Zen dan Alam Murni

Semua ajaran dalam Tripitaka (Kitab Suci Agama Buddha) merupakan alat untuk memengaruhi makhluk hidup guna memutuskan kemelekatannya.

Untuk mereka yang ‘Melekat pada Kekosongan’, Buddha Shakyamuni mengajarkan Keberadaan guna menghancurkan pemahaman tersebut. Untuk mereka yang ‘Melekat pada Keberadaan’, Beliau mengajarkan Kekosongan sehingga dengan demikian menghilangkan pemahaman tersebut. Untuk mereka yang ‘Berpegangan pada baik Kekosongan maupun Keberadaan’, Beliau mengajarkan “bukan Kekosongan pun bukan Keberadaan” untuk menghancurkan pemahaman tersebut. Terakhir, untuk mereka yang berpegangan pada “Bukan Kekosongan pun bukan Keberadaan,” Beliau mengajarkan baik Kekosongan maupun Keberadaan untuk menghancurkan kemelekatan tersebut.

Singkat kata, tujuannya adalah untuk menjauhkan semua makhluk hidup dari KEMELEKATAN. Inilah ajaran Buddhis tentang keselamatan. Tiada jalan lain kembali ke sumber, kendati terdapat banyak metode berfaedah. Kita, para murid dan para praktisi Buddhis sudah seharusnya tidak melekat pada metode-metode ini. Ketika pemikiran timbul dalam batin kita yang membeda-bedakan antara apa yang benar dan apa yang salah, hal tersebut bertentangan dengan tujuan Sang Buddha dan merupakan penyimpangan dari jalan Ajaran Buddha.

Sebagai contoh, ketika Sang Buddha mengajarkan Dharma Kekosongan, pesan-Nya bukanlah bahwa ia adalah lawan dari Keberadaan, namun lebih bahwa ia adalah Kebenaran dan Realitas. Apakah Kebenaran dan Realitas itu? Ijinkanlah saya mengutip Sesepuh T’en T’ai, Chih I:

“Ketika terdapat Kekosongan, maka semuanya adalah Kekosongan; tiada Bukan-Kekosongan yang terpisah. Tanpa Bukan-Kekosongan untuk dikontraskan dengan Kekosongan, Kekosongan sendiri adalah tak-tercapai [tidak ada]”

Sama dengan ini, ketika Sang Buddha mengajarkan Keberadaan, hal ini bukanlah lawan dari Kekosongan, namun lebih dikarenakan bermaksud mengatakan: “Ketika sesuatu ada, maka semuanya ada; tiada Bukan-Keberadaan yang terpisah. Tanpa Bukan-Keberadaan untuk dikontraskan dengan Keberadaan, Keberadaan sendiri adalah tak-tercapai”.

Kita harus memahami makna sebenarnya dari Kekosongan dan Keberadaan. Tiada kata-kata dari kita yang dapat menggambarkan Kekosongan dan Keberadaan dengan tepat. Dan dikarenakan hal ini, mengapa kau masih tetap meyakininya?

Mahaguru Han-Shan memahami dengan menyeluruh tujuan dari semua Buddha. Selaras dengan batin Para Sesepuh, Beliau menyebarkan Dharma, dengan berpegangan pada tanpa Kekosongan pun tanpa  Keberadaan, juga tanpa Bukan-Kekosongan pun tanpa Bukan-Keberadaan —sehingga mewujudkan “Jalan Tengah”. Dengan demikianlah, Beliau mempromosikan pembinaan gabungan Zen dan Alam Murni, menunjuk pada ‘ketanpa-dualitasan Kekosongan dan Keberadaan’. Ajaran itu adalah Pencerahan Yang Menakjubkan.

Tatkala mempraktikkan Zen, pada permulaan pembinaan metode Kekosongan digunakan. Namun Zen tidak berarti Kekosongan, juga tidak berarti Keberadaan. Alam Murni menggunakan metode Keberadaan sebagai awal praktik, namun Alam Murni tidak berarti Keberadaan maupun Kekosongan. Ketika Buddha Sakyamuni menyebutkan Kekosongan dan Keberadaan, adalah untuk menggapai kapasitas yang berbeda-beda pada manusia. Dharma sendiri melampaui Kekosongan dan Keberadaan. Semua metode yang diajarkan oleh Buddha Sakyamuni obat penyembuh. Dikarenakan manusia menderita penyakit yang berbeda, mereka membutuhkan beragam obat. Bukan masalah apakah obat tersebut mahal atau murah. Selama efektif, ia adalah obat yang baik.

Mereka yang mempraktikkan Zen atau Alam Murni semuanya seharusnya mengerti kebenaran ini: “Semua metode Dharma adalah setara dan tiada yang lebih unggul atau lebih lemah.” Tiada seorangpun dari yang sungguh-sungguh memahami makna mendalam Dharma, mungkin memiliki prasangka keras kepala yang melihat kelemahan dan keunggulan di antara metode Buddhis yang beragam. Tiada seorangpun dari yang memiliki prasangka keras kepala demikian bisa menggapai manfaat sejati dari Dharma.

Sebagai contoh, aliran Zen mengajarkan meditasi mengenai sebuah “Hua-t’ou” (Jp. Wato). Hua-t’ou berarti “sebelum kata-kata,” sebelum sebuah pemikiran timbul dalam batin tunggal.  Apa yang ada sebelum sebuah pemikiran timbul? Tiada pemikiran. Tiada pemikiran adalah Batin Murni seseorang, Hakikat Kebuddhaan seseorang, Wajah Asal seseorang. Bermeditasi tentang sebuah hua-t’ou tidak berarti melafalkannya, dikarenakan pelafalan sebuah hua-t’ou juga adalah pemikiran palsu besar. Sebaliknya, mengenali Wajah Asal seseorang adalah tujuan sebuah hua-t’ou.

Aliran Alam Murni mengajarkan Pelafalan Buddha —pengulangan nama Buddha Amitabha. Meskipun demikian, tidak mengajarkan untuk semata-mata melafalkan dengan mulut, tak ubahnya burung beo meniru kata-kata tanpa mengetahui maknanya.  Pelafalan Buddha yang terpusat pada batin adalah Pelafalan Buddha yang sejati. Hal ini dikarenakan Batin adalah Buddha, Buddha adalah Batin. Seperti yang dikatakan dalam sutra: “Batin, Buddha dan Makhluk Hidup semuanya adalah setara dan tidak dapat dibeda-bedakan.” Di luar Batin, tiada Buddha, di luar Buddha, tiada Batin. Buddha adalah Batin, Batin adalah Buddha. Bila seorang praktisi melafalkan nama Buddha dengan cara demikian, ia akan secara bertahap tiba pada tahapan di mana tiada  Batin sebagai subyek maupun Buddha sebagai obyek. Dan tiada  subyek maupun obyek pelafalan. Ini merupakan tahapan sebelum timbulnya pikiran tunggal. Ini merupakan hua-t’ou dan ini merupakan Wajah Asal seseorang. Bila praktisi tersebut dapat  dengan sungguh-sungguh memahami Dharma yang melampaui subyek dan obyek, lantas apalah bedanya antara Zen dan Alam Murni?

Bahkan sejak Buddha Sakyamuni mengangkat sekuntum bunga dan Sesepuh Mahakasyapa tersenyum, metode transmisi Batin-ke-Batin, “tanpa kata dan di luar Ajaran [Tripitaka],” telah menjadi cara yang telah mentradisi untuk meneruskan pewarisan dari satu sesepuh ke sesepuh lainnya di dalam aliran Zen.  Sejak Bodhidharma datang dari Barat [yaitu India], telah terjadi transimsi berkesinambungan, dan seterusnya hingga Sesepuh Keenam, Hui-Neng. Pada generasi selanjutnya, setiap sesepuh bergantung pada teknik Zen-nya sendiri untuk melatih para murid dan pengikutnya. Terdapat banyak metode, seperti menggunakan Batin untuk mengunci Batin atau meditasi pada sebuat hua-t’ou. Seseorang bisa juga menggali Wajah Asalnya, dengan merenungkan  “siapa yang melafalkan nama Buddha,” atau bermeditasi pada kata tunggal “Wu” (“tidak” atau “tiada”)  atau pada salah satu dari 1700 kung-an (koan). Kendati demikian, satu-satunya tujuan dari semua ajaran ini adalah untuk mengajak praktisi untuk melepaskan segalanya, dari tubuh hingga batin, membuang semua pikiran palsu serta membersihkan dirinya dari keterikatan dan kemelekatan. Seorang praktisi yang hanya melafalkan hua-t’ou  atau bermeditasi pada sebuah kung-an tanpa memahami kegunaannya akan menguras waktu dan tenaganya dengan sia-sia.

Dharma Alam Murni, diajarkan oleh Buddha Sakyamuni tanpa diminta,  memperlihatkan welas asih dari Beliau yang agung. Kecemerlangan dunia dan hiasan Alam Murni Barat dilukiskan dengan jelas dalam Amithaba Sutra.  Dharma Alam Murni disanjung oleh Para Buddha di kesepuluh penjuru dan diikuti oleh Para Bodhisattva dan Sesepuh. Sebagai contoh, Bodhisattva agung Avalokitesvara  (Kuan-Yin), Mahasthamaprapta (Kekuatan Besar), Manjusri dan Samantabhadra semuanya mendukung dan mengikuti Alam Murni. Pada zaman kuno di India, Sesepuh Asvaghosa, Nagarjuna dan Vasubandhu, bersama dengan lain-lainnya, semuanya memperkenalkan ajaran Alam Murni. Setelah Dharma ditransmisikan ke Tiongkok, banyak master Zen dan sesepuh agung memperkenalkan Alam Murni. Betapa sempurna dan luhurnya Dharma Alam Murni yang menakjubkan, diajarkan oleh Buddha Sakyamuni dan dibabarkan oleh Para Buddha yang meliputi kesepuluh penjuru! Kita, sebaliknya, hanyalah makhluk biasa yang masih belum memutuskan ketidaktahuan dan pencemaran. Dengan demikian, terdapat orang-orang arogan dan berwatak angkuh yang merendahkan Dharma ini.

Terdapat kisah yang sangat populer dalam Avatamsaka Sutra, yang berisi tentang pemuda Sudhana yang melakukan perjalanan mengunjungi lima puluh tiga orang Guru Mulia. Yang pertama ia jumpai, Bhiksu Awan Kebaikan, mengajarkan padanya betapa pentingnya Dharma Alam Murni. Dari sini, Sudhana melanjutkan kunjungannya hingga ia mengunjungi seluruhnya lima puluh tiga orang Guru., yang terakhir darinya adalah Bodhisattva Samantabhadra. Yang terakhir juga mengajarkan padanya mengenai gerbang Dharma Alam Murni yang menakjubkan. Dengan demikian, kita seharusnya memahami bahwa Alam Murni adalah krusial bagi praktisi pada Zaman Akhir-Dharma. Sebagai murid Para Buddha, kita seharusnya mulai mempraktikkan Dharma ini sedini mungkin.

Ringkasnya, Zen dan Tanah Murni bersifat saling melengkapi. Pada masa lampau, Para Buddha di kesepuluh penjuru bergantung pada metode Dharma ini untuk melatih dan mencapai Kebuddhaan. Para Buddha di masa kini juga bergantung padanya untuk melatih dan mencapai Kebuddhaan. Hal yang sama berlaku pula untuk Para Buddha di masa mendatang.  Kedua metode Dharma ini secara khusus disampaikan dalam  Avatamsaka Sutra, Sutra Teratai dan Shurangama Sutra, bersama dengan banyak sutra-sutra lainnya yang mengajak orang-orang untuk belajar dan berlatih.

Master LokTo; New York,
http://dhammacitta.org/forum