Usaha Hentikan Komersialisasi Vihara di Tiongkok
Beijing, Tiongkok– Buddhisme merupakan salah satu agama besar dunia yang menjadi salah satu dasar keagamaan masyarakat di Tiongkok sejak awal abad pertama. Hasilnya, terdapat situs-situs Buddhis berupa vihara dan pagoda (stupa) berusia berabad-abad yang dapat dijumpai di negeri tirai bambu tersebut.
Kini, beberapa di antara situs-situs Buddhis yang terkemuka sering mendapatkan kunjungan dari ratusan bahkan ribuan orang per tahunnya, baik itu para peziarah yang ingin melakukan puja bakti ataupun para wisatawan yang hanya ingin mengetahui sejarah dan menikmati nuansa oriental.
Jumlah pengunjung yang banyak menjadi dasar bagi pihak-pihak tertentu untuk mendulang keuntungan dengan berusaha untuk membisniskan situs-situs Buddhis tersebut dengan berbagai cara dan alasan.
“Jangan biarkan uang menjadi mantra anda,” demikian seruan otoritas China kepada para pengunjung vihara-vihara, baru-baru ini.
Seperti yang dilaporkan oleh Louise Watt untuk Associated Press, pihak berwenang pada minggu lalu mengumumkan sebuah larangan atas penjualan saham vihara-vihara kepada para investor setelah para pemimpin dari beberapa vihara terkemuka berencana untuk mengikutisertakan vihara-vihara tersebut ke dalam daftar pasar saham sebagai bentuk komersial. Bahkan Vihara Shaolin pernah dikabarkan merencanakan peluncuran perdana pasar sahamnya – dan para kritikus mengecam rencana tersebut sebagai sebuah langkah yang terlalu jauh dari budaya komersial China yang telah tak terkendali.
Gerbang Utama atau Gerbang Gunung Vihara Shaolin (Sbr: wikimedia.org)
“Sekarang di China dimana-mana mengenai pengembangan ekonomi,” keluh Fu Runxing (40), warga Beijing yang juga seorang akuntan yang mengatakan bajwa ia baru-baru ini pergi ke sebuah vihara di mana satu batang dupa dihargai sebesar 300 yuan (462 ribu rupiah). “Ini terlalu berlebihan. Ini penjarahan,” katanya.
Situs-situs ziarah Buddhis berusia berabad-abad seperti Gunung Wutai (Wǔtái Shān) di provinsi Shanxi, Gunung Putuo (Pǔtúo Shān) di Zhejiang dan Gunung Jiuhua (Jǐuhuá Shān) di Anhui, semuanya maju mendaftar pada pasar saham dalam beberapa bulan terakhir untuk perluasan financial, demikian menurut pemberitaan media pemerintah.
Dinas pemerintah urusan agama menyerukan kepada otoritas setempat untuk melarang mencari keuntungan yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan dan mengatakan kepada mereka untuk tidak mengizinkan tempat-tempat ibadah dijalankan sebagai usaha bisnis atau didaftarkan sebagai aset-aset perusahaan.
Perusahaan-perusahaan yang mengelola situs-situs vihara mungkin dapat menghindari larangan memasukan daftar saham dengan hanya tidak memasukkan vihara-vihara tersebut dalam daftar aset-aset mereka. Sebuah situs Buddhis di Gunung Emei di Sichuan telah berada pada bursa saham Shenzhen sejak tahun 1997 namun asetnya yang terdaftar termasuk sebuah hotel, perusahaan kereta kabel dan loket penjualan tiket – tidak termasuk viharanya yang berusia beberapa ratus tahun. Wang Yun, seorang pengacara asal Shanghai mengatakan bahwa larangan baru tersebut tidaklah mempengaruhi Emei, namun mungkin membuat perusahaan tambahan berpikir dua kali sebelum mendaftar.
Pemerintah Komunis Tiongkok memiliki kontrol yang ketat terhadap agama, dengan vihara-vihara, gereja-gereja dan masjid-masjid dijalankan oleh kelompok-kelompok yang dikontrol oleh negara. Namun demikian, agama berkembang pesat, bersama dengan pariwisata memberikan beberapa ruang kesempatan untuk uang mengalir masuk.
Larangan mencari keuntungan dari kegiatan keagamaan hanya merupakan “sebuah refleksi dari realitas mengerikan dari komersialisasi berlebihan terhadap vihara-vihara dan tempat-tempat lainnya dalam tahun-tahun belakangan,” demikian yang dikatakan Southern Metropolis Daily dalam sebuah editorial. “Orang-orang yang telah pergi ke tempat-tempat religious terkenal harus terbiasa dengan harga tiket yang mahal dan sumbangan untuk segala macam hal.”
Pengelola dari situs-situs taman alam hingga keagamaan di China semakin banyak beralih ke kegiatan komersial untuk membayar biaya karena kurangnya dukungan pemerintah dalam masyarakat dengan pendanaan yang sangat sedikit. Vihara-vihara menghadapi biaya yang besar untuk memelihara bangunan-bangunan dan taman-taman berusia berabad-abad.
Namun Administrasi Negara untuk Urusan Agama mengatakan bahwa beberapa pemerintah setempat, perusahaan dan individu telah membangun situs-situs keagamaan untuk mencari keuntungan, menyewa bhiksu-bhiksu palsu dan memperdaya para pengunjung untuk memberikan uang mereka.
Sebuah pemberitahuan dalam situs webnya yang dikeluarkan bersama dengan kementerian polisi dan otoritas lainnya, Adminitrasi Negara untuk Urusan Agama memperingatkan hukuman yang serius bagi para pejabat yang ketahui terlibat dalam mencari keuntungan dalam keagamaan.
Peraturan baru mungkin tidak berdampak apapun saat komersialisme melewati batas untuk mengambil keuntungan. Apapun garis batasnya, para pejabat kewirausahaan, dan kelompok keagamaan tertentu mungkin tidak akan mengindahkan peraturan tersebut.
Anggapan bahwa beberapa vihara lebih mendahulukan uang daripada Dharma muncul ke permukaan pada tahun 2009 ketika rumor menyebutkan bahwa vihara dan pusat seni bela diri legendaris Shaolin kemungkinan akan menjual saham kepada para investor di pasar saham China daratan atau Hong Kong.
Vihara Shaolin yang berusia 1.500 tahun telah menjadi sebuah perusahaan bisnis yang menguntungkan dan memegang merek dagang terdaftar, namun para pengelola vihara tersebut menyangkal rumor mengenai saham mengambang dan menegaskan kembali penyangkalannya.
Mendapatkan dana bagi pemeliharaan situs-situs keagamaan merupakan suatu permasalahan tersendiri bagi pengelola situs, terlebih minimnya dukungan pemerintah terhadap kegiatan keagamaan. Tapi, pantaskah mencari keuntungan dari komersialisasi situs-situs keagamaan tersebut? [Bhagavant, Sum]
Sumber Referensi: Bhagavant.com