TUHAN “YANG-MAHA…” DIMATA SEORANG BUDDHA
(by ratanakumaro)
“Dengan mata, seseorang dapat melihat pandangan memilukan; Mengapa Brahma itu tidak menciptakan secara baik? Bila kekuatannya demikian tak terbatas, mengapa tangannya begitu jarang memberkati? Mengapa dia tidak memberi kebahagiaan semata? Mengapa kejahatan, kebohongan dan ketidak-tahuan merajalela? Mengapa memenangkan kepalsuan, sedangkan kebenaran dan keadilan gagal? SAYA MENGANGGAP, BRAHMA ADALAH KETIDAK-ADILAN. Yang membuat dunia yang diatur keliru.” [Bhuridatta Jataka, Jataka 543]
Apabila, O para bhikkhu, makhluk-makhluk mengalami penderitaan dan kebahagiaan sebagai hasil atau sebab dari ciptaan Tuhan (Issaranimmanahetu), maka para petapa telanjang ini tentu juga diciptakan oleh satu Tuhan yang jahat/nakal (Papakena Issara), karena mereka kini mengalami penderitaan yang sangat mengerikan. [Devadaha Sutta, Majjhima Nikaya 101]
“Bila ada Sang Maha Kuasa yang dapat mendatangkan bagi setiap mahluk ciptaanya kebahagiaan atau penderitaan, perbuatan baik maupun jahat, maka yang maha kuasa itu diliputi dosa, sedangkan manusia hanya menjalankan perintahnya saja.”( Mahabodhi Jataka No.528 )
_______________________________________________________________________________________
“Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa”
(tikkhattum (3X)
Namatthu Buddhassa,
Akhir-akhir ini, saya sering mendapat pernyataan dari orang-orang non-Buddhis, bahwa setelah Sang Buddha Parinibbana, Beliau mencapai suatu tataran spiritual “Menyatunya-Atman-Dengan-Brahman” (Jawa: Manunggaling-Kawula-Lan-Gusti), pernyataan masyarakat non-Buddhis itu tidaklah-benar. Tidaklah benar pula bila dinyatakan bahwa Sang Buddha adalah salah satu Nabi utusan Tuhan dari sekian banyak Nabi yang tidak dipopulerkan dalam lingkup tradisi agama-agama theistik tertentu.
Pada kenyataannya, Sang Buddha justru menolak teori/pandangan adanya sosok “Maha-Pencipta” dan “Maha-Kuasa” dalam bentuk apapun; menolak adanya “Atman” dan menolak ke-Maha-Kuasa-an “Brahman”. Dan Sang Buddha itu sendiripun bukan seorang Tuhan “Yang-Maha…” sebagaimana anggapan orang-orang non-Buddhis. Sang Buddha adalah “Guru-Agung” yang telah mencapai Pencerahan-Sempurna dan kemudian menunjukkan hakekat segala-sesuatu, serta menunjukkan “Jalan-Keselamatan” bagi semua makhluk supaya bisa terbebas dari samsara.
Alam semesta dan makhluk hidup mengada, karena proses hukum alam semata yang tertutup kabut seiring perjalanan waktu semesta yang memang sebenarnya telah berusia sangat tua, sehingga para makhluk tidak mampu menguak misterinya. Dan misteri hukum alam ini, kemudian telah disingkapkan dengan kehadiran Sang Buddha Gotama ke muka bumi ini.
Setelah pencerahan-Nya, Sang Buddha kemudian menembus dan memahami, bahwa sosok-sosok “Maha-Dewa-Yang-Maha” yang sebelumnya banyak dipuja-puji oleh banyak aliran spiritual sebelum Beliau hadir dan ketika Beliau masih hidup, ternyata hanyalah sekumpulan Dewa, dari surga Kamadhatu, Rupadhatu, hingga Arupadhatu. Untuk Dewa lingkup Kamadhatu, watak Dewa disana masih memiliki nafsu dan emosi, sehingga pantas beberapa “Maha-Dewa” yang diyakini sebagai pemilik “kuasa” memiliki watak seperti itu (pendendam, pemarah, pencemburu, suka berperang, bangga akan “kekuatan” dan “kekuasaan). Dan Dewa-dewa dari lingkup kamadhatu ini, selain dikenali dari wataknya, dapat dikenali dari satuan hitungan waktu (misal, sehari semalam disana = 800 tahun waktu manusia, atau sehari semalam disana = 1.600 tahun waktu manusia, maka Tuhan tersebut berarti hidup di alam surga Kamadhatu, tepatnya di alam Nimmanarati dan Paranimmittavasavatti.
Pada alam kamadhatu inilah, seperti yang dikisahkan dalam banyak kitab-kitab Buddhis, kelak siapapun yang masuk ke surga ini, akan mendapatkan jatah ratusan bidadari cantik berkaki merah muda, mendapatkan istana-istana megah, istana-istana emas, dan lain sebagainya.
Gambaran di atas adalah gambaran alam surga Kamadhatu. Berbeda lagi kondisinya bila yang dibicarakan adalah surga Rupa-Dhatu, disana (Rupa-Dhatu) sudah mulai tidak terdapat nafsu. Tidak ada lagi perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan. Ini adalah alam para Brahma. “Maha-Brahma” yang disembah para Brahmana, hidup dalam alam Rupa-Dhatu tepatnya di alam Jhana I. “Maha-Brahma” adalah pemimpin dari keenam surga kamadhatu di bawahnya, dan juga pemimpin para dewan dan menteri Brahma. Usia Maha-Brahma mencapai 1 Asankkheyya-Kappa ( 100.000.000.000.000 tahun waktu manusia).
Dengan pembagian surga-surga tersebut, Sang Buddha bertujuan memberikan “pencerahan” kepada semua makhluk, bahwa sesungguhnya, apa yang disebut sebagai “Maha-Kuasa” yang “Tunggal”, sesungguhnya tidak ada. Sebab, yang ada hanyalah kumpulan dari para Dewa yang jumlahnya sangat banyak. Dan Sang Buddha, kemudian menunjukkan, bahwa pembebasan dari lautan samsara, bukanlah untuk terlahir di alam-alam “Tuhan” tersebut, tetapi pelenyapan dari keserakahan/nafsu-indriya (lobha), kemarahan/kebencian (dosa), dan kebodohan/kegelapan batin (moha), ialah saat kita merealisasi NIBBANA (NIRVANA).
Karena penolakan terhadap adanya “Maha-Pencipta” dan “Maha-Kuasa” dalam bentuk dan nama apapun, maka banyak masyarakat kemudian memandang Buddhisme sebagai sebuah ajaran “Atheistik”. Oleh ilmuwan barat, dan para filosof, penolakan tersebut justru dipandang sebagai hal yang positif dan dianggap sangat sesuai dengan pemikiran modern dan sangat ilmiah. Namun, untuk orang-orang dan tempat tertentu seperti di Indonesia, hal ini menjadi sesuatu hal yang negatif, karena seringkali penolakan terhadap adanya “Tuhan-Yang-Maha…” dikaitkan dengan faham “atheist-materialistisch” dan “komunisme”.
Apa yang lebih tepat disematkan pada Buddhisme adalah suatu ajaran “NON-THEISTIK”. Sang Buddha memang menolak adanya suatu sosok “Maha-Pencipta” dan “Maha-Kuasa”. Alih-alih terjebak dalam pandangan spekulatif tentang sosok “Maha”. tersebut, Sang Buddha menerangkan panca-niyama (lima-hukum-alam) yang bekerja dengan sendirinya tanpa ada sosok “Maha-Kuasa” dalam bentuk apapun yang menggerakkan, serta bekerjanya hukum-sebab-musabab-yang-saling-bergantungan (paticcasamuppada), yang kesemuanya itu Beliau peroleh sebagai hasil Pencerahan-Nya.
Meskipun Sang Buddha menolak adanya sosok “Pencipta”, “Maha-Kuasa”, namun, Sang Buddha menunjukkan suatu “Tujuan-Sejati” bagi kehidupan spiritual/rohani yang jauh lebih dalam dan luas daripada sekedar menuju “Penyatuan-Atman-Brahman” (Jawa: “Manunggaling-Kawula-Lan-Gusti”) sebagaimana banyak ajaran spiritual mengajarkannya . Apa yang menjadi tujuan-sejati dalam Buddha-Dhamma itu, adalah suatu kondisi batin sebagai hasil realisasi-pembebasan sempurna dari proses tumimbal-lahir, pembebasan dari samsara, yaitu: NIBBANA.
Realisasi pembebasan dan kesucian tertinggi ini, jelas jauh berbeda dan sangat bertentangan dengan pandangan “Atheis-materialistik”. Sebab, kaum materialis berpendapat, bahwa hidup ini tidak mempunyai tujuan apapun setelah kematian nanti, karena setelah kematian, maka “kemusnahan-total” dari fisik-material-lah yang terjadi, sementara Buddha-Dhamma mengajarkan setelah mati, maka “batin” akan melanjutkan potensi-kamma-nya ke kehidupan selanjutnya (tumimbal-lahir). Sehingga, kehidupan-suci yang merupakan tujuan kehidupan spiritual sangat ditolak oleh kaum materialist, sementara Buddha-Dhamma sangat mengagungkan kehidupan-suci. Kaum materialist juga menolak keberadaan “batin”, sebab bagi kaum materialist, apa yang disebut “batin” hanyalah residu dari kumpulan-material penyusun otak saja, yang disebut “Fosfor”, sementara Buddha-Dhamma menerangkan bahwa selain “Rupa” (tubuh-materi) terdapat “Nama” (batin).
Kaum materialist memandang tidak ada yang lebih tinggi daripada dunia inderawi ini dan oleh karena itu mementingkan hidup untuk bersenang-senang, memuaskan nafsu indriya, mencari kesejahteraan material. Sedangkan Buddha-Dhamma, justru berkebalikan darinya, karena Buddha-Dhamma mengajarkan ummatnya untuk mengejar suatu kebahagiaan-diatas-duniawi, yaitu kebahagiaan-spiritual, realisasi kesucian-tertinggi demi pembebasan sempurna dari samsara. Dalam hal ini, Buddha-Dhamma mempunyai “benang-merah” dengan pandangan ajaran-ajaran yang lain, yaitu bahwa kebahagiaan-tertinggi tidak terdapat pada kehidupan duniawi ini, meskipun dengan tujuan yang berbeda (Agama lain menuju “Surga” tempat dimana Tuhan bertahta dan hidup berdiam bersama para malaikat dan ummat-ummat pilihannya, sedangkan Buddha-Dhamma menuju pada pengakhiran, pelepasan-Agung ; NIBBANA).
Sehingga, menilik hal-hal tersebut diatas, jelas Buddha-Dhamma jauh berbeda dan bahkan sangat bertentangan dengan “Atheisme” kaum materialist, dan oleh karenanya, sangat tidak tepat bila Buddha-Dhamma disebut ajaran yang “Atheistik”.
Diatas dua pandangan: Atheisme-materialistisch dan Theisme-idealistisch, disitulah Buddha-Dhamma berada; mengatasi kedua pandangan “keliru” tersebut. Dan inilah puncak dari semua pengetahuan dan pencarian manusia.
PIKIRAN ITU SENDIRILAH “SANG-MAHA-PENCIPTA”
Menurut Sang Buddha, tidak ada siapapun juga yang menjadi “Creator” atas diri kita, kecuali itu adalah pikiran kita sendiri.
“1. Pikiran mendahului semua kondisi batin, pikiran adalah pemimpin, SEGALANYA DICIPTAKAN OLEH PIKIRAN. Apabila dengan pikiran yang jahat seseorang berbicara atau berbuat dengan jasmani, maka penderitaan akan mengikuti si pelaku karenanya, seperti roda kereta yang mengikuti jejak kaki lembu jantan yang menariknya.
2. Pikiran mendahului semua kondisi batin, pikiran adalah pemimpin, SEGALANYA DICIPTAKAN OLEH PIKIRAN. Apabila dengan pikiran yang bersih/suci seseorang berbicara atau berbuat dengan jasmani, maka kebahagiaan akan mengikuti si pelaku karenanya, seperti bayangan yang tidak pernah meninggalkan tubuh seseorang. [ Dhammapada 1; Yamaka-Vagga ; 1-2 ]”
Salah satu dari Mahayana Sutra, yaitu Lankavatara Sutra, menyatakan konsep Tuhan yang berdaulat, ataupun atman adalah imajinasi belaka atau perwujudan dari pikiran dan bisa menjadi halangan menuju kesempurnaan karena ini membuat kita menjadi terikat dengan konsep Tuhan Maha Pencipta:
“Semua konsep seperti sebab, pelanjutan, atom, unsur-unsur dasar, yang membuat kepribadian, jiwa pribadi, roh sakti, Tuhan yang berdaulat, pencipta, adalah imajinasi belaka dan perwujudan dari pemikiran manusia”.
Tidak, Mahamati, doktrin Tathágata dari rahim ke-Tathágata-an tidaklah sama dengan filosofi Atman. [Dikutip dari : http://id.wikipedia.org/wiki/Tuhan_dalam_agama_Buddha].
Hukum Sebab-Musabab yang Saling Bergantungan (Paticcasamuppada) dan Lima Hukum Alam (Panca-Niyami)
Untuk menerangkan terjadinya semua makhluk, Sang Buddha menerangkan bekerjanya “hukum-sebab-akibat-yang-saling-bergantungan” (Paticcasamuppada) Sebelum kemunculan seorang Samma-Sambuddha, hukum Paticcasamuppada belum pernah terdengar, dalam system-ajaran manapun juga. Paticcasamuppada adalah hukum yang dilihat Sang Buddha pada detik-detik menjelang Beliau mencapai Pencerahan-Sempurna.
Secara singkat, hukum paticcasamuppada dapat dirumuskan sebagai berikut:
“Imasming Sati Idang Hoti, Imassuppada Idang Uppajjati, Imasming Asati Idang Na Hoti, Imassa Nirodha Idang Nirsujjati”
Artinya = “ Dengan adanya ini, maka adalah itu, Dengan timbulnya ini, maka timbullah itu, Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu, Dengan padamnya ini, maka padamlah itu.”
Disamping itu, untuk menerangkan segala fenomena alam, maka Sang Buddha menyatakan bahwa hal tersebut semuanya berjalan sesuai hukum-alam yang bekerja dengan sendirinya, tanpa ada campur tangan siapapun juga yang bisa disebut sebagai “Maha-Kuasa”.
“Sesuai dengan benih yang kita tabur, begitulah buah yang akan kita petik. Pembuat kebajikan akan memperoleh kebahagiaan dan pembuat kejahatan akan memperoleh penderitaan”. [Samyutta Nikaya I, 227]
Di dalam Abhidhamma Vatara 54, dan Digha Nikaya Atthakatha II-432 dijelaskan bahwa Hukum Kamma hanya merupakan satu dari dua puluh empat sebab (paccaya 24) atau salah satu dari Panca Niyama (Lima Hukum) yang bekerja di alam Semesta ini, dan masing-masing merupakan hukum sendiri yang saling berhubungan.
Dalam Abhidhamma diterangkan adanya lima jenis hukum-alam (panca-niyama) yang mengatur semua fenomena alam-semesta ini , yaitu:
1. Utu-niyama: hukum energi menyangkut tatanan fisik inorganic, seperti cuaca, angin, dan hujan. Tatanan musim, sifat panas, perubahan iklim yang menyertai perubahan musim, termasuk dalam kelompok ini.
2. Bija-niyama: hukum hereditas menyangkut tatanan biologi atau alam organic, seperti beras yang diproduksi dari padi, rasa manis dari tebu atau madu, karakteristik dari buah-buahan tertentu, dll. Teori sel, gen dan kemiripan kembar juga termasuk dalam kelompok ini.
3. Kamma-niyama: hukum karma menyangkut tatanan sebab dan akibat.
4. Citta-niyama: hukum keteraturan alam batiniah menyangkut tatanan pikiran, seperti proses kesadaran, kemunculan dan kemusnahan kesadaran, komponen kesadaran, dan kekuatan pikiran. Telepati, kemampuan membaca pikiran orang lain, kemampuan memprediksi, dan hal-hal lain yang tak bisa dijelaskan dalam sains, termasuk dalam kelompok ini.
5. Dhamma-niyama: hukum kodrat menyangkut tatanan sifat-dasar fenomena, seperti naluri, gaya gravitasi dan hukum fisika lainnya.
Kelima niyama tersebut tidak terpisahkan satu sama lain. Istilah niyama hanya bertujuan untuk membantu manusia memahami aturan yang bekerja di alam semesta ini. Panca-niyama secara integrative menunjuk satu realitas, beroperasi dalam satu kesatuan, terkait dan saling bergantungan satu sama lainnya. Terminologi yang diberikan untuk menunjuk keterkaitan tersebut adalah ; interdependensi. Konsep interdependensi menempati peranan sentral dalam Avatamsaka-sutra, yang merupakan salah satu teks utama Buddhisme mazhab Mahayana.
PANDANGAN SANG BUDDHA TENTANG “SANG-MAHA-PENCIPTA/KUASA”
Berbagai literature Buddhis yang pernah ada semenjak pertama kali Sang Buddha memutar roda-Dhamma hingga sekarang, tidak pernah menyatakan sebuah kepercayaan terhadap adanya “Sang-Maha-Pencipta/Kuasa” seperti yang diusung-usung dalam system ajaran yang lain (dimana mereka (selain Buddha-Dhamma) lebih bersifat pada sebuah sistem-kepercayaan ). Dan justru inilah hal terutama yang menyebabkan Buddhisme menjadi ajaran yang “UNIQUE”, dan jauh berbeda dengan system ajaran yang lain.
Jikalau Tuhan adalah penyebab dari semua yang terjadi, apalah gunanya usaha keras/pengorbanan manusia? [Asvaghosa, Buddha-carita 9, 53] .
Dewa/“Tuhan”, memang ada, namun “Dewa-Yang-Maha…”, tidak pernah ada. Sebagaimana bahwa “Brahma”, memang ada, dan dia hidup di alam Rupa-Dhatu, namun “Brahma”, dan siapapun yang dinyatakan dan menyatakan dirinya “Tuhan”, bukanlah “Maha…”, karena “Maha…” tersebut tidak pernah ada.
Untuk memahami ajaran Sang Buddha berkaitan dengan penolakan terhadap kepercayaan masyarakat kepada “Sang-Maha…”, tentunya kita harus merujuk kepada sutta-sutta (khotbah-khotbah) yang diucapkan oleh Sang Buddha sendiri dan telah dirawat dan diwariskan secara turun-temurun, dalam sebuah kitab yang disebut: Ti-Pitaka (Pali-Pitaka ; kitab suci bagi umat Buddha-Theravada). Sutra-sutra yang tersebar dalam Tri-Pitaka (Kitab suci ummat Buddha-Mahayana) juga patut kita perhatikan. Sebab selama ini orang-orang yang tidak mengerti Buddhisme banyak keliru mengartikan, bahwa Buddhisme mazhab Mahayana berseberangan dengan Buddhisme mazhab Theravada dalam memandang kepercayaan kepada “Sang-Maha…”; dalam kenyataannya, kedua mazhab bersumber dari ajaran yang sama, ialah ajaran Sakyamuni-Buddha sebagai Buddha-historis.
Dari khotbah-khotbah Sang Buddha sendiri, maka kita bisa temukan bahwa Sang Buddha menolak sebuah kepercayaan kepada “Sang-Maha…”. “Maha-Dewa” yang ditolak Sang Buddha dan dengan begitu tidak di-”imani” oleh ummat Buddha adalah:
– “Yang-Maha-Pencipta” yang merujuk pada “Makhluk-Adi-Kuasa-Personal” yang dianggap “Kekal-Abadi” dan memiliki kuasa yang “Maha-Tak-Terbatas”
– “Tuhan-Impersonal” (Tuhan yang bukan makhluk, tidak terpersonifikasikan) dengan berbagai deskripsi/atribut seperti: “Roh-Kekal”, “Asal-Muasal-Semesta”, “Sangkan-Paraning-Dumadi”, “Absolut-Idea”, “Roh-Dunia”, “Roh-Absolut”, dan lain sebagainya. Tuhan-impersonal ini sering dipersamakan dengan “Anatta” dalam ajaran Buddha, padahal antara “Roh-Absolut” sebagai “Tuhan-Impersonal” dengan “Anatta” (Tidak-Ada-Roh ; Ke-Tanpa-Diri-an) jelas-jelas hal yang sangat bertentangan.
Dalam teks-teks Buddhis, kepercayaan akan seorang “Tuhan-Yang-Maha-Pencipta”, “The-Creator-God” (issaranimmana-vada) sering dibahas dan sekaligus ditolak secara bersamaan dalam usaha pembahasan mengenai asal-muasal-dunia, “roh-dunia” (pradhana), waktu (time), alam (nature), dan sebagainya.
Ajaran Buddha disatu sisi menolak anggapan bahwa kehidupan manusia dan keberadaan alam adalah suatu kebetulan belaka (Adhiccasamuppanika; pandangan yang mengajarkan bahwa asal mula sesuatu terjadi secara kebetulan) , dipihak lain juga menolak ajaran “Absolute-determinisme” (ajaran yang mengajarkan bahwa hidup manusia sudah ditentukan secara absolute, tidak bisa diubah-ubah lagi). Pandangan-pandangan seperti ini dinyatakan sebagai pandangan yang bersifat merusak, mempunyai akibat-akibat yang buruk (niyata-micchaditthi) yang disebabkan karena efeknya atas tindakan-tindakan moral etika.
Dalam sistem kepercayaan terhadap “Tuhan-Yang-Maha…”, meskipun juga meyakini adanya kelahiran-kembali dalam hal tertentu (yakni, setelah manusia mati, maka manusia akan dihadapkan pada dua pilihan, surga-kekal-abadi, atau sebaliknya, neraka-jahanam-kekal-abadi) namun kepercayaan ini jauh berbeda dengan Dhamma yang diajarkan Sang Buddha. Kelahiran kembali yang didasarkan atas kepercayaan pada “Tuhan Yang Maha…” seperti tersebut diatas adalah termasuk jenis pandangan eternalisme (sassata-ditthi) dimana pandangan eternalisme ini dalam Brahmajala-Sutta telah ditolak oleh Sang Buddha. Eternalisme seperti ini adalah penghalang bagi pembebasan-sejati dari samsara. Eternalisme, adalah ekspresi dari keterikatan akan keberlangsungan kehidupan ( bhava-tanha ; nafsu keinginan untuk hidup ), dan eternalisme ini juga merupakan salah satu dari sepuluh-belunggu ( dasa-samyojana ) yang mengikat makhluk-makhluk dalam samsara, sebab;
– Theisme ( faham Ke-Tuhan-an ), secara khusus tunduk pada kepercayaan akan adanya “Diri” ( “Diri-sejati”, “Atman” )
– Theisme, menuntut keterikatan pada Ritual dan Upacara keagamaan
– Theisme, mendasari pembenaran terhadap nafsu-keinginan untuk kehidupan Materi-Halus (yaitu, alam-alam surga lingkup keindriyaan (kamadhatu) sebagaimana yang sering dijanjikan oleh “Tuhan” sendiri)
AWAL-MULA MUNCULNYA KONSEP “SANG-MAHA-PENCIPTA/KUASA”
“Yang-Maha-Kuasa” dan “Maha-Pencipta”, dalam jaman Sang Buddha, oleh para Brahmana dikenal dengan sebutan Maha-Brahma. Maha-Brahma ini mempunyai pandangan-salah, karena ia secara keliru menganggap dirinya sebagai “Bapa-Alam-Semesta” (dalam kenyataannya, tidak ada siapapun yang disebut “Bapa-Alam-Semesta”, tidak Maha-Brahma, tidak pula “Tuhan”2 yang lain). Pandangan-salah ini ditunjang dengan kenyataan bahwa Maha-Brahma ini adalah makhluk-mulia, pemimpin para Dewa dari seluruh surga Kammadhatu (keenam lapisan surga diatas alam manusia) dan pemimpin para Dewan dan Menteri Brahma.
Brahmajala Sutta didalam Digha Nikaya mengisahkan mengapa Maha-Brahma sampai memiliki pandangan-salah semacam itu.
Para bhikkhu, pada suatu masa yang lampau setelah berlangsungnya suatu masa yang lama sekali, ‘bumi ini belum ada’. Ketika itu umumnya makhluk-makhluk hidup di alam dewa Abhassara, di situ mereka hidup ditunjang oleh kekuatan pikiran, diliputi kegiuran, dengan tubuh yang bercahaya dan melayang-layang di angkasa hidup diliputi kemegahan, mereka hidup demikian dalam masa yang lama sekali.
Demikianlah, pada suatu waktu yang lampau ketika berakhirnya suatu yang lama sekali, bumi ini mulai berevolusi dalam pembentuk, ketika hal ini terjadi alam Brahma kelihatan dan masih kosong. Ada makhluk dari alam dewa Abhassara yang ‘masa hidupnya atau ‘pahala kamma baiknya’ untuk hidup di alam itu telah habis, ia meninggal dari alam Abhassara itu dan terlahir kembali di alam Brahma. Disini, ia hidup ditunjang pula oleh kekuatan pikirannya diliputi kegiuran, dengan tubuh yang bercahaya-cahaya yang melayang-layang di angkasa, hidup diliputi kemegahan, ia hidup demikian dalam masa yang lama sekali.
Karena terlalu lama ia hidup sendirian di situ, maka dalam dirinya muncullah rasa ketidak puasan, juga muncul suatu keinginan, ‘O, semoga ada makhluk lain yang datang dan hidup bersama saya di sini! Pada saat itu ada makhluk lain yang disebabkan oleh masa usianya atau pahala kamma baiknya telah habis, mereka meninggal di alam Abhassara dan terlahir kembali di alam Brahma sebagai pengikutnya, tetapi dalam banyak hal sama dengan dia.
Para bhikkhu, berdasarkan itu, maka makhluk pertama yang terlahir di alam Brahma berpendapat: “Saya Brahma, Maha Brahma, Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Tahu, Penguasa, Tuan Dari Semua, Pembuat, Pencipta, Maha Tinggi, Penentu tempat bagi semua makhluk, asal mula kehidupan, Bapa dari yang telah ada dan yang akan ada). Semua makhluk ini adalah ciptaanku”. Mengapa demikian? Baru saja saya berpikir, ‘semoga mereka datang’, dan berdasarkan pada keinginanku itu maka makhluk-makhluk ini muncul. Makhluk-makhluk itu pun berpikir, ‘dia Brahma, Maha Brahma, Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Tahu, Penguasa, Tuan dari semua, Pembuat, Pencipta, Maha Tinggi, penentu tempat bagi semua makhluk, asal mula kehidupan, Bapa dari yang telah ada dan yang akan ada. Kita semua adalah ciptaannya. Mengapa? Sebab, setahu kita, dialah yang lebih dahulu berada di sini, sedangkan kita muncul sesudahnya”.
“Para bhikkhu, dalam hal ini makhluk pertama yang berada di situ memiliki usia yang lebih panjang, lebih mulia, lebih berkuasa daripada makhluk-makhluk yang datang sesudahnya.
Para bhikkhu, selanjutnya ada beberapa makhluk yang meninggal di alam tersebut dan terlahir kembali di bumi. Setelah berada di bumi ia meninggalkan kehidupan berumah tangga dan menjadi pertapa. Karena hidup sebagai pertapa, maka dengan bersemangat, tekad, waspada dan kesungguhan bermeditasi, pikirannya terpusat, batinnya menjadi tenang dan memiliki kemampuan untuk mengingat kembali satu kehidupannya yang lampau, tetapi tidak lebih dari itu.
Mereka berkata: “Dia Brahma, Maha Brahma, Maha Agung, Masa Kuasa, Penguasa, Tuan dari semua, Pembuat, Pencipta, Maha Tinggi, Penentu tempat bagi semua makhluk, asal mula kehidupan, Bapa dari yang telah ada dan yang akan ada. Dialah yang menciptakan kami, ia tetap kekal dan keadaannya tidak berubah, ia akan tetap kekal selamanya, tetapi kami yang diciptakannya dan datang ke sini adalah tidak kekal, berubah dan memiliki usia yang terbatas”.
Dikutip dari : http://www.samaggi phala.or.id/tipitaka_dtl.php?cont_id=167&hal=3&path=tipitaka/sutta/digha&hmid=
Dari sutta tersebut, kita bisa memetik apa yang diajarkan Sang Buddha. Sang Buddha mengajarkan bahwa dunia yang kita tempati sekarang ini beserta surga-surga kammadhatu akan mengalami pembentukan dan kehancuran secara berkala. Pada saat terjadinya kehancuran bumi kita ini , yang oleh ajaran agama-agama samawi disebut sebagai “kiamat”, para makhluk yang berdiam di alam yang lebih rendah akan terlahir kembali di alam Surga Abhassara (Sanskrit : Abhasvara), surga tertinggi di Jhana II (surga ke-12 bila dihitung dari surga tingkat pertama di alam Kammadhatu).
Setelah berlalunya waktu yang sangat lama sekali, tiga surga di alam Jhana I muncul kembali, dan seorang dewa Abhassara mati serta terlahir kembali di alam ini sebagai Maha-Brahma (surga ke-9 bila dihitung dari surga tingkat pertama di alam Kammadhatu).
Karena lamanya ia sendirian disana, ia merasa kesepian dan menginginkan kehadiran makhluk lain. Tak lama kemudian, harapannya terpenuhi, semata-mata hanya karena para dewa Abhassara lainnya mati dan terlahir kembali di alam Brahma, karena karma-karma mereka sendiri, dan kemudian menjadi para Menteri dan Dewan Brahma.
Karena Maha-Brahma tidak mengingat kehidupannya yang sebelumnya, maka ia berpikir, “Aku adalah Brahma, Maha-Brahma,… Maha-Tahu, Pengendali, Tuhan, Pembuat, Pencipta… makhluk lainnya yang ada disini adalah ciptaan-Ku.”. Para Menteri dan Dewan Brahma serta para pengikutnya setuju dengan kesimpulan yang keliru ini.
Dan ketika beberapa di antara mereka mati dan terlahir kembali sebagai manusia, ada beberapa banyak dari mereka yang meninggalkan kehidupan perumah tangga, dan menempuh hidup sebagai Petapa/seorang Brahmana, lalu mereka mengembangkan kemampuannya untuk mengingat kehidupan sebelumnya, dan karenanya mengajarkan bahwa Maha-Brahma adalah Pencipta yang kekal dari semua makhluk.
TEGURAN SANG BUDDHA TERHADAP “SANG-MAHA-PENCIPTA/KUASA”
Dalam sutta-sutta Buddha ditunjukkan bahwa Sang Buddha pernah memberi “teguran”, menunjukkan kekeliruan para Brahma yang keliru memahami dirinya sebagai “Awal-Mula, Pencipta-Langit-dan-Bumi, Yang-Maha-Kuasa”. Dalam Samyutta-Nikaya, Bab Buku dengan Syair (Sagathavagga), bagian Brahmasamyutta, dikisahkan Sang Buddha mengingatkan kekeliruan pandangan salah seorang Brahma yang menganggap bahwa alam Brahma sebagai “Yang-Kekal-Abadi, Yang-Mutlak, Tiada-Kematian, dan lain-lain”. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Savatthi di Hutan Jeta, Taman Anathapindika. Pada saat itu, muncul suatu pandangan-salah, pandangan spekulatif dalam benak salah seorang Brahma, yang bernama Brahma-Baka;
“Ini adalah kekal, Ini adalah stabil, ini abadi, ini Mutlak, ini tidak bisa hancur. Sungguh, inilah tempat orang tidak terlahir, tidak menjadi tua, tidak mati, tidak berlalu, dan tidak terlahir kembali ; dan tidak ada jalan keluar yang lebih tinggi daripada ini”.
Setelah mengetahui isi hati Brahma Baka dan pandangan-salah yang muncul tersebut, dalam sekejap mata Sang Buddha lenyap dari hutan Jeta dan muncul kembali di alam Brahma. Brahma-Baka melihat Sang Buddha datang dari kejauhan dan berkata kepada Beliau;
“Mari Yang Mulia ! Selamat datang, Yang Mulia ! Sudah lama sekali, Yang Mulia, sejak engkau menyempatkan datang kemari. Sungguh, Yang Mulia, INI ADALAH KEKAL, INI STABIL, INI ABADI, INI LENGKAP, INI TIDAK BISA HANCUR. SUNGGUH , INILAH TEMPAT ORANG TIDAK-TERLAHIR, TIDAK MENJADI TUA, TIDAK MATI , TIDAK BERLALU, DAN TIDAK TERLAHIR KEMBALI ; DAN TIDAK ADA JALAN KELUAR YANG LEBIH TINGGI DARIPADA INI”.
“Sayang, tuan, Brahma Baka terbenam di dalam ketidak-tahuan! Sayang, tuan, Brahma Baka terbenam di dalam ketidak-tahuan! Sepanjang dia akan mengatakan apa yang sebenarnya tidak kekal sebagai kekal, dan akan mengatakan apa yang sebenarnya tidak stabil sebagai stabil , dan akan mengatakan apa yang sebenarnya tidak abadi sebagai abadi, dan akan mengatakan apa yang sebenarnya tidak lengkap sebagai lengkap, dan akan mengatakan apa yang sebenarnya bisa hancur sebagai tidak bisa hancur, dan dengan mengacu pada [suatu alam] di mana orang terlahir, menjadi tua, mati, berlalu, dan terlahir kembali, akan mengatakan demikian: “ Sungguh, inilah tempat orang tidak terlahir, tidak menjadi tua, tidak mati, tidak berlalu, dan tidak terlahir kembali”; dan ketika ada jalan keluar yang lebih tinggi dari ini, akan mengatakan, “Tidak ada jalan keluar yang lebih tinggi daripada ini”.
Lalu terjadilah dialog panjang antara Brahma-Baka dengan Sang-Buddha. Brahma-Baka meminta Sang Buddha untuk menjelaskan duduk perkaranya, dan menjelaskan bagaimana hal-ihwal Brahma-Baka bisa sampai di alam itu, yang ia anggap sebagai alam “Yang-Kekal-Abadi, Tanpa-Kematian, Yang-Mutlak”. Sang Buddha lalu menjelaskan semuanya dengan mendetail, sebab-sebab apa Brahma-Baka kini terlahir dialam “Ketuhanan” tersebut, dan akan berapa lama ia tinggal disitu, siapakah dulunya Brahma-Baka ini, dan apa hubungannya Brahma-Baka ini dengan Sang Buddha pada kehidupan lampaunya, Sang Buddha juga mampu mengetahui kehidupan masa kini Brahma Baka tersebut. Karena penjelasan Sang Buddha yang sangat dalam dan luas , mendetail itu, Brahma-Baka akhirnya mengakui kebenaran Sang Buddha dan berkata:
“Pastilah Engkau tahu rentang kehidupanku ini; Yang lain-lain engkau pun tahu, jadi Engkau adalah SANG-BUDDHA. Demikianlah keagunganmu yang terang benderang ini menyinari bahkan alam Brahma”.
Kemudian, kisah yang lain adalah kisah dimana Sang Buddha beserta keempat muridnya, Y.M. Mahamoggallana, Y.M. Mahakassapa, Y.M. Mahakappina, Y.M. Anuruddha, menaklukan satu Brahma yang lain yang penuh kesombongan karena menganggap dirinya lebih tinggi daripada yang lain. Di Savatthi, pada waktu itu muncul pandangan-salah yang sangat spekulatif pada satu Brahma: “Tidak ada petapa atau Brahmana yang bisa datang kemari!”.
Dengan kekuatan batinnya Sang Buddha mengerti isi hati satu Brahma itu, dan dalam sekejap Sang Buddha lenyap dari hutan Jeta dan muncul kembali di alam Brahma. Sang Buddha duduk bersila di udara diatas Brahma itu, setelah masuk kedalam samadhi dengan pokok-pemusatan perhatian; api.
Pada saat itu Y.M. Mahamoggallana bertanya-tanya, “Dimanakah Sang Buddha berdiam pada saat ini?” Dengan kemampuan mata-dewa, Y.M. Mahamoggallana melihat Sang Buddha sedang duduk bersila di udara di atas Brahma itu, setelah masuk ke dalam samadhi objek api. Mengetahui hal ini, Y.M. Mahamoggallana segera menyusul Sang Buddha, lenyap dari hutan Jeta, dan muncul di alam, kemudian menempatkan diri di bagian timur dan duduk bersila di udara di atas Brahma itu – walaupun lebih rendah dari Sang Buddha -, setelah sebelumnya masuk samadhi dengan objek api juga.
Selanjutnya disusul oleh Y.M. Mahakassapa yang menempatkan diri di bagian selatan, Y.M. Mahakappina yang menempatkan diri di bagian barat, Y.M. Anuruddha yang menempatkan diri di bagian utara. Kesemuanya duduk bersila lebih rendah dari Sang Buddha.
Y.M. Magamoggallana pun lalu menegur Brahma tersebut dengan syair berikut:
“Hari ini , sahabat, apakah engkau masih memegang pandangan itu, Pandangan yang tadinya kamu pegang? Apakah engkau melihat kecermelangan Yang Melampaui kecemerlangan di alam Brahma?”
Brahma tersebut menjawab:“Saya tidak lagi memegang pandangan itu Yang Mulia, Pandangan yang tadinya saya pegang. Memang saya melihat kecemerlangan yang melampaui kecemerlangan di alam Brahma. Hari ini bagaimana munkin saya mempertahankan, “ AKU ADALAH KEKAL ABADI?”
Setelah membangkitkan rasa kemendesakan pada Brahma itu, kemudian dalam sekejap Sang Buddha lenyap dari alam Brahma tersebut dan kembali di hutan Jeta.
Lalu Brahma itu berbicara kepada satu anggota kelompoknya; “Ayo, tuan, datangilah Y.M. Mahamoggallana dan katakan kepadanya: “Tuan Mahamoggallana, adakah siswa Sang Buddha lainnya yang sekuat dan sehebat Tuan Moggallana, Kassapa, Kappina dan Anuruddha?”
Anggota kelompok Brahma itu menurutinya dan lalu mendatangi Y.M. Mahamoggallana. Y.M. Mahamoggallana kemudian berkata kepada anggota kelompok Brahma itu dengan syair: “Sungguh banyak siswa Sang Buddha yang merupakan Arahat dengan noda-noda yang telah hancur, pemilik tiga-pengetahuan dengan kekuatan-kekuatan batin, yang terampil dalam jalan pikiran orang lain”.
Mendengar jawaban tersebut, para Brahma itu terkagum-kagum dan turut bersuka-cita karenanya.
Dan sesungguhnya, disamping kisah-kisah dalam sutta-sutta tersebut, masih banyak lagi kisah-kisah bagaimana Sang Buddha membimbing para Brahma yang memiliki pandangan salah yang menganggap dirinya adalah “Yang-Mutlak, Pencipta-Alam-Semesta, Yang-Maha-Kuasa”. Dan atas bimbingan Sang Buddha, para Brahma yang berpandangan-salah itupun akhirnya memahami kekeliruannya.
KISAH KONYOL TENTANG “SANG-MAHA-PENCIPTA”
Didalam Kevaddha Sutta (Sutta ke-11 dari Digha Nikaya), Sang Buddha menceritakan sebuah kisah kepada Upasaka Kevaddha yang memberikan gambaran tentang keterbatasan-keterbatasan “Sang-Maha-Pencipta” yang oleh kaum Brahmana disebut “Maha-Brahma” ini.
Pada suatu ketika di antara para bhikkhu sangha terdapat seorang bhikkhu yang menjadi ragu-ragu sebagai berikut:
“Kemanakah empat unsure (mahabhutarupa) padat, cair, panas dan udara pergi, mengapa tanpa meninggalkan bekas”.
Bhikkhu itu mengembangkan batinnya dengan melakukan meditasi hingga ia memiliki kemampuan batin untuk mengunjungi dan berkomunikasi dengan para dewa.
Kemudian bhikkhu itu pergi ke alam dewa Catumaharajika menanyakan tentang kemana perginya empat unsur itu, namun para dewa tak dapat memberikan jawaban dan menyuruh bhikkhu itu untuk bertemu dengan Empat Raja Dewa yang lebih tinggi dan berkuasa daripada mereka.
Ia pergi menghadap Empat Raja Dewa dan menanyakan pertanyaan itu, namun Empat Raja Dewa tidak dapat menjawabnya dan menyuruhnya untuk pergi ke alam Tavatimsa.
Di alam Tavatimsa para dewa tak dapat menjawab pertanyaannya dan ia disuruh menghadap Sakka/Dewa Indra, raja alam dewa Tavatimsa. Sakka/Dewa Indra, juga tak dapat menjawab pertanyaannya.
Sakka menyuruhnya ke alam Yama, tapi para dewa alam Yama menyuruhnya menghadap Suyama, raja alam dewa Yama. Suyama tak dapat menjawab juga, maka ia ke alam dewa Tusita, menghadap Santusita; ke alam dewa Nimmanarati, menghadap Sunimmita, raja alam Nimmanarati; ke alam Parinimmita Vasavatti, menghadap Vasavatti, raja alam Parinimmita Vasavatti, yang tak dapat menjawab pertanyaannya juga.
Kemudian Ia disuruh pergi ke alam dewa Brahma, tetapi para dewa pengikut Brahma tak dapat menjawab pertanyaannya itu. Lalu para dewa pengikut Brahma ini menyuruhnya untuk menghadap dewa Maha Brahma “Yang Maha Kuasa”, “Maha Tinggi”, “Maha Tahu”, junjungan dari semua, “Pencipta”, “Pengatur”, “Asal Mula Segala Sesuatu” ( Sangkan-Paraning-Dumadi ), “Ayah dari Semua yang Ada dan yang akan Ada”. Oleh para dewa Brhama, Maha-Brahma dinyatakan lebih tinggi dan berkuasa daripada mereka.
Ia pergi menghadap “Tuhan”/“Maha Brahma” dan bertanya: “Kemanakah empat unsur (mahabhuta), padat, cair, panas dan udara- pergi, mengapa tanpa bekas?”
Setelah Bhikkhu itu berkata, Maha Brahma menjawab: “Bhikkhu, saya adalah dewa brahma yang maha kuasa, maha tinggi, maha tahu, junjungan dari semua, pencipta, pengatur, asal mula segala sesuatu, ayah dari yang ada dan yang akan ada”. Kemudian bhikkhu itu berkata kepada Brahma: “Saya tidak bertanya siapa anda, apakah anda itu benar seperti yang anda katakan. Tetapi yang saya tanya adalah kemanakah empat unsur itu pergi, mengapa tanpa bekas?”
Sampai tiga kali bhikkhu itu bertanya, namun Brahma tetap menjawab yang sama. Kemudian Brahma menarik bhikkhu itu ke sampingnya dan berkata: “Para dewa pengikut Brahma ini berpendapat bahwa tidak ada sesuatu yang tidak saya tidak tahu, saya tahu semua, saya mengerti semua, tidak ada yang saya tidak realisasikan. Maka saya tidak menjawab di depan mereka. Bhikkhu saya tidak tahu jawaban ke mana empat unsur itu pergi, lenyap tanpa bekas. Bhikkhu, anda telah berbuat salah, telah bertindak salah karena anda telah melupakan Sang Buddha, anda telah bersusah payah mencari tahu hal ini, mencari jawaban untuk pertanyaanmu. Pergilah menghadap kepada Sang Bhagava. Terimalah jawaban apa pun yang akan diberikannya”.
Bhikkhu itu dalam sekejap lenyap dari alam Brahma dan muncul di hadapan saya, ia memberi hormat dan duduk. Setelah duduk ia bertanya kepada saya: “Bhante, ke manakah empat unsur pergi, lenyap tanpa bekas?”
Saya menjawab: “Bhikkhu, pertanyaan itu jangan tanyakan seperti yang kau katakan. Tetapi sebaliknya anda harus bertanya: ‘Di manakah unsur padat, cair, panas dan udara, Panjang dan pendek, halus dan kasar, bersih dan tak bersih, tidak di temukan? Di manakah jasmani dan batin dari orang meninggal, pergi tanpa bekas?’
Jawabannya: ‘Kebijakan Arahat, yang tak tampak, yang tanpa akhir, yang dapat dicapai dari beberapa sisi Di situlah unsur padat, cair, panas dan udara, Panjang dan pendek, kasar dan halus, bersih dan tak bersih, tidak ditemukan. Di situlah jasmani dan batin dari orang yang meninggal pergi tanpa bekas. Bilamana kesadaran lenyap, hal-hal itu pun lenyap.
Di akhir dari khotbah, Upasaka Kevaddha menjadi senang dan gembira.
PEMBUAL YANG MEMBICARAKAN HAL YANG DIA SENDIRI TIDAK MENGERTI
Dalam Majjhima Nikaya No. 79: Cula Sakuludayi Sutta, terdapat dialog antara Sang Buddha dengan Udayi, dimana Sang Buddha menunjukkan, pembicaraan mengenai “Kemegahan-Tertinggi”, ” yang tak dapat dipahami”, hanyalah pembicaraan bualan-bualan semata.
“Baiklah kalau begitu, Udayi, apakah doktrin dari gurumu sendiri?”, “Doktrin guru kami sendiri, tuan yang terhormat, berkata demikian: ‘Ini adalah kemegahan tertinggi! Ini adalah kemegahan tertinggi!’”, “Tetapi apakah yang kemegahan tertinggi itu, Udayi, yang mana doktrin gurumu katakan?”, “Hal itu adalah, tuan yang terhormat, suatu kemegahan yang lebih hebat dan megah dari segalanya. Hal itu adalah Kemegahan Tertinggi.”, “Tetapi, Udayi, apakah kemegahan yang lebih hebat dan megah dari segalanya itu?”, “Hal itu, tuan yang terhormat, bahwa Kemegahan Tertinggi lebih hebat dan megah dari segalanya”.
“Selama waktu yang lama, Udayi, engkau bisa melanjutkan berkata dengan cara ini, seraya mengatakan,’Suatu kemegahan yang lebih hebat dan megah dari segalanya adalah Kemegahan Tertinggi’. Tetapi tetaplah kau tidak akan sudah menjelaskan kemegahan itu. Anggaplah seseorang berkata:’Saya mencintai dan mengingini wanita tercantik di daratan ini’, dan lantas ia ditanya: ‘Tuan yang baik, wanita yang tercantik yang engkau cintai dan ingini itu, tahukah engkau apakah ia adalah seorang wanita dari kaum ningrat atau dari suatu keluarga Brahmana atau dari kasta pedagang atau Sudra?’ dan ia menjawab ‘tidak’.—‘Lantas, tuan yang baik, tahukah Anda namanya dan nama marganya? Atau apakah ia itu tinggi, pendek, atau sedang-sedang tingginya, apakah ia itu berkulit legam, coklat atau keemasan, atau di desa atau daerah atau kota mana ia berdiam?’ dan ia menjawab ‘tidak’. Dan lantas ia ditanyai:’Kalau demikian, tuan yang baik, engkau mencintai dan mengingini sesuatu yang engkau sendiri tidak tahu pun melihatnya?’ dan ia menjawab ‘ya’. —Apakah yang kau pikir, Udayi, bahwa dengan menjadi demikian, bukankah perkataan orang itu penuh dengan bualan (nonsense)?”
“Tentulah, tuan yang terhormat, bahwa dengan menjadi demikian, perkataan orang itu penuh dengan bualan”. “Tetapi dengan cara yang sama, kamu, Udayi, berkata, ‘ Suatu kemegahan yang lebih hebat dan megah daripada segalanya, hal itu adalah Kemegahan Tertinggi’, dan namun engkau sendiri belumlah menjelaskan kemegahan itu.”
KEPERCAYAAN/IMAN MEM-“BUTA” PARA PENGANUT “MAHA-DEWA” yang “MAHA-PENCIPTA/KUASA”
Dalam sebuah dialog antara Sang Buddha dengan Vasettha dimana Sang Buddha menunjukkan bahwa kepercayaan/iman kepada”Maha-Dewa” yang “Maha-Pencipta/Kuasa” hanyalah merupakan khayalan dan kepercayaan/iman “membuta” semata.
“Apakah ada, Vasettha, satu dari para Brahmana yang benar-benar mengetahui Tiga Veda yang sudah pernah bertemu Brahma muka dengan muka?”, “Tidaklah demikian, sesungguhnya, Gotama.”
“Atau adakah kalau begitu, Vasettha, satu dari para guru dari para Brahmana yang benar-benar mengetahui Tiga Veda, yang sudah bertemu Brahma muka dengan muka?”, “Tidaklah demikian, sesungguhnya, Gotama.”
“Atau adakah, Vasettha, satu dari murid-murid dari para guru dari para Brahmana yang benar-benar mengetahui Tiga Veda yang sudah bertemu Brahma muka dengan muka?”, “Tidaklah demikian, sesungguhnya, Gotama.”
“Atau adakah kalau demikian, Vasettha, satu dari para Brahmana itu sampai pada tujuh generasi yang sudah bertemu Brahma muka dengan muka?”, “Tidaklah demikian, sesungguhnya, Gotama”.
“Baiklah kalau begitu, Vasettha, Rishi-rishi purba dari para Brahmana itu yang benar-benar mengetahui Tiga Veda, para penulis dari syair-syair itu, pengucap-pengucap dari syair-syair itu, yang kata-kata dalam bentuk kuno/purbanya begitu dilafalkan, diucapkan atau digubah, yang mana para Brahmana zaman sekarang melafalkan lagi dan mengulangi; melagukan atau menghafalpersis seperti apa yang sudah dilagukan dandihafalkan—yang dengan lucunya, Atthaka…dan Bhagu, lakukan bahkan mereka berkata demikian:”Kami mengetahuinya, kami sudah melihatnya, dimana Brahma berada, darimana Brahma adanya, kemana Brahma adanya?”
“Tidaklah demikian, sesungguhnya, Gotama”.
“Lantas engkau berkata, Vasettha, bahwa tidak seorangpun dari para Brahmana itu, ataupun guru-guru mereka, atau murid-murid mereka, bahkan sampai ke generasi ketujuhpun, sudah pernah melihat Brahma muka dengan muka. Dan bahkan Rishi-rishi purba, penulis dan para pengucap dari syair-syair itu, yang kata-kata dalam bentuk kunonya begitu berhati-hatinya dilagukan dan dihafal oleh para Brahmana sekarang setepat mungkin seperti yang sudah diturunkan-bahkan mereka tidak berpura-pura untuk mengetahui atau sudah melihat dimana atau darimana dan kemana Brahma adanya. Jadi para Brahmana yang benar-benar mengetahui Tiga Veda sudah sesungguhnya mengatakan demikian: ‘Apa yang kami tidak tahu, apa yang kami belum lihat, atas keselarasan dengan itu kami dapat menunjukkan jalan, dan dapat berkata: ‘Ini adalah jalan yang lurus, ini adalah jalan yang langsung menuju pada keselamatan, dan membimbing mereka yang bertindak sesuai dengannya, pada persekutuan dengan dengan Brahma.’
“Sekarang apa yang kau pikir, Vasettha? Bukankah hal itu mengikuti, hal ini dengan menjadi demikian, bahwa perkataan para Brahmana yang benar-benar mengetahui Tiga Veda, kemudian menjadi suatu percakapan yang bodoh/tidak bermanfaat?”.
“Sesungguhnya, Gotama, bahwa dengan menjadi demikian, berlanjutbahwa perkataan dari para Brahmana yang mengetahui dengan benar Tiga Veda itu adalah perkataan yang bodoh/tak berguna adanya”.
SEKUMPULAN ORANG BUTA
“Dengan sesungguhnya, Vasettha, para Brahmana yang benar benar mengetahui Tiga Veda itu seharusnya sanggup untuk menunjukkan jalan menuju persekutuan dengan sesuatu yang mereka tidak tahu, pun belum melihat—keadaan dari hal-hal demikian itu tidaklah bisa adanya!
“Sama halnya, Vasettha, seperti ketika sekumpulan orang buta bergandengan satu sama lain, bukanlah yang terdepan yang bisa melihat, pun bukannya yang di tengah, pun bukanlah yang di belakang tersembunyi yang bisa melihat — seperti demikianlah, kiranya, Vasettha, percakapan para Brahmana yang mengetahui dengan baik Tiga Veda itu adalah percakapan buta: yang pertama tak melihat apapun, pun yang ditengah, pun yang terakhir. Percakapan dari para Brahmana yang mengetahui dengan baik Tiga Veda ini lantas menjadi tidak masuk akal, kata-kata belaka, suatu hal yang kosong dan gagal!
TANGGA YANG MENUJU KE – TIDAK MANAPUN JUGA
…”Sama halnya, Vasettha, seperti jika seseorang harus membuat suatu tangga di dalam suatu tempat dimana 4 jalan bersilangan, untuk menaiki suatu rumah yang besar. Dan orang-orang berkata padanya,’Baiklah, teman yang baik, rumah yang besar ini, pada mana engkau membuat tangga untuk menaikinya, tahukah kamu apakah rumah itu berada di timur, atau di selatan, atau di barat, atau di utara? Apakah rumah itu tinggi atau rendah atau sedang-sedang saja ukurannya?’
“Dan ketika ditanya demikian dia menjawab: Tidak. — Dan orang-orang berkata padanya,’Tetapi kalau begitu, teman yang baik, engkau sedang membuat suatu tangga yang menaiki sesuatu — sebagai contoh sebuah rumah besar— yang mana, sejenak yang lalu, engkau tidak mengetahuinya, bahkan pun belum melihatnya.’”…..
BERDOA DEMI ALAM BAKA
“Lagi, Vasettha, jikalau seandainya sungai Aciravati ini penuh dengan air bahkan sampai ke tepi sungai, dan meluap. Dan seseorang dengan pekerjaan/bisnis pada tepi yang satunya, dalam perjalanan ke tepi yang satunya, berusaha menuju ke tepi yang satunya, ingin tiba, dan mau menyeberang. Dan ia, sambil berdiri pada tepi yang sebelah sini, memohon dengan khusuk pada tepi yang jauh itu, dan berkata, ‘Datanglah kesini, O tepi yang jauh!datanglah ke tepi sini!’
“Sekarang apakah yang engkau pikir, Vasettha?Akankah tepi yang jauh itu dari sungai Aciravati, oleh sebab permohonan khusuk dari orang itu dan doanya dan pengharapannya dan pemujaannya, datang ke tepi yang ini?”, “Tentulah tidak, Gotama”.
“Dengan cara yang sama pula, Vasettha, para Brahmana yang mengetahui dengan baik Tiga Veda lakukan—menelantarkan praktek-praktek dengan kualitas yang benar-benar membuat seseorang menjadi seorang Brahmana, dan mengadopsi praktek-praktek yang kualitasnya membuat seseorang menjadi Non-Brahmana—berkata demikian: ‘Indra kami memanggil, Soma kami memanggil, Varuna, Isana, Pajapati, Brahma, Mahiddhi, Yama kami memanggil’.
“Dengan sesungguhnya, Vasettha, bahwa para Brahmana yang mengetahui dengan baik Tiga Veda—menelantarkan praktek-praktek dengan kualitas yang benar-benar membuat orang menjadi seorang Brahmana, mengadopsi praktek-praktek dengan kualitas yang membuat yang benar-benar membuat orang Non-Brahmana—boleh, karena alasan permohonan khusuk dan doa dan pengharapan dan pemujaan mereka, setelah meninggalkan tubuh ini, setelah kematian, mencapai persatuan dengan Brahma, kondisi hal-hal demikian adalah tidak akan bisa.” [ Digha Nikaya No. 13:Tevijja Sutta (“Tiga Veda”) terjemahan oleh Prof. Rhys Davids]
KRITIK SANG BUDDHA TERHADAP TIGA PANDANGAN KELIRU (Anguttara-Nikaya ; III,61)
Para bhikkhu, ada tiga pendapat sektarian yang, jika sepenuhnya diperiksa, diteliti dan dibahas, akan berakhir pada suatu doktrin tanpa tindakan, sekalipun sudah diterapkan karena tradisi. 36Apakah tiga pendapat ini?
Para bhikkhu, ada beberapa petapa dan brahmana yang mengajar dan memegang pandangan ini: “Apapun yang dialami seseorang, apakah itu perasaan menyenangkan, menyakitkan atau perasaan netral, semua itu disebabkan oleh tindakan lampau.” Ada lainnya yang mengajar dan memegang pandangan ini: “Apapun yang dialami seseorang… semua itu disebabkan oleh ciptaan Tuhan.” Dan masih ada petapa dan brahmana lain yang mengajar dan memegang pandangan ini: “Apapun yang dialami seseorang… tidak ada sebabnya dan tidak dikondisikan”. 37
(1) Para bhikkhu, aku telah menemui para petapa dan brahmana ini (yang memegang pandangan pertama) dan berkata kepada mereka: “Apakah benar, seperti kata orang, bahwa yang mulia mengajar dan memegang pandangan bahwa apapun yang dialami seseorang… semua itu disebabkan oleh tindakan lampau?” Ketika mereka mengatakan “Ya”, aku katakan kepada mereka: “Jika demikian halnya, yang mulia, maka tindakan masa lampau (yang dilakukan dalam suatu kehidupan lampau) itulah yang menyebab kan orang membunuh, mencuri, terlibat dalam perilaku seksual yang salah; yang membuat mereka berbohong, mengucapkan kata-kata yang jahat, berbicara kasar dan suka berbicara yang tak ada gunanya; yang menyebabkan mereka menginginkan milik orang lain, dengki, dan jahat serta memiliki pandangan salah.38 Maka mereka yang menganggap tindakan lampau sebagai faktor penentu tidak akan memiliki semangat dan usaha untuk melakukan ini atau tidak melakukan itu. Karena mereka tidak memiliki alasan yang cukup kuat untuk menyatakan bahwa ini atau itu harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan, istilah ‘petapa’ tidak sesuai untuk mereka, karena mereka hidup tanpa kewaspadaan dan pengendalian diri.”
Para bhikkhu, inilah teguran pertamaku – yang diakui kebenarannya – kepada para petapa dan brahmana yang mengajarkan dan memegang pandangan seperti itu.
(2) Sekali lagi, para bhikkhu, aku menemui para petapa dan brahmana (yang memegang pandangan kedua) dan berkata kepada mereka: “Apakah benar, seperti kata orang, bahwa yang mulia mengajar dan memegang pandangan bahwa apapun yang dialami seseorang… semua itu disebabkan oleh ciptaan Tuhan?” Ketika mereka mengatakan “Ya”, kukatakan kepada mereka: “Jika demikian halnya, yang mulia, maka ciptaan Tuhan itulah yang membuat orang-orang membunuh… dan memiliki pandangan salah. Maka mereka yang menganggap ciptaan Tuhan sebagai faktor penentu tidak akan memiliki semangat dan usaha untuk melakukan ini atau tidak melakukan itu. Karena mereka tidak memiliki alasan yang cukup kuat untuk menyatakan bahwa ini atau itu harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan, istilah ‘petapa’ tidak sesuai untuk mereka, karena mereka hidup tanpa kewaspadaan dan pengendalian diri.”
Para bhikkhu, inilah teguran keduaku – yang diakui kebenarannya – kepada para petapa dan brahmana yang mengajar dan memegang pandangan seperti itu.
(3) Sekali lagi, para bhikkhu, aku menemui para petapa dan brahmana (yang memegang pandangan ketiga) dan berkata kepada mereka: “Apakah benar, seperti kata orang, bahwa yang mulia mengajarkan dan memegang pandangan bahwa apapun yang dialami seseorang… semua itu tidak ada sebabnya dan tidak dikondisikan?” Ketika mereka mengatakan “Ya”, kukatakan pada mereka: “Jika demikian halnya, yang mulia, maka tidak ada sebab dan kondisi yang membuat orang membunuh… dan memiliki pandangan salah. Maka mereka yang menganggap bahwa (urutan peristiwa) yang tanpa sebab dan kondisi sebagai faktor penentu tidak akan memiliki semangat dan usaha untuk melakukan ini atau tidak melakukan itu. Karena mereka tidak memiliki alasan yang cukup kuat untuk menyatakan bahwa ini atau itu harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan, istilah ‘petapa’ tidak sesuai untuk mereka, karena mereka hidup tanpa kewaspadaan dan pengendalian diri.”
Para bhikkhu, inilah teguran ketigaku – yang diakui kebenarannya – kepada para petapa dan brahmana yang mengajar dan memegang pandangan seperti itu.
Demikianlah, para bhikkhu, tiga pendapat sektarian yang, jika sepenuhnya diperiksa, diteliti dan dibahas, akan berakhir pada suatu doktrin tanpa-tindakan, sekalipun jika dipakai karena tradisi.
Sumber: http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka_dtl.php?cont_id=738&hal=2&path=tipitaka/sutta/anguttara/anguttara1&hmid
Lebih jauh, atas pandangan tersebut diatas, Sang Buddha mengatakan, “Jadi, karena diciptakan oleh seorang Tuhan Yang Maha Tinggi, maka manusia akan menjadi pembunuh, pencuri, penjahat, pembohong, pemfitnah, penghina, pembual, pencemburu, pemarah, pendendam, dan orang yang keras kepala”.
Oleh sebab itu, bagi mereka yang berpandangan segala sesuatu adalah ciptaan seorang Tuhan, maka mereka tidak akan lagi mempunyai keinginan, ikhtiar ataupun keperluan untuk melakukan suatu perbuatan ataupun untuk menghindar dari perbuatan lain.” (Majjhima Nikaya ii, Sutta No.101)
SIFAT KETUHANAN YANG TIDAK KEKAL
Sejauh mana matahari-matahari dan bulan-bulan berevolusi dan penjuru-penjuru langit bersinar dengan cemerlangnya, sejauh mencakup Seribu-kali lipat sistem-Dunia. Dalam Seribu-kali lipat Sistem Dunia itu, ada seribu bulan, seribu matahari, seribu Semeru, gunung dari gunung-gunung, seribu dari keempat benua, seribu dari keempat samudera, seribu dari dunia-dunia surgawi dari alam inderawi, dan seribu dari dunia Brahma. Sejauh mencakup Seribu-kali lipat Sistem Dunia ini, sejauh itu adalah Maha Brahma dianggap yang tertinggi disana.
Tetapi bahkan pada Maha Brahma, O para bhikkhu, terdapatlah transformasi, terdapatlah perubahan. Melihat hal ini, O para bhikkhu, seorang murid yang terlatih baik merasa muak bahkan dengan hal itu. Dengan menjadi muak dengan hal itu, lunturlah keterikatannya bahkan sampai yang tertinggi, apalagi pada yang rendah! [Anguttara Nikaya, Dasaka Nipata, No. 29]
KEKECEWAAN DARI PARA DEWA
Sekarang muncullah di dunia ini seorang Tathagata, yang Suci, yang telah mencapai Penerangan Sempurna, sempurna pengetahuan dan tindak tandukNya, yang Mulia/Luhur, Pengenal segenap Alam, Pembimbing manusia yang tiada taranya, Guru para dewa dan manusia, yang patut dimuliakan.
Ia lantas mengajarkan Dhamma:”Ini adalah kepribadian (personality); ini adalah asal dari kepribadian; ini adalah akhir dari kepribadian; ini adalah jalan menuju akhir dari kepribadian.”
Dan dewa-dewa itu yang berumur panjang, yang bergemerlapan dengan kecantikan, yang berdiam dengan penuh kesenangan dan untuk waktu yang lama berada dalam rumah-rumah surgawi yang megah, bahkan mereka, setelah mendengar Sang Bhagava mengajarkan Dhamma, tertimpa ketakutan, kegelisahan dan tergetar:
“Aduh celaka, kita yang, sebenarnya, tidak permanen, percaya bahwa kita adalah permanen! Kita yang, sebenarnya, rapuh, percaya bahwa kita berkesinambungan! Kita yang, sebenarnya, tidak kekal, percaya bahwa kita kekal adanya!Tetapi, yang benar adalah bahwa, kita adalah tidak permanen, rapuh, tidak kekal, terpikat dalam kepribadian!” [Anguttara Nikaya, Cattuka nipata, No. 33]
PENCIPTAAN DAN SEBAB
Asumsi bahwa suatu Tuhan (isvara) adalah penyebab, dan lain sebagainya, bersandar atas kepercayaan salah dalam suatu diri yang kekal; tetapi kepercayaan itu haruslah ditinggalkan, jikalau seseorang sudah dengan jelas mengerti bahwa segala sesuatu adalah tunduk pada penderitaan. [Vasubhandu, Abhidharmakosa, 5, 8 (vol. IV, p. 19); Sphutartha p. 445,26.]
Sekolah-sekolah tertentu memegang pandangan bahwa ada suatu Tuhan Mahesvara yang adalah absolut, ada/hadir dimana-mana, dan kekal; dan bahwa ia adalah pencipta dari semua Dharma. Teori ini adalah tidak logis. Dan mengapa?
(a) Bahwa yang menciptakan tidaklah kekal; yang tidak kekal tidaklah hadir dimana-mana; yang tidak hadir dimana-mana tidaklah absolut.
(b) Oleh karena ia adalah kekal dan hadir dimana-mana, dan komplet dengan semua kemampuan; ia seharusnya, dalam segala masa dan di semua tempat, menghasilkan secara tiba-tiba semua Dharma (fenomena).
(c) (Jikalau mereka katakan)bahwa ciptaannya bergantung pada nafsu dan kondisi-kondisi, kalau begitu mereka bertentangan dengan doktrin mereka sendiri tentang “sebab yang unik”. Atau dengan kata lain, kita boleh katakan bahwa nafsu dan kondisi-kondisi seharusnya juga secara tiba-tiba muncul semua, karena sebab (yang menghasilkan mereka) selalu ada disitu. [Vijnaptimatrata Siddhi Sastra (suatu karya standar dari sekolah Buddhis Idealistik) terjemahan dari versi Chinese oleh Wong Mow Lam (“The Chinese Buddhist”, Vol. II, No. 2; Shanghai 1932) ]
Demikianlah, saudara-saudari, bagaimana Sang Buddha memandang ajaran tentang adanya sosok “Maha-Dewa” yang disebut sebagai “Yang-Maha…” tersebut. Adalah salah jika dikatakan bahwa Buddha-Dhamma agama yang Theistik, namun juga keliru besar jika Buddha-Dhamma adalah agama yang bersifat “Atheis-Materialistik”. “Tujuan-Sejati” dalam kehidupan spiritual Buddha-Dhamma adalah menuju pada apa yang dalam bahasa Pali disebut dengan:
“Atthi Ajatang Abhutang Akatang Asamkhatang” Yang artinya : “Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak”.
Dan itu adalah : NIBBANA, pemadaman dari ketiga api : keserakahan/nafsu-indriya (lobha), kemarahan/kebencian (dosa), dan kebodohan/kegelapan batin (moha). Nibbana ini lepas dari “Tuhan”, Nibbana ini pun bukan “Tuhan-Yang-Maha”.
Nibbana ini, sering dipersamakan dengan Tuhan dalam agama2 lain. Padahal, sesungguhnya jauh berbeda. Sebab, Nibbana ini bukanlah pencipta alam-semesta seisinya ( termasuk pencipta semua makhluk ).
Nibbana adalah KONDISI-BATIN, yang telah bebas dari kekotoran batin, bebas dari keserakahan/nafsu-indriya (lobha), bebas dari kemarahan/kebencian (dosa), dan bebas dari kebodohan-batin (moha).
Dalam bahasa Sanskerta, NIBBANA ini disebut dengan NIRVANA. Nirvana, berasal dari dua kata, yaitu ; 1). NIR , yang artinya = TANPA ( sifat negasi ), dan, 2). VANA , yang artinya jalinan nafsu keinginan. Sehingga, Nirvana adalah kondisi batin yang telah terbebas dari ikatan/jeratan jalinan nafsu keinginan sebagai penyebab semua makhluk bertumimbal lahir, mengarungi alam sangsara.
Nibbana ini pun lepas dari alam surga, bukan surga tempat para bidadari-bidadari cantik yang telah tersediakan bagi para ummat-soleh (ber-Sila) dan para “pejuang” agama-agama tertentu. Surga yang termaksud , yang berisi bidadari-bidadari cantik dan istana2 megah tersebut, barulah lingkup “Kamadhatu”, yaitu “alam-kesenangan-lingkup-keindriyaan” dan ini masih dalam lingkup keberadaan dan duniawi (lokiya). Sedangkan Nibbana, adalah diatas-duniawi (lokuttara), tidak dalam lingkup-keindriyaan, tidak dalam lingkup alam Rupa-Jhana, tidak pula dalam lingkup Arupa-Jhana. Tak terjejaki lagi, akhir dari samsara.
“Sabbe Satta Sukhita Hontu, Nidukkha Hontu, Avera Hontu, Abyapajjha Hontu, Anigha Hontu, Sukhi Attanam Pariharantu”. ( Semoga Semua Makhluk Berbahagia, Bebas dari Penderitaan, Bebas dari Kebencian, Bebas dari Kesakitan, Bebas dari Kesukaran, Semoga Mereka dapat Mempertahankan Kebahagiaan Mereka masing-masing).
RATANA-KUMARO
Itulah kekeliruan pandangan umumnya manusia, Bahwa alam semesta dan para makhluk, berjalan sesuai suatu hukum alam yang berjalan dengan sendirinya, tanpa digerakkan oleh “Tangan”2 “Yang-Maha-Kuasa”.. .
Hukum alam ini pun bersifat “delusif”, hanya “mengada” dalam “alam-kehidupan” yang sifatnya delusif semata.
Tidak diciptakan oleh siapapun, tidak ada siapapun yang menjadi “Maha-Pencipta”, “Maha-Kuasa”.
Oleh karena itu, “Pencerahan” tidaklah semudah yang dilamunkan orang-orang…,
Dan untuk itulah kehadiran seorang Buddha didunia, menunjukkan ke”sejati”an dari segala hal.
Membongkar dogma, membongkar ilusi, menunjukkan jalan pembebasan dari samsara… .
Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta,
Sadhu…sadhu…sadhu… .