terjadi melalui disiplin luhur dalam empat-rangkap sangha (parisa) yang terdiri dari para bhikkhu, bhikkhuni, praktisi awam pria, dan praktisi awam wanita.

Kata sangha mempunya dua level pengertian: di level ideal (ariya), ia merujuk pada semua pengikut Buddha, baik yang awam ataupun monastik, yang setidaknya mencapai level sotapanna; sedangkan di level konvensional (samvtri), ia merujuk pada ordo bhikkhus dan bhikkhunis.(8) Daripada berjuang untuk kesetaraan sosial, hak asasi, mengakhiri perang melalui hukum-hukum sekuler dan institusi-institusi hukum sekuler yang dibuat manusia, Buddha Dhamma mengajarkan untuk melepaskan perjuangan melalui studi personal dan komunitas dan berlatih kehidupan penuh kewaspadaan.

Ada empat kondisi untuk pencerahan: berasosiasi dengan orang-orang bijak dan luhur; mendengarkan Dhamma; perenungan bijak tentang Dhamma; dan menjalankan Dhamma.(5) Studi dan praktek hidup penuh kewaspadaan membantu kita mengintegrasi kondisi mental kita dengan bentuk-bentuk fisik di luar. Satu pendekatan Dhamma pada pengetahuan memberikan kita pengertian mendalam (prajna) tentang apa yang dibutuhkan untuk menyelesaikan problema-problema sistemik skala besar dalam masyarakat, ekonomi, dan ekologi.(6) Prajna datang dari mempertanyakan terus-menerus, menggali lebih dalam dengan faktor pencerahan kedua: investigasi Dhamma (vicaya).

Sejarahwan Amerika Daniel J. Boorstin pernah mengatakan, “Rintangan terbesar bagi penemuan bukanlah keacuhan—melainkan ilusi dari pengetahuan”. Jika pendidikan sedemikiannya sehingga pengetahuan tidak sesuai realita, pendidikan dengan pandangan dunia yang tidak baik, teori-teori buruk, pandangan salah, dan pemimpin buta, maka masyarakat mulai menghancurkan habitatnya dan ekonomi lokalnya dan akhirnya menghancurkan dirinya dari dalam. Seperti pandangan benar, kamma dibagi menjadi dua kelompok, bermanfaat (baik) dan tak bermanfaat (tak baik).

Kamma bermanfaat dihasilkan dari tindakan yang dimotivasi oleh ketidak-ikatan, kebaikan dan pengertian; kamma tak bermanfaat dihasilkan oleh tindakan yang dimotivasi oleh ketamakan, kebencian, dan delusi. Kamma bermanfaat mengantarkan ke kelahiran kembali yang baik di alam-alam yang bahagia dan hasil dari kamma tak bermanfaat adalah kelahiran di alam-alam penderitaan. Dengan pengertian sepenuhnya tentang anicca, dukkha, dan anatta maka seseorang mampu membebaskan dirinya dari sankhara yang terkumpulkan dalam kamma seseorang atau aliran pikiran seseorang. Nasihat Buddha kepada para bhikkhu adalah mereka seharusnya mempertahankan kewaspadaan akan anicca, dukkha, dan anatta dalam setiap postur sepanjang hari.
Sementara sains memarginalisasi domain pengalaman manusia yang beragam, Buddha memberikan prioritas pada persepsi dan pengalaman langsung di atas segala sumber pengetahuan lainnya. Penemuan meditatifnya yang paling mengesankan adalah satipatthana (vipassana), atau pengembangan empat landasan kewaspadaan yang mengantar pada pengetahuan akhir dan nirvana. Jalan Mulia Berunsur Delapan dapat divisualisasikan sebagai anak tangga di piramida besar yang setiap anak tangganya mengarah ke atas ke samadhi ketenangan yang menyatu. Konsentrasi dapat memproduksi sorotan yang setajam laser untuk menjembatani waktu, ruang dan pengetahuan dan alhasil menguak tabir dualitas dari kebahagiaan dan kebebasan [yang muncul] dari kekosongan. Jalan Tengah juga tentang menyinkronisasi pikiran-tubuh kita, menjembatani celah antara realitas internal dan eksternal. Karena realitas perang dan kedamaian berasal dari dalam pikiran dan kesadaran, disana pulalah mereka perlu dijawab; melalui latihan, dialog, komunikasi mutual, dan partisipasi dalam latihan yang aman dan komunitas pembelajaran. Tindakan atau pengambilan keputusan dalam Buddha Dhamma, termasuk tindakan sosial, harus dilakukan dengan pertimbangan bijak mengenai pandangan dunia, niat, dan ucapan.

Filosofer Plato dikenal mendefinisi pengetahuan sebagai kepercayaan benar yang terjustifikasi. Masalah dengan mendefinisi pengetahuan terus berlangsung bahkan dengan metode ilmiah dalam meraih pengetahuan. Pengetahuan dalam tradisi Judeo-Kristen dan Islam datang dari suatu kuasa agung atau Tuhan. Dalam filosofi India, pengetahuan tertinggi disamakan dengan mengalami langsung pencerahan dan pembebasan akhir. Kristen Gnostik kuno menganggap gnosis atau pencerahan mistis sebagai pengetahuan spiritual. Berbagi pengetahuan dianggap sebagai hadiah besar dalam tradisi-tradisi Dhammic di India. Dalam Dhamma, pengetahuan adalah untuk kebahagiaan tanpa pamrih bagi semua makhluk. Dalam Kalama Sutta, Buddha memberikan etika dalam menentukan apa yang dapat dipercaya dalam pencarian pengetahuan seseorang.

Jangan mengikuti apa yang diketahui dengan didengar berulang-ulang, atau tradisi, atau gosip, atau apa yang ada di dalam kitab suci, atau asumsi, atau aksioma, atau karena pertimbangan, “Bhikkhu ini adalah guru kita”.

Ketika engkau sendiri tahu: “Hal-hal ini baik; hal-hal ini tidak bernoda; hal-hal ini dipuji orang para bijaksana, dijalankan dan diikuti, hal-hal ini menuju ke manfaat dan kebahagiaan,” masuk dan berdiam di dalamnya.(7)

Studi-studi menunjukkan bahwa otak manusia mempunya kapasitas belajar yang tak terbatas dan tetap lentur dan dapat dibentuk tak berbatas bahkan ketika dewasa. Sains kognitif modern adalah studi antar-disiplin tentang pikiran manusia, tetapi cenderung terlalu berpegangan pada kepintaran artifisial. Baik Buddha Dhamma maupun sains mendukung investigasi imparsial tentang kealamian dan mereka dapat bertemu di dalam semangat mencari pengetahuan dan pengertian benar bagi kesejahteraan semua mahkhluk. Penemuan Buddha tentang Jalan Tengah untuk menuju ke pengetahuan mempunyai potensi untuk meningkatkan peradaban dari kondisi kebingungan dan penuh konflik saat ini dengan membangkitkan kapasitar alami dari hati dan otak manusia dalam beberapa, bahkan satu, generasi.

“Jadilah cahaya dan perlindungan bagi dirimu sendiri.” Ini adalah ajaran terakhir Buddha.

Disadur dari jurnal yang dipresentasikan di Konferensi Internasional Asosiasi Universitas Buddhis di Bangkok, Thailand.

Endnotes

  1. Thanissaro Bhikkhu’s Translation. Dhammachakkapavattana Sutta: Setting the Wheel of Dhamma in Motion; Samyutta Nikaya 56.11. www.accesstoinsight.org
  2. Childre Doc and Martin Howard; The HeartMath Solution: The Institute of HeartMath’s Revolutionary Program for Engaging the Power of the Heart’s Intelligence. Harper Collins, NY: 1999
  3. Right View: The Sammaditthi Sutta and its Commentary; translated by Bhikkhu Nanamoli; edited and revised by Bhikkhu Bodhi; Anguttara Nikaya 10:121; www.accesstoinsight.org
  4. Ibid; Samyutta Nikaya 35:80
  5. Samyutta Nikaya, Maha-vagga, Kindred Sayings on Stream-winner, Chapter I, par. 5
  6. Barua, Susmita; “A Radically Creative Approach to Mindful System Change”; Jagojjyoti: 2555 Buddha Jayanti Centenary Vol. Bengal Buddhist Association, Calcutta: 2011
  7. Kalama Sutta: To the Kalamas; Anguttara Nikaya 3.65
  8. Robinson et al. Buddhist Religions: A Historical Introduction. Fifth Edition: Wadsworth/Thomson: Belmont CA: 2005