TUCCHA POTHILA — Bhikkhu Kitab Kosong

Pada jaman Sang Buddha ada seorang bhikkhu yang bernama Pothila, yang diberi gelar Tuccha yang artinya kosong, Tuccha Pothila adalah seorang bhikkhu yang sangat terpelajar. Ia sangat terkenal dan mempunyai 18 (delapan belas) cabang vihara. Ketika orang mendengar nama ‘Pothila’ mereka semua kagum dan tidak ada seorangpun yang berani mempertanyakan segala yang diajarkannya, mereka begitu memujanya. Tuccha Pothila adalah salah satu murid Sang Buddha.

Pada suatu hari ia datang untuk menghormat Sang Buddha, sewaktu ia melakukan penghormatan, Sang Buddha berkata, “Apa kabar Bhikkhu Kitab Kosong!…. Hanya begitu! Mereka bercakap-cakap sejenak. Dan kemudian sewaktu Tuccha Pothila berpamitan, Sang Buddha berkata: “Pergi sekarang, Bhikkhu Kitab Kosong?”

Sang buddha hanya berkata seperti itu. Pada saat datang, “Apa kabar Bhikkhu Kitab Kosong?” Dan waktu pulang “Pergi sekarang Bhikkhu Kitab Kosong?” Sang Buddha tidak menjelaskan lebih jauh, hanya itulah ajaran yang diberikan. Tuccha Pothila, guru yang terkenal itu bingung, “Mengapa Sang Buddha berkata demikian? Apa maksudnya?” Ia berpikir keras, mengeluarkan semua ajaran yang pernah dipelajari, sampai akhirnya ia menyadari… “Benar! ‘Bhikkhu Kitab Kosong’ – seorang bhikkhu yang belajar tetapi tidak mempraktekkan. ..” Ketika ia melihat dalam hatinya, ia menyadari bahwa ia tidak berbeda dari kebanyakan orang awam. Apapun yang disukai mereka, ia juga suka, apapun yang dinikmati oleh orang-orang awam ia ikut menikmati. Tidak ada samana yang benar pada dirinya, tidak ada kualitas yang baik dalam diri untuk membawa menuju Jalan Mulia dan menemukan kedamaian.

Ia memutuskan untuk berlatih, tetapi ia tidak tahu harus pergi ke mana. Semua guru yang ada di sekitarnya adalah murid-muridnya, tidak ada yang berani menerimanya sebagai murid. Biasanya ketika seseorang bertemu dengan si guru, mereka menjadi penakut dan penghormat, jadi tidak ada seorangpun yang berani menjadi gurunya.

Akhirnya ia pergi untuk menemui seorang Samanera muda yang telah mencapai tingkat kesucian untuk meminta petunjuk. Samanera itu berkata, “Baiklah, kamu bisa berlatih bersama saya, tetapi kamu harus tulus. Jika kamu tidak tulus saya tidak akan menerimamu.”

Samanera itu kemudian menyuruh Tuccha Pothila untuk mengenakan jubahnya dengan lengkap. Ada tanah berlumpur di sekitar situ. Ketika Tuccha Pothila telah mengenakan jubahnya dengan lengkap, samanera itu berkata, “Baiklah, sekarang berjalanlah di tanah berlumpur itu, jika saya tidak menyuruh untuk berhenti, jangan berhenti. Jika saya tidak memintamu untuk meninggalkannya, jangan tinggalkan. Sekarang bersiaplah dan….. jalan!”

Tuccha Pothila yang berjubah rapi, masuk ke dalam tanah berlumpur itu. Samanera tidak menyuruh berhenti sampai ia betul-betul rata berlumuran lumpur. Akhirnya ia berkata, “Kamu dapat berhenti sekarang”… dan Tuccha Pothila berhenti. “Baklah, tinggalkan tempat itu!” Lalu ia pergi. Ini jelas menunjukkan bahwa Tuccha Pothila telah meninggalkan keangkuhannya. Ia siap menerima ajaran, jika ia tidak siap untuk belajar ia tidak akan mau berjalan dalam lumpur seperti itu. Tetapi walaupun dia seorang guru yang terkenal, ia mau melakukannya. Samanera muda itu melihat bahwa Tuccha pothila benar-benar tulus dan berniat kuat untuk berlatih.

Setelah Tuccha Pothila keluar dari lumpur itu dan membersihkan diri, samanera muda memberikan ajarannya. Ia mengajar Tuccha untuk mengamati obyek sensasi, mengetahui pikiran dan mengenali obyek-obyek sensasi. Digunakan perumpamaan seseorang yang akan menangkap kadal yang bersembunyi dalam lubang yang bercabang. Jika lubang itu mempunyai enam jalan keluar, bagaimana caranya menangkap kadal tersebut? Tentunya dengan menutup lima jalan keluar yang lain. Dengan demikian ia hanya perlu melihat dan menunggu satu lubang. Ketika kadal itu keluar dengan mudah ia bisa menangkapnya.

Begitu juga cara mengamati pikiran; menutup mata telinga, hidung, lidah dan tubuh, kita hanya menyisakan pikiran. Yang dimaksud dengan menutup indera adalah menahan serta menatanya, dan hanya mengamati pikiran.

Meditasi sama seperti menangkap kadal. Kita menggunakan sati untuk mengamati nafas. Sati adalah kualitas perenungan, sama halnya seperti bertanya pada diri sendiri, “Apa yang saya lakukan?” Sampajañña adalah kesadaran bahwa ‘saat ini saya sedang melakukan ini dan itu’. Kita mengamati nafas yang masuk dan keluar dengan menggunakan sati dan sampajañña.

Kesimpulan:
Seorang sramana senior Bhikkhu Tuccha Pothila yang terpelajar senantiasa mengajar Dharma dan memiliki 18 Vihara, ternyata kualitas kesuciannya TIDAK tumbuh berkembang, akibatnya Guru Agung Buddha memanggil namanya dengan “Bhikkhu Kitab Kosong”. Rupanya bhikkhu tersebut menyadari kualitas sramananya tidak berbeda dengan umat awam, mudah tergoda, terhanyut dan melekat dengan berbagai kondisi, sehingga ia malu dan menyesal, berusaha mencari guru, tetapi tidak ditemukan guru yang mau menerimanya sebagai murid. Hanya seorang Samanera muda yang  telah mencapai kesucian yang mau menerima dan membinanya. Bhikkhu Tuccha walau sudah senior  dan mampu mengajar tapi kosong isinya malah belajar dan berguru kepada seorang Sramanera.

Melihat pembelajaran ini, suatu bukti, bahwa sramana yang terpelajar, atau tua vassanya bukan jaminan kualitas kesuciannya. Begitupula bhikkhu yang mempunyai aset banyak vihara, mempunyai kedudukan tinggi di organisasi Sangha, atau pandai ceramah/piawai berpidato, banyak murid atau umatnya belum tentu ia mempunyai jaminan kualitas kesucian. Oleh karena itu, janganlah menganggap remeh dan merendahkan siapapun juga termasuk kualitas samanera dan para umat perumah tangga yang kadang sudah mempunyai kualitas kesucian.

Tolok ukur kualitas sramana bisa dilihat dari bagaimana pelepasan agungnya. Melepaskan ‘Sang Aku’ dan ‘Dharma’, seperti melepaskan kondisi, melepaskan corak hati, melepaskan karakteristiknya, melepaskan Dharma. Sramana yang berkualitas tentu saja sudah memahami, mempraktikkan dan menembusi realita kesunyataan tubuh, hati, karakteristik, dan dharma.

Untuk itu, tegakkan dan jalankan organisasi sangha yang benar dan baik, yang dapat menampung berbagai lapisan para praktisi Buddhis. Jangan lagi menerapkan pola diskriminasi dan membuat sekat-sekat yang dapat merusak kerukunan sangha, umat Buddha dan memperkedil agama Buddha. Seyogyanya di antara para bhikkhu, bhiksu, bhiksuni, sramanera, sramaneri, meici (sikhamana), dan umat awam. Marilah kita bangun rasa kebersamaan, rasa persaudaraan, saling berbagi, saling menghormati dan menghargai dan bersinergi, saling mendukung untuk berlatih guna meraih cita-cita agung yaitu terbebas dari siklus tumimbal lahir, menolong semua makhluk dan menjadi Buddha.