Kajian Omong Kosong Menurut Agama Buddha

A. Latar Belakang
Omong kosong merupakan Dasa akusala kammapatha yang akan menimbulkan akibat yang berat apabila sering dilakukan secara berulang-ulang. Pekat tidaknya kekotoran batin yang muncul dan kuat tidaknya usaha yang ditempuh juga mempengaruhi akibat dari omong kosong (Sanjiva Putta,1990:31). Ucapan seharusnya tidak dikuasai dengan pikiran-pikiran yang jahat seperti ketamakan, kemarahan, kecemburuan, kesombongan, atau egoisme. Ucapan yang dapat menghambat ketenangan dan pemikiran benar, silat lidah membawa pada semua jenis pembicaraan yang salah. Buddha mengatakan: “Para bhikkhu terdapat lima kerugian dan bahaya dalam ucapan salah: pembicaraan yang silat lidah, mengeluarkan kata dusta, fitnah, berbicara kasar, dan omong kosong, setelah meninggal dunia akan dilahirkan kembali di alam kehidupan yang menyedihkan” (A.III.254).

Kebenaran yang diucapkan adalah ungkapan kesucian batin. Individu yang mengucapkan perkataan benar akan mendapatkan manfaat yaitu kepercayaan, dan dihormati oleh manusia yang mengenalnya. Para Bodhisatva mencari penerangan sempurna mempratikkan perkataan benar. Manusia yang berbicara benar terbebas dari ketakutan di tengah-tengah masyarakat, selalu berani, teguh dan tidak terguncangkan dalam menghadapi permusuhan. Kuat bagaikan kekuatan pasukan bersenjata lengkap, karena hatinya sejernih kristal, suci, dan tidak ternoda. Menyenangkan dan lembut, sopan dan suka menolong, terkendali dan sabar. Berbicara yang menggembirakan dan menenangkan individu lain dengan kecakapannya menggungkapkan kebenaran.

Manusia yang berkata benar akan suci hati karena yang dipikirkan adalah kebenaran, pikiran menjadi jernih, tidak ada kegelapan yang menyelinap, ucapannya bersih terhindar dari hal-hal yang kotor. Bagaikan minyak yang jernih mengalir lancar menyenangkan…. Pembohong tidak dihormati dimana-mana, tidak tahu malu berkata tidak jujur, tidak memiliki kebaikan dalam hatinya. Tidak ada hal baik yang dapat dilakukan oleh individu yang sengaja berdusta.(Piyadassi, 2003:443).

Bhikkhu yang menjalankan hidup pertapaan berkata tidak jujur, karena ucapannya telah menyia-nyiakan kebhikkhuannya. “Sia-sia Rahula, begitulah kehidupan dari bhikkhu yang tidak malu mengucapkan kata-kata yang tidak bermanfaat”. Buddha menjelaskan kepada Putra-Nya mengenai pentingnya ucapan benar dalam kehidupan suci (M.I.61).

Ucapan merupakan berkah yang dimiliki manusia. Melalui ucapan dapat menemukan metode komunikasi, mengembangkan bahasa manusia, dapat berinteraksi, dan dari ucapan dapat dilihat sebagai karakteristik. Manusia harus berhati-hati dalam menyampaikan isi pikiran melalui lidah, karena sebuah kata yang diucapkan dengan tanpa dipikirkan dan dipertimbangkan dapat menyebabkan kekacauan. Ucapan dapat membawa perolehan atau kehilangan, pujian atau celaan, reputasi baik atau sakit hati, kebahagiaan atau kesengsaraan (Dhammananda, 2003:192).

Manusia seharusnya bicara dengan penuh kebenaran, dapat dipercaya, jujur, menjadi tempat bertanya, dan bukan pembohong bagi dunia. Manusia juga harus berbicara pada saat yang tepat, berdasarkan kenyataan, langsung pada intinya, tentang dhamma, kata-katanya bermanfaat, masuk akal, sesuai dengan keadaan, serta jelas arah tujuan (D.I.64).

Manusia berusaha tidak menyampaikan tentang yang didengar ditempat lain. “Apabila telah mendengar sesuatu disini, tidak akan menyampaikan di tempat lain untuk menimbulkan perpecahan disini, atau setelah mendengar sesuatu di tempat lain, tidak akan menyampaikannya di sini untuk menimbulkan perpecahan di sana (D.III.182). Kerukunan merupakan kesenangan, kegembiraan dan kebahagiaannya; kerukunan adalah tujuan pembicaraannya….didengar, menyenangkan, menarik hati, sopan santun dan damai. Individu yang berbicara pada saat yang tepat, sesuai dengan kenyataan, tentang kebajikan, tentang Dhamma dan Vinaya, dan mengucapkan kata-kata yang bernilai (M.I.345).

Pikiran (mana) adalah sebagai pemimpin. Penderitaan akan mengikuti individu yang berucap atau berbuat dengan pikiran jahat, kebahagiaan akan mengikuti individu yang berucap atau berbuat dengan pikiran baik (Dh.2). “Bila engkau berbicara kepada individu lain, engkau mungkin berbicara pada waktu yang tepat atau pada waktu yang salah, sesuai dengan fakta atau tidak, secara lembut ataupun kasar, mengena pada sasaran ataupun tidak, dengan pikiran yang penuh kebencian” (M.I.126).

Manusia yang wataknya cenderung serakah, akan meghina lewat kata-kata, tidak memiliki keyakinan, tamak, kikir, dan suka menfitnah (Sn.663). “Daripada seribu bait syair yang tidak berguna, lebih baik sebait syair yang berguna, yang dapat memberi kedamaian kepada pendengarnya” (Dh.100).

Omongan yang tidak bermanfaat (samphappalapa) tidak akan terjadi pada individu apabila mampu meninggalkan ucapan salah dalam kesadaran penuh, meninggalkan ucapan dengki, ucapan kasar, dan meninggalkan gosip (M.III.287). Individu hendaknya mengembangkan sikap waspada terhadap semua yang diucapkan, sehingga mampu membedakan cara penyampaian yang menyinggung individu lain dan yang membuat bahagia. Dengan adanya kesadaran, individu akan mampu menentukan pemikiran, ucapan dan perbuatan. Karena ucapan yang terkendali berarti pikiran dan perbuatn terkendali (Dhammananda, 2004:222).

Setelah menyadari hal-hal yang ditimbulkan oleh samphappalapa, maka sudah sepantasnya individu menghindari. Selalu berpikir dan bertindak tanpa menimbulkan penderitaan bagi siapapun.

B. Konsep Samphappalapa
Samphappalapa merupakan dasa akusala kammapata, omong kosong termasuk perbuatan jahat yang dilakukan oleh ucapan, termasuk dusta, pergunjingan, berbicara kasar, dan omong kosong (Dhammananda, 2004:230).

Samphappalapa yaitu meningggalkan ucapan yang berniat jahat, menahan diri dari ucapan yang berniat jahat mendengar dan diceritakan di tempat lain dengan tujuan menimbulkan perpecahan atau mendengar di tempat lain tidak diceritakan disini untuk tujuan menimbulkan perpecahan. Dengan meninggalkan ucapan yang tidak bermanfaat, menjadi manusia yang menceritakan yang masuk akal dan sesuai dengan kenyataan, baik, Dhamma, vinaya, dan berbicara pada saat yang tepat, pembicaraan yang pantas dicatat, beralasan, pasti, dan berkaitan dengan kebajikan (M.I.8; D.I.64 ).

Individu berbicara sebagaimana bertindak, “janganlah berbicara bila tidak mempraktekkannya, orang bijaksana akan dapat dilihat dengan jelas. Mereka mempraktekkannya dengan apa yang diucapkannya” (S.I.35).

Omong kosong yaitu membicarakan ucapan yang tidak pada waktunya, tidak beralasan, dan tidak bermanfaat yang tidak ada hubungannya dengan dhamma dan vinaya yaitu pembicaraan yang tidak berharga untuk disimpan, tidak menguntungkan, tidak dianjurkan, tidak terkendali dan mencelakakan (Pontoh, 2006:44).

Mendengar sesuatu tidak akan menyampaikan di tempat lain untuk menimbulkan perpecahan, atau setelah mendengar sesuatu di tempat lain, tidak akan menyampaikannya di sini untuk menimbulkan perpecahan. Kerukunan merupakan kesenangan, kegembiraan dan kebahagiaannya; kerukunan adalah tujuan pembicaraannya didengar, menyenangkan, menarik hati, sopan santun dan damai kepada manusia. Individu yang berbicara pada saat yang tepat, sesuai dengan kenyataan, tentang kebajikan, tentang Dhamma dan Vinaya. Ia mengucapkan kata-kata yang bernilai (M.I.345).

Mengendalikan diri, menjaga pintu-pintu indera, tidak melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan penderitaan bagi yang lain dan menghindari ucapan tidak bermanfaat, dengan kata lain tiada penambahan kebajikan (D.I.2).

Individu harus mengembangkan sikap mawas diri terhadap semua yang diucapakan, sehingga akan mampu membedakan cara panyampaan yang mengganggu individu lain dan yang membuat gembira. Dengan mawas diri, individu akan mampu menentukan nilai semua pemikiran, kata-kata, dan perbuatan. Pikiran yang terkendali berarti kata-kata terkendali dan perbuatan terkendali, sehingga menjadi individu yang luhur dan damai (Dhammananda, 1993:194).

Perkataan salah atau perkataan tidak bermanfaat yaitu perkataan atau ucapan yang menyakitkan serta menyebabkan perpecahan dan perselisihan. Menghindari pembicaraan yang tidak bermanfaat artinya segala pembicaraan diucapkan haruslah dipikir terlebih dahulu dan tidak melakukan pembicaraan yang tidak berguna. Samphappalapa veramni sikkhapadam sammadiyamiini mengajarkan agar individu dapat bersikap dewasa dan penuh perhatian (Tim penyusun, 2003:97).

1. Macam-Macam Samphappalapa
Buddha menjelaskan terdapat pembicaraan yang tidak bermanfaat yang tidak selayaknya diucapkan oleh individu yang meninggalkan hidup keduniawian. pembicaraan itu meliputi: Pengobrolan tentang raja, kepala pemerintahan, beserta keluarga bangsawan (rajakatham), Pengobrolan tentang perampok, pencuri, pencoleng (corakatham), Pengobrolan tentang perdana menteri dan anggota kabinetnya (mahamattakatham), Pengobrolan tentang tentara, polisi, pengawal (senakatham), Pengobrolan tentang bahaya, malapetaka, bencana (bhayakatham), Pengobrolan tentang taktik peperangan, pertempuran (yuddhakatham).

Pembicaraan yang lain meliputi: Pengobrolan tentang makanan, kue (annakahtam), Pengobrolan tentang minuman (panakatham), Pengobrolan tentang pakaian (vatthakatham), Pengobrolan tentang tempat tidur (sayanakatham), Pengobrolan tentang bunga-bungaan (malakatham), Pengobrolan tentang wewangian (gandhakatham), Pengobrolan tentang sanak keluarga (natikatham), Pengobrolan tentang wahana, kendaraan (yanakatham), Pengobrolan tentang perumahan (gamakatham), Pengobrolan tentang perkampungan (nigamakatham), Pengobrolan tentang negara (nagarakatham), Pengobrolan tentang pedusunan (janapadakatham), Pengobrolan tentang wanita (itthikatham), Pengobrolan tentang laki-laki (purisakatham).

Pengobrolan tentang pemuda (kumarakatham), Pengobrolan tentang pemudi (kumarikatham), Pengobrolan tentang keberanian (surakatham), Pengobrolan tentang jalan (visikhakatham), Pengobrolan tentang pelabuhan (kumbatthanakatham), Pengobrolan tentang leluhur (pubbapetakatham), Pengobrolan tentang dongeng, cerita (nanattakatham), Pengobrolan tentang dunia dan penciptanya (lokakkhayikam), Pengobrolan tentang lautan dan penciptanya (samuddakkhayikam), Pengobrolan tentang kemajuan dan kemarosotan (itibbavabhavakatham), Pengobrolan tentang hutan (arannakatham), Pengobrolan tentang gunung, bukit (pabbatakatham) (D I.171-172).

2. Sebab Samphappalapa
Samphappalapa (omong kosong) termasuk sepuluh perbuatan jahat yang dilakukan melalui ucapan. Ucapan yang dilakukan terjadi karena adanya pikiran yang mendahuluinya. Karena pikiran (mana) mendahului keadaan batin, pikiran adalah pemimpin, segala sesuatu dibentuk oleh pikiran. Penderitaan akan mengikuti individu yang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat. Kebahagiaan akan mengikuti individu yang berkata atau berbuat dengan pikiran baik (Dh.1-2).

Pikiran merupakan dasar dari segala perbuatan manusia. Pikiran baik akan membentuk perbuatan baik. Pikiran buruk membentuk emosi-emosi negatif seperti iri hati, kedengkian, kecemburuan, kemarahan dan dendam. Penderitaan manusia merupakan akibat dari perbuatan buruk yang dilakkukan melalui pikiran, ucapan, dan badan jasmani. Kemarahan, kesombongan, kekeraskepalaan, penipuan, kedengkian, suka membual, egoisme yang berlebihan, bergaul yang tidak bermoral, adalah bau busuk bukan karena makan daging (Sn.245).

Pikiran merupakan kekuatan yang membentuk perilkau manusia. Pikiran baik akan membuahkan kebahagiaan, pikiran yang tidak baik akan membuahkan penderitaan. sifat mementingkan diri sendiri merupakan hasil dari kekuatan pikiran yang tidak baik dan membawa penderitaan (Dhammananda, 2004:85-86). Pikiran yang benar melepaskan hawa nafsu yang rendah yang diliputi dengan cinta kasih dan bebas dari kekerasan (S.V.9).

Pikiran jahat dapat diatasi dengan daya positif yaitu mengembangkan pikiran luhur. Cinta kasih dan belas kasih merupakan penghapusan kebencian. Melalui pengembangan kasih sayang, belas kasih dan niat baik membuat pikiran jahat dapat diatasi. Pikiran yang diliputi cinta kasih, kasih sayang, simpati, dan keseimbangan batin akan membuahkan kebahagiaan. Kekayaan bhikkhu adalah pikiran yang penuh cinta kasih (metta), kasih sayang (karuna), simpati (mudita), dan keseimbangan batin (upekkha) (D.III.78).

Pikiran yang muncul tanpa didasari pangertian benar mengekibatkan berbagai macam masalah dan menghasilkan arah hidup yang rendah. Selama manusia belum memutuskan keinginan-keinginan, maka akan diliputi oleh kondisi batin yang yabg negatif.. keinginan-keinginan yang tidak pernah terpuaskan, sehingga menimbulkan penderitaan (S.V.421).

Manusia yang diliputi oleh tiga akar kejahatan yaitu lobha, dosa, dan moha sulit untuk menembus hukum kesunyataan. Manusia yang mampu menembus dan memahami hukum kesunyataan adlah manusia yang telah bebas dari ikatan dosa, lobha, dan moha. Pikiran yang tidak baik adalah pikiran yang diliputi akar keserakahan, kebencian dan kebodohan batin serta pikiran yang senantiasa diliputi keinginan untuk membunuh, mencuri, berpandangan salah dalam kesenangan indera, ucapan tidak benr, ucapan dengki, gosip, irihati, niat jahat, dan pandangan salah. Pikiran tidak benar karena tidak mengerti dan memahami empat kesunyataan mulia (M.I.46-50).

Pikiran jahat harus dikendalikan sehingga dapat menekan perbuatan buruk. Mengendalikan pikiran adalah mengerahkan pikiran yang dipusatkan pada kebenaran melalui usaha benar, penuh pengertian dan mengekang serta menekan pikiran jahat. Usaha benar adalah mencegah dan melepaskan diri dari pikiran buruk, seperti nafsu keinginan, keengganan, kebodohan, jahat, kejam, irihati dan membenci.

“seseorang tidak mungkin mampu mengendalikan pikiran orang lain tetapi paling tidak dapat bertekad’ aku harus mampu mengendalikan pikiran sendiri’ dengan cara inilah engkau melatih dirimu sendiri dan dengan cara inilah pengendalian pikiran dilakukan. Membandingkan dengan orang bercermin, mengamati dan membersihkan wajahnya sendiri, pikiran-pun dengan cermat memeriksa berbagai kekotoran batin (A.V.92-93)”.

Pikiran adalah sesuatu yang tidak pernah berhenti. Buddha bersabda “menganggap bahwa tidak ada sesuatu yang datang dan pergi secepat pikiran”. Buddha mengumpamakan pikiran sebagai seekor monyet yang melompat dari ranting ke ranting yang lain. Pikiran yang tak terkontrol menjadi masalah manusia dan akan memperbudak manusia. Karena inilah Buddha berkata “Dunia dipimpin oleh pikiran, dibawa oleh pikiran dan berada di bawah kekuatan pikran” (Dh.33). Pikiran selalu diliputi oleh berbagai penyakit atau kotoran yang akan merusak pikiran separti: keserakahan, kebencian, kebodohan, kemarahan, kecemburuan, kedengkian, kesombongan, dendam, kelambanan, mengucapkan kata yang tidak bermanfaat (Tim penyusun, 2003:56).

Pikiran sangat cepat berubah memikirkan sesuatu tetapi begitu cepat pula barganti memikirkan sesuatu. Pikiran sangat sulit dikendalikan, bergerak sangat cepat menuju kemana ia mau pergi, melatih pikiran adalah baik, pikiran yang terkandali akan membawa kebahagiaan (Dh.35).

Pikiran sangat cepat berubah-ubah sehingga sangat sulit dikendalikan. Namun bagaimana sulitnya, sebagai umat buddha selalu berusaha agar dapat mengendalikan pikiran. Seperti pembuat anak panah meluruskan anak panahnya, separti sebilah pedang yang diasah setiap saat agar terjaga ketajamannya, seperti seorang murid yang seksama memperhatikan apa yang diajarkan gurunya, mengulanginya dan mengingatnya setiap saat sehingga tidak menjadi lupa.

Mengendalikan pikiran bukan hanya melatih pikiran agar tidak menjadi lupa, agar selalu lurus, atau agar pikiran menjadi tajam, tetapi lebih dari itu adalah mencegah masuknya bentuk-bentuk pikiran jahat serta menyelaraskan pikiran dengan hati nurani sehingga apa yang diucapkan dan apa yang kita lakukan dapat diterima banyak orang dan tidak bertentangan dengan etika moral.

Mengendalikan pikiran adalah penting , karena pikiran diibaratkan sebagai majikan, sebagai pemimpin. Setiap gerak dari jasmani, ucapan atau kondisi batin yang dimulai adalah merupakan manifestasi dari pikiran. Pikiran yang diibaratkan sebagai pemimpin yang sudah dimasuki oleh pikiran jahat, maka ucapan dan perbuatan jasmani sebagai anak buahnya juga akan bertindak jahat seperti yang diperintahkan oleh pikiran. Hasilnya adalah penderitaan, tetapi sebaliknya apabila piikiran baik seseorang berkata atau berbuat dengan jasmani, maka kebahagiaanlah yang akan diraihnya.

Mengendalikan pikiran sama halnya dengan memperhatikan pikiran agar tidak dilekati oleh noda-noda yang akan melekat, serta berusaha mengikis noda-noda yang telah terlanjur melekat agar pikiran menjadi bersih. Seperti halnya baju dan celana yang dipakai setiap hari akan lebih kotor lagi jika pemakaiannya suka bermain di tempat yang kotor dan jorok (Tim Penyusun, 2003:16-19).

Objek dari ucapan yang tidak bermanfaat atau omong kosong adalah individu karena perbuatan itu terjadi tergantung pada individu yang diajak bicara. Menurut beberapa pendapat, Objek dari yang bukan kehidupan suci adalah makhluk, demikian juga Objek dari mengambil yang tidak diberikan adalah makhluk bila satu makhluk satu dicuri, tetapi yang kedua ini tergantung pada para makhluk hanya karena bentukan-bentukan mental (dimana bentuk jadiannya dijelaskan) bukan karena penjelasan (aktual) itu sendiri seperti dalam kasus berbicara tidak benar. Tidak berbicara tidak benar merupakan tindakan verbal, dan pada saat tercapainya Sang jalan, serta bermula dari kesadaran, semua juga merupakan tindakan mental (Kh.33).

Pikiran (citta) tersembunyi dalam gudang kesadaran atau lubuk hati. Makhluk yang menguasai pikiran akan terbebas dari belenggu mara (Dh.37). Pikiran yang benar akan melepaskan hawa nafsu rendah, dipenuhi perasaan cinta kasih dan bebas dari kekerasan (S.V.9).

Pikiran (mana, citta) biasanya disamakan dengan kesadaran (vinnana). Kesadaran terkait dengan perhatian atau ingatan (sati) dan menyadari (sampajanna), dua hal yang sangat membantu makhluk merealisasi kebenaran (D.III.273). Perhatian (sati)muncul sebelum kita berpikir, berbicara, berbuat yang konkret. Perhatian (sati) mengontrol citta agar berpikir sebagaimana mestinya, sehingga orang memiliki pengendalian diri.

Pikiran bekerja sangat cepat mengatasi kecepatan cahaya, sehingga dikatakan dalam sekejap mata terdapat lebih dari milyaran momen pikiran yang timbul dan tenggelam. Setiap proses pikiran mengandung sejarah momen yang terdiri dari tiga fase: timbul (uppada), berkembang (thiti), da tenggelam (bhanga). Setiap pikiran yang timbul akan lenyap kembali, tetapi memberi kondisi kedada munculnya pikiran yang berikutnya. Hanya ada satu kesadaran dalam satu bagian waktu yang sekejap dan hanya ada satu bentuk pikiran yang timbul pada saat yang sama.

Proses berpikir dalam keadaan biasa, terdapat tujuh belas getaran yang berlangsung dengan cepat. Tahapan proses berpikir yakni: (1) kesadaran lampau yang pasif (atita bhavanga), (2) kesadaran bergetar karena ada rangsangan (bhavanga calana), (3) kesadaran berhenti bergetar, proses pikiran mulai mengalir (bhavanga paccheda), (4) kesadaran mengarah pada gerbang indra (dvaravajjana), (5) kesadaran lima indra (panca vinnana), (6) kesaadaran menerima (sampaticchana), (7) kesadaran memeriksa (santirana), (8) kesadaran memutuskan (votthapana), (9)-(15) kesadaran impuls (javana), (16)-(17) kesadaran merekam (tadalambana). Kesadaran memutuskan apa yang diperiksa itu baikatau buruk. Pada tahapan kesadaran impuls, karma mulai berproses, baik atau buruk, karena kemauan bebas ada pada tahap kesadaran impuls (Mettadewi,1998:59-60).

Tahap pertama, Atita bhavanga yaitu kesadaran yang pasif. Kesadaran pasif ini terdapat pada individu yang sedang tidur nyenyak tanpa mimpi atau ketika individu tidak memberi reaksi apa-apa terhadap rangsangan Objek dari luar maupun dari dalam. Kesadaran ini dipandang sebagai tahap pertama untuk mempelajari proses berpikir walaupun proses berpikir belum mulai.

Tahap kedua, Bhavanga calana yaitu kesadaran yang bergetar karena ada Objek luar atau rangsangan pada indera yang diterima oleh orang yang tidur. Atita bhavanga lenyap pada saat bhavanga calana mulai aktif. Calana berarti bergerak atau bergetar. Pada tahap ini bahavanga mulai bergetar, getaran ini hanya berlangsung satu saat saja dan sesudah itu berhenti yang merupakan akibat dari rangsangan atau Objek yang berusaha untuk menyentuh atau menarik perhatian kesadaran pikiran dengan cara mengganggu arus bhavanga.

Tahap ketiga, Bhavanga upaccheda yaitu tahap pada waktu getaran dan bhavanga calana berhenti. Upaccheda berarti dipotong atau diputuskan. Sebagai akibat proses pikiran muncul dan mulai mengalir, tetapi stimulus atau Objek belum dapat dikenal oleh kesadaran.

Tahap keempat, pancadvaravajjana atau kesadaran mengarah pada lima pintu indera. Pada tahap ini, kesadaran dari proses berpikir mulai mengarah untuk mengenai Objek dan pada tahap pula kesadaran diarahkan untuk mengetahui pada indera mana dari lima pintu indera stimulus akan masuk. Pancadvara adalah “lima pintu”, sedangkan avajjana berarti “mengarah pada”. Pada tahap ini individu yang baru tidur baru sadar dan perhatiannya diarahkan pada sesuatu, tetapi tidak mengetahui apa-apa. Bila perhatiannya bangkit bukan disebabkan oleh rangsangan dalam yaitu dari pikiran, maka tahap ini disebut manodvarvajjana. Objek dicerap melalui lima pintu indera (Pancadvara) hanya dikenal sebagai pintu masuk dan mengarahkan indera mana yang mencerap Objek.

Tahap kelima, panca vinnana. Panca adalah lima, sedangkan vinnana adalah kesadaran. Panca vinnana adalah kesadaran lima indera. Bila rangsangan adalah bunyi, maka sota vinnana atau kesadaran mendengar yang bekerja. bila rangsangan adalah sentuhan, maka kaya vinnana atau kesadaran tubuh yang bekerja. Bila ransangan adalah bayangan atau Objek pandangan, maka cakkhu vinnana yang bekerja. Dalam hal ini setiap indera ada kesadaran indera dan kesadaran indera ini yang bekerja. Namun pada tahap ini kesadaran belum mengerti betul tentang rangsangan apa yang muncul melalui pintu indera, hal ini yang dirasakan.

Tahap keenam, samapaticchana yaitu kesadaran menerima. Tahap ini muncul bila indera disebabkan oleh rangsangan yang diterima dengan baik. Tahap ketujuh, setelah penerima berfungsi maka muncul fungsi pemeriksa dengan cara menentukan rangsangan atau Objek apa yang menyebabkan kesan indera sehingga apa yang diterima itu diperiksa.

Tahap kedelapan, votthapana yaitu kesadaran memutuskan atau menentukan. Pada tahap ini, keputusan diambil berdasarkan rangsangan yang disebabkan oleh kesan indera. Jadi apa yang diperiksa itu diputuskan atau ditentukan baik atau buruk. Pada tahap ini individu mengambil keputusan untuk mengucapkan ucapan.

Tahap kesembilan sampai kelima belas, javana adalah kesadaran impuls. Kesadaran bergetar selama tujuh kali (pada saat menjelang meninggal dunia, javana hanya bergetar lima kali). Javana merupakan saat intropeksi yang diikuti oleh perbuatan. Javana merupakan impuls yang muncul sebagai klimaks dari proses berpikir karena pada tahap ini individu dapat menyadari dengan jelas tentang Objek atau rangsangan dengan semua ciri-cirinya.

Kamma atau karma mulai berproses sebagai karma baik atau buruk karena kemauan bebas ada pada javana. Tahap-tahap lain dari proses berpikir merupakan gerak reflek dan harus muncul, sedangkan javana merupakan tahap di mana kesadaran bebas untuk menentukan atau memutuskan. Dalam javana ada hak untuk memilih dan mempunyai kekuatan untuk menentukan masa depan sesuai dengan kehendaknya (karmanya). Bila suatu hal salah dimengerti (ayonisomanasikara) dan perbuatan telah dilaksanakan, maka hasilnya tidak menyenangkan atau karma buruk. Javana adalah kata teknis yang sulit sekali diterjemahkan dengan tepat.

Tahap keenam belas dan tujuh belas, tadalambana atau kesadaran mencatat atau merekam kesan. Tadalambana adalah dua saat yang merupakan akibat muncul segera setelah javana. Fungsi tadalambana adalah mencatat atau merekam kesan yang dibuat oleh javana. Tadalambana bukan bagian yang penting dari proses berpkir karena fungsinya hanya merekam kesan saja. Jika kesan yang dibuat kurang jelas, maka tadalambana tidak akan muncul.

Tujuh belas tahap yang membentuk satu proses berpikir hanya berlangsung dalam waktu yang sangat pendek. Perkembangan dari proses berpikir berbeda-beda bagi setiap Objek. Hal ini terjadi karena adanya intensitas rangsangan yang berbeda, jika intensitas rangsangan besar sekali maka tadalambana (tahap keenam belas dan tujuh elas) tidak terjadi.

Kesadaran yang mengandung kewaspadaan, kehati-hatian, atau lawan dari kelengahan dinamakan appamada.Kewaspadaan adalah jalan menuju kekekalan, kelengahan adalah jalan menuju kematian (Dh.21). Adinnadana (pencurian), musawada (berdusta), pisunavacca (bicara menfitnah), dan samphappalapa (omong kosong), timbul karena adanya dosa yang mendahuluinya (Kaharuddin, 2004:21).

Kembangkan pikiran yang tenang dan seimbang. Sehingga akan selalu mendapat pujian dan celaan, tetapi jangan biarkan keduanya mempengaruhi ketenangan pikiran: ikutilah ketenangan, di mana tak ada kesombongan (Sn.703). Individu hendaknya mawas diri terhadap segala sesuatu yang terjadi dalam tubuh, perasaan, dan dalam pikiran kita. Yaitu dengan mengembangkan konsentrasi dan pandangan sehingga akan menumbuhkan kemampuan untuk melihat realita. Individu tidak diperbolehkan beranggapan bahwa pengetahuan yang dimiliki sekarang tidak dapat berubah dan merupakan kebenaran mutlak. Menghindari pikiran yang picik, keterikatan pada pandangan-pandangan pada saat sekarang. Yaitu dengan mempelajari dan mempraktekan jalan yang terbuka terhadap keterikatan pada suatu pandangan, agar dapat dengan terbuka menerima cara pandang dari sudut lain. Kebenaran hanya bisa ditemui dalam kehidupan dan bukan dalam kehidupan dan bukan dalam konsep pengetahuan (Hanh, 2005:7).

Individu berbicara secara bijaksana, tepat waktunya, benar, bermakna, pantas, masuk akal, mengandung pelajaran. Individu selalu mengucapkan kata-kata yang berisi, dangan hati-hati mempertimbangkan dan menjaga pembicaraan, cocok dengan keadaan, beraturan, direnungkan dahulu dan tidak pernah omong kosong (Pontoh, 2006:27).

Contoh nyata, sejarah kehidupan Buddha betapa luar biasa cinta kasih dan kasih sayang kepada semua makhluk setelah bangkit dari meditasi dapat melihat siapa yang memiliki batin yang siap untuk menerima Dhamma yang indah pada permulaan, indah pada pertengahan dan indah pada akhirnya.

Dharma yang dibabarkan Buddha memberikan cahaya penerangan bagi penerima. Begitu pula, Buddha pada saat menghadapi para pertapa maupun Brahmana memberikan kata-kata yang bermanfaat bagi perkembangan batin pendengarnya.

Kisah yang termuat dalam kalama sutta, penduduk suku kalama mengalami kebingungan mengapa setiap pertapa yang datang selalu memberikan ajaran yang satu sama lain tidak sama dan selalu menonjolkan ajarannya semata. Buddha dengan bijksana menghilangkan keraguan pandangan dan keyakinan suku kalama, sehingga manusia tidak berada dalam kebimbangan tetapi ada pedoman untuk dijadikan racun (Pontoh, 2006:28).

Perbuatan yang pantang dilakukan oleh pikiran, yaitu suatu pikiran-pikiran yang tidak baik, dimana tidak kelihatan oleh individu lain, hanya diri kita yang dapat mengetahuinya. Terdapat tiga perbuatan yang pantang dilakukan oleh pikiran, yaitu pantang memikirkan nafsu serakah, pantang berniat jahat, dan pantang berpandangan sesat (Tim penyusun, 2003:97).

3. Akibat Samphappalapa
Bicara yang tidak benar seperti: berbohong, menfitnah, menipu, bicara kasar, dan bergunjing adalah merupakan perbuatan yang sangat tidak terpuji. Sekali kita mengucapkan kata-kata yang tidak benar, maka akan dicap sebagai pembohong, pemfitnah, dan penipu untuk jangka waktu yang sulit untuk dilupakan orang begitu saja. Akibat dari pembicaraan yang tidak benar akan menyebabkan sering dicaci maki, difitnah, tidak dipercaya, mulut yang bau, pecahnya persahabatan tanpa adanya sebab yang memadai, dibenci, memiliki suara yang parau, cacat alat tubuh, dan pembicaraan yang tidak masuk akal (D.III.269-290).
Contoh nyata, yaitu seorang bhikkhu pemfitnah yang terbakar selama masa jeda Buddha dan muncukl pada periode Buddha tidak jauh dari Rajagaha sebagai peta yang mulutnya bau busuk. Tubuhnya berwarna emas tetapi cacing-cacing keluar dari mulutnya untuk memangsa wajahnya di sana-sini. Makhluk Peta menyebarkan bau busuk sampai jauh ke udara. Ketika Y.M Narada turun dari puncak Burung Nasar, beliau melihat peta ini dan bertanya tentang perbuatan yang telah dilakukan lewat syair:

“Engkau memiliki warna kulit surgawi yang indah. Tetapi ketika engkau berdiri di udara, di langit, cacing-cacing memangsa mulutmu yang berbau busuk. Perbuatan apakah yang telah engkau lakukan di masa lalu?” Dahulu aku adalah pertapa yang jahat, dan mulutku jelek:menyamar menjadi pertapa, aku tidak terkendali di mulut. Melalui kerasnya usahaku maka aku menerima warna kulit ini, dan karena fitnahku maka aku menerima mulutku yang berbau busuk ini” (Pv.I.3).

Buah dari ucapan tidak bermanfaat atau omong kosong adalah hal-hal seperti misalnya jernih indranya, jelas dan manis tutur katanya, giginya rata dan murni (putih), tidak terlalu gemuk, tidak terlalu kurus, tidak terlalu pendek, tidak terlalu tinggi, lembut bila disentuh, mulutnya wangi bunga teratai, mereka yang berada bersamanya ingin mendengarkan dia, bicaranya bersahabat, lidahnya merah dan ramping seperti kelopak bunga teratai merah, tidak binggung (tidak sombong), tidak ada keangkuhan personal (Kh.34).

Menghina orang mulia, menyimpan niat jahat di dalam pikiran atau pembicaraan, akan membawa menuju ke alam-alam penderitaan selama perkalpa-kalpa (Sn.660).

Omong kosong merupakan pengakuan pribadi, baik kedengkian atau kedunguan yang merupakan perbuatan rendah, tidak berguna, dan seringkali merupakan bisnis kotor yang menyebabkan sesama manusia saling bermusuhan selamanya (Piyadassi, 2003:71). Buddha sangat mencela omong kosong, skandal dan dasas-desus, karena semuannya itu mengganggu ketenangan dan konsentrasi. “Daripada seribu kalimat yang tak berarti, lebih baik sepatah kata yang bermanfaat, yang dapat memberi kedamaian kepada pendengarnya” (D.100).

Omong kosong dapat berakibat pada pelakunya yaitu sebagai berikut: (1) Omongan tidak dipercayai oleh individu lain, (2) Ucapan tidak dihiraukan individu lain, dan (3) Tidak mempunyai kekuasaan atau wibawa.

C. Cara Menghindari Samphappalapa
1. Ucapan itu benar
Ucapan benar memiliki empat syarat yaitu: (1) ucapan itu benar, (2) Ucapan itu beralasan, (3) Ucapan itu berfaedah, (4) Ucapan yang diucapkan tepat waktu (M.II.393-395). Saphappalapa veramani yaitu menahan diri dari berbicara yang tidak benar atau berbcara yang tidak bermanfaat. Sila ini meliputi semau bentuk dan tingkat kebohongan, secara jasmani maupun secara ucapan (verbal). Tujuan dari sila ini adalah untuk menghindari kata-kata yang merusak nama atau reputasi orang lain. Wajar bahwa individu mengharapkan kejujuran dari individu lain dalam hal apapun yang dinyatakan oleh individu, ini merupakan bagian dari hukum universal. Manusia yang melanggar dengan menceritakan kebohongan adalah melakukan suatu perbuatan buruk (Khemiyo, 1978:22).

Individu hendaknya berbicara yang benar, janganlah berbicara bila tidak mempraktekkannya. Manusia mempraktekkan dengan yang diucapkannya (S.I.35). Individu harus membicarakan Dhamma, bukan diluar Dhamma membicarakan yang menyenangkan, bukan yang tidak menyenangkan, mengatakan kebenaran bukan omong kosong. Kebenaran adalah kata-kata yang tidak pernah mati (S. VIII.5).

Ucapan benar adalah suatu kata-kata yang terbebas dari kebencian, keserakahan, dan iri hati. Ucapan benar merupakan kekuatan yang mampu mempengaruhi orang lain, berupa dukungan moral, menghibur ketika dalam duka cita, dan memberikan ilmu pengetahuan melalui kata-kata. Hendaknya seseorang memberikan nasehat kepada orang lain yang ingin relajar, dengan tanpa ragu-ragu, memberikan pengertian mengungkapkan denan jelas dan tidak mengkaburkan ajaran (A.IV.196).

Ucapan benar mencerminkan tekad dan usaha untuk menahan diri dari berbohong, menfitnah, yang menimbulkan kebencian, permusuhan , dan ketidakrukunan antara golongan-golongan. Kata-kata tersebut aslah ucapan kasar, pedas dan tidak sopan, jahat dan caci maki. Percakapan yang sia-sia dan tidak bermanfaat serta pergunjingan.

“Seseorang pembicara benar, manusia yang benar, dapat dipercaya, dapat diandalkan, bukan penipu dunia. Bila telah mendengar sesuatu disini, tidak akan menyampaikan di tempat lain untuk menimbulkan perpecahan dengan orang-orang di sini, setelah mendenar sesuatu di tempat lain, tidak akan menyampaikan di sini untuk menimbulkan perpecahan dengan orang-orang di sana…. kerukunan merupakan kesenangan, kegembiraan, dan kebahagiaan. Kerukunan adalah tujuan pembicaraan….dari yang menyenangkan, menarik hati, sopan santun, dan damai kepada banyak orang…. Ia adalah seseorang yang berbicara pada saat yang tepat, sesuai dengan kenyataan, tentang kebajikan , tentang Dhamma, dan vinaya. Ia mengucapkan kata-kata yang bernilai….(M.I.345)”.

Perkataan benar, baik, serta diucapkan pada saat yang tepat akan menimbulkan kerukunan, keharmonisan, dan kebahagiaan. Orang yang mampu membebaskan dari kata-kata dan pembicaraan salah atau tidak baik, akan berbicara tentang kebenaran, memakai kata-kata manis dan bersahabat, enak di dengar, lemah lembut, serta mempunyai arti yang berguna.
Ucapan itu benar menekankan pada suatu ucapan yang menghindari dusta, berbicara jujur, bersifat tulus, lurus, dapat dipercaya dan tidak menyimpang dari kebenaran. Ucapan itu benar dapat memberikan pengaruh baik bagi pembicara maupun pendengar sehingga tidak menimbulkan persepsi yang tidak baik dan tidak menimbulkan kebencian.

Jangan berdusta demi kepentingan diri sendiri atau untuk mengesankan orang lain. Jangan mengeluarkan kata-kata yang menimbulkan perpecahan dan kebencian. Kata-kata yang diucapkan dapat menciptakan dunia yang penuh cinta, saling percaya, penuh kebahagiaan. Manusia semestinya berhati-hati terhadap semua yang kita ucapkan. Jika terbiasa banyak omong, semestinya sadar pada apa yang kita omongkan dan belajar untuk berhemat kata. Dan sadar pada apa yang keluar dari mulut dengan segala konsekuensinya, bahkan dalam lingkungan vihara.

Perkataan yang benar adalah perkataan yang bebas dari noda: kebohongan, gosip, perkataan yang kasar dan tak berguna. Perkataan yang benar juga mengandung pengertian dan permufakatan. Selalu berkata benar dan membangun dan memiliki keberanian berbicara berterus terang jika tidak ada hal-hal yang tidak benar meskipun tindakan itu akan membahayakan kedudukan (Hanh.2005:32-34).

2. Ucapan itu beralasan
Ucapan itu beralasan menekankan pada ucapan yang memiliki alasan, tujuan, dan tidak merugikan orang lain sehingga manusia berusaha menghindari pergunjingan dan pernyataan tidak benar. Setiap kata atau bahasa yang diucapkan pembicara sebaiknya memiliki alasan dan tujuan agar pendengar menjadi jelas dan tidak menjadi sumber pergunjinagn yang menimbulkan masalah berkepanjangan bagi pembicara maupun pendengar.

3. Ucapan itu berfaedah
Ucapan itu berfaedah menekankan pada ucapan yang membawa keberhasilan, nama baik, pujian, dan kegebmbiraan, karena ucapan tidak mengandung profokatif dan memancing emosi orang lain. “Daripada seribu kalimat yang tak berarti, lebih baik sepatah kata yang bermanfaat yang dapat memberikan kedamaian pada pendengarnya” (Dh.100).

4. Ucapan itu tepat pada waktunya
Ucapan yang tepat pada waktunya, menekankan pada situasi dan kondisi yang tepat sehingga tidak mengganggu ketenangan dan konsentrasi orang lain. “Mempertahankan perbuatan-perbuatan cinta kasih melalui ucapan, bsik ditempat umum maupun secasra pribadi terhadap sesama, merupakan prinsip keramahtamahan yang menciptakan cinta kasih dan rasa hormat”. (A.VI.12).

Buddha menjelaskan dalam kalama sutta, bahwa: “jangan percaya begitu saja terhadap suatu berita hanya karena telah mendengarnya, jangan percaya terhadap tradisi karena telah dilakukan secara turun temurun oleh beberapa generasi, jangan percaya terhadap sesuattu hanya karena sudah tercatat di dalam kitab suci, wejangan oleh guru-guru atau tetua. Tetapi, setelah melakukan observasi dan analisa mendalam, sehingga menemukan segala sesuatu sesuai dengan alasan dan berkaitan dengan hal-hal yang apabila diteruskan akan membawa kebahagiaan” (A.I.188-193).

Mempertimbangkan segala sesuatu yang bertentangan dengan penilaian yang menyebabkan penderitaan atau celaan bagi para bijaksana, sehingga bila dipraktekkan akan mengakibatkan penderitaan. Tetapi segala ssesuatu yang dipertimbangkan dengan baik, sesuai dengan penilaian, dipuji oleh para bijaksana, apabila dipraktekkan akan membawa kegembiraan dan kebahagiaan. Sebab perilaku keterbukaan dan ketidakterikatan pada suatu pandangan menumbuhkan rasa hormat untuk menerima kebebasan berpikir untuk seorang lain.

Kebebasan berpikir merupakan satu dari hak paling asasi yang dipunyai makhluk hidup, keseluruhan makhluk, dan tidak hanya sebagian dari mereka. Agar bisa menghargai kebebasan berpikir yang dimiliki orang lain, mesti menanggalkan segala kepicikan dan kefanatikan yang dimilki, dan membantu agar orang lain pun berlaku serupa. Percakapan yang penuh kasih dilaksanakan melalui perbincangan yang lembut penuh kasih, cerdas sehingga bisa menyentuh perasaan. Perbincangan bisa dilanjutkan dalam bentuk perbuatan, yang bertujuan untuk membentuk tekanan moral dan tekanan sosial bagi setiap orang untuk berubah (Hanh, 2005:12-13).

Manusia hendaknya berbicara sebagaimana bertindak, janganlah berbicara bila tidak mempraktekkannya, mereka mempraktekkannya dengan apa yang diucapkannya dan sesuai dengan dhamma (S.I.35). Manusia hendaknya membicarakan Dhamma, bukan diluar Dhamma, hendaknya membicarakan apa yang menyenangkan, bukan yang tidak menyenangkan, hendaknya mengatakan kebenaran bukan omong kosong, kebenaran adalah kata-kata yang tidak pernah mati (S. VIII.5).

Makhluk yang bijaksana memiliki empat hal yang dilakukan untuk menghindari samphappalapa yaitu: makhluk yang bijaksana tidak akan membicarakan keburukan individu lain, sekalipun jika di tanya, apalagi jika di tanya. Namun jika di tanya tentang hal itu dan perlu untuk berbicara, sepatutnya mengemukakan keburukan individu lain dengan hati-hati, dengan keraguan dan sangat singkat. Seorang bijaksana, sekalipun di tanya, berbicara tentang kebaikan individu lain, apalagi jika di tanya. Namun jika di tanya tentang hal itu dan perlu untuk berbicara, sepatutnya memuji kebaikan individu lain dengan terus terang, tanpa keraguan, dan jelas.

Individu yang bijaksana, sekalipun tidak di tanya, berbicara, tentang kelemahannya sendiri, apalagi jika di tanya. Namun, jika ditanya tentang kelemahannya sendiri dan perlu untuk berbicara, sepatutnya berbicara tentang kelemahannya sendiri dengan terus terang, tanpa keraguan, dan jelas. Seorang bijaksana, sekalipun di tanya, tidak akan membicarakan kehebatannya sendiri, apalagi jika di tanya. Namun, jika di tanya tentang kehebatannya sendiri dan perlu untuk bicara, sepatutnya berbicara tentang kehebatannya dengan hati-hati, penuh keraguan, dan secara singkat (A.II.78).

Hindari ucapan yang tidak bermanfaat, individu seharusnya berbicara pada saat yang tepat, berdasarkan kenyataan, langsung pada intinya, tentang Dhamma, kata-katanya bermanfaat, masuk akal, sesuai dengan keadaan, jelas arah dan tujuan (D.I.64, A.III.243).

Kata-kata tentang kebenaran adalah kekal. Demikianlah sifatnya yang abadi, seperti pepatah, kata-kata tentang kebenaran tidak akan mati. Dan dikatakan bahwa individu yang baik sangat kokoh dalam kebenaran, kesejahteraan, dan keluhuran (Sn.453).

Buddha dalam Mahayana Paccimovada Parinirvana Sutta mengatakan bahwa: “O para siswa, seandainya engkau terlibat dalam pembicaraan yang tidak bermanfaat, maka pikiranmu akan mudah terpengaruh. Meskipun engkau telah meninggalkan kehidupan duniawi dan menjadi bhikkhu, engkau tidak akan mencapai pembebasan sekiranya masih melibatkan diri dalam perdebatan dan pembicaraan yang tidak bermanfaat atau omong kosong. Oleh karena itu, hindari pembicaraan yang tidak berarti dan menguasai pikiran yang benar.

Hindari hal-hal yang berhubungan dengan nafsu, kembangkanlah pikiran yang berkonsentrasi dan tidak tergoda oleh ketidakmurnian tubuh (Sn.341). Omong kosong (samphappalapa) tidak akan tercetuskan pada diri individu apabila: (1) individu harus meningkatkan mutu (kualitas), ilmu dan ketrampilan, (2) mampu membuka diri untuk dikritik dan jangan selalu ingin dipuji, (3) belajarlah dari keberhasilan orang lain dengan memiliki sifat mudita, (4) harus mengetahui bahwa pada dasarnya semua makhluk adalah saudara ( Mukti. 2003:93-95).

Individu diharapkan tidak mengucapkan kata-kata yang menyebabkan perselisihan dan mengakibatkan perpecahan dalam kelompok. Segala usaha hendaknya dilakukan untuk menyatukan dan mendamaikan setiap pertikaian walaupun pertikaian tiu kecil bentuknya. Terdapat enam prinsip yang digunakan untuk mewujudkan suatu kerukunan yakni: hidup bersama dalam suatu tempat, saling membagi sumber-sumber daya material, menjalankan pedoman yang sama, saling membagi kebijaksanaan Dharma dan pengalaman praktek antara satu dengan yang lainnya, berembuk mengenai perbedaan pandangan, dan melaksanakan ucapan yang ramah untuk menghindari pertengkaran.

Ucapan yang ramah tumbuh karena adanya pengertian dan kesabaran. Apabila individu hidup dalam kesadaran, maka akan melihat tahap-tahap timbulnya konflik, dan bisa mengakhiri atau menghindari konflik itu. Tujuannya bukanlah untuk pemuasan rasa kemhsyuran dan kepentingan pribadi, tetapi untuk mewujudkan rasa pengertian dan belas kasih dalam dirinya.

Bertutur kata yang ramah, sopan santun dan membawa berita serta cerita yang membuat suasana sejuk dan gembira, maka yang ada hanya keceriaan, tidak ada pertengkaran, keributan dan permusuhan sesama anggota keluarga maupun dengan lingkungan sekitarnya. “Kebencian tidak akan berakhir apabila dibalas dengan kebencian.Tetapi kebencian akan berakhir apabila dibalas dengan cinta kasih” (Dh.5).

D. Penutup
Omong kosong (samphappalapa) merupakan Dasa akusala kammapatha yang akan menimbulkan akibat yang berat apabila sering dilakukan secara berulang-ulang. Pekat tidaknya kekotoran batin yang muncul dan kuat tidaknya usaha yang ditempuh juga mempengaruhi akibat dari omong kosong.

Seorang bhikkhu yang menjalankan hidup pertapaan berkata tidak jujur, karena ucapannya itulah menyia-nyiakan kebhikkhuannya. Sia-sia Rahula, begitulah kehidupan dari bhikkhu yang tidak malu menggucapkan kata-kata yang tidak bermanfaat. Kata Buddha kepada anak-Nya mengenai pentingnya ucapan benar dalam kehidupan suci.
Ucapan merupakan berkah yang dimiliki manusia. Melalui ucapan dapat menemukan metode komunikasi dan mengembangkan bahasa manusia. Manusia harus berhati-hati dalam menyampaikan isi pikiran melalui lidah, karena sebuah kata yang diucapkan dengan tanpa dipikirkan dan dipertimbangkan dapat menyebabkan kekacauan. Ucapan dapat membawa perolehan atau kehilangan, pujian atau celaan, reputasi baik atau sakit hati, kebahagiaan atau kesengsaraan.

Samphappalapa yaitu meningggalkan ucapan berniat jahat, menjadi individu yang menahan diri dari ucapan berniat jahat didengar di sini tidak diceritakan di tempat lain untuk tujuan menimbulkan perpecahan dengan individu lain atau apa yang didengar di tampat lain tidak diceritakan disini untuk tujuan menimbulkan perpecahan. Meninggalkan ucapan yang tidak bermanfaat, akan menjadi individu menceritakan pembicaraan yang masuk akal dan sesuai dengan kenyataan, yang baik, sesuai Dhamma, sesuai vinaya, dan berbicara pada saat yang tepat, pembicaraan yang pantas dicatat, yang beralasan, pasti, dan berkaitan dengan kebajikan.

Pikiran (mana) mendahului segala keadaan batin, pikiran adalah pemimpin. Penderitaan akan mengikuti individu yang berucap atau berbuat dengan pikiran jahat. Kebahagiaan akan mengikuti individu yang berucap atau berbuat dengan pikiran baik . “Bila engkau berbicara kepada individu lain, engkau mungkin berbicara pada waktu yang tepat ataupun pada waktu yang salah, sesuai dengan fakta ataupun tidak, secara lembut ataupun kasar, mengena pada sasaran ataupun tidak, dengan pikiran yang penuh kebencian”.

Objek dari ucapan yang tidak bermanfaat atau omong kosong adalah individu karena perbuatan itu terjadi tergantung pada individu yang diajak bicara. Menurut beberapa pendapat, Objek dari apa yang bukan kehidupan suci adalah makhluk, demikian juga Objek dari mengambil apa yang tidak diberikan adalah makhluk bila satu makhluk satu dicuri, tetapi yang kedua ini tergantung pada para makhluk hanya karena bentukan-bentukan mental (dimana bentuk jadiannya dijelaskan) bukan karena penjelasan (aktual) itu sendiri seperti dalam kasus berbicara tidak benar. Tidak berbicara tidak benar merupakan tindakan verbal, dan pada saat tercapainya Sang jalan, dan bermula dari kesadaran, semua juga merupakan tindakan mental.

Bicara yang tidak benar seperti: berbohong, menfitnah, menipu, bicara kasar, dan bergunjing adalah merupakan perbuatan yang sangat tidak terpuji. Sekali mengucapkan kata-kata yang tidak benar,maka akan dicap sebagai pembohong, pemfitnah, dan penipu untuk jangka waktu yang sulit untuk dilupakan individu begitu saja. Akibat dari pembicaraan yang tidak benar akan menyebabkan sering dicaci maki, difitnah, tidak dipercaya, mulut yang bau, pecahnya persahabatan tanpa adanya sebab yang memadai, dibenci, memiliki suara yang parau, cacat alat tubuh, dan pembicaraan yang tidak masuk akal. Hendaknya setiap individu berbicara sebagaimana ia bertindak, janganlah berbicara bila tidak mempraktekkannya, orang bijaksana akan dapat dilihat dengan jelas. Mereka mempraktekkannya dengan apa yang diucapkannya.

Setiap manusia hendaknya membicarakan Dhamma, bukan diluar Dhamma, manusia hendaknya membicarakan apa yang menyenangkan, bukan yang tidak menyenangkan, hendaknya mengatakan kebenaran bukan omong kosong. Kebenaran adalah kata-kata yang tidak pernah mati.

Berdasarkan kesimpulan, penulis memberi saran kepada masyarakat pada umumnya dan umat buddha pada khususnya agar mengindari ucapan yang tidak bermanfaat. Selalu berbicara sacara bijaksana, tepat waktu, benar, bermakna, pantas, masuk akal, mengucapkan kata-kata yang berisi, dengan hati-hati mempertimbangkan dan menjaga pembicaraan, cocok dengan keadaan, beraturan, direnungkan dahulu dan tidak pernah omong kosong. Manusia sebaiknya jangan percaya begitu saja dengan ucapan yang diucapkan oleh individu lain, sebelum kita mengetahui ucapan yang sebenarnya. Dan jangan menyebarkan kabar yang belum pasti karena hanya akan menimbulkan pertentangan dan permusuhan dengan orang lain.

DAFTAR RUJUKAN
Anguttara Nikaya (The Book Of Gradual Saying) Vol.II. Terjemahan Woodward, F.L&Hare, E.M..1971-1978. London: Pali Text Society.
Anguttara Nikaya (The Book Of Gradual Saying) Vol.III. Terjemahan Woodward, F.L&Hare, E.M..1972-1978. London: Pali Text Society.
Dhammananda , Sri.1993. Hidup Sukses Dan Bahagia Tanpa Takut Dan Cemas. Jakarta:Yayasan penerbit Karaniya
Dhammananda , Sri. 2003. Santapan Batin Untaian Senyum Pencerahan. Jakarta:Yayasan penerbit Karaniya
Dhammananda , Sri. 2004. Keyakinan Umat Buddha. Jakarta:Yayasan penerbit Karaniya
Digha-Nikaya (Dialogue of the Buddha) Vol II. Terjemahan Davis, Rhys. 1989. Oxford: PTS.
Dialogue of the Buddha (Digha-Nikaya) Vol III. Terjemahan Davis, Rhys. 1977. London: PTS.
Dhammapada (The Word Of The Doctrine). Terjemahan Norman. 2000. Oxford: Pali Text Society.
Digha Nikaya (Dialoque Of The Buddha) Vol.I. Terjemahan Davids, Rhys. 1977a. London. The Pali Text Society.
Digha Nikaya (Dialoque Of The Buddha) Vol.II. Terjemahan Davids, Rhys. 1977a. London. The Pali Text Society.
Digha Nikaya (Dialoque Of The Buddha) Vol.III.Terjemahan Davids, Rhys. 1977b. London. The Pali Text Society.
Digha Nikaya (Dialoque Of The Buddha) Vol. IV. Terjemahan Davids, Rhys. 1989. London: The Pali Text Society.
Kaharuddin J. Pandit.2004. Abhidhammatthasangaha jilid satu. CV. Nitra kencana Buana. Jakarta.
Khemiyo. 1978. Pancasila Dan Pancadhamma. Malang: Yayasan Dhammadipa Arama
Majjhima Nikaya (The Middle Length Sayings) Vol.I. Terjemahan Hoener, I.B..1989. London: The Pali Text Society.
Majjhima Nikaya (The Middle Length Sayings) Vol.II. Terjemahan Hoener, I.B..1989. London: Pali Text Society.
Majjhima Nikaya (The Middle Length Sayings) Vol.III. Terjemahan Hoener, I.B..1990. London: Pali Text Society.
Mettadewi. 1994. Pokok-Pokok Dasar Abhidhamma Jilid I . Jakarta: STIAB Nalanda.
Samyutta-Nikāya (The Book of the Kindered Sayings) Part II. Terjemahan Davis, Mrs., Rhys. 1990. Oxford: The Pali Text Society.
Samyutta Nikaya (The Book Of Kindred Sayings) Vol. III. Terjemahan Woodward. Davids (ed). 1975. London: Pali Text Society.
Samyutta Nikaya (The Book Of Kindred Sayings) Vol. IV. Terjemahan Woodward. Davids (ed). 1980. London: Pali Text Society.
Samyutta Nikaya (The Book Of Kindred Sayings) Vol. V. Terjemahan Woodward. Davids (ed). 1980. London: Pali Text Society.
Sutta Nipāta (The Group Of Discourses). Terjemahan Norman, Horner, I.B dan Walpola Rahula. 1984. London: The Pali Text Society
http://kkgpab.blogspot.com.au/2012/04/jurnal-definisi-shamphappalapa.html?m=1