Ilmu Pengetahuan & Teknologi Dalam Pandangan Buddhis
1.1. Sikap terhadap pengetahuan
Pentingnya ilmu pengetahuan ditekankan pada agama Buddha. Menurut Khuddaka-Nikaya 817, semua ilmu pengetahuan, baik yang kelas tinggi, sedang, ataupun rendah, patut dipelajari, diketahui dan dipahami maknanya, walaupun tidak seluruhnya perlu diterapkan seketika, karena suatu hari kelak bila tiba saatnya, pengetahuan itu mungkin membawa manfaat. Namun pengetahuan dan moralitas patut dijaga keseimbangannya (AN.II.8).
Dalam Kalama-sutta, Buddha memberi nasihat kepada warga suku Kalama:
Janganlah percaya begitu saja berita yang disampaikan kepadamu, atau oleh karena sesuatu yang sudah merupakan tradisi, atau sesuatu yang didesas-desuskan. Janganlah percaya begitu saja apa yang tertulis dalam kitab-kitab suci, juga apa yang dikatakan sesuai dengan logika atau kesimpulan belaka, juga apa yang katanya telah direnungkan dengan saksama, juga apa yang kelihatannya cocok dengan pandanganmu atau karena ingin menghormati seorang petapa yang menjadi gurumu… tetapi terimalah kalau engkau sudah membuktikannya sendiri…
Sikap pemikiran demikian disebut “Ehipassiko” yang berarti “datang dan lihatlah”. Buddha juga mengajarkan hal yang sama kepada Upali, seorang penganut kepercayaan lain yang ingin berpindah menjadi pengikut Buddha (Upali-sutta, sutta ke-56 dari MN), tetapi Buddha malah mengatakan, “telitilah dahulu secara sempurna, [wahai] Upali, karena adalah baik bagi orang terkemuka seperti Anda, untuk meneliti [telebih dahulu] secara sempurna.” Buddha tidak langsung menerima Upali begitu saja, melainkan menganjurkannya untuk melakukan penelitian (dalam konteks sains disebut juga observasi) terlebih dahulu secara saksama. Dengan kata lain, Buddha menganjurkan kita untuk bersikap kritis terhadap klaim-klaim baru yang belum teruji. Sikap kritis tersebut membuat kita lebih berhati-hati untuk mengambil kesimpulan dan mendorong kita menganalisis lebih mendalam terhadap hal-hal yang baru. Sejarah sains mencatat bahwa banyak penemuan besar dihasilkan dari sikap kritis semacam itu. Sebagai contoh Nikolaus Kopernikus tidak mempercayai pendapat umum saat itu bahwa matahari berputar mengelilingi Bumi. Ferdinand Magelhaens, orang pertama yang mengelilingi Bumi dengan kapal, juga tidak mempercayai pendapat umum saat itu bahwa Bumi berbentuk seperti piringan datar dengan jurang tanpa batas pada tepinya. Pada zaman itu orang takut berlayar terlalu jauh karena khawatir akan tercebur ke jurang semacam itu. Pelayaran Magelhaens membuktikan bahwa pendapat tersebut salah. Inilah yang dinamakan observasi. Dari dua kasus di atas kita dapat mempelajari bahwa apa yang sudah menjadi pendapat umum sekalipun belum tentu mewakili kebenaran mutlak atau dengan kata lain bukan sesuatu yang harus dipercayai begitu saja.
1.2. Akibat dari sikap terhadap ilmu pengetahuan
Semangat Ehipassiko seperti yang tercermin dalam Kalama-sutta menyebabkan Buddhis lebih terbuka terhadap perkembangan baru di dunia sains. Seandainya suatu penemuan baru sains terbukti bertentangan dengan doktrin Buddhis tertentu, maka Buddhis lebih siap mengadopsi penemuan sains dan tidak menanggapinya dengan sikap antagonis. Ini tercermin dari perjalanan sejarah agama Buddha yang tidak pernah mengalami konflik dengan dunia sains.
1.3. Psikologi
Pada tahun 1974, Chogyam Trungpa, seorang guru Buddhis aliran Kaygu, meramalkan bahwa “agama Buddha akan dating ke Barat sebagai psikologi”. Pandangan ini diterima dengan skeptis pada waktu itu, tapi konsep Buddhis sesungguhnya telah memasuki arena sains psikologi. Beberapa teori psikologi modern seperti psikologi Rogerian, memperlihatkan paralel yang kuat dengan pemikiran Buddhis. Rune Johansson mengatakan,
Siapapun yang berpengetahuan baik tentang psikologi dan sejarahnya dan membaca Nikaya Pali mesti dikagetkan oleh fakta bahwa terminology psikologis adalah lebih kaya disini daripada literatur kuno lainya dan bahwa lebih bayak tempat dikhususkan untuk analisis psikologis dan penjelasan disini daripada literatur agama lain manapun.
Agama Buddha, kalau boleh dirangkumkan esensi ajaranya, terutama membahas pikiran dan metode mentransformasikannya. Penekanan terhadap aspek pikiran dalam agama Buddha tercermin dalam pembukaan kitab Dhammapada:
Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat, maka penderitaaan akan mengikutinya bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaiki lembuh yang menariknya. (Dhp. 1).
Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran murni, maka kebahagiaan akan mengikutinya bagaikan bayang-bayang yang tak pernah meninggalkan bendanya. (Dhp. 2).
Dalam SN.V.120, pikiran dianalogikan dengan semangkuk air: pikiran yang tenang diibaratkan dengan semangkuk yang berisi air yang jernih dan tidak bergerak. Pikiran yang dipenuhi kemalasan seperti semangkuk air dimasukan sekumpulan rumput ganggang.
Pikirang yang dipenuhi kegelisahan seperti semangkuk air yang permukaannya tersapu oleh angin hingga beriak; pikiran yang dipenuhi keragu-raguan seperti semangkuk air diaduk dengan Lumpur hingga keruh. “Pikiran itu mudah goyah dan tidak tetap; pikiran susah dikendalikan dan dikuasai. Orang bijaksana meluruskannya bagaikan seorang pembuat panah meluruskan anak panah” (Dhp. 33). Tanpa transformasi pikiran, hal itu sangat berbahaya karena “pikiran yang diarahkan dengan keliru bahkan dapat menimbulkan kerugian yang jauh lebih besar” (Ud. 4.3). Hal yang serupa dikatakan dalam Dhp. 42,
Luka dan kesakitan macam apapun dapat dibuat oleh orang yang saling bermusuhan atau saling membenci. Namun pikiran yang diarahkan sacara salah akan melukai seseorang jauh lebih berat.
Menurut agama Budddha, pikiran itu selalu mengembara jauh, tidak berwujud dan terletak jauh dalam lubuk hati. Buddha mengatakan kepada Mahakasyapa,
Lagipula, Mahakasyapa, pikiran seperti angin bertiup, yang tak dapat ditangkap oleh siapapun. Ia seperti air mengalir, muncul dan lenyap secara berkesinambungan. Ia seperti api dari lampu, yang disebabkan oleh beragam faktor. Seperti halilintar, karena ia lenyap dari momen ke momen. Ia seperti udara, yang terpolusi oleh debu objek luar. Ia seperti seekor monyet, karena ia melekat pada enam nafsu-indrawi secara bergantian. Ia seperti pelukis, karena mampu menciptakan sebab-musabab dan kondisi-kondisi karma yang banyak. (Ratnakuta-sutra)
Mereka yang dapat mengendalikan pikiran akan bebas dari jeratan nafsu indra (Dhp. 37). Namun nafsu indrawi dapat menembus pikiran yang tidak dikembangkan dengan baik bagaikan hujan yang dapat menembus rumah beratap (Dhp. 13). Kondisi ini mengacu pada pikiran yang belum ditransformasikan, yang dipengaruhi oleh tiga jenis nafsu keinginan, yaitu kama-tanha (kehausan akan kenikmatan), bhava-tanha (kehausan akan kelangsungan hidup), dan vibhava-tanha (kehausan akan pemusnahan). Ini parallel dengan konsep Freud dalam eros, libido, dan thanatos.
Buddha, jauh sebelum Aquinas atau Heisenberg, menekankan keunggulan pikiran dalam persepsi dan bahkan dalam “penciptaan” realitas, seperti dikatakan dalam SN.I.39,
Dunia kehidupan dikendalikan oleh pikiran, oleh pikiran pula dunia kehidupan diganggu, pikiran itu sendirilah yang membawa semua hal di bawah kekuasannya.
Salah satu konsep sentral dalam agama Buddha adalah gagasan tentang “Segala sesuatu diciptakan dari pikiran”. Perbedaan apapun antara subjek dan objek adalah khayal dan dipilah-pilah oleh kesadaran yang diskriminatif. Buddha menggunakan sebuah metafora :
Pikiran adalah seperti seorang artis
Yang melukis seluruh dunia…
Bila seseorang mengetahui cara kerja pikiran
Sebagaimana ia secara universal menciptakan dunia
Orang ini lalu melihat Buddha
Dan memahami sifat-dasar Buddha yang sejati dan actual. (Avatamsaka-sutra bab 20)
Kita menyangka bahwa kita sedang melakukan observasi terhadap alam, tetapi apa yang kita amati sesungguhnya adalah pikiran kita sendiri yang sedang bekerja. Kita adalah subjek dan objek dari metodologi kita sendiri. Lagi pula, pikiran ini melingkupi seluruh alam semesta; tidak ada yang berada diluar pikiran dan tidak ada apapun yang tidak dikandung oleh pikiran, menurut Buddha.
Dalam bab 5, telah dibahas tentang lima skandha yang membentuk kepribadiaan seseorang serta Empat Kebenaran Mulia yang terdiri atas: kenyataan adanya dukkha, asal mulanya dukkha, lenyapnya dukkha, dan jalan menuju lenyapnya dukkha.. Dalam kitab Abhidharma dan kitab aliran Yogacara seperti Lankavatara-sutra dan Samdhinirmocana-sutra, dijelaskan secara terperinci mengenai berbagai macam kondisi pikiran dan kategori kesadaran. Oleh sebab itu Dr. Carl G. Jung, seorang pendiri Psikologi Analitik dan pelopor Psikologi Modern menyatakan bahwa psikologi analitik sangat dekat persamaanya dengan metode agama Buddha yang esensinya terkait dengan masalah asal timbulnya penderitaan beserta metode mengatasinya, kategori mental states, dan pemahaman mendalam mengenai kesadaran (consciousness).
Agama Buddha aliran Yogacara menyebutkan bahwa dunia ini adalah manifestasi dari pikiran kita. Dunia dan alam semesta yang kita amati ini sesungguhnya merupakan proyeksi tiga dimensi dari pikiran kita sendiri. Pikiran adalah pelopor dan pencipta fenomena. Fenomena yang kita persepsikan sebagai realita bukanlah realita absolute karena masing-masing individu memproyeksikan dimensi pikirannya sehingga tidak ada realitas tunggal yang berlaku untuk semua orang. Masing-masing individu telah mendistorsi realita tersebut dengan kacamata berwarna yang diciptakan dari benih energi karma individu pada kehidupan-kehidupan sebelumnya. Hal ini dibahas oleh B. Alan Wallace dalam dua bukunya yang berjudul The Taboo of Subjectivity dan Choosing Reality. Michael Talbot dalam bukunya Holographic Universe mengumpamakan alam semesta tidak lebih nyata dibandingkan sebuah hologram yang merupakan suatu gambar tiga dimensi yang diproyeksikan ke dalam ruang (space) pikiran kita. Talbot, dalam bukunya Mysticism and The New Physics mengatakan, “kesadaran manusia mempengaruhi realitas.”
Para neurology mengklaim bahwa pikiran, kesadaran (awareness), dan kehendak, dapat dihubungkan dan dijelaskan dengan aktivitas di dalam otak. Teori ini dibantah 20 tahun yang lalu dengan penemuan Prof. Lorber terhadap seorang murid di Universitas Sheffield dengan IQ 126, tingkat kelas utama Matematika, tapi sama sekali tanpa otak (majalah Science, vol.210,12 Dec 1980). Belum lama ini Prof. Pim Van Lommel membuktikan eksistensi aktivitas kesadaran setelah dinyatakan meninggal secara klinis, yaitu ketika semua aktivitas otak telah berhenti (Lancet, vol.358, 15 Dec. 2001, p. 2039).
1.4. Psikoterapi
1.4.1. Dasar yang serupa
Empat kebenaran mulia dalam agama Buddha mengajarkan hakikat sejati penderitaan, dan jalan menuju lenyapnya penderitaan. Perjalanan spiritual seorang Buddhid dimulai dari kesadaran adanya penderitaan, dan didorong oleh keinginan untuk terlepas dari penderitaan dan menemukan kebahagiaan. Masalah penderitaan juga merupakan keprihatinan utama psikoterapi barat. Manusia mencari psikoterapis karena mereka menderita emosi yang negative, pemikiran, hubungan, dan pengalaman yang menyakitkan. Demgan demikian, psikoterapi Barat dan agama Buddha berbagi tujuan yang sma, persamaan yang pertama. Emosi negatif seperti kekhawatiran, stress, depresi, kemarahan, rasa berdosa, rasa malu, frustasi, iri hati, cemburu dan lain lain, adalah bentuk-bentuk penderitaan. Penderitaan-penderitaan tersebut datang dari pikiran. Oleh sebab itu, baik Psikoterapi Barat maupun agama Buddha menaruh perhatian utama terhadap pikiran.
Agama Buddha sendiri menganggap bahwa penderitaan bukan disebabkan oleh kejadian-kejadian luar tetapi kualitas pikiran yang membentuk persepsi dan respons kita terhadap kejadian-kejadian. Karenanya, “Kebahagiaan tidak ditemukan di dunia sosial luar, tapi dalam keadaan transformasi pikiran yang menghasilkan kebijaksanaan, ketenangan pikiran, dan welas asih”. Para psikoterapis Barat juga percaya bahwa penderitaan tidak begitu banyak disebabkan oleh trauma-trauma eksternal, tapi lebih disebabkan oleh respons kita terhadap trauma-trauma ini. Renspons-respons ini dikondisikan oleh faktor mental seperti nafsu keinginan dan ketakutan yang bisa ditolak dan ditekan. Ini adalah salah satu prinsip dasar dari psikoanalisis Freud. Penekanan pada aspek pikiran merupakan persamaan yang kedua.
Boleh dikatakan bahwa agama Buddha sesungguhnya lebih mirip dengan psikoterapi dari pada dengan agama-agama Barat. Alan Watts dalam bukunya Psychotherapy East and West mengatakan: Kemiripan utama antara cara hidup Timur dan psikoterapi Barat ini adalah dalam urusan membawa perubahan kesadaran, perubahan dalam cara kita merasakan eksistensi kita sendiri dan hubungan kita dengan masyarakat dan dunia alamiah.
Psikoterapis kebanyakan tertarik dalam mengubah kesadaran individu-individu yang mentalnya terganggu. Sedangkan disiplin agama Buddha dan Taoisme pada bagaimana mengubah kesadaran orang-orang yang normal dan beradaptasi dalam kehidupan sosial. Tetapi semakin jelas bagi psikoterapis bahwa keadaan kesadaran yang normal dalam kultur kita adalah konteks dan sarang penyakit mental.
Dalam beberapa dekade terakhir telah terbit banyak buku yang menelaah komparisi antara psikoterapi dan agama Buddha. Misalnya Mark Epstein, dalam bukunya Thoughts Without a Thinker, menguraikan psikoterapi berdasarkan doktrin dan metode Bhuddis. John Welwood dalam bukunya Toward a Psychology of Awakening mengintegrasikan praktik spiritual Buddhis ke dalam psikoterapi Barat. Kitab Buddhis mengandung banyak ajaran yang berkaitan dengan pikiran dan metode terapeutik untuk menyembuhkan pemikiran yang besifat destruktif, yaitu gangguan mental (mental disorder). Gangguan mental mencakup fobia, neurosis, dan psikosis.
Dua konsep psikoterapi Barat yang fundamental adalah represi dan alam-tak-sadar. Konsep represi mirip dengan ketidaktahuan (avidya) dalam agama Buddha. Perbedaannya: avidya adalah kegagalan untuk menghadapi fakta-fakta dasar mengenai sifat dasar diri dan fenomena, sementara represi adalah kegagalan dalam arti yang lebih sempit untuk menghadapi berbagai realita kehidupan seseorang, terutama pengalaman pahit yang di alaminya. Represi muncul sebagai akibat reaksi defensif terhadap kecemasan, suatu bentuk penderitaan mental yang disiasati oleh banyak orang dengan alkohol dan narkoba. Dalam pandangn psikoterapi Barat, kandungan mental dan emosi dari pengalaman pahit ditekan, dimodifikasikan, dikurangi, dan di alami kembali sebagai neurosis.
Ketika terapi Buddhis dibandingkan dengan psikoterapi Barat, nampaknya psikoanalisis dapat disejajarkan dengan diskusi persiapan antara seorang guru Buddhis dengan muridnya. Fungsi seorang guru/psikoterapis adalah menuntun pasien ke sebuah pejalanan penemuan-diri dan transformasi-diri yang dalam agama Buddha berakhir pada penemuan hakikat kehidupan yang sebenarnya.
Alam tak-sadar mengandung penyangkalan dan represi kita – kebohongan terdalam yang kita simpan. Gejala neurotic dan karakter pembelaan-diri kita adalah produk dari kebohongan terdalam. Carl Jung adalah orang pertama yang menemukakan korespondensi antara mimpi dan mitos. Mimpi menyingkapkan alam tak-sadar personal dan mitos menyingkapkan alam tak-sadar kolektif. Dia menyebut ruang lingkup penyangkalan dan represi dengan istilah “bayangan”. Terapi Jung sebagian besar terdiri dari menghadapi bayangan, menghadapi apa yang telah ditolak tentang dirinya dan kualitas pengalaman yang fundamental, yang ia sebut dengan “pola dasar” (archetype).
Freud juga secara eksplisit menguraikan tujuan psikoanalisis sebagai mengangkat isi alam tak-sadar menuju alam sadar. Dalam pandangan psikoanalitik, gangguan neurotik disebabkan oleh penyangkalan dan represi atas pengalaman yang menyakitkan, dimana pengalaman ini ditekan atau direpresi ke alam bawah sadar. Pembebasan dari penderitaan dilakukan dengan membawa pengalaman yang ditekan menjadi penyadaran (awareness) dan menyelesaikan satu per satu emosi-emosi yang menyakitkan (membawa kenangan bawah sadar itu kembali ke alam sadar). Dengan demikian, dalam terapi Freud dan Jung, ekspansi kesadaran memerlukan transformasi kesadaran batiniah manusia, yang juga merupakan tujuan dari praktik Buddhis.
Dalam pandangan Buddhis, avidya tidak hanya berhubungan dengan penyangkalan fakta tentang diri sendiri dan dunia, tapi juga menganggapnya sesuatu yang sesungguhnya tak pernah eksis. Keadaan ketidaktahuan ini juga disebut ilusi atau delusi. Berdasarkan pandangan Buddhis, semua fenomena merupakan ilusi, karena bila ditelaah ke dalam hakikat eksistensi terdalam mereka, tidak berhasil ditemukan suatu inti yang kekal dan independent. Misalnya kita melihat benda padat sebagai bersifat kekal, tapi mereka pada akhirnya akan mengalami pelapukan. Kebijaksanaan tertinggi dalam agama Buddha, kebijaksanaan yang merealisasikan kekosongan, memahami bahwa segala fenomena dan “diri” adalah tidak kekal dan tanpa substansi.
Kendati terdapat kemiripan antara psikologi Barat dan psikologi Buddhis, namun metode dan penekanan mereka berlainan. Psikologi Barat lebih menekankan memperhatikan perkembangan dari diri dan perilaku dari ego, dengan mengembangkan aneka teknik untuk mengembangkan suatu diri yang sehat dan utuh, sedangkan fokus agama Buddha adalah menumbuhkan ketidaklekatan atas keadaan-keadaan emosi negatif yang merupakan sumber penderitaan mental, dengan konsep anatta (Tanpa Inti/kepemilikan) dan ketidakkekalan. Kekuatan psikologi Barat terlekat pada fokusnya atas pembangunan karakter diri yang kuat, hubungan antar sesama, keakraban, dan panggilan tugas. Oleh sebab itu, agama Buddha, bisa juga mengadopsi teknik-teknik psikologi Barat dalam menganalisis emosi-emosi tanpa melekat pada emosi itu sendiri. Didasari sifat komplementer dari kedua disiplin tersebut, maka lahir suatu disiplin baru yang kini dikenal dengan istilah psikoterapi Bhuddis, yang merupakan perpaduan antara psikologi Barat dengan psikologi Buddhis.
1.4.2. Definisi Buddhis bagi kesehatan mental
Orang yang kesehatan mentalnya terganggu tidak akan memiliki pengendalian pikiran, yang merupakan salah satu tujuan agama Buddha dalam aspek pengembangan spiritual. Dikatakan oleh Dhp. 35-36 bahwa:
Sukar dikendalikan pikiran yang binal dan senang mengembara sesuka hatinya. Adalah baik untuk mengendalikan pikiran, suatu pengendalian pikiran yang baik akan membawa kebahagiaan. Pikiran sangat sulit untuk diawasi, amat lembut dan halus, bergerak sesuka hatinya. Orang bijaksana selalu menjaga pikirannya, seseorang yang menjaga pikirannya akan berbahagia.
Dengan pengendalian pikiran yang baik, maka pikiran positif bisa dikembangkan lebih lanjut. Dalam strategi kognitif, seperti halnya agama Buddha, ditekankan untuk mengembangkan pikiran positif dan membuang segenap pikiran negatif. Salah satu metodenya adalah meditasi penembusan (vipassana) yang dipergunakan agama Buddha dalam mengenali akar dari pikiran negatif.
Contoh pikiran negatif adalah amarah. Setelah kita mengenali amarah dengan kekuatan meditasi penembusan, maka kekuatan dari emosi kemarahan akan berkurang dan suatu saat akan hilang. Semakin kita mengenali suatu pikiran negatif, semakin sulit bagi pikiran negatif itu untuk berkembang dan membuat pikiran kita menjadi kacau. Menurut psikoterapi maupun agama Buddha, kita harus berani menghadapi musuh dan berusaha mengenalinya sehingga suatu hari musuh tersebut menjadi teman baik kita. Kita tidak boleh lari dari musuh (pikiran negatif), karena suatu hari musuh tersebut pasti akan menyergap kita pada saat kita lengah. Sebaiknya kita mengenali musuh kita dan setelah mengenalinya, kita kemudian menganggapnya sebagai saudara sehingga musuh akan kehilangan senjata “serangan mendadak” dan akhirnya menjadi “jinak”.
Buddha memberikan resep agar kita selalu berpikiran positif demi mencapai kesehatan jiwa dan raga. Menurut Buddha, pemikiran negatif dan depresi mempengaruhi kesehatan seseorang. Suatu penelitian yang dilakukan oleh David Spiegel dan rekan-rekannya (Kraemer, Bloom, dan Gottheil) pada tahun 1989 telah membuktikan kebenaran bahwa pikiran yang depresi dapat memicu timbulnya atau memperparah penyakit. David Spiegel melakukan penelitiannya pada pasien penderita kanker dengan jalan memisahkan mereka menjadi dua kelompok, yang sama-sama mendapatkan terapi standar. Hanya saja perbedaannya, ada kelompok yang mengadakan pertemuan bersama guna memperkuat kondisi kejiwaan mereka seperti memecahkan berbagai masalah yang mereka hadapi, berbagai suka dan duka, menumbuhkan keberanian dalam menghadapi kematian, serta membangkitkan semangat hidup. Hasilnya, 48 bulan kemudian pasien kanker yang tidak berada di dalam kelompok pendukung tersebut hampir semuanya telah meninggal. Sebaliknya, pasien yang termasuk dalam kelompok pendukung dapat bertahan hidup lebih lama lagi. Kita melihat bahwa pikiran dapat menentukan kondisi fisik seseorang. Oleh karenanya, Buddha mengajarkan kita untuk selalu berpikir positif, tenang dan terkendali. Pikiran yang kacau dapat mendorong timbulnya penyakit.
Agama Buddha mempunyai metode praktis untuk menumbuhkan pemikiran yang positif yakni dengan melaksanakan Empat Brahma Vihara, yang terdiri dari: metta, karuna, mudita, dan upekkha. Metta berarti cinta kasih universal; Karuna berarti welas asih, turut merasakan penderitaan makhluk lain; Mudita berarti ikut bergembira atas kesuksesan orang lain; dan Upekkha berarti keseimbangan batin, tanpa membedakan musuh dan teman, sedih dan gembira, dan lain sebagainya.
Kita ambil contoh mudita. Dengan bermudita berarti kita tidak merasa iri melihat kebehasilan orang lain. Dengan menghindarkan diri dari rasa iri, maka kita menjauhkan diri dari pikiran yang terdepresi. Melatih keseimbangan batin (upekkha) berarti kita berusaha untuk tidak merasa senang atau sedih apabila dipuji atau pun dicela. Memang kesemua hal tersebut di atas tidak semudah membalik telapak tangan karena kita membutuhkan suatu latihan kejiwaan yang oleh Buddha disebut praktik Dharma. Praktik ini melibatkan seluruh aspek kehidupan kita sehingga kita dapat mencapai sepeti apa yang dicapai Buddha yaitu Pencerahan Sempurna.
Dalam bidang psikoterapi belum tercapai konsensus standar kesehatan mental yang baku. Semua standar yang diajukan sangat teoritis dan sering dipengaruhi oleh nilai kultural Barat. Kesehatan mental yang diaspirasikan oleh Buddhis adalah mencapai kepribadian sehat yang disebut Arahat. Sifat-sifat kepribadiaan sehat tersebut telah ditransformasikan secara permanent dimana semua motif, persepsi, perbuatan yang sebelumnya dilakukan dibawah pengaruh faktor-faktor tak sehat akan lenyap. Rune Johansson, dalam karyanya The Psychology of Nirvana, mengali dari Abhidharma mengenai ciri-ciri khas kepribadian seorang Arahat, yang mana hal tersebut meliputi:
– Keterbebasan dari rasa tamak, ketakutan, kebencian, pandangan sempit, hawa nafsu, kemarahan, sikap membeda-bedakan, dan lain sebagainya.
– Diliputi oleh sikap-sikap seimbang dalam memandang orang lain, tenang dalam semua keadaan, waspada, keterbukaan, kepekaan, dan lain sebagainya.
Transformasi kepribadian semacam itu yang dianggap terlalu radikal oleh dunia Barat, sangat jauh melampaui tujuan dan harapan terapi kejiwaan (psikoterapi) Barat. Dilihat dari kacamata para psikolog di dunia Barat, sifat-sifat kebajikan tersebut terlalu susah dan mulia untuk diwujudkan. Meskipun demikian, seorang Arahat mempuyai sejumlah kemiripan dengan orang-orang yang mengalami aktualisasi sepenuhnya sebagaimana yang tercantum pada tulisan-tulisan Maslow dan Rogers. Selain itu, Arahat adalah suatu tipe ideal hasil pencapaian akhir suatu pelatihan bertahap yang tidak mungkin hanya terjadi semalam saja.
Dalam berbagai kesempatan dialog yang berlangsung dalam beberapa dekade terakhir antara Timur dan Barat dalam hal psikologi serta psikoterapi, dapat disimpulkan bahwa metode psikoterapi dan ajaran ilmu kejiwaan di Barat belum mencapai tingkatan yang dikehendaki oleh filsafat Timur. Medrad Boss, seorang filosof Swiss yang terkemuka, pernah menyatakan bahwa dipandang dari sudut filsafat timur, metode-metode dan tujuan psikoterapi Barat masih belum dapat dianggap memadai. Menurut Boss, jika dibandingkan dengan tingkat pemurnian diri yang menjadi tujuan latihan spiritual dunia Timur, maka “latihan kejiwaan Barat yang paling baik sekalipun tidak lebih dari suatu kursus pengantar saja bagi praktik spiritual dunia Timur”.
1.4.3. Seni Kebahagiaan
Dalam pandangan Buddhis, musabab utama penderitaan adalah kemelekatan pada diri. Dalam praktik Buddhis yang dikenal dengan meditasi analitik, “diri” ditelajangi ke-diri-nya sendiri. Lalu kita mencari diri ini. Di mana letaknya? Dalam tubuh? Di kepala atau di jantung? Di pikiran? Bagian mana dari pikiran? Menurut agama Buddha, “diri” yang kekal dan independen tak bisa ditemukan; adalah suatu kekeliruan bila kebahagiaan bisa ditemukan dengan mengejar nafsu dan menghindari sesuatu yang tak disukai (aversi). Pengejaran nafsu dan penghindaran aversi disebabkan oleh kemelekatan pada keakuan (ego). Ud. 2.1 mengajarkan bahwa kebahagiaan tertinggi adalah menghilangkan kesombongan “Aku”, sedangkan Piya Vagga XVI, 210 mengajarkan bahwa “jangalah melekat pada apa yang dicintai, ataupun apa yang tidak dicintai; pemisahan dengan apa yang dicintai adalah penderitaan!”. Snp. 812 menambahkan, “sebagaimana setetes air tidak melekat pada daun teratai atau sebagaimana sekuntum bunga teratai tidak ternoda oleh air, begitu juga manusia bijaksana tidak melekat pada apapun – baik yang dilihat, didengar, atau dipikirkan.”
Filsafat Buddhis memberitahukan kepada kita bahwa semua ketidakbahagiaan dan konflik antar-perorangan terletak pada “tiga racun”: nafsu keinginan, kemarahan, dan delusi. “Sungguh bahagia jika kita hidup tanpa membenci di antara orang-orang yang membenci.. sungguh bahagia jika kita hidup tanpa penyakit di antara orang-orang yang berpenyakit… sungguh bahagia jika kita hidup tanpa keserakahan di antara orang-orang yang serakah” (Dhp. 197-199)
Prinsip dasar psikologi kelakuan adalah bahwa organisme dipolarisasikan antara perasaan sakit dan senang. Keinginan untuk memperoleh kesenangan dan menghindari perasaan sakit dianggap sebagai motivasi dasar dan kelakuan. Dalam AN.IV.157 dikatakan bahwa ada delapan kondisi duniawi yang dapat mempengaruhi, mengombang-ambingkan, dan menguasai kehidupan manusia: untung dan rugi; mashyur dan reputasi jelek; pujian dan celaan; rasa menyenangkan dan rasa sakit. Apabila salah satu dari delapan kondisi ini timbul, maka seseorang harus merenungkan demikian:
Kondisi itu telah timbul pada diriku,
Tetapi sifatnya tidak kekal dan tidak tetap
Harus diketahui sebagaimana adanya,
Dan tidak seharusnya untuk dikuasai oleh pikiran itu.
Dengan kata lain, seseorang janganlah terlalu bergembira terhadap hal-hal yang menyenangkan dan terlalu bersedih terhadap hal-hal yang tidak menyenangkan.
Snp. 702 mengatakan:
Kembangkan pikiran yang tenang seimbang. Kamu akan selalu mendapat pujian dan celaan, tetapi jangan biarkan keduanya mempengaruhi ketenangan pikiran: ikutilah ketenangan, di mana tidak ada kesombongan.
Agama Buddha mengatakan bahwa justru keinginan egois untuk mendapatkan kebahagiaan-lah yang merupakan penyebab utama dari penderitaan yang kita kenakan pada diri kita dan orang lain. Dari pandangan ini, rahasia kebahagiaan melibatkan transformasi diri, termasuk rekonfigurasi gagasan kita tentang kebahagiaan itu sendiri, berdasarkan penyadaran yang lebih mendalam terhadap hakikat realitas. Salah satu rahasia menemukan kebahagiaan, menurut agama Buddha, adalah tidak mengingatkan hal-hal buruk yang telah lewat, tidak cemas dengan hal-hal dimasa mendatang, tetapi selalu hidup berkesadaran penuh (mindful living) dalam “kekinian”, melihat setiap objek secara mendalam, mengamati setiap fenomena secara momen-ke-momen, karena “yang telah lalu tidak seharusnya diingat terus; yang akan datang juga jangan diharapkan; yang telah lewat adalah sudah mati dan pergi; yang akan datang masih belum datang dan pasti” (MN.III.131). demikian pula dalam SN.1.5 dikatakan bahwa bagi mereka yang tak mengharapkan apa-apa yang akan datang, tidak menyesali hal-hal yang telah lewat, menjalani hidup mereka pada saat ini, pembawaan mereka akan tenang.
Seni kebahagiaan, singkat kata, mengembangkan pemikiran positif dan menyerahkan emosi-emosi negatif. Daniel Goleman, dalam Destructive Emotions, menceritakan dialog yag berlangsung antara Dalai Lama dan para pakar psikologi Barat. Salah satu tema dari buku tersebut membahas cara-cara dalam mengatasi keadaan-keadaan emosi yang bersifat destruktif seperti kemarahan, kecemburuan, dan nafsu keinginan yang tak terkendalikan.
1.4.4. Meditasi untuk kesehatan mental
Terapi perilaku dari psikoterapi parallel dengan meditasi, tapi beberapa aspek meditasi merupakan lingkup khusus dari agama Buddha. Terapi Buddhis dan psikoterapi keduanya setuju bahwa terapi verbal saja tidak cukup, hanya mampu mengobati gangguan mental yang paling ringan. Terapi perilaku lebih bisa masuk ke dalam kejiwaan dan mengobati gangguan mental yang lebih berat, salah satu metodenya disebut systematic desensitization untuk mengobati Fabio atau ketakutan yang irasional. Metode ini terdiri dari dua tahap: tahap pertama melonggarkan ketegangan syaraf dan otot namun tetap dalam kesadaran penuh; tahap kedua mendorong pasien menghadapi hal-hal yang ditakuti mulai dari rangsangan indera yang paling ringan sampai ke yang paling menyeramkan. Selama proses tersebut, pasien harus senantiasa tenang, tidak menanggapi dengan emosi atau lari. Metode ini ternyata agak mirip dengan meditasi. Tapi meditasi jenis Vipassana masih merupakan keunikan tersendiri bagi agama Buddha.
Dari perspektif psikoterapi, teknik meditasi bermanfaat bagi kesehatan mental sebagai reduksi stres yang tercermin dalam pengurangan konsumsi oksigen, melambatnya detak jantung, pengurangan tingkat pernapasan dan tekanan darah, perubahan pada pola gelombang otak, dan kemajuan dalam sirkulasi darah. Perubahan-perubahan fisiologis semacam ini disebut respon relaksasi. Bukti yang demikian ini menetapkan peranan meditasi sebagai strategi relaksasi yang efektif. Meditasi menumbuhkan kemampuan yang lebih tinggi dalam berkonsentrasi, kebebasan yang lebih besar dari gangguan, toleransi yang lebih tinggi terhadap perubahan dan kekacauan disekitarnya. Menurut pandangan Buddhis, walaupun tujuan akhir kesempurnaan, tingkat Arahat, memerlukan pelatihan meditasi yang panjang, manfaat duniawi sudah bisa dirasakan dalam waktu yang relatif singkat bagi yang serius melatihnya.
Dr. Jon Kabat-Zinn (1944- ), seorang professor kedokteran di University of Massachusetts, mempelopori penerapan meditasi kesadaran penuh (mindfulness meditation) ke dalam dunia medis dan masyarakat luas. Ia mengajarkan meditasi tersebut sebagai teknik untuk membantu orang menghadapi stres, penyakit, kecemasan, rasa sakit, dan meningkatkan daya tahan tubuh. Ia mulai mengajarkan teknik yang ia sebutkan Mindfulness-Based Stress Reduction (MBSR) pada 1979. Kabat-Zinn dalam naskah risetnya tahun 1982 memperlihatkan adanya manfaat meditasi berkesadaran penuh (mindfulness meditation) dalam menghadapi rasa sakit yang kronis.
Kitab Buddhis awal (seperti Samyutta Nikaya) juga mengandung referensi yang eksplisit terhadap nilai meditasi untuk mengendalikan rasa sakit. Sebagai contoh, Ananda, murid Buddha, pernah memberikan nasihat kepada seorang perumah tangga bernama Sirivaddha di kota Rajagaha. Mendengar pasien itu bertambah rasa sakitnya, Ananda menganjurkan ia berlatih meditasi berkesadaran penuh. Hal yang sama dilakukan terhadap seorang perumah tangga lain, Manadinna. Contoh terkemuka ditemukan dalam kisah tentang Biku Anuruddha yang jatuh sakit parah. Ketika beberapa biku yang mengunjunginya bertanya tentang rasa sakitnya, jawaban Arunddha adalah bahwa perasaan sakit pada tubuh tidak mengganggunya, karena pikiranya bertumpuh kokoh pada kesadaran penuh: “Disebabkan saya besemayam dengan pikiran yang berlandaskan dalam kesadaran penuh. Itulah alas an mengapa sensasi sakit yang datang padaku tidak membuat kesan pada pikiranku.” Buddha juga menganjurkan meditasi sebagai cara meraih tidur yang bebas gangguan (Viyana-pitaka vol.1).
Richard Davidson, seorang professor di University of Wisconsin Madison, mendapatkan adanya korelasi antara keadaan mental dan emosi dengan pola aktivitas otak. Ia memasang kawat ke kepala biku Tibet yang sedang bermeditasi, dan membuktikan bahwa otak mampu berkembang dan berubah sepanjang hidup, fenomena yang disebut neuroplasticity, yang sebelumnya dianggap mustahil oleh sains Barat. Ia juga berhasil mengidentifikasikan prefrontal cortex bagian kiri sebagai lokus aktivitas neural yang berkaitan dengan meditasi.
1.4.5. Kosmologi
Dalam Avatamasaka-sutra bab 5, agama Buddha menyatakan bahwa bintang-bintang dan planet-planet berada di ruang angkasa tanpa ditumpu apapun,
Sistem Dunia tepian bunga
Adalah sama dengan jagad raya
Perhiasannya sungguh murni
Berada dengan damai di ruang angkasa
Hal ini berbeda dengan pandangan sezaman dengannya dimana Bumi dianggap ditopang oleh seorang raksasa semacam Atlas atau makhluk-makhluk ruang angkasa lainnya. Susunan materi alam semesta tercatat dalam Avatamsaka-sutra bab 4,
Terdapat beberapa system samudera dunia
Terbentuk dari permata
Padat dan tak terhancurkan
Bernaung di atas bunga teratai nan berharga
Beberapa di antaranya terbentuk dari berkas cahaya murni
Yang asalnya tak dikenal
Semuanya merupakan berkas-berkas cahaya
Bernaung diruang kosong
Beberapa di antaranya terbentuk dari cahaya murni
Dan juga bernaung pada pancaran-pancaran cahaya
Diselubungi oleh awan cahaya
Tempat dimana para Bodhisattwa berdiam.
Kutipan di atas memperlihatkan bahwa agama Buddha telah mengenal alam semesta yang terdiri dari materi dan cahaya. Kalimat “padat dan tak terpecahkan” merujuk pada artikel atom yang menyusun materi. Bait kedua di atas nampaknya mengacu pada sinar kosmis yang merupakan sisa-sisa pembentukan jagad raya. Sementara bait ketiga mengacu pada pancaran cahaya yang berasal dari benda-benda langit. Sebagai tambahan sinar kosmis ini mulai diteliti oleh para fisikawan dari Institut Teknologi Kalifornia di Pasadena pada tahun 1932, dan didapati bahwa di dalamnya terkandung partikel-partikel elementer yang belum pernah dikenal sebelumnya. Partikel elementer merupakan partikel tunggal yang tidak terbagi-bagi lagi, mungkin berkorelasi dengan istilah “murni” dalam kutipan sutra tersebut.
Para ilmuwan dewasa ini menyatakan bahwa alam semesta merupakan serangkaian pengembangan, penciutan, pengerutan, dan penghancuran berupa ledakan besar (Big Bang) yang berlangsung secara terus-menerus tanpa akhir. Dengan kata lain, ini adalah suatu rangkaian fenomena yang tidak berujung pangkal yang kemudian disebut teori “pulsating” dari alam semesta.
Buddha mengajarkan hal yang sama dalam Bhayaberava-sutta (sutta ke-4 dari MN):
Ketika pikiran yang terkonsentrasi dengan demikian termurnikan, tidak tercela, mengatasi semua kotoran, mudah diarahkan, serta tenang, Aku memusatkannya pada kelahiran-kelahiran yang lampau, satu, dua,…. Ratusan, ribuan, banyak kalpa dari penyusutan dunia, banyak kalpa pengembangan dan penyusutan dunia.
Dari sini kita bisa melihat bahwa proses penyusutan dan pengerutan tersebut berlangsung waktu yang sangat lama. Yang dimaksud dengan “kalpa” adalah satuan waktu India Kuno yang berlangsung selama miliaran tahun. Ada beberapa versi perhitungan “kalpa”, tetapi yang lazim dipakai adalah satu kalpa memakan waktu sekitar 139.600.000 (seratus tiga puluh sembilan juta enam ratus ribu) tahun.
Dari kacamata Avatamasaka-sutra, Big Bang sebgaimana yang dipahami oleh sains hanyalah merupakan Big Bang lokal, karena proses Big Bang semacam ini berlangsung secara terus menerus di semesta-semesta lainnya yang tak terhingga jumlahnya. Sains merupakan banyaknya galaksi dan dunia lain.
Buddha juga mengajarkan hal yang sama dalam Ananda-sutta (AN.III.80):
Ananda apakah kau pernah mendengar tentang seribu Culanika loka dhatu (tata surya kecil) ? …… Ananda, sejauh matahari dan bulan berotasi pada garis orbitnya, dan sejauh pancaran sinar matahari dan bulan di angkasa, sejauh itulah luas seribu tata surya. Di dalam seribu tata surya terdapat seribu matahari, seribu bulan, seribu Sineru, seribu jambudipa, seribu Aparayojana, seribu Uttarakuru, seribu Pubbavideha…… Inilah, Ananda, yang dinamakan seribu tata surya kecil (sahassi culanika lokadhatu). Ananda, seribu kali sahassi culanika lokadhatu dinamakan Dvisahassi majjhimanika lokadhatu. Ananda, seribu kali Dvisahassi majjhimanika lokadhatu dinamakan Tisahassi Mahasahassi Lokadhatu. Ananda, bilamana Tathagata mau, maka ia dapat memperdengarkan suara-Nya sampai terdengar di Tisahassi mahasahassi lokadhatu, ataupun melebihi itu lagi.
Sesuai dengan kutipan diatas dalam sebuah Dvisahassi majjhimanika lokadhatu terdapat 1.000 x 1.000 = 1.000.000 tata surya. Sedangkan dalam Tisahassi Mahasahassi Lokadhatu terdapat 1.000.000 x 1.000 = 1.000.000.000 tata surya. Menurut agama Buddha, alam semesta tidak terbatas pada satu milyar tata surya saja, tetapi jauh melampauinya. Banyak kitab Buddhis lainnya yang mendiskusikan sistem dunia lain, seperti dalam Amitabha-sutra dikatakan,
Saat itu Buddha berkata pada Sariputra, “Kesebelah barat dari sini, [melewati] seratus billion Dunia Buddha, adalah suatu dunia yang disebut dengan Sukhavati.
Dalam sains, ragam bentuk galaksi dikelompokan menjadi empat jenis, yaitu elips, spiral, tidak beraturan, dan lentikular. Dalam Avatamsaka-sutra bab 4, Bodhisattwa Samantabhadra memaparkan ragam bentuk galaksi kepada persamuhan, Putra-putra Budha, samudra-samudra dunia-dunia (galaksi) memiliki aneka bentuk dan karakteristik. Beberapa berbentuk bulat atau segi empat, beberapa tidak bulat pun tidak segi empat. Ada perbedaan [bentuk] yang tak terhitung. Beberapa berbentuk seperti pusaran, seperti nyala api dari volcano, seperti pepohonan, seperti bunga-bunga, seperti istana, seperti makhluk hidup, atau mungkin seperti Buddha. Variasi bentuk sebanyak butiran debu [atom] di dalam sebuah samudra dunia-dunia.
Dari jarak jauh, galaksi kelihatan seperti lautan atau sungai, sehingga disebut “samudra-samudra dunia-dunia”. Galaksi yang berbentuk pusaran seperti Bima Sakti (galaksi kita) dan Andromeda. Galaksi yang berbentuk seperti makhluk hidup termasuk di antaranya Horse head Nebule. Galaksi dan kuasar yang meledak juga mungkin nampak seperti semburan lidah api volcano. Agama Buddha juga meyakini bahwa benda-benda angkasa juga tidak kekal, seperti kutipan dibawah ini :
Dalam setiap sistem dunia itu planet-planet luar biasa banyaknya sehingga tak terbayangkan, beberapa di antaranya sedang tercipta, beberapa di antaranya sedang menuju kemusnahannya, beberapa di antaranya bahkan telah musna. (Avatamsaka-sutra bab 5). Kutipan di atas dengan jelas mengatakan bahwa segala sesuatu di jagad raya ini senantiasa mengalami siklus kelahiran dan kemusnahannya. Jika ada bintang-bintang yang mengalami kemusnahan, maka di tempat lainnya terdapat pula bintang-bintang atau benda langit lainnya yang tercipta.
Jarak antara Bumi dan bulan tertera dalam sebuah bait dari Salistamba-sutra ayat 37 (versi bahasa Mandarin dan Tibet) yang berbunyi sebagai berikut,
Lebih jauh lagi Sariputra, hal tersebut bagaikan rembulan pada langit yang indah, yang berjarak 42.000 yojana dari Bumi
Yojana adalah ukuran jarak India Kuno, yaitu jarak yang ditempuh oleh pasukan berkuda dalam waktu sehari (± 10 km). dengan demikian 42.000 yojana adalah sekitar 420.000 km. angka ini relatif dekat dengan jarak rata-rata antara Bumi dan bulan, yakni sekitar 385.000 km.
Buddha juga menyatakan bahwa terjadi empat fase dalam kehidupan suatu sistem dunia yaitu fase kekosongan/pemadaman, fase pembentukan, fase kediaman/statis, dan fase kehancuran. Masing-masing fase tersebut berlangsung sangat lama, dimana dalam bahasa Buddhis disebut memakan waktu 20 kalpa menegah. Sutra-sutra Buddhis secara konsisten menyatakan bahwa pembentukan sistem dunia dan kehancuran sistem dunia memerlukan waktu yang lama, selaras dengan teori kosmologi yang mengatakan bahwa pembentukan planet, bintang dan galaksi memerlukan proses waktu yang sangat lama.
Menurut agama Buddha, pembentukan planet Bumi memerlukan 20 kalpa menengah, dimana satu kalpa kecil memakan waktu 139.600.000 tahun. Berdasarkan rujukan ini, maka masa pembentukan planet Bumi (fase pembentukan) memerlukan waktu 2.780.000.000 tahun atau hamper 3 milyar tahun lamanya. Intinya, menurut agama Buddha, pembentukan planet Bumi memerlukan waktu miliaran tahun, bukan enam hari atau enam ribu tahun. Para ahli astrofisika dan ahli geologi setuju bahwa umur Bumi bukan ribuan tahun melainkan sudah miliaran tahun.
Fase pembentukan planet Bumi selama 2,78 Milyar tahun tersebut belum termasuk fase kediaman/statis (ada makhluk hidup yang menghuni). Fase kediaman, menurut agama Buddha, sudah memasuki pertengahan kalpa ke-11. bila digabungkan fase pembentukan Bumi dengan fase kediaman yang sudah memasuki kalpa ke-11, maka total umur Bumi menurut agama Buddha adalah 4,38 milyar tahun (2,78 milyar + 11,5 x 139.600.000). adapun menurut estimasi ahli geologi, umur Bumi adalah sekitar 4,55 milyar tahun.
Bila kita kita telah memasuki kalpa ke-11, berarti masih ada sembilan kalpa kecil lagi sebelum Bumi memulai proses kehancuran yang juga memerlukan waktu 20 kalpa kecil. Jadi menurut agama Buddha, akhir zaman (kiamat) itu ada tetapi masih sangat lama dari sekarang. Proses kehancuran Bumi juga dijelaskan secara rinci dibeberapa sutta Buddhis. Namun karena hari kiamat belum terjadi sehingga tidak bisa dilakukan studi perbandingan dengan sains, untuk itu proses kehancuran Bumi dari pandangan Buddhis tidak dibicarakan di sini.
1.4.6. Geologi
Bumi adalah suatu planet yang dinamis dimana tenaga-tenaga yang tersimpan di dalamnya selalu aktif. Daratan dan lautan telah bertukar posisi dan berubah bentuk sepanjang waktu. Jadi apa yang pada ribuan tahun yang lalu merupakan lautan, kini dapat saja menjadi daratan dan demikian juga sebaliknya. Penemuan fosil-fosil hewan laut di daerah pegunungan telah membuktikan kebenaran akan hal ini. Pada tahun 1922, Alfred Wagner untuk pertama kalinya mengeluarkan teorinya bahwa daratan-daratan telah terangkat pada posisinya yang sekarang. Pada zaman modern ini para ahli telah menemukan kebenaran teori Alfred Wagner tersebut. Dalam teori ini dikatakan bahwa permukaan bumi terdiri dari lempeng-lempeng yang mengapung di atas cairan magma. Lebih lanjut dikatakan bahwa permukaan bumi terdiri dari lempeng yang membentuk permukaan bumi yaitu: pasifik, Amerika Utara, Amerika Selatan, Eurasia, Afrika, Indo-Australia, dan Antartika. Lempeng-lempeng tersebut kadang-kadang saling bertabrakan, dan pada zona tabrakan tersebut ada lempeng yang menerobos masuk ke lempeng satunya, sedangkan yang satunya lagi terangkat naik. Bagian yang terangkat naik tersebut dapat menjadi pegunungan-pegunungan tinggi; jika dahulu merupakan laut, maka sekarang dapat berubah menjadi daratan. Sebagai contoh adalah Pegunungan Himalaya yang juga terdesak naik ke atas karena tabrakan kedua lempeng tersebut.
Agama Buddha juga mengemukakan hal yang sama mengenai pergerakan daratan dan samudra, yang berpengaruh pada perubahan topografi dan bentuk-bentuk daratan dan lautan. Dalam Buddhavacana-maitreya-bodhisattva-sutra, misalnya, disebutkan perubahan kondisi lautan dan daratan: O, Arya Sariputra! Pada saat Buddha dimasa mendatang dilahirkan di dunia Jambudwipa (nama lain untuk dunia ini), situasi dan kondisi dunia Jambudwipa ini jauh lebih baik daripada sekarang! Air laut agak susut dan daratan bertambah. Diameter permukaan laut dari ke empat lautan masing-masing akan menyusut kira-kira 3 ribu yojana.
Lalu, kalau begitu berapakah usia bumi? Agama Buddha mengajarkan bahwa proses pembentukan Bumi memakan waktu 20 kalpa kecil, dimana satu kalpa kecil sama dengan 139.600.000 tahun. Dengan demikian, menurut agama Buddha, proses pembentukan dunia ini menghabiskan waktu 2.792.000.000 tahun, angka yang hampir sama dengan dugaan ilmuwan bahwa pembentukan bumi memakan waktu miliaran tahun. Ajaran Buddhis berbeda dengan pandangan zaman kuno yang mangatakan bahwa bumi dan alam semesta ini diciptakan hanya beberapa hari saja.
1.4.7. Biologi
Agama Buddha tidak mempercayai konsep penciptaan yang langsung membuat makhluk hidup memiliki ragam bentuk dan aneka sifat seperti keadaan sekarang, tapi melalui sebuah proses perubahan panjang. Bahkan William S. Waldron mengatakan biologi evolusi dan agama Buddha sama-sama sepakat bahwa: Bentuk-bentuk dan struktur-struktur kehidupan manusia merupakan hasil tindakan akumulatif dari para makhluk yang tak terhingga jumlahnya sepanjang banyak generasi yang tak terhitung. Seperti halnya semua spesies, kita juga telah dibentuk dan dikondisikan oleh rangkaian transformasi-transformasi yang luar biasa panjang dan kompleks.
Juga terdapat perbandingan yang menarik antara teori Yogacara dari agama Buddha Mahayana dengan biologi evolusi modern. Menurut teori Yogacara, benih karma disimpan dalam kesadaran kedelapan (alaya). Teori Yogacara mengatakan bahwa bila seseorang bunuh diri, misalnya benih karma itu akan tertanam di dalamnya dan selalu terbawa ke kehidupan berikutnya. Energi kebiasaan yang tersimpan di dalam alaya tersebut menjadi penyebab mengapa ada orang yang cenderung bunuh diri. Dalam bahas modern, perwujudan dari kecondongan tersebut tercermin dalam bentuk pola DNA yang khusus bagi orang yang cenderung bunuh diri. Teori Yogacara cukup berhasil dalam menjelaskan pembentukan sifat kepribadian ditinjau dari dua aspek : (1) sifat dasar sejak lahir (nature) yang dikondisikan oleh benih karma dalam bentuk DNA ; (2) pengasuhan sejak kecil dan dibesarkan dalam lingkungan tertentu (nurture). Menurut William S. Waldron, nurture dan nature tidak boleh dibuat dikotomi, tapi saling mengkondisikan.
Avatamsaka-sutra menyebutkan bahwa ada 84.000 makhluk dalam mangkuk air yang dibawa oleh Buddha. Tentu saja hal itu tidak disadari seseorang hingga abad ke-17 saat Anthoni van Leeuwenhoek menemukan mikroskop.
1.4.8. Matematika
Kitab Agama Buddha membahas tentang konsep ketakterhinggaan, angka nol, dan persamaan pangkat. Apa itu fenomena “tak terhingga”? Cobalah kita gambarkan suatu segi delapan, dan selanjutnya sebuah segi dua belas, segi dua puluh, dan seterusnya. Fenomena apakah yang kemudian kita lihat? Ternyata semakin banyak segi, bentuknya semakin mendekati lingkaran. Jadi suatu lingkaran dapat dikatakan sebagai suatu segi “tak terhingga” (8). Sebagai contoh lain, anda dapat menggambar lingkaran yang radiusnya semakin besar. Apa yang terjadi? Ternyata lengkungan lingkaran tersebut makin mendekati garis lurus jika radiusnya semakin diperbesar. Dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa garis lurus adalah bagian dari suatu lingkaran yang mempunyai radius tak terhingga” panjangnya. Demikianlah konsep mengenai ketakterhinggaan ini menjdi begitu penting, karena membawa kita pada hal-hal serta ide-ide yang tidak pernah kita pahami sebelumnya.
Kalau kita mempelajari sejarah matematika dan ilmu hitung, ternyata konsep mengenai ketakterhinggaan ini harus masuk ke dalam matematika semenjak abad ke-18, yang selanjutnya mendorong timbulnya ilmu hitung limit dan integral. Para ahli filsafat pada zaman kuno nampaknya menunjukkan ‘ketakutan’ atau ‘keengganan’ pada konsep mengenai ‘ketakterhinggaaan’ ini.
Ahli Matematika China yang bernama Cu Zhongzhi (429-500M), telah berhsil menghitung nilai “pi” (…) secara akurat, dengan cara membagi-bagi sebuah lingkaran menjadi segmen-segmen yang semakin banyak untuk membandingkan panjang keliling lingkaran dengan garis tengahnya. Meskipun hal ini memberikan kesan seperti adanya konsep ketakterhinggaan, namun tetap saja Cu masih jauh dari memahami konsep tersebut.
Dalam agama Buddha, konsep ketakterhinggaan tertera dalam Avatamsaka-sutra bab 30, yang berjudul “Tak Dapat Dihitung”, yang mengandung Tanya jawab antara seorang Bodhisattwa bernama Raja Pikiran dengan Buddha. Ia bertanya kepada Buddha mengenai makna ketakterhinggaan, ketakterukuran, ketanpabatasan dan lain sebagainya. Singkat kata, Raja Pikiran bertanya kepada Buddha, “Bhagawa, para Buddha selalu mengatakan tentang angka-angka Yang tak terhitung, tanpa ukur, tanpa batas, tak dapat dibandingkan, tak terkira banyaknya, tak tercakup, tak terbayangkan, tak terukur, tak terkatakan, tak terhingga-apakah ini semuanya?
Sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, Buddha membuat suatu persamaan matematis dengan sistem pangkat, pengalian, dan penambahan pangkat. Buddha berkata, “sepuluh pangkat sepuluh dikalikan sepuluh pangkat sepuluh sama dengan sepuluh pangkat dua puluh;…” Untuk memudahkan pembaca mengikuti alur pemikiran Buddha, marilah kita mengikuti penjabaran matematika Buddha dengan angka. Buddha mengatakan :
”1010 X 1010=1020 ; 1020 X 1020=1040;
1040 X 1040=1080 ; 1080 X 1080=10160;
10160 X 10160 = 10320; 10320 X 10320 = 10640;
: : : : : : : : : : : : :
: : : : : : : : : : : : :
(1050.746.646.305.159.326.377.662.819.205.120)2
10101.493.292.610.318.652.755.325.638.410.240 = A
Menurut Buddha, dari hasil angka A, bisa didefinisikan konsep-konsep tak terhingga lainnya, seperti :
A2 = B = tak terhitung ;
B4 = C = tanpa ukur ;
C4 = D = tanpa batas ;
D4 = E = tak dapat dibandingkan ;
E4 = F = tak terkira banyaknya ;
F4 = G = tak tercakup ;
G4 = H = tak terbayangkan ;
H4 = I = tak terukur ;
I4 = J = tak terkatakan ;
J4 = K = tak terhingga ;
K X K X = L = tak terhingga pangkat dua.
Lalu apakah makna yang bisa dipetik dari semua angka-angka dan latihan yang diperlihatkan oleh Buddha kepada Bodhisattwa Raja Pikiran ? makna-makna yang bisa ditarik adalah sebagai berikut :
(a) Buddha telah menggabungkan progresi arimatik dengan progresi geometric ;
(b) Buddha telah memperlihatkan persamaan aljabar, yaitu dengan rumus 10a x 10b =10(a+b) ;
(c) Angka-angka yang diperlihatkan oleh Buddha merupakan angka deret hitung yang tertua di dunia ;
(d) Angka terbesar adalah angka L, merupakan ekspresi angka tak terhingga yang tidak bisa dibayangkan oleh orang-orang dahulu maupun zaman sekarang. Cobalah anda hitung sendiri angka nol untuk angka computer. Super komputer zaman sekarang tidak bisa mengakomodasi angka L. Ini menunjukkan betapa hebatnya pemikiran Buddha terhadap angka-angka;
(e) Buddha mengetahui bahwa cara tercepat untuk mendapatkan angka besar adalah dengan menggabungkan perkalian dengan perpangkatan. Bagi orang di zaman sekarang pengetahuan ini sangat biasa, namun pengetahuan tersebut merupakan hal yang yang luar biasa di masa ribuan tahun lalu;
(f) Yang sangat mengagumkan adalah bahwa Buddha telah mengenal konsep angka nol (0). Buddha sengaja memulai deret hitung tersebut dengan angka dasar 10. Buddha mengetahui bahwa angka 10 dipangkat berapa pun akan menghasilkan angka yang jumlah nolnya tergantung pada besar pangkatnya. Buddha mengetahui bahwa angka nol (0) bukan berarti tidak ada nilai, melainkan angka nol bisa menyebabkan munculnya angka besar bila digabungkan dengan angka bukan nol dan posisinya bukan di depan. Buddha telah mengetahui konsep angka nol jauh sebelum perkembangan peradaban di dunia barat mengenal konsep angka nol dibidang matematika pada abad ke-16. Hal ini benar-benar luar biasa, karena berarti Buddha adalah orang yang pertama menggunakan angka nol untuk memperlihatkan angka-angka yang besar.
Buddha mengajarkan kepada umat manusia: “Tidak ada apa-apa (ah-nate-sa).” Pernyataan ini digambarkan oleh Buddha dengan jari telunjuk dan jempol yang membuat sebuah lingkaran. Sungguh suatu kemiripan dengan lambang bilangan nol.
Menurut Avatamsaka-sutra, konsep ketakterhinggaan bisa dirumuskan dengan angka besar yang diturunkan dari perpangkatan dan perkalian. Ekspresi lain dari ketakhinggaan dapat dijumpai dalam ungkapan yang sering dijumpai pada sutra-sutra Buddhis, seperti : “Bagaikan butiran pasir di Sungai Gangga…..” Jumlah dari pasir-pasir tersebut mewakili sesuatu yang tak terhingga.
Konsep mengenai ketakterhinggaan ini juga membawa pangaruh yang besar pada bidang kosmologi. Para ahli filsafat dan keagamaan pada zaman dahulu tidak dapat membayangkan ruang angkasa yang tak terhingga luasnya. Mereka membayangkan langit yang dihuni para dewa-dewa serta alam bawah yang merupakan neraka. Pandangan semacam itu merupakan suatu hal yang umum pada zaman kuno. Sedangkan dalam agama Buddha, kita membaca dari kitab Sutra Intan bahwa ruang angkasa adalah tak terbatas, [Buddha bertanya kepada Subhuti:] ‘subhuti, apakah ruang angkasa di sebelah selatan, barat, utara, atau ruang di antara di atas dan di bawah dapat diukur?’
[Subhuti menjawab :] ‘Tidak dapat, Bhagawa.’
Pada zaman modern, konsep ketakterhinggaan mendorong timbulnya ilmu hitung limit dan integral. Tanpa ilmu hitung integral, sulit bagi kita untuk menghitung misalnya kekuatan konstruksi bangunan, sehingga mustahil pada saat sekarang kita bisa melihat gedung-gedung pencakar langit. Juga tanpa ilmu hitung integral, mustahil pada saat sekarang kita dapat meluncurkan manusia ke bulan.
Ketakterhinggaan dapat pula berarti perjalanan ke dalam diri kita sendiri atau melambangkan kesunyataan itu sendiri. Berusaha menyelami kesunyataan atau ke-realitaan dari segala sesuatu (Tathata) adalah sama dengan menapaki jalan menuju Nirwana.
1.4.9 Fisika
Salah satu Hukum dasar fisika adalah kesetaraan massa dan energi. Hukum ini menyatakan bahwa massa bisa ditransformasikan menjadi energi dan dari energi menjadi massa berdasarkan rumus terkenal Albert Einstein, yaitu E = mc2. dikotomi massa dan energi adalah suatu kekeliruan. Selanjutnya teori-teori medan dari fisika modern memaksa kita untuk mengabaikan pembedaan klasik antara partikel material dan kekosongan. Walter thirring mengatakan: Medan selalu ada dimana-mana; medan tak bisa dihilangkan. Medan membawa seluruh fenomena material. Medan adalah ‘kekosongan” yang darinya pohon menghasilkan pion. Mewujud dan musnahnya partikel-partikel hanyalah bentuk-bentuk gerak dari medan itu.
Fritjof Capra mengatakan: Vakum jauh berbeda dari sekadat kosong. Sebaliknya, vakum berisi tak terhingga banyaknya partikel yang tercipta dan musnah tanpa henti…Seperti kekosongan Timu, “vakum fisis” – sebagaimana biasa disebut dalam teori medan-bukanlah ketiadaan belaka, namun mengandung potensialitas untuk seluruh bentuk dari dunia partikel. Bentuk-bentuk ini bukanlah entitas fisis independent, namun hanyalah manifestasi sementara dari Kekosongan yang melandasinya.
Prinsip serupa tertera dalam kitab Sutra Hati,
Wujud tidak berbeda dari kekosongan dan kekosongan tidak berbeda dari wujud. Wujud adalah kekosongan dan kekosongan adalah wujud.
Dalam hukum termodinamika pertama berlaku kekekalan energi dimana energi tidak dapat diciptakan pun tak dapat dimusnahkan. Dengan adanya implikasi dari rumus Einstein yakni E = mc2, maka hukum kekekalan massa dan hukum kekekalan energi digabung menjadi hukum kekekalan massa-energi. Hala yang serupa dikatakan dalam Avatamsaka-sutra bab 14, ‘segala sesuatu tidak dilahirkan/diciptakan, segala sesuatu tidak dapat dimusnahkan’.
Hukum aksi dan reaksi dalam ilmu fisika klasik dipahami dengan istilah lain dalam agama Buddha, yakni hukum sebab Akibat. SN.1.293 menyatakan,
Sebagaimana benih yang ditabur, itulah buah yang akan dituai; pembuat kebajikan akan menuai kebajikan, pembuat kejahatan akan menuai kejahatan.
Menurut agama Buddha, fenomena tidak lahir secara spontan, melainkan melalui proses penyatuan dan penggabungan aneka sebab-musabab dan kondisi-kondisi tertentu. Tidak mungkin bisa muncul buah tanpa benih dan kondisi-kondisi yang ideal.
Dalam Avatamsaka-sutra bab 37 tercatat: Sebagaimana dengan miliaran planet, alam semesta tidaklah terbentuk hanya karena satu kondisi saja, tidak oleh [hanya] satu fenomena saja –alam semesta hanya dapat terbentuk oleh aneka sebab-musabab dan kondisi-kondisi yang tak terhitung.
Agama Buddha menyatakan bahwa segala fenomena mengalami transformasi. Oleh karena energi dan wujud tidak dualis, maka bisa terjadi transformasi wujud dan sebaliknya. Dengan kata lain, yang ada tidak bisa menjadi tidak ada; yang tidak ada tak bisa menjadi ada. Bila yang tidak ada bisa mendadak menjadi ada, maka ini merupakan prinsip spontanitas. Menurut agama Buddha, seandainya doktrin spontanitas diyakini betul adanya, maka dunia dapat menjadi kacau balau tanpa adanya hukum-hukum alam yang baku, seperti sekuntum bunga bisa mendadak muncul di tengah udara tanpa sebab. Oleh sebab itulah dalam agama Buddha istilah “penciptaan” (bentuk lain dari dari spontanitas) diganti dengan istilah “transformasi” atau juga disebut dengan “kelahiran yang bersifat ilusi”.
Dalam teori relativitas yang dirintis oleh Albert Einstein, ruang dan waktu kehilangan karakteristik absolutnya sebagaimana yang diajarkan dalam mekanika Newton. Einstein menunjukkan bahwa ruang dan waktu bisa didefinisikan hanya dalam kerangka relatif tergantung pada gerakan pengamat dan intensitas medan gravitasi di sekelilingnya. Di sekitar sebuah “lubang hitam”, satu detik bisa mengulur menjadi keabadian. Dimensi waktu dapat berjalan melambat atau bertambah cepat tergantung dari kecepatan sang pengamat serta kekuatan gravitasi. Berdasarkan teori tersebut, dimensi waktu kehilangan sifat universalnya. Apa yang bagi seorang pengamat merupakan “satu jam”, dapat dirasakan sebagai “satu tahun” menurut pengamat lainnya. Menurut Einstein, dimensi waktu tidak lagi tak terpisah dari alam sekitarnya, melainkan tergantung pada kecepatan gerak sang pengamat. Makin cepat san pengamat bergerak, makin lambat waktu berjalan. Sebagai contoh kalau seseorang mengendarai pesawat ruang angkasa yang mempunyai kecepatan 87 % kecepatan cahaya, maka waktu akan melambat menjadi setengahnya. Artinya pertambahan umur seseorang telah melakukan perjalanan tersebut akan menjadi setengah kali lebih lambat dibandingkan dengan orang-orang yang ada di Bumi. Dengan demikian, orang-orang yang ada di bumi akan menjadi lebih cepat tua dibanding orang-orang yang melakukan perjalanan tersebut.
Agama Buddha juga tidak menerima konsep adanya waktu yang bersifat universal dan absolut. Menurutnya, dimensi waktu masih merupakan bagian dari kebenaran relatif fenomena dunia (sammutisacca). Dengan kata lain, dimensi waktu hanya bisa mempunyai makna di dalam alam relatif karena ia merupakan suatu proyeksi mental dari kesadaran pikiran yang bersifat diskriminatif; dimensi waktu adalah suatu ilusi yang diciptakan oleh pikiran. Dalam kitab Atthasalini dari Abhidhamma-pitaka dinyatakan: “Dengan dimensi waktu, orang suci melukiskan pikiran, dan dengan pikiran melukiskan waktu”.
Bertrand Russel, dalam bukunya yang berjudul Our Knowledge of the External World, mengatakan: “…kita tidak bisa memberikan apa yang disebut dengan tanggal-tanggal yang absolute, tetapi hanya untuk peristiwa tertentu yang terjadi pada waktu itu.” Kitab Buddhis berjudul Atthasalini 58, mengatakan: Waktu yang bersifat kronologis, yang ditunjukkan melaui referensi terhadap ini atau itu, semata-mata merupakan suatu ekspresi yang konvensional…Oleh karena ia tak mempunyai eksistensi dengan sendirinya, kita harus memahaminya sebagai sebuah konsep belaka.
Agama Buddha sendiri mendefinisikan waktu sebagai “sebuah pengukuran terhadap perubahan”. Kita dapat mengukur perubahan, baik perubahan fisik yang terlihat maupun perubahan yang diproyeksikan oleh mental kita. Terdapat aneka metode dalam mengukur perubahan dimana waktu hanyalah salah satu metode pengukuran perubahan yang timbul dari pikiran kita yang dualis. “Waktu” tidak boleh dikatakan sebagai tidak eksis meskipun ia merupakan suatu proyeksi mental, oleh karena ia dapat mempengaruhi kita dengan cara yang berbeda. Misalnya, saat kita sedang bersenang –senang, ‘waktu” terasa berlalu begitu cepat. Tetapi ketika saat kita sedang gelisah menunggu sesuatu atau sedang mengalami siksaan batin, waktu sehari terasa sangat panjang. Dimensi waktu dipersepsikan dan di alami secara subjektif.
Subjektivitas persepsi tercermin dalam perbedaan para makhluk melihat dimensi waktu. Sebagai contoh, agama Buddha membagi alam kehidupan ini menjadi 31 kategori. Pada alam surga pertama misalnya, yaitu Alam Surga Caturmaharajika, satu hari sama dengan 50 tahun manusia, dimana dewa di sana hidup selama 500 tahun surga tersebut. Pada alam surga kedua yang disebut Tiga-Puluh –Tiga dewa (Tavatimsa), satu hari sama dengan 100 tahun manusia dimana mereka hidup selama 1.000 tahun surga tersebut. Pada alam surga Yama, satu hari sama dengan 200 tahun manusia dimana mereka hidup selama 2.000 tahun surganya; di surga ke-6 , satu hari sama dengan 1.600 tahun manusia di mana mereka hidup sampai 16.000 tahun surga yang bersangkutan. Sementara itu di Surga brahma, kehidupan mereka jauh lebih lama lagi karena dimensi waktu yang memanjang secara geometric. Ini adalah penjabaran relativitas waktu dalam konsep Buddhis.
Menurut agama Buddha, dimensi waktu adalah ilusi yang tingkat keilusiannya tergantung pada proyeksi mental dan tingkat kesucian pikiran seseorang. Oleh karenanya, orang-orang suci dapat mengubah atau melepaskan diri dari kungkungan dimensi waktu, seperti yang dikatakan dalam Vimalakirti-nirdesa-sutra bab 6
…Boddhisatwa ini akan memperpanjang satu minggu menjadi satu kalpa…; Bodhisattwa ini akan memperpendek satu kalpa menjadi satu minggu…
Seperti halnya dalam agama Buddha, relativitas waktu mengajarkan bahwa ide tentang masa lalu dan masa depan hanyalah merupakan sebuah ilusi, dengan memperhatikan bahwa apa yang bagi kita merupakan masa depan mungkin saja merupakan masa lalu bagi orang kedua dan masa sekarang bagi orang ketiga-semuanya tergantung pada gerakan-gerakan relatif, “masa-masa” tidak berlalu melainkan tetap berada pada kedudukannya masing-masing.
Revolusi teori fisika selanjutnya setelah teori relativitas adalah teori kuantum, yang fondasinya diletakkan oleh Max planck (1858-1947) dan Ernest Ruherford (1871-1937), yang selanjutnya dikembangkan oleh Neihl Bohr (1885-1962) dengan penemuan model atom barunya. Kemudian fisikawan perancis Louis de broglie menemukan persamaan yang mengaitkan ciri gelombang dengan ciri partikel untuk sembarang benda kuantum ; artinya electron berpenampilan rangkap sebagai gelombang dan partikel sekaligus, Erwin Schrodinger (1887-1961) mengembangkan teori kuantum lebih lanjut dengan konsep gelombang berdiri dan menemukan rumus persamaan gelombang untuk meramalkan posisi electron dalam atom. Pada waktu hampir bersamaan Werner von Heisenberg (!901-1976) merumuskan metode untuk menebak posisi electron berdasarkan matriks. Rumusannya dikenal kemudian dengan istilah prinsip ketidakpastian Heisenberg. Dengan prinsip ini, sudah tidak mungkin lagi memastikan kedudukan maupun kecepatan partikel dengan ketelitian sempurna. Singkat kata, semakin banyak kita tahu dengan posisi electron, semakin tidak pasti dengan kecepatannya. Ciri utama dari rumusan Schrodinger maupun Heisenberg adalah bahwa segala hal adalah probabilitas karena tidak bisa diketahui secara pasti.
Salah satu konsep dari fisika kuantum adalah fenomena interpendensi dan interkoneksi, di mana seluruh fenomena pada dasarnya saling berkaitan; tidak ada satupun fenomena yang benar-benar dapat berdiri sendiri secara otonom dan memiliki substansi dasar. Menurut Bohr dan Heisenberg, tidak bisa lagi kita membicarajan tentang atom dan electron sebagai entitas nyata dengan atribut yang lengkap pendefisiannya, seperti halnya kecepatan dan posisi. Kita harus mempertimbangkan atom dan electron sebagai bagian dari sebuah dunia yang terdiri dari potensialitas dan bukan dari objek-objek.
Sebagai contoh, massa dan cahaya mempunyai keterkaitan yang erat. Mereka bisa saling bertukar atribut terganting pada pengamat dan yang diamati (obyek). Sifat demikian tidak lagi unik, tetapi dualis dan komplementer. Suatu fenomena yang kita sebut ‘partikel” menjadi sebuah gelombang ketika kita tidak sedang mengamatinya. Tetapi begitu kita melakukan pengukuran atau observasi, ia mulai nampak seperti sebuah partikel lagi. Realitas intrinsik sebuah partikel ataupun realitas yang dimiliki sebelum di amati, akan menjadi tak berarti karena kita tidak akan pernah dapat memahaminya. Hanya ketika sebuah pengukuran dilakukan baru sebuah fenomena kuantum menjadi “eksis”, suatu penemuan yang menantang asumsi bahwa dunia objektif semata-mata menunggu untuk ditemukan.
Konsep interpendensi atau hubungan saling ketergantungan antar fenomena di dunia ini menempati posisi yang sangat penting dalam agama Buddha. Konsep mengenai saling ketergantungan ini mirip dengan konsep ketidakterpisahan dalam fisika kuantum. Kedua konsep tersebut membawa kita pada pertanyaan yang mendasar tetapi sederhana: “Dapatkah sesuatu atau fenomena terjadi tanpa ketergantungan satu dengan yang lainnya?” Padanan kata untuk interpendensi dalam bahasa Sanskerta adalah paticcasamupadda, yang dapat dijelaskan dalam dua cara di bawah ini:
(a) hal ini terjadi karena hal itu, yang artinya bahwa sesuatu benar-benar terjadi, namun tidak mungkin terjadi dengan sendirinya; dengan demikian, doktrin spontanitas dipatahkan.
(b) Ini, setelah terjadi, menghasilkan itu, yang artinya bahwa tidak ada sesuatupun yang dapat menjadi musabab (kausa) bagi dirinya sendiri. Doktrin ini mematahkan konsep kausa prima (prime cause)
Kedua prinsip tersebut dijelaskan secara sistematis dalam Sagaramati-pariprccha-sutra dengan sebuah sajak sebagai berikut :
Para bijak telah memahami hubungan sebab musabab yang saling bergantungan
Mereka tidaklah bertumpu pada pandangan ekstrem
Mereka mengetahui bahwa segala sesuatu mempunyai musabab dan kondisi
Dan tidak sesuatu pun yang tanpa musabab ataupun kondisi.
Dengan kata lain, segala fenomena saling berkaitan dan bergantungan satu sama lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, segala fenomena di dunia ini pasti memiliki hubungan dengan yang lainnya; tidak ada fenomena yang timbul secara terpisah dari fenomena-fenomena lainnya.
Tidak berbeda dengan agama Buddha, sains modern juga telah menemukan bahwa suatu realita tidak terpisahkan satu sama lain; mereka saling bergantungan, baik pada tingkat subatomic (mikrokosmos) maupun makrokosmos. Hal ini didapatkan dari suatu percobaan pada tahun 1935 yang dilakukan oleh Einstein beserta dua rekannya dari Universitas Princeton, yaitu Boris Podolsky dan Nathan Rosen, dimana percobaan ini kemudian dinamakan EPR yang diambil dari nama belakang ketiganya.
Pada dasarnya, eksperimen tersebut menemukan bahwa cahaya (dan juga materi) mempunyai sifat ganda. Partikel-partikel yang kita sebut “foton” ataupun “electron”, serta partikel-partikel lainnya mempunyai sifat bagaikan dua sisi mata uang logam (pada buku The Quantum and The Lotus hlm. 65, disebut bagaikan Dewa Janus, yaitu nama salah satu dewa Romawi yang mempunyai dua wajah, satu menatap kedepan dan satunya lagi menatap ke belakang). Kadang-kadang mereka dapat bersifat seperti partikel dan kadang-kadang seperti gelombang. Seperti kedua sisi mata uang logam yang saling tergantung satu sama lain, demikian pula sifat-sifat tersebut. Tidak ada satu pun sisi yang dapat berdiri sendiri.
Sifat sebagai partikel atau gelombang tergantung dari sudut pandang sang pengamat. Jika kita berusaha untuk mengamatinya sebagai partikel, maka sebuah partikel akan muncul. Namun apabila kita tidak mencoba mengamatinya sebagai partikel, maka kondisinya akan tetap sebagai gelombang.
Ternyata hal tersebut tidak hanya terjadi pada tingkat subatomik saja, melainkan juga terjadi pada tingkatan makro. Sebagai contoh, pada tahun 1851, Leon Foucault mencoba membuktikan bahwa bumi berputar pada porosnya. Ia melakukan sebuah eksperimen dengan mengantungkan sebuah bandul pada Gedung Pantheon di Paris serta membiarkannya berayun kesana kemari. Pada mulanya pendulum berayun pada arah utara-selatan, namun kemudian keanehan segera terjadi dimana setelah beberapa waktu ayunan pendulum tersebut secara bertahap mulai merubah arahnya dan berayun pada sumbu timur-barat. Foucault menjelaskan bahwa hal tersebut disebabkan karena bumi berputar pada porosnya. Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa sesungguhnya pendulum tersebut tidak sedikitpun merubah ayunannya, melainkan perputaran bumilah yang menyebabkan ia seolah-olah merubah arah ayunnya. Dengan demikian, Foucault telah berhasil membuktikan bahwa bumi berputar pada porosnya.
Namun sayangnya eksperimen tersebut masih kurang lengkap. Sesungguhnya suatu gerakan hanya dapat didefinisikan kalau kita mempunyai suatu titik referensi yang dianggap diam tak bergerak. Oleh karenanya, suatu gerak absolute sesungguhnya tidak pernah ada; yang ada adalah gerak relatif terhadap yang lainnya.
Sebagai contoh, waktu kita sedang mengendarai mobil dan melewati sebuah tiang listrik, maka kalau kita menganggap tiang listrik tersebut sebagai titik referensi yang diam, kita dapat mengatakan kita sedang “bergerak” menjauhi tiang listrik. Sebaliknya kalau kita menganggap diri kita sendiri sebagai titik referensi yang diam, maka kita dapat mengatakan bahwa tiang listriklak yang sedang bergerak menjauhi kita. Kedua hal tersebut akan sama sahihnyadi dalam sains. Dari sini kita dapat melihat bahwa fenomena-fenomena fisik adalah bergantung dari sang pengamatnya, yang merupakan salah satu pembuktian dari prinsip interdependensisegala sesuatu.
Pada tahun 1982, sebuah tim peneliti yang dilakukan oleh fisikawan Alain Aspect, Jean Dalibard, dan Gerard Roger dari Institute of Optics di University of Paris, melakukan suatu eksperimen dan menemukan bahwa dalam lingkungan tertentu, partikel-partikel subatomik seperti foton, mampu berkomunikasi satu sama lain dengan seketika tanpa tergantung pada jarak yang memisahkan mereka. Tidak ada bedanya apakah mereka terpisah 10 kaki atau 10 milyar km. Entah bagaimana tampaknya setiap partikel selalu tahu apa yang dilakukan oleh partikel lain.
Ada dua opsi jawaban dari hasil eksperimen tersebut. Yang pertama penemuan itu melanggar prinsip Einstein yang membatasi komunikasi tidak lebih daripada kecepatan cahaya. Atau kemungkinan kedua adalah bahwa kaitan antara kedua foton bersifat non-lokal. Fisika modern cenderung memilih opsi kedua, yaitu kedua foton bersifat non-lokal, tanpa harus melanggar prinsip Einstein. Non-lokal maksudnya kelihatan terpisah, tapi secara fundamental terkoneksi satu sama lain. Pakar fisika teoritis dari University of London, David Bohm, yang merupakan seorang anak didik Albert Einstein dan salah satu fisikawan yang paling dihormati di dunia, yakin bahwa temuan Aspect menyiratkan bahwa realitas objektif itu tidak ada; bahwa sekalipun tampaknya pejal (padat), alam semesta ini pada dasarnya merupakan khayalan, maya, suatu hologram raksasa yang terperinci secara sempurna. Apa itu hologram? Hologram adalah sebuah gambaran 3-D yang diproyeksikan ke angkasa dengan bantuan laser. Pembahasan yang lebih mendalam tentang alam semesta yang bersifat maya dan seperti hologram itu diperoleh dari buku The Holographic universe karya Michaiel Talbot.
Bohm yakin bahwa alasan mengapa partikel-partikel subatomik mampu berhubungan satu sama lain tanpa terpengaruh oleh jarak yang memisahkan mereka adalah bukan karena mereka mengirimkan isyarat bolak-balik, melainkan oleh karena keterpisahan mereka adalah ilusi. Bohm berkilah bahwa pada suatu tingkat realitas yang lebih dalam, partikel-partikel seperti itu bukanlah entitas-entitas individual, melainkan merupakan perpanjangan dari sesuatu yang esa dan fundamental.
Dalam dunia atomik dan subatomik, eksperimen-eksperimen sejenis EPR dan Alain Aspect telah menunujukan kepada kita bahwa “realitas” adalah “tak terpisahkan”. Dua partikel cahaya yang telah berinteraksi satu sama lainnya, akan berlanjut beraksi sebagai bagian dari suatu realitas. Seberapapun jauh mereka berpisah, mereka selalu berkorelasi secara spontan tanpa adanya pertukaran informasi. Inilah salah satu prinsip lainnya dari interdependensi.
Secara teoritis, implikasi dari penemuan Aspeck membuat kemahatahuan bisa dicapai manusia karena bila kita menembus kedalam pemahaman satu titik, berarti kita bisa menembus ke pemahaman seluruh titik di alam semesta. Namun ironisnya, kemahakuasaan tidak bisa digapai karena melakukan intervensi di satu titik berarti mengganggu titik-titik lainnya di semesta. Ini menguatkan doktrin agama Buddha yang mengatakan bahwa setiap makhluk bisa mencapai kebuddhaan yang bersifat mahatahu, tetapi tidak ada makhluk mahakuasa yang bisa melakukan intervensi setiap saat tanpa mengganggu keseimbangan sistem interaksi energi karma.
Interdependensi dari segala fenomena bermakna bahwa tidak ada satu pun yang eksis secara inheren atau merupakan kausanya sendiri. Konsep ini mengajarkan kepad kita bahwa segala fenomena tidak bisa didefinisikan dalam paradigma absolut, tetapi hanya dalam hal keterkaitannya dengan sesuatu yang lain. Setiap fenomena tidak bisa berdiri sendiri.
Gagasan interdependensi ini menuntut kita langsung ke ide kekosongan yang bukan berarti “tiada apa pun”, melainkan ketiadaan eksistensi yang inhren. Oleh karena setiap hal adalah saling bergantungan, maka tidak ada sesuatu yang bisa eksis secara inheren. Fisika kuantum memperkuat dugaan itu.
Konsep Buddhis tentang interdependensi adalah identik dengan kekosongan yang pada gilirannya juga akan identik dengan ketidakkekalan. Dunia adalah bagaikan sebuah aliran besar kejadian-kejadian dan arus-arus dinamis yang semuanya saling berkaitan dan selalu berinteraksi. Konsep perubahan terus-menerus ini sesuai dengan kosmologi modern. Pandangan mengenai surga yang tak berubah atau kekal dari Aristoteles dan alam semesta yang statik dari Newton sudah tidak berlaku lagi. Setiap benda adalah bergerak, berubah dan tidak kekal, termasuk galaksi-galaksi, bintang-bintang dan manusia.
Dalam prinsip interdependensi dan interkoneksi, meskipun segala fenomena saling berhubungan, masing-masing fenomena tetap mempertahankan karakteristiknya masing-masing dan tidak bercampur baur dengan yang lainnya – mereka tidak saling meniadakan atau menghalangi fenomena lainnya. Implikasinya adalah, suatu kejadian di satu titik mempunyai pengaruh terhadap kejadian di suatu titik yang terletak di “ujung” dunia semesta, namun masing-masing titik tersebut masih mempunyai corak dan kekhasan tersendiri. Avatamsaka-sutra secara gamblang dan eksplisit mengatakan,
Dalam cara yang sama, setiap objek di dunia tidak semata-mata berdiri sendiri, tetapi melibatkan setiap objek lainnya dan, sesungguhnya, adalah segala sesuatu lainnya
Makna dari kutipan di atas adalah bahwa didalam suatu fenomena terkandung segala fenomena lainnya. Konsep terakhir ini disebut dengan prinsip interpenetrasi segala fenomena, termasuk di dalamnya interpenetrasi dimensi waktu dan ruang. Ini adalah fenomena yang paling sulit dicerna.
Sebagai contoh, misalnya saja kita melihat sepotong kemeja, lantas dapatkah kita melihat awan di dalam sepotong kemeja? Tentu banyak orang yang merasa bingung apabila ditanya masalah ini. Namun kalau kita merenungkan dari mana datangnya kemeja ini, kita akan mendapatkan jawabannya. Kemeja berasal dari pohon kapas yang mendapat sinar matahari dan hujan. Hujan itu sendiri dating dari awan. Setelah kapas yang sudah tumbuh diambil dan ditenun menjadi benang, kemudian benang dirajut menjadi kain, dan selanjutnya menjadi kemeja. Maka jelas kita dapat melihat sinar matahari dan awan serta hujan didalamnya. Ini adalah interpenetrasi fenomena. Di dalam sebuah fenomena terkandung fenomena lainnya yang berkaitan.
Prinsip interpenetrasi segala fenomena bisa ditemukan di beberapa sutra Buddhis, seperti Avatamsaka, Surangama, dan Vimalakirti-nirdesa. Prinsip interkoneksi dan interpenetasi digambarkan secara menarik di Avatamsaka-sutra dengan sesuatu penggambaran yang dinamakan Jala Indra. Jala Indra adalah suatu jarring-jaring yang terdiri dari banyak permata dimana masing-masing permata memantulkan permata lainnya. Hal yang sama tertuang dalam Avatamsaka-sutra bab 39, yang mengisahkan tentang sebuah menara yang dilihat oleh Sudhana, seorang peziarah spiritual dalam naskah tersebut. Salah satu bagian di bab tersebut berbunyi sebagai berikut,
Ia melihat menara tersebut benar-benar luas dan lebar, seluas seluruh alam semesta, dihiasi dengan anekah perhiasan yang tak terhitung… Juga di dalam menara besar tersebut ia melihat barisan ratusan ribu menara yang serupa [dengannya], ia melihat menara tersebut sebagai tak terbatas luasnya bagaikan angkasa, berderet-deret pada seluruh penjuru, menara-menara ini tidak bercampur dengan yang lainnya, benar-benar berbeda satu dengan yang lainnya. Sementara keberadaan mereka saling tercermin pada masing-masing [menara] yang lainnya dan segala objek seluruh menara yang lainnya.
Prinsip interpenetrasi dimensi waktu tertuang dalam Avatamsaka-sutra dengan adanya tiga periode masa (dulu, sekarang, dan mendatang) yang dapat dikembangkan menjadi sepuluh waktu. Mereka terdiri dari:
(c) Tiga waktu dari masa lalu yakni:
a) waktu lalu dari masa lalu;
b) waktu sekarang dari masa lalu;
c) waktu mendatang dari masa lalu.
(d) Tiga waktu dari masa sekarang yakni:
a) waktu lalu dari masa sekarang;
b) waktu sekarang dari masa sekarang;
c) waktu mendatang dari masa sekarang.
(e) Tiga waktu dari masa depan yakni:
a) waktu lalu dari masa depan;
b) waktu sekarang dari masa depan;
c) waktu mendatang dari masa depan.
(f) Satu jenis waktu yang mengandung semua kesembilan waktu yang disebutkan diatas.
Menurut agama Buddha, kesepuluh waktu yang tertera dalam Avatamsaka itu pada hakikatnya juga merupakan ilusi dan kembali ke “tanpa masa”. Dimensi waktu “tanpa masa” mengandung sembilan dimensi waktu karena pada dasarnya dimensi waktu bersifat holistik, tidak dapat dipisahkan antara masa lalu, masa sekarang, dengan masa mendatang.
Para fisikawan kuantum juga berpandangan bahwa dimensi waktu memiliki hakikat yang tak dapat dibagi-bagi karena eksistensinya tidak hanya hadir pada saat sekarang saja. Menurut mereka, adalah mustahil untuk menandai awal, sedang berlangsungnya, atau akhir dari suatu periode. Jika kita membagi suatu periode menjadi bagian awal, tengah, dan akhir, maka akan menjadi jelas bahwa sesuatu yang merupakan “keseluruhan” tidak terdapat pada salah satu dari ketiga bagian ini. Menurut fisika modern, tidak bisa eksis suatu periode atau kurun waktu yang hadir terpisah dari bagian permulaan, tengah, maupun akhirnya. Oleh karenanya, “suatu periode atau kurun waktu” murni merupakan istilah konvensional. Dimensi waktu, sebagaimana juga dimensi ruang, hadir hanya di dalam kaitannya dengan pengalaman kita. “Dimensi” adalah suatu konsep yang berhubungan dengan perubahan-perubahan yang dapat diamati oleh indra. Jadi jelas sekali bahwa tidak dapat dikatakan eksis di bagian awal, tengah, maupun akhirnya.
Lalu bagaimana dengan interpenetrasi dimensi ruang? Konsep interpenetrasi dimensi ruang disebutkan dalam beberapa kitab Buddhis, seperti dalam Vimalakirti-nirdesa-sutra bab 6 berjudul “Pembebasan yang Tak Terbayangkan”, yang mencatat bahwa dengan kekuatan batin Vimalakirti, sebuah ruangan kecil ditransformasikan menjadi dapat manampung 32.000 kursi singgasana setinggi 84.000 yojana yang didatangkan Vimalakirti dari dunia Buddha bernama Merudhvaja. Lebih lanjut sutra tersebut mengatakan,
Ruang tersebut mengandung semua 32.000 singgasana namun tidak saling menghalangi satu sama lain dan tidak merintangi apa pun di kota Vaisali,… di mana segala sesuatu tetap tidak berubah seperti semula.
Ini adalah salah satu bentuk dari interpenetrasi dimensi ruang. Prinsip serupa tertuang dalam Avatamsaka-sutra bab 36,
Di dalam setiap atom tunggal, mereka melihat seluruh alam semesta.
Jika para makhluk mendengar hal ini, mereka akan gila karena kebingungan.
Demikian juga dalam Surangama-sutra bab 2 dinyatakan,
Dengan tubuh dan pikiran sempurna dan terang, Anda adalah mandala yang bergeming, di mana ujung sebuah bulu mampu secara meyeluruh mengandung daratan-daratan dari sepuluh penjuru.
Vimalakirti-nirdesa-sutra bab 6 mengatakan:
.…pembebasan yang direalisasikan oleh semua Buddha dan Mahabodhisattwa adalah tak dapat dibayangkan. Bila seorang Bodhisattwa meraih pembebasan tersebut, dia mampu memasukkan Gunung Sumeru yang mahabesar ke dalam sebiji sawi yang tidak bertambah atau berkurang ukurannya… dan para dewa dari Surga Empat Dewa Raja (surga pertama) dan Trayastrimsaha (Tavatimsa, surga kedua) bahkan tidak menyadari mereka dimasukkan empat samudra besar dari Gunung Sumeru ke dalam sebuah pori-pori tanpa menyebabkan ketidaknyamanan pada ikan-ikan,…. Sedangkan samudra tetap dalam keadaan sama dimana para naga, hantu, makhluk halus lainnya dan asura bahkan tidak menyadari bahwa mereka telah dipindahkan dan ditempatkan.
Lebih lanjut sutra tersebut menyatakan:,
… seorang Bodhisattwa agung yang telah maraih pembebasan yang tak terbayangkan mampu mengmbil dan meletakkan di atas telapak tangan kanannya satu milyar dunia kecil seperti seorang pembuat tembikar memegang rodanya, melemparkannya jauh melampaui dunia-dunia sebanyak jumlah pasir di Sungai Gangga, kemudian mengambilnya kembali ke tempat semula sedangkan semua makhluk di dalamnya tidak menyadari mereka telah dilemparkan dan dikembalikan tanpa adanya perubahan pada dunia.
Dalam bab 6 dari Avatamsaka-sutra, bisa ditemukan banyak tempat yang menulis tentang interpenetrasi dimensi ruang, seperti kutipan di bawah ini,
Boddhisattwa mampu melatih perbuatan bajik universal,
Menjelajah tapak jalan sebanyak jumlah partikel atom di kosmos;
Dalam setiap atom tersingkap daratan tak terhingga banyaknya,
Murni dan besar seperti angkasa.
Mereka memanifestasikan kekuatan mistik seluas angkasa raya
Dan pergi ke Boddhimanda di mana bersemayam para Buddha;
Di atas tempat duduk teratai mereka menyingkapkan banyak wujud,
Dalam setiap tubuh terkandung semua daratan-daratan.
Dalam setiap atom dari daratan-daratan di kosmos
Terbentang samudra besar yang terdiri banyak dunia
Awan para Buddh melingkupi seluruhnya,
Memenuhi setiap tempat.
Daratan-daratan yang termanifestasi dalam sebuah atom
Berasal dari kekuatan ajaib dari kekuatan tekad sumpah awal:
Disesuaikan dengn aneka perbedaan dalam kecondongan pikiran
Semua bisa dibuat, di tengah-tengah angkasa.
Dalam semua atom-atom dari semua daratan
Buddha memasuki, setiap dari mereka,
Memunculkan pertujukan ajaib untuk para makhluk:
Demikianlah cara Wairocana.
Dalam setiap atom terdapat banyak samudra dunia-dunia,
Lokasi mereka masing-masing berbeda, semua suci dalam keindahan;
Demikianlah ketakterhinggaan memasuki ke setiap mereka,
Namun masing-masing jelas berbeda, tanpa menghalangi.
Dalam setiap atom terdapat banyak Buddha yang tak terbayangkan
Muncul di setiap tempat sesuai dengan pikiran makhluk,
Sampai di setiap tempat di semua samudra dunia-dunia:
Teknik inidari mereka adalah sama untuk semua.
Hiasan indah yang tak terhingga dari samudra dunia-dunia
Semuanya memasuki sebuah atom;
Demikianlah kekuatan mistik para Buddha
Semuanya lahir dari sifat-dasar tindakan
Dalam setiap atom para Buddha dari senua masa
Muncul, sesuai dengan kecenerungan;
Sementara sifat-dasar esensial mereka tidak dating pun tidak pergi,
Dengan kekuatan tekad sumpah mereka meliputi dunia-dunia.
Kombinasi interpenetrasi dimensi ruang dan dimensi waktu bisa ditemukan dalam dagian sutra yang sama, yakni Avatamsaka-sutra bab 6,
Dalam setitik waktu mereka menyingkap masa lalu, sekarang, dan masa mendatang,
Di mana semua samudra daratan-daratan dibentuk.
Buddha, dengan teknik yang cocok, memasuki mereka semuanya:
Inilah yang Buddha Wairocana telah sucikan.
Kalpa masa lalu, masa mendatang, dan sekarang,
Semua daratan di sepuluh penjuru,
Dan segala hiasan yang di dalamnya,
Semua muncul di setiap daratan.
Hiasan-hiasan dari semua kalpa
Bisa muncul dalam satu kalpa;
Atau hiasan-hiasan dari satu kalpa
Bisa memasuki semua kalpa-kalpa tak terbatas.
Prinsip kuantum telah menjungkirbalikkan apa yang kita sebut dengan realitas. Seperti halnya dalam konsep Buddhis mengenai Samskara atau “kejadian”, mekanika kuantum telah secara radikal menisbihkan konsep kita mengenai sebuah objek dengan membuatanya di bawah “kekuasaan” kejadian (event). Ini adalah prinsip ketidakpastian dalam kuantum. Ketidakpastian kuantum membuat batasan yang ketat mengenai keakuratan kita dalam mengukur realitas. Dengan kata lain, akan selalu terdapat derajat ketidakpastiaan mengenai posisi maupun kecepatan dari sebuah partikel. Massa dan dimensi telah kehilangan substansinya karena realitas lebih ditentukan oleh “kejadian” daripada data parameter semata.
Sumber :
Kajian Tematis Agama Kristen dan Agama Buddha; oleh Djoko Mulyono, Petrus Santoso dan Kristianto Liman, Freepress Publisher, 2008, hal. 670 – 718
http://cakrawala.blogspot.co.id/2011/06/ilmu-pengetahuan-teknologi.html