Kembangkan Benih Kebuddhaan Dalam Diri Masing-masing
(Oleh YM Bhiksu Tadisa Paramita Mahasthavira, /净仁法师)
Hati bodoh diputar dunia, hati cerah memutar dunia. Saat dingin air menjadi es, saat hangat es berubah menjadi air; Saat bodoh kesejatian diri menjadi hati, saat cerah hati menjadi kesejatian diri. Hati dan kesejatian diri pada dasarnya sama, disebabkan bodoh dan cerah sehingga ada perbedaan. Munculnya kesadaran yang menampakkan, karena hati yang merubahnya, karena hati yang menciptakan, karena hati pula yang melenyapkan. Hati adalah akar, dharma adalah debu, dua jenis ini seperti abu yang mengotori cermin. Debu ini bila terhapus bersih, seketika cahaya dari dalam akan muncul, hati dan dharma bila dua-duanya dilupakan, kesejatian diri kembali benar. Hati bagaikan angkasa raya, jangan melekat kepada pandangan kekosongan. Gunakan tanpa rintangan, saat bergerak atau dalam keheningan tiada hati. Perasaan awam atau merasa suci dilupakan, kemampuan diri yang melakukan dan apa yang dilakukan sudah terlelap. Hakikat sejati dan corak kedemikianan-kedemikianan, tiada bukan saatnya Dhyana ketenangan yang mendalam.
Di dalam Filosofi agama samawi, konsep dari suatu ‘Diri’ disebut atman (itu adalah, “ jiwa”, ‘roh’ atau diri metafisis), yang mengacu pada suatu inti sari tak berubah-ubah/permanen yang dipahami berdasarkan atas keberadaan. Tetapi Hyang Buddha menolak semua konsep atman, menekankan tidak ada ketetapan, tetapi perubahan/tidak tetap. Ia mengajar bahwa semua konsep dari suatu diri pribadi adalah substansiil salah, dan dibentuk di dalam dunia ketidak-tahuan. Kitab-kitab Konfusius dalam menjelaskan Yijing menyebutkan: “Roh yang melayang-layang berubah (menjadi makhluk hidup).” Sementara Buddhisme menyebutnya sebagai ‘Kesadaran batin”, tidak menyebutnya sebagai roh (jiwa yang tidak berubah), kesadaran batin dan roh itu meskipun menunjuk pada hal yang sama, tetapi berbeda dalam sebutan namanya. Buddhisme menelusuri hingga ke pokok asalnya, yaitu: Benih Sejati (Benih Kebuddhaan), ketika benih sejati ini diliputi awan kebodohan dan tercemar maka dinamakan sebagai kesadaran batin, inilah yang oleh agama lain disebut sebagai roh. Kesadaran batin yang tercemar, maka mengalami proses kelahiran dan kematian, bertumimbal lahir di enam alam, sementara Benih Sejati (Benih Kebuddhaan) berupa kebijaksanaan, hakikatnya tidak lahir dan tidak musnah, murni dan abadi selamanya.
Di dalam sejumlah besar Sutra Mahayana (contoh: Sutra Mahaparinirvana, Sutra Tathagatagarbha, Sutra Srimala, dan lainnya), Hyang Buddha diperkenalkan sebagai pemberi penjelasan akan pengajaran ini dengan mengatakan bahwa, selama Skandha (faktor penyusun tubuh fisik dan pikiran) bukan merupakan ‘diri’, akan tetapi terdapat sesuatu yang abadi, tidak berubah, sifat Kebuddhaan yang bahagia pada seluruh makhluk hidup, yang merupakan sesuatu yang tidak tercipta dan ‘Jati-diri Buddha’ (“Buddha-dhatu”) atau “Diri Sejati” akan Sang Buddha sendiri. “Tathagatagarbha”/Sifat Buddha tidak menggambarkan suatu diri yang besar; akan tetapi, merupakan ungkapan bahasa yang positif akan “Sunyata (kekosongan)” dan mewakili kemampuan untuk mewujudkan Kebuddhaan melalui pelaksanaan ajaran-ajaran Agama Buddha; tujuan pengajaran akan Tathagatagarbha (Sifat Buddha) adalah lebih ke arah Soteriologi daripada secara Teoritis.
Tubuh suci ini tidaklah mungkin untuk dibentuk seperti tubuh duniawi yang tidak kekal, menderita karena pasang surutnya “Sang Ego” yang khayal, sehingga terjerat dan terkurung oleh dualitas. Pada sisi lain, Esensi-Buddha atau Jati-diri Buddha juga seringkali dijelaskan sebagai kemampuan untuk mencapai Kebuddhaan (“Buddhahood” – Bodhicitta), daripada gejala yang telah ada yakni pemahaman akan ‘Saya’ atau ‘Diri’ sendiri.
Di dalam Sutra Avatamsaka (Hua Yen Cing), disabdakan Semua makhluk memiliki Hakikat Tathagata yang memiliki potensi kebijaksanaan dan pahala unggul; disebabkan pikiran khayal, kemelekatan dan pikiran jungkir-balik sehingga tidak menyadari. Bila makhluk tersebut (termasuk manusia) dapat melepaskan pikiran khayal, kemelekatan dan pikiran Jungkir-balik maka semua kebijaksanaan, kebijaksanaan natural, kebijaksanaan tanpa guru, dan kebijaksanaan tanpa ringtangan akan muncul dengan sendirinya. Juga di dalam Sutra Avatamsaka disabdakan bahwa ‘Hati, Buddha dan semua makhluk tidaklah berbeda’. Tentu ditilik tidak berbeda adalah dari ‘Hakikat Kebuddhaannya’ karena para makhluk awam masih tergerus dengan khayalan, kemelekatan dan pikiran jungkir-balik sehingga kecenderungan hatinya masih sesat penuh khayal, sehingga tidak menyadari Hakikat Kebuddhaannya, tidak mengembangkan Benih Kebuddhaannya, tidak bersedia menapak Jalan Kebuddhaannya, larut dalam fenomena khayal, cenderung bodoh dan mengalami derita, sehingga terlihat hati, Buddha dan semua makhluk satu sama lainnya berbeda.
Di dalam Sutra Sila Bodhisattva (Pu Sha Cie Cing), disabdakan, ‘sumber dasarnya hakikat diri adalah murni, bila menyadari hati menampakkan kesejatian diri, adalah mencapai jalan Kebuddhaan.’ Di sutra lain disabdakan: Hakikat Kebuddhaan begitu universal, jangan diskriminasi terhadap orang awam atau suciwan. Hanya ke dalam tubuhnya menyadari hakikat kebenaran yang manunggal, kenapa mencari keluar. Hanya siang dan malam menyelam ke dalam pikiran, ke dalam hati untuk mencapai pencerahan.
Di dalam Sutra Shurangama (Sow Leng Yen Cing), disabdakan: Buddha bersabda sebab rahasia Tathagata mengajarkan mengembangkan pencerahan memasuki hati dan hakikat sejati di bagi tiga tahapan: 1. Menghancurkan khayalan menampakkan kebenaran, menghancurkan khayal hati menampakkan hakikat kebenaran sejati; 2. Khayalan juga kebenaran, semua khayalan tiada bukan juga kebenaran; kegalauan adalah kebodhian, lahir mati adalah Nirvana. 3. Khayalan dan kebenaran sama-sama khayal, kebenaran pun dikategorikan khayalan, tiada benar tiada bukan benar, harusnya kebenaran dan khayalan dua-duanya di lelapkan (tidak diingat).
Di dalam Sutra Kesadaran Sempurna (Yen Cie Cing), Buddha bersabda: semua Tathagata yang memiliki keajaiban pencerahan hati yang sempurna, pada dasarnya tiada Bodhi, tiada Nirvana, juga tiada yang mencapai Buddha atau tidak mencapai Buddha, tiada khayalan tumimbal lahir atau bukan tumimbal lahir. (maksudnya karena adanya berbagai penyakit makhluk maka segala obat dibutuhkan; Karena adanya bahaya dibutuhkan keselamatan; adanya khayal dibutuhkan kebenaran, adanya ‘diri’ sehingga dijabarkan tanpa diri. Karena manusia masih butuh sensasi, mudah terpesona dan melekat kepada ‘dualitas’ maka dibutuhkan Upaya Kausalya, berbagai Dharma dualitas dijabarkan. Realitanya tidak melihat satu dharma adalah pandangan benar, tidak ada satu dharma yang dapat dimiliki itulah pikiran benar. Di dalam mimpi jeles-jelas ada enam alam, setelah cerah kosong juga kosong tiada maha chilicosmos.; Pencerahan Huineng Patricah ke enam pernah menulis : Bodhi hakikatnya tiada pohon; Cermin terang tidak berbingkai, pada dasarnya tiada apapun, dimanakah ada debu rintangan?)
Bagaimana semua makhluk menyelamatkan dirinya sendiri dan menolong makhluk lain?
Hyang Buddha dengan penuh welas asih mengharapkan siswa maupun umatnya jangan khayal, terjebak dan melekat kepada dharma duniawi yang mengalami timbul-lenyap, bertambah-berkurang, kotor-murni yang terlihat sebagaimana adanya. Sebaliknya mengajarkan semua Dharma (termasuk dharma duniawi) adalah realita kekosongan benar, dasarnya tiada timbul-lenyap, tiada bertambah-berkurang, tiada kotor-murni. Kebenaran Hakikat Buddha tiada timbul-lenyap, tiada kotor-murni, dan tiada bertambah-berkurang. Hakikat Buddha adalah non dualitas; karena itu abadi, benar, nyata dan tidak palsu. Di dalam Sutra Fang Ten Cing, Buddha bersabda: tidak timbul pun tidak lenyap, tidak permanen pun tidak lenyap, tidak sama pun tidak berbeda, tidak datang pun tidak pergi. Hakikat Buddha adalah saat mencapai arya kesucian tidak bertambah, saat fana tidak berkurang. Hakikat Buddha adalah maha besar tidak diluar, kecil tidak di dalam. Ia dapat menjadi besar maupun kecil, membesar seluas angkasa raya, tidak terlihat bertambah walau satu bagian; ia bisa kecil seperti serangga, semut atau bakteri juga tidak berkurang satu bagian pun. Hakikat Buddha sungguh sangat gaib dan tidak terbatas.
Guru Zen Patriach ke enam Master Hui-neng mengatakan: semua akibat kondisi berasal dari sebab perilaku, semua tingkah laku berasal dari pikiran. Beliau menganjurkan “Gunakan jati dirinya untuk menolong dirinya sendiri” (自性自度). Yaitu: “Pikiran sesat datang di ditaklukkan oleh kebenaran; Pikiran khayal di ubah oleh pencerahan; Pikiran bodoh digantikan oleh kearifan; Pikiran jahat dikalahkan oleh kebajikan”; Kondisi sesat-benar, khayal-cerah, bodoh-arif, jahat-bajik, bagaimana cara menilainya dan memutuskannya? Ajaran Buddha sudah menegaskan: bahwa keserakahan, kebencian dan kebodohan adalah tiga racun sesat, sedangkan sila , samadhi, dan prajna (kearifan) adalah tiga praktik benar; Hati khayal menciptakan khayalan rupa (terjebak sensasi memunculkan fantasi, dan melekat kepada semua bentuk dan kondisi), saat pencerahan tidak ada sesuatu pun yang didapat; Orang bodoh memenjarakan dirinya sendiri sedangkan orang arif membebaskan diri; Kejahatan melukai banyak makhluk lain dan mencederai dirinya sendiri; sedangkan kebajikan menyelamatan dirinya sendiri dan menolong makhluk lain. Saat bodoh dibutuhkan figur guru untuk membimbing, saat cerah diri sendiri harus berusaha. Hanya gunakan jati dirinya sendiri untuk menyelamatkan dirinya sendiri, para guru hanya membimbing dan tiada makhluk lain yang dapat menyelamatkannya.
Master Hui-neng bersabda: Mana terpikirkan bahwa hakikat jati diri dasarnya sudah murni; Mana terpikirkan hakikat jati diri dasarnya tidak timbul tidak lenyap; Mana terpikirkan hakikat jati diri tidak tergerakkan; Mana terpikirkan hakikat jati diri dapat menciptakan ribuan Dharma. Kearifan Bodhi dan Prajna, orang fana dasarnya sudah memiliki, dikarena hatinya khayal sehingga tidak mampu menyadarinya. Orang-orang fana setiap harinya mulutnya hanya melafalkan prajna, tapi tidak menyadari hakikat jati dirinya adalah Prajna, bagaikan berbicara makan tentu tidaklah kenyang. Mulutnya hanya saja membicarakan Sunyata (kekosongan) tapi tidak menyelami sehingga puluhan ribu kalpa tidak dapat menampakkan jati diri. Semua prajna kearifan muncul asalnya dari jati diri bukan berasal dari luar. Hakikat Buddha dasarnya tidak berbeda, karena adanya kondisi khayal dan cerah sehingga nampaknya berbeda. Pikiran tidak cerah Buddha menjadi makhluk; Saat pikiran cerah makhluk adalah Buddha, perlu dipahami ribuan Dharma semua berasal dari hati sendiri, kenapa bukan menjurus ke hati seketika menampakkan kedemikianan jati diri?
Menyadari dasarnya hati intinya sudah terbebaskan. Bila sudah terbebaskan seketika menghasilkan prajna samadhi. Hati, Buddha dan semua makhluk hakikatnya tidaklah berbeda. Semua makhluk dan para Buddha dasarnya sama tidak diperlukan lagi penciptaan, intinya keselamatan sudah ada. Dikarena pikiran khayal, kemelekatan dan pikiran jungkir-balik sehingga tergerus menciptakan sebab akibat sehingga terbenam dalam siklus tumimbal lahir. Hanya dengan melepaskan tiga penyakit utama para makhluk maka semua potensi Kebuddhaan bisa diperoleh.
Asalkan ia memahami hati dan jati-dirinya sendiri, mengatasi masalah tubuh dan hatinya, menatakan hati dan menetralisir kondisinya, mengembalikan dasar hatinya yang memiliki Hakikat Kebuddhaan. Memang berbicara teori begini mudah tapi praktiknya memang sulit, karena hati diumpamakan sebagai monyet dan pikiran bagaikan kuda liar sungguh sulit dikendalikan. Hanya orang-orang yang kuat, gigih dan teguh saja dapat mengalahkan hatinya dan menaklukkan kondisinya saja yang dapat keluar dan terbebas dari gemuruhnya batin dan gemerlapnya kondisi yang membiuskan Dalam Sutra Intan bagaikan menaklukkan hati? Pikiran liar yang berkelana, berubah-ubah dan gelap mampu di arahkan, di fokuskan dan di sunyakan. Sutra Shurangama menjelaskan: “Pikiran liar bisa ditaklukkan adalah Kebodhian” (pikiran yang bisa difokuskan/manunggal, tiada urusan yang tidak bisa dilakukan). Seorang praktisi saat gunakan hati harus dalam keadaan sadar dan fokus, saat pikiran cerah realitanya tiada apapun. Kemampuan untuk menaklukkan hati, khayalan yang sudah ditaklukkan kedua-duanya sudah ditanggalkan, manusia dan dharma sudah dilupakan, inilah hati tidak melekat kepada sesuatu apapun.
Berpikir mau melenyapkan khayal pasti tidak berhasil, kerena pikiran khayal maupun pikiran cerah adalah dualitas dari pemikiran, tanpa pemikiran maka tiada dualitas kondisi. Hanya saja pikiran khayal itu praktiknya bisa di rubah, merubah kesadaran menjadi kearifan, merubah kejahatan dengan kebajikan, merubah kesesatan dengan kebenaran.
Pengertian dan Makna BUDDHA
Kata “Buddha” berarti ‘Yang Maha Sadar’ atau ‘Yang Tercerahkan Secara Sempurna’. Sesosok Buddha sebelumnya adalah seorang manusia seperti kita, yang berhasil mencapai puncak tertinggi pengembangan spiritual, melalui pemurnian dan pengendalian pikiran, mencapai penyempurnaan tertinggi yang juga dimungkinkan bagi siapa saja. Selain itu Buddha adalah manusia yang telah menyadari kebenaran mutlak secara sempurna juga mencapai paramita kebajikan yang sempurna.
Di dalam Paritta Buddhanusati, dijelaskan: Sang Bhagava(Kesempurnaan Buddha) adalah:
1. Yang maha suci; 2. Yang telah mencapai penerangan sempurna; 3. Sempurna pengetahuan serta tindak tanduknya; 4. Sempurna menempuh jalan ke Nibbana; 5. Pengenal segenap alam; 6. Pembimbing manusia yang tiada taranya; 7. Guru para dewa dan manusia; 8. Yang Maha Sadar; 9. Yang patut dimuliakan.
Kembangkan benih Kebuddhaan dalam diri kita masing-masing, dijabarkan secara sederhana sebagai berikut: 1. Menyadari benih Kebuddhaan; 2. Mengembangkan benih Kebuddhaan; 3. Mengembangkan sifat-sifat Kebuddhaan; 4. Mengembangkan Potensi Kebuddhaan; 5. Menapak jalan Kebuddhaan; 6. Mencapai Tujuan jadi Buddha. Penjelasan singkatnya diuraikan sebagai berikut:
1. Menyadari benih Kebuddhaan, Setiap makhluk harus menyadari pada hakikatnya Buddha dan aku adalah manunggal, Sifat Mula adalah Buddhata. Karena selama ini kita mengabaikan Buddhata-nya sendiri, hanya gunakan ‘khayal aku dan diri’ sehingga cenderung mengejar harta di luar diri kita, yang bersifat semu, maya dan tidak berlangsung lama. Sehingga kita mengabaikan mustika yang sejati yang berada di dalam diri kita, yaitu: ‘Benih Kebuddhaan’. Karena ketidak tahuan maka selama ini kita telah menelantarkan ‘Benih Kebuddhaan’ sehingga kita hidup bergelimang dengan keserakahan, kebencian dan kebodohan akibatnya hidup sengsara, dipermainkan kondisi dan terhanyut oleh banjir nafsu dan terbenam dalam arus kelahiran dan kematian di roda tumimbal lahir. Sekarang harus kita menyadari ‘Benih Kebuddhaan’, yaitu: dimata bisa melihat, di telinga bisa mendengar, di hidung bisa merasakan bebauan, di mulut bisa merasakan cita rasa; di tubuh bisa merasakan sentuhan, dipikiran bisa penyadaran. Benih Kebuddhaan ini bisa dirasakan tapi tidak terlihat, menggunakan setiap saat tapi tidak menyadari. Karena kebodohan sehingga menelantarkan.
Walau setiap makhluk memiliki ‘Benih Kebuddhaan’, tapi karena masih diliputi tataran kegelapan dan kekotoran batin sehingga ada beberapa jenis sebutan ‘Gelar Kebuddhaan’, diterangkan di dalam aliran Lotus (Tian Tai Cung) sebagai berikut:
a. Kita dan semua makhluk dalam hatinya memiliki ‘Hakikat Kebuddhaan’ yang disebut ‘Kebenaran Buddha’ (理即佛/Li Ci Fo).
b. Tahap awal belajar dan praktik agama Buddha, sesudah mengerti kebenaran, mengembangkan hati dan melakukan Buddhasmrth (Nien-Fo), untuk dilahirkan di Tanah Suci, disebut ‘Sekedar Nama Buddha’ (名字即佛/Ming Ce Ci Fo).
c. Rajin mempraktikkan Nienfo dan membina diri, mengendalikan Pandangan dan Pikiran Galau (Cien Se El Huo), praktiknya sudah mencapai tahapan sebagian disebut ‘Perenung dan Praktisi Buddha’ (观行即佛/Kuan Xing Ci Fo).
d. Nienfo sudah mencapai tingkatan melenyapkan ‘Pandangan dan Pikiran Galau’, hati sudah mencapai kemanunggalan, tidak ada lagi kekacauan masalah, disebut ‘Perwujudan Bagaikan Buddha’ (相似即佛 / Xiang Se Ci Fo)
e. Nienfo sampai mencapai penghancuran kebodohan (avidya/Wu Ming), mencapai kebenaran hati yang manunggal, disebut “Menapak Pencerahan Buddha (分证即佛/Fen Cen Ci Fo)
f. Terakhir, kegelapan batin sudah lenyap total, dua jenis kematian (1. Fen Tuan Sen Se, fisik yang mengalami kelahiran dan kematian yang berulang; 2. Pien Yi Sen Se, pikiran yang mengalami timbul lenyap atau lahir mati yang berulang) selamanya sudah Sunya (kosong), mencapai puncak tertinggi Gunung Nirvana, disebut ‘Sempurnanya Buddha’ (究竟即佛/Ciu Cing Ci Fo)
2. Mengembangkan benih Kebuddhaan, Benih Kebuddhaan yang belum dikembangkan diibaratkan seperti seorang bayi yang bergelimang dengan kotoran, tentu membutuhkan bantuan untuk membersihkan kekotoran, perlu diberikan bimbingan dan perlindungan dari Sang Triratna, Buddha, Dharma dan Sangha. Untuk mengembangkan ‘Benih Kebuddhaan’ maka pikiran, ucapan dan perbuatan harus selaras dan dilatih, ke dalam sunya (kosong) dan keluar berkebajikan. Sedangkan hati harus mengingat Buddha, memuliakan nama Buddha, dan rajin berdana kepada Buddha, yang diwujudkan mata senang melihat ciri keagungan Buddha; Telingga selalu mendengarkan ajaran Buddha; Hidung selalu merasakan wanginya kebajikan Buddha; Mulut selalu memuliakan nama Buddha, Tangan selalu berdana kepada Buddha; Tubuh selalu bernamaskara kepada Buddha, pikiran selalu mengingat kepada Buddha, maka Benih Kebuddhaan akan terus tumbuh berkembang, dan menampakkan. Di dalam Sutra Shurangama di sabdakan: dua corak, gerak dan sunyi tidak dimuculkan maka Benih Kebuddhaan akan muncul. Tidak ada gagasan, hasrat, agresi dan khayal dualitas subyek dan obyek maka Benih Kebuddhaan kita mencuat.
3. Mengembangkan sifat-sifat Kebuddhaan, sifat-sifat Kebuddhaan adalah terang cerah tidak gelap bodoh. Benar tidak sesat. Suci tidak ternoda. Mengembangan sifat-sifat Buddha selanjutnya adalah Prajna kebijaksanaan, Maitri cinta kasih, Karuna belas kasih, Mudita kegembiraan dan Upeksha keseimbangan batin yang dikembangkan terus menerus ke atas untuk mencapai tingkatan Kebuddhaan, ke bawah untuk menolong semua makhluk. Selain itu, praktisi harus mengembangkan lima jenis Bodhicitta, yaitu: 1. Mengembangkan hati Bodhicitta; 2. Pengendalian hati Bodhicitta; 3. Memahami Hati Bodhicitta; 4. Sunyakan Hati Bodhicitta; 5.Sempurnaan hati Bodhicitta. Juga harus mengembangkan sifat-sifat luhur Bodhisattva, yaitu: 1. Memberikan kegembiraan; 2. Memberikan harapan; 3. Memberikan kemudahan; 4. Memberikan bantuan kepada semua makhluk yang membutuhkan. “Kebodhian dasar nya adalah Hakikat Jati Diri, Hakikat Jati Diri yang murni adalah Kebodhian, bukan adanya ciri Kebodhiaan yang dapat dilatih, juga tiada corak Kebodhiaan yang dapat dibentuk”.
4. Mengembangkan potensi Kebuddhaan, setiap makhluk mempunyai potensi Kesadaran Buddha, yaitu melalui pengembangan Lima Kesadaran, Yaitu: 1. Kesadaran inti; 2. Kesadaran awal; 3. Kesadaran dalam bentuk; 4. Kesadaran berkembang; 5. Kesadaran sempurna. Ragamnya kesadaran ini dikembangkan terus menerus, melalui praktik Sad Paramita, yaitu: 1. Dana (kebajikan memberi); 2. Sila (pengendalian); 3. Khanti (ketabahan); 4. Virya (semangat); 5. Samadhi (ketenangan); 6. Prajna (kearifan bodhi). Sad Paramita adalah sumber Kebodhian, untuk mencapai hati suci dan karya gemilang, yang dapat menuntun kita untuk mencapai kesempurnaan. Bila Sad Paramita selalu dipraktikkan secara berkesinambungan, tidak kacau, tidak ragu, dan tidak mundur lagi , maka diyakini kita telah mengembangkan potensi Kebuddhaan kita.
5. Menapak jalan Kebuddhaan; Jalan Kebuddhaan banyak beragam, ada yang sulit ada yang mudah. Ada yang mengandalkan kekuatan diri sendiri saja, ada pula yang mengandalkan kekuatan diri sendiri dan ikrar Buddha. Tentu mengandalkan sendiri adalah mulia, tapi sangatlah sulit di jaman kemerosotan Dharma sekarang ini, begitu banyak gangguan dan rintangan, baik bermuara dari dalam diri sendiri maupun gangguan dari pihak luar. Lagipula memerlukan waktu yang sangat panjang untuk mencapai tingkatan Kebuddhaan. Sedangkan yang mengandalkan kekuatan diri sendiri sekaligus mengandalkan dan memasuki ikrar agung Buddha, maka segala gangguan dan rintangan menjadi reda bahkan sirna, juga waktu berlatih tidak lama, sekarang dibimbing dan dilindungi oleh Buddha secara tidak terlihat, kelak setelah wafat dijemput oleh Buddha untuk memasuki surga Buddha, selanjutnya di bimbing dan dilindungi langsung oleh Buddha untuk menjadi Buddha.
6. Mencapai tujuan jadi Buddha. ajaran utama Hyang Buddha hanya ada tiga, yaitu: Jangan berbuat bodoh dan jahat; Sempurnakan segala kebajikan; Sucikan hati dan pikiran, praktikanlah ajaran para Buddha. Ajaran utama Buddha ini harus dipraktikkan secara menyeluruh, tidak sepenggal-sepenggal. Bila sepenggal-penggal akan berdampak perbedaan kualitas Kebuddhaannya. Untuk mencapai tingkatan Kebuddhaan maka seseorang praktisi harus melenyapkan ‘Tiga Kebodohan’, yaitu: 1. Kebodohan pandangan dan pikiran (Cien Se Ol Huo); 2. Kebodohan kegelapan batin (Wu Ming Huo); 3. Kebodohan menyeluruh (Chen Sa Huo). Seseorang mau jadi Buddha, maka ia harus sadar, mampu menyadarkan makhluk lain, dan praktik penyadarkan sudah sempurna baru bisa jadi Buddha, dan masih banyak lagi kualitas-kualitas yang harus dimiliki praktisi untuk mencapai Kebuddhaan. Dalam ajaran Mahayana, bila seseorang mau mencapai tujuan jadi Buddha, ia harus menapak lima puluh dua tingkatan Bodhisattva, dimulai dari: Sepuluh tingkatan keyakinan; Sepuluh tingkatan kemantapan; Sepuluh tingkatan pelaksanaan; Sepuluh tingkatan mengembangan jasa; Sepuluh tingkatan Dasa Bhumika; Satu tingkatan calon Buddha, dan terakhir Satu tingkatan mencapai Kebuddhaan.
‘Kembali ke asal jati-diri (Hakikat Kebuddhaan) tiada dualitas, tetapi metodenya praktiknya banyak; tidak tertuju kepada Hakikat Kebuddhaan, tidak ada tempat berlindung yang sejati’. “Tidak terang terhadap dasar sejati Hakikat Kebuddhaan, adalah Buddha menjadi makhluk fana. Saat hati manunggal dan cerah, makhluk fana adalah Buddha. Sepuluh ribu jenis hati semua berada di hati sendiri, seharusnya dari hati sendiri langsung melihat Tathagata-garbha”.
Demikianlah artikel yang bertemakan “Kembangkan Benih Kebuddhaan Dalam Diri Kita Masing-masing” dibuat untuk dipahami, dihayati, diamalkan dan disebarkan, agar kita semua dapat membangun kesadaran, kebijaksanaan serta kebajikan umat manusia. Mari kita semua “Kembangkan Benih Kebuddhaan Dalam Diri Masing-masing, agar di bumi ini makin banyaknya bermunculan Bodhisattva yang menyempurnakan segala paramita di dunia, sekarang menjadi calon Buddha dan kelak bakal jadi Buddha di muka bumi ini untuk membimbing dan melindungi semua makhluk, tentu harapannya agar dunia bisa damai dan harmonis kembali . Akhir kata semoga semua makhluk mengembangkan kearifan dan memperoleh kebahagiaan, svaha. Salam kasih Amituofo