Nafsu Indriya
(Posted by Ratanakumaro)
“Appamado amatapadam. Pamado maccuno padam. Appamatta na miyanti Ye pamatta yatha mata.” [ Arti: Kewaspadaan adalah Jalan menuju KEKEKALAN, Kelengahan adalah Jalan menuju KEMATIAN. Mereka yang sadar tidak akan mati, mereka yang tidak sadar seperti orang mati ( Dhammapada , Appamada Vagga ; 2:1 ) ]
“Etam visesato natva. Appamadamhi Pandita. Appamadi pamodanti Ariyanam gocare rata.” [ Arti : Orang yang bijaksana, setelah memahami hal tersebut, mengembangkan kesadarannya, Ia berbahagia menjalani KEHIDUPAN SUCI ( Dhammapada, Appamada Vagga ; 2:2 ) ]
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
“ Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa”
( tikkhattum ; 3X )
Nammatthu Buddhassa,
Salam Damai dan Cinta Kasih … ,
Saudara-saudari, para sahabat yang tercinta, sejak jaman Sang Buddha, telah banyak bermunculan guru kerohanian-guru kerohanian yang menunjukkan jalan yang salah kepada kelompok-kelompok orang. Guru-guru ‘sesat’ ini mengajarkan, bahwa pemuasan kesenangan indera, terutama keterlibatan dalam hubungan sexual, tidaklah akan menghalangi seseorang mencapai Pencerahan (?).
Hingga kini, banyak orang yang belum mengenal Dhamma, masih mempertahankan pandangan yang sama, bahwa,” Nafsu tidak harus dihapuskan, tetapi cukup dikendalikan. Tanpa nafsu, kita tidak hidup, sama dengan mati. Setelah mati nanti kita akan dengan sendirinya mengalami lenyapnya nafsu.” Suatu pandangan yang sangat terasa “Anti-Kehidupan-Suci”, dan ini sebenarnya pandangan yang salah bilamana berkaitan dengan pembebasan makhluk-makhluk dari samsara.
MENGAPA NAFSU KEINDRIYAAN HARUS DILENYAPKAN ?
Saudara-saudari, pertama-tama, kita harus memahami tahap-tahap pengetahuan “Pencerahan” saat kita berhasil menembus hakekat segala sesuatu.
Pada hakekatnya, dunia ini adalah “Dukkha”; rendah dan kosong , kosong dari kekekalan, kosong dari keabadian, kosong dari kebahagiaan sejati, karena itulah dunia ini adalah penderitaan. Memang, bagi kebanyakan orang, menembus kesunyataan mulia mengenai dukkha ini tidaklah mudah. Karena itulah Sang Buddha menyatakan:
“Dhamma yang telah kucapai ini sungguh dalam, sungguh sulit untuk dilihat dan dipahami, damai dan tinggi, tak dapat dicapai hanya lewat penalaran, halus, harus dialami oleh para bijaksana.
Sedangkan generasi [sekarang] ini bergembira di dalam keduniawian, bersenang-senang di dalam keduniawian, bersukacita di dalam keduniawian. Generasi seperti ini sungguh sulit untuk melihat kebenaran ini, yaitu: pengkondisian khusus, asal mula yang saling bergantungan. Dan sungguh sulit untuk melihat kebenaran ini, yaitu, berhentinya semua bentukan, lepasnya semua kemelekatan, hancurnya semua keserakahan, HANCURNYA NAFSU, penghentian, Nibbana”. [ Majjhima Nikaya ; Ariyapariyesana Sutta; ay.19 ]
Ketika kita telah melihat ketidak-kekalan [anicca], melihat dengan penembusan spiritual, bukan melalui kacamata intelektual semata, maka barulah kita akan memahami, bahwa dunia ini, pengembaraan dalam samsara ini adalah “Dukkha”. Dan sejak saat itu, kita akan berjuang menuju realisasi kebahagiaan-sejati, yang kekal, yang tidak terserang kelapukan, tanpa-kematian [amerta ; nama lain dari Nibbana / Nirvana].
Penembusan terhadap “dukkha-sacca”, adalah penembusan terhadap kesunyataan mulia yang pertama dari “Cattari-Ariya-Saccani” / Empat Kesunyataan Mulia. Penembusan ini baru bisa diperoleh melalui “Samma-Samadhi” [Samadhi-Benar] dan “Samma-Sati” [Perhatian-Benar]. Ketika samadhi kita telah sedemikian kuat, maka kekuatan samadhi itu dapat kita gunakan untuk menembus kesunyataan tentang “dukkha” tersebut.
Setelah itu, penembusan akan berlanjut pada tahap berikutnya, “Apakah sebab dukkha?”. Apakah sukha dan dukha disebabkan oleh suatu sosok “Adi-Kuasa” tertentu ? Jika jawabannya “ya” , maka seharusnya dukkha bisa dilenyapkan dengan sikap ramah-tamah, penghormatan, pemujaan, kepada sosok “Adi-Kuasa” tersebut ; dan seharusnya sukha senantiasa hadir kepada para “hamba” yang setiap hari tak lelah berdoa kepada sosok tersebut.
Namun, ternyata jawabannya adalah “tidak”, dan segala apapun yang terjadi pada diri kita, bukanlah disebabkan oleh “Prima-Causa” yang berupa sosok “Adi-Kuasa” yang “tidak-terlihat” dan “tidak-tahu-entah-dimana” tersebut. Sebanyak apapun kita meminta perlindungan pada sosok “Adi-Kuasa” tersebut supaya jangan mengalami ‘ketidak-kekalan’, jangan mengalami kesedihan, keputus-asaan, supaya tidak mengalami penderitaan, ternyata tetaplah ‘ketidak-kekalan’ dan ‘dukkha’ tersebut menjadi corak utama yang tidak pernah lepas dari seluruh sejarah perjalanan hidup.
Lalu setelah itu, kita kemudian berhasil menembus, bahwa sebab dari dukkha adalah, karena batin/pikiran kita selama menempuh rentang pengembaraan tumimbal-lahir senantiasa terikat oleh kelima tali kesenangan indera, inilah nafsu-keinginan [tanha] . Disinilah kita menemukan penyebabnya, nafsu-keinginan yang menyala-nyala didalam pikiran kita itulah penyebab dari dukkha [dukkha-samudaya-sacca].
Tahap selanjutnya dari penembusan/pencerahan kita adalah, kita mengetahui, bahwa penderitaan [dukkha] tersebut dapat berakhir. Setelah melampaui massa yang sangat panjang dalam samsara dengan segenap keputus-asaan yang menyertainya, berbagai kegagalan, kesedihan, ratap-tangis yang memenuhi sejarah perjalanan hidupnya, pada titik-titik puncak pencerahannya, manusia akhirnya mengetahui , bahwa ada jalan-keluar dari samsara ini, penderitaan bisa berakhir! Inilah saat ia mengetahui NIBBANA / NIRVANA [nirodha-sacca]. Dan pada tahap terakhir, ia menembus pengetahuan akan adanya “Jalan-Menuju-Berakhirnya-Penderitaan” [Magga-sacca ] , yaitu “Jalan-Ariya-Beruas-Delapan” [ Ariya-Atthangika-Magga ].
Sedikit kepuasan, banyak penderitaan. Saudara-saudari, bila kita belum bisa menembus dengan jauh [hingga ke beberapa kehidupan lampau kita] hakekat dukkha yang diakibatkan oleh nafsu-indriya, maka, kita setidaknya bisa me”review” perjalanan hidup kita yang sekarang ini. Dalam Alagaddupama Sutta, Majjhima Nikaya, Sang Buddha menyatakan bahwa kesenangan-kesenangan indera memberikan sedikit saja pemuasan, namun di sisi lain justru memberikan banyak penderitaan, banyak keputus-asaan, dan betapa besar bahaya di dalam hal-hal tersebut [pemuasan indera dan akibat-akibatnya ].
Ketika nafsu-indriya muncul, ia sudah menimbulkan penderitaan, karena ia “mencambuk-cambuk” batin kita, seakan-akan mengendalikan batin kita [bagi manusia-manusia biasa yang masih belum terbebas dari nafsu indriya] supaya segera mencari jalan menemukan pemuasan nafsu-indriya tersebut.
Ketika “objek” pemuasan nafsu indriya ini muncul, kita kembali ber”dukkha”. Sebab, saat mendapatkannya, kita khawatir suatu saat kehilangan. Kita khawatir “objek” ini kelak dicuri orang lain, kita khawatir bila sampai kita berpisah dari “objek” ini. Juga, ternyata setelah kita “menggenggam” objek pemuasan indriya ini, ternyata tidak seindah yang dibayangkan dulu kala saat mulai munculnya nafsu indriya. Ternyata, “objek” tersebut tidak juga sempurna memberikan kebahagiaan sejati bagi batin kita.
Terakhir, dukkha akan semakin menjadi-jadi saat kita benar-benar berpisah dengan “objek” pemuasan nafsu-indriya kita. Karena kemelekatan kita yang begitu kuat, kita bersedih telah kehilangan”nya”. Mengenai keresahan-keresahan yang disebabkan objek-objek indriya ini, Sang Buddha bersabda:
“… seseorang berpikir demikian : “Aduh, dulu aku memilikinya! Aduh, kini aku tidak memilikinya lagi! Aduh, semoga aku memilikinya! Aduh, aku tidak mempunyainya sekarang!” Maka dia bersedih hati, menangis, dan meratap. Dia meraung-raung memukuli dadanya dan menjadi putus-asa. … .” [Alagaddupama Sutta ; Majjhima Nikaya ]
Keterikatan kita terhadap nafsu-indriya [tanha] inilah, yang menyebabkan kita senantiasa bertumimbal-lahir. Kehausan kita terhadap nafsu-indriya dan pemuasannya, inilah “Avijja” ; Ketidak-tahuan, ini pulalah “Moha”; Kebodohan-batin. Avijja ini sebab utama kita senantiasa bertumimbal lahir, berkelana dalam samsara. Karena kita tidak bisa melihat adanya ; 1. Dukkha, 2.Sebab dari Dukkha, 3.Berakhirnya Dukkha, dan, 4. Jalan menuju berakhirnya dukkha, maka dari itu kita benar-benar “BODOH”. Inilah yang dimaksud dengan Avijja.
Kebodohan batin ini semacam ketololan seorang penjudi yang tidak bisa melihat bahaya dari perjudian, betapa besar penderitaan yang diakibatkan dari perjudian tersebut. Kebodohan batin ini juga semacam ketololan seorang laki-laki yang tergila-gila kepada seorang perempuan penzinah yang menguras harta kekayaannya dan berselingkuh dibelakangnya. Meskipun banyak orang telah memberitahukan kepada laki-laki ini perihal perempuan penzinah tersebut, namun ia tidak peduli, karena hatinya telah dibutakan oleh kecantikan dan kemolekan tubuh perempuan tersebut. Inilah kebodohan-batin ; batin yang tidak bisa melihat dan menembus hakekat sejati dari segala sesuatu apa-adanya, batin yang terperdaya oleh perangkap-perangkap yang penuh penderitaan.
HANYALAH GURU BODOH YANG MENGAJARKAN KETERLIBATAN DENGAN DUNIA NAFSU-INDRIYA
Guru-guru yang mengajarkan para muridnya untuk tetap terlibat dengan nafsu-indriya sembari berjalan menempuh Jalan-Pembebasan adalah guru-guru yang “tidak-mengerti” mana “Jalan” dan mana “bukan-Jalan” ; guru seperti ini benar-benar bodoh. Sang Buddha bersabda: “Sehubungan dengan para petapa dan brahmana yang terikat pada lima tali kesenangan indera ini, tergila-gila padanya dan sepenuhnya terlibat di dalamnya, dan yang menggunakannya tanpa melihat bahaya di dalamnya atau memahami jalan keluar darinya, mengenai mereka hal ini dapat dipahami :
‘Mereka telah bertemu dengan malapetaka, telah bertemu dengan bencana, “Si Jahat” dapat melakukan kepada mereka semaunya.’ [ Ariyapariyesana Sutta ; Majjhima Nikaya ]
Guru-guru yang “belum-cerah” tersebut berargumen, bahwa kita dapat tetap terbebas dari kekotoran “nafsu-indriya” sementara kita tetap “mencicipi” ( bersenang-senang ) dalam kenikmatan nafsu-indriya. Mengenai kebodohan ini, Sang Buddha bersabda :
Ayat 9: “ Para Bhikkhu, bahwa manusia dapat terlibat di dalam kesenangan-kesenangan indera tanpa nafsu indera, tanpa persepsi nafsu indera, tanpa pemikiran-pemikiran nafsu indera – hal itu tidaklah mungkin.” [Alagaddupama-Sutta ; Majjhima Nikaya ]
Pada sabda Sang Buddha di ayat 9 ini, dengan tegas Sang Buddha menyatakan ketidak-mungkinan bagi manusia untuk terlibat di dalam kesenangan-kesenangan indrera, objek-objek kenikmatan indera, tanpa memiliki “gejolak-gejolak” hasrat nafsu indera. Frasa yang lain bagi kesenangan-indera ini, dalam Bahasa Pali mengacu pada kekotoran batin subjektif yang berhubungan dengan sensualitas, yaitu: nafsu keinginan indera ; hubungan sexual, tindakan-tindakan fisik lain yang mengexpresikan keinginan sexual ~ seperti memeluk dan mengelus ~ termasuk dalam pengertian “Kesenangan-indera”.
“Para Bhikkhu, ketika kalian mengetahui bahwa Dhamma mirip dengan rakit, bahkan keadaan-keadaan yang baik pun seharusnya kalian tinggalkan, apalagi keadaan-keadaan yang buruk.” [ Alagaddupama Sutta ]
Keterangan dalam Majjhima Nikaya memberikan penjelasan lebih jauh mengenai akhir dari khotbah diatas, “Para Bhikkhu, Aku mengajarkan untuk bahkan meninggalkan nafsu keinginan dan kemelekatan pada keadaan-keadaan yang damai dan tinggi ~ ketenangan ( samatha ) dan pandangan terang ( vipassana ) ~ apalagi pada hal yang rendah, vulgar, menjijikkan, kasar, dan kotor… [ kesenangan-kesenangan indria, terlibat dalam hubungan sex ]“.
Guru-guru yang “sesat” tersebut belum memahami segala-sesuatu sebagaimana adanya. Ia masih melihat bahwa apa-apa didunia ini semuanya “nyata” dan layak diinginkan. Ia tidak bisa melihat dengan jelas, bahwa semua yang terlihat didunia ini hanyalah “paduan-unsur-unsur” , yang tidak-kekal, tidak layak diinginkan, dan tidak ada “inti-diri” [ Aku ] disana. Karena ia melihat bahwa ada “diri”, bahwa itu adalah “kekal”, maka ia terpikat, tertarik, mengikuti “keinginan” untuk memilikinya. Mengenai pandangan-pandangan keliru para manusia yang belum tercerahkan dan tidak terlatih dalam Dhamma nan Agung ini, Sang Buddha bersabda :
Ayat 15: ”Para bhikkhu, ada enam pendirian untuk pandangan-pandangan. Apakah yang enam itu ?
Disini, para bhikkhu, seorang biasa yang tidak belajar , yang tidak memiliki rasa hormat bagi orang-orang luhur dan tidak terampil serta tidak disiplin di dalam Dhamma mereka, yang tidak memiliki rasa hormat bagi manusia-manusia sejati dan tidak terampil serta tidak disiplin di dalam Dhamma mereka, menganggap :
bentuk-bentuk materi demikian ; “ Ini adalah milikku, ini adalah aku, ini adalah diriku.”
- Dia menganggap perasaan demikian ; “ Ini adalah milikku, ini adalah aku, ini adalah diriku.”
- Dia menganggap persepsi demikian : “Ini adalah milikku, ini adalah aku, ini adalah diriku.”
- Dia menganggap bentukan-bentukan demikian ; “ Ini adalah milikku, ini adalah aku, ini adalah diriku.”
- Dia menganggap apa yang terlihat, terdengar, terasa, terkognisi, ditemui, dicari, direnungkan secara mental demikian ; “Ini adalah milikku, ini adalah aku, ini adalah diriku.”
- Dan pendirian untuk pandangan-pandangan ini, yaitu ; ‘ Ini adalah diri, ini adalah dunia ; setelah kematian aku akan abadi, langgeng, kekal, tidak terkena perubahan ; aku akan bertahan kekal selama keabadian’ ~ hal inipun juga dianggap demikian ; “ Ini adalah milikku, ini adalah aku, ini adalah diriku”.
Didalam penjelasan Majjhima-Nikaya disebutkan, bahwa pengertian :
- “Ini adalah milikku”; disebabkan oleh nafsu keserakahan [lobha]
- “Ini Aku” ; disebabkan oleh kesombongan [mana]
- “Ini adalah diriku” ; disebabkan oleh pandangan salah [miccha-ditthi].
Tiga hal ini, ~ yaitu nafsu keserakahan, kesombongan, dan pandangan salah ~ disebut tiga obsesi (gaha ). Ketiganya ini juga merupakan pendorong utama di balik pemahaman dan pengembangan mental. Pandangan mengenai “kelanggengan ; setelah kematian aku akan memasuki pintu keabadian”, sesungguhnya pandangan itu sendiri justru menjadi objek nafsu keserakahan, kesombongan, dan pandangan salah tentang diri.
Sang Buddha berkali-kali menegaskan ke-tanpa-diri-an dalam segala sesuatu di dunia ini. Objek apapun di depan kita, semua kosong dari “diri”, bahkan kita sendiri pun kosong dari “diri; TANPA-DIRI! Anicca (tidak-kekal ), Dukkha (derita), dan Anatta (Tanpa-Diri ; Tidak-Ada-Aku) , itulah sejatinya segala sesuatu hal. Dan nafsu indriya yang menggebu-gebu terhadap segala sesuatu yang sesungguhnya hanyalah “fluks” [tidak-kekal, derita, dan tanpa “Aku”], jelas-jelas merupakan kebodohan-batin. Mengenai ketidak-kekalan dan ke-tanpa-diri-an ini, Sang Buddha bersabda :
Ayat 22: “Para Bhikkhu, kalian bisa saja [berpikir untuk] memperoleh kepemilikan yang kekal, langgeng, abadi, tidak terkena perubahan, dan yang mungkin bertahan kekal selama keabadian. Tetapi, apakah kalian melihat ada kepemilikan semacam itu, para Bhikkhu ? – “Tidak, Yang Mulia Bhante”. – “ Bagus, para bhikkhu. Aku pun tidak melihat kepemilikan apa pun yang kekal, langgeng, abadi, tidak terkena perubahan, dan yang bisa bertahan kekal selama keabadian.
Ayat 23: “Para Bhikkhu, engkau bisa saja melekati doktrin tentang diri yang tidak akan menimbulkan kesedihan, ratap tangis, rasa sakit, penderitaan, dan keputus-asaan di dalam diri orang yang melekatinya. Tetapi apakah kalian melihat ada doktrin tentang diri semacam itu?” – “ Tidak, yang Mulia Bhante”. “Bagus, para bhikkhu. Aku pun tidak melihat doktrin apa pun tentang diri yang tidak akan menimbulkan kesedihan, ratap tangis, rasa sakit, penderitaan, dan keputus-asaan di dalam diri orang yang melekati padanya.”
Ayat 25: “ Para bhikkhu, seandainya diri itu memang ada, apakah ada sesuatu yang menjadi milik diriku?” – “ Ya, Yang Mulia Bahnte” – “Atau seandainya saja ada sesuatu yang menjadi milik suatu diri, apakah diriku ada?” – “Ya, Yang Mulia Bhante” – “Para bhikkhu, karena suatu diri dan apa yang menjadi milik suatu diri tidaklah dipahami sebagai yang benar dan terbentuk, maka pendirian untuk pandangan-pandangan ini, yaitu, “ Ini adalah diri , ini adalah dunia ; setelah kematian aku akan abadi, langgeng, kekal, tidak terkena perubahan ; aku akan bertahan kekal selama keabadian.’ – tidakkah itu merupakan suatu ajaran yang sungguh sepenuhnya tolol ?”
“Tak bisa lain, Yang Mulia Bhante. Pandangan itu merupakan ajaran yang sungguh sepenuhnya tolol.”
Ayat 26: “Para bhikkhu, bagaimana pendapat kalian? Apakah bentuk materi itu kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Yang Mulia Bhante” – “Apakah sesuatu yang tidak kekal merupakan penderitaan atau kebahagiaan?” – “Penderitaan, Yang Mulia Bhante.” – “Apakah sesuatu yang tidak kekal, penderitaan, dan terkena perubahan, itu pantas dianggap demikian : ‘ Ini adalah milikku, ini adalah aku, ini adalah diriku?” – “ Tidak, Yang Mulia Bhante”.
“Para Bhikkhu, bagaimana pendapat kalian? Apakah perasaan…apakah persepsi… apakah bentukan-bentukan… apakah kesadaran itu kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal , Yang Mulia Bhante.” – “Apakah sesuatu yang tidak kekal merupakan penderitaan atau kebahagiaan ? “ – “Penderitaan, Yang Mulia Bhante.” – “Apakah sesuatu yang tidak kekal, penderitaan, dan terkena perubahan, itu pantas dianggap demikian : “Ini adalah milikku, ini adlah aku, ini adalah diriku?” – “Tidak, Yang Mulia Bhante.”
Ayat 27: “Oleh karenanya, para bhikkhu, jenis bentuk materi apapun – apakah dari masa lalu, masa mendatang, atau masa kini, internal atau eksternal, kasar atau halus, rendah atau tinggi, jauh atau dekat – semua bentuk materi harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan yang benar demikian : “Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.” Jenis perasaaan apapun… jenis persepsi apapun… jenis bentukan-bentukan apa pun… jenis kesadaran apa pun – apakah dari masa lalu, masa mendatang, atau masa kini, internal atau eksternal, kasar atau halus, rendah atau tinggi, jauh atau dekat – semua kesadaran harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan yang benar demikian : ” Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.”
Ayat 28: ”Dengan melihat demikian, para bhikkhu, seorang siswa agung yang belajar dengan baik menjadi tidak terpikat oleh bentuk materi, tidak terpikat oleh perasaan, tidak terpikat oleh persepsi , tidak terpikat oleh bentukan-bentukan, tidak terpikat oleh kesadaran.
Ayat 29: “Karena tidak terpikat, dia menjadi tidak bernafsu. Melalu tiadanya nafsu, [pikirannya] terbebas. Ketika pikiran terbebas, disitu muncul pengetahuan : ‘Pikiran telah terbebas’. Dia memahami : ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi kelahiran pada keadaan dumadi apa pun.”
Ketidaktertarikan (nibbida ; yang juga diterjemahkan “reaksi mendadak” atau “kemuakan” ) menunjukkan tingkat puncak kebijaksanaan, hilangnya nafsu (viraga), pencapaian jalan supra-duniawi, dan pembebasan (vimutti), buahnya. Pengetahuan Arahat yang memeriksa (paccavekkhananana) ditunjukkan oleh frasa “disana muncullah pengetahuan “ dan “dia memahami : Kelahiran telah dihancurkan…dst.’ “.
Ayat 38: “Para bhikkhu, baik dahulu maupun sekarang, apa yang kuajarkan adalah penderitaan dan berhentinya penderitaan.”
Tuduhan yang menyatakan bahwa Sang Buddha mengajarkan penyangkalan, penghancuran, pembasmian dari makhluk yang ada adalah suatu kekeliruan dan pemikiran yang didasari ketidaktahuan.
Sang Buddha menyatakan, bahwa suatu makhluk hidup bukanlah suatu “Diri”, melainkan hanya kumpulan banyak faktor, peristiwa materi dan mental, yang berhubungan di dalam suatu proses yang pada hakekatnya bersifat dukkha, dan bahwa Nibbana, berhentinya penderitaan, bukanlah pemusnahan suatu makhluk melainkan berhentinya proses ketidak-puasan itu sendiri. Seseorang yang telah memiliki pandangan benar, yang telah membuang semua doktrin tentang diri, melihat bahwa apa pun yang muncul hanyalah munculnya dukkha, dan apapun yang lenyap hanyalah lenyapnya dukkha.
LEPASKANLAH GENGGAMANMU PADA DUNIA!
Dalam bagian akhir-akhir khotbah Sang Buddha di dalam Alagaddupama Sutta, Sang Buddha menegaskan kepada para siswa-siswa terpelajar-Nya, untuk meninggalkan apapun di dunia ini, sebab itu bukanlah diri”mu”, bukanlah milik”mu”. Bagi anda yang telah bisa memahami, mengapa “pelepasan” ini adalah hal mutlak, maka anda akan dengan sukarela melepaskan genggaman erat anda pada dunia ini, sebab semua hanyalah “kosong”, “rendah”, “derita”, “tidak-kekal”, dan “tanpa-diri”.
Ayat 40: “Maka, para bhikkhu, apa pun yang bukan milikmu, tinggalkanlah ; bila kalian telah meinggalkannya, hal itu akan membawa menuju kesejahteraan dan kebahagiaan kalian untuk waktu yang lama. Apakah yang bukan milikmu itu ? Bentuk materi bukan milikmu. Tinggalkanlah. Bila kalian telah meninggalkannya, hal itu akan membawa menuju kesejahteraan dan kebahagiaan kalian untuk waktu yang lama. Perasaan bukan milikmu. Tinggalkanlah. Bila kalian telah meninggalkannya, hal itu akan membawa menuju kesejahteraan dan kebahagiaan kalian untuk waktu yang lama. Persepsi bukan milikmu. Tinggalkanlah. Bila kalian telah meninggalkannya, hal itu akan membawa menuju kesejahteraan dan kebahagiaan kalian untuk waktu yang lama. Bentukan-bentukan bukan milikmu. Tinggalkanlah. Bila kalian telah meninggalkannya, hal itu akan membawa menuju kesejahteraan dan kebahagiaan kalian untuk waktu yang lama. Kesadaran bukan milikmu. Tinggalkanlah. Bila kalian telah meninggalkannya, hal itu akan membawa menuju kesejahteraan dan kebahagiaan kalian untuk waktu yang lama.”
Dengan sabda ini, Sang Buddha menunjukkan bahwa yang harus ditinggalkan adalah kemelekatan pada lima kelompok kehidupan [ Panca-Khanda ] ; kelompok-kelompok kehidupan itu sendiri tidak dapat dipisahkan atau dicabut.
Demikianlah saudara-saudari, mengapa kita harus melepaskan keduniawian, melenyapkan nafsu-indriya. Karena, ketika kita senantiasa mentoleransi bagi berkembangnya nafsu-indriya di dalam diri kita, serta memberikan pemuasan-pemuasannya, sesungguhnya kita adalah orang-orang “bodoh” yang tidak menyadari bahaya dari nafsu-indriya, perangkap yang disediakan olehnya hanyalah penderitaan, dan suatu masa penderitaan yang panjang akan diakibatkan oleh pemuasan nafsu indriya tersebut, yakni terlahirnya kita berulang-ulang di dalam alam-alam keberadaan ; di dalam SAMSARA.
Salam Damai dan Cinta Kasih…,
“ Sabbe Satta Sukhita Hontu, Nidukkha Hontu, Avera Hontu, Abyapajja hontu, Anigha Hontu, Sukhi attanam Pariharantu “
( “Semoga semua makhluk berbahagia, bebas dari penderitaan, bebas dari kebencian/permusuhan/pertentangan/niat jahat, bebas dari kesakitan, bebas dari kesukaran, semoga mereka dapat mempertahankan kebahagiaan mereka masing-masing” )
~ RATANA KUMARO ~
SEMARANG, 25 MEI 2009.