Kondisi & Penyakit Yang Melanda Orang Tua
3 Cara Agar Orang Tua Tak Kesepian
Sebuah penelitian yang dilakukan di Panti Werda Harapan Ibu Ngaliyan di Semarang pada tahun 2013 menunjukan, masalah psikologis yang paling ‘rajin’ melanda para usia lanjut (usila) adalah kesepian. Kesimpulannya: 8 dari 10 usila di panti sepuh itu merasa kesepian.
Psikolog Listya Wahyunarti dari Yayasan Rumah Geriatri di kawasan Pondok Kelapa, Jakarta Timur mengatakan, para usila biasanya lebih sensitif dan cenderung mudah tersinggung. “Dari segi perilaku, usila mirip anak kecil lagi. Mereka lebih ingin dimengerti dibandingkan berusaha memahami perasaan orang lain.” ungkap Listya. Sikap inilah yang pada akhirnya membuat mereka lebih picky dan rewel dalam memilih teman, apalagi teman baru. Selain itu, semakin tua, kemampuan orang untuk beradaptasi dengan hal-hal baru juga makin menurun.
Rasa sepi ini kalau tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan persoalan, karena pada akhirnya orang tua akan mencari cara untuk ‘membunuh’ waktu mereka – tak peduli caranya sehat atau tidak. Beberapa bulan yang lalu, misalnya, terjadi fenomena catfish di Amerika. Hanya dalam satu bulan, puluhan wanita dan pria usia lanjut terjerat dalam jebakan situs kencan online. Menggunakan foto dan nama palsu, para penipu dari dunia maya ini memanfaatkan rasa kesepian calon korbannya dengan merayu dan meminta sejumlah uang. Salah satu kasus menimpa seorang wanita paruh baya yang ditipu oleh ‘kekasih maya’-nya. Ludeslah sekitar 400 juta rupiah. Padahal keduanya baru sekadar bertukar pesan lewat internet dan telepon selama 3 bulan.
Salah satu kasus menimpa seorang wanita paruh baya yang ditipu oleh ‘kekasih maya’-nya. Ludeslah sekitar 400 juta rupiah. Padahal keduanya baru sekadar bertukar pesan lewat internet dan telepon selama 3 bulan.
Memasuki masa usila, secara fisik dan emosional seseorang akan berada di keadaan yang rapuh, tidak heran kalau anak-anak mereka sering merasakan kekuatiran berlebih ketika membiarkan orang tua mereka mencari teman dan melakukan kegiatan bersama orang-orang asing. Tapi kita bisa meminimalisasi kekhawatiran itu dengan:
1. Mencari tahu komunitas usila di sekitar tempat tinggal orang tua Anda
Di kota-kota besar, komunitas usila (USIa LAnjut) biasanya rajin mengadakan berbagai agenda, mulai dari senam, arisan, pengajian atau (kebaktian di vihara), hingga bakti sosial. Kalau orang tua Anda termasuk tipe yang pasif, temani mereka ke acara komunitas tersebut –sama seperti orang tua Anda dulu menemani Anda masuk sekolah untuk pertama kali. Listya mengatakan, sebaiknya para usila tetap memiliki pergaulan dengan teman sebaya yang bisa nyambung diajak bicara tentang hal-hal tempo dulu, sehingga bisa menambah semangat hidup mereka.
2. Mencari tahu kegiatan yang mereka minati
Lama hidup berpisah atau karena sibuk dengan kegiatan sendiri, kadang kita tidak tahu lagi apa yang disukai orang tua kita. Untuk mencari tahu, bawa mereka ke berbagai acara: nonton film, mengikuti diskusi buku, masak bersama, atau pengajian, yang membuat mereka mau keluar rumah. Dengan begitu, Anda jadi tahu apa saja yang memancing minat mereka. Menurut Listya, dengan mempunyai hobi, akan tumbuh keinginan pada usila untuk terus sehat, bahagia, mandiri, dan bermanfaat.
3. Mengenalkan teknologi baru
Bagi usila, fungsi ponsel biasanya hanya sebatas menerima telepon dan menelepon. Jangankan mempunyai akun sosial media, diajak menggunakan aplikasi WhatsApp saja mereka langsung protes karena dinilai terlalu ribet. Yang harus Anda lakukan (dengan penuh kesabaran) adalah ‘menerjemahkan’ fungsi setiap teknologi atau aplikasi di ponsel dalam bahasa yang sederhana. Atau bisa juga Anda mengajari mereka main games di ponsel untuk membuang rasa sepi.
Mengapa Orang Tua Anda Sulit Tidur?
Gangguan tidur pada usia lanjut (usila) dapat bersifat nonpatologis karena faktor usia. Tapi ada pula gangguan tidur yang dipengaruhi oleh kondisi medis, seperti penyakit kronis atau degeneratif (jantung, diabetes, tekanan darah tinggi, saraf, sendi) atau kondisi psikologis seperti stres. Keduanya kerap menyebabkan mereka menjadi susah tidur atau tidur dalam waktu yang sangat pendek.
Secara umum gangguan tidur yang sering dikeluhkan oleh para usila bisa diklasifikasikan dalam dua , yaitu:
Gangguan tidur primer
Gangguan tidur ini bukan disebabkan oleh gangguan mental lain, kondisi medis umum, atau zat tertentu. Gangguan tidur primer terbagi dua, yaitu disomnia dan parasomnia. Disomnia ditandai dengan gangguan pada jumlah, kualitas, dan waktu tidur. Disomnia sendiri terbagi lagi dalam banyak jenis, yaitu insomnia primer, hipersomnia primer, narkolepsi, gangguan tidur yang berhubungan dengan pernapasan (seperti sleep apnea atau mengorok), gangguan ritmik sirkadian tidur, dan disomnia yang tidak dapat diklasifikasikan. Adapun parasomnia dikaitkan dengan perilaku tidur atau peristiwa fisiologis yang terkait dengan tidur, stadium tidur tertentu, atau perpindahan tidur bangun. Parasomnia terdiri dari gangguan mimpi buruk, gangguan teror tidur, mengigau, atau berjalan saat tidur (sleep walking).
Gangguan tidur terkait gangguan mental lain
Keluhan gangguan tidur ini diakibatkan oleh gangguan mental lain –sering kali karena gangguan mood. Ada dugaan bahwa mekanisme patofisiologis yang mendasari gangguan mental ikut memengaruhi terjadinya gangguan tidur.
Memahami insomnia
Sebagai bagian dari gangguan tidur primer, insomnia atau gangguan sulit tidur juga dibagi atas tiga jenis, yaitu:
(1) Insomnia Primer
Ditandai dengan keluhan sulit masuk tidur (mengantuk) atau mempertahankan tidur. Biasanya mereka merasa tidak segar meskipun sudah tidur. Keadaan ini berlangsung paling sedikit satu bulan.
(2) Insomnia kronik atau insomnia psikofisiologik persisten
Yaitu insomnia yang disebabkan oleh kecemasan, kebiasaan, atau perilaku maladaptif di tempat tidur. Misalnya, sering mendiskusikan masalah serius di tempat tidur atau berpikiran negatif terhadap tidur (sudah berpikir tidak akan bisa tidur). Orang tua yang tinggal sendirian biasanya kerap mengalami insomnia jenis ini akibat merasa takut berlebihan.
(3) Insomnia idiopatik
Adalah insomnia yang sudah terjadi sejak kehidupan dini. Kadang-kadang insomnia ini sudah terjadi sejak lahir dan dapat berlanjut selama hidup seseorang. Penyebabnya tidak jelas, ada dugaan disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan neurokimia otak atau disfungsi otak bagian depan (forebrain).
Beberapa pasien usila yang mengeluh sulit tidur, kata Andreas, belum tentu mengidap insomnia. Mereka bukannya tidak bisa mengantuk, tetapi sering terbangun di tengah malam. Berbeda dengan penderita insomnia, mereka tetap merasa segar pada keesokan harinya. Penyebab mereka terbangun di tengah malam bervariasi. Pada wanita, misalnya, ada yang terbangun karena berkeringat berlebihan. Kondisi yang sering disebut hot flush ini terjadi sejak mereka mengalami menopause. Ada juga yang tanpa sadar kakinya bergerak-gerak dalam periode tertentu atau terasa sangat pegal saat tidur. “Gejala ini merupakan salah satu tanda dari Restless Legs Syndrome atau Periodic Limbs Movement in Sleeps. Keduanya dipicu oleh masalah saraf degeneratif dan perlu diatasi terlebih dulu dengan bantuan obat-obat saraf,” ujar Andreas Prasadja, RPSGT, dokter ahli masalah tidur dan konsultan utama di Sleep Disorder Clinic RS Mitra Kemayoran, Jakarta.
Bila Orang Tua Mulai Susah Makan
Malnutrisi atau kondisi gizi buruk memang banyak terjadi pada orang usia lanjut (usila). Malnutrisi tidak harus berarti kurang gizi, tetapi bisa juga kelebihan gizi atau gizi tak seimbang. Banyak faktor yang membuat orang usia lanjut berisiko tinggi mengalami malnutrisi. Menurut Dr. dr. Nina Kemala Sari, Sp.PD, K-Ger, Staf Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSCM/FKUI, fungsi penginderaan manusia biasanya menurun seiring proses penuaan.
Daya pengecap yang menurun akan membuat orang tua kehilangan selera makan, sehingga akhirnya mereka malas makan atau makan (terlalu) sedikit. Kondisi gigi yang mulai goyah atau sudah bertanggalan juga membuat mereka tidak kuat lagi mengunyah makanan yang relatif keras atau alot. Kondisi pencernaan para usila biasanya juga mulai bermasalah, karena fungsi usus dan lambung sudah melemah. Misalnya, makan pedas sedikit, langsung diare.
Kehilangan selera makan juga bisa berasal dari kurangnya perhatian atau kepedulian dari orang-orang di sekitarnya (anak, perawat, pembantu). Mereka mungkin kurang peduli apakah makanan yang disediakan cocok atau tidak dengan selera atau kondisi gigi dan pencernaan orang tua. Mungkin masakannya terlalu manis, terlalu keras, atau terlalu pedas, sehingga orang tua tidak bisa makan dengan cukup. Atau bisa jadi alasannya hanya karena mereka tak suka makan sendirian di rumah –sementara anak-anak dan cucu sibuk dengan urusan mereka sendiri di luar rumah. “Tapi karena tidak ingin merepotkan anak atau orang yang merawatnya, biasanya orang tua tidak mau mengeluh dan menyimpan masalahnya sendiri,” tutur Dr. Nina. Kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan juga tak kalah banyak berkontribusi pada kejadian malnutrisi pada orang usia. lanjut
Menurunnya aktivitas gerak yang cukup signifikan juga membuat orang tua tidak gampang merasa haus. Bahkan banyak orang tua yang menderita Alzheimer kehilangan kemampuan untuk merasakan haus. Kalau kondisi ini terabaikan dalam jangka waktu panjang, jangan heran kalau orang tua kita tahu-tahu didiagnosis menderita dehidrasi! Kekurangan serat juga akan membuat orang tua banyak diserang konstipasi (sulit buang air besar). Bila berlangsung terus menerus, kondisi sulit BAB ini bisa memicu penyakit wasir atau bahkan kanker usus. Sedangkan bila kekurangan kalsium, osteoporosis akan lebih mudah menyerang tulang mereka.
Diet yang terlalu ketat juga berisiko tinggi membuat orang tua mengalami malnutrisi. Apalagi biasanya orang tua suka bersikap berlebihan dalam menerapkan aturan diet dan pantangan-pantangan dari dokter. “Misalnya, kalau dokter menganjurkan agar mengurangi konsumsi garam, mereka akan berhenti makan garam sama sekali. Padahal bila tubuh kekurangan garam (Natrium), orang bisa mendadak pingsan bahkan koma,” Dr. Nina menjelaskan. Rupanya itu pula yang terjadi pada ibunda Erina. “Karena punya bakat darah tinggi, sejak usia 60-an Mama sudah melakukan diet garam, juga diet gula. Mama mengatur dietnya sendiri tanpa konsultasi ke dokter, dan makin lama dietnya juga makin ekstrem. Mama nyaris tidak mau ada garam atau gula pada makanan dan minumannya,” kata Erina.
Karena itu, selain rutin berkonsultasi ke dokter untuk menangani penyakit-penyakit yang diderita orang tua kita, ada baiknya kita juga berkonsultasi ke dokter ahli nutrisi untuk memperbaiki status nutrisi mereka, agar mereka bisa menjalani sisa hidup dengan sehat dan berkualitas. Selain itu, bila kita melihat orang tua kita yang biasanya aktif mulai menunjukkan perubahan perilaku, misalnya menjadi malas melakukan apa pun, bersikap pasif, atau menjadi rewel tanpa alasan, jangan kita lantas menjadi emosional atau sekadar mengeluh. “Cobalah cari tahu ada apa di baliknya, termasuk dari kondisi nutrisinya sehari-hari,” saran Dr. Nina.
Jangan diabaikan!
Bila orang tua Anda terlihat mulai susah makan atau makan sedikit sekali, jangan biarkan kondisi itu hingga berlarut-larut.
1. Cek kondisi gigi mereka. Kalau sudah banyak yang goyah atau tanggal, lebih baik buatkan mereka gigi palsu. Atau bila gigi palsu mereka sudah longgar sehingga tidak nyaman lagi dipakai mengunyah, gantilah dengan yang baru.
2. Memasuki usia 30-an, kita memang disarankan untuk mengurangi konsumsi gula, garam, dan lemak. Tapi bukan berarti tidak mengonsumsinya sama sekali, karena ketiga unsur tersebut tetap diperlukan tubuh.
3. Sedikit tapi sering. Ada kalanya, orang tua memang tidak mampu lagi menelan makanan dalam jumlah cukup. Kalau asupan dalam sekali makan dianggap kurang, Anda bisa membaginya dalam 5 – 10 kali waktu makan dalam sehari. Meskipun sedikit-sedikit, kalau ditotal tetap memenuhi kebutuhan nutrisi harian.
4. Meski sudah harus mengonsumsi makanan khusus, tetap perhatikan kelengkapan gizi dalam makanan orang tua Anda: karbohidrat, protein (lauk pauk nabati atau hewani), serat dan vitamin (sayur dan buah), susu.
5. Rutin melakukan penapisan status nutrisi orang tua Anda dan berkonsultasi ke ahli nutrisi.
Menghadapi Orang Tua yang Mulai Pelupa
Beragam kondisi membuat orangtua dan anak memutuskan untuk tinggal seatap. Keputusan untuk tinggal serumah biasanya dipilih seorang anak agar lebih mudah mengawasi orang tua. Menurut Dra. Augustine Dwi Putri Sukarlan, M. Si., Dosen Psikologi Klinis di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, dalam budaya Timur ada tradisi anak merawat orangtua saat mereka menginjak usia lanjut. Namun tinggal seatap bersama orang tua yang mulai pikun, membutuhkan kesabaran sendiri. Hindari kalimat berikut:
“Kok bisa lupa sih?”
Orang tua sering lupa meletakkan benda-benda miliknya, seperti kacamata yang biasanya selalu dipakai. Tapi perkataan itu menyinggung mereka luar biasa. “Lansia sebenarnya tahu bahwa memori, kemampuan kognitif, dan kemampuan fisik mereka menurun. Mengingatkan tentang kepikunan atau kelemahan mereka malah semakin menyakiti perasaan mereka,” ujar Francine Lederer, seorang psikolog di Los Angeles. Daripada menyalahkan orang tua karena mudah lupa, lebih baik kita menyusun langkah-langkah konkret untuk memfasilitasi mereka. Misalkan saja memberi stiker bertuliskan nama barang di tempat yang sudah ditentukan. Dengan menandainya dengan stiker, Anda akan membangun kebiasaan orang tua untuk meletakkan barang di tempat yang sama. Lain kali orang tua Anda lupa, ingatkan saja, “Ibu, kalau lupa lihat di stiker ini ya.”
“Baru kemarin diajari, kok sudah tanya lagi.”
Mempelajari teknologi baru adalah hal yang sulit bagi lansia. Terlebih lagi jika Anda memberikannya sebuah ponsel yang memiliki banyak fitur. Bagi seseorang yang mengalami penurunan kemampuan adaptasi, penglihatan, ataupun kepikunan, akan sangat sulit untuk mempelajari cara pakai suatu barang yang canggih. “Ini tombol untuk mengirim SMS, kalau tombol yang ini untuk menelpon ya Bu. Saya akan pelan-pelan mengajari ibu lagi.” Kalimat ini lebih enak didengar oleh orang tua kita. Namun sebelum membeli sesuatu berbasis teknologi canggih, pastikan mudah dioperasikan.
“Aduh, Ibu sudah ngomong itu berkali-kali.”
Sebenarnya kita pun sering membicarakan hal yang sama berulang kali. Terlebih lagi tentang hal-hal yang kita sukai. Namun karena orang tua kita melakukannya sepanjang waktu, kita pun jadi kehilangan kesabaran. “Pasti habis ini ibu mau cerita tentang ini deh. Habis itu pasti ceritanya begini.” Kalimat ini bisa Anda ucapkan dengan nada bercanda sehingga orang tua Anda tidak tersinggung. Anda pun juga bisa menceritakan kebiasaan Anda yang suka cerita hal yang sama berulangkali kepada mereka. Yang terjadi adalah mereka jadi terhibur dengan guyonan Anda.
“Ibu kok lupa sih, nama cucu sendiri!”
Daripada marah karena orang tua Anda lupa dengan nama cucunya, lebih baik membawanya untuk mendapat perawatan medis. Semakin sering ia melupakan hal-hal yang penting, maka semakin besar alasan Anda untuk membawa orang tua ke dokter. “Lansia menjadi pelupa karena ada penurunan pada proses berpikirnya. Pada penyakit demensia, mulanya mereka hanya lupa pada hal-hal yg baru terjadi, namun lama-lama bisa lupa pada anak-anaknya sendiri, cucunya, bahkan dirinya sendiri,” ujar Augustine. Augustine menjelaskan bahwa hingga saat ini belum ada cara untuk menyembuhkan penyakit ini, namun suplemen dapat membantu mempertahankan ingatan mereka. “Nama cucu Ibu itu Nadia, Bu. Nadia itu cucu Ibu satu-satunya.” Ucapkan dengan lembut dan senyum. Sebenarnya orang tua Anda pun merasa bersalah karena lupa nama cucu kesayangannya.
Menghadapi ‘Post Power Syndrom’ Orang Tua
Post power syndrome atau sindroma pasca berkuasa biasanya dialami oleh mereka yang dulunya punya kekuasaan atas orang-orang di sekelilingnya. Misalnya mantan komandan di ketentaraan/kepolisian, mantan pejabat tinggi, atau mantan direktur (atau jabatan tinggi lainnya) di perusahaan. Untuk masa sekarang, mungkin memang masih lebih banyak kaum pria yang mengalami sindroma ini. Tapi, menurut Monty Satiadarma, psikolog dari Universitas Tarumanagara Jakarta, tak lama lagi pasti akan makin banyak wanita yang juga mengalaminya, karena sekarang makin banyak wanita yang menempati posisi tinggi di berbagai institusi.
Post power syndrome timbul akibat ketidakmampuan seseorang untuk melepaskan diri dari belenggu masa lalu, khususnya bila masa lalu itu sangat membanggakan egonya. “Ia sulit menerima kenyataan bahwa kini ia tidak berkuasa lagi dan kehilangan berbagai privilege yang dulu diterimanya,” kata Monty. Mereka enggan melangkah menuju tahap penerimaan (acceptance); bahwa roda kehidupan selalu berputar, kadang kita ada di atas kadang di bawah; bahwa segala sesuatu di dunia ini ada masa kedaluwarsanya, termasuk jabatan dan kekuasaan.
Sindroma itu akan makin parah kalau kemampuan fisik orang itu juga makin terbatas akibat usia tua. Misalnya, penglihatan dan pendengaran tidak lagi tajam, menderita kelumpuhan, atau harus berdiet ketat karena menderita berbagai penyakit, yang membuatnya semakin frustrasi bahkan depresi. “Karena itu, sesungguhnya yang tersiksa bukan hanya anak-anak atau orang-orang di sekelilingnya, tapi juga dirinya sendiri. Bahkan mungkin si orang tualah yang lebih menderita,” Monty menjelaskan.
Namun, tidak semua orang yang dulu pernah berkuasa mengalami post power syndrome di masa tuanya. Banyak juga orang yang mampu menerima ‘masa redup matahari’-nya dengan ikhlas dan apa adanya. Apakah faktor kepribadian dasar seseorang ikut memengaruhi?
“Bisa ya, bisa tidak,” kata Monty, “Karena kita tidak akan pernah tahu bagaimana ‘kelakuan’ kita kalau tua nanti sampai kita mengalaminya sendiri. Bisa terjadi orang yang sebelumnya dikenal sabar dan nrimo, setelah tua –ketika semua ‘rem’ sudah tidak pakem lagi— berubah jadi tukang marah-marah. Atau justru sebaliknya, orang yang dulunya ‘sulit’ malah menjadi ‘jinak’ di masa tuanya. Tapi memang tidak ada salahnya sejak sekarang –selagi masih cukup muda— kita mulai melatih diri untuk ikhlas menerima cobaan hidup apa pun.”
Kalau perilaku anak kita bermasalah, sebagai orang tua kita bisa melakukan banyak hal untuk mengatasinya. Mulai dari menasihatinya, memarahinya, berkonsultasi pada gurunya, atau mendatangi psikolog anak. Tapi bila orang tua kita yang ‘bermasalah’, tentu tidak semudah itu menasihati atau mengajak mereka berkonsultasi ke psikolog. Apalagi selama ini ada anggapan umum bahwa kalau seseorang diajak ke psikolog berarti dia gila.
“Selain itu, biasanya ada egoisme tersendiri pada setiap orang tua. Meskipun berpendidikan akademis lebih rendah —mereka merasa lebih tahu dan berpengalaman tentang kehidupan dibandingkan anak-anaknya. Dan di mata orang tua, anak tetaplah anak, meski sang anak kini telah dewasa dan berkeluarga. Jadi wajar saja bila ada orang tua yang enggan menerima nasihat dan masukan dari anaknya, sekalipun nasihat dan masukan itu baik dan membangun,” Monty memaparkan.
Meminta bantuan dari orang-orang yang dihormati oleh orang tua kita –misalnya ustaz, pendeta, pastor, atau orang yang dituakan dalam keluarga besar— untuk membimbing orang tua kita agar menjadi lebih ikhlas menerima keadaan pasca berkuasa, tentu layak dicoba. Apalagi bila orang tua kita tergolong religius. Begitu juga dengan upaya berkonsultasi ke psikolog. “Tapi kalau merasa perlu berkonsultasi ke psikolog, sebaiknya datang bersama-sama, kalau perlu dengan semua anaknya. Rancanglah skenario sedemikian rupa, supaya orang tua tidak merasa bahwa dialah sang ‘tertuduh utama’, melainkan justru sebagai orang yang diperlukan nasihatnya,” Monty menyarankan.
Tapi kalau semua usaha itu tetap tidak membuahkan hasil, satu-satunya cara yang bisa dilakukan anak adalah ikhlas menerima kondisi orang tua apa adanya, dengan semua kerewelannya. “Sebenarnya anak punya pilihan: mau tetap merawat dan mendampingi orang tuanya atau melepaskan diri dari tanggung jawab. Namun kalau kita tetap ingin mendampingi mereka, dampingilah dengan ikhlas. Bersyukurlah bahwa kita masih diberi waktu dan kesempatan untuk membalas jasa mereka. Kalau dulu kita yang dirawat oleh mereka, kini giliran kita yang merawat mereka. Kalau kita tulus dan ikhlas menjalaninya, hal yang sangat berat pun jadi terasa (lebih) ringan. Dan kalau Anda percaya akan karma, yakinlah bahwa akan selalu ada reward untuk karma yang baik,” kata Monty.
第四等的老人靠子孙养老,第三等的老人靠储蓄养老,第二等的老人靠缘份养老,第一等的老人靠智慧养老,最高等的老人靠信仰养老
Sumber referensi:
•3 Cara Agar Orang Tua Tak Kesepian; Penulisnya tidak diketahui.
•Mengapa Orang Tua Anda Sulit Tidur?oleh Shinta Kusuma
•Bila Orang Tua Mulai Susah Makan, Oleh Tina Savitri
•Menghadapi Orang Tua yang Mulai Pelupa, Teks : Aprilia Ramadhani; Konsultan : Dra. Augustine Dwi Putri
Sukarlan, M. Si., Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
•Menghadapi ‘Post Power Syndrom’ Orang Tua; tidak diketahui penulisnya.