Enam Paramita – Mahayana
(Posted by Alex)
Dalam Buddhisme Mahayana, dikenal Sad paramita (Enam Paramita) atau Enam Perbuatan Luhur, dan merupakan ajaran pertama yang dilakukan oleh para Bodhisattva untuk mencapai pandangan Buddha yang tidak terbatas yaitu Cinta Kasih [maitri/metta], Kasih Sayang [karuna], Simpati [mudita] dan Keseimbangan Batin [upeksa/upekkha]. Dengan demikian tindakan seorang Bodhisattva haruslah benar-benar terlepas dari semua kepentingan atau kebanggaan pribadi, tanpa ikatan, tanpa batas, tanpa henti dan tanpa perbedaan dalam membantu semua makhluk yang memerlukan pertolongan. Tindakan seorang Bodhisattva, dapat disamakan dengan matahari yang menyinari bumi ini, tanpa membeda-bedakan, tanpa ikatan, tanpa batas, tanpa henti, dan tidak pernah membanggakannya atau mengakui pahalanya.
Enam Paramita tersebut terjalin sebagai satu kesatuan, karena pengaruh dari ajaran Asanga (pendiri Yogacara) sebagaimana disebutkan dalam Mahayana Sutralankara dengan urutan: dana-sila-ksanti-virya-dhyana-prajna. Adapun dalam pelaksanaan paramita ini dapat dibagi dalam tiga tingkatan sebagaimana tersebut dalam Lankavatara Sutra, yaitu:
1. Tingkat Biasa;merupakan suatu pelaksanaan paramita dengan harapan untuk memperoleh pahala baik pada masa kehidupan saat ini maupun pada kehidupan berikutnya.
2. Tingkat Luarbiasa; merupakan suatu pelaksanaan paramita dengan tujuan untuk mencapai nirvana, untuk tidak dilahirkan kembali.
3. Tingkat Tertinggi; merupakan suatu pelaksanaan paramita oleh para Bodhisattva dalam usahanya untuk menyelamatkan semuat makhluk dari lingkaran penderitaan [samsara].
1. Dana Paramita
Dana Paramita merupakan perbuatan luhur tentang beramal, berkorban baik materi maupun non-materi. Dana paramita ini dapat digolongkan lagi atas : Dana, Atidana (yang lebih tinggi) dan Mahatidana (yang tertinggi).
Para penerima Dana dapat dibagi atas tiga kategori, yaitu (1) dana kepada teman dan keluarga; (2) dana kepada yang membutuhkan, yang miskin, yang menderita dan yang tidak berdaya; (3) dana kepada para bhikshu/bhikkhu dan para brahmana (orang suci Hindu). Dana yang diberikan adalah merupakan milik kekayaan.
Atidana adalah merupakan suatu pemberian dana dimana merupakan miliknya yang terakhir dengan tujuan pemupukan kebajikan untuk mengatasi kemelekatan terhadap rasa cinta yang dapat dianggap sebagai penghambat menuju jalan Kebuddhaan, sehingga menimbulkan kepribadian yang luhur. Contoh pelaksanaan Atidana dikisahkan dengan baik dari cerita Raja Visvantara yang dikutip dari Jatakamala dan Avadana Kalpa Lata.
Pangeran Menyerahkan Semuanya
Visvantara merupakan putra Raja Sanjaya. Beliau telah membagi habis harta miliknya sebagai derma, sampai akhirnya Beliau menyerahkan juga gajah putih milik kerajaan kepada kaum pendeta. Kedermawaannya yang tinggi tersebut menyebabkan ayahnya mengusirnya dari kerajaan untuk dikucilkan di Gunung Vanka. Visvantara dalam perjalanan ke Gunung Vanka ditemani oleh istrinya dan dua orang anaknya dengan menaiki kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda. Di tengah perjalanan, mereka bertemu seorang pendeta yang meminta kuda-kuda mereka dimana diberikan semua oleh Beliau. Pada kesempatan lain, keretanya juga diberikan kepada pendeta lain yang ditemuinya. Akhirnya mereka meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki dimana Visvantara menggendong putranya, dan istrinya menggendong putrinya. Sesampainya di tempat tujuan, mereka tinggal di rumah yang terbuat dari daun-daunan.
Pada suatu hari sewaktu istrinya sedang pergi, datanglah seorang brahmana yang meminta kedua orang anaknya untuk dijadikan pelayannya. Visvantara tidak sanggup untuk menolak permintaan seorang brahmana, sehingga diserahkannya kedua anaknya tersebut juga. Kejadian tersebut menggugah Deva Sakra yaitu pemimpin para Deva yang kemudian muncul dalam penyamarannya sebagai seorang pendeta yang miskin dan memohon kepada Visvantara agar dapat menyerahkan istrinya kepadanya. Tentu saja permohonan inipun dikabulkannya, dan atas ketulusan Visvantara kemudian Deva Sakra menjelma kembali ke bentuk aslinya dan memberkahi Visvantara. Brahmana yang membawa kedua anaknya kemudian menyerahkannya kepada kakeknya, Raja Sanjaya .
Kejadian ini membuat Raja Sanjaya dan rakyatnya menjadi terharu sehingga Visvantara dipanggil kembali dan diberikan kedudukan kembali sebagai pangeran kerajaan yang kemudian hari menjadi Raja menggantikan ayahnya.
Mahatidana merupakan pengorbanan dana tertinggi karena yang diberikan adalah anggota tubuh seorang Mahasattva. Pengertian anggota tubuh ini dapat mencakup daging, darah, organ mata ataupun organ tubuh lainnya, bahkan seluruh tubuhnya karena Sang Mahasattva sudah tiada mempunyai sedikitpun rasa cinta kepada semuanya itu. Kesediaannya memberikan pengorbanan yang besar ini merupakan pencurahan kasih yang luar biasa kepada makhluk hidup dengan tujuan untuk mengakhiri penderitaan. Terdapat banyak kisah di dalam Jataka yang menceritakan tentang pemberian mahatidana oleh Sang Bodhisattva Mahasattva. Salah satunya adalah kisah di bawah ini.
Bodhisattva Mengorbankan Tubuh
Pada suatu masa yang silam, hiduplah Raja Maharatha bersama tiga putranya, Mahapranada, Mahadeva, dan Mahasattvavan. Pada suatu hari ketiga pangeran berjalan di dalam suatu hutan yang besar dan sunyi, dimana di tengah perjalanan mereka bertiga bertemu dengan seekor harimau betina yang baru beranak lima ekor. Tubuh harimau betina begitu kurus dan lemah karena lapar dan haus. Mereka bertiga membicarakan tentang keadaan harimau tersebut dan membayangkan bagaimana bisa harimau betina yang malang tersebut beserta anak-anaknya dapat bertahan hidup.
Mahasattvavan kemudian meminta agar kedua saudaranya berangkat dulu dengan mengatakan nanti dia akan menyusul ke lembah karena hendak melakukan sesuatu. Setelah ditinggal sendirian, maka Mahasattvavan berucap kepada harimau tersebut, “Saya terharu dan dengan rela memberikan tubuh saya untuk kebaikan dunia dan untuk pencapaian bodhi.” Kemudian dia melemparkan dirinya di hadapan harimau betina tersebut, namun harimau yang lemah tersebut tidak dapat berbuat apa-apa terhadap dirinya. Mahasattvavan akhirnya mengambil sebilah bambu tua yang ditemukannya di sekitar lokasi tersebut dan memotong kerongkongannya sehingga mati terbaring dekat harimau tersebut.
2. Sila Paramita
Sila Paramita merupakan perbuatan luhur tentang hidup bersusila, tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak baik oleh badan [kaya], ucapan [vak], dan pikiran [citta].
Pelaksanaan Sila Paramita merupakan pelengkap dari seorang Bodhisattva yang telah melaksanakan Dana Paramitha. Pelaksanaan Sila Paramita ini dapat diumpamakan kaki ataupun mata dimana tanpa kaki maka seseorang akan terjatuh ke dalam bentuk kehidupan yang penuh kejahatan, ataupun tanpa mata maka seseorang tidak akan dapat melihat Dharma. Terdapat tiga pengertian dalam menguraikan Sila Paramita, yaitu:
1. Kebajikan moral secara umum dimana kepribadian yang menganggumkan merupakan ciri utamanya;
2. Kebajikan moral yang dikaitkan dengan suatu cita-cita penyucian yang direalisasikan melalui pikiran, ucapan, dan perbuatan;
3. Kebajikan moral yang dikaitkan dengan lima ajaran moral [Pancasila Buddhis) dan sepuluh jalan tindakan yang baik dan bermanfaat dimana merupakan latihan moral kebajikan bagi umat awam.
Pelaksanaan Sila merupakan suatu usaha seorang Bodhisattva untuk memusnahkan seluruh tiga akar kesengsaraan atau tiga racun dunia, yaitu:
1. raga yang dapat dianggap sebagai persamaan kata lobha yaitu hawa nafsu, gairah, kesenangan perasaan.
2. dvesa [dosa] yaitu kebencian, keinginan buruk
3. moha yaitu kebodohan batin, khayalan, kebingungan mengenai pikiran
Dalam melatih Sila Paramita, maka terdapat sepuluh pantangan yang harus dijalankan seorang Bodhisattva, yaitu:
1. Pantang membunuh makhluk hidup
2. Pantang mencuri
3. Pantang dari ketidak-sucian
4. Pantang berbicara bohong
5. Pantang memfitnah
6. Pantang berbicara kasar
7. Pantang terhadap kesembronoan dan berbicara yang tidak berarti
8. Pantang terhadap sifat iri hati
9. Pantang terhadap sifat dengki
10. Pantang dari pandangan salah
3. Ksanti Paramita
Ksanti merupakan suatu perbuatan luhur tentang kesabaran. Ksanti Paramita mencakup tiga pengertian, yaitu, kesabaran, ketabahan, dan ketulusan hati. Seorang Bodhisattva haruslah melatih kesabaran karena ketidaksabaran akan mudah menimbulkan kemarahan dimana dapat menghancurkan semua pemupukan kebajikan yang telah terhimpun.
Ketidaksabaran dalam bertindak sering menenggelamkan kita dalam lautan penderitaan yang menyebabkan penyesalan yang berkepanjangan.
Penyesalan dari Ketidaksabaran
Hsiau-fei adalah seorang mahasiswa yang sebentar lagi akan di wisuda. Dia sangat mendambakan akan mendapatkan hadiah wisuda dari ayahnya, seorang pengusaha kaya yang sangat menyayanginya sebagai anak satu-satunya. Hsiau-fei selama berhari-hari telah membayangkan akan mengendarai mobil BMW idamannya sambil bersenang-senang dengan temannya.
Saat yang ditunggupun tibalah, dimana setelah wisuda dengan langkah penuh keyakinan Hsiau-fei melangkah menemui ayahnya yang tersenyum sambil berlinang air mata menyampaikan betapa dia sangat kagum akan anak satu-satunya dan sungguh dia mencintainya. Ayahnya kemudian mengeluarkan sebuah kado yang dibungkus rapi, dan sungguh hal ini membuat Hsiau-fei terpaku karena bukanlah kunci mobil BMW sebagaimana yang diharapkannya. Dengan perasaan gundah, dibukanya juga kado tersebut dimana berisi kitab Buddha Vacana yang terjilid rapi berlapiskan tulisan emas nama Hsiau-fei di sampul depannya. Hancur sekali hati Hsiau-fei menerima hadiah kitab tersebut, dan dengan marah tanpa dapat terkendalikan, dia membanting kitab tersebut sambil berteriak nyaring, “Apakah ini cara ayah mencintai saya, padahal dengan uang ayah yang banyak tidaklah sulit untuk membelikan hadiah yang memang telah ayah ketahui sudah lama saya idamkan!!” Kemudian Hsiau-fei tanpa melihat reaksi ayahnya lagi, berlari kencang meninggalkannya dan bersumpah tidak akan menemuinya lagi.
Hari , bulan dan tahunpun berganti. Hsiau-fei yang telah pindah tinggal di kota lain akhirnya berhasil menjadi seorang pengusaha yang sukses karena bermodalkan otaknya yang cemerlang. Selain memiliki rumah dan mobil yang mewah, dia juga telah berkeluarga dan mempunyai tiga anak. Sementara ayahnya sudah pensiun dan semakin tua serta tinggal sendirian. Ayahnya selalu menanti kedatangan Hsiau-fei sejak hari wisuda tersebut dengan satu harapan hanya untuk menyampaikan betapa kasihnya dia kepada Hsiau-fei. Hsiau-fei adakalanya juga rindu kepada ayahnya, namun setiap kali mengingat kejadian hari wisuda tersebut, diapun menjadi marah kembali dan merasa sakit hati atas hadiah kitab dari ayahnya.
Sampai suatu hari, datanglah telegram dari tetangga ayahnya yang memberitahukan bahwa ayahnya telah meninggal dunia, dan sebelum meninggal dia telah meninggalkan surat wasiat kepada Hsiau-fei dimana semua hartanya akan diwariskan kepadanya. Akhirnya Hsiau-fei memutuskan untuk pulang mengurus harta peninggalan ayahnya.
Memasuki halaman rumahnya, timbullah rasa penyesalan yang menyebabkannya sedih sekali memikirkan sikap ketidaksabarannya khususnya pada saat wisuda. Hsiau-fei merasa sangat menyesal telah menolak ayahnya. Dengan langkah berat dia memasuki rumah dan satu per satu perabot diperhatikannya yang mengingatkannya akan semua kenangan indah tinggal bersama ayahnya. Dengan kunci wasiat yang diterimanya, dia membuka brankas besi ayahnya, dan menemukan kitab Buddha Vacana dengan ukiran emas namanya, hadiah hari wisuda. Dia mulai membuka halaman kitab tersebut, dan menemukan tulisan tangan ayahnya di halaman depan, “Dengan segala kejahatan yang telah kamu lakukan selama hidupmu, tetapi kamu tahu memberikan yang terbaik kepada anakmu, sungguh para Buddha dan Bodhisattva akan terguncang dengan perbuatanmu.” Tanpa disengaja, tiba-tiba dari sampul kitab tersebut terjatuh sebuah kunci mobil BMW dan kwitansi pembelian mobil yang tanggalnya persis satu bulan sebelum hari wisuda Hsiau-fei.
Hsiau-fei terpaku tanpa bisa bersuara, berbagai perasaan menghinggapinya. Dengan sisa tenaga yang ada, Hsiau-fei segera berlari ke garasi dan menemukan sebuah mobil BMW yang telah berlapiskan debu tetapi masih jelas bahwa mobil tersebut belum pernah disentuh sama sekali karena jok mobilnya masih terbungkus plastik. Di depan kemudi terpampang foto ayahnya yang tersenyum bangga. Tiba-tiba lemaslah seluruh tubuhnya, dan airmatanya tanpa terasa mengalir terus tanpa dapat ditahannya,……… suatu penyesalan yang mendalam atas ketidaksabarannya sendiri…….., suatu penyesalan yang tak mungkin berakhir……..
4. Virya Paramita
Virya Paramita merupakan perbuatan luhur mengenai keuletan, ketabahan dan semangat. Terdapat dua macam Virya, yaitu:
1. Sannaha-virya, yang dapat diartikan memakai perisai dalam arti mempersiapkan diri atau memperkuat mental terhadap berbagai godaan.
2. Prayoga-virya, yang dapat diartikan dengan ketekunan dan kesungguhan dalam pelaksanaan Ajaran Sang Buddha .
5. Dhyana Paramita
Dhyana Paramita merupakan perbuatan luhur mengenai samadhi. Terdapat 4 jenis Dhyana sebagaimana dinyatakan dalam ajaran Yogacara, Lankavatara Sutra, yaitu:
1. Balopacarika Dhyana, dhyana yang dilakukan oleh Sravaka dan Pratyekabuddha dengan merenungkan tentang ketidak-kekalan dari sifat ke-aku-an.
2. Artapravicaya Dhyana, dyana yang dilaksanakan oleh para Bodhisattva yang telah mengerti hakekat Keberadaan dari alam semesta.
3. Tathatalambana Dhyana; dhyana yang terdiri dari pengkajian atas Keberadaan dari Kebenaran serta merenungkannya.
4. Tathagata Dhyana; dhyana yang dilaksanakan oleh para Tathagata yang telah mengetahui Pengetahuan yang Tertinggi dan selalu bersedia untuk mengabdi kepada semua makhluk.
6. Prajna Paramita
Prajna Paramita merupakan Paramita yang terpenting; yaitu perbuatan luhur mengenai Kebijaksanaan. Terdapat dua makna dalam Prajna, yaitu:
(1) Prajna yang kekal.
(2) Prajna yang berfungsi sejalan dengan ke lima Paramita lainnya.
Usaha pengembangan prajna ini terdapat tiga jalur yang mengarah kepada suatu pendalaman (intuisi) dan pengetahuan, yaitu :
1. berdasarkan ajaran orang lain atau kitab suci tertulis ataupun lisan [sutamaya panna],
2. berdasarkan pemikiran yang mendalam [cintamaya panna], dan
3. berdasarkan meditasi pengolahan dan realisasi [bhavanamaya panna]
Selain Enam Paramita tersebut di atas, terdapat juga Empat Paramita tambahan, yaitu :
1. Upaya-Kausalya Paramita ; merupakan kemahiran dalam perbuatan atau adaptasi dari usaha usaha untuk perubahan guna memberikan pertolongan secara luhur
2. Pranidhana Paramita; aspirasi atau resolusi luhur
3. Bala Paramita; kekuatan atau kemampuan luhur
4. Jnana Paramita; pengetahuan luhur
Sedangkan dalam Buddhisme Theravada dikembangkan tindakan Bodhisattva dalam Sepuluh Kebajikan Luhur atau Sepuluh Parami, dengan urutan sebagai berikut :
1. Kemurahan hati [Dana]
2. Kesusilaan [Sila]
3. Penglepasan Keduniawian [Nekkhamma]
4. Kebijaksanaan [Panna]
5. Kegiatan [Viriya]
6. Kesabaran [Khanti]
7. Kejujuran [Sacca ]
8. Keputusan [Adhitthana]
9. Cinta-Kasih [Metta]
10. Keseimbangan [Upekkha]
Sang Buddha bersabda: “Hendaklah ia menjaga ucapan dan mengendalikan pikiran dengan baik serta tidak melakukan perbuatan jahat melalui jasmani. Hendaklah ia memurnikan tiga saluran perbuatan ini, memenangkan ` Jalan ‘ yang telah dibabarkan oleh Para Suci”. (Dhammapada, 281).
Sumber : http://www.nshi.org/Buddhisme/Indonesia%20Buddhisme/Enam-Paramita.htm