Mengatasi Kemiskinan Dalam Perspektif Buddhis

(Oleh:  Surahman)

Pepatah Orang Bijaksana:
Nasib baik juga  hati baik, mudah mencapai kesuksesan dan kemuliaan.
Hati baik tapi nasib tidak baik, segala keperluan terpenuhi tidak kekurangan.
Nasib baik tapi hati tidak baik, masa depan pasti jatuh susah dan bangkrut.
Hati dan nasib tidak baik, miskin dan derita di alami sepanjang hayat.

1.  Pendahuluan
Kemiskinan adalah salah satu masalah kehidupan yang mengglobal, data statistik dari berbagai belahan dunia menunjukkan permasalahan kemiskinan menjadi salah satu problem utama pada tiap negara. Indonesia sebagai negara berkembang mengalami permasalahan kemiskinan yang serius.

Upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia telah dilakukan dengan berbagai program, misalnya, program Inpres Desa Tertinggal (IDT). IDT merupakan Inpres No. 5/1993 tentang Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan. Pada saat terjadinya krisis ekonomi yang kemudian berlanjut men-jadi krisis multidimensional, diluncurkan program daerah dalam mengatasi dampak krisis ekonomi (PDM-DKE) yang kemudian dilanjutkan dengan program pengentasan kemiskinan perkotaan (P2KP) dan berbagai program lain yang bersifat terencana dan sistemik.

Meskipun masyarakat miskin telah mendapatkan bantuan program pengentasan kemiskinan, tapi hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Masyarakat miskin yang telah tersentuh program pengentasan kemiskinan, tetap tidak bisa bangkit dari kondisi kemiskinannya. Secara logis dapat disimpulkan bahwa ada yang salah dalam pelaksanaan program pengentasan kemiskinan karena tidak diiringi dengan hasil yang signifikan.

Sebagai permasalahan kompleks kemiskinan dapat ditelaah dari berbagai sudut pandang. Berbagai ranah berpikir yang dirasa mampu memberikan jawaban efektif dan membangun bagi pelaksanaan program pengentasan kemiskinan dapat dijadikan salah satu acuan berpikir sebagai bahan pertimbangan. Salah satu ranah berpikir dari berbagai bidang kajian perspektif ilmu sosial adalah kajian keagamaan. Jawaban dari sudut pandang keagamaan akan memperhitungkan ranah etika secara ketat walaupun dalam masa “posmodern” agama pada umumnya dalam posisi sulit. Di satu pihak kacaunya kiblat nilai faktual menjadikan agama sebagai “primadona” problem solving, di pihak lain agama mengalami berbagai krisis identitas dan terjebak dalam”pertentangan remeh-temeh intern” sambil kehilangan kepekaan terhadap hal-hal subtansial.

Buddhisme sebagai agama (way of life) dengan penganut minoritas khususnya di Indonesia  mempunyai dasar filosofi bahwa hidup merupakan masalah dan menawarkan jalan pengentasan terhadap permasalahan secara nyata. Kotbah pertama Buddha secara tegas menjelaskan bahwa semua fenomena kehidupan mengandung permasalahan namun dapat diatasi dengan menghilangkan  faktor penyebab masalah (S.V.421-422). Makalah ini akan mengambarkan sudut pandang Buddhis dalam mengatasi kemiskinan.

2.  Pandangan Buddhis Mengenai Kemiskinan
Kesan umum yang kebanyakan ditangkap dalam wajah Buddhisme di Indonesia adalah apatis dan seperti agama-agama lain, agama Buddha kadang dikritik idealismenya yang mendorong pola hidup non materialistis yang berlawanan dengan bulir-bulir hasrat dan motivasi utama manusia. Ranah berpikir dalam tulisan ini akan menjelaskan sebuah pertentangan dengan pra-anggapan mengenai idealisme Buddhis. Ilmu ekonomi yang melibatkan pengumpulan kekayaan materi sebenarnya tersirat dari sabda buddha yang pertama (dhammacakkapavattana suttanta) sebagai bentuk matapencaharian benar (samma ajiva) yang dapat membantu proses pencerahan spiritual (S.V.421-422).

Secara tegas lagi Buddha bersabda ”mereka yang pada masa mudanya tidak menjalankan kehidupan benar, mengumpulkan kekayaan akan hidup miskin dan merana seperti bangau tua yang hidup dalam kolam tanpa ikan”. (Dhp.155).

Kesucian spiritual dan kekayaan bukanlah dua hal yang bertentangan melainkan dapat diatur sehingga saling menyumbangkan makna dan melengkapi, Anathapindika dan Visaka merupakan contoh pengusaha yang kaya pada jaman Buddha dan berhasil mencapai kesucian (Vin.II.158-159; Vin.I.292-294).

Dari contoh tersebut dapat dibuktikan bahwa Buddhisme tidak anti terhadap kepemilikan materi dan kekayaan. Menurut agama Buddha kemiskinan adalah sesuatu yang buruk karena melibatkan dukkha. Istilah bahasa Pali, dukkha, sebagaimana dapat ditunjukkan melalui argumentasi merupakan konsep agama Buddha yang paling fundamental, tapi sering disalahpahami. Biasanya terjemahan bahasa Inggrisnya adalah “penderitaan, frustasi, ketidakpuasan”, namun, “ill-being (suatu kondisi kurang kesehatan, kebahagiaan, atau kesejahteraan)” merupakan terjemahan terbaik dalam konteks ini. Tujuan jalur Buddhis adalah mengakhiri dukkha semua mahkluk (Vbh.237) dalam konteks tulisan ini tidak ditekankan perbedaan yang menyolok antara dukkha duniawi dan yang transendental. Dalam salah satu sabdanya Buddha mengatakan bahwa bagi orang yang menikmati kesenangan indriya, kemiskinan (daliddiya) merupakan kesengsaraan karena akan membawa pada peminjaman dan peningkatan hutang, dan dengan demikian, penderitaan pun bertambah (A.VI.45).

3.  Cara Mengatasi Kemiskinan Dalam Agama Buddha
Penanggulangan kemiskinan yang selama ini terjadi memperlihatkan beberapa kekeliruan paradigmatik, antara lain masih berorientasi pada aspek ekonomi daripada aspek multidimensional. Penanggulangan kemiskinan dengan fokus perhatian pada aspek ekonomi terbukti mengalami kegagalan, karena pengentasan kemiskinan yang direduksi dalam soal-soal ekonomi tidak akan mewakili persoalan kemiskinan yang sebenarnya.

Dalam konteks budaya, orang miskin diindikasikan dengan terlembaganya nilai-nilai seperti apatis, apolitis, fatalistik, serta berbagai bentuk ketidakberdayaan. Sementara dalam konteks dimensi struktural atau politik, orang yang mengalami kemiskinan ekonomi pada hakekatnya karena mengalami kemiskinan struktural dan politis.

Mr Sarath W. Surendre (President of Sasana Abhiwurdhi Wardhana Society based in the Buddhist Maha Vihara) berpendapat bahwa sebenarnya ilmu ekonomi kontemporer jauh lebih “idealistik” dalam pengertian lebih menawarkan gambaran yang tidak realistis tentang sifat dasar manusia yang didasarkan pada sistim etika abad kedelapan belas, utilitarianisme (bukan berasal dari pengamatan empiris), melainkan buah olah pikir yang muncul dari studi seorang filsuf. Sebagai akibatnya, para ekonom saat ini cenderung hidup di dunia statistik dan persamaan matematis (equation) yang bersifat satu dimensi idea, satu dunia yang tidak secara tepat mencerminkan nilai-nilai dan tujuan-tujuan manusia di dunia yang sesungguhnya.Berbeda dengan individualisme penuh perhitungan yang dipra-anggapkan oleh ekonomi neo-liberal, agama Buddha lebih “membumi” dalam pemahamannya tentang sumber ketidaksejahteraan (ill-being) dan kesejahteraan (well-being) manusia. Pendekatannya hampir sama dengan cara yang dilakukan oleh kebanyakan komunitas pramodern dalam memahami kesejahteraan serta yang masih dilakukan oleh masyarakat-masyarakat ”belum berkembang” masa kini.

Dari sudut pandang Buddhis, sama sekali tidak mengejutkan bahwa upaya-upaya kelembagaan pengentasan dan pembangunan ekonomi yang telah dilakukan di Indonesia sebenarnya ada yang justru memperburuk masalah-masalah sosial (kemiskinan dengan berbagai aspekya) yang hendak dipecahkan. Jauh dari menyediakan solusi, pendekatan pembangunan yang hingga saat ini masih diterima begitu saja tanpa dipertanyakan, justru lebih baik dipahami sebagai masalah itu sendiri.

Agama Buddha dapat membantu dalam melihat, mendiagnosa dan mengusulkan ke depan alternatif-alternatif yang lebih memungkinkan untuk dijalankan. Berdasarkan sabda Buddha dalam Cakkavattisihanada Sutta terdapat hubungan sebab akibat antara kemiskinan materil dan kemerosotan sosial dan sistem pemerintahan suatu negara. Buddha menceriterakan kisah seorang raja yang pada awalnya memuliakan dan mengandalkan ajaran Buddha, melakukan sebagaimana yang dinasihatkan penasihat kerajaan untuk tidak membiarkan kejahatan terjadi dalam kerajaan dan secara rutin memberikan dana (properti) kepada kaum miskin. Tapi raja kemudian mulai memerintah menurut idenya sendiri dan tidak memberikan properti kepada kaum papa, akibatnya kemiskinan pun meluas. Karena kemiskinan seorang penduduk mengambil barang yang tidak diberikan sehingga ditangkap oleh pihak kerajaan; saat raja menanyakan sebab terjadinya pencurian, penduduk mengatakan bahwa tidak punya harta untuk menyambung hidup. Raja akhirnya memberikan properti dengan mengatakan bahwa properti itu akan cukup untuk melakukan usaha dan menopang keluarganya. Tindakan pencurian yang dilakukan menjadi inspirasi bagi berkembangnya tindakan pencurian dan berbagai bentuk kejahatan lainya, kerajaan menjadi tidak aman dan kacau. Mendengar terjadi banyak pencurian dan kejahatan orang menyiapkan berbagai alat pengaman berupa senjata tajam dan akhirnya terjadi banyak kasus pembunuhan.

Dengan demikian, dari tidak memberikan properti pada kaum papa, kemiskinan meluas, dari berkembangnya kemiskinan, pengambilan akan apa yang tidak diberikan meningkat, dari meningkatnya pencurian, meningkatlah penggunaan senjata, dari meningkatnya penggunaan senjata, meningkatlah pembunuhan….” (D.III.69-70).
Cerita dari Cakkavati Sihanada Sutta adalah  gambaran sistem kepedulian sosial suatu negara yang kurang sebagai pemicu utama kemiskinan dan berbagai tindak kejahatan. Penegasan yang lain terdapat dalam sabda Buddha “jika penguasa bersikap adil  dan baik maka para menteri berlaku adil dan baik, jika para menteri berlaku adil dan baik maka para pejabat eselon akan berlaku adil dan baik, jika  para pejabat eselon akan berlaku adil dan baik maka para bawahan  bersikap adil dan baik, jika para bawahan  bersikap adil dan baik maka rakyat menjadi adil dan baik”. (D.III. 26).

Karena kemiskinan bersifat multidimensional bahkan melibatkan negara, moral dan hukum sesuai analisis Cakkavatisihanada Sutta maka program pengentasan kemiskinan seyogyanya juga tidak hanya memprioritaskan aspek ekonomi tapi memperhatikan dimensi lain. Dengan kata lain, pemenuhan kebutuhan pokok memang perlu mendapat prioritas, namun juga harus mengejar target mengatasi kemiskinan non-ekonomik. Strategi pengentasan kemiskinan hen¬daknya diarahkan untuk mengikis nilai-nilai budaya negatif seperti apatis, apolitis, fatalistik, ketidakberdayaan, dan sebagainya. Apabila budaya ini tidak dihilangkan, kemiskinan ekonomi akan sulit untuk ditanggulangi. Selain itu, langkah pengentasan kemiskinan yang efektif harus pula mengatasi hambatan-hambatan yang sifatnya struktural dan politis.

Secara lebih tegas lagi Buddha bersabda seperti yang tertuang dalam kitab Anguttara Nikaya tika nipata  bahwa terdapat tingkat kemiskinan dengan perumpamaan bahwa beberapa orang seperti orang yang sepenuhnya buta karena mereka tidak mempunyai visi untuk meningkatkan keadaan materil mereka, tidak juga visi untuk menjalankan kehidupan yang tinggi secara moral. Orang-orang lainnya seperti manusia bermata satu karena, meskipun mempunyai visi untuk meningkatkan kondisi materil mereka, mereka tidak mempunyai visi untuk menjalankan kehidupan yang tinggi secara moral; kelompok ketiga mempunyai visi untuk meningkatkan keduanya. Ajaran-ajaran Buddhis tersebut secara tidak langsung menyatakan bahwa ketika mengukur kemiskinan tidak cukup hanya menilai kondisi-kondisi materil saja. Untuk penilaian kondisi kekurangan yang lebih menyeluruh, kualitas moral kehidupan orang-orang perlu dimasukkan. Namun ini bukan mengecilkan pentingnya mata pertama [kondisi materil].

Agama Buddha menghargai ketidakmelekatan terhadap barang-barang materi serta mempromosikan kebajikan dari mempunyai sedikit keinginan (A.V.92-93), tapi tidak sama dengan mendorong kemiskinan. Kemiskinan, sebagaimana umumnya dipahami dalam agama Buddha, terdiri dari kurangnya syarat materi dasar untuk menjalani kehidupan yang layak, tidak punya tempat bernaung dan lain-lain. Agama Buddha mengakui pentingnya kebutuhan-kebutuhan materi minimum bahkan dalam kasus orang-orang yang ingin mencapai tujuan spiritualnya, dan sebenarnya kebutuhan mendasar seorang biku atau bikuni menjadi tolok ukur yang berguna untuk mengukur suatu tingkat dimana manusia dapat bertahan hidup dan tidak boleh dibiarkan jatuh lebih rendah dari tingkat itu.

Empat kebutuhan pokok seorang pelepas keduniawian Buddhis adalah cukup pangan untuk mengurangi rasa lapar dan mempertahankan kesehatannya, cukup sandang untuk kesantunan sosial dan melindungi tubuh, tempat bernaung yang memadai untuk mengolah batin secara serius, dan perawatan kesehatan yang memadai untuk menyembuhkan dan mencegah penyakit. Agama Buddha menganggap orang yang dengan suka rela melepaskan harta benda dan kesenangan duniawi demi kehidupan dengan kebutuhan minimum sebagai bagian dari komunitas “insan-insan mulia”. (ariyapuggala) (M.I.40).

Di sutta lain, Buddha berbicara tentang empat jenis kebahagian (sukha) yang dapat dicapai oleh perumah tangga: memiliki cukup sumber daya materi, menikmati aneka sumber daya materi tersebut, berbagi hal-hal itu dengan sanak saudara, dan tidak dalam keadaan berhutang. Yang lebih penting dari semua itu, Beliau tekankan, adalah kebahagiaan menjalani kehidupan tanpa cela (S.I.215; Sn.189).

Dalam ranah penekanan faktor psikis Buddha mengajarkan kekayan terbesar adalah merasa puas terhadap apa yang telah dimiliki (santutti paramam dhanam) (Dhp.204). Buddha menarik perhatian pada kenyataan bahwa pencarian sepenuh hati yang hanya ditujukan pada kekayaan materi tidak akan membuat manusia bahagia atau bahkan kaya. Sebuah dunia yang lebih didominasi oleh iri hati (issa) dan kekikiran (macchariya) tidak bisa dianggap sebagai dunia yang kemiskinannya telah dihilangkan. Ini sesuai dengan kebenaran kedua Buddha bahwa sebab dukkha adalah tanha atau “nafsu rendah”. (S.V.420).

Ketika manusia memperoleh dorongan untuk memiliki yang sedemikian kuat akan suatu obyek, obyek tersebut menjadi sebab penderitaan. Agama Buddha menganggap pengembangbiakan nafsu keinginan seperti itu sebagai sebab mendasar ketidaksejahteraan (ill-being) manusia. Buddha mengajarkan bahwa pencarian kekayaan yang baik menirukan filosofi lebah memperoleh madu tanpa merusak bunga tapi justru menguntungkannya (D.III.187).

Tafsir yang dapat diturunkan dari doktrin Buddha dalam sutta-suttanya mengenai keinginan bermuara pada konklusi bahwa kemiskinan tidak akan pernah dapat diatasi dengan menumbuhkan semakin banyak keinginan yang kemudian akan dipuaskan dengan mengonsumsi semakin banyak barang dan jasa. Di beberapa tempat, ini mungkin secara sementara menghasilkan dihilangkannya kemiskinan materi, tapi dengan biaya memunculkan kemiskinan jenis lain yang jauh lebih membahayakan. Singkatnya, ada kemiskinan yang mendasar dan yang tak mungkin dihindari, yang “dibangun ke dalam” masyarakat konsumen. Untuk alasan itu, proyek-proyek pembangunan yang berusaha mengakhiri kemiskinan dengan “membangun” masyarakat ke dalam ekonomi yang difokuskan pada konsumsi adalah menggenggam ular pada ujung yang salah. Kita tidak perlu menjadi kaget bahwa upaya-upaya rekayasa sosial seperti itu menciptakan lebih banyak masalah ketimbang pemecahan masalah.Kesalahan sistem yang ada dan juga sudah berkembang adalah pengentasan kemiskinan lebih bernuansa karitatif (kemurahan hati) ketimbang produktivitas.

Penanggulangan kemiskinan yang hanya didasarkan atas karitatif, tidak akan muncul dorongan dari masyarakat miskin sendiri untuk berupaya bagaimana mengatasi kemiskinannya. Mereka akan selalu menggantungkan diri pada bantuan yang diberikan pihak lain. Padahal program penanggulangan kemiskinan seharusnya diarahkan supaya mereka menjadi produktif.

Buddhisme menekankan sikap produktif yang sesuai dengan Dhamma karena akan memberikan ketenangan dalam hidup sendiri maupun keluarga. Diterangkan dalam Dhamma ‘….tetapi seseorang yang mengumpulkan kekayaan (1) dengan cara-cara yang sah dan tanpa kekerasan; dan dengan berbuat demikian, (2) memperoleh kenikmatan dan sukacita (3) dan ia membaginya dengan orang lain serta melakukan perbuatan-perbuatan baik; dan (4) menggunakannya tanpa keserakahan dan kehausan, tanpa melakukan pelanggaran-pelanggaran, menyadari bahaya dalam penyalahgunaannya dan sadar akan tujuan hidupnya yang tertinggi, maka ia patut dipuji dan tidak tercela dalam keempat segi itu. (S. IV. 331).

Format mengatasi kemiskinan juga harus mempertimbangkan usaha keras dengan manajemen yang baik berupa Utthanasampada berupa sikap rajin dan semangat dalam bekerja mencari nafkah, belajar untuk menuntut ilmu dan  di dalam apa saja yang menjadi tugas dan kewajiban seseorang, Arkkhasampada: menjaga dan memanfaatkan dengan baik terhadap kekayaan yang telah diperoleh. Kalyanamitta: memiliki sahabat yang baik dan tidak bergaul dengan orang yang berprilaku buruk. Samajivita:  menempuh cara hidup yang sesuai dengan penghasilan, tidak kikir dan juga tidak hidup boros. (A IV.281). Sikap hidup tidak boros dalam manajemen Buddhis dilakukan dengan membagi penghasilan dalam empat bagian yaitu satu bagian untuk dinikmati, dua bagian untuk mengembangkan usaha, bagian yang tersisa digunakan untuk tabungan (D.III.188).Titik pokok yang juga kurang dikembangkan dalam format mengatasi kemiskinan adalah tidak dikembangkanya sikap kepedulian sosial diantara warga negara. Oleh karena itu, untuk mengatasi berbagai masalah dalam masyarakat yang timbul akibat kesenjangan sosial dan kemiskinan, maka hendaknya setiap orang disadarkan akan kepedulian sosial dan kepekaan lingkungan, karena ‘Orang yang memperhatikan kepentingan orang lain di samping kepentingan diri sendiri adalah yang terbaik’. (A II. 95; D.III.233).

4.  Penutup
Mengatasi kemiskinan sebagai masalah yang komplek harus melibatkan berbagai faktor termasuk moralitas penguasa negara, penegakan hukum dan berbagai fenomena sosial (D.III.69-70). Warga miskin tidak hanya diperlakukan sebagai objek tetapi sebagai subyek yang dituntut poduktivitas (A IV.281) dan kepedulian terhadap sesama (A II. 95; D.III.233).

Daftar Rujukan Anguttara Nikaya (the book of the gradual sayings). Trans pali-english by Woodward. 1972-1978. London: PTS. Digha Nikaya (dialoque of the buddha). Trans pali-english by Rhys davids. 1977b. London: PTS. Dhammapada (the word of the doctrine). Trans pali-english by Norman. 2000.Oxford: PTS Majjhima Nikaya (the middle length sayings). Trans pali-english by Horner. 1989.London: PTS. Samyutta Nikaya (the book of kindred sayings) Trans pali-english by Woodward.1980.London: PTS. Sutta Nipata (the group of discourses).trans pali-english by Walpola rahula. 1984. London: PTS. Vinaya Pitaka (the book of discipline). Trans pali-english by Horner. 1966-1975. London: PTS. Vibhanga (the book of analysis). Trans pali english by Patamakyaw Ashin Thittila. 1969. London:PTS.

http://smaratungga2005.wordpress.com/2008/01/10/mengatasi-kemiskinan-dalam-perspektif-buddhis/