31 Alam Kehidupan
TABEL ALAM
ALAM-ALAM | Batas Umur | |||
4 – ARUPA LOKA
(Alam Tanpa Bentuk)
|
4. N’eva Saññã N’ãsaññãyatana
3. Akiñcaññãyatana 2. Viññãnañcãyatana 1. Ãkãsãnañcãyatana |
84.000 M.K.
60.000 M.K. 40.000 M.K. 20.000 M.K.
|
||
16 – RUPALOKA
(Alam Bentuk) |
Catuttha Jhãna Bhümi
Alam Jhãna IV
|
Suddhavassa >> | Akanittha
Sudassi Sudassa Atappa Aviha Asaññasatta Vehapphala |
16.000 M.K.
8.000 M.K. 4.000 M.K. 2.000 M.K. 1.000 M.K. 500 M.K. 500 M.K. |
Tatiya Jhãna Bhümi
Alam Jhãna III |
Subhakinha
Appamãnasubha Parittasubha |
64 M.K.
32 M.K. 16 M.K. |
||
Dutiya Jhãna Bhümi
Alam Jhãna II
Patama Jhãna Bhümi Alam Jhãna I
|
Abhassara
Appamãnabha Parittabha Maha Brahma Brahma Purohita Brahma Parisajja |
8 A.K
4 A.K 2 A.K 1 A.K. ½ A.K. 1/3 A.K. |
||
11 – KÃMALOKA
(Alam Nafsu) |
7 – Sugati
(Alam Bahagia) |
6 – Devaloka >>
(Alam Surga) |
Paranimmitavasavatti
Nimmãnarati Tusita Yãma Tãvatimsa Cãtummahãrãjika |
16.000 T.S.
8.000 T.S. 4.000 T.S. 2.000 T.S. 1.000 T.S. 500 T.S |
Manussa – Alam Manusia | Tak Terbatas | |||
4 – Dugati (Alam Menderita) >> | Asurayoni
Petayoni Tiracchãnayoni Niraya |
Tak Terbatas
Tak Terbatas Tak Terbatas Tak Terbatas |
Kosmologi Buddhis mengenal 26 tingkatan alam-surga, dari alam Kamadhatu s/d Arupadhatu (bila menurut Mazhab Mahayana, ada 28 tingkatan alam-surga ditambah ada 5 alam lagi seperti alam asura, alam manusia, alam binatang, alam setan kelaparan dan alam neraka, total: ada 33 alam).
Keterangan :
M.K. = Mahã Kappa
A.K. = Asangkheyya Kappa
T.S. = Tahun Surgawi
Ketiga alam tersebut, kesunyataannya, tidaklah kekal-abadi. Anggapan bahwa alam setelah manusia mati nanti, baik menuju ke alam menyedihkan maupun membahagiakan adalah kekal-abadi, mutlak keliru. Karena, masing-masing alam tersebut mempunyai masa/waktu hidup sendiri-sendiri, dan setelah masa waktu untuk hidup di salah satu alam tersebut habis, maka semua makhluk yang belum mencapai “Kebebasan-Sempurna” (Nibbana) akan melanjutkan hidupnya di alam-alam yang lain. Untuk itu, marilah kita pertama-tama membahas mengenai satuan waktu hidup dalam alam kehidupan kita ini. Kemudian, sesi ini kita hanya akan membahas bagian pertama dari alam Kamaloka, yakni alam-alam menyedihkan (Dugati).
DIMENSI WAKTU
1. Alam Kamaloka: Alam manusia, menggunakan ukuran tahun yang telah diciptakan dan disepakati secara bersama-sama oleh manusia sendiri hingga saat ini, dimana satu hari adalah 24 jam, satu minggu adalah tujuh (7) hari, satu bulan adalah 31 (atau 30) hari, satu tahun adalah 12 bulan. Alam para hantu (Niraya, Petayoni, dan Asurayoni), umumnya berusia lebih panjang daripada usia manusia dan alam hewan (Tiracchanayoni), bahkan ada yang mencapai jutaan tahun menurut hitungan manusia.
Untuk alam surgawi, yakni alam para dewa yang hidup pada alam Kamaloka ini, maka dimensi waktu disana adalah sebagai-berikut:
a). 50 tahun manusia = 1 hari 1 malam bagi alam Dewa Catummaharajika
b). 100 tahun manusia = 1 hari 1 malam bagi alam Dewa Tavatimsa
c). 200 tahun manusia = 1 hari 1 malam bagi alam Dewa Yama
d). 400 tahun manusia = 1 hari 1 malam bagi alam Dewa Yusita
e). 800 tahun manusia = 1 hari 1 malam alam Dewa Nimmanarati
f). 1600 tahun manusia = 1 hari 1 malam alam Dewa Parinimmitavasavatti
Setelah kita mengetahui dimensi waktu pada masing-masing alam kehidupan pada ketiga-loka tersebut, maka marilah kita membahas masing-masing alam dalam ketiga-loka itu.
2. Alam Rupaloka dan Arupaloka
Pada bab “Alam-Semesta I” saya sudah pernah menyinggung mengenai dimensi waktu yang disebut dengan “Kappa” (Baca lagi “Alam-Semesta I).
Ada tiga macam Kappa, yaitu:
1. Antara Kappa.
2. Asankheyya Kappa.
3. Maha Kappa.
Dalam rentang perjalanan manusia, (sesungguhnya) terdapat suatu masa dimana seluruh umat manusia hanya akan mempunyai batas waktu umur rata-rata hingga 10 tahun. Masa ini terjadi ketika moralitas ummat manusia sedemikian merosotnya, sehingga umurnya hanya akan bertahan hingga 10 tahun, sesudah itu mati. Masa selang antara batas usia manusia rata-rata 10 tahun lalu naik sampai usia yang panjang sekali hingga mencapai delapan puluh ribu ( 80.000 ) tahun, lalu turun kembali hingga batas usia rata-rata menjadi 10 tahun kembali, itu adalah rentang waktu 1 “Antara-Kappa” (Antara satu kappa ke Kappa berikutnya, itulah “Antara-Kappa”).
Satu ( 1 ) Asankheyya Kappa adalah sama dengan 20 Antara Kappa. Satu ( 1 ) Asankheyya Kappa, oleh para sarjana dinyatakan, bila dialjabarkan sama dengan 10 pangkat 14 ( angka satu ( 1 ) diikuti seratus empat puluh ( 140 ) angka nol, ( coba anda tuliskan sendiri, hehehe… ), sehingga lamanya melebihi jumlah jutaan-trilyun tahun. Dan Satu ( 1 ) Maha Kappa adalah sama dengan empat ( 4 ) Asankheyya Kappa, sehingga 1 Maha Kappa lamanya melebihi maha jutaan-trilyun tahun.
Dimensi waktu yang disebut “Kappa” inilah yang digunakan untuk mengukur umur rata-rata makhluk-makhluk yang terlahir dalam alam Rupaloka dan Arupaloka, yang kesemuanya bisa anda lihat pada “Tabel 31 Alam Kehidupan”.
I. KAMALOKA/KAMADHATU
Yakni alam nafsu-keinginan, tempat keberadaan makhluk-makhluk duniawi. Ada sebelas (11) alam kehidupan yang termasuk didalam Kamaloka ini, yang terbagi dalam dua alam, yaitu:
1). Dugati (Alam-alam menyedihkan), dan,
2). Sugati (Alam Bahagia).
1.) Dugati (Alam-alam menyedihkan)
Dugati terdiri dari empat (4) alam yang kesemuanya merupakan tempat hidup “yang menyedihkan”. Alam ini disebut juga “Empat Alam Kemerosotan”(Apâyabhûmi). Istilah ‘apâyabhûmi’ terbentuk dari tiga kosakata, yakni ‘apa‘ yang berarti ‘tanpa, tidak ada’, ‘aya‘ yang berarti ‘kebajikan’, dan ‘bhûmi‘ yang berarti ‘alam tempat tinggal makhluk hidup’. Apâyabhûmi adalah suatu alam kehidupan yang tidak begitu ada kesempatan untuk berbuat kebajikan. Delapan jenis suciwan tidak akan terlahirkan di alam ini, dan tidak ada satu makhluk pun dalam alam ini yang mampu meraih kesucian dalam kehidupan sekarang. Alam ini juga sering disebut sebagai ‘dugga-tibhûmi‘.
Yang menyebabkan suatu makhluk terlahir di alam “Dugati”/empat alam menyedihkan (disebut juga “apaya-bhumi”) adalah karena:
1. Tidak pernah Berdana (bersedekah)
2. Tidak menjaga Sila (Moralitas : Setidaknya ada lima Sila yang harus dijaga, yaitu : 1. Tidak membunuh makhluk hidup apapun juga (termasuk binatang) , 2. Tidak mengambil barang yang tidak diberikan, 3. Tidak berbuat sex yang menyimpang/tidak seharusnya (perilaku cabul, perzinahan, dll). 4. Tidak berucap dusta, 5. Tidak meminum minuman/obat-obatan yang menyebabkan lemahnya kesadaran (yang memabukkan, seperti narkoba, extasy, minuman keras/beralkohol, dll.))
3. Tidak pernah mempunyai rasa hormat kepada orang-orang lain.
‘Duggati’ terbentuk dari dua kosakata, yakni ‘du‘ yang berarti ‘jahat, buruk, sengsara’, dan ‘gati‘ yang berarti ‘alam tujuan bagi suatu makhluk yang akan bertumimbal lahir’. Duggatibhûmi adalah suatu alam kehidupan yang buruk, menyengsarakan. Walaupun kerap dipakai se-bagai suatu padanan,duggatibhûmi sesungguhnya tidaklah sama persis cakupannya dengan apâyabhûmi. Apâyabhûmi terdiri atas empat alam, yakni:
a). Niraya (Ni + aya ; tanpa kebahagiaan )/Neraka (Sanskerta)
Yaitu alam keberadaan yang menyedihkan, tempat para makhluk menebus Kamma buruk mereka. Manusia yang dalam hidupnya cenderung kearah penganiayaan makhluk hidup, membunuh makhluk hidup apapun juga, dan senantiasa terjerembab dalam tindakan-tindakan jahat yang dilakukan baik oleh pikiran, ucapan, dan perbuatan, maka ia akan terlahir dialam Niraya ini.
Sesungguhnya, anggapan bahwa neraka adalah tempat hidup yang kekal abadi bagi semua makhluk yang selama masa hidup sebelumnya banyak berbuat karma buruk, adalah keliru. Tidak ada yang kekal-abadi, termasuk didalam neraka sekalipun. Setelah habisnya Kamma buruk yang menyebabkan mereka “tercebur” kedalam alam penuh derita ini (sama-sekali tidak ada kesenangan, hanya derita yang ada), makhluk-makkhluk yang hidup dialam ini akan lahir kembali dalam alam-alam lain sesuai timbunan kamma-kamma mereka sendiri, yang telah mereka pupuk selama ribuan tahun rentang pengembaraannya dalam samsara.
Dikisahkan bahwa Mallikâ, yang pernah melakukan perzinahan dengan seekor anjing, berada dalam alam neraka hanya dalam waktu tujuh hari. (Mallikâ adalah permaisuri kesayangan Raja Pasenadi Kosala). Atas kematiannya, raja bertanya kepada Sang Buddha ke alam manakah gerangan istrinya terlahirkan kembali. Beliau tidak menjawab meskipun ditanya setiap hari selama seminggu penuh karena khawatir kalau raja akan bersedih hati mengetahui penderitaan yang harus ditanggung oleh Mallikâ. Baru setelah Mallikâ keluar dari neraka Avîci dan terlahirkan kembali di Surga Tusita, Beliau memberikan jawaban. Tidaklah ‘adil’ untuk menjebloskan suatu makhluk sepanjang hidup (selamanya) dalam neraka hanya karena suatu kejahatan yang pernah dilakukannya dengan mengabaikan semua kebajikannya dan tanpa memberi peluang sedikit pun untuk memperbaiki kehidupannya. Neraka bukanlah suatu tempat pelampiasan kesewenang-wenangan suatu Pencipta Adikodrati yang murka karena diabaikan atau dikhianati oleh makhluk-makhluk ciptaannya.
Neraka terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
1. Neraka Besar (Mahâ-niraya)
2. Neraka Kecil (Ussadaniraya).
Neraka besar terdiri atas delapan alam:
1. Sañjîva
Alam kehidupan bagi makhluk yang secara bertubi-tubi dibantai dengan pelbagai senjata; begitu mati langsung terlahirkan kembali di sana secara berulang-ulang hingga habisnya akibat kamma yang ditanggung. Mereka yang suka mempergunakan kekuasaan yang dimiliki untuk menyiksa makhluk lain yang lebih lemah atau rendah kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
2. Kâïasutta
Alam kehidupan bagi makhluk yang dicambuk dengan cemeti hitam dan kemudian dipenggal-penggal dengan parang, gergaji dan sebagainya. Mereka yang suka menganiaya atau membunuh bhikkhu, sâmaóera atau pertapa; atau para bhikkhu-sâmaóera yang suka melanggar vinaya kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
3. Sanghâta
Alam kehidupan bagi makhluk yang ditindas hingga luluh lantak oleh bongkahan besi berapi. Mereka yang tugas atau pekerjaannya melibatkan penyiksaan terhadap makhluk-makhluk lain, misalnya pemburu, penjagal dan lain-lain kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
4. Dhûmaroruva
Alam kehidupan bagi makhluk yang disiksa oleh asap api melalui sembilan lubang dalam tubuh hingga menjerit-jerit kepengapan. Mereka yang membakar hutan tempat tinggal binatang; atau nelayan yang menangkap ikan dengan mempergunakan racun dan sebagainya kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
5. Jâlaroruva
Alam kehidupan bagi makhluk yang diberangus dengan api melalui sembilan lubang dalam tubuh hingga meraung-raung kepanasan. Mereka yang suka mencuri kekayaan orangtua atau barang milik bhikkhu, sâmaóera atau pertapa; atau mencoleng benda-benda yang dipakai untuk pemujaan kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
6. Tâpana
Alam kehidupan bagi makhluk yang dibentangkan di atas besi membara. Mereka yang membakar kota, vihâra, sekolahan dan sebagainya kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
7. Patâpana
Alam kehidupan bagi makhluk yang digiring menuju puncak bukit membara dan kemudian dihempaskan ke tombak-tombak terpancang di bawah. Mereka yang menganut pandangan sesat bahwa pemberian dâna tidak membuahkan pahala, pemujaan kepada Tiga Mestika tidak berguna, penghormatan kepada dewa tidak berakibat, tidak ada akibat dari perbuatan baik maupun buruk, ayah-ibu tidak berjasa, tidak ada kehidupan sekarang maupun mendatang, dan tidak ada makhluk yang terlahirkan dengan seketika kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
8. Avîci
Alam kehidupan bagi makhluk yang direntangkan dengan besi membara di empat sisi dan dibakar dengan api sepanjang waktu. Mereka yang pernah melakukan kejahatan terberat, yakni membunuh ayah, ibu atau Arahanta, melukai Sammâsambuddha, atau memecah-belah pasamuan Saõgha niscaya akan terlahirkan di alam ini. Avîci kerap diang-gap sebagai alam kehidupan yang paling rendah.
Neraka kecil terdiri atas delapan alam:
1. Angârakâsu: Alam neraka yang terpenuhi oleh bara api
2. Loharasa: Alam neraka yang terpenuhi oleh besi mencair
3. Kukkula: Alam neraka yang terpenuhi oleh abu bara
4. Aggisamohaka: Alam neraka yang terpenuhi oleh air panas
5. Lohakhumbhî: Alam neraka yang merupakan panci tembaga
6. Gûtha: Alam neraka yang terpenuhi oleh tahi membusuk
7. Simpalivana: Alam neraka yang merupakan hutan pohon ber-duri
8. Vettaranî: Alam neraka yang merupakan air garam berisi duri rotan
b). Tiracchana-yoni (tiro=melintasi;acchana=pergi)
Ini adalah dunia para hewan. Makhluk-makhluk dilahirkan sebagai binatang-binatang karena Kamma buruk mereka. Setelah masa hidupnya habis, binatang-binatang ini akan lahir dialam-alam lain, misalnya di alam manusia, jika mereka mempunyai Kamma yang cukup untuk itu.
Dengan pengertian lain, binatang disebut Tiracchâna karena merintangi jalan menuju pencapaian Jalan dan Pahala. Binatang sesungguhnya tidak mempunyai alam khusus milik mereka sendiri melainkan hidup di alam manusia. Binatang memiliki hasrat untuk menikmati kesenangan inderawi serta berkembang-biak; naluri untuk mencari makan, bersarang, dan sebagainya; dan perasaan takut mati, mencintai kehidupannya. Binatang tidak mempunyai kemampuan untuk membedakan kebajikan dari kejahatan, kebenaran dari kesesatan, dan sebagainya (dhammasaññâ, conscience) kecuali kalau terlahirkan sebagai calon Buddha (bodhisatta) yang sedang memupuk kesempurnaan. Bodhisatta tidak akan terlahirkan sebagai binatang yang lebih kecil dari burung puyuh [semut misalnya] atau lebih besar dari gajah [dinosaurus misalnya].
Sebenarnya, Kamma yang mewujudkan dirinya dalam bentuk seorang manusia bisa juga mewujudkan dirinya dalam bentuk seekor binatang, demikian juga sebaliknya, sebagaimana halnya arus listrik yang dapat mewujudkan dirinya dalam bentuk : sinar, panas, dan gerakan secara berturutan; dalam hal ini, yang satu tidak perlu merupakan perkembangan lebih lanjut dari yang lainnya.
Sebagai contohnya, seorang manusia yang dalam masa hidupnya mengalami masa-masa dimana ia bertingkah laku bagaikan hewan, tidak mempunyai kebajikan, kesadaran/kecerdasan moral, hanya mengumbar hawa nafsu sexual dan nafsu-nafsu biadabnya, maka sesungguhnya ia tak ubahnya sebagai “binatang”, meski wujudnya saat itu adalah manusia. Kemudian karena kamma buruknya ia selama hidup memperoleh makanan dari mencuri, mengais-ngais ditempat sampah, saat itupun ia tak ubahnya bagai binatang. Bila kita mempunyai teman, saudara, yang mempunyai cara hidup demikian, sebaiknya kita membimbingnya kearah yang baik dan benar. Sesungguhnya, alam kehidupan itu adalah “kondisi-batin”. Tak perlu menunggu mati baru bisa tahu ia terlahir dimana, hanya dengan melihat kondisi batinnya, ia akan tahu, saat itu ia hidup di alam mana.
Binatang mempunyai banyak jenis yang tak terhitung jumlahnya, namun secara garis besarnya dapat dibedakan menjadi Empat Macam, yakni:
1. Yang tak berkaki seperti ular, ikan, cacing dan lain-lain (apada),
2. Yang berkaki dua seperti ayam, bebek, burung dan lain-lain (dvipada),
3. Yang berkaki empat seperti gajah, kuda, kerbau dan lain-lain (catuppada),
4. Yang berkaki banyak seperti kelabang, udang, kepiting dan lain-lain (bahuppada).
Dalam pandangan Kristen serta agama-agama “Ketuhanan” lainnya, semua binatang akan musnah setelah kematian. Binatang dianggap tidak mempunyai roh. Binatang hanya diakui memiliki naluri (instinct), tanpa akal budi. Karena itu, mereka tidak perlu mempertanggung-jawabkan perbuatan mereka. Kebahagiaan maupun penderitaan yang di alami bukan ditentukan oleh perbuatan mereka baik dalam kehidupan sekarang maupun kehidupan kehidupan yang lampau; melainkan merupakan wewenang serta kehendak Tuhan. Binatang diciptakan semata-mata untuk kepentingan umat manusia yang lebih luhur. Tidak ada surga maupun neraka bagi binatang. Ini menimbulkan dilemma bagi umat Kristen yang menginginkan agar binatang peliharaannya dapat hidup bersama lagi di surga sebagaimana di bumi.
c). Peta-yoni (pa+ita).
Secara harafiah, artinya adalah makhluk-makhluk yang telah meninggal, atau makhluk-makhluk yang sama sekali tanpa kebahagiaan. Mereka bukan arwah atau setan yang tidak berwujud. Mereka memiliki bentuk tubuh yang cacat yang besarnya bermacam-macam, pada umumnya tidak terlihat dengan mata telanjang. Mereka tidak memiliki alam sendiri, tetapi tinggal di hutan-hutan, lingkungan yang kotor, di dalam rumah-rumah kosong, dan lain-lain.
Alam Setan ‘Peta‘ terbentuk atas dua kosakata, yaitu ‘pa‘ yang berarti ‘ke depan, menyeluruh’, dan ‘ita‘ yang berarti ‘telah pergi, telah meninggal’. Berbeda dengan makhluk yang berada di alam neraka yang menderita karena tersiksa, peta atau setan hidup sengsara karena kelaparan, kehausan dan kekurangan. Kejahatan yang membuat suatu makhluk terlahirkan sebagai setan ialah pencurian, dan karma-karma buruk lainnya. Seperti binatang, setan tidak mempunyai alam khusus milik mereka sendiri. Mereka berada di dunia ini dan bertinggal di tempat-tempat seperti hutan, gunung, tebing, lautan, kuburan, dan sebagainya. Beberapa jenis setan mempunyai kemampuan untuk menyalin rupa dalam wujud seperti dewa, manusia, pertapa, binatang, atau hanya menampakkan diri secara samar-samar seperti bayang-bayang gelap dan lain-lain.
Setan terbagi menjadi empat jenis, yakni:
1. Yang hidup bergantung pada makanan pemberian orang lain dengan cara penyaluran jasa dan sebagainya (paradattupajîvika),
2. Yang senantiasa kelaparan, kehausan dan kekurangan (khuppîpâsika),
3. Yang senantiasa terberangus (nijjhâmataóhika),
4. Yang tergolong sebagai iblis atau makhluk yang suram (kâlakañcika).
Jenis yang pertama itu dapat menerima pelimpahan jasa karena mereka bertempat tinggal di sekitar atau di dekat manusia, sehingga dapat mengetahui pemberian ini dan beranumodanâ [menyatakan kebahagiaan atas kebajikan yang diperbuat oleh makhluk lain]. Apabila mereka tidak tahu kalau ada pelimpahan jasa dan tidak beranumodanâ, pelimpahan jasa ini tidak dapat diterima. Orang yang pada saat-saat menjelang kematian mempunyai kemelekatan yang amat kuat pada kekayaan, harta benda, sanak-keluarga, dan sebagainya niscaya akan terlahirkan di alam setan ini.
Dalam Vinaya dan Lakkhaóa-samyutta, disebutkan adanya 21 macam setan, yaitu:
1. Yang hanya bertulang tanpa daging (aööhisaõkha-sika),
2. Yang hanya berdaging tanpa tulang (maõsapesika),
3. Yang berdaging benjol (maõsapióòa),
4. Yang tak berkulit (nicchavirisa),
5. Yang berbulu seperti pisau (asiloma),
6. Yang berbulu seperti tombak (sat-tiloma),
7. Yang berbulu seperti anak panah (usuloma),
8. Yang berbulu seperti jarum (sûciloma),
9. Yang berbulu seperti jarum jenis kedua (duti-yasûciloma),
10. Yang berpelir besar (kumbhaóòa),
11. Yang terbenam dalam tahi (gûthakûpanimugga),
12. Yang makan tahi (gûthakhâdaka),
13. Yang berjenis betina tanpa kulit (nicchavitaka),
14. Yang berbau busuk (duggandha),
15. Yang bertubuh bara api (ogilinî),
16. Yang tak berkepala (asîsa),
17. Yang berperawakan seperti bhikkhu,
18. Yang berperawakan seperti bhikkhunî,
19. Yang berperawakan seperti calon bhikkhunî (sikkhamâna),
20. Yang berperawakan seperti sâmanera,
21. Yang berperawakan seperti sâmanerî.
Sementara itu, Kitab Lokapaññatti serta Chagatidîpanî menyebutkan adanya 12 macam setan, yaitu:
1. Yang makan ludah, dahak dan muntahan (vantâsikâ),
2. Yang makan mayat manusia atau binatang (kuópâsa),
3. Yang makan tahi (gûthakhâdaka),
4. Yang berlidah api (ag-gijâlamukha),
5. Yang bermulut sekecil lubang jarum (sûcimukha),
6. Yang terdorong keinginan tiada habis (taóhaööita),
7. Yang bertubuh hitam pekat (sunijjhâmaka),
8. Yang berkuku panjang dan runcing (satthaõga),
9. Yang bertubuh sangat besar (pabbataõga),
10. Yang bertubuh seperti ular piton (ajagaraõga),
11. Yang menderita di siang hari tetapi menikmati kesenangan surgawi di malam hari (vemânika),
12. Yang memiliki kesaktian (mahiddhika).
Contoh nyata makhluk-makhluk alam –Peta ini adalah : Hantu-hantu “Lawang-Sewu” (Semarang), hantu-hantu yang tinggal disudut-sudut rumah kita yang gelap, pekat, dan tidak terjamah oleh kita, hantu-hantu yang tinggal di pohon-pohon tertentu.
Umumnya, kita tidak bisa melihatnya dengan mata telanjang, jika kita belum mempunyai tingkat konsentrasi yang tinggi setara dengan Jhana I.
Tapi, seringkali, manusia mampu melihat keberadaan makhluk-makhluk Peta ini. Contohnya:
1. Anda semua tentunya pernah mengalami “tindihen”, yaitu keadaan tidur terlelap yang kemudian seakan ada yang “menindih” badan kita, dan kita kemudian tersadar bahwa tubuh kita tidak dapat digerakkan, mulut kita serasa terkunci, terkadang telinga kita “mendengung” keras hingga tak bisa mendengar apa-apa. Pada saat seperti itu, jika kita menggunakan mata batin kita, kita akan melihat, bahwa didekat kita ada makhluk Peta yang hadir dan memandangi kita. Bahkan, tak jarang, jika kita membuka mata, kita bisa melihatnya dengan mata telanjang ! Ada suami dari teman saya, yang meninggal karena mengalami hal ini. Mengapa ? Karena jantungnya lemah, ia “shock”, sehingga mengalami serangan jantung, meski detik-detik menjelang berhentinya jantungnya istrinya telah berusaha membangunkannya.
2. Teman sekantor saya pernah suatu ketika, kerja hingga lembur menjelang maghrib. Disaat konsentrasi kerjanya, dimana ia sendirian, tiba-tiba ia dikagetkan munculnya sesosok hantu yang berwujud anak-kecil yang menyeringai dan kemudian berlari.
3. Saya pribadi, seringkali melihat makhluk-makhluk ini di beberapa tempat, seperti di atas genting, di sudut rumah, dan di atas pohon. Makhluk-makhluk seperti ini tidak selalu menetap ditempat tersebut, ia seringkali juga berjalan-jalan, seperti manusia juga.
Salah satu contoh yang pernah saya alami adalah sebagai berikut. Teman sekantor saya, sebut saja bernama Adi, diganggu oleh salah satu makhluk Peta ini. Saat ia konsultasi dikantor, saya sudah melihat makhluk tersebut tinggal diatas genting, bersandar pada pohon mangga yang ada didepan kamarnya. Rambutnya panjang, kulitnya putih pucat, pakaiannya putih panjang, kukunya hitam panjang-panjang, kurang-lebih 3-4 cm. Penglihatan saya ini dibenarkan oleh teman saya tersebut, karena, sebelum ia minta tolong kepada saya, ia sudah minta tolong kepada beberapa paranormal, termasuk praktisi-praktisi Yoga, dan semuanya mengatakan makhluk tersebut tinggal diatas pohon yang saya tunjuk itu, meski paranormal dan para praktisi Yoga tersebut tidak bisa menerangkan dengan detail wujud makhluk ini.
Saat saya datang ke tempat kos-kosannya, makhluk tersebut sudah memilih pergi ketempat lain. Dan atas permintaan teman saya, saya meminta mbak “cantik” ini untuk tidak lagi mengganggu teman saya. Mbak “cantik” tidak menjawab, hanya memalingkan muka, tidak mau menatap mata saya lagi. Lewat bahasa tubuhnya ia menyatakan, bahwa ia tidak akan mengganggu teman saya ini, hanya, ia akan tetap datang ke pohon tersebut, karena ia sudah lama sering singgah disitu. Usut punya usut, ternyata, yang menyebabkan teman saya ini senantiasa merasakan kehadiran mbak “cantik” didekatnya, karena beberapa saat sebelumnya, ada teman Si Adi, yang bernama (sebut saja) Yudi, “unjuk-kebolehan” untuk memanggil “hantu” bersama-sama dengan Adi, dan prakteknya itulah yang menyebabkan ia terpanggil untuk mendekati si Adi. Si Yudi sendiri, seperti dikisahkan oleh Adi, beberapa kali ketika tidur dikamar kosnya, diganggu hingga muntah darah. Kini, kos-kosan Adi sudah aman dan nyaman, meski mbak “cantik tetap ada disana. Bahkan, tak jarang Adi duduk bersebelahan dengan mbak “cantik” ini di kursi panjang didepan kamarnya, ditemani lampu bohlam remang-remang dan aroma lembab kamar mandi di ujung lorong dekat kamarnya, hiiiii… (hehehehehe).
d). Asura-yoni
Ini adalah Alam Iblis ‘Asurakâya‘.‘Asurakâya‘ terbentuk atas tiga kosakata, yaitu ‘a‘ yang merupakan unsur pembalik, ‘sura‘ yang berarti ‘cemerlang, gemilang’, dan ‘kâya‘ yang berarti ‘tubuh’. Namun, yang dimaksud dengan ‘tak cemerlang’ di sini bukanlah tidak adanya cahaya yang memancar dari tubuh, melainkan suatu kehidupan yang merana dan serba kekurangan sehingga membuat batin tidak berceria.
Istilah ‘asura’ juga berasal dari kisah kejatuhan dari Surga Tâvatimsa [terkalahkan oleh Sakka dan pengikutnya] akibat minuman memabukkan (surâ). Asurakaya adalah alam Iblis penentang Dewa. Mereka senantiasa menebarkan “peperangan” terhadap para Dewa. Karena sebelumnya pernah bertinggal di alam kedewaan, asurakâya kadangkala juga disebut sebagai ‘pubbadevâ‘.
Kisah ini serupa dalam kisah Kekristenan mengenai kejatuhan LUCIFER dari alam para Malaikat (Surga) dan kemudian Lucifer dan para pengikutnya menjadi penentang Tuhan. Sangat serupa penggambaran tentang “peperangan di surga” antara Lucifer dengan para malaikat Tuhan, dimana Saint Michael berperan sebagai salah satu malaikat Tuhan yang turut “mengalahkan” Lucifer. Mengapa kisah ini bias sama ? Karena sesungguhnya yang dikisahkan adalah “sama”. Sehingga yang dimaksud oleh Kekristenan kisah “peperangan di surga” antara Lucifer dan para pengikutnya melawan Tuhan dan para malaikatnya, adalah kisah peperangan antara Asura dengan Dewa Sakka dan para pengikutnya.
Asurakâya atau iblis terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
1. Iblis berupa dewa(deva-asurâ)
2. Iblis berupa setan (peti-asurâ),
3. Iblis berupa penghuni neraka (niraya-asurâ).
Deva-asurâ terdiri atas vepacitti, râhu, subali,pahâra, sambaratî, dan vinipâtika. Peti-asurâ terdiri atas kâlakañcika,vemânika, dan âvuddhika. Niraya-asurâ hanya terdiri atas satu jenis, yaitu yang menderita kelaparan dan hidupnya bergelantungan seperti kelelawar.
Demikian penjelasan mengenai alam-alam Dugati/Apayabhumi. Mungkin sekilas perlu saya tambahkan penjelasan mengenai alam-alam dugati tersebut. Pada alam niraya/neraka, disana sama sekali tidak ada kebahagiaan. Makhluk-makhluk niraya/neraka hidup menderita. Beberapa pengalaman “perjalanan” saya, di alam niraya ini, ada makhluk yang senantiasa terbakar api, terbelenggu, meratap, menangis. Seumur hidup mereka dialam niraya ini hanya merasakan siksaan demi siksaan, baik batin maupun jasmani. Ada yang bertubuh cacat, mata “kiwir-kiwir” keluar dari mangkuknya, perut bolong, dan lain-lainnya.
Karena itulah, maka sebaiknya saya sarankan, kita harus senantiasa berdoa, melakukan pelimpahan jasa, kepada leluhur kita. Siapa tahu, meskipun beliau dulunya dikenal “baik” oleh masyarakat, terkenal, bahkan orang sakti dan linuwih sekalipun, sekarang ini bisa-bisa berada di alam niraya ini, karena ternyata, dibalik itu semua, tersimpan “amal-amal” perbuatan buruknya. Keberadaan seseorang di suatu alam tidak ditentukan dari ketenarannya, kesaktiannya, kesupelannya/keluwesannya bermasyarakat, bahkan anggapan bahwa ia “utusan-Tuhan” sekalipun, tapi lebih kepada perilakunya, pikiran, ucapan, dan perbuatannya, jika benar, bajik, lurus, bersih, maka tidak akan terlahir di alam kesengsaraan ini.
Tapi meskipun semasa hidup sebagai manusia ia adalah orang terkenal, berharta melimpah, mempunyai kesaktian, dan mengklaim diri sebagai “utusan Tuhan” , “kekasih Tuhan”, namun disisi lain ia suka mengumbar nafsu sexualnya (berpoligami sampai mempunyai istri satu lusin atau lebih misalnya), berbohong, menipu, berperang, membunuh tak segan menganiaya makhluk hidup (termasuk binatang, maka Sang Buddha melarang pengikutnya untuk melukai makhluk hidup/meneteskan darah makhluk hidup, apapun alasannya, karena, itu termasuk karma buruk. Meskipun kita hanya “urun” duit/uang, kemudian menyuruh orang lain untuk membeli hewan2 tertentu, untuk kemudian disembelih oleh tukang jagal, dan meskipun itu dibagi-bagikan kepada masyarakat, itu tetaplah karma buruk), intinya, semua pikiran, ucapan, perbuatan banyak dinodai perbuatan-perbuatan tidak baik, maka ia bisa saja terlahir dialam ini, untuk menebus karma-karma buruknya. Terutama, jika saat kematiannya ia menderita, ketakutan, shock, mati mendadak, mati tidak wajar dan merana, maka besar kemungkinan ia segera terlahir di alam ini. Pikiran terakhirlah yang akan menjadi “Gati-nimitta”; lambang-tujuan alam kelahiran berikutnya. Para pembunuh, penjahat kemanusiaan/penyebar perang, penyiksa binatang-binatang, orang-orang yang bersifat aniaya, dan “kriminil-kriminil” lain terlahir di alam ini. Panjang atau pendek umurnya di alam niraya tergantung berat ringannya kamma-kamma buruk yang ia lakukan. Semakin berat, semakin lama ia akan “mendekam” di penjara ini.
Pada alam Peta dan Asura, makhluk-makhluknya senantiasa kekeringan, kehausan, kepanasan. Kuntilanak, makhluk2 cebol, setengah manusia setengah hewan, siluman, dan lain-lain sejenisnya, mereka hidup di alam ini. Banyak orang yang bisa membuktikan keberadaannya. Saya sendiri sudah sangat sering melihat, dan menjadi hal biasa saja, bukan hal istimewa.
Makhluk-makhluk alam kesengsaraan ini, baik yang dialam niraya/neraka maupun peta dan asura, paling suka dan akan sangat berterima kasih jika kita melakukan pelimpahan jasa kepadanya, seperti misal: mendoakan, memberi petunjuk jalan hidup yang benar, menentramkan hatinya. Saya, sebelum memulai samadhi, senantiasa melakukan ini, membacakan “paritta” untuk mereka, supaya hatinya tentram, tahu bagaimana memperbaiki diri, menuju kehidupan yang lebih baik dan bahagia.
2. Keadaan bahagia (Sugati).
Ada tujuh (7) tingkatan alam yang merupakan “Keberadaan-Yang-Penuh-Kesenangan”. Dalam terminology Islam, sepertinya , ini adalah yang disebut “langit-sab-tujuh”. Tujuh (7 ) Alam Sugati ini terdiri dari:
1. Satu Alam Manusia (manussabhûmi),
Yang menyebabkan suatu makhluk terlahir dialam manusia karena memegang teguh moralitas, yaitu melaksanakan PANCASILA :
1. Tidak membunuh makhluk hidup apapun juga. Tidak menyiksa dan menimbulkan penderitaan makhluk-makhluk apapun juga.
2. Tidak mencuri, tidak mengambil barang yang tidak diberikan.
3. Tidak berbuat sex yang menyimpang (asusila), menyetubuhi yang bukan haknya.
4. Tidak berbohong, memfitnah, omong kasar, memecah belah dan lain-lain.
5. Tidak meminum minuman keras yang menyebabkan lemahnya kesadaran (memabukkan).
2. Enam Alam Dewa (devabhûmi),
Yang menyebabkan suatu makhluk/seseorang terlahir di alam dewa di keenam alam dewa lingkup-keindriaan/Kamadhatu (Catummaharajika, Tavatimsa, Yama, Tusita, Nimmanarati, Paranimmitavatti), maka ia harus berlatih dan menjalani hal berikut:
1. Mempunyai “hiri”, yaitu : Rasa malu untuk berbuat jahat.
2. Mempunyai “ottapa”, yaitu : Takut akan akibat perbuatan jahat.
Saat menjadi manusia, maka seseorang harus berlatih/mempraktekkan dhamma dengan baik, maka ia akan terlahir di alam-alam Dewa lingkup-keindrian, ditunjang dengan hiri dan ottapa. Disamping hal-hal itu, dengan berdoa kepada Dewa tertentu, dengan merenungkannya setiap saat, maka seseorang akan terlahir di alam surga tempat dewa tersebut berada. Inilah yang menyebabkan lahirnya agama-agama yang “menyandarkan” diri kepada suatu sosok Dewa atau Maha-Dewa sebagai “Penolong”, atau “Juru-Selamat”nya. Bukan hal yang salah, tetapi hanya tidak akan pernah bisa membebaskan makhluk yang bersandar tersebut dari “samsara”, paling tinggi hanya akan terlahir di alam tempat Dewa tersebut saat ini berada.
Sesungguhnya ada tiga macam deva atau dewa, yaitu:
1. Upattideva: Dewa sebagai makhluk surgawi berdasarkan kelahirannya,
2. Sammutideva: Dewa berdasarkan persepakatan atau perandaian misalnya raja, permaisuri, pangeran dan sebagainya,
3. Visuddhideva: Dewa yang suci terbebas dari segala noda batin yang tidak lain ialah Arahanta.
Dewa yang dimaksud dalam pembahasan ini hanyalah merujuk pada pengertian yang pertama, Upattideva, yakni makhluk surgawi yang mengenyam kenikmatan inderawi. Makhluk surgawi pada hakekatnya adalah TIDAK-KEKAL (Anicca), sama dengan makhluk-makhluk lainnya di ke-31 alam kehidupan ini (kecuali dialam Brahma ke-12, Suddhavasa, alam tempat tinggal para Anagami. Karena dialam ini para Anagami akan menyempurnakan dirinya untuk merealisasi Ke-Buddha-an/Ke-Arahat-an).
Mereka bisa mati karena salah satu dari empat sebab:
1. Habisnya usia,
2. Habisnya kebajikan,
3. Terlena dalam kenikmatan hingga lupa makan,
4. Murka, cemburu/irihati.
Tuhan yang dipercayai sebagai Pencipta yang Maha Sempurna sendiri dikatakan masih memiliki sifat ‘cemburu’, ‘irihati’, ‘murka’ dan sebagainya, pengkisahan karakter sedemikian ini bias anda temukan di kitab-kitab agama pemjua Tuhan , missal AL QURAN, ALKITAB, dan lain-lain. Sehingga, apa yang diajarkan oleh Sang Buddha bahwa makhluk-makhluk Surga, termasuk Tuhan sekalipun masih mempunyai sifat : marah/murka, cemburu/iri hati, adalah : BENAR. Menurut ajaran Sang Buddha, alam surga di mana para dewa-dewi bertempat tinggal dalam kurun waktu yang berbatas [tidak kekal, tidak selamanya] terbagi menjadi enam alam, yaitu:
1. Cãtummahãrãjika,
2. Tãvatimsa,
3. Yãma,
4. Tusita,
5. Nimmãnarati,
6. Paranimmitavasavatti
a). Alam Manusia (Manussabhûmi).
Alam manusia adalah suatu campuran dari rasa sakit dan kebahagiaan. Ini adalah alam saf pertama dari alam Sugati, tempat kita sekarang ini hidup dan menetap, untuk sementara, sebelum nanti kita mati. Di alam manusia ini, kita mengalami goncangan badai kekanan dan kekiri, yang dikenal dengan “delapan-kondisi-duniawi” (Atthalokadhamma), yaitu:
1. Untung (labha) dan Rugi (alabha)
2. Terkenal (yasa) dan Tidak Dikenal (ayasa)
3. Dipuji (pasamsa) dan Dicela (Ninda)
4. Bahagia (sukha) dan Menderita (Dukha)
Manussa’ terbentuk atas dua kosakata, yaitu ‘mano‘ yang berarti ‘pikiran, batin’ dan ‘ussa‘ yang berarti ‘tinggi, luhur, meningkat, berkembang’. Manussaatau manusia adalah suatu makhluk yang berkembang serta kukuh batinnya [mano ussanti etesanti=manussâ], yang tahu serta memahami sebab yang layak [kâranâkaranam manatijânâtîti=manusso], yang tahu serta memahami apa yang bermanfaat dan tak bermanfaat [atthânattam manati jânâtîti=manusso], yang tahu serta memahami apa yang merupakan kebajikan dan kejahatan [kusalâkusalam manati jânâtîti=manusso].
Manusia bertinggal di empat tempat, yaitu:
1. Uttarakurudîpa,
2. Pubbavidehadîpa,
3. Aparagoyânadîpa, dan
4. Jambudîpa.
Umat manusia yang berada di Uttarakurudîpa berusia sampai seribu tahun, yang berada di Pubbavidehadîpa berusia sampai tujuh ratus tahun, yang berada di Aparagoyânadîpa berusia sampai lima ratus tahun, sedangkan yang berada di Jambudîpa berusia tidak menentu, tergantung kadar kebajikan serta kesilaan yang dimiliki. Pernah terjadi bahwa umat manusia tidak begitu mengindahkan kebajikan serta kesilaan sehingga usia rata-rata umat manusia menjadi sependek 10 tahun. Pada zaman Buddha Gotama, usia rata-rata umat manusia ialah 100 tahun. Diprakirakan bahwa setiap satu abad, usia manusia memendek selama satu tahun. Karena Buddha Gotama telah mangkat sejak dua puluh lima abad yang lampau, usia rata-rata umat manusia pada saat sekarang ini ialah 75 tahun ( dan ternyata teori itu benar bukan ? Karena, rata-rata umur manusia sekarang ini adalah tujuh-puluh-lima ( 75 ) tahun ).
Seorang Sammâsambuddha tidak akan muncul apabila usia rata-rata manusia lebih pendek dari 100 tahun karena kesempatan bagi kebanyakan orang untuk dapat memahami kebenaran Dhamma terlalu singkat, tetapi juga tidak akan muncul apabila lebih panjang dari 100,000 tahun karena kebanyakan orang akan merasa sulit untuk dapat menembus hakikat ketakkekalan atau kefanaan hidup. Beliau hanya terlahirkan di Jambudîpa, tidak pernah terlahirkan di tiga tempat lainnya apalagi di alam-alam kehidupan selain alam manusia.
Kitab Majjhima Nikâya bagian Mûlapannâsaka memberikan penjelasan secara terinci mengapa manusia mempunyai keadaan yang berbeda. Orang yang dalam kehidupan lampau suka membinasakan atau membunuh makhluk lain niscaya akan terlahirkan sebagai manusia dengan umur pendek; yang suka menganiaya atau menyiksa makhluk lain niscaya akan dihinggapi banyak penyakit; yang suka murkah atau marah niscaya akan berparas buruk; yang suka cemburu atau irihati nis-caya akan tak berwibawa; yang suka berdana atau murah hati niscaya akan memiliki kekayaan melimpah; yang suka bersikap angkuh atau sombong niscaya akan terlahirkan di keluarga yang rendah; yang tak gemar menimba ilmu pengetahuan atau memperdalam pengertian Dhamma niscaya akan terlahirkan dengan sedikit kebijaksanaan.
Demikian pula kebalikannya. Selaras dengan ilmu pengetahuan modern, dalam Aggañña Sutta disebutkan bahwa umat manusia di bumi ini adalah suatu hasil evolusi yang panjang. Manusia bukanlah suatu makhluk yang pada saat pertama kali muncul/lahir di dunia ini sudah berbentuk, berupa atau berwujud sebagaimana yang tertampak pada saat sekarang ini. Dalam wejangan tersebut juga dijelaskan bahwa bumi beserta isinya ini terbentuk dalam suatu proses yang amat panjang, bukan diciptakan secara gaib selama enam hari pada sekitar 6,000 tahun yang lampau sebagaimana yang ditafsirkan dari Alkitab.
Para Bodhisatta (Calon Buddha) lebih memilih alam manusia karena alam ini adalah tempat terbaik untuk mengabdi pada dunia dan memenuhi persyaratan ke-Buddhaan. Pada alam manusia ini seseorang benar-benar bisa mengenali sifat/hakekat sejati alam semesta dan alam kehidupan. Pada alam neraka, peta, asura, seorang makhluk hanya mengalami keadaan yang tidak menyenangkan, penderitaan, karena itu iapun tidak sempat mengenal/menembus hakekat, karena ia lebih memikirkan penderitaan demi penderitaan, dan oleh karenanya tidak sempat untuk mencapai alam Kebuddhaan/Nirvana. Pada alam surgawi, hanya ada kesenangan, tidak ada kesedihan/dukkha, sehingga mereka tidak mampu mengenali bahwa hakekat hidup ini adalah dukkha, dan pada alam ini pun para makhluk (yakni para Dewa) lebih suka menikmati kesenangan demi kesenangan daripada “nglakoni” untuk mencapai “Yang-Mutlak”. Oleh karenannyalah para Buddha selalu dilahirkan sebagai manusia.
b). Catummaharajika
Ini merupakan alam surga yang paling rendah, saf kedua dari alam sugati, tempat Dewa-dewa Pelindung dari empat sudut cakrawala bertempat tinggal dengan para pengikut mereka.
Alam Câtumahârâjikâ adalah suatu alam surgawi paling rendah yang berada dalam kekuasaan empat raja dewa, yakni:
1. Dhatarattha,
2. Virudhaka,
3. Virûpakkha, dan
4. Kuvera.
Empat raja dewa ini juga dipercayai sebagai pelindung alam manusia, dan karenanya dikenal dengan sebutan ‘Catulokapâla‘. Dalam Kitab Lokîyapakarattha, empat dewa pelindung dunia ini dipanggil sebagai
1. Inda (Sanskrit: Indra),
2. Yama,
3. Varuttha, dan
4. Kuvera.
Berdasarkan tempat tinggalnya, para dewa-dewi tingkat Câtumahârâjikâ terbagi atas tiga, yaitu:
1. Yang berada di daratan (bhumattha),
2. Yang berada di pohon (rukkha).
Dalam Kitab Ulasan atas Dhammapada dan Buddhavamsa, para dewa-dewi yang hidup di pohon dimasukkan dalam kelompok bhummattha.
3. Yang berada di angkasa (âkâsattha).
Empat raja langit ini serta beberapa dewa lainnya mempunyai ‘istana’ (vimâna) khusus bagi diri mereka masing-masing. Bagi yang tak mempunyai istana secara khusus, maka gunung, sungai, lautan, pohon yang ditinggali itulah istana bagi mereka. Kehidupan di Câtumaharâjikâ berlangsung selama 500 tahun dewa atau kira-kira sembilan juta tahun manusia (Perbandingan usia di alam-alam surga tidaklah sama, tergantung tingkatannya. Satu hari di alam surga tertentu berbanding satu abad di alam manusia, dan ada pula yang lebih lama lagi).
Para dewa-dewi di tingkat Câtumahârâjikâ ada yang cenderung berhati jahat, yaitu:
1. Gandhabbo/Gandhabbî: yang berada di pohon-pohon berbau harum, yang belakangan mungkin dikenali oleh orang-orang Jawa sebagai ‘GANDARUWA’/‘GENDERUWA’. Makhluk halus ini sangat melekati tempat tinggalnya. Walaupun pohon tempat tinggalnya ditebang, ia masih tetap mengikuti ke mana pohon itu dipindahkan tidak seperti rukkhadeva lainnya, yang akan mengungsi ke pohon lain yang masih hidup,
2. Kumbhanno/Kumbhannî: penjaga harta pusaka, hutan, dan sebagainya,
3. Nâgo/Nâgî: naga yang memiliki kesaktian, yang mampu menyalin rupa dalam wujud makhluk lain seperti manusia, binatang dan sebagainya,
4. Yakkho/Yakkhinî: raksasa yang gemar menganiaya para penghuni neraka.
Segala macam Dewa/Dewi yang menguasai bumi, seperti Dewa/Dewi Penguasa/Penghuni Laut-Laut tertentu, Penguasa Gunung Tertentu, dan Penguasa Bumi, termasuk hidup di alam Catummaharajika ini.
Sebagai contoh, hari Minggu malam, tanggal 14 Sepetember 2008, dirumah saya hadir para praktisi Yoga. Masing-masing, ada yang sebenarnya sudah bergelar “Master-Reiki”, ada yang sudah bertahun-tahun belajar Meditasi Buddhis, bahkan hingga ke Burma, dan lainnya. Kemudian jam 21.30 WIB kami bermeditasi bersama-sama, dan seperti biasa, setelah saya menguncarkan kata Puja kepada Sang Bhagava, Sang Buddha, saya menguncarkan puja kepada para Dewa, dan mengundang mereka untuk ikut hadir. Saya sendiri meniatkan untuk berdiam dalam Jhana II hingga dua jam kedepan. Dan, baru 2 menit berjalan, sesosok Dewa-Yang-Perkasa, ikut hadir diruangan tersebut (hingga meditasi kami selesai), beserta seekor naga meliuk-liuk turun dari atas langit, dan para pengikutnya yang bercahaya cemerlang berkilauan, memenuhi ruangan meditasi dirumah saya. Beliau, oleh masyarakat China dikenal sebagai “Kwan-Kong”. Beliau berdiri dengan gagah disatu sisi didepan kami, lengkap dengan pakaian perang, baju-zirah, topi baja pelindung, dan tongkat dengan ujungnya berupa Golok. Mukanya Merah, “galak”, matanya “mentheleng”, berkumis, dan berjenggot panjangnya sekitar 15–20 cm. Gagah. Beliau memberkati kami dan memberikan beberapa pesan. Setelah beliau, seekor naga, dan para pengikutnya “naik” kembali kealamnya, barulah saya mengakhiri meditasi, dengan menguncarkan, “Sabbe Satta Bhavantu Sukkhitatta” ; “SEMOGA SEMUA MAKHLUK BERBAHAGIA!!” .
Sepertinya beliau termasuk penghuni alam Surga Catummaharajika ini.
c). Tavatimsa
Alam Tâvatimsa adalah alam surgawi tingkat kedua. Alam ini sebelumnya/dulunya merupakan tempat tinggal para asurakâya. Ini adalah alam Dewa saf berikutnya, saf ketiga dari alam Sugati. Secara harafiah berarti: tiga puluh tiga. Ini adalah alam surga dari tiga puluh tiga (33) Dewa dengan dewa Sakka sebagai rajanya. Asal-usul dari nama ‘Tâvatimsa‘ tersebut berkaitan dengan sejarah tiga puluh tiga relawan yang tidak mementingkan diri sendiri, yang dipimpin oleh Magha (nama lain dari Sakka), karena perbuatan-perbuatan baik mereka berhasil menyingkirkan para asurakâya, terlahir dialam surgawi iniDi dalam surga inilah Sang Buddha mengajarkan Abhidhamma kepada para Dewa selama tiga (3) bulan.
Para dewa-dewi di Tâvatimsa terbagi menjadi dua kelompok, yaitu:
1. Bhummattha: Sakka beserta 32 dewa pembesar,
2. Âkâsattha: yang bertinggal dalam istana di angkasa.
Surga Tavatimsa ini terletak di atas puncak pegunungan Himalaya, di Gunung Sineru. Maka di tradisi Buddha Mahayana ada sutra-sutra yang isinya menguncarkan pujian terhadap Para Dewa yang tinggal di alam ini. Ibukota Tâvatimsa ialah Masakkasâra. Balai Sudhamma menjadi tempat bagi para dewa-dewi untuk memperbincangkan Kebenaran Dhamma di bawah asuhan Sakka (Beliau berhasil meraih kesucian tingkat Sotâpatti setelah mendengarkan Brahmajâla Sutta). Brahmâ Sanamkumâra kerap menjadi tamu pembabar Dhamma di sini. Buddha Gotama pernah berkunjung ke alam ini, dan bertinggal selama tiga bulan untuk mewejangkan Abhidhamma kepada ibunda-Nya, yang terlahirkan kembali sebagai putra dewa di alam Tusita. Moggallâna Thera juga pernah beberapa kali pergi ke alam ini, dan dari sejumlah penghuninya, beliau memperoleh kesaksian atas perbuatan-perbuatan bajik yang membawa mereka terlahirkan kembali di sini. Kebajikan ini antara lain ialah merawat ayah-ibu, menghormat sesepuh dalam keluarga, berbicara lemah lembut, menghindari penghasutan, mengikis kekikiran, bersifat jujur, menahan marah. Usia rata-rata para dewa-dewi yang terlahirkan di alam Tâvatimsa ialah 1,000 tahun dewa atau kira-kira 36 juta tahun manusia.
d). Yama ( Yâmâbhûmi )
Secara harafiah berarti “Alam para Dewa Yama”. Dewa Yama adalah dewa penghancur rasa sakit. Alam ini adalah saf keempat dari alam Sugati (berarti alam surga tingkat ketiga). Alam ini menjadi tempat bagi para dewa-dewi yang terbebas dari segala kesukaran, yang terberkahi dengan kebahagiaan surgawi. Pemegang kekuasaan dalam alam ini ialah Suyâma. Alam ini berada di angkasa. Dalam alam ini dan tingkat yang lebih tinggi, tidak ada dewa-dewi yang tergolong sebagai bhummattha yang bertinggal di daratan. Istana, harta serta tubuh para dewa-dewi di alam ini jauh lebih indah dan halus daripada yang bertinggal di Tâvatimsa. Rentang hidup mereka ialah 2,000 tahun dewa atau kira-kira 142 juta tahun manusia.
e). Tusita (Tusitabhûmi).
Secara harafiah berarti, penghuni yang berbahagia, adalah “Alam Kesenangan”. Para Boddhisatta yang telah memenuhi persyaratan-persyaratan Kebuddhaan bertempat tinggal di alam ini sampai saat yang tepat bagi mereka untuk muncul di alam manusia untuk mencapai Kebuddhaan. Tusitabhûmi adalah alam surgawi tingkat keempat. Para dewa-dewi yang hidup di alam ini senantiasa berceria atas keberadaan yang dimiliki. Semua Bodhisatta, sebelum turun ke dunia dan meraih Pencerahan Agung, terlahirkan di alam ini untuk menanti waktu yang tepat bagi kemunculan seorang Buddha. Demikian pula mereka yang akan menjadi orangtua serta Siswa Utama (Aggasâvaka). Sekarang ini, Bodhisatta Metteyya yang akan menjadi Sammâsambuddha setelah ajaran Buddha Gotama punah dari muka bumi ini sedang berada di alam ini. Usia rata-rata di alam ini ialah 4,000 tahun dewa atau kira-kira 567 juta tahun manusia.
Saat ini Bodhisatta Metteya tengah hidup dan bersemayam di alam ini. Alam ini adalah saf kelima dari alam Sugati.
f). Nimmanarati
Secara harafiah berarti “Alam Para Dewa yang Senang dalam Istana yang Diciptakan”. Para dewa di alam ini hidup dengan penuh kesenangan-kesenangan didalam istana yang mereka ciptakan sendiri. Layaknya bangsawan-bangsawan dan para saudagar di alam manusia, mereka hidup “mewah”, berkecukupan, berkelimpahan, mempunyai para pembantu/pelayan/pengikut.
Ini adalah alam saf keenam dari alam Sugati.
g). Paranimmitavatti
Secara harafiah berarti “Alam Para Dewa yang membuat ciptaan pihak lain bermanfaat untuk tujuan-tujuan mereka sendiri”. Ini adalah saf-ketujuh/langit ketujuh dari alam Sugati. Merupakan alam Surga/Dewa sekaligus alam Sugati yang tertinggi. Namun, sejatinya, ini bukanlah alam “Sang-Pencipta-Semesta”, bukanlah “Yang-Mutlak, Yang-Tidak-Tercipta”.
Enam (6), kecuali yang pertama adalah Alam Para Dewa yang bentuk tubuhnya lebih halus dan lembut dibandingkan dengan bentuk tubuh manusia dan tidak kelihatan dengan mata telanjang. Makhluk-makhluk Dewa ini juga tunduk pada kematian seperti halnya semua makhluk hidup. Alam Dewa ini dalam terminology agama samawi adalah alam-alam surga, tempat para manusia yang beramal-soleh, bajik, kelak akant terlahir, yang digambarkan seorang laki-laki akan mendapatkan hak bidadari-bidadari cantik sebagai istrinya, dan adanya aliran sungai yang dialiri air susu. Kurang lebih memang alam kesenangan ini demikian. Dalam beberapa hal, seperti keadaan jasmani,tempat tinggal, dan makanannya, mereka memang mengungguli manusia. Mereka lahir secara spontan, muncul seperti pemuda dan gadis berusia lima belas atau enam belas tahun.
Enam alam Deva ( Dewa ) ini adalah tempat tinggal sementara yang penuh kebahagiaan dimana para makhluk tampaknya hidup menikmati kesenangan indrianya yang sesungguhnya cepat berlalu.
Alam Sugati ini, seperti halnya alam-alam Dugati, juga terkena hukum alam ; tidak-kekal. Sehingga, pantaslah ajaran Jawa, bahwa manusia Jawa itu tidak mengharap-harap masuk surga, tetapi “manunggal” dengan “Yang-Mutlak”, “Kahanan-Jati”, dan itu, bukan surga.
Menurut pengalaman saya dalam “menengok” alam surga tersebut, maka disana sesungguhnya hidup banyak sekali makhluk surgawi, sama seperti manusia yang jumlahnya pun teramat sangat banyak. Satu makhluk surgawi, tentunya yang berstrata “Dewa/Dewi” bisa mempunyai ribuan pelayan/Dayang-dayang. Dayang-dayang/Peri-Peri tersebut “kerjaannya” adalah menghibur para Dewa/Dewi dan putra-putri mereka dengan nyanyian dan tarian-tarian. Mereka hidup dalam istana-istana yang megah, bagaikan kerajaan di alam dunia ini. Maka memang pantaslah ada istilah “Kerajaan-Surga”, karena memang seperti itulah adanya.
Jika ada manusia yang terlahir di alam dewa ini dalam pangkuan seorang dewa/dewi tertentu, maka dia akan menjadi anak dari dewa/dewi tersebut. Para dewa/dewi lahir secara spontan, dengan usia berkisar antara 16 tahun, dan selama mereka hidup di alam surgawi tersebut memiliki rupa yang tampan/cantik.
Jika ada manusia yang terlahir di sebuah istana dewa/dewi tertentu, bukan di pangkuan sesosok dewa/dewi yang berkuasa tersebut, maka ia akan menjadi pelayan Sang Dewa/Dewi.
Sebagai contoh, Kanjeng Ratu Kidul yang mempunyai “struktur-organisasi” lengkap dengan istana kekuasaannya, itu adalah kenyataan, bukan isapan jempol semata. Demikian juga dengan para Dewa yang lainnya. Hal ini bisa dibuktikan. Dengan melatih samadhi, dan dengan mencapai ketenangan yang dalam, batin yang terpisah dari tubuh, dengan perhatian-terpusat-sepenuhnya (jadi bukan dalam keadaan “tans” seperti yang seringkali disebut-sebut) bisa diarahkan untuk “menengok” alam-alam surga tersebut.
Para dewa di alam surga memiliki usia kehidupan yang sangat panjang, sehingga terkadang mereka lupa bahwa kehidupan itu tidak kekal. Tetapi meskipun kita sebagai manusia teramat sering mengeluh, meratap dalam menjalani kehidupan di alam manusia ini, sesungguhnya kehidupan manusia ini memiliki kelebihan yang tidak dimiliki para dewa di alam surgawi, dan tumimbal-lahir ke alam manusia, bagi para dewa dianggap sebagai tempat tujuan yang baik. Karena sebab-akibat, atau hukum karma, hampir tidak berlaku diantara para dewa, mereka memiliki hanya sangat sedikit kekuatan, atau bahkan tidak memiliki kekuatan, untuk memutus samsara, roda dumadi, bhavacakka, yang mengikat semua yang harus mati, walaupun ingatan mereka mengenai ajaran-ajaran Dhamma – yang tidak terdengar di alam dewa – tidak punah, seperti halnya dengan semua ciri lain dari kehidupan manusia mereka.
II. RUPALOKA (Alam Berbentuk):
Ini adalah Alam Brahma, dewa tertinggi dari Brahmanisme awal, yang (hingga kini) dianggap sebagai “Sang-Pencipta-Alam-Semesta” dan dipuja oleh para Brahmana dengan berbagai kurban dan ritual (itulah sebabnya, dalam setiap tradisi agama apapun, ada upacara persembahan “kurban” binatang ditujukan bagi “Sang-Pencipta”. Kepercayaan ini ditentang oleh Sang Buddha, karena merupakan suatu kekeliruan) . Mengenai upacara kurban binatang yang dipersembahkan bagi “sosok” yang dianggap “Yang-Maha-Kuasa” ini, Sang Buddha bersabda:
“Upacara mengorbankan kuda atau manusia, upacara minuman, upacara kemenangan, upacara melempar pasak,…dst. ; kesemua jenis upacara ini tidaklah sebanding dengan seperenambelas bagian sekalipun dari hati yang diliputi oleh Cinta-Kasih. Bagaikan pancaran rembulan yang mengalahkan cahaya bintang-bintang.”
Alam ini disebut juga Rûpabhûmi , merupakan suatu alam tempat kemunculan ‘rûpâvacaravipâkacitta‘ atau kesadaran akibat yang lazim berkelana dalam alam brahma berbentuk. Dengan perkataan lain, rûpabhûmi adalah suatu alam tempat kelahiran jasmaniah serta batiniah para brahma berbentuk. Yang dimaksud dengan brahma ialah makhluk hidup yang memiliki kebajikan khusus yaitu berhasil mencapai pencerapan Jhâna yang luhur. Jhâna dihasilkan dari pengembangan Samatha Kammatthâna meditasi pemusatan batin pada satu objek demi tercapainya ketenangan.
Alam brahma terdiri atas 16 alam, yakni:
1. Tiga alam bagi peraih Jhâna pertama (paöhama),
2. Tiga alam bagi peraih Jhâna kedua (dutiya),
3. Tiga alam bagi peraih Jhâna ketiga (tatiya),
4. Dua alam bagi peraih Jhâna keempat(catuttha),
5. Dan lima alam Suddhâvâsa.
Sang Buddha, dalam rangka meluruskan pandangan kaum Brahmana, menginterpretasikan kembali pengertian mengenai “Brahma-Yang-Agung” ini, dari yang semula dianggap satu-dewa-tunggal “Yang-Maha-Kuasa” menjadi suatu kelompok dewa tinggi yang berdiam di alam berbentuk (Rupadhatu/Rupaloka), jauh diatas surga-surga alam sugati (Kammadhatu).
Kediaman Brahma ini disebut sebagai “Alam-Brahma”, yang ada banyak dengan berbagai dimensi dan tingkat kekuasaan. Didalam dunia mereka, para Brahma hidup secara berkelompok, dan “Mahabrahma” adalah penguasa para Brahma tersebut, lengkap denga para menteri dan dewan-dewan Brahma.
Seperti halnya semua makhluk hidup, para Brahma itupun tidak kekal, terkena hukum alam, dan juga bertumimbal lahir, meskipun terkadang diantara mereka melupakan hal ini dan menganggap bahwa mereka adalah “Yang-Mutlak”, “Jalan-Keluar-dan-Harapan”.
Para Brahma, dengan Maha Brahma sebagai pemimpinnya, memang memiliki kekuasaan yang besar. Mahabrahma dapat menolong ummatnya yang datang kepadanya, berdoa kepadanya, memohon ridlonya. Namun sesungguhnya, ia bukanlah “Sang-Pencipta”, bukanlah “Yang-Maha-Kuasa”, “Yang-Mutlak”.
Yang membuat Mahabrahma dan para Brahma beranggapan mereka adalah kekal-abadi, “Sang-Pencipta”, “Awal-dan-Akhir”, adalah karena usia mereka yang sangat panjang (a. Brahma Parisajja/Dewan Brahma berusia 1/3 Asankheyya Kappa ; b. Brahma Purohita/Para Menteri Brahma berusia ½ Asankheyya Kappa ; dan, c). Maha Brahma berusia 1 Asankheyya Kappa. Ingat, 1 Asankeyya Kappa = 20 Antara Kappa, 1 Kappa adalah = 1 siklus daur-hidup alam-semesta ( dari big-bang s/d kiamat, dan menuju awal evolusi alam semesta kembali ) )
Sang Buddha tidak mengajarkan tiadanya “Yang-Mutlak”, karena justru Sang Buddhalah yang pertama kali didunia manusia ini yang menyatakan hal sebagai berikut”:
“O Bhikkhu, ada sesuatu Yang-Tidak-Dilahirkan, Yang-Tidak-Menjelma, Yang-Tidak-Tercipta, Yang-Mutlak. Jika seandainya saja, O, Bhikkhu, tidak ada Yang-Tidak-Dilahirkan, Yang-Tidak-Menjelma, Yang-Tidak-Diciptakan, Yang-Mutlak, maka tidak akan ada jalan keluar untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. … dst” (Sutta-Pitaka, Udana VII: 3)
Akan tetapi, yang ditolak dengan tegas oleh Sang-Buddha adalah, bahwa “Yang-Mutlak”, “Yang-Maha-Kuasa”, “Jalan-Keluar-dan-Harapan”, itu adalah : T U H A N / M A H A – D E W A , yang oleh ummat Brahmanisme dikenal dengan nama Maha-Brahma. Sebab, para Brahma itu sendiri “berbentuk”, “tercipta”, oleh karenanya, bukan “Yang-Mutlak”. Yang disebut “Yang-Mutlak” ini dalam agama Buddha adalah tidak bisa dikatakan. Sejalan dengan pengertian Tao, “ TAO yang dapat dibicarakan bukanlah TAO yang sebenarnya atau yang abadi dan nama yang dapat diberikan bukanlah nama sejati “ ( Tao Tee Cing ). Dalam ajaran Kejawen, “Yang-Mutlak” ini adalah “ Tan-Kena-Kinaya-Ngapa”, “Ora-Arah-Ora-Enggon”, “Kang-Langgeng-Tan-Owah-Gingsir-TANPA-KAWITAN-TANPA-WEKASAN”. Jadi, kalau masih bisa “Kinaya-Ngapa”/“Di-Seperti-Apakan” , bisa ditunjukan “Arah-dan-Tempat”-nya, “Wujud”-nya, maka itu bukanlah “Yang-Mutlak”.
Pernyataan Sang Buddha mengenai kesalah-pahaman Maha-Brahma dalam mengidentifikasikan dirinya sebagai “Maha-Pencipta” , “Bapa-Semua-Makhluk”, bisa kita temui dalam Brahmajala-Sutta, yang bunyinya sebagai berikut:
“ Para Bhikkhu, pada suatu masa yang lampau, setelah berlangsungnya suatu masa yang lama sekali, “bumi ini belum ada”. Ketika itu umumnya makhluk-makhluk hidup di alam dewa Abhassara, disitu mereka hidup ditunjang oleh kekuatan pikiran, diliputi kegiuran, dengan tubuh yang bercahaya dan melayang-layang di angkasa, hidup diliputi kemegahan, mereka hidup demikian dalam masa yang lama sekali.
Demikianlah pada suatu waktu yang lampau, ketika berakhirnya suatu masa yang lama sekali, bumi ini mulai berevolusi dalam proses pembentukan, ketika hal ini terjadi alam Brahma kelihatan dan masih kosong. Ada makhluk dari alam dewa Abhassara yang masa hidupnya atau “pahala karma baiknya” untuk hidup di alam itu telah habis, ia meninggal dari alam Abhassara itu dan terlahir kembali di alam Brahma. Disini, ia hidp ditunjang pula oleh keuatan pikirannya, diliputi kegiuran, dengan tubuh yang bercahaya-cahaya dan melayang-layang di angkasa, hidup diliputi kemegahan, ia hidup demikian dalam masa yang lama sekali.
Karena terlalu lama ia hidup sendirian disitu, maka dalam dirinya muncullah rasa ketidakpuasan, juga muncul suatu keinginan, “O semoga ada makhluk lain yang datang dan hidup bersama aku disini!”
Pada saat itu ada makhluk lain yang disebabkan oleh masa usianya atau pahala karma baiknya telah habis, mereka meninggal di alam Abhassara dan terlahir kembali di alam Brahma sebagai pengikutnya, tetapi dalam banyak hal sama dengan dia.
Para Bhikkhu, berdasarkan itu, maka makhluk pertama yang terlahir di alam Brahma berpendapat : “Aku Brahma, Maha Brahma, Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Tahu, Penguasa, Tuan Dari Semua, Pembuat, Pencipta, Maha Tinggi, Penentu Tempat Bagi Semua Makhluk, Asal Mula Kehidupan, BAPA DARI YANG TELAH ADA DAN YANG AKAN ADA. SEMUA MAKHLUK INI ADALAH CIPTAANKU.”
Mengapa demikian ? Baru saja berpikir, semoga mereka datang, dan berdasarkan pada keinginanku itu maka makhluk-makhluk ini muncul.”
Makhluk-makhluk itu pun berpikir, “ Dia Brahma, Maha Brahma, Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Tahu, Penguasa, Tuan Dari Semua, Pembuat, Pencipta, Maha Tinggi, Penentu Tempat Bagi Semua Makhluk, Asal Mula Kehidupan, BAPA DARI YANG TELAH ADA DAN YANG AKAN ADA. KITA SEMUA ADALAH CIPTAANNYA”.
Mengapa ? Sebab, setahu kita, Dialah yang lebih dahulu berada disini, sedangkan kita muncul sesudah-Nya. “
Para Bhikkhu, dalam hal ini makhluk pertama yang berada disitu memiliki usia yang lebih panjang, lebih mulia, lebih berkuasa daripada makhluk-makhluk yang datang sesudahnya.
Para Bhikkhu, selanjutnya ada beberapa makhluk yang meninggal di alam tersebut dan terlahir kembali di bumi.
Setelah berada di bumi ia meninggalkan kehidupan berumah tangga dan menjadi petapa. Karena hidup sebagai petapa, maka dengan bersemangat, tekad waspada dan kesungguhan bermeditasi, pikirannya terpusat, batinnya menjadi tenang dan memiliki kemampuan untuk mengingat kembali satu kehidupannya yang lampau, tetapi tidak lebih dari itu. Mereka berkata, “ Dia Brahma, Maha Brahma, Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Tahu, Penguasa, Tuan Dari Semua, Pembuat, Pencipta, Maha Tinggi, Penentu Tempat Bagi Semua Makhluk, Asal Mula Kehidupan, BAPA DARI YANG TELAH ADA DAN YANG AKAN ADA. Dialah yang menciptakan kami, ia tetap kekal selamanya, tetapi kami yang diciptakannya dan datang kesini adalah tidak kekal, berubah dan memiliki usia yang terbatas”.
Namun, para Brahma dan Maha-Brahma ini, akhirnya; setelah mendapatkan penjelasan/pengajaran dari Sang Buddha, barulah ia memahami bahwa ia bukanlah “Awal-dan-Tujuan-Semua-Makhluk”, bukan “Sangkan-Paraning-Dumadi”. Penjelasan terperinci mengenai hal ini bisa dibaca di Samyutta-Nikaya.
Rupadhatu/Rupaloka ini adalah alam dimana makhluk-makhluk merasa senang karena kebahagiaan Jhana (Kegembiraan Luar Biasa), yang dicapai dengan melepaskan nafsu keinginan indria.
Jika seseorang ingin terlahir dalam “Rupadhatu” atau “Rupabrahma”, maka ia harus melepaskan keduniawian, mengikis nafsu indria, dan kemudian hidup bertapa untuk mencapai “Jhana”:
1. Petapa yang berhasil mencapai Jhana I dan jika ia pertahankan hingga saat kematiannya (ketika detik-detik meninggal ia tetap teguh dalam samadhi di Jhana I), maka ia akan terlahir di alam Brahma tingkat 1, 2, dan 3.
2. Petapa yang berhasil mencapai Jhana II dan jika ia pertahankan hingga saat kematiannya (ketika detik-detik meninggal ia tetap teguh dalam samadhi di Jhana II), maka ia akan terlahir di alam Brahma tingkat 4, 5, dan 6.
3. Petapa yang berhasil mencapai Jhana III dan jika ia pertahankan hingga saat kematiannya (ketika detik-detik meninggal ia tetap teguh dalam samadhi di Jhana III), maka ia akan terlahir di alam Brahma tingkat 7, 8, dan 9.
4. Petapa yang berhasil mencapai Jhana IV dan jika ia pertahankan hingga saat kematiannya (ketika detik-detik meninggal ia tetap teguh dalam samadhi di Jhana IV ), maka ia akan terlahir di alam Brahma tingkat 10, 11, dan 12 (dimana alam Brahma ke-12 ini, dibagi lagi menjadi 5 alam , baca kembali “Rupadhatu”).
Untuk alam Brahma ke-12, Suddhavasa (beserta kelima alam turunannya), yaitu “Tempat Kediaman Sejati”, adalah alam khusus para Anagami ( Yang Tak Pernah Kembali, baca kembali “Ketuhanan Yang Maha Esa Dalam Buddhisme”), makhluk biasa tidak dilahirkan dalam keadaan ini. Sehingga, untuk bisa terlahir dialam ini harus mencapai Jhana keempat dan telah mendapat “magga” sampai anagami. Untuk mencapai Anagami, seseorang harus melenyapkan kelima belenggu sebagai berikut ini :
1. Pandangan sesat tentang adanya pribadi, jiwa, atau “AKU” yang kekal (sakkaya-ditthi).
2. Keragu-raguan yang skeptis pada Buddha, Dhamma, Sangha, dan tentang kehidupan yang lampau dan kehidupan yang akan datang, juga keraguan kepada hukum sebab-akibat (vicikiccha).
3. Kemelekatan pada suatu kepercayaan bahwa hanya dengan melaksanakan aturan-aturan dan upacara keagamaan seseorang dapat mencapai kebebasan(silabbata-paramasa).
4. Nafsu indriya (kama-raga).
5. Dendam dan dengki (vyapada).
CIRI-CIRI PARA “BRAHMA”
Para Brahma hidup di alam Rupadhatu. Yang membedakan dengan alam surga dilingkup-keindriaan/Kamadhatu adalah, bahwa dialam Rupadhatu bentuk-bentuk materi yang kasar telah lenyap, yang ada adalah bentuk-bentuk materi yang lebih halus, jauh lebih halus daripada dewa apapun yang terdapat di Kamadhatu.
Penghuni Rupadhatu juga merupakan dewa, hanya, untuk membedakan dengan para dewa Kamadhatu, mereka disebut: Brahma. Waktu hidup/umur para Brahma jauh lebih lama dibanding para dewa Kamadhatu. Di ala mini, nafsu-nafsu indria sudah mereda, termasuk nafsu sexual.
Di alam Rupadhatu ini sudah mulai tidak terdapat perbedaan jenis kelamin. Brahma, yang meskipun disebut sebagai “BAPA” Alam-Semesta, “BAPA” dari semua makhluk, tidaklah tepat jika dinyatakan berjenis kelamin laki-laki, karena dialam Brahma ini, sudah tidak terdapat laki-laki maupun perempuan. Ini sekaligus untuk menjawab kebingungan para ummat samawi, “Apakah jenis kelamin Bapa kita di surga? Apakah Bapa seorang laki-laki, atau perempuan? “Jawabannya, “Bukan Laki-laki, bukan pula perempuan”. Sesungguhnya, jauh sebelum Kristus lahir, jauh sebelum Nabi Muhammad lahir, bahkan jauh sebelum Sang Buddha lahir, orang-orang India kuno telah mengenal “Bapa-Yang-Kekal-Abadi” yang berdiam dalam “Kerajaan-Surga”, yaitu di alam “Brahma” tersebut. Brahma inilah “Bapa” yang dikenal oleh ummat manusia hingga sekarang ini.
Mengapa ummat manusia bisa salah paham sehingga menyebut ada “Bapa” dari segenap alam semesta ini? Karena Brahma mempunyai usia yang panjang, dimana Maha Brahma tersebut berusia 1 Asankheyya Kappa, dimana 1 A.K tersebut = 20 Antara Kappa, dan 1 Kappa adalah satu siklus dunia, , dan usia Maha Brahma adalah sama dengan 20 kali siklus dunia. Beberapa sarjana menyatakan 1 Asankheyya Kappa ini jika ditulis dalam Aljabar maka sama dengan angka satu (1) diikuti 140 angka “nol” (0), atau 10 pangkat 14 (Coba dituliskan sendiri, hehehehe…). Jadi 1 A.K. adalah sepanjang 10 pangkat 14 tahun, jauh diatas hitungan “jutaan-trilyun” tahun.
Kemudian, seperti apakah Brahma ini ? Brahma memiliki tubuh yang sangat halus, tidak semua orang bisa bertemu Brahma, bisa meninjau alam Brahma. Bila dilihat dengan mata batin/mata daging seseorang yang sudah melatih Sila, Samadhi, Panna dan telah mencapai tataran Jhana-Jhana dalam Samadhi,maka Brahma ini bertubuh transparan, sangat transparan, diliputi cahaya putih, terang, gemerlapan dan sinarnya mampu menerangi bahkan satu desa, satu kota, sangat terang dan menyilaukan ! . Itulah makanya tidak semua orang, tidak semua spiritualis bisa bertemu yang dikenal dengan “Bapa-Di-Sorga” ini. Jika anda ingin mencapai alam Brahma, dan melihat para Brahma, maka anda harus mensucikan diri, melepaskan nafsu keduniawian, dan senantiasa bersamadhi hingga berhasil mencapai Jhana, jika tidak, maka adalah dusta jika seseorang menyatakan mampu melihat Brahma. Brahma ini berbeda dengan para Dewa dari Kamadhatu, berbeda dengan Kanjeng Ratu Kidul, berbeda dengan Kwan-Kong, dan lain-lain Dewa Kamadhatu.
Alam Rupaloka/Rupadhatu/Rupabhumi ini terdiri dari enam belas (16) alam menurut Jhana atau Kegembiraan Luar Biasa yang terlatih. Mereka adalah :
1. Tiga alam bagi peraih Jhâna pertama (pathama jhana bhumi),
2. Tiga alam bagi peraih Jhâna kedua (dutiya jhana bhumi),
3. Tiga alam bagi peraih Jhâna ketiga (tatiya jhana bhumi),
4. Dua alam bagi peraih Jhâna keempat (catuttha jhana bhumi),
5. Dan lima alam Suddhâvâsa.
a). Alam Jhana Pertama ( Pathama Jhana Bhumi );
1. Pârisajjâ: alam kehidupan bagi Brahma pengikut ( dewan-dewan Brahma), yang tidak memiliki kekuasaan khusus, usia mereka sepanjang 1/3 Asankkheyya Kappa.
2. Purohitâ: alam kehidupan bagi brahma penasihat (para menteri Brahma), yang berkedudukan tinggi sebagai pemimpin dalam kegiatan-kegiatan, usia mereka mencapai ½ Asankkheyya Kappa.
3. Mahâbrahmâ: alam kehidupan bagi Brahma yang memiliki kebajikan khusus yang besar. Usia mereka mencapai 1 Asankkheyya Kappa.
Yang tertinggi dari tiga pertama ini adalah : Maha Brahma. Maha Brahma ini memiliki muka empat, oleh karenannya masyarakat Tionghoa menyebutnya “Se Mien Fuo”, atau Buddha berwajah Empat, meskipun sesungguhnya Maha Brahma bukanlah seorang Buddha.
Disebut “Maha-Brahma: karena penghuni Alam Maha-Brahma ini melebihi yang lain dalam kebahagiaan, keindahan, dan batas usia karena kebaikan hakiki dari perkembangan batin mereka.
b). Alam Jhana Kedua (Dutiya Jhana Bhumi);
4. Parittâbhâ: alam kehidupan bagi Brahma yang bercahaya lebih sedikit/kurang bercahaya daripada brahma yang berada di atasnya. Usia mereka mencapai 2 A.K.
5. Appamânabhâ: alam kehidupan bagi Brahma yang bercahaya cemerlang nirbatas (tanpa batas). Usia mereka mencapai 4 A.K.
6. Âbhassarâ: alam kehidupan bagi Brahma yang bersinar/bercahaya menyebar luas dari tubuhnya. Usia mereka mencapai 8 Maha Kappa.
c). Alam Jhana Ketiga ( Tatiya Jhana Bhumi );
7. Parittasubhâ: alam kehidupan bagi Brahma yang bercahaya indah tapi lebih sedikit daripada brahma yang berada di atasnya. Usia mereka mencapai 16 Maha Kappa.
8. Appamânasubhâ: alam kehidupan bagi Brahma yang bercahaya indah nirbatas (tanpa batas). Usia mereka mencapai 32 Maha Kappa.
9. Subhakinhâ: alam kehidupan bagi Brahma yang bercahaya indah di sekujur tubuhnya, dengan cahaya yang tetap cemerlang tanpa sedetikpun surut. Usia mereka mencapai 64 Maha Kappa.
d). Alam Jhana keempat (Catuttha Jhana Bhumi);
10). Vehapphala – Alam para Brahma dengan pahala yang besar/sempurna, terbebas dari segala bahaya. Usia makhluk di alam ini mencapai 500 Maha Kappa.
11). Asannasatta – Alam para makhluk tanpa pikiran. Dalam alam ini sama sekali tidak ada unsur batiniah. Kelahiran di alam ini terjadi karena pengembangan perenungan yang memuncak terhadap unsur batiniah yang menjijikkan sehingga makhluk ini tak menginginkannya lagi (saññâvirâgabhâvanâ). Usia makhluk di alam sama dengan alam Vehapphala, yakni mencapai 500 Maha Kappa. Dialam Asannasatta ini makhluk-makhluk dilahirkan tanpa suatu kesadaran.Disini hanya terjadi perubahan jasmaniah secara terus menerus. Pikiran untuk sementara dihentikan ketika kekuatan Jhana berlangsung. Dengan kekuatan meditasi sangat mungkin untuk memisahkan jasmani dan pikiran seperti dalam alam ini. Karena tidak dilengkapi dengan unsur-unsur batiniah, di alam ini sama sekali tidak ada kesempatan untuk mengembangkan kebajikan. Makhluk-makhluk yang terlahirkan secara jasmaniah hanya sekadar menghabiskan akibat perbuatan lampaunya.
12). Suddhavasa – secara harafiah artinya, Tempat Kediaman Sejati. Suddhâvâsabhûmi adalah suatu alam kehidupan bagi mereka yang telah terbebas dari nafsu birahi (kâmarâga), keserakahan, kebencian, ikatan terhadap upacara-upacara keagamaan, dan lain sebagainya, yaitu para Anâgâmî (Yang Tak Pernah Kembali) yang berhasil meraih pencerapan Jhâna kelima. Makhluk-makhluk lain yang belum mencapai kesucian tingkat Anâgâmî, meskipun berhasil meraih pencerapan Jhâna kelima, tidak akan terlahirkan di alam ini. Di sinilah para Anâgâmî akan meraih kesucian tingkat Arahatta. Para Bodhisatta tidaklah pernah terlahirkan di alam ini sebab makhluk-makhluk yang terlahirkan di alam ini tidak akan terlahirkan kembali di alam-alam lain yang lebih rendah dari ala mini (alam Jhana V sub-bagian dari alam Rupaloka). Kadangkala, ketika tidak ada Buddha yang muncul dalam kurun waktu yang lama, alam ini kosong melompong tanpa penghuni.
Alam ini lebih lanjut dibagi menjadi lima, yaitu :
i. Aviha – Alam yang dapat bertahan lama.
Para Brahma di alam ini tidak meninggalkan tempat tinggalnya hingga usia hidupnya habis. Para Anagami yang berkemampuan menonjol dalam bidang keyakinan (saddhindriya) akan terlahir disini. Usia para Brahma di alam ini mencapai 1.000 Maha Kappa.
ii. Atappa – Alam yang tenteram
Para Brahma di alam ini senantiasa hidup dalam ketentraman/ketenangan yang menyejukkan. Para Anagami yang berkemampuan menonjol dalam bidang semangat (viriyindriya) akan terlahir di alam ini. Usia para Brahma di alam ini mencapai 2.000 Maha Kappa.
iii. Sudassa – Alam yang indah
Para Brahma di alam ini memiliki tubuh indah yang sangat menawan hati. Para Anagami yang memiliki “Perhatian Penuh”/“Penyadaran Jeli” ( Satindriya ) akan terlahir di alam ini. Usia para Brahma di alam ini mencapai 4.000 Maha Kappa.
iv. Sudassi – Alam dengan penglihatan tajam
Jika para Brahma di alam Sudassa mempunyai “Perhatian Penuh”/“Penyadaran Jeli”, maka para Brahma di alam Sudassi mempunyai perhatian/penglihatan yang jauh lebih tajam bila dibandingkan dengan para Brahma dialam Sudassi. Para Anagami yang memiliki “Pemusatan Perhatian Sempurna” (Samadhindriya) akan terlahir di alam ini. Usia para Brahma di alam ini mencapai 8.000 Maha Kappa.
v. Akanittha – Alam yang Tertinggi.
Para Brahma disini dilengkapi dengan harta surgawi dan kebahagiaan yang tak tertandingi oleh makhluk di alam manapun juga yang berada dibawahnya. Para Anagami yang penuh “Kebijaksanaan” (Pannindriya) akan terlahir di alam ini. Usia para Brahma di alam ini mencapai 16.000 Maha Kappa.
Hanya mereka yang telah melatih Jhana atau Kegembiraan yang Luar Biasa (Baca Lagi topik “Samadhi-Benar”/“Samma-Samadhi” ) yang dapat terlahir di Alam-alam yang lebih tinggi ini. Mereka yang telah mengembangkan Jhana pertama dilahirkan di alam Jhana pertama, yang kedua dan ketiga di alam Jhanakedua, yang keempat dan kelima dialam Jhana ketiga dan alam Jhana keempat.
III. ARUPALOKA/ARUPADHATU (Alam Brahma Tak Berbentuk)
Adalah alam yang sama sekali tanpa jasmani. Baik dialam Rupaloka maupun Arupaloka tidaklah terdapat perbedaan jenis kelamin. Para makhluk di alam ini hanya terdiri dari batin semata, tanpa suatu landasan materi, karenanya bentuk jasmani/fisik di alam ini sepenuhnya telah lenyap. Banyak yang salah paham, menganggap ini adalah alam Para Buddha. Pandangan ini keliru, karena Arupadhatu ini bukanlah Nirvana, bukan “Yang-Kekal”/“Yang-Mutlak”. Arupadhatu/Arupabhumi adalah suatu alam tempat kelahiran batiniah para Brahma nirbentuk (tanpa bentuk/rupa). Meskipun disebut sebagai suatu alam ‘alam’ yang mengacu pada tempat atau bentuk, di sini sesungguhnya sama sekali tidak ada unsure jasmaniah sehalus apa pun dan dalam wujud apa pun. Sebutan ini terpaksa dipakai untuk dapat mengacu pada kemunculan serta keberadaan unsur-unsur batiniah tersebut. Kelahiran di alam brahma nirbentuk ini terjadi karena pengembangan perenungan yang memacak terhadap unsur jasmaniah yang menjijikkan sehingga tak menghasratinya (rûpavirâgabhâvanâ).
Arupaloka dibagi menjadi empat (4) alam menurut empat (4) Arupa Jhana, mereka adalah:
1. Akasanancayatana – Alam ruang yang tak terbatas.
Para makhluk di alam ini berdiam di dalam alam yang tidak berbatas, tidak ada sekat-sekat materi yang bisa dibayangkan seperti apapun juga, luas, sangat luas, tanpa batas. Makhluk yang terlahir disini adalah para makhluk suci yang telah berhasil meraih samadhi tingkat pathama-arupahhana yang berobjek pada angkasa yang nirbatas. Usia para makhluk disini mencapai 20.000 Maha Kappa.
2. Vinnanancayatana – Alam kesadaran yang tak terbatas.
Para makhluk di alam ini berdiam dalam kesadaran/batin yang tidak terbatas, menembus segala bentuk batasan ruang dan waktu.Yang terlahir disini adalah para makhluk suci yang berhasil meraih samadhi tingkat dutiya-arupajhana yang berobjek pada kesadaran nirbatas. Usia para makhluk disini mencapai 40.000 Maha Kappa.
3. Akincannayatana – Alam Kekosongan.
Disini para makhluk berdiam dalam “kekosongan” akan semua hal. Tidak ada “Aku”, tidak ada “Kamu”, jauh lebih halus daripada dua alam Arupadhatu dibawahnya. Makhluk yang terlahir disini adalah makhluk suci yang berhasil meraih samadhi tingkat tatiya-arupajhana yang berobjek pada kehampaan/kekosongan. Usia para makhluk dialam ini mencapai 60.000 Maha Kappa.
4. N’eva Sanna Nasannayatana – Alam Tiada Pemahaman maupun Tiadanya Tiada Pemahaman.
Para makhluk di alam ini berdiam dalam batin yang “padam”, tiada pikiran, batin yang tidak bergerak sama sekali. Yang terlahir disini adalah makhluk suci yang berhasil meraih samadhi tingkat catuttha-arupajhana yang berobjek pada “bukan-ingatan-bukan-pula-tanpa-ingatan”. Usia makhluk di alam ini mencapai 84.000 Maha Kappa.
Demikianlah, ke-31 Alam Kehidupan yang terangkum dalam: 1. Kamadhatu, 2. Rupadhatu, dan, 3. Arupadhatu, telah selesai kita bahas.
DIMANAKAH “YANG-MUTLAK, YANG-TIDAK-TERCIPTA”; “KANG-LANGGENG-TANPA-WANGENAN-TANPA-WEKASAN” BERADA?
Pertanyaannya, “ Dimanakah letak “Yang-Mutlak, Yang-Tidak-Tercipta, Yang-Tidak-Terbentuk, Yang-Tidak-Terlahir”, “Jalan-Keluar” dari roda samsara itu berada ?” Jawabannya, “Tidak di ke-31 Alam Kehidupan itu.”
Pada dahulu kala, para Brahmana, dan hingga kini pun ummat manusia umumnya, mengenal “Sangkan-Paraning-Dumadi” adalah sebagai “Brahma”, yaitu“Sang-Pencipta” , “Bapa-Semua-Makhluk-dan-Alam-Semesta”. Namun, pandangan keliru itu diluruskan oleh Sang Buddha. Karena meskipun para Brahma hidup dalam usia yang sangat panjang, bahkan para Brahma diatas Maha Brahma hidup hingga 16.000 Maha Kappa (1 Maha Kappa = 4 Asankheyya Kappa, 1 A.K = 20 Antara Kappa (1 pangkat 14 tahun ( angka 1 diikuti 140 angka nol), 1 Kappa = 1 “world-cycle”, 1 siklus hidup alam semesta), namun mereka tetaplah: TIDAK-KEKAL. Karena merekapun kelak, ketika karma-karma baiknya yang menyebabkan mereka terlahir di alam tersebut telah habis, mereka akan bertumimbal lahir ke alam-alam lain diantara ke-31 alam kehidupan tersebut. Dan yang tidak-kekal, bukanlah “Yang-Mutlak”, karena “Yang-Mutlak”, adalah “Kekal-Abadi”.
Lalu, apakah “Yang-Mutlak” itu adalah di Arupadhatu? Juga tidak. Karena, makhluk-makhluk Arupadhatu juga tidak-kekal, mereka kelak juga akan bertumimbal lahir di antara salah satu dari ke-31 alam kehidupan tersebut.
Ilusi mengenai kekekalan dan keabadian alam para Dewa dari alam Kamadhatu, hingga Rupadhatu dan Arupadhatu adalah karena usia mereka yang sangat panjang, terutama mulai Para Brahma dari Rupadhatu hingga Arupadhatu yang bisa melampaui jutaan-tilyun bahkan maha jutaan-trilyun tahun, sedangkan manusia paling lama hanya hidup dalam masa 100 tahun (Untuk saat ini, akan tetapi, dalam suatu masa dimana moralitas terjaga dengan sangat baik, manusia mampu hidup hingga delapan puluh ribu (80.000 tahun) . Karena manusia membandingkan usia mereka yang pendek dengan usia para Dewa apalagi jika dibandingkan dengan para Brahma dari Rupadhatu hingga Arupadhatu, maka manusia keliru menyimpulkan: “hidup dialam manusia tidak-kekal , “mung-mampir-ngombe”, tetapi hidup di surga adalah kekal, “Sungguh berbahagia bila kita bisa berada diatas pangkuan BAPA”.
Sebegitu gelapnya pandangan manusia. Hingga suatu masa lahirlah seorang Samma-Sambuddha, yang mampu menembus semua hakekat, mampu menembus Kebenaran-Sejati, dan menyatakan, bahwa “Yang-Mutlak”, bukanlah di ke-31 alam kehidupan itu. “Yang-Mutlak” ini, tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, karena saat semua fenomena telah lenyap, maka tidak ada satu katapun yang dapat mengungkapkannya. Itu adalah: NIRVANA (Pali: Nibbana).
Sehingga, masihkah ada yang percaya diri telah mengenal “Yang-Mutlak”? Karena, paling jauh umumnya manusia hanya mengenal “Tuhan” , dari alam Kamadhatu hingga “Brahma” di alam Rupadhatu, yang kemudian dikenal dengan “Bapa-Segenap-Alam-Semesta”. Apapun sebutannya (karena bervariasi, sesuai latar belakang budaya dan agama masing-masing), tapi apa yang mereka pahami baru sebatas itu. Karena, “Yang-Mutlak” ini bukanlah“makhluk”, sedangkan yang umumnya dikenal oleh para spiritualis adalah makhluk, yang meskipun mereka tidak mampu menggambarkannya, tapi tetap merupakan sesosok makhluk, yang bisa berbicara, yang bisa memberi wangsit, yang bisa memberi perintah, yang bisa memberi larangan, yang bisa memberi hadiah, yang bisa memberi hukuman. “Yang-Mutlak” adalah “Tidak-Berbentuk”, “Tidak-Tercipta”, dan yang sedemikian ini “Tidak-Bicara”, “Tidak-Marah”, “Tidak-Memberi”, “Tidak-Menghukum”.
Inilah jati-sejati-jatinya “Tan-Kena-Kinaya-Ngapa”, “Kang-Langgeng-Tanpa-Kawitan-Tanpa-Wekasan”. Jauh melampaui Dewa, jauh melampaui Brahma, jauh melampaui sosok “makhluk” yang tidak kelihatan yang seperti apapun yang bisa diimajinasikan oleh manusia, yang disebut “Tuhan”. Yang-Mutlak , Yang-Tak-Tercipta tersebut “Tak-Berbicara”, “Tak-Berbuat”, “Tak-Berbentuk”, “Tak-Memberi”, “Tak-Menghukum”, ia adalah : “ANATTA”, tanpa “AKU”, bukan “AKU”, bukan pula “AKU adalah AKU”. Karena “AKU” dan “AKU adalah AKU” masih bisa bicara, dan yang bicara adalah “Berbentuk”. “Berbentuk” bukanlah “Yang-Mutlak”, dan yang “Tak Mutlak” itu tak kekal.
http://dhammatalk777.blogspot.co.id/2013/09/31-alam-kehidupan-menurut-ajaran-agama.html