Hubungan Orang Tua dan Anak Dalam Buddhisme
KEWAJIBAN ORANG TUA TERHADAP ANAK
Adalah kewajiban dari orang tua untuk membuat anaknya menjadi besar dalam kesejahteraan, dalam kenyataannya para orang tua akan melakukannya dengan penuh tanggung jawab dan kerelaan. Meskipun adakalanya terdapat anak atau anak-anak yang tidak menghargai jerih payah orang tuanya dan tidak tahu membalas budi, akan tetapi, orang tua dengan sedikit pengharapan seringkali tetap memperhatikan segala kepentingan anaknya, meskipun anak tersebut telah dewasa, kawin dan pergi dari rumah. Orang tua akan berbahagia apabila anak-anaknya dapat melebihi mereka dalam, segala aspek, atau paling sedikit sama dengan mereka; mereka akan merasa tidak puas apabila kehidupan anak-anaknya lebih rendah dari mereka. Agar dapat mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar orang tua pertama-tama harus memberi contoh tauladan dan memperlihatkan cara hidup yang ideal.
Adalah suatu kekeliruan yang sangat besar apabila orang tua membiarkan anak atau anak-anaknya tidak memiliki keyakinan terhadap Sang Tiratana /Triratna, (Buddha, Dhamma dan Sangha), karena kemungkinan besar anak atau anak-anak tersebut akan memilih keyakinannya lain atau agama lain sebagai pegangan hidupnya. Sebenarnya bukanlah hal yang kebetulan seorang anak terlahir dalam keluarga yang beragama Buddha, itu berarti dalam kehidupan yang lalu anak tersebut pasti sudah beragama Buddha dan ingin meneruskan keyakinannya tersebut dalam kehidupan yang sekarang. Hanya orang tua yang lalai atau karena disebabkan oleh hal-hal tertentu misalnya pendidikan di sekolah yang beragama lain, seorang anak dapat beralih ke agama lain. Memiliki keyakinan terhadap Sang Tiratana (saddha) adalah sangat penting, karena merupakan landasan dari proses beragama Buddha untuk selanjutnya, misalnya mematuhi sila mengembangkan kasih sayang, meningkatkan kemurahan hati dan memperoleh kebijaksanaan. Oleh karena itu setiap orang tua yang beragama Buddha harus senantiasa menanamkan keyakinan terhadap Sang Tiratana pada diri anak atau anak-anaknya, agar tetap beragama Buddha sampai akhir hayatnya. Perlu diingat bahwa anak atau anak-anak yang beragama lain tidak akan melakukan kewajiban yang sangat penting bagi leluhurnya yang sudah meninggal dunia, yaitu melakukan pattidana atau pelimpahan jasa; perbuatan baik yang sangat dinanti-nantikan oleh mereka yang kebetulan terlahir di alam Peta (sengsara).
Sesuai dengan Sigalovada Sutta maka orang tua mempunyai kewajiban terhadap anaknya sebagai berikut :
Mencegah anak berbuat jahat
Menganjurkan anak berbuat baik
Memberikan pendidikan profesional kepada anak
Mencarikan pasangan yang sesuai untuk anak
Menyerahkan harta warisan kepada anak pada saat yang tepat
(Digha Nikaya III, 189)
Mencegah anak berbuat jahat
Mencegah anak berbuat jahat adalah sangat penting, karena akan percuma saja si anak memiliki kecerdasan dan pandai serta kaya apabila selalu berbuat kejahatan dan merugikan orang lain atau masyarakat.
Rumah adalah sekolah yang pertama bagi anak, dan orang tua merupakan guru yang pertama bagi anak. Anak biasanya belajar dari orang tua tentang baik dan buruk, tentang budi pekerti pada umumnya. Adalah tidak bijaksana apabila orang tua membohongi anak, mempermainkan anak, menipu anak, menakut-nakuti anak, apalagi menyiksa anak. Hal tersebut akan memberi bekas yang sangat dalam pada diri anak. Orang tua wajib bertingkah laku yang baik agar anak-anak patuh dan menjadikan orang tuanya sebagai suri tauladan.
Orang tua wajib menanamkan perasaan malu dan takut pada diri si anak. Malu melakukan perbuatan yang salah, takut kepada akibat dari perbuatan yang jahat. Untuk menjauhkan anak dari perbuatan jahat orang tua harus rajin memberi petunjuk atau nasehat, rajin memberi hukuman apabila anaknya berbuat salah, dan yang paling penting adalah memberi contoh tauladan. Laranglah anak-anak melakukan perbuatan tercela, seperti menyiksa atau membunuh binatang, balas dendam, mengambil barang-barang yang tidak diberikan, berbohong dan minum minuman keras. Tetapi sebelum melarang si orang tua harus menunjukkan contoh terlebih dahulu!
Menganjurkan anak berbuat baik
Orang tua adalah guru di rumah, dan guru adalah orang tua di sekolah. Orang tua dan guru sama-sama bertanggung jawab untuk hari depan anak. Menganjurkan anak berbuat baik adalah hal yang sangat bermanfaat bagi diri si anak maupun bagi lingkungannya. Ajarkan agar anak menyayangi mahluk-mahluk lain, ajarkan anak untuk suka memberi, ajarkan anak untuk berteman dengan anak-anak lainnya, ajarkan anak untuk menghibur mereka yang patut dihibur, ajarkan anak untuk membantu orang lain, ajarkan anak untuk menghormati para bhikkhu, ajarkan anak untuk menghormati Buddharupang dan banyak hal lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu disini. Sebelumnya berilah contoh yang benar.
Anak-anak sebaiknya tidak ditinggalkan di bawah asuhan pengasuh (baby-sitter) atau pembantu yang bodoh, seringkali anak lebih dekat kepada pengasuh atau pembantu daripada dengan orang tuanya sendiri.
Sebaiknya anak diberikan dasar-dasar dari Pancasila Buddhis, bangkitkanlah perasaan kasih sayang dalam diri anak, tanamkan kecintaan pada kejujuran dan kebenaran dalam batin anak, ajarkan anak untuk bersikap sopan dan santun kepada orang lain, ajarkan anak untuk mengakui kesalahannya dengan berani dan memperbaiki kesalahan tersebut dengan bijaksana, dan jauhkanlah anak dari rokok dan minuman keras serta zat-zat berbahaya lainnya.
Selalu dijaga agar anak tidak bergaul dengan orang-orang yang jahat, dan pulang ke rumah sebelum malam hari. Anjurkanlah agar anak bergaul dengan orang-orang yang baik dan patut untuk dihormati. Ajarkan anak untuk berbicara sopan dan ramah, bersikap lemah lembut terhadap sesama mahluk.
Jangan lupa untuk memberikan pujian, bila perlu memberikan hadiah apabila anak melakukan perbuatan yang baik.
Memberikan pendidikan profesional kepada anak
Pendidikan yang baik sebenarnya adalah warisan yang paling berharga yang dapat diberikan orang tua kepada anak. Melatih dan mengajarkan anak memiliki kepandaian dan ketrampilan agar mempunyai profesi yang dapat diandalkan, sebagai modal untuk mandiri adalah sangat penting, karena suatu saat ia harus mencari nafkah sendiri.
Setelah anak jauh dari perbuatan jahat dan gemar berbuat baik maka ia harus memiliki kepandaian dan ketrampilan yang setinggi-tingginya sebagai bekal untuk mencari nafkah kalau ia sudah dewasa.
Banyak orang tua yang lebih mementingkan hal yang ketiga ini dari padapada dua hal sebelumnya, itu adalah sikap yang keliru. Karena akan terbentuk seorang manusia yang pandai dan trampil, namun tidak bermoral, hanya mementingkan dirinya sendiri dan tidak berguna bagi orang banyak. lbarat sebuah pedang yang sangat tajam namun tidak ada gagangnya.
Doronglah anak untuk belajar dengan rajin, secara formal disekolah dapat ditambah dengan pendidikan nonformal dalam bentuk kursus-kursus disamping pendidikan informal yang diberikan keluarga di rumah.
Perhatikan dan jangan melalaikan pendidikan agama Buddha untuk anak. Usahakan agar setelah dewasa anak tetap menjadi umat Buddha yang baik. Pendidikan yang mengarah ke profesionalisme harus diiringi dengan pendidikan moral-etik yang sama banyaknya.
Mencarikan pasangan yang sesuai untuk anak
Mencarikan pasangan yang sesuai untuk anak adalah bagi mereka yang ingin berumah tangga. Carilah yang memiliki saddha yang sama, artinya yang sama-sama beragama Buddha dan berlindung kepada Sang Tiratana; carilah yang berperangai baik dan berkelakuan baik, carilah yang murah hati dan tidak kikir namun tidak boros carilah yang memiliki kebijaksanaan yang cukup. Menilai seseorang dari penampilan luar saja tidaklah cukup, perlu observasi lebih lama dan penilaian yang lebih seksama.
Menurut Maha Mangala Jataka, pedoman memilih menantu perempuan agar ia kelak menjadi isteri yang membawa berkah adalah sebagai berikut: ia harus seorang perempuan yang ramah tamah, usia sepadan, setia, baik hati dan subur (dapat melahirkan banyak anak), memiliki keyakinan, memiliki sila serta berasal dari keluarga baik-baik. (Jataka X. No. 453)
Untuk memilih menantu laki-laki perlu dihindarkan laki-laki yang hidung belang, pemabuk, penjudi dan pemboros. (Parabhava Sutta, No. 16, lihat lampiran 2)
Menyerahkan harta warisan kepada anak pada saat yang tepat.
Orang tua yang baik tidak hanya mengasuh dan membesarkan anak-anaknya dalam suasana kasih sayang dan damai, tetapi juga mempersiapkan agar anak-anaknya kelak dapat hidup dalam kesenangan dan kebahagiaan setelah dewasa. Adalah kewajiban bagi orang tua untuk memberikan atau membagikan harta kekayaan kepada anak atau anak-anaknya setelah mereka siap untuk menerimanya, harta kekayaan tersebut akan dapat dipergunakan sebagai modal usaha untuk hidup mandiri dalam masyarakat. Walaupun orang tua telah mengumpulkan harta kekayaannya dengan susah payah, namun dengan suka rela mereka akan mewariskannya kepada anak atau anak-anaknya. Harta kekayaan tersebut akan menjadi harta warisan bagi anak atau anak-anaknya setelah orang tua tersebut meninggal dunia.
Harta warisan diberikan kepada anak apabila sudah tiba waktunya, itu artinya setelah si anak dianggap dapat mengelola atau menggunakannya dengan sebaik-baiknya. Alangkah baiknya apabila semua orang tua meninggalkan harta warisan kepada anaknya, bukan hutang yang menjerat. Ada sebagian orang tua yang baru meninggalkan warisannya setelah mereka meninggal dunia.
Pengertian menyerahkan harta warisan kepada anak pada saat yang tepat adalah menyerahkan harta benda orang tua yang kelak akan menjadi bagian dari warisan, semasa orang tuanya masih hidup pada saat yang tepat, yaitu saat anak atau anak-anaknya sendiri benar-benar siap untuk memanfaatkannya demi hari depannya. Ajaran yang ditentukan sebagai suatu kewajiban bagi orang tua ini adalah merupakan sikap moral yang luhur dan berpandangan sangat jauh ke depan karena akan mencegah terjadinya perselisihan di antara anak-anak sebagai ahliwaris orang tuanya dan mencegah terjadinya pemborosan yang tidak berguna. Ajaran Sang Buddha ini berlaku umum, yaitu untuk setiap orang tanpa membedakan usia, jenis kelamin, golongan atau derajat dan martabatnya dalam kehidupan sehari-hari.
Dari sikap batin ini dapat ditarik kesimpulan bahwa agama Buddha tidak membedakan kedudukan anak yang lahir pertama (anak sulung) dan anak yang lahir selanjutnya atau yang lahir terakhir (anak bungsu), dan juga tidak membedakan apakah anak itu laki-laki atau perempuan, yang sukses dalam pendidikan atau yang tidak beruntung dalam pendidikan, yang berhasil usahanya atau yang kurang sukses usahanya; sehingga di dalam menyerahkan harta kekayaan yang kelak akan menjadi bagian warisan atau terjadinya pembagian harta benda peninggalan setelah warisan terbuka yaitu setelah orang tua meninggal dunia, azas keadilan akan menjadi dasar utama dari pembagian harta kekayaan tersebut.
KEWAJIBAN ANAK TERHADAP ORANG TUA (DAN MERTUA)
Menurut Sang Buddha terdapat empat lapangan yang utama untuk menanam jasa kebajikan, yang pertama adalah para Buddha, yang kedua adalah para Arahat, yang ketiga adalah ibu dan terakhir adalah ayah. (Anguttara Nikaya II, 4)
Para Buddha jarang sekali muncul di alam dunia ini, demikian pula para Arahat. Akan tetapi ibu dan ayah yang baik dan tercinta adalah biasa terdapat dalam setiap rumah tangga. Mereka benar-benar merupakan tanah ladang yang subur untuk menanam kebajikan bagi anak yang berbakti dan tahu balas budi. Sungguh beruntung, bagi anak laki-laki atau anak perempuan yang masih memiliki ibu dan ayahnya yang terkasih, sehingga mereka dapat setiap saat mempersembahkan kasih sayang dan ungkapan terima kasih kepada orangtuanya.
Barang siapa yang memperlakukan dengan buruk,
ibu, ayah dan Sammasambuddha,
Sang Tathagata serta para pengikutnya,
sebenarnya telah menimbun banyak bibit penderitaan,
Karena siapapun yang mengabaikan orang tuanya dalam hidup ini,
Akan dicela oleh para bijaksana,
Dan dalam kelahiran-kelahiran selanjutnya
Ia akan menderita sengsara di alam neraka.
Barang siapa yang telah memperlakukan dengan baik,
Ibu, ayah dan Sammasambuddha,
Sang Tathagata serta para pengikutnya,
sebenarnya telah menimbun banyak bibit kebajikan,
Karena siapapun yang berbuat bajik kepada orang tuanya dalam hidup ini,
Akan dipuji oleh para bijaksana,
dan dalam kelahiran-kelahiran selanjutnya
Ia akan hidup berbahagia di alam-alam surga.
(Anguttara Nikaya II, 4)
Hanyalah orang yang bodoh, jahat, rendah dan tidak tahu membalas budi yang akan memperlakukan ibu dan ayahnya dengan buruk; sedangkan mereka yang bijaksana, bajik, mulia dan tahu balas budi akan memperlakukan ibu dan ayahnya dengan baik.
(Anak bodoh dan Durhaka hanya pandai melihat, mencari kesalahan, membenci kesalahan atau keburukan orang tua saja tapi tidak bisa melihat kebaikan, budi besar, pengorbanan dan susah payah orang tua, dimulai sejak di dalam kandungan, melahirkan, membesarkan, menyekolahkan anak, serta mendidik anak. ANAK DURHAKA bukan saja melupakan budi orang tua, menelantarkan orang tua, bahkan ada anak yang malu dengan kondisi orang tua, bahkan konyolnya ada anak yang menistakan orang tuanya, lebih keji lagi ada anak yang kejam menyakiti bahkan membunuh orang tuanya sendiri. Anak-anak durhaka demikian sekarang sudah gagal jadi orang, sulit jadi orang dan kelak saat matinya pasti masuk neraka avici. Sedangkan anak bajik dan bijak, senantiasa hanya melihat kebaikan dan kemuliaan orang tuanya saja yang telah mengandung, melahirkan, membesarkan, melindungi dan membimbing anak sampai dewasa. Anak bijak sangat memaklumkan dan selalu memaafkan bahwa orang tua awam pasti tidak luput dari kesalahan, kekurangan dan kekhilapan, karena sangat manusiawi sekali orang tua kita punya segala kekurangan atau kekhilapan. Hanya anak bijak dan bajik dapat memahami dan mengerti bahwa orang tua awam tentu masih diliputi kegelapan batin dan masih terjerat oleh proses hukum dan buah karma dari kehidupan masa lampaunya. Sehingga anak bajik dan bijak selalu mengenang budi besar orang tua, membalas budi mereka, berbakti dan merawat orang tua, bila mereka sudah meninggal dunia, anak tersebut berupaya menolong dan menyeberangkan agar terlahir di surga. Perlu disadari, sungguh jerih payah, budi jasa, dan pengorbanan orang tua dalam melahirkan, membesarkan, melindungi dan membimbing anak-anaknya tidak bisa terbayar dan bisa lunas dengan apapun, hanya seorang anak yang mencapai kesucian, baru orang tuanya bisa terselamatkan atau setidak-tidaknya anak harus membimbing dan menuntun orang tuanya untuk belajar dan praktik Buddhadharma.)
(Ada 4 kategori bakti anak terhadap orang tua, yaitu:
1. Bakti kecil: Seorang anak menghormati dan melayani orang tua, memberikan kecukupan segala kebutuhan orang tua, merawat orang tua dalam keadaan sakit, menghibur mereka dalam keadaan duka.
2. Bakti sedang: Seorang anak setelah dapat melaksanakan bakti kecil, anak tersebut hidup lurus berjuang untuk menjadi anak yang berguna, tidak memalukan orang tua bahkan sebaliknya dapat mengangkat harkat dan martabat orang tua. Mencapai posisi tinggi dalam pemerintahan, atau menjadi pakar atau menjadi pahlawan yang disanjunag dan dimulaikan oleh masyarakat, bangsa dan Negara. Sehingga orang tuanya pun dihormati dan disegani masyarakat luas.
3. Bakti Besar: setelah bakti kecil sudah dilakukan, anak tersebut dapat melindungi dan membimbing orang tuanya untuk mempelajari dan mempraktikan agama Buddha, agar kelak orang tuanya dapat dilahirkan di surga, atau anak tersebut karena berkembangnya kesadaran dan kebijaksanaan sehingga memilih dan memsuki kehidupan suci. Apabila anak tersebut mencapai kesucian maka Sembilan leluhur dan tujuh kehidupan lampau anak tersebut yang memiliki banyak orang tuanya semua bisa masuk surga.
4. Bakti Universal: Setelah bakti kecil dapat dilaksanakan, anak tersebut terus melindungi, membimbing dan menolong orang tuanya baik saat hidup maupun saat wafat, bahkan mengembangkan ikrar mulia untuk menolong dan membimbing semua makhluk agar terbebas dari bodoh dan derita. Karena anak tersebut mengetahui bahwa semua makhluk adalah ayah-ibuku di masa lampau dan calon-calon Buddha di masa yang akan datang. Seperti ikrar agung Kstigarbaha Bodhisattva “Neraka belum kosong aku berikrar tidak mau jadi Buddha. Semua makhluk sudah tuntas diselamatkan baru mau mencapai Maha Bodhi”. Bakti universal tidak akan pernah berakhir dan tidak lapuk oleh jaman, waktu dan kondisi. )
Di dalam budaya timur, adalah suatu hal yang wajib bagi seorang anak untuk berbakti kepada orang tuanya, juga kepada mertuanya. Seorang anak masih tetap berhubungan erat dengan kedua orang tuanya meskipun ia telah dewasa, kawin dan mempunyai keturunan. Berbakti kepada orang tua sendiri mungkin tidak ada masalah, akan tetapi banyak menantu yang sulit untuk berbakti kepada mertuanya. Meskipun agama Buddha lahir dalam budaya India lebih dari 2500 tahun yang lalu, akan tetapi apa yang telah diajarkan oleh Sang Buddha kiranya masih relevan untuk disimak dan dilaksanakan oleh umat Buddha.
Di dalam Sigalovada Sutta tertera: “Dengan lima cara seorang memperlakukan orang tuanya
sebagai arah timur :
Dahulu aku telah dipelihara/dibesarkan oleh mereka, sekarang aku akan menyokong mereka
Aku akan melakukan tugas-tugas kewajibanku terhadap mereka
Aku akan menjaga baik-baik garis keturunan dan tradisi keluarga.
Aku akan membuat diriku pantas untuk menerima warisan.
Aku akan mengurus persembahyangan kepada sanak keluargaku yang telah meninggal dunia.”
(Digha Nikaya III, 189)
Ad. 1. Setiap anak pasti mempunyai orang tua, sejak berada didalam kandungan telah menerima kasih sayang dari kedua orang tua. Sungguh beruntung seorang anak yang lahir di tengah-tengah keluarga yang harmonis, memiliki ibu yang penuh kasih sayang, memiliki ayah yang penuh tanggung jawab, memiliki saudara kandung yang rukun dan memiliki sanak keluarga yang penuh simpati. Ibu dan ayah merupakan, orang-orang yang sangat berjasa bagi anak, yang telah melindungi anaknya dari segala mara bahaya pada saat anaknya tidak berdaya, memberi makan, minum dan tempat berteduh kepada anak yang belum dapat mencari nafkahnya sendiri, mengajarkan anak untuk melakukan hal-hal yang baik dan menjauhi hal-hal yang buruk, mendidik dan menyekolahkan anak agar mempunyai kepandaian dan ketrampilan sehingga kelak bisa mandiri dalam mencari nafkah, memberikan hiburan dan dorongan pada saat anak berputus asa, dan lain sebagainya. Orang tua yang telah membesarkan anaknya dengan sebaik-baiknya menurut ukuran mereka, adalah sangat pantas untuk disokong oleh anak-anaknya, sebagai balas jasa; meskipun sebenarnya jasa orang tua itu tidak akan pernah dapat terbalas oleh anak-anaknya.
Ayah dan ibu mertua juga harus dipandang sebagai orang tua sendiri, harus dipandang sebagai dewata keluarga yang layak dihormati. Memang sejak zaman dahulu telah menjadi bahan pembicaraan bahwa mertua dan menantu lebih sering bertengkar daripada rukun, apalagi mertua perempuan dan menantu perempuan. Diharap dalam keluarga Buddhis hal seperti itu tidak terjadi, karena masing-masing pihak berusaha untuk menahan diri, memiliki tenggang rasa dan menaruh simpati, tidak mengembangkan rasa benci dan iri hati kepada pihak lainnya.
Ad. 2. Melakukan tugas-tugas kewajiban terhadap orang tua adalah hal yang sangat penting untuk dilaksanakan oleh anak atau menantu. Setiap anak atau menantu seharusnya mengerti apa yang diharapkan dari mereka dan melaksanakan hal-hal tersebut dengan sebaik-baiknya untuk memuaskan orang tua atau mertuanya.
Adalah kewajiban bagi anak untuk menyenangkan dan membahagiakan orang tua mereka, bila perlu mengorbankan, kesenangan atau kepentingan sendiri demi orang tua.
“Mereka yang patuh pada Dhamma dan merawat orang tuanya yang sedang menderita, Kebaikannya akan diperhatikan oleh para dewa, dan para dewa tersebut akan datang untuk mengobati penyakitnya.
Mereka yang patuh pada Dhamma dan merawat orang tuanya yang sedang menderita, Kebaikannya akan dipuji oleh para dewa di dunia ini, Dalam kelahiran berikut ia akan memperoleh kebahagiaan di surga.” (Temiya Jataka)
Anak dan menantu seharusnya tidak hanya memperhatikan kebutuhan materi dari orang tua atau mertuanya saja, namun wajib memperhatikan kebahagiaan batin mereka. Doronglah agar mereka mengembangkan kemurahan hati, moral etik, kebajikan, kebijaksanaan dan lain sebagainya. Kalau mampu dan keadaan memungkinkan, ajaklah mereka berziarah ke tempat-tempat suci (Buddha Gaya, Taman Isipatana, Taman Lumbini dan Kusinara), dan doronglah agar mereka banyak melakukan perbuatan jasa yang kelak akan menguntungkan bagi mereka sendiri dalam kehidupan selanjutnya.
Ad. 3. Menjaga baik-baik garis keturunan dan tradisi keluarga merupakan kewajiban seorang anak untuk melakukannya. Kalau bukan anak yang memelihara garis keturunan (silsilah) dan tradisi keluarga, lalu siapa lagi? Tradisi keluarga yang baik, tidak bertentangan dengan Dhamma, sebaiknya dipelihara secara seksama. Memperhatikan sanak keluarga dan membantu mereka yang perlu ditolong adalah hal yang membawa berkah. Memelihara garis silsilah dan tradisi keluarga juga berarti tidak menghamburkan harta benda keluarga, memulihkan atau memperbaiki integritas dan kehormatan keluarga, serta tetap mempersembahkan dana untuk kepentingan keagamaan. Mempersembahkan dana secara rutin, menyokong institusi keagamaan, menyokong dunia pendidikan, membantu yayasan sosial, menolong para fakir miskin dan korban bencana alam, yang telah dilakukan oleh orang tua, wajib untuk dilanjutkan terutama setelah mereka meninggal dunia.
Ad. 4. Seorang anak yang baik akan selalu berusaha untuk hidup sesuai dengan Dhamma, menghindari hal-hal yang buruk, tidak bergaul dengan orang jahat, bergaul dengan para bijaksana, bersikap dewasa dalam berpikir dan bertindak, sehingga kedua orang tuanya menilai bahwa anak tersebut layak menerima warisan dari mereka. Demikianlah, setelah warisan itu diterima oleh si anak, lalu dikelola dengan baik, tidak dihambur-hamburkan, digunakan untuk modal usaha, atau untuk mengembangkan usaha yang sudah ada, sehingga membawa manfaat bagi dirinya sendiri, bagi keluarganya, maupun bagi lingkungan masyarakatnya atau negaranya.
Ad. 5. Seorang anak yang baik akan mengurus persembahyangan kepada sanak keluarga yang telah meninggal dunia. Yang dimaksud disini adalah melakukan pattidana. Anak yang baik akan banyak melakukan perbuatan jasa, misalnya
Mempersembahkan makanan, jubah, obat-obatan kepada anggota Sangha;
Banyak berdana kepada korban bencana alam, anak yatim piatu, para tuna netra atau orang jompo
Melepaskan binatang-binatang yang akan mati disembelih;
Mencetak buku-buku Dhamma yang kemudian dibagikan kepada mereka yang membutuhkan;
Berdana untuk pembangunan atau pemeliharaan vihara;
Bermeditasi dan lain sebagainya.
Setelah melakukan banyak perbuatan jasa, lalu berdoa atau bersembahyang semoga para leluhur atau sanak keluarga yang telah meninggal dunia turut berbahagia atau turut bersimpati mengetahui keturunannya gemar berbuat kebajikan. Diharapkan mudita citta (pikiran yang penuh simpati dan turut bergembira) muncul dalam batin leluhur atau sanak keluarga yang telah meninggal itu, dan mudah-mudahan hal tersebut akan membuat mereka meninggal di alam yang menyedihkan lalu terlahir kembali di alam-alam yang bahagia. Berdana secara rutin atas nama orang tua yang telah meninggal adalah sangat terpuji untuk dilakukan oleh anak yang berbakti, untuk mengenang jasa-jasa almarhum, dan juga untuk kebaikan almarhum.
Seorang anak atau menantu yang bersikap kurang baik terhadap orang tua atau mertuanya, tidak mau melaksanakan kewajiban dengan baik, akan mengalami kemerosotan di dalam hidupnya kelak ia juga akan mengalami hal yang sama, anak dan menantunya akan bersikap kurang baik terhadap dirinya. Seorang anak demikian tega sehingga membunuh kedua orang tuanya, akan terlahir di neraka sekian kali ratusan ribu tahun, kemudian setelah itu ratusan kali terlahir kembali sebagai mahluk manusia yang berumur pendek dan selalu tersiksa sebelum mati (Baca kisah Moggalana).
Memang ada orang tua dan mertua yang kurang baik, yang suka menyiksa atau menghina anak dan menantunya. Ada yang semakin tua semakin sukar dilayani, semakin cerewet dan semakin keras kepala. Anak harus bersikap sabar dan menahan diri, anggaplah hal tersebut sebagai buah dari perbuatan buruk yang telah dilakukan dalam masa yang lampau.
Anak yang baik wajib melayani orang tuanya dengan kasih dan telaten, sama seperti orang tuanya membesarkan dirinya dengan kasih sayang ketika ia masih kecil dan sukar diatur (nakal). Berkorban kepentingan untuk orang tua atau mertua adalah hal yang terpuji.
Memang ada seorang ibu yang kebetulan hanya memiliki seorang putera, menganggap menantunya sebagai saingan dalam rangka merebut perhatian anaknya; apalagi kalau ia sudah menjadi janda. Ia selalu mencampuri keluarga anaknya, selalu ikut mengatur apa yang baik untuk anaknya, tanpa mekikirkan bahwa anaknya itu sudah dewasa dan telah menikah. Si menantu harus siap untuk bersabar dan bersabar lagi, karena apabila ia juga “melayani” sikap negatif dari ibu mertuanya, yang akan susah adalah suami dan dirinya sendiri. Banyak suami yang sukar untuk menentukan sikap, apabila terjadi masalah di antara ibu dan isterinya. Adalah bijaksana untuk semua pihak mengendalikan diri dengan baik, selalu memegang teguh ajaran Sang Buddha dalam hidup sehari-hari.
Menurut Sang Buddha di dalam dunia ini terdapat dua orang yang tidak dapat dibayar lunas jasa-jasa baiknya, yaitu ibu dan ayah. Meskipun seseorang memanggul ibu dan ayahnya diatas kedua bahunya sampai 100 tahun lamanya, memberikan tunjangan kepada ibu dan ayahnya, membalur tubuh mereka, dengan obat gosok, memijit, membersihkan dan mengurut kaki mereka, dan kadang-kadang mereka mengotorinya dengan air seni dan tinja, ia tetap tidak dapat membayar lunas jasa-jasa kebaikan orang tuanya. Selanjutnya, meskipun ia menempatkan orang tuanya menjadi pejabat tinggi, menjadi orang yang sangat kaya dan berkuasa, ia tetap belum dapat membayar lunas jasa-jasa kebaikan orang tuanya. Karena orang tua telah berbuat banyak sekali kepada anak, yaitu membesarkan, memberi makan, mendidik dan memperkenalkan dunia luar kepada anak mereka.
Apabila ada anak yang dapat mendorong orang tuanya yang tidak memiliki keyakinan, agar memiliki dan mengembangkan keyakinannya terhadap Dhamma; apabila ada anak yang dapat mendorong orang tuanya yang tidak bermoral, agar memiliki dan mengembangkan moral sesuai dengan Dhamma; apabila ada anak yang dapat mempengaruhi orang tuanya yang sangat kikir, agar memiliki dan mengembangkan sikap murah hati; apabila ada anak yang dapat mendorong orang tuanya yang bodoh atau dungu, agar memiliki dan mengembangkan kebijaksanaan, dengan berbuat demikian, barulah ia dapat membayar lunas jasa-jasa kebaikan orang tuanya, bahkan lebih daripada, itu.
(Anguttara Nikaya I, 61)
Sumber Referensi: http://bluelotus4happiness.blogspot.co.id/2009/12/hubungan-orang-tua-dan-anak-dalam.html