Ulasan Tentang Bodhicitta Exposition of Bodhicitta

(Sanskerta: Bodhicittavivarana) oleh Arya Nagarjuna Pendahuluan:

Tema dari risalat ini adalah bodhicitta. Bodhicitta konvensional adalah tekad untuk mencapai penggugahan demi semua makhluk; sedangkan bodhicitta tertinggi adalah merealisasi shunyata.

Sujud kepada Arya Vajrasattva!

Telah dinyatakan:
Shunya dari semua keberadaan yang bersifat hakiki dari sisinya sendiri;
Menghilangkan sepenuhnya semua objek dan subjek,
Seperti skandha-skandha, elemen-elemen dan sumber-sumber (ayatana);
Karena kesamaan ketidak-hakikian dari semua fenomena,
Citta seseorang sejak dahulu tidak pernah dilahirkan
Citta bersifat shunya.

Seperti para Buddha dan para Bodhisattva agung telah membangkitkan bodhicitta, saya juga, mulai sekarang hingga tercapainya penggugahan, membangkitkan bodhicitta agar saya dapat menyelamatkan mereka yang belum terselamatkan, membebaskan mereka yang belum terbebaskan, menghilangkan penderitaan mereka yang belum hilang, dan sepenuhnya membantu mereka melampaui penderitaan mereka yang belum sepenuhnya terlampaui. Para Bodhisattva yang mempraktikkan mantra rahasia (Tantra), setelah membangkitkan bodhicitta konvensional dalam wujud aspirasi, [kemudian] harus membangkitkan bodhicitta tertinggi melalui daya praktik meditasi. Oleh karena itu, saya akan menjelaskan sifat keberadaannya.

Gatha 1-3:
Pentingnya mengembangkan bodhicitta.

1.
Sujud kepada para Arya Vajrasattva
Yang merupakan perwujudan bodhicitta,
Saya akan membabarkan pengembangan bodhicitta
Yang menghancurkan [tiga jenis] keberadaan [samsara].

2.
Para Buddha menyatakan bahwa bodhicitta
Tidak terhalangi oleh konsepsi
Adanya diri, skandha-skandha, dan sebagainya,
[Tetapi] selalu ditandai karakteristik shunya

3.
[Mereka] yang citta-nya [hanya] diliputi welas asih (karuna),
Harus mengembangkan [bodhicitta] dengan upaya tertentu.
Bodhicitta ini dikembangkan secara terus-menerus

Oleh para Buddha yang memiliki mahakaruna. Gatha 4-9:
Penyangkalan atas adanya atman, diri yang permanen dan pencipta,
seperti yang diyakini oleh para Tirthika.

4.
Ketika konsep “diri” yang dicengkeram para Tirthika
Dianalisa dengan logika,
“Diri” tidak dapat ditemukan
Dalam [kelima] skandha.

5.
Jika “diri” [identik] dengan skandha-skandha,
Maka [diri] akan selalu berubah,
Tetapi “diri” tidak memiliki sifat demikian.
Dan antara hal yang tidak berubah dan yang berubah,
Tidak [memungkinkan] adanya hubungan antara wadah dan isinya.

6.
Jika tidak ada yang disebut “diri,”
Bagaimana mungkin yang disebut pencipta dapat “tidak berubah”?
[Hanya] bila ada subjek, barulah seseorang dapat
Mulai menyelidiki atribut-atributnya di dunia.

7.
Karena [pencipta] yang tidak berubah
Tidak dapat menciptakan sesuatu, baik secara bertahap maupun sekaligus,
Maka tidak ada hal-hal yang permanen,
Baik secara eksternal maupun internal.

8.
Mengapa pencipta yang maha kuasa [harus] tergantung pada sesuatu yang lain?
Ia tentu saja dapat menciptakan semuanya sekaligus.
[Pencipta] yang tergantung pada sesuatu yang lain
Tidaklah abadi ataupun maha kuasa.

9.
Seandainya pencipta merupakan suatu entitas
Maka ia tidak permanen,
Karena sesuatu selalu berubah (karena [engkau] tidak menyangkal

Bahwa sesuatu yang berubah memiliki pencipta). 3 Gatha 10-25:
Penyangkalan atas keberadaan (hakiki) dari skandha-skandha, seperti yang diyakini oleh para Shravaka.

10.
Dunia [empiris] ini, tidak memiliki “diri” dan sebagainya,
Ditaklukkan oleh pemahaman [para Shravaka] mengenai
Skandha-skandha, elemen-elemen, sumber-sumber (ayatana),
Dan subjek dan objek.

11.
Karena itu, [para Buddha] yang welas asih
Telah membabarkan kepada para Shravaka
Mengenai panca skandha:
Rupa, vedana, samjna, samskara, dan vijnana.

12-13.
Tetapi, kepada para Bodhisattva,
[Buddha] yang terbaik di antara makhluk-makhluk berkaki dua
Selalu mengajarkan doktrin ini mengenai skandha-skandha:
“Rupa seperti kumpulan buih-buih,
Vedana seperti gelembung-gelembung air,
Samjna seperti fatamorgana,
Samskara seperti batang pohon pisang,
Dan vijnana seperti ilusi”.
14.
Rupa skandha dikatakan
Memiliki sifat empat elemen utama.
[Empat skandha] lainnya terbentuk
Secara tak terpisahkan sebagai materiil.

15.
Di antara ini: mata, wujud, dan sebagainya
Dikelompokkan sebagai [delapan belas] elemen.
Sekali lagi, sebagai subjek-objek ini harus dikenal Sebagai [dua belas] sumber (ayatana).

16.
Wujud (rupa) bukanlah atom,
Demikian juga organ inderawi;
Wujud (rupa) sama sekali bukanlah indera aktif [dari kesadaran].
[Karena itu] pencipta dan yang diciptakan tidaklah mungkin untuk penciptaan.

17.
Atom-atom dari rupa tidak menciptakan kesadaran inderawi,
[Karena] ia melampaui inderawi.
Seandainya rupa tercipta dari kumpulan [atom-atom], Kumpulan ini tidak dapat diterima.

18.
Jika engkau menganalisa dengan pembagian dimensi ruang,
Bahkan atom terlihat memiliki bagian-bagian.
Sesuatu yang jika dianalisa terdiri dari bagian-bagian,
Bagaimana secara logika bisa merupakan sebuah atom (yang tidak dapat dibagi)?

19.
Berbagai macam persepsi dapat muncul
Terhadap satu objek eksternal.
Suatu bentuk yang menyenangkan [bagi seseorang]
Mungkin tampak berbeda bagi yang lain.

20.
Pada tubuh wanita yang sama,
Dalam pikiran seorang pertapa, seorang kekasih, dan seekor anjing liar
Muncul tiga persepsi yang berbeda:
“Sebuah mayat!” “Objek gairah seksual!” “Suatu makanan!”
21.
Kesamaan dari objeklah yang berfungsi.
Apakah ini tidak seperti dilukai dalam sebuah mimpi?
Antara keadaan mimpi dan sadar tidak ada perbedaan
Sejauh menyangkut berfungsinya sesuatu.

22.
Dipandang dari sudut objek dan subjek,
Apapun yang muncul pada kesadaran,
[Seseorang harus menyadari] bahwa tidak ada keberadaan objek eksternal apapun
Yang terpisah dari kesadaran.

23.
Jadi sama sekali tidak ada
Objek eksternal yang muncul dari sisinya sendiri.
Penampakan dari kesadaran ini
Muncul dalam aspek rupa.

24.
Mereka yang diliputi avidya
Melihat ilusi-ilusi, fatamorgana-fatamorgana, kota-kota para gandharva, dan sebagainya. Rupa juga dipersepsi dengan cara yang sama.

25.
Tujuan ajaran-ajaran [Buddha] mengenai skandha-skandha, elemen-elemen dan sebagainya Adalah [hanya] untuk menghilangkan cengkeraman akan adanya diri.
Dengan bersemayam dalam keadaan kesadaran murni,
[Para Bodhisattva] meninggalkan (ajaran) itu juga.

Gatha 26-56:
Penyangkalan atas hal mendasar dari Vijnanavada: trisvabhava/trilaksana, svasamvedana, asrayaparivrtti, and alayavijnana. Pada kenyataannya, vijnana adalah saling terkait, berubah-ubah, bersifat ilusi dan shunya.

26.
Menurut Vijnanavada (para penganut Cittamatra),
Berbagai macam [dunia] ini hanya berupa kesadaran.
Mengenai sifat dari kesadaran ini,
Akan kita analisa sekarang.

27.
Ajaran Buddha Shakyamuni bahwa “Seluruh [dunia] hanyalah pikiran”
Dimaksudkan untuk menghilangkan ketakutan-ketakutan
Mereka yang berpikiran kekanak-kanakan.
Ini bukanlah [ajaran] mengenai realita yang sesungguhnya.
28.
[Tiga karakteristik (trilaksana)]:
Parikalpita (sifat pembentukan/constructed nature),
Paratantra (sifat ketergantungan/dependent nature/relative nature),
Parinispanna (sifat sesungguhnya/ultimate nature) –
Hanya memiliki satu karakteristik yaitu bersifat shunya.
Hal-hal tersebut adalah proyeksi-proyeksi pikiran.
29.
Kepada [para Bodhisattva] yang bermudita dalam Mahayana,
Para Buddha mengajarkan ajaran singkat tentang
Ketidak-hakikian dari diri (nairatmya) dan kesamaan sifat dari [semua] fenomena,
[Dan ajaran] bahwa citta sejak dahulu tidak dilahirkan.

30.
Para penganut Yogacara
Sangat menekankan pada citta itu sendiri.
[Mereka] menegaskan bahwa citta yang dipurifikasi melalui transformasi
Menjadi [objek] dari [pengetahuan] itu sendiri.

31.
[Namun citta] masa lalu tidak eksis,
[Sementara] citta masa mendatang belum ada.
[Dan] bagaimana mungkin
[Citta] sekarang berpindah-pindah tempat?

32.
[Alayavijnana] tidak tampak sebagaimana kenyataannya.
Tidaklah seperti yang tampak.
Kesadaran tidak memiliki sifat hakiki dari sisinya sendiri;
Kesadaran tidak memiliki landasan [selain bersifat shunya].

33.
Ketika didekatkan pada magnet,
Besi dengan cepat menempel;
[Walaupun] tidak memiliki citta,
[Besi] tampak seperti memiliki citta.

34.
Dengan cara yang sama,
Alayavijnana kelihatannya nyata walaupun sebenarnya tidak.
Ketika alayavijnana bergerak kesana-kemari,
[Sepertinya] alayavijnana mempertahankan [tiga] keberadaan.

35.
Sama seperti lautan dan pepohonan yang bergerak
Walaupun mereka tidak memiliki citta,
Alayavijnana aktif [hanyalah] tergantung pada tubuh.

36.
Dengan menganggap bahwa tanpa tubuh
Maka tidak ada kesadaran,
Engkau juga harus menyatakan pengetahuan khusus seperti apa dari sisinya sendiri
Yang dimiliki [kesadaran] ini.

37.
Dengan mengatakan bahwa suatu pengetahuan khusus eksis dari sisinya sendiri,
Seseorang mengatakan itu merupakan suatu entitas.
Namun ia juga mengatakan bahwa tidaklah mungkin
Mengatakan “Ini adalah seperti ini!”

38.
Untuk menyakinkan diri mereka sendiri
Dan juga orang lain,
Mereka yang cerdas [seharusnya]
Selalu maju tanpa kesalahan!

39.
Objek adalah sesuatu yang bisa diketahui
Oleh subjek yang mengetahui.
Tanpa objek yang bisa diketahui,
Tidak [mungkin] ada aktivitas mengetahui.
Jadi mengapa tidak menerima bahwa
Subjek dan objek tidak eksis [seperti cara demikian]?

40.
Citta hanyalah suatu nama.
Citta bukan lain daripada nama.
Kesadaran harus dianggap hanya sebagai nama.
Nama juga tidak mempunyai sifat hakiki dari sisinya sendiri.

41.
Para Jina tidak pernah menemukan
Bahwa citta itu ada,
Baik secara internal maupun eksternal, atau di antara keduanya.
Karena itu, citta bersifat ilusi.

42.
Citta tidak mempunyai wujud-wujud tetap
Seperti berbagai macam warna dan bentuk,
Subjek dan objek,
Atau pria, wanita, dan netral.

43.
Singkatnya: Para Buddha tidak melihat
[Apa yang tidak] bisa dilihat.
Bagaimana mereka bisa melihat sesuatu yang tidak memiliki sifat hakiki dari sisinya sendiri Sebagai memiliki sifat hakiki dari sisinya sendiri?

44.
“Sesuatu” adalah konsepsi pikiran.
Shunyata adalah ketiadaan konsepsi pikiran.
Jika konsepsi muncul,
Bagaimana bisa ada shunyata?
45.
Para Tathagata tidak menganggap citta
Dalam bentuk objek yang bisa diketahui dan subjek yang mengetahui.
Di mana ada subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui,
Maka tidak ada penggugahan.

46.
Ruang, bodhicitta, dan penggugahan
Adalah tanpa tanda-tanda; tanpa awal.
Hal-hal tersebut tidak memiliki kenyataan konkret; melampaui kata-kata.
“Karakteristiknya” adalah non-dualitas.

47.
Para Buddha agung yang bersemayam
Dalam intisari penggugahan dan
Semua [Bodhisattva] yang welas asih
Selalu mengetahui shunyata seperti ruang kosong.

48.
Karena itu [para Bodhisattva] terus-menerus
Mengembangkan shunyata ini,
Yang merupakan landasan dari semua fenomena;
Hening, seperti ilusi, tanpa landasan; penghancur keberadaan samsara.

49.
Shunyata menunjukkan tanpa-kemunculan,
Shunya dari sifat hakiki, dan tidak adanya diri.
Mereka yang mempraktikkannya,
Tidak seharusnya mempraktikkan apa yang dikembangkan oleh mereka yang lebih rendah.

50.
Kebajikan dan ketidak-bajikan
Memiliki sifat [anitya dan] kehancuran.
Para Buddha telah mengatakan [bahwa hal-hal tersebut] bersifat shunya,
[Namun] yang lain tidak menerima shunyata.

51.
Pikiran yang bersemayam tanpa objek
Dikatakan memiliki karakteristik ruang [kosong].
[Para Bodhisattva] ini menganggap bahwa meditasi pada shunyata
Sesungguhnya adalah meditasi pada ruang kosong.

52.
Semua dogmatis takut
Pada auman singa dari shunyata.
Di manapun mereka bersemayam,
Shunyata sudah menunggu!

53.
Siapapun yang menganggap kesadaran selalu berubah
Tidak dapat menerimanya sebagai tidak berubah.
Jika citta berubah,
Mana mungkin ini bertentangan dengan shunyata?

54.
Singkatnya: ketika para Buddha menerima
Bahwa citta bersifat anitya,
Mana mungkin mereka tidak menerima
Bahwa citta bersifat shunya?

55.
Sejak dahulu, citta tidak memiliki sifat hakiki dari sisinya sendiri.
Jika fenomena bisa dibuktikan memiliki sifat hakiki dari sisinya sendiri,
[Kita] tidak akan menyatakan bahwa
Mereka tidak memiliki sifat hakiki dari sisinya sendiri.

56.
Pernyataan ini menghilangkan cara pandang
Bahwa citta memiliki landasan yang bersifat hakiki dari sisinya sendiri.
Bukanlah sifat dari segala sesuatu
Untuk melampaui sifat hakiki [dirinya] sendiri!

Gatha 57-72:
Semua dharma internal dan eksternal adalah saling terkait (pratityasamutpada) atau bersifat shunya. Untuk memahami ini, adalah merealisasi bodhicitta tertinggi, atau pembebasan dari jerat karma karena klesha-klesha.

57.
Seperti halnya manis adalah sifat dari gula dan panas adalah sifat dari api,
Begitu pula, [kita] berpandangan
Bahwa segala sesuatu bersifat shunya.

58.
Jika kita menyatakan bahwa
Shunyata adalah sifat [dari semua fenomena],
Kita sama sekali tidak akan menyatakan bahwa
Sesuatu itu nihilistik ataupun kekal (eternalistik).

59.
Aktivitas dari pratityasamutpada dengan
Dua belas mata rantai sebab-akibat,
Dimulai dengan avidya dan berakhir dengan kematian,
[Kita] berpandangan bahwa itu seperti mimpi dan ilusi.

60.
Roda pratityasamutpada ini dengan dua belas jari-jari
Berputar sepanjang jalan keberadaan samsara.
Di luar ini, tidak dapat ditemukan
Makhluk yang mengalami hasil perbuatannya.

61.
(Seperti halnya) karena adanya cermin,
Gambar wajah muncul:
Gambar wajah tidak masuk ke dalam cermin,
Tetapi juga tidak dapat muncul tanpa cermin.

62.
Sama halnya,
Yang bijaksana harus selalu yakin bahwa
Skandha-skandha muncul dalam wujud baru [karena] pembentukan ulang,
Namun tidak berpindah-pindah [sebagai identik ataupun berbeda].

63.
Secara ringkas: Sesuatu yang shunya
Muncul dari sesuatu yang shunya.
Jina telah mengajarkan bahwa pelaku dan perbuatan,
Hasil dan yang mengalami hasil [semuanya hanya] konvensional.

64.
Sama seperti keseluruhan [sebab-sebab dan kondisi-kondisinya]
Menghasilkan suara genderang atau kecambah,
[Maka kita] berpandangan bahwa dunia eksternal dari
Saling keterkaitan (pratityasamutpada) adalah seperti mimpi dan ilusi.

65.
Bukan sama sekali tidak konsisten bahwa
Fenomena muncul dari sebab-sebab.
Karena suatu sebab adalah shunya dari sebab,
[Kita] memahaminya sebagai tak dihasilkan.

66.
[Dikatakan] bahwa fenomena itu tidak muncul,
Menunjukkan bahwa mereka shunya.
Singkatnya, ‘semua fenomena’ menandai kelima skandha.

67.
Jika realita [diterima] seperti yang telah dijelaskan,
Konvensi tidak terhalangi.
Realita bukanlah suatu objek yang terpisah
Dari yang konvensional.

68.
Konvensi dijelaskan sebagai shunyata;
Shunyata itu sendiri adalah konvensi.
Karena [kedua hal ini] tidak dapat terjadi satu tanpa lainnya,
Sama halnya yang dihasilkan dan perubahan [selalu terjadi secara bersamaan].

69.
Konvensi muncul dari karma [karena berbagai macam] klesha,
Dan karma dihasilkan oleh citta.
Citta dipenuhi oleh tilasan-tilasan (vasana).
Kebahagiaan adalah bebasnya dari tilasan-tilasan.

70.
Citta yang bahagia adalah hening.
Citta yang hening tidak salah mengerti realita.
Tidak memiliki kesalah-pengertian adalah memahami realita.
Dengan memahami realita, seseorang mencapai pembebasan.

71.
Yang juga didefinisikan sebagai realita, batas sesungguhnya,
Tak bertanda, makna tertinggi,
Bodhicitta tertinggi,
Dan shunyata.

72.
Mereka yang tidak mengetahui shunyata
Tidak akan dapat mencapai pembebasan.
Makhluk-makhluk seperti itu mengembara dalam enam alam,
Terpenjara dalam keberadaan samsara.

Gatha 73-104:
Seorang Bodhisattva menjadi seorang Buddha dimotivasi oleh welas asih (yaitu, melalui daya pranidhana sebelumnya) untuk melakukan semua upayakausalya demi membebaskan semua makhluk dalam samsara.

73.
Ketika para pertapa [para penganut Yogacara]
Telah mengembangkan shunyata dengan cara ini,
Secara pasti citta mereka didedikasikan untuk
Kebahagiaan makhluk-makhluk lain, [dengan berpikir]:

74.
“Saya harus berterima kasih kepada
Mereka yang di masa lampau
Telah memberi manfaat kepada saya
Dengan menjadi orang tua saya atau teman-teman saya.

75.
“Karena saya telah menyebabkan penderitaan
Bagi makhluk-makhluk dalam samsara,
Yang tersiksa oleh api-api klesha,
Sangatlah pantas [sekarang] saya memberikan mereka kebahagiaan.
76.
Buah manis dan pahit [yang para makhluk peroleh]
Di dunia dalam bentuk kelahiran yang baik atau buruk,
Adalah akibat dari menyakiti atau memberi manfaat kepada para makhluk.

77-78.
Jika para Buddha mencapai tingkat tak terbandingkan
Dengan membantu para makhluk,
Apa anehnya jika [mereka yang] tidak memiliki sikap peduli sedikit pun kepada makhluk lain Tidak mendapatkan satu pun kebahagiaan dewa-dewi dan manusia,
Seperti yang dinikmati para penjaga dunia, Brahma, Indra, dan Rudra?

79.
Berbagai macam jenis duhkha
Yang dialami makhluk-makhluk di alam-alam neraka,
Sebagai binatang, dan sebagai preta
Adalah akibat dari menyakiti makhluk lainnya.

80.
Penderitaan yang tak terhindarkan dan tiada henti-hentinya
Dari kelaparan, kehausan, saling membunuh, dan siksaan-siksaan
Adalah akibat dari menyakiti makhluk lain.

81.
Ketahuilah bahwa makhluk-makhluk
Mengalami dua jenis matangnya karma:
[Yaitu] Buddha dan Bodhisattva,
Dan kelahiran yang baik atau buruk.

82.
Bantulah [makhluk-makhluk] dengan segenap hatimu,
Dan lindungilah mereka seperti melindungi tubuhmu sendiri.
Ketidak-pedulian/keacuhan terhadap makhluk-makhluk
Harus dihindari seperti racun!

83.
Walaupun para Shravaka mencapai penggugahan
Yang lebih rendah karena ketidak-terikatan,
Penggugahan sempurma para Buddha dicapai
Dengan tidak meninggalkan para makhluk.

84.
Bagaimana mereka yang mengetahui
Matangnya dari perbuatan positif maupun negatif
Dapat tetap mementingkan diri sendiri
Bahkan hanya untuk sekejap?

85.
Para Jinaputra secara aktif mengembangkan bodhicitta,
Memiliki welas asih yang kokoh sebagai akarnya,
Tumbuh dari tunas bodhicitta, dan
Memberikan manfaat kepada makhluk lain sebagai hasil satu-satunya.

86.
Mereka yang diperkokoh dengan meditasi (bodhicitta),
Menyadari bahwa penderitaan makhluk-makhluk lain adalah menakutkan.
[Demi menolong makhluk lain] mereka bahkan
Meninggalkan kesenangan yang diperoleh dari dhyana;
Mereka bahkan memasuki Neraka Avici!

87.
Mereka mengagumkan; mereka terpuji; mereka luar biasa mulia!
Tidak ada yang lebih mengagumkan daripada
Mereka yang mengorbankan diri mereka sendiri
Dan harta kekayaan mereka!

88.
Mereka yang memahami sifat shunya dari fenomena
[Tetapi juga] yakin terhadap [hukum] karma dan hasilnya
Adalah lebih indah dari indah,
Lebih mengagumkan dari mengagumkan!

89.
Dengan keinginan untuk melindungi makhluk-makhluk,
Mereka lahir dalam lumpur keberadaan samsara.
Tak ternodai oleh aktivitas-aktivitas,
Mereka seperti bunga teratai [yang mengakar] dalam lumpur.

90.
Walaupun para Jinaputra seperti Arya Samantabadra
Telah menghabiskan bahan bakar klesha
Melalui api kognitif shunyata,
Air welas asih masih tetap mengalir dalam diri mereka!
91-92.
Karena pengaruh daya welas asih,
Mereka menunjukkan turun [dari Tushita], dilahirkan, bersenang-senang,
Pengentasan diri, praktik-praktik pertapaan, penggugahan agung,
Kemenangan atas para mara, pemutaran Dharmacakra,
Memasuki alam para dewa, dan [memasuki] Nirvana.

93.
Beremanasi dalam wujud-wujud seperti
Brahma, Indra, Vishnu, dan Rudra,
Karena welas asih, mereka menunjukkan aktivitas-aktivitas yang sesuai
Dengan kebutuhan para makhluk yang membutuhkan bimbingan.

94.
Kedua [jenis] pengetahuan [dari] Mahayana diajarkan
Untuk memberi kenyamanan dan kemudahan
Kepada mereka yang menempuh jalan kehidupan dalam samsara.
Namun [ini] bukanlah makna tertinggi.

95.
Selama mereka belum digugah oleh para Buddha,
Para Shravaka [yang] tetap berada dalam keadaan sukha,
Terserap dalam samadhi.

96.
Tetapi begitu tergugah,
Mereka mendedikasikan diri mereka
Untuk para makhluk dengan berbagai cara.
Mengumpulkan punya dan prajna,
Mereka mencapai penggugahan para Buddha.

97.
Sebagai potensi dari kedua [pengumpulan],
Tilasan-tilasan dikatakan adalah potensi [penggugahan].
Potensi itu, [yang merupakan] kumpulan dari keberadaan,
Menghasilkan rentetan kehidupan.

98.
Ajaran dari para pelindung dunia
Adalah sesuai dengan kecenderungan [berbagai] makhluk.
Para Buddha menggunakan berbagai macam
Upayakausalya, dengan berbagai cara.

99.
[Ajaran-ajaran mungkin saja berbeda-beda]
Dalam hal kedalaman atau keluasannya, kadang-kadang keduanya.
Walaupun kadang-kadang berbeda, namun ajaran-ajaran tersebut sama
Dalam hal shunyata dan non-dualitas.

100.
Apapun Dharma, tahap-tahap realisasi dan paramita para Buddha,
[Para Tathagata] yang maha mengetahui telah menyatakan bahwa
Itu merupakan aspek-aspek dari bodhicitta.

101.
Mereka yang selalu memberi manfaat kepada
Makhluk-makhluk melalui perbuatan, ucapan, dan pikiran,
Adalah sesuai dengan ajaran shunyata,
Dan sama sekali tidak nihilistik.

102.
[Para Bodhisattva] agung tidak bersemayam
Dalam Nirvana atau samsara.
Karena itu, para Buddha telah mengatakan ini
Sebagai “Nirvana tanpa menetap.”

103.
Obat mujarab unik dari welas asih
Berfungsi sebagai potensi-potensi positif (punya),
[Tetapi)] obat mujarab dari shunyata
Berfungsi sebagai yang tertinggi.
Mereka yang meminumnya demi diri mereka sendiri dan makhluk lain
Adalah para Jinaputra (Bodhisattva).

104.
Berilah penghormatan kepada para Bodhisattva ini
Dengan segenap hatimu!
Senantiasa patut dihormati di ketiga alam, pembimbing dunia,
Mereka mewakili silsilah para Buddha.

Gatha 105-111:
Dorongan untuk mengembangkan bodhicitta.

105.
[Dalam] Mahayana,
Bodhicitta ini dikatakan adalah yang terbaik.
Karena itu, kembangkanlah bodhicitta
Melalui upaya yang kokoh dan seimbang.

106.
[Dalam] keberadaan ini tidak ada cara lain
Untuk mewujudkan manfaat bagi diri sendiri dan makhluk lain.
Para Buddha sampai sekarang tidak melihat adanya
Cara lain selain bodhicitta.

107.
Hanya dengan membangkitkan bodhicitta,
Kumpulan potensi-potensi (punya) yang besar dihasilkan.
Jika mempunyai bentuk, punya tersebut
Akan melebihi luasnya angkasa!

108.
Jika seseorang mengembangkan bodhicitta
Walau hanya sesaat,
Bahkan para Jina tidak dapat menghitung
Kumpulan potensi-potensi positif (punya) yang dihasilkannya!

109.
Satu-satunya permata terindah
Adalah citta yang bebas dari klesha.
Para perampok seperti klesha-klesha atau mara
Tidak dapat mencuri atau menghancurkannya.

110.
Seperti halnya pranidhana para Buddha dan Bodhisattva dalam samsara
Adalah tak tergoyahkan,
Mereka yang menempuh jalan bodhicitta
Harus membuat tekad bulat.

111.
Betapa luar biasa [semua ini kelihatannya],
Engkau harus membuat upaya-upaya seperti yang telah dijelaskan.
Kemudian engkau sendiri akan memahami
Jalan yang ditempuh Arya Samantabhadra!

Gatha 112:
Dedikasi akhir dari kumpulan potensi-potensi positif (punya).

112.
Melalui potensi-potensi positif (punya) tak terbandingkan.
Yang telah saya kumpulkan dari memuji bodhicitta luhur
Yang dipuji oleh para Jina agung,
Semoga makhluk-makhluk yang hanyut
Dalam ombak-ombak lautan samsara
Mengikuti jalan yang ditempuh para pemimpin berkaki dua.

Diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia oleh tim Potowa Center.