12 Faktor Paticcasamuppada十二因缘
Ia yang melihat Paticcasamuppada, juga melihat Dhamma. Ia yang melihat Dhamma, juga melihat Paticcasamuppada ~ Maha-hatthipadopama Sutta; Majjhima Nikaya 28 ~
十二因缘解读
【十二因缘】﹝出天台四教仪﹞
谓无明等展转感果名因,互相由藉为缘,三世相续,无间断也。(三世相续无间断者,谓由过去世无明、行为因,感现在世识乃至受,五者为果;由现在果,起爱、取、有三者,为现在因;由现在因,感未来世生、老死之果,如是循环,无间断也。)
[一、无明],谓过去世烦恼之惑,覆于本性,无所明了,故曰无明。
[二、行],谓过去世,身口造作一切善不善业,是名为行。
[三、识],谓由过去惑业相牵,致令此识,投托母胎,一刹那间,染爱为种,纳想成胎,是名为识。(梵语刹那,华言一念。)
[四、名色],名即是心,谓心但有名而无形质也;色即色质,即是身也。谓从托胎已后,至第五个七日,名形位,生诸根形,四支差别,是名为色。(四支者,即两手两足也。)
[五、六入],谓从名色已后,至第六个七日,名发毛爪齿位,第七七日,名具根位,六根开张,有入六尘之用,是名六入。(六根者,眼根、耳根、鼻根、舌根、身根、意根也。六尘者,色尘、声尘、香尘、味尘、触尘、法尘也。)
[六、触],谓出胎已后,至三四岁时,六根虽触对六尘,未能了知生苦乐想,是名为触。
[七、受],谓从五六岁至十二三岁时,因六尘触对,六根即能纳受前境好恶等事,虽能了别,然未能起淫贪之心,是名为受。
[八、爱],谓从十四五岁至十八九岁时,贪于种种胜妙资具及淫欲等境,然犹未能广遍追求,是名为爱。
[九、取],谓从二十岁后,贪欲转盛,于五尘境,四方驰求,是名为取。(五尘者,色尘、声尘、香尘、味尘、触尘也。)
[十、有],谓因驰求诸境,起善恶业,积集牵引,当生三有之果,是名为有。(因果不亡为有,三有者,欲有、色有、无色有,即三界也。)
[十一、生],谓从现世善恶之业,后世还于六道四生中受生,是名为生。(六道者,天道、人道、修罗道、饿鬼道、畜生道、地狱道也。四生者,胎生、卵生、湿生、化生也。)
[十二、老死],谓从来世受生已后,五阴之身,熟已还坏,是名老死。(五阴者,色阴、受阴、想阴、行阴、识阴也。)
从三世两重因果(即由过去世的惑业感现在世之苦果,由现在世之惑业感未来世之苦果)来看十二因缘:
过去世的惑业,即无明与行,无明而得惑,行而得业。惑亦即痴愚、无智慧,业亦即善恶诸业。过去世的惑业会感(导致)现在世的苦果。无明、业,即是过去世二业。
现在世的苦果,包括识、名色、六入、触、受、爱、取、有。识,亦即由过去世业力的牵引,妄生颠 倒分别而入胎之神识(可以类比于灵魂、精神之类的去理解,虽然识的实际含义与之大相径庭。详解见“名色”);名色,指一切精神与物质之总称,也就是整个人的肉身与精神、意识等的总和(由是观之,可得“识”并非是指“精神”或是“意识”,而是更高一级的存在,是由“识”而产生包含精神、意识以及肉身的整个人的。);六入,即指眼、耳、鼻、舌、身、意六中与外界交流信息感觉器官或者是媒介、渠道;触,就是指通过六入所接触到的色、声、香、味、触、法等六尘;受,即由接触外境而产生的苦乐等相应的感受;爱;有了苦乐感受,就会产生逃避痛苦,追求快乐,即生贪爱;取,既生贪爱之心,只当会去追求、会执著于所贪爱之物;有,即是拥有,通过追求而得到了所执着之物。其中,识、名色、六入、触、受,是为现在世五果(即是由过去世二业而产生的现在世之果);而爱、取,则 为现在世之惑(可以比之于过去世的无明来理解),有则为现在世的业(可以比之于过去世的行来理解),这三者便为现在世三因。由此惑业则会更感未来世之苦 果。
未来世之果,亦即生、老死。因现在世之业因,再去受生,再去受报,再造业,在老死,如此轮回流转,延续无尽。(现在世之未来世即是再未来世之过去世,如此而轮回流转,延续无尽)生、老死,即是为未来世二果。
综上,三世两重因果即是指:过去世二业(无明——惑,行——业)会导致现在世五果(识、名色、六入、触、受),也就是现在世之苦,现在世五果又会缘生出现在世三因(爱、取、有),现在世三因又会导致将来世二果。一共三世、两重因果关系。
三世两重因果虽然能自圆其说,然终究有些过于繁杂,因而亦可将十二因缘只放于现在世中去理解,即由现在世之无明,因缘而生,直至现在世之老死。另据传,佛在快得道时,逆观十二因缘,即从老死逆推至无明,从而得出人生苦痛的总根源——无明,这种方法也值得一试。
十二因缘二种观法
十二因缘有生灭二种观法:
一、生观者
一、无明缘行 二、行缘识 三、识缘名色 四、名色缘六入
五、六入缘触 六、触缘受 七、受缘爱 八、爱缘取
九、取缘有 十、有缘生 十一、生缘老死
二、灭观者
一、无明灭则行灭 二、行灭则识灭 三、识灭则名色灭
四、名色灭则六入灭 五、六入灭则触灭 六、触灭则受灭
七、受灭则爱灭 八、爱灭则取灭 九、取灭则有灭
十、有灭则生灭 十一、生灭则老死灭
Ketika Sang Buddha berdiam di Savatthi… : ” Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan dan menganalisa sebab-musabab yang saling bergantungan kepada kalian.”…..
Dan apakah sebab-musabab yang bergantungan itu?
Dari ketidaktahuan (avijja) sebagai kondisi penyebab,
maka muncullah bentuk-bentuk perbuatan/kamma (sankhara),
Dari bentuk-bentuk perbuatan/kamma (sankhara) sebagai kondisi penyebab,
maka muncullah kesadaran (vinnana),
Dari kesadaran (vinnana) sebagai kondisi penyebab,
maka muncullah batin dan jasmani (nama-rupa),
Dari batin dan jasmani (nama-rupa) sebagai kondisi penyebab,
maka muncullah 6 landasan indera (salayatana),
Dari 6 landasan indera (salayatana) sebagai kondisi penyebab,
maka muncullah kesan-kesan (phassa),
Dari kesan-kesan (phassa) sebagai kondisi penyebab,
maka muncullah perasaan (vedana),
Dari perasaan (vedana) sebagai kondisi penyebab,
maka muncullah keinginan/kehausan (tanha),
Dari keinginan/kehausan (tanha) sebagai kondisi penyebab,
maka muncullah kemelekatan (upadana),
Dari kemelekatan (upadana) sebagai kondisi penyebab,
maka muncullah proses kelahiran kembali (bhava),
Dari proses kelahiran kembali (bhava) sebagai kondisi penyebab,
maka muncullah kelahiran kembali (jati),
Dari kelahiran kembali (jati) sebagai kondisi penyebab,
maka muncullah kelapukan dan kematian, duka cita, sakit, kesusahan dan keputus-asaan (jaramaranang).
Demikianlah penyebab dari seluruh kesusahan dan penderitaan.
(Paticca-samuppada-vibhanga Sutta; Samyutta Nikaya 12.2 {S 2.1})
PENJELASAN:
1. Avijja (ketidaktahuan)
Tidak mengetahui kebenaran dan hakikat sesungguhnya segala sesuatu. Hakikat sesungguhnya bahwa batin dan jasmani itu dicengkeram oleh anicca, dukkha, dan anatta yang timbul dan padam dengan sebab akibat yang saling bergantungan. Karena tidak berpengetahuan, penganut duniawi yang tidak terbimbing memiliki pandangan yang keliru. Ia menganggap yang tidak kekal sebagai suatu yang kekal, yang menyakitkan sebagai kesenangan, yang bukan roh sebagai roh, yang bukan Tuhan sebagai Tuhan, yang tidak murni sebagai kemurnian, yang tidak nyata sebagai kenyataan. Lebih jauh lagi, avijja adalah tidak memahami lima kelompok kehidupan (pancakkhandha), atau batin dan jasmani. Secara singkat; ia tidak mengetahui paticcasamuppada.
Ketidaktahuan atau kegelapan batin adalah salah satu akar penyebab seluruh kekotoran batin, seluruh perbuatan jahat (akusala). Semua pikiran jahat merupakan akibat dari kebodohan. Jika tidak ada kebodohan maka perbuatan jahat, baik melalui pikiran, ucapan ataupun tindakan jasmani tidak akan dilakukan. Itulah sebabnya ketidaktahuan disebutkan sebagai mata rantai pertama dari 12 mata rantai Paticcasamuppada.
Meskipun ketidaktahuan (Avijja) merupakan mata rantai pertama dari 12 mata tantai Paticcasamuppada namun tidak seharusnya dianggap sebagai penyebab utama segala sesuatunya. Paticcasamuppada ini semata-mata menjelaskan proses kelahiran dan kematian, tumimbal lahir dan penderitaan dan bukanlah suatu teori yang menerangkan tentang asal-muasal terjadinya alam semesta, ataupun asal-mula dari makhluk. Tentu saja ia bukan penyebab utama, karena segala sesuatu yang timbul merupakan rangkaian dari sebab-sebab pendahulu tertentu, sehingga tidak ada sebab pertama, tak ada gambaran mengenai penyebab pertama dalam pemikiran Buddhis.
Ajaran Paticcasamuppada dapat digambarkan dengan suatu lingkaran mata rantai karena ia merupakan siklus kehidupan. Dalam sebuah lingkaran, titik manapun dapat dianggap sebagai titik awal. Setiap faktor dari Paticcasamuppada dapat digabungkan dengan yang lain dalam rangkaian yang sama, dan karena itulah, tak ada satupun faktor yang dapat berdiri sendiri ataupun berfungsi tanpa bergantung kepada yang lain, semuanya saling berkaitan dan tak terpisahkan. Sebab musabab yang saling bergantungan adalah suatu proses yang tak terputus. Dalam proses ini tak ada yang tetap atau pasti, melainkan seluruhnya berada dalam suatu putaran. Ini merupakan timbulnya keadaan yang selalu berubah bergantung pada kondisi serupa yang cepat berlalu. Di sini tak ada kematian ataupun kehidupan yang mutlak, hanyalah fenomena kosong yang berputar (suddha dhamma pavattanti).
Karena itulah, ketidaktahuan, faktor pertama dari mata rantai, bukan merupakan satu-satunya keadaan yang menimbulkan bentuk–bentuk kamma, Karena ketidaktahuannya, ia berjalan semaunya maka akhirnya mengkondisikan faktor kedua yaitu sankhara. Jadi, faktor–faktor dari Paticcasamuppada juga saling mendukung satu sama lain dalam cara yang beraneka ragam.
Akar daripada keberadaan dan penderitaan adalah kegelapan batin. Dijelaskan dalam Sutta sebagai berikut “Tidak mengetahui tentang penderitaan, tidak mengetahui tentang asal mula penderitaan, tidak mengetahui tentang berhentinya penderitaan, tidak mengetahui tentang jalan menuju berhentinya penderitaan (yakni ketidaktahuan tentang Empat Kebenaran Mulia)–Inilah yang disebut dengan kegelapan batin”. Majjhima Nikaya 9 – Samma Ditthi Sutta menyatakan: “Dengan munculnya asava, muncullah kegelapan batin…Dengan munculnya kegelapan batin, muncullah asava”.
Dengan kata lain, penyebab daripada kegelapan batin adalah asava dan penyebab dari asava adalah kegelapan batin. Mereka saling mengkondisikan satu sama lain. Asava secara harafiah berarti pengaliran (leakage) dan tepat diterjemahkan sebagai suatu keadaan pengaliran mental yang tidak terkendali.
2. Sankhara (perbuatan)
Diibaratkan dengan seseorang yang membuat pot. Ada pot yang sudah dibuat, ada yang masih utuh, ada juga yang pecah. Membuat pot itu ibarat melakukan sesuatu. Ada yang potnya sudah pecah artinya kammanya sudah berbuah dan ada pot yang belum pecah, sementara ia terus membuat pot terus menerus, karena masih avijja.
Penyebab dari Vinnana adalah Sankhara, seperti yang dijelaskan sebagai berikut: “Terdapat tiga jenis Sankhara yakni: kaya- sankhara, vaci- sankhara, citta- sankhara”.
Sutta-Sutta dalam Paticcasamuppada tidak menjelaskan sankhara lebih jauh lagi. Karenanya, mata rantai ke 2, sankhara, adalah istilah yang kontroversial lainnya. Sankhara telah diterjemahkan secara luas, yakni sebagai pembentukan, proses, aktivitas, terkondisi, tersusun, dan lain-lain. Menurut interpretasi tradisional Paticcasamuppada dari Abhidhamma dan Kitab Komentar, sankhara adalah proses bekerjanya kamma (niat/kemauan). Sehubungan dengan ini, mereka sering menerjemahkan sankhara sebagai aktivitas atau pembentukan. Didalam penulisan buku ini kami menggunakan sebutan sankhara sebagai “Pengkondisi” (faktor yang mengkondisikan/menentukan).
3. Vinanna (kesadaran)
Untuk melihat, mendengar, membaui, mengecap, mengalami sentuhan, ataupun menyadari sesuatu. Yang umum dibahas vinnana itu adalah patisandhi vinnana. Karena melakukan nidana kedua, maka mengkondisikan tumimbal lahir. Mengkondisikan ini di ibaratkan dengan seekor kera. Kera yang pindah dari pohon yang berdaun kering dan buahnya sudah tidak ada, ke pohon yang baru, yang daunnya masih hijau dan buahnya masih merah. Ini ibarat pohon yang baru tetapi bukan berarti vinanna itu pindah dari badan yang lama ke badan yang baru. Tumimbal lahir ini mengkondisikan nama-rupa.
Penyebab dari nama-rupa adalah kesadaran, “Terdapat 6 jenis kesadaran” yakni:
1) Kesadaran-mata,
2) Kesadaran-telinga,
3) Kesadaran-hidung,
4) Kesadaran-lidah,
5) Kesadaran tubuh jasmani,
6) Kesadaran-pikiran.
Kesadaran mata seperti yang disebutkan sebelumnya, timbul karena mata dan bentuk; kesadaran telinga timbul karena telinga dan bunyi, dan lain-lain.
Di Khandha Samyutta, Sutta SN 22.79, Sang Buddha berkata; “Sesuatu disadari, para bhikkhu, oleh sebab itu istilah kesadaran dipergunakan. Menyadari apa? Rasa asam atau pahit, pedas atau manis, beralkali atau tidak beralkali, asin atau tidak asin”.
Kita dapat menyadari dan mengetahui semua keadaan ini. Itu adalah makna dari kesadaran, kandungan dasar yang hadir dalam semua proses kerja batin. Sifat alami dari kesadaran adalah ia selalu muncul bergantungan pada objek. Tanpa objek, kesadaran tak dapat muncul karena kesadaran berarti menyadari sesuatu. Kesadaran selalu timbul dan lenyap dengan mentalitas-materi (fenomena). Kita lihat sebelumnya bahwa kesadaran, perasaan dan persepsi saling berhubungan dan tidak mungkin untuk memisahkan satu dari yang lainnya (MN 43). Juga dunia ini timbul bergantungan kepada kesadaran (DN 11).
4. Nama-Rupa (batin dan jasmani)
Di ibaratkan pria dan wanita. Anggaplah pria ini jasmani dan wanita itu batin dalam suatu perahu. Perahu ini terdiri dari batin dan jasmani. Kemudian batin dan jasmani ini mengkondisikan salayatana (6 landasan indera).
Penyebab dari 6 landasan indera adalah mata rantai ke 4: nama-rupa. Di dalam Sutta, dikatakan bahwa “Kontak, perasaan, persepsi, pertimbangan, kemauan disebut mentalitas (nama). 4 elemen besar dan materialitas yang berasal dari 4 elemen besar disebut materi/unsur fisik (rupa)”.
a) Nama
Harus diperhatikan bahwa mentalitas (nama) tidak termasuk kesadaran. Ketika kita berbicara tentang 5 Khandha (kelompok kehidupan), kita merujuk pada tubuh jasmani dan 4 bagian mental (perasaan, persepsi, kemauan dan kesadaran). Ke 4 bagian mental umumnya disebut batin. Tetapi, dalam definisi nāma, tidak termasuk kesadaran. Jadi nāma bukan batin tetapi mentalitas.
b) Rupa
4 elemen besar (tanah, air, api dan angin) secara harafiah tidak bermakna demikian. Tetapi merujuk pada 4 sifat dari dunia fisik yang disadari oleh kesadaran.
Tanah merujuk pada elemen padat. Oleh karenanya, ketika kita merasakan sesuatu sebagai padat, kita menyebutnya elemen tanah; misalnya rotan dari kursi bersifat padat atau saya merasakannya padat. Itu adalah elemen tanah.
Elemen air berarti sesuatu yang bersifat kohesif, yakni sesuatu yang saling menarik dan saling menyatu. Ini dikarenakan air memiliki sifat menyatukan sesuatu. Misalnya, tubuh saya memiliki elemen air. Jika semua elemen air dari tubuh ditiadakan, tubuh menjadi remuk. Elemen air menyatukan tubuh dan memberinya bentuk. Ini adalah makna dari elemen air (bersifat kohesif).
Elemen api merujuk pada elemen yang bersifat panas dan kita mengetahuinya dengan cukup baik.
Elemen angin merujuk pada pergerakkan. Dimana terdapat pergerakkan, di sanalah elemen angin. Misalnya, di dalam tubuh, terdapat pergerakkan gas, pernafasan dan lain-lain. Itu adalah elemen angin.
c) Nama-rupa
Adalah keseluruhan fenomena yang disadari oleh kesadaran. Maha Nidana Sutta (Digha Nikaya 15)menyatakan bahwa:
“…dengan nama-rupa sebagai kondisi, muncullah kesadaran; dengan kesadaran sebagai kondisi, muncullah nama-rupa”.
Oleh karenanya, vinnana (kesadaran) mengkondisikan nama-rupa dan sebaliknya.
Untuk memahami hal ini sedikit lebih baik, kita merujuk pada Sutta lainnya. Di Nidana Samyutta, Sutta SN 12.67 mengatakan bahwa kesadaran dan nama-rupa diumpamakan dengan 2 ikat alang-alang yang berdiri bersandaran satu dengan lainnya, saling mendukung. Mereka muncul bersamaan dan lenyap bersamaan. Ini berarti bahwa nama-rupa merujuk pada fenomena, yakni apa yang disadari oleh kesadaran. Tanpa sesuatu objek (dari kesadaran), kesadaran tidak dapat muncul. Ketika kesadaran muncul, harus ada objek dari kesadaran yang muncul juga yakni nama-rupa.
Dengan kata lain, nama-rupa adalah keseluruhan fenomena yang disadari oleh kesadaran.
Nama-rupa memiliki dua bagian yakni:
a) Mentalitas – proses bekerjanya mental yang disadari oleh kesadaran.
b) Materi – empat sifat dari dunia fisik yang disadari oleh kesadaran (empat elemen besar dari tanah, air, api dan angin, yang mewakili dunia fisik).
Di Kevaddha Sutta (Digha Nikaya 11) Sang Buddha berkata bahwasanya dunia ini tidak muncul dengan sendirinya. Ia muncul hanya bergantungan (dengan bertumpu) pada kesadaran. Ini berarti bahwa dunia ini adalah fenomena yang dirasakan oleh kesadaran – dan ini sesuai dengan terjemahan dari nama-rupa sebagai keseluruhan fenomena.
5. Salayatana (6 landasan indera)
Yang diumpamakan dengan sebuah rumah dengan 5 jendela dan satu pintu. Lima landasan adalah fisik dan satu lagi batin. Karena ada 6 landasan indera ini maka mengkondisikan phassa. Phassa (kontak); ibarat wanita dan pria yang mengadakan kontak, maka muncullah perasaan, mengkondisikan vedana.
Penyebab dari kontak (urutan no.5) adalah 6 landasan indera/Salayatana.
Terdapat enam jenis landasan indera:
a) Landasan -mata,
b) Landasan -telinga,
c) Landasan -hidung,
d) Landasan -lidah,
e) Landasan -tubuh jasmani,
f) Landasan -pikiran.
Terdapat 6 landasan indera eksternal yang berhubungan dengan 6 landasan indera internal :
a) Mata,
b) Telinga,
c) Hidung,
d) Lidah,
e) Tubuh jasmani, dan
f) Pikiran.
6 landasan indera eksternal adalah objek-objek dari 6 landasan indera, yakni bentukan-bentukan, bunyi, bau-bauan, cita-rasa, sentuhan dan objek-objek pikiran.
5 landasan indera eksternal yang pertama merujuk pada dunia luar (yakni, dunia di sekitar kita yang berada diluar tubuh jasmani kita).
Landasan indera eksternal ke-6 (objek-objek pikiran) merujuk pada dunia dalam ketika kita berkhayal, berimajinasi, berfantasi, dan lain-lain. Kesadaran kita mengalir melalui enam landasan indera dan menguras energi kita. Kita menjadi lelah karena energi kita sering keluar melalui enam landasan indera. Ketika kita melatih batin kita, kita ingin kembali ke dalam batin. Kita tidak ingin energi kita terkuras. Jika kita bermeditasi dan berusaha melatih kemanunggalan batin, energi kita tidak terpencar. Ia berada dalam batin kita. Sang Buddha berkata bahwa batin dasar kita bersifat cemerlang. Jika kita dapat mencegah energi kita keluar melalui enam pintu indera, menjadi konsentrasi dan memiliki kemanunggalan batin, batin kita akan bersinar terang. (Anguttara Nikaya 1.6.1).
6. Phassa ( kontak )
Ibarat wanita dan pria yang mengadakan kontak, maka muncullah perasaan, mengkondisikan vedana.
Sumber/penyebab dari perasaan (urutan no.6) adalah phassa/kontak.
“Terdapat 6 jenis kontak: kontak-mata, kontak-telinga, kontak-hidung, kontak-lidah, kontak-tubuh jasmani, kontak-pikiran.”
Di Sutta SN 35.93 (Salayatana Samyutta) Sang Buddha berkata,
“Bergantungan pada dua hal, para bhikkhu, kesadaran muncul… Bergantungan pada mata dan bentuk, muncul kesadaran-mata… apabila ketiganya saling bersentuhan, saling berjatuhan, saling bertemu, ini para bhikkhu disebut kontak-mata.”
Tiga hal tersebut adalah mata, bentuk dan kesadaran mata. Ketika kesadaran mata muncul dan kita memperhatikannya, muncullah kontak. Secara serupa untuk panca indera lainnya (telinga, hidung, lidah, tubuh jasmani dan pikiran) kontak muncul dengan cara yang sama.
Di SN 22.56 (Khandha Samyutta), dikatakan demikian: penyebab munculnya perasaan adalah kontak; penyebab munculnya persepsi adalah kontak; penyebab munculnya kemauan adalah kontak.
Di Nidana Samyutta, SN 12.24, dikatakan bahwa penyebab dari munculnya penderitaan adalah kontak. Jadi, dikarenakan kontak, perasaan muncul. Ini diikuti oleh persepsi, lalu kemauan, dan jika kita lalai, ini menyebabkan dukkha. Itulah alasannya mengapa kita harus berhati-hati dengan kontak.
Untuk tujuan ini, Sang Buddha menasehati kita untuk berlatih “Menjaga enam pintu indera”, seperti seorang penjaga yang berdiri menjaga dan hanya mengizinkan orang-orang tertentu masuk melalui pintu. Kita harus berhati-hati sehingga kita tidak melihat terlalu banyak, mendengar terlalu banyak, mencium bau terlalu banyak, dan lain-lain, tetapi hanya yang penting saja. Dengan kata lain, untuk menjadi seorang praktisi Buddhis yang baik, seseorang hendaknya tidak terlalu banyak menonton televisi atau video. Semua aktivitas-aktivitas tersebut sangat tidak baik untuk latihan meditasi seseorang.
7. Vedana (perasaan)
Perasaan yang muncul dari kontak telinga, hidung, lidah, sentuhan jasmani dan batin, sehingga muncullah tanha.
Penyebab dari nafsu keinginan adalah Vedana (perasaan). Apa perasaan itu?
Terdapat enam jenis perasaan ini:
1. Perasaan yang terlahir dari kontak-mata;
2. Perasaan yang terlahir dari kontak-telinga;
3. Perasaan yang terlahir dari kontak-hidung;
4. Perasaan yang terlahir dari kontak-lidah;
5. Perasaan yang terlahir dari kontak-tubuh jasmani;
6. Perasaan yang terlahir dari kontak-pikiran.
Jenis-jenis perasaan.
Di dalam Vedana Samyutta – SN 36.22 Perasaaan ini dibagi dalam 2 golongan, yaitu: Perasaan Tubuh jasmani dan perasaan batin. Dan Pada Sutta SN 48.4.6, dikatakan bahwa perasaan tubuh jasmani muncul dari kontak tubuh jasmani dan perasaan batin muncul dari kontak batin. Ini berarti bahwa perasaan yang muncul dari melihat, mendengar, membaui, mencicipi dan menyentuh adalah perasaan tubuh jasmani. Perasaan batin muncul dari kontak batin, yakni ketika kita menggunakan batin untuk berpikir dan muncul perasaan, itulah perasaan batin.
Disebutkan pula pada Sutta SN 36.22, Terdapat 3 jenis perasaan: 1). Menyenangkan (sukha); 2). Tidak menyenangkan/menyakitkan (dukkha); 3). Netral (adukkha-masukha), yakni bukan menyakitkan (dukkha) maupun bukan menyenangkan (sukha), juga disebut upekkha (keseimbangan batin).
Ketika kata sukha/dukkha (menyenangkan/menyakitkan) digunakan, hal ini berarti merujuk pada perasaan tubuh jasmani atau perasaan batin. Secara sederhana, sukha/dukkha berarti perasaan menyenangkan/menyakitkan. Ini dapat dilihat dari penjelasan Pancindriani (Lima indera). Disana, Lima jenis perasaan didefinisikan sebagai:
1) Sukha (kayika sukha vedana) – perasaan tubuh jasmani yang menyenangkan.
2) Dukha (kayika dukkha vedana) – perasaan tubuh jasmani yang menyakitkan.
3) Somanassa (cetasika sukha vedana) – perasaan batin yang menyenangkan.
4) Domanassa (cetasika dukkha vedana) – perasaan batin yang menyakitkan.
5) Upekkha (adukkha-masukha vedana) – perasaan yang bukan menyakitkan pun bukan menyenangkan.
Adalah penting bagi kita untuk memahaminya sehingga kita tidak menjadi bingung dengan makna sukha yang digunakan oleh Sang Buddha.
Satu contoh, ketika Sang Buddha menjelaskan keadaan Jhana, Beliau merujuk pada piti dan sukha. Makna dari sukha dalam hal ini bisa berarti perasaan tubuh jasmani dan perasaan batin. Jika kita menganalisa Sutta-Sutta, kata sukha merujuk pada sukha tubuh jasmani dan sukha batin pada Jhana pertama dan Jhana kedua. Tetapi di Jhana ketiga, sesungguhnya hanya merujuk pada sukha batin (SN 48.4.10). Maka, menjadi jelas dalam hal ini dapat memungkinkan kita dalam membedakan antara sukha batin dan sukha tubuh jasmani seperti yang dimaksudkan Sang Buddha.
Perasaan, Persepsi, Kesadaran adalah saling berhubungan.
Di Majjhima Nikaya 43, Mahavedalla Sutta, Arahat Sariputta berkata pada sahabatnya, Mahakotthita,
“Yang Mulia, perasaan, persepsi, dan kesadaran; keadaan-keadaan ini saling berhubungan, bukannya terpisah, dan tidaklah mungkin memisahkan masing-masing keadaan itu satu sama lain untuk menjelaskan perbedaan di antara keduanya. Karena, apa yang telah dirasakan oleh seseorang, itu pula yang dipersepsinya; dan apa yang dipersepsi oleh seseorang, itu pula yang disadarinya”.
Jadi, dalam Sutta ini, dijelaskan bahwa perasaan, persepsi dan kesadaran adalah saling berhubungan. Mereka tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kesadaran adalah inti dasar dari kerjanya batin ini. Kesadaran ditemui dalam keseluruhan cara kerja batin. Tidak mungkin ada perasaan tanpa kesadaran. Tidak mungkin ada persepsi tanpa kesadaran. Mereka semuanya saling berhubungan.
Tidak adanya kecenderungan pokok terhadap nafsu keinginan akan Jhana.
Di MN 44, Culavedalla Sutta, Arahat Dhammadinna sedang mengajari suami terdahulunya, Visakha, seorang perumah tangga (menurut Kitab Komentar). Beliau menjelaskan, “ …kecenderungan pokok terhadap nafsu keinginanlah yang mendasari perasaan yang menyenangkan. Kecenderungan pokok terhadap kemuakanlah yang mendasari perasaan yang menyakitkan. Kecenderungan pokok terhadap ketidak-tahuanlah yang mendasari perasaan yang bukan menyenangkan pun bukan menyakitkan”.
Dengan kata lain, ketika kita mengalami perasaan yang menyenangkan, adanya kecenderungan pokok terhadap nafsu keinginan/menginginkannya. Ketika kita mengalami perasaan yang menyakitkan, adanya kecenderungan pokok terhadap kemuakan/kejijikan dari perasaan yang menyakitkan itu. Ketika kita mengalami perasaan yang bukan menyakitkan pun bukan menyenangkan, adanya kecenderungan pokok terhadap ketidak-tahuan. Kita selalu digerakkan oleh perasaan menyenangkan dan perasaan menyakitkan. Ketika kita mengalami perasaan yang menyenangkan, kita sangat gembira. Ketika kita mengalami perasaan yang menyakitkan, kita merasakan banyak penderitaan. Ketika kita mengalami bukan menyenangkan pun bukan menyakitkan, kita tidak gembira maupun menderita tapi bersikap untuk tidak memperhatikan atau tidak mengetahuinya.
Arahat Dhammadinna melanjuti, “Kecenderungan pokok terhadap nafsu keinginan tidak mendasari semua perasaan yang menyenangkan. Kecenderungan pokok terhadap kemuakan tidak mendasari semua perasaan yang menyakitkan. Kecenderungan pokok terhadap ketidak-tahuan tidak mendasari semua perasaan yang bukan menyenangkan pun bukan menyakitkan… Kecenderungan pokok terhadap nafsu keinginan harus ditinggalkan sehubungan dengan perasaan yang menyenangkan. Kecenderungan pokok terhadap kemuakan harus ditinggalkan sehubungan dengan perasaan yang menyakitkan. Kecenderungan pokok terhadap ketidak-tahuan harus ditinggalkan sehubungan dengan perasaan yang bukan menyenangkan pun bukan menyakitkan”. Kemudian, beliau melanjuti, “Seorang bhikkhu masuk dan berdiam di dalam Jhana pertama… Dengan hal itu dia meninggalkan nafsu keinginan, dan kecenderungan pokok terhadap nafsu keinginan tidak mendasarinya”.
Di sini, kita ingin menekankan titik ini bahwa ketika seseorang mencapai Jhana, dia meninggalkan nafsu keinginan dan kecenderungan pokok terhadap nafsu keinginan akan Jhana tidak ada di sana. Tidak demikian halnya pada kasus perasaan sensual yakni perasaan yang muncul dari kesenangan indera atau kontak sensual. Disana, dengan adanya perasaan menyenangkan, adanya kecenderungan pokok untuk menginginkannya. Tetapi tidak demikian halnya dengan Jhāna. Beberapa orang mengecilkan hati sebagian orang dari pelatihan Jhana, berpikir bahwa keinginan, keterikatan dan lain-lain akan muncul. Tetapi, seperti yang terlihat dalam Sutta, ini tidak benar.
Kebahagiaan Jhana harus dikejar dan bukan untuk ditakuti.
Sutta MN 66 dan 139 memberikan beberapa penjelasan tentang kesenangan indera. 5 kelompok kesenangan indera adalah bentuk, bunyi, bau-bauan, cita-rasa dan sentuhan “yang diharapkan, di inginkan, disetujui, disukai, dan yang berhubungan dengan nafsu sensual, yang dipenuhi oleh nafsu keinginan…kesenangan dan kegirangan yang muncul bergantungan pada Lima kelompok kesenangan indera disebut kesenangan indera-kesenangan ceroboh, kesenangan kasar, kesenangan rendahan. Aku katakan kesenangan jenis ini yang tidak seharusnya dikejar, tidak seharusnya dibangunkan, tidak seharusnya dikembangkan, yang seharusnya ditakuti”. Inilah yang disebutkan Sang Buddha tentang kesenangan indera.
Kemudian, Sang Buddha melanjuti, “Seorang bhikkhu memasuki dan berdiam di Jhana pertama…kedua… ketiga… keempat… Inilah yang disebut sebagai kebahagiaan pelepasan, kebahagiaan kesendirian, kebahagiaan kedamaian, kebahagiaan pencerahan. Aku katakan kesenangan jenis ini yang seharusnya dikejar, yang seharusnya dibangunkan, yang seharusnya dikembangkan, yang tidak seharusnya ditakuti”.
Demikianlah, Sang Buddha memberikan perbedaan yang sangat jelas antara kesenangan indera dengan kebahagiaan kediaman Jhana. Dalam kasus Jhana, harus dikejar, dibangunkan, dikembangkan dan bukan untuk ditakuti. Untuk hal ini, Sang Buddha memberikan alasan tambahan di Sutta lain (mis. DN 29). Sang Buddha berkata terdapat 4 manfaat yang bisa diraih ketika kita melatih Jhana, yakni pencapaian Sotapanna, Sakadagami, Anagami dan Arahat. Jadi pelatihan Jhana membawa pada manfaat tertinggi yang menjadi harapan setiap orang.
Ariya tidak memiliki penderitaan batin.
Untuk memahami perasaan dengan lebih baik, sekarang kita merujuk pada Vedanā Samyutta, SN 36.6. Di sana, Sang Buddha berkata bahwa puthujjana (orang biasa) mengalami penderitaan tubuh jasmani dan batin, tetapi Ariya hanya mengalami penderitaan tubuh jasmani. Sang Buddha juga berkata bahwa puthujjana tidak mengetahui cara keluar dari penderitaan selain kesenangan indera sebaliknya seorang Ariya mengetahui cara lain keluar daripadanya.
Jadi di sini Sang Buddha secara jelas menyebutkan bahwa orang biasa mengalami penderitaan tubuh jasmani dan batin sebaliknya seorang Ariya hanya mengalami penderitaan tubuh jasmani. Ariya mengalami penderitaan karena dia memiliki tubuh. Dia tidak lagi mengalami penderitaan batin.
Kenyataan lainnya adalah orang biasa tenggelam oleh dukkha ketika dukkha muncul. Dia berusaha untuk menjauhinya dan melakukannya dengan cara memabukkan diri dalam kesenangan indera. Itulah jalan keluarnya. Tetapi tidak demikian halnya dengan seorang Ariya, yang berlindung pada Dhamma dan/atau pada kebahagiaan Jhana dalam meditasi.
Sang Buddha memuji Jhana.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Sang Buddha menjelaskan kebahagiaan Jhana sebagai kebahagiaan pencerahan. Ini menunjukkan Sang Buddha menyamakan Jhana sebagai keadaan melampaui duniawi. Sang Buddha menyebutkan Jhana sebagai keadaan melampaui duniawi di lebih dari satu Sutta.
Ada sebuah Sutta (AN 9.33) dimana Sang Buddha berkata ketika seorang bhikkhu berdiam di Jhana pertama, dia telah menjadi tenang (nibbuta) dan dia telah menyeberangi (paragata). Istilah nibbuta dan paragata biasanya digunakan untuk Arahat. Tetapi, di sini Sang Buddha menggunakannya untuk Jhana pertama. Ini menunjukkan betapa Sang Buddha memuji Jhana. Penyebab dari nafsu keinginan adalah perasaan, tetapi tidak semua perasaan menyebabkan nafsu keinginan. Kenyataannya, kebahagiaan Jhana (didukung oleh 7 faktor lainnya dari Jalan Ariya Berunsur Delapan) akan membawa pada lenyapnya nafsu keinginan dan harus dikejar, dibangunkan, dikembangkan dan bukan untuk ditakuti.
Dukkha hanya dapat sepenuhnya ditinggalkan pada saat pencapaian parinibbana.
Kita akan membahas titik terakhir tentang perasaan. Tidak terlalu tepat mengatakan seorang Arahat telah mengakhiri penderitaan. Seorang Arahat masih memiliki penderitaan tubuh jasmani. Seorang Arahat hanya sepenuhnya meninggalkan penderitaan ketika dia melepaskan tubuh ini, ketika dia melepaskan 5 kelompok kehidupan dan memasuki parinibbana. Hanya pada saat inilah dia sepenuhnya meninggalkan penderitaan.
8. Tanha (nafsu keinginan)
Ibarat orang yang sedang minum minuman keras, akibatnya mabuk. Nafsu keinginan ini bisa menimbulkan upadana (kemelekatan).
Sekarang kita tiba pada mata rantai ke Delapan, yakni penyebab dari keterikatan adalah Tanha (nafsu keinginan). Tanha (nafsu keinginan) secara harafiah diterjemahkan sebagai kehausan, tetapi terjemahan yang lebih dikenal adalah nafsu keinginan.
“Ada Enam kelompok nafsu keinginan ini:
– Nafsu keinginan akan bentuk,
– Nafsu keinginan akan bunyi,
– Nafsu keinginan akan bau-bauan,
– Nafsu keinginan atas cita-rasa,
– Nafsu keinginan akan sentuhan dan
– Nafsu keinginan akan objek-objek pikiran”.
Tetapi di Digha Nikaya 22 (Maha Satipatthana Sutta), nafsu keinginan dijelaskan sedikit berbeda (tidak dalam konteks Paticcasamuppada) sebagai keinginan pada kesenangan indera, keinginan untuk hidup abadi dan keinginan untuk mengakhiri hidup. Sang Buddha berkata di Sutta ini, “Apakah, para bhikkhu, Kesunyataan Mulia tentang asal mula penderitaan? Nafsu keinginanlah yang menyebabkan kelahiran kembali, yang terikat oleh kesenangan dan kenikmatan duniawi, menemukan kesenangan disana sini sekarang ini: yakni keinginan pada kesenangan indera, keinginan untuk hidup abadi dan keinginan untuk mengakhiri hidup. Dan dimanakah nafsu keinginan ini muncul dan berkembang? Apabila di dunia ini terdapat sesuatu yang disetujui dan menyenangkan dimana saja, di sana nafsu keinginan ini muncul dan berkembang… bentuk, bunyi, bau-bauan, cita-rasa, sentuhan dan objek-objek pikiran di dunia ini yang disetujui dan menyenangkan, dan di sana nafsu keinginan muncul dan berkembang”.
Jadi dari sini kita bisa melihat bahwa dalam konteks Satipattana dan Kesunyataan Mulia Kedua, nafsu keinginan berarti keinginan pada kesenangan indera, untuk hidup abadi dan untuk mengakhiri hidup. Dalam konteks Paticcasamuppada, nafsu keinginan berarti nafsu keinginan terhadap bentuk, bunyi, bau-bauan, cita-rasa, sentuhan dan objek-objek pikiran. Sebenarnya, mereka bermakna serupa karena seperti yang dijelaskan di DN 22 di atas, objek dari nafsu keinginan (pada kesenangan indera, untuk hidup abadi dan untuk mengakhiri hidup) adalah enam objek indera (bentuk, bunyi, bau-bauan, cita-rasa, sentuhan dan objek-objek pikiran). Jika kita membaca Sutta ini lebih jauh, dikatakan, “Dan, apa para bhikkhu, Kesunyataaan Mulia tentang lenyapnya penderitaan? Keseluruhan pemudaran dan lenyapnya nafsu keinginan ini, peninggalan dan pelepasan, pembebasan daripadanya dan ketidak-terikatan darinya.“ Jadi kita lihat bahwa nafsu keinginan adalah penyebab dari penderitaan dan kelahiran kembali. Untuk mengakhiri penderitaan dan kelahiran kembali, kita harus melenyapkan nafsu keinginan. Kita harus memahaminya.
9. Upadana (kemelekatan)
Ibarat orang yang sedang mengambil buah. Buah terus diambil walaupun keranjangnya sudah penuh, terus saja mengambil. Karena melekat itulah menimbulkan dorongan melakukan sesuatu, sehingga menimbulkan bhava.
Penyebab dari keberadaan adalah Upadana/kemelekatan. Kemelekatan didefinisikan sebagai berikut:
“Terdapat 4 jenis kemelekatan:
a) Kemelekatan pada nafsu indera (kamupadana)
b) Kemelekatan pada pandangan-pandangan (ditthupadana)
c) Kemelekatan pada peraturan dan ritual (silabbatupadana)
d) Kemelekatan pada doktrin tentang atta (attavadupadana)”.
Kita merujuk pada Abhidhamma untuk penjelasan ini. Di dalam buku Dhammasangani, kemelekatan dijelaskan sebagai berikut:
a. Kemelekatan pada nafsu indera adalah keinginan, hasrat, kemelekatan, kegemaran, tercemari, belenggu terhadap objek indera. Ini adalah penjelasan yang bagus. Hasrat, kegembiraan, demam terhadap objek indera adalah apa yang dimaksudkan dengan kemelekatan pada nafsu indera.
b. Kemelekatan pada pandangan-pandangan dikatakan merujuk pada semua pandangan salah atau konsepsi salah. Tetapi, kita tidak bisa sepenuhnya setuju terhadap keterangan ini karena jika kita mempelajari Sutta, misalnya MN 2, 8, 22, 25, dan 72, kita akan menemukan bahwa Sang Buddha merujuk pada bermacam-macam perkembangan pandangan. Ada beberapa petapa sekte luar (bukan Buddhis) yang datang untuk berdebat dengan Buddha atau bertanya beberapa pertanyaan. Kadang-kadang mereka bertanya tentang berbagai jenis pandangan, misalnya: “Apakah saya ada dimasa lampau? Apakah saya ini dimasa lampau? Apakah saya akan ada dimasa depan? Adanya diri yang kekal untuk saya. Tiadanya diri yang kekal untuk saya. Dunia ini abadi. Dunia ini tidak abadi. Dunia ini terbatas/tidak terbatas. Jiwa dengan tubuh adalah sama/berbeda. Setelah Parinibbāna, Tathāgata ada/tidak ada/ada dan tidak ada/bukan ada dan bukan tidak ada…”.
Sang Buddha berkata bahwa:
“Ladang daripada pandangan ini adalah semak-belukar pandangan, pemutar-balikan pandangan, kebimbangan pandangan, belenggu pandangan. Yang disertai oleh penderitaan, kegelisahan, keputus-asaan, keresahan, dan tidak menuntun pada pelepasan, pengaburan, pelenyapan, kedamaian, ke pengetahuan sejati, pada pencerahan penuh, ke Nibbana”.
Dengan kata lain, Sang Buddha berkata bahwa bermacam-macam perkembangan pandangan ini adalah tidak berguna. Bukan hanya merujuk pada pandangan salah tetapi semua jenis pandangan yang tidak bermanfaat, yang tidak membawa pada pencerahan. Memiliki banyak pandangan adalah sangat biasa untuk seorang puthujjana (orang biasa). Karena dia memiliki pandangan tentang diri/aku/jiwa yang kekal, dia memiliki pandangan tentang dirinya sendiri, dia memiliki pandangan tentang orang lain dan pandangan tentang dunia, dan lain-lain. Juga, dia memiliki banyak pertanyaan yang berhubungan dengan hal-hal ini. Ini hanya akan mereda ketika kita mengembangkan batin kita dan tidak menjadi begitu gelisah atau resah. Ketika kita telah memahami Dhamma yang pada dasarnya tidak memiliki keakuan atau jiwa yang kekal, lalu pertanyaan-pertanyaan kita yang tidak berguna akan berkurang. Dengan demikian semua pandangan yang tidak bermanfaat (termasuk yang salah) yang tidak membawa pada pencerahan adalah penjelasan yang lebih beralasan untuk kemelekatan pada pandangan daripada hanya pandangan salah.
c. Kemelekatan pada peraturan dan ritual dijelaskan di Dhammasangani sebagai berpegang dengan teguh pandangan bahwa dengan melalui peraturan dan ritual seseorang bisa mencapai pencerahan.
Penjelasan ini cukup bagus, terutama pada zaman Sang Buddha. Pada masa itu, ada petapa bukan-Buddhis yang berlatih berbagai cara kepetapaan. Mereka memiliki banyak peraturan, misalkan; mereka tidak boleh memakai pakaian; tidak boleh makan daging, tidak boleh makan makanan jenis lainnya selain beras atau jenis gandum tertentu; tidak boleh makan makanan apapun selain buah-buahan yang dipetik dari hutan; mendera sendiri, tidur di atas paku, tidur di udara terbuka, dan lain-lain. Semuanya ini hanyalah peraturan belaka yang mereka pikir dapat mensucikan mereka. Ritual pada masa Sang Buddha mungkin saja merujuk pada ritual brahmana. Ini disebabkan brahmana memiliki banyak upacara, pengorbanan untuk dewa di surga, dan lain-lain.
Pada masa Sang Buddha, banyak orang berpikir bahwa peraturan dan ritual ini akan mensucikan mereka. Untuk memahami kapan kita harus melakukan sesuatu atau tidak, kita harus melihat kriteria atau standar yang digunakan Sang Buddha. Jika kita melihat Sutta, kita menemukan dimana-mana, bahwa Sang Buddha merujuk pada kriteria tertentu yang harus kita pakai sebagai pertimbangan untuk melakukan sesuatu atau tidak. Dan apa kriterianya?
Yakni jika kita melakukan sesuatu dan menyebabkan pada bertambahnya keadaan batin tak bajik atau berkurangnya keadaan batin bajik, terhadap diri sendiri maupun yang lain, kita tidak seharusnya melakukannya. Tetapi jika kita melakukan sesuatu dan membawa pada bertambahnya keadaan batin bajik atau berkurangnya keadaan batin tak bajik, maka kita seharusnya melakukannya.
Dengan demikian, apakah kita ingin mengikuti peraturan/ritual tertentu atau kita tidak ingin mengikuti peraturan/ritual tertentu, ini menjadi kriteria yang harus kita pakai. Jadi dapat dikatakan bahwa kemelekatan pada peraturan dan ritual berarti bersikeras mengikuti peraturan dan ritual tertentu walaupun hal-hal itu menuntun pada bertambahnya keadaan batin tak bajik atau berkurangnya keadaan batin bajik, terhadap diri sendiri maupun yang lain.
d. Kemelekatan pada doktrin tentang atta dijelaskan sebagai kemelekatan pada pandangan atas atta atau jiwa/roh yang kekal.
Ini adalah penjelasan yang bagus dan ia berarti kita melekat pada kepercayaan adanya atta dalam diri kita. Apakah atta ini? Atta merujuk pada sesuatu yang abadi, yang tidak bergantungan pada kondisi dan yang tidak berubah. Tetapi Sang Buddha berkata bahwa tidak dapat ditemui atta di dunia ini. Kita tidak dapat menemukan jiwa/roh yang kekal di dunia karena segala sesuatu terus berubah sepanjang waktu. Segalanya berubah bergantungan pada kondisi, bergantungan pada hukum dari Paticcasamuppada.
Kadang-kadang timbul kebingungan antara atta dengan diri (self). Kadang-kadang kita berkata tidak adanya diri. Tetapi kita harus jelas dengan apa yang kita maksudkan dengan diri.
Terdapat Dua jenis diri.
Pertama, karena kita memiliki inisiatif untuk melakukan ini atau itu, Sang Buddha berkata tentang adanya diri di AN 6.38. Ini berarti adanya diri yang konvensional yang terus berubah sepanjang waktu, tidak abadi.
Kedua, adalah penting untuk tidak menjadi bingung dengan jiwa/roh yang kekal yang merupakan konseptualisasi diri yang dipercaya oleh banyak makhluk akan keberadaannya.
Kita memiliki diri yang terus berubah, yang berkondisi, tetapi tidak ada atta. Makhluk hidup menghubungkan konseptualisasi diri dengan kelompok kehidupan-tubuh jasmani, perasaan, persepsi, kemauan dan kesadaran. Kita menganggap lima kelompok tersebut sebagai diri/pribadi atau merupakan milik pribadi atau bersemayam/berada di dalam pribadi atau pribadi tersebut bersemayam/berada di dalam lima kelompok. Ini dinamai kemelekatan pada pandangan salah tentang atta atau jiwa/roh yang kekal.
10. Bhava ( proses menjadi, Keberadaan)
Kamma bhava/melakukan, inilah yang akan mendorong makhluk menjadi jati.
Penyebab dari kelahiran adalah Bhava. Bhava dapat diterjemahkan sebagai keberadaan/makhluk (keduanya dapat diberlakukan).
“Apakah Bhava/keberadaan itu? Ada 3 jenis keberadaan: keberadaan alam lingkup-indera, keberadaan alam berbentuk, dan keberadaan alam tanpa bentuk”.
Dalam Pali disebut Kamabhava, Rupabhava, Arupabhava. Jika kata makhluk yang digunakan, maka diterjemahkan sebagai, “Terdapat 3 jenis makhluk: makhluk alam lingkup-indera, makluk alam berbentuk, makhluk alam tanpa bentuk.” Itu adalah penjelasan dari keberadaan/makhluk.
Keberadaan yang disebabkan oleh kegelapan batin dan nafsu keinginan.
Sekarang kita merujuk pada Majjhima Nikaya 43 untuk memahami Bhava sedikit lebih baik. Di dalam Sutta tersebut, Maha Kotthita, pengikut Sang Buddha bertanya pada Arahat Sariputta:
“Yang Mulia, bagaimana pembaruan keberadaan di masa mendatang dihasilkan?” Arahat Sariputta menjawab, “Pembaruan keberadaan di masa mendatang dihasilkan melalui perasaan bersuka cita pada ini dan itu di pihak makhluk-makhluk yang dihalangi oleh kegelapan batin dan dibelenggu oleh nafsu keinginan”.
Kemudian, Sariputta ditanyai pertanyaan lain sehubungan dengan berakhirnya keberadaan. Beliau menjawab, “Dengan lenyapnya kegelapan batin, dengan munculnya pengetahuan sejati, dan dengan berhentinya nafsu keinginan, pembaruan keberadaan di masa mendatang tidak dihasilkan.”
Oleh karena itu, pembaruan keberadaan di masa mendatang tidak dihasilkan melalui lenyapnya kegelapan batin, dengan munculnya pengetahuan sejati dan dengan berhentinya nafsu keinginan. Kata nafsu keinginan sangat penting karena lenyapnya nafsu keinginan akan mengakhiri keberadaan (sesuai dengan Kesunyataan Mulia yang Ketiga).
Keberadaan yang disebabkan oleh Kamma, Kesadaran dan Nafsu keinginan. Di AN 3.8.76, Ananda bertanya pada Sang Buddha:
“Bhante, orang berbicara tentang keberadaan, ”keberadaan”, bagaimanakah keberadaan ini terjadi?”
Sang Buddha berkata, “Seandainya saja, Ānanda, tidak ada alam lingkup-indera dan tidak ada Kamma yang akan berbuah, akankah muncul keberadaan apapun di alam lingkup-indera?”
Ananda berkata, “Tentu saja tidak, Bhante”.
Dan Sang Buddha berkata, “Dengan cara inilah, Ānanda, Kamma adalah ladangnya, kesadaran adalah benihnya dan nafsu keinginan adalah kelembaban. Bagi para makhluk yang dihalangi oleh kegelapan batin, dibelenggu oleh nafsu keinginan, kesadaran terbentuk di alam rendah. Demikianlah adanya kelahiran berulang-ulang di masa mendatang. Dengan cara inilah keberadaan dihasilkan, Ānanda”.
Kemudian Sang Buddha meneruskan, “Kembali seandainya saja, Ananda, tidak ada alam berbentuk dan tidak ada Kamma yang akan berbuah, akankah muncul keberadaan apapun di dalam alam berbentuk?”
Ananda menjawab, “Tentu saja tidak, Bhante”.
Sang Buddha berkata, “Dengan cara inilah, Ananda, Kamma adalah ladangnya, kesadaran adalah benihnya dan nafsu keinginan adalah kelembaban. Bagi para makhluk yang dihalangi oleh kegelapan batin dan dibelenggu oleh nafsu keinginan, kesadaran terbentuk di alam menengah. Demikianlah adanya kelahiran berulang-ulang di masa mendatang. Dengan cara inilah keberadaan dihasilkan, Ananda”. “Sekali lagi, seandainya saja, Ananda, tidak ada alam tanpa bentuk dan tidak ada Kamma yang akan berbuah, akankah muncul keberadaan apapun di alam tanpa bentuk?”.
Ananda menjawab, “Tentu saja tidak, Bhante”.
Sang Buddha berkata, “Dengan cara inilah, Ananda, Kamma adalah ladangnya, kesadaran adalah benihnya dan nafsu keinginan adalah kelembaban. Bagi para makhluk yang dihalangi oleh kegelapan batin dan dibelenggu oleh nafsu keinginan, kesadaran terbentuk di alam yang lebih tinggi. Demikianlah adanya kelahiran berulang-ulang di masa mendatang. Dengan cara inilah keberadaan dihasilkan, Ananda”.
Jadi kita lihat di Sutta ini, Sang Buddha berkata Kamma adalah ladangnya, kesadaran adalah benihnya, dan nafsu keinginan adalah kelembaban yang dapat membawa anda pada kelahiran di alam rendah, menengah dan yang lebih tinggi. Ketiga ini berturut-turut merujuk pada alam lingkup indera, alam berbentuk dan alam tanpa bentuk. Kamaloka ini (alam lingkup indera) merujuk pada alam manusia dan ke Enam alam surga di atas kita, dan duggati (alam menderita) di bawah kita.
Dewasa ini, banyak buku yang menyebutkan tentang 4 jenis makhluk ketika mereka menyebutkan tentang alam menderita. Yang pertama (yang terburuk) adalah makhluk neraka, diikuti oleh alam binatang, lalu alam hantu dan alam Asura. Ini adalah salah satu kesalahan yang dihasilkan Abhidhamma, Kitab Komentar dan buku-buku yang muncul belakangan.
Jika kita mempelajari Sutta secara teliti, kita menemukan (misalnya, di MN 12) bahwa alam menderita hanya merujuk pada alam neraka, binatang dan hantu. Tidak disebutkan makhluk Asura di alam menderita dalam Sutta. Asura adalah dewa. Malangnya, mereka suka berkelahi dan minum arak dan sebagainya. Mungkin beberapa orang mempertimbangkan mereka menderita dan mengkategorikan mereka ke alam menderita. Buku-buku tersebut yang menyebutkan Asura adalah makhluk di alam menderita berkata bahwa Asura ini adalah sejenis makhluk hantu. Bahkan dikatakan dalam Sub Komentar ada makhluk Asura di alam neraka. Tetapi, di Sutta Digha Nikaya:24 kita dapati bahwa Kalakanja Asura adalah Asura tingkatan paling rendah. Lalu di Digha Nikaya:20, kita temui bahwa Kaḷakanja Asura adalah dewa, yang membuktikan secara jelas bahwa semua Asura adalah dewa. Kembali lagi, ini membuktikan betapa buku-buku yang belakang menyampaikan ajaran yang tidak benar.
Keberadaan yang bergantungan pada kesadaran.
Untuk membantu kita memahami Bhava/keberadaan lebih lanjut, kita akan mengutip Kevaddha Sutta (DN 11). Sang Buddha berkata,
“Tetapi, bhikkhu, kamu tidak seharusnya bertanya seperti ini: “Kemanakah Empat unsur besar- tanah, air, api dan angin lenyap tanpa sisa?”
Sebaliknya kamu seharusnya bertanya: “Dimanakah unsur tanah, air, api dan angin, tidak bersyaratkan muncul? Dimanakah panjang dan pendek, halus dan kasar, bagus dan buruk, dimanakah nama-rupa sepenuhnya lenyap?”
Dan jawabannya adalah: ”Dimana kesadaran tidak muncul, tiada batasnya, bercahaya, maka disitulah unsur tanah, air, api dan angin tidak bersyaratkan muncul. Disana, yang panjang dan pendek, halus dan kasar, bagus dan buruk, di sana nama-rupa sepenuhnya lenyap. Dengan berakhirnya kesadaran, semua ini pun lenyap”.
Sutta ini berkata bahwa kita tidak seharusnya bertanya kemana empat unsur besar (tanah, air, api dan angin, yang berhubungan dengan dunia fisik) lenyap tanpa sisa. Sebaliknya kita seharusnya bertanya dimana empat unsur besar tidak bersyaratkan muncul, yakni tidak memiliki dasar atau faktor pendukung untuk muncul. Sang Buddha berkata jika kesadaran tidak muncul maka lenyaplah semua, lalu empat unsur besar tidak memiliki dasar atau faktor pendukung untuk muncul.
Dengan kata lain, dunia ini (empat unsur besar) muncul bergantungan dengan kesadaran. Dengan adanya kesadaran, muncullah persepsi terhadap dunia. Jika tidak ada kesadaran, dunia lenyap secara keseluruhan. Dunia tidak muncul secara terpisah dari kesadaran. Ini adalah aspek penting lainnya dari keberadaan yang perlu kita pahami dan yang akan ditunjukkan belakangan.
11. Jati (kelahiran)
Karena lahir inilah yang mengkondisikan jara-marana.
Penyebab dari penuaan dan kematian adalah kelahiran.
“Apakah kelahiran itu? Kelahiran para makhluk di berbagai alam keberadaan, kedatangan mereka dalam kelahiran, pengentalan (di dalam kandungan), pembentukan, manifestasi dari kelompok kehidupan, perolehan landasan untuk kontak-Inilah kelahiran”.
Kelahiran yang kita pahami dengan cara biasa, yakni kelahiran dari suatu makhluk dari dalam rahim atau telur, dan lain-lain. Dengan demikian, istilah-istilah kelahiran, penuaan dan kematian merujuk pada kelahiran, penuaan dan kematian yang biasa dari seseorang, yakni yang berhubungan dengan tubuh. Demikianlah, ia berlawanan dengan interpretasi bahwa kelahiran, penuaan dan kematian merujuk pada kelahiran, penuaan dan kematian dari sesuatu makhluk dalam batin (karena kita membentuk pandangan dari suatu makhluk dalam batin kita). Ini bukan sesuatu yang hanya terjadi dalam batin kita tetapi juga terhadap tubuh. Oleh sebab itu, ada sedikit kontradiksi dengan interpretasi satu masa kehidupan dari Paticcasamuppada. Ini adalah hal pertama yang ingin kita pahami.
12. Jara-Marana ( Penuaan dan kematian )
Yaitu ketuaan, kematian, keluh kesah, ratap tangis, dan penyakit yang berarti dukkha.
Penuaan dan kematian didefinisikan sebagai berikut di dalam Sutta.
“Apakah penuaan itu? Proses penuaan para makhluk di berbagai kelompoknya, lanjutnya usia, patahnya gigi, memutihnya rambut, berkerutnya kulit, menurunnya daya hidup, melemahnya kemampuan indera-Itulah penuaan”.
Jadi disini kita lihat bahwa penuaan merujuk pada penuaan yang biasa dialami seseorang.
“Apakah kematian itu? Lenyapnya para makhluk dari berbagai alam keberadaan, padamnya, berakhirnya, terberainya, hilangnya, matinya, habisnya waktu, terberainya kelompok kehidupan, – Itulah kematian”.
Kematian ini juga merujuk pada kematian yang biasa dari seseorang seperti yang kita ketahui. Proses dari penuaan dan kematian ini juga menyebabkan munculnya kesakitan, kesedihan, ratap tangis, rasa sakit, kemuraman dan keputusasaan, yakni keseluruhan massa penderitaan.
Di dalam Paticcasamuppada yang rangkaiannya digambarkan sebagai ayam (simbol keserakahan/lobha), ular (simbol kebencian/dosa), dan babi (simbol moha/kebodohan). Ini adalah tiga akar perbuatan yang menyebabkan makhluk-makhluk tumimbal lahir di alam yang menyedihkan.
Nidanna 12 diibaratkan dengan 12 mata rantai. Penjelasan di atas di mulai dari avijja. Apakah sebab pertama itu adalah avijja dan apakah jara-marana penyebab timbulnya avijja? Tidak, tidaklah demikian adanya, itu hanya urusan mengungkapkan perumpamaan dan pada umumnya di dalam penjelasan paticcasamuppada, 12 nidanna hanya selesai sampai di situ, dan hal itu bisa menimbulkan pandangan salah, sebab bisa timbul anggapan bahwa “avijja itu adalah awalnya” sehingga avijja dianggap sebagai sebab pertama. Dan itu tidak beda jauh dengan agama lain, ada sebab pertama, cuma namanya bukan avijja.
Ada 3 lingkaran paticcasamuppada: kilesa vatta, kamma vatta, dan vipaka vatta yang terus berputar. Kilesa itu akan mendorong terbentuknya kamma. Kamma akan mendorong, akhirnya memproduksi hasil. Hasil ditanggapi oleh batin kita yang kotor, membentuk kamma lagi, hasil lagi, terus berputar. Kilesa dan kamma menimbulkan hasil. Jadi kilesa dan kamma itu sebab akibatnya vipaka, terus kilesa, kamma, upadana, bhava itu sebab lagi, hasil lagi.
Setiap orang yang avijja, pasti ia punya kekotoran batin juga. Avijja pasti join dengan tanha dan upadana, sankhara pasti ikut serta di dalamnya. Artinya segala sesuatu yang terjadi sekarang ini adalah hasil kontribusi dari perbuatan masa lampau. Hasil kita yang akan datang merupakan kombinasi dari kamma di masa lampau+kamma kita di masa sekarang. Jadi kamma kita yang sekarang berkombinasi membentuk hasil berikutnya, di mana vinnana, nama-rupa, salayatana, phasa, dan vedana ini merupakan manifestasi dari kelahiran, kelapukan, dan kematian.
Kesadaran kita muncul padam itu artinya lahir, mati, lahir, mati. Makanya jatijara-marana sama dengan vinanna, nama-rupa, salayatana, phasa, dan vedana. Jadi pada saat yang lampau yang menjadi sebab ada 5 yaitu: avijja, sankhara, tanha, upadana, dan bhava.
Menimbulkan hasil sekarang ada lima. Hasil yang sekarang direspon oleh batin kita dengan sebab yang sekarang yang kita lakukan. Sebab sekarang yang kita lakukan ada 5 juga yaitu: tanha, upadana, avijja, sankhara, bhava.
Sebab sekarang ini akan menimbulkan hasil yang akan datang hasilnya 5 juga. Hubungan antara sebab dan akibat, antara akibat dan sebab baru, antara sebab dan akibat berikutnya, itu ada hubungan yang bisa diputus. Antara aksi dan reaksi ada satu hubungan yang bisa diputus, tapi karena itu sudah lampau, sudah terlanjur jadi tidak dapat diputus. Antara hasil yang sekarang dengan sebab yang akan datang masih bisa kita kendalikan. Begitu prasangka muncul, bagaimana caranya supaya tidak timbul tanha. Itu yang harus diputus, saat ini.
Aplikasinya seperti anak-anak perempuan yang menyukai boneka. Kalau bonekanya jatuh dan patah, pasti menangis. Karena ingat boneka, ditanya juga tidak mau menjawab artinya ada avijja. Kemudian anak itu memutuskan sesuatu, berkehendak, ingin agar boneka itu kembali. Timbullah kesadaran yang kalau melihat boneka itu ia akan menangis lagi.
Ada kesadaran melihat di mana didalamnya ada faktor-faktor batin yang ikut berkecamuk. Karena ada avijja dan kekuatan kamma yang mendorong munculnya kesadaran disertai dengan batin dan jasmaninya itu, maka indera si anak menjadi lebih peka.
Begitu kontak, terjadilah perasaan yang tidak menyenangkan, ia ingin perasaan yang tidak menyenangkan itu hilang, ingin boneka itu kembali. Keinginan agar boneka itu kembali tersebut karena sudah terjadi anggapan “Inilah bonekaku” yang begitu kuat, sehingga menimbulkan kekuatan untuk ia terlahir sebagai anak perempuan dengan “Aku” yang memiliki boneka itu. Anak itu “lahir” baru, berhenti tangisnya. Malam ia ingat lagi, lewat kontak pikiran. Kontak terjadi, ingat boneka, begitu ingat, timbul perasaan tidak senang, ingin lagi, melekat lagi, nangis lagi, terus berputar, selama avijja dan tanha itu belum hancur. Dan pada saat terjadi kontak ia tidak paham bagaimana cara mengendalikannya. Ini berarti paticcasamuppada berputar terus sampai ia dewasa.
Contoh yang paling mudah adalah dua sejoli yang lagi dimabuk asmara/pacaran, suatu saat si wanita melihat pacarnya berjalan dengan wanita lain…., apa yang terjadi ? Pikirannya langsung bereaksi, mengakibatkan indera-inderanya menjadi peka terhadap provokasi yang ia lihat. Mungkin si pria hanya menolong perempuan itu untuk menyeberang jalan saja. Tapi kalau sudah timbul perasaan yang tidak menyenangkan, ia ingin segera hal itu tidak terjadi. Karena keinginannya begitu kuat dan dipendam terus, jadi melekat, “Itu pacarku”, muncul “Aku”. Kekuatan menjadi itu menyebabkan ia lahir kembali sebagai perempuan yang memiliki “Aku” yang lebih tinggi dan konsekuensinya ia sedih, mudah cemburu, ratap tangis dan lain-lain…… disinilah Paticcasamuppada telah bergulir.
Contoh lain: Si A dan Si B, mereka berdua kalau bertemu selalu saling bertukar sapa, tapi pada suatu hari, ketika si A bertanya kepada si B tentang sesuatu dan si A mendapatkan jawaban yang hambar dari si B. Karena pemikiran yang tidak mendalam dan tidak bijaksana, avijjanya si A menimbulkan “penilaian” tertentu. Timbul satu kesadaran, faktor-faktor batin yang muncul ditanggapi oleh si A sebagai menyebalkan, ia ingin si B berubah. Begitu melekatnya hal itu, sehingga ketika si B menyampaikan sesuatu dan timbul kontak melalui pendengaran. Apapun yang dibicarakan oleh si B akan menjadi negatif, demikian pula dengan tanggapannya, pasti negatif juga. Lahirlah ia kembali menjadi si A yang lebih baru lagi, yang semakin cepat tersinggung batinnya, si B pun makin menderita.
Contoh yang lebih sederhana: kita sering mengunyah permen karet, karena terasa enak, timbul kemelekatan. Pada saat timbul kemelekatan, avijja muncul, kita terus mengunyah permen. Paticcasamuppada terus berputar dalam bentuk kemelekatan yang halus yaitu rasa enak. Begitu permen manisnya hilang, langsung kaget, dibuang, action baru muncul.
Selama makhluk-makhluk itu diliputi oleh avijja dan tanha, ia tidak akan paham dengan paticcasamuppada. Aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari misalnya, kita menerima cacian, ada objek pendengaran, ada landasan indera pendengaran, terjadilah kontak. Pada saat kontak itu, terjadilah kesadaran pendengaran. Pada saat perasaan yang tidak menyenangkan itu muncul, umumnya kita langsung sedih atau marah, itu artinya rem kita blong. Ada orang yang sedih, marah, atau dendamnya sebentar, ada juga yang lama bahkan sampai bertahun-tahun.
Kalau kita mulai berlatih pada saat muncul suara yang tak menyenangkan misalnya pada saat bermeditasi, terdengar suara, biasanya muncul perasaan kesal. Mengapa kita tidak lakukan hal ini begitu muncul kekesalan: “Oh, ini kesadaran mendengar, apakah saya harus membuat sebab baru dengan marah, oh tidak, itu hanya vipaka yang muncul, saya sekarang sedang bermeditasi”. Tetapi wajar kalau remnya blong, cuma kalau sudah terjadi demikian, jangan disesali, karena penyesalan itu akan menimbulkan kebencian. Kalau kemarahan sudah muncul dan terjadi, munculkan kesadaran bahwa “marah itu tidak benar, saya sudah menanam sebab baru, pasti ada akibat, tapi saya tidak mau terus menerus marah, tidak mau terus menerus memutarkan roda paticcasamuppada”. Itulah yang disebut selalu waspada, satisampajanna. Kalau melaksanakan seperti itu, artinya kita melaksanakan vipassana dalam kehidupan sehari-hari, di situ kita akan lebih paham.
Jika kita amati dari 12 faktor yang ada, di mana penjelasannya mulai dari avijja, sankhara, dan seterusnya, ternyata kemunculannya tidaklah harus berurutan seperti itu. Tidak harus munculnya dari avijja dulu, kemudian sankhara, dan seterusnya.
Pada masing-masing kelompok itu ada yang merupakan sebab; sebab tersebut menimbulkan akibat. Akibat yang sekarang dialami ini dikondisikan oleh munculnya sebab yang dilakukan pada saat yang lalu, kemudian akan mengkondisikan akibat pada saat yang akan datang. Kemudian kita amati lebih dalam lagi ke dalam Tipitaka dan kitab-kitab komentar, paticcasamuppada yang sering sekali didengung-dengungkan dan dibahas umum di Indonesia lebih banyak mengacu pada Visuddhimagga. Jadi Visuddhimagga adalah salah satu kitab yang merupakan kompilasi dari Tipitaka yang disusun oleh Buddhagosa Thera. Di dalam buku itu memang secara detil dijelaskan tentang paticcasamuppada dalam hubungannya dengan kehidupan demi kehidupan, artinya ada kehidupan lampau, sekarang, dan yang akan datang. Sebaliknya kalau kita membaca dalam Tipitaka, paticcasamuppada ini lebih banyak dijelaskan tentang saat pikiran, tidak peduli itu kehidupan lampau, sekarang, atau yang akan datang, tetapi lebih terfokus pada muncul padamnya kesadaran, karena disitulah bekerjanya Paticcasamuppada.
Pada Mahanidana Sutta, kita membaca secara teliti di mana hal itu erat kaitannya dengan Abhidhamma. Paticcasamuppada dijelaskan oleh Sang Buddha tidak hanya urutan 12 faktor mulai dari avijja sampai dengan jaramarana. Di dalam Mahanidana Sutta ada varian, jadi setelah munculnya tanha itu ada 2 varian, yaitu: pertama, tanha mengkondisikan kemelekatan; dan kedua, munculnya tanha mengkondisikan pengkondisian salah satu kondisi untuk mencari (pencarian); pencarian ini mengkondisikan perolehan/pendapatan; pendapatan mengkondisikan kepemilikan; kepemilikan mengkondisikan penjagaan; penjagaan mengkondisikan penggunaan senjata, pengamanan, dan sebagainya; penggunaan senjata mengkondisikan terjadinya pembunuhan; pembunuhan mengkondisikan terjadinya bicara tidak benar dan seterusnya; yang pada akhirnya mengkondisikan penderitaan bagi makhluk itu.
Ke-12 faktor itu seolah-olah urutan teknis istilah-istilah Abhidhamma. Varian ke-2 ternyata dalam aplikasinya keinginan itu bisa menimbulkan seseorang untuk berupaya mencari. Dari upaya mencari bisa mengkondisikan seseorang memperoleh apa yang di inginkan. Dari upaya yang telah dilakukan dan memperoleh itu menimbulkan suatu kepemilikan. Kalau ia memiliki sekali, ada keterikatan terhadap kepemilikan itu. Maka ada upaya-upaya melakukan penjagaan. Dari penjagaan ada upaya-upaya melakukan bagaimana caranya supaya itu tidak hilang dengan cara-cara yang keras dan seterusnya. Itu namanya “applied”, aplikasi salah satu varian dalam sutta itu. Artinya kalau 12 faktor itu seolah-olah hanya menyangkut diri pribadi seseorang, dari variasi yang kedua ternyata paticcasamuppada bisa bergulir dan berpengaruh terhadap lingkungan sosial. Dengan adanya pola perilaku dari individu yang seperti tadi maka akan berpengaruh terhadap perilaku sosial. Ini juga berarti tingkat keinginan dari individu memang secara langsung berpengaruh terhadap penderitaannya tetapi secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap bergulirnya paticcasamuppada pada makhluk-makhluk disekitarnya. Paticcasamuppada yang dijelaskan dalam 12 mata rantai itu merupakan suatu proses alamiah. Jadi Sang Buddha dalam hal ini menjelaskan tentang suatu proses alamiah yang terjadi pada orang dan masyarakat yang merupakan wujud dari bergulirnya Paticcasamuppada.
Sutta yang lainnya yaitu Agganna Sutta, dikatakan:
“Manusia pertama di bumi ini banyak, mulai dari makhluk Abhassara Bhumi yang mati. Kemudian lahir di bumi melayang-layang dengan tubuh bercahaya, bumi sedang berproses. Ketika bumi sedang berproses, makhluk ini timbul sifat lobha, memakan sari tanah”.
Di dalam Agganna Sutta itu juga dijelaskan, dengan meningkatnya tanha dari makhluk-makhluk yang bercahaya tersebut, maka menimbulkan tingkat kelebihan dari konsumsi. Sebagai ilustrasi: dengan meningkatnya lobha, pohon-pohon padi yang biasanya tidak perlu dipanen karena padi datang bergulir sendiri, sehingga orang pada saat itu tidak menanam padi untuk diambil, tetapi padi itu “jalan” sendiri, sudah masak sendiri. Tetapi karena sifat lobha tadi, makhluk-makhluk itu menyimpan dan mengambil lebih banyak; karena mengambil lebih banyak artinya pohon ini menjadi lebih sedikit sehingga pohon padi harus ditanam. Orang tersebut harus datang ke sawah untuk memelihara dan mengambil padi tersebut. Dengan meningkatnya keserakahan orang tersebut, maka pohon padi terkondisikan untuk dibudidayakan dan seterusnya sampai terbentuknya sistem-sistem di masyarakat. Masyarakat kemudian dikelompokkan berdasarkan pekerjaan. Ada yang sebagai brahmana, satria, dan sebagainya. Pada akhirnya pengelompokkan masyarakat berdasarkan jenis pekerjaan itu dianggap oleh orang sekarang seolah-olah seperti kasta. Awalnya itu cerita dari meningkatnya lobha/tanha. Jika itu dihubungkan, ada satu aplikasi dari Paticcasamuppada yang bergulir pada kehidupan sosial hingga berpengaruh terhadap lingkungan.
Jadi Sang Buddha mengungkapkan Paticcasamuppada tidak selalu mulai dari avijja. Pada cerita tadi, ia harus datang ke sawah, menanam padi, dan harus ingat sudah berapa lama padi itu harus dipanen. Yang tadinya itu tidak terjadi, akibat pola tingkah sifat lobha maka mempengaruhi lingkungan menjadi berubah. Pada Agganna Sutta juga ada proses tentang perkawinan manusia saat itu. Karena terlalu lama melihat, awalnya makhluk itu tidak disebut wanita atau pria, tetapi bentuknya sudah mulai berubah tergantung tingkat pola seberapa banyak ia mengkonsumsi sari tanah, artinya seberapa banyak tanha, ia berubah bentuknya.
Bentuk tubuh manusia itu terpengaruh dari proses paticcasamuppada (nama-rupa). Karena perbedaan bentuk tubuh ini, mereka saling memandang. Terlalu lama memandang, muncullah nafsu, terjadilah hal-hal yang mereka inginkan, terjadilah perkawinan, kelahiran, dan sebagainya. Itu dijelaskan di dalam Agganna Sutta, Paticcasamuppadanya tersamar. Tetapi kalau tahu hakikat sesungguhnya yang mulai dari avijja sampai dengan jara-marana, adakah faktor dari 12 itu yang dapat kita lihat? Ternyata ada, artinya berproses, adanya penderitaan. Jelas sekali bahwa paticcasamuppada selalu dibabarkan oleh Sang Buddha di mana pun, cuma cara pembabarannya ada yang menggunakan istilah-istilah teknis tetapi di bagian lain menggunakan bahasa sosial kemasyarakatan, karena hal ini tergantung pada pendekatan keadaan dari si pendengar sehingga dapat lebih mudah dipahami.
Dalam Cakkavatti Sihanada Sutta (cerita tentang raja alam semesta), di situ dituliskan bahwa karena raja dunia saat itu tidak memberikan dana kepada fakir miskin maka terjadilah proses kelaparan; karena mereka lapar maka mengkondisikan pencurian; karena ada pencurian maka terjadi penangkapan dan hukuman; karena ada hukuman maka terjadi kondisi untuk berdusta; karena berdusta maka terjadilah penyelidikan; karena diselidiki mengkondisikan terjadinya pembunuhan dan seterusnya. Awalnya bergulir penderitaan dari sosial kemasyarakatan, ada lobha dan tanha. Raja sendiri menderita dan sebenarnya sudah terjadi proses paticcasamuppada. Karena raja tidak memberikan dana, ada pihak lain yang merasakan akibatnya. Di masyarakat muncul keinginan dan keterikatan untuk mencuri, apalagi ada lobha yang membuat makin menderita. Akibatnya umur manusia mulai berkurang, berjalan sesuai dengan tingkah laku kejahatan yang dilakukan saat itu. Tingkat keserakahan dan keresahan sudah mulai tinggi, perangpun membudaya.
Dalam sutta-sutta selanjutnya, kalau kita simak pembabaran Paticcasamuppada yang kita bahas ini tidak lain adalah proses kemunculan, munculnya dukkha.
Ini merupakan suatu kenyataan “kesunyataan mulia tentang dukkha”. Kemudian di dalam sutta itu dijelaskan, pada saat makhluk itu menderita mulai avijja sampai dengan jatijara-marana, penderitaan itu mengkondisikan tiga variasi terhadap terjadinya keadaan yang terbebas dari dukkha, yaitu:
Variasi pertama, penderitaan itu menimbulkan dan mengkondisikan munculnya keyakinan bagi seseorang; keyakinan mengkondisikan timbulnya suatu kegembiraan untuk melaksanakan kebaikan; kegembiraan melaksanakan kebaikan mengkondisikan timbulnya ketenangan pikiran; ketenangan pikiran mengkondisikan timbulnya kebijaksanaan; kebijaksanaan mengkondisikan hancurnya kebodohan batin dan keserakahan; hancurnya kebodohan batin dan keserakahan mengkondisikan yang bersangkutan terbebas dari dukkha.
Jadi walaupun seseorang menderita itu bisa mengkondisikan munculnya keyakinan. Keyakinan memiliki 3 aspek, yaitu: keyakinan harus berlandaskan pada pengetahuan, artinya kalau seseorang sedang menderita, kemudian mendengar Dhamma akan muncul suatu pengetahuan yang bisa memunculkan keyakinan awal bagi orang itu, minimal ia yakin bisa terbebas dari penderitaan. Jadi keyakinan itu ada aspek pengetahuan, pengertian, dan kemauan. Kalau ia yakin, disertai dengan kemauan, ia bisa terbebas dari dukkha. Walaupun seseorang melakukan sesuatu hanya dengan keyakinan, itu bisa menimbulkan kegembiraan bagi orang tersebut. Kalau ia sudah gembira dengan keyakinan seperti itu, kemudian ia bermeditasi, batinnya menjadi tenang. Kalau batinnya tenang ia bisa mengamati fenomena muncul padamnya nama-rupa. Kalau ia bisa mengamati itu, bisa muncul suatu kebijaksanaan, bisa terbebas dari dukkha. Jadi janganlah mencela orang yang hanya mempunyai keyakinan. Betapa pun kecilnya keyakinan adalah tetap keyakinan, yang bisa mengkondisikan keterbebasan dari dukkha. Jadi yang tadi berputarnya dukkha seolah-olah kita tidak bisa lepas dari Paticcasamuppada ternyata di sutta itu ada penjelasannya. Paticcasamuppada yang berakhir dengan kebahagiaan yang mengatasi duniawi…
Variasi kedua, penderitaan itu mengkondisikan seseorang untuk melaksanakan perbuatan baik. Kusala kamma menimbulkan seseorang berbahagia karena ia melakukan perbuatan baik, ia terkondisikan untuk berbahagia. Karena ia berbahagia terkondisikan batinnya menjadi tenang. Ketika berbuat baik itu memberikan buah/hasil, hasil itu membahagiakan. Kalau ia bahagia, ia menjadi tenang, dan seterusnya…
Variasi ketiga, penderitaan mengkondisikan wise reflection (perhatian/perenungan yang mendalam). Ketika ia menderita, ia merenung, mengkondisikan perenungan “oh, ini rupanya penderitaan, seperti ini”, ia menyelidiki. Dari situ bisa timbul ketenangan.
Jadi, dari Empat Kesunyataan Mulia, paticcasamuppada menjelaskan tentang kesunyataan mulia pertama dan ketiga. Di samping itu, awalnya dari dukkha-dukkha merupakan kesunyataan mulia kedua (sebab dukkha). Sang Buddha membabarkan paticcasamuppada itu merupakan proses alamiah dari dukkha, sebab dukkha, dan padamnya dukkha. Bukan metode terbebas dari dukkha tetapi proses alamiah tentang muncul, sebab, dan padam.
Jalan Mulia Berunsur Delapan merupakan cara untuk memutus dukkha dari Paticcasamuppada di kesunyataan mulia yang pertama. Sehingga terealisasilah kesunyataan mulia yang ketiga yaitu padamnya dukkha. Jadi paticcasamuppada dalam Tipitaka disebut Majjhima Dhammadesana (pembabaran ajaran tengah). Ajaran tentang proses ini maksudnya untuk menghancurkan dua pandangan sesat yang umum terjadi pada jaman Sang Buddha yaitu pandangan tentang kekekalan dan pandangan tentang kemusnahan. Ketika mempelajari paticcasamuppada ternyata muncul padam saling berinteraksi, saling berpengaruh.
Jika kita membaca Dhammacakkapavattana Sutta alinea ke-2, ada dua hal yang harus ditinggalkan kemudian dilaksanakan. Dua hal yang harus ditinggalkan yaitu pemuasan nafsu dan menyiksa diri. Begitu kita mempelajari paticcasamuppada jelas bahwa dua hal ekstrim itu tidak bermanfaat. Ada juga pandangan bahwa segala sesuatu ini “milikku”. Ternyata dalam hakikat yang sesungguhnya tidak ada yang bisa kita miliki, artinya dari Jalan Mulia Berunsur Delapan, kita membangun dengan mempelajari paticcasamuppada yaitu meningkatkan pengertian benar. Kalau seseorang telah mempunyai pengertian benar, paling tidak ia bisa menghancurkan avijja. Kalau avijja tidak muncul maka padamlah yang ini. Jadi paticcasamuppada merupakan ajaran dasariah dari Buddhisme yang sangat penting sekali. Memang sangat jarang Umat Buddha mendengarkan atau belajar ajaran ini. Sesungguhnya ajaran paticcasamuppada akan membentuk suatu pengertian benar terhadap proses segala sesuatu. Kalau ini sudah bisa dimengerti, maka kita akan lebih tenang.
Jika dipilah-pilah, yang memutar roda paticcasamuppada dalam abhidhamma itu ada yang disebut dengan:
• Kamasava,
Yaitu kekotoran bathin yang menyangkut nafsu indera. Ketika indera kita mengadakan kontak, hal ini menyangkut/berkaitan dengan pendengaran, penglihatan, penciuman, pengecapan, dan sentuhan dari panca indera.
• Bhavasava,
Yaitu kekotoran batin yang menyangkut eksistensi (keberadaan) atau ingin terlepas dari sesuatu yang tidak menyenangkan.
• Ditthasava,
Yaitu kekotoran batin karena pandangan yang keliru.
• Avijjasava,
Yaitu kekotoran dari kegelapan batin.
Dari keempat asava ini muncullah tindakan-tindakan.
Jika kita perhatikan dari rangkaian paticcasamuppada dalam 12 mata rantai, umumnya sudah langsung muncul perasaan. Ketika kontak dalam kehidupan sehari-hari yaitu kontak terhadap objek-objek indera, hal tersebut mengkondisikan munculnya perasaan; pada saat perasaan itu muncul empat jenis asava yang tadi juga siap muncul. Misalnya pada saat melihat seorang atasan sedang memperlakukan bawahannya dengan seenaknya, timbul pikiran, “wah, enak juga nih menjadi atasan.” Dengan adanya kontak seperti itu bisa memunculkan suatu keinginan untuk menjadi orang yang bertindak seperti itu. Dari keinginan-keinginan tersebut jika ia berpandangan bahwa sebagai atasan itu enak, artinya pandangan tertentu tersebut yang menyertai keinginan menyebabkan ia melekat pada pandangan yang salah itu. Seberapa besar ia ingin menjadi atasan akhirnya ia melakukan tindakan-tindakan untuk mencapai itu. Tindakan-tindakan itu disebut kammabhava.
Jadi, dari kontak muncul suatu keinginan yang disebut tanha sehingga muncul tindakan. Secara fisik ia tidak meninggal tetapi secara bathin ia terlahir/jati sebagai ‘akulah atasan’, lahirlah konsep “aku”. Jika ia sudah lahir, maka jati-marana muncul; begitu ia tumimbal lahir, bathinnya menganggap dirinya sebagai atasan, ia sudah lahir sebagai atasan dalam dirinya. Jika sudah tumimbal lahir secara bathin menjadi atasan maka konsekuensinya adalah dukkha, dukkha…
Apa yang dirasakan sebagai dukkha? Ia tidak dianggap sebagai atasan, karena jabatan bisa saja lepas. Dari contoh itu saja sudah beberapa hal muncul. Mulai dari penglihatan muncul suatu tanha, memiliki suatu pandangan. Pandangan ini dilekati, melekat pada pandangan, melakukan “action”, sehingga terjadi kelahiran baru ‘aku’. Begitu lahir muncul suatu kemelekatan baru yaitu pada konsep aku (upadana), kemelekatan terhadap aku sebagai atasan, berputar lagi, butuh “action” untuk mempertahankan kedudukan sebagai atasan itu, lahir lagi dengan lebih melekat, “aku si atasan” terus saja melekat, akibatnya penderitaannya makin kuat. Hal ini bukan berarti kita tidak boleh menjadi atasan, tetapi kemelekatan menjadi atasan itulah yang tidak boleh kita lekati. Atasan ini bisa dalam berbagai bentuk, artinya bisa sebagai majikan, bhikkhu, saya yang pandai/pintar, penceramah, pendeta, dan lain-lain. Jika sudah muncul seperti itu dan kalau sudah terjadi seperti itu, maka bersiap-siaplah dengan jara-marana. Sehingga dari saat ke saat dalam kehidupannya jika kontak dengan sesuatu akan cepat terkena stress/depresi. Umumnya memang dalam menjalankan kehidupan, kita terkena stress/depresi.
Ini pasti ada yang salah, apa yang salah? Ketika melihat objek yang menyenangkan terjadilah kontak, muncul perasaan, lalu keinginan, mempertahankan melihat yang menyenangkan itu. Hal ini berkaitan dengan objek penglihatan. Dari objek kecapan rasa “wah, enak ini”, ingin mempertahankan rasa yang enak, sehingga timbul suatu kemelekatan bahwa ini benar-benar enak, kekal, dan bisa dipertahankan. Kita melakukan “action” untuk mempertahankan itu, setelah tercapai, muncul suatu kesombongan. Dan ketika terjadi suatu kelapukan dari sesuatu yang dipertahankan, keinginan menjadi tidak terpenuhi, akhirnya hal-hal yang tidak diinginkan pun terjadi tanpa dapat dicegah.
Jadi konsep paticcasamuppada ini semua terjadi karena ada banjir dari nafsu, banjir halusinasi untuk menjadi sesuatu, banjir dari pandangan, banjir dari konsep tentang ‘kepemilikan’. Di dalam abhidhamma ada konteksnya, asava itu merupakan kekotoran. Jika sudah dilatih terus menerus, tanpa disadari ia akan membanjiri batin kita.
Sebagai contoh, jika melihat seseorang melaksanakan suatu peraturan “oh, damai sekali peraturan ini”, ia melekat pada peraturan dan menganggap bahwa itulah yang paling benar. Begitu ada orang yang ketika ia lihat peraturannya berbeda atau tidak mengikuti peraturan yang ia anggap paling benar itu, akan muncul anggapan bahwa yang lain keliru. Begitu ia lekati mengakibatkan depresi, kalau sudah depresi pasti ada “action” ingin menghilangkan depresi itu, caranya ia keluar dari ruangan sambil marah-marah atau menegur orang itu, yang ujung-ujungnya berakibat penderitaan juga.
Lalu bagaimana memutuskannya? Kita harus berlatih, begitu muncul suatu perasaan, perasaan itu diamati. Bila perasaan yang menyenangkan itu diamati, ternyata muncul dan padam. Atau bila begitu muncul perasaan yang tidak menyenangkan, perasaan itu diamati, ternyata akan langsung padam karena sifatnya tidak kekal. Tetapi jika lolos, begitu muncul perasaan menyenangkan timbul suatu keinginan. Dan ketika diamati, keinginan ini pun akan padam. Jadi itu namanya latihan terhadap ledakan-ledakan dari bentuk-bentuk pikiran.
Yang paling mudah adalah perenungan terhadap jasmani. Banyak sekali modelnya. Ada yang memperhatikan napas masuk-keluar, ada yang posisi duduk/berdiri, atau memperhatikan naik-turun-nya dan kembang-kempis perut, dan lain-lain. Misalnya kita mengamati naik turunnya perut ketika sedang duduk atau berbaring, perut itu naik turun. Jika tidak terasa, peganglah perut itu, rasakan dalam bathin, konsep naik dan turun. Pada saat mengamati itu, pasti pikiran kita yang masih pemula biasanya sering melenceng. Ketika mengamati itu, terdengar orang berbicara, amati dalam bathin mendengar, mendengar… Setelah mendengar itu selesai diamati, sadari bahwa kita sedang mengamati naik turun perut, amati lagi.
Tidak perlu menyebut kata-kata naik, turun, naik, turun… Tetapi cukup dirasakan saja proses naik dan turun. Inilah objek utama. Objek kedua yaitu segala sesuatu yang terjadi di luar objek utama. Kita mendengar, mencium bau, pegal, atau apa saja yang timbul… Jika pegal, amati itu pegal, pegal, pegal… Rasakan dan sadari pegal itu seperti itu… Setelah hilang kembali lagi ke objek utama. Begitu juga dengan gatal, amati gatal, gatal, gatal… ingin menggaruk, ingin, ingin, ingin… hingga bergeraknya tangan teruslah diamati. Pada tahap-tahap pertama ini banyak yang lolos sehingga tidak begitu efektif dipelajari. Lama-lama, setiap detik kita bisa mengamati satu fenomena. Itu memang tidak bisa secara instan tapi butuh latihan, waktu, dan kesabaran.
Mungkin pada saat latihan itu, tidak cukup 10 hari intensif meditasi tetapi latihan yang berulang-ulang, sehingga kita bisa mengamati satu persatu. Pada saat bisa mengamati satu fenomena dengan yang lainnya, maka asava yang muncul bisa lebih kecil karena perhatian sudah lebih kuat dan dilatih terus, kekotoran batin pun mengendap. Teruskanlah, maka kita akan dapat mengamati, ini proses bathin, ini bathin menggaruk jasmani.
Itu akan jelas sekali untuk membedakan bahwa ini bathin dan ini jasmani. Maka kita akan memperoleh kebijaksanaan langsung bahwa fenomena yang terjadi pada diri kita maupun yang di luar tidak lain dan tidak bukan adalah proses batin dan proses jasmani, bukanlah “aku”, artinya pandangan sudah lurus. Begitu diamati terus kejadian itu, diketahui bahwa ternyata muncul padam itu saling berhubungan. Yang ini menggaruk disebabkan gatal, gatal disebabkan apa, bahwa ini ada sebabnya.
Kita akan mengalami langsung bahwa fenomena bathin dan jasmani yang muncul padam itu ternyata ada sebab dan akibat. Disitulah kita akan memperoleh suatu pengetahuan langsung tentang fenomena tersebut. Dari rangkaian itu diamati terus tidak ada putusnya “oh, ternyata dulu begini, nanti yang akan datang juga sama…”
Dengan memiliki keyakinan yang kuat bahwa segala sesuatu terjadi karena sebab dan akibat yang datang silih berganti saling terkait sesuai dengan paticcasamuppada tadi, maka akan memiliki kesucian bathin, tidak ada lagi keraguan tentang ini proses bathin dan jasmani. Kalau itu sudah terjadi akan lebih mudah lagi mengamati bahwa ini ternyata anicca bukan atta, ternyata ini tidak menyenangkan.
Pengetahuan Paticcasamuppada mengenai proses bathin dan jasmani haruslah dialami langsung bukan hanya teori seperti yang disebutkan di atas. Yang bisa diceritakan hanyalah konsepnya saja tetapi pengalaman langsungnya tidak bisa diceritakan, hanya kita sendiri yang tahu ceritanya sampai seberapa jauh. Kecerdasan intelektual tidak bisa mengobati stress, tapi kalau kita coba amati bathin dan jasmani yang muncul padam maka akan timbul kematangan bathin yang tidak akan goyah lagi…