Waisak Untuk Benahi Batin & Perilaku
(Oleh Nico Mercubuono)
Tidak terasa, setahun sudah kita lewati bersama. Cepatnya perputaran waktu membuat hari demi hari begitu cepat berlalu. Kini saatnya kita menyambut Hari yang ditunggu–tunggu, yakni: Hari Trisuci Waisak. Persiapan apakah yang kita sudah laksanakan? Bagaimana dengan batin dan diri kita? Apakah masih sama dengan tahun sebelumnya? Apa yang membedakan Waisak tahun ini dengan Waisak tahun lalu?
Seperti yang kita ketahui bersama, Hari Trisuci Waisak merupakan hari raya terbesar bagi umat Buddha dimana memperingati 3 peristiwa penting, yaitu: Lahirnya Pangeran Sidhartha di Taman Lumbini, Pencapaian Penerangan Agung dan menjadi Buddha di Buddha-Gaya (Bodhgaya), dan Pencapaian Parinibbana di Kusinara. Perayaan Trisuci Waisak dirayakan oleh seluruh umat Buddha di dunia tanpa membedakan sekte apapun tanpa terkecuali.
Dalam menyambut Waisak, sebaiknya hal–hal apa sajakah yang harus dipersiapkan? Banyak dari kita berpendapat Waisak merupakan hari raya Agama Buddha yang paling besar dibandingkan dengan hari raya Agama Buddha lainnya. Oleh sebab itu, perayaan Waisak harus dilakukan semeriah mungkin dan se“WAH” mungkin. Apakah harus seperti demikian adanya?
Dalam menyambut Waisak, sudah sepatutnya kita koreksi, instropeksi, dan evaluasi diri kita sendiri. Saatnya membenah diri kita masing–masing. Memang perayaan Waisak harus dilakukan, apakah perayaan Waisak harus dilakukan dengan begitu besarnya? Perayaan dilakukan untuk menunjukkan indentitas kita sebagai umat Buddha dan memperkenalkan perayaan Waisak di khalayak masyarakat pada umumnya. Perayaan boleh dilakukan tapi alangkah bagusnya disertai dengan praktek DHARMA agar hasilnya jauh lebih optimal. Perayaan yang baik dilakukan bukan dilihat dari mewah atau meriah tidaknya suatu acara, bukan juga kesenian dan karnaval apa yang ditampilkan. Akan tetapi kita harus melihat ke-SAKRAL-an suatu acara perayaan. Jika dilakukan secara sederhana tapi dilakukan sesakral mungkin pasti hasilnya jauh lebih maksimal daripada mewah namun tidak sakral.
Perayaan bukan dilihat dari beberapa jumlah anggota Sangha yang hadir akan tetapi kualitas dan fungsi dari anggota Sangha yang hadir. Banyak dari kita berpendapat jika perayaan itu dihadiri banyak anggota Sangha maka perayaan itu bisa dikatakan sukses. Coba kita berpikir bijaksana, jika kita bisa berbagi anggota Sangha untuk hadir ke tempat yang lain yang membutuhkan. Anggota Sangha itu ditempat kita hanya hadir sebagai tamu dan tidak melakukan apa–apa. Sedangkan Beliau hadir di tempat lain bisa memberikan siraman rohani. Tentu akan lebih berguna dan bermanfaat. Pandangan keliru lainnya antara lain kita mengundang anggota Sangha yang dari kita kenal saja atau dari sekte atau organisasi tertentu saja. Guru Agung kita, Hyang Sakyamuni Buddha mengatakan dalam Tisarana Gatha yaitu Aku Berlindung kepada Buddha, Aku Berlindung kepada Dharma, Aku Berlindung kepada Sangha. Tidak pernah dalam Tisarana dikatakan Aku Berlindung kepada Sangha Theravada ataupun Aku Berlindung kepada Sangha Mahayana. Kalau begitu sebagai umat Buddha harusnya kita berpikir bijaksana. Hyang Buddha sendiri mengatakan demikian, mengapa kita sebagai murid Hyang Buddha harus mengkotak–kotakkan sekte atau melekat kepada organisasi tertentu. Ingat!!! Kita adalah umat Buddhis dan bukan umat anggota Sangha tertentu. Terkadang umat Buddhis sudah berjumlah sedikit ditambah lagi anggota Sangha yang jumlahnya masih kurang sekali, apakah masih penting kita terbelenggu dalam suatu organisasi dan pengkotak–kotakkan sekte? Apalagi kalau yang melakukan mengkotak–kotakan adalah seorang anggota Sangha? Apakah praktisi tersebut masih pantas disebut sebagai anggota Sangha?
Manusia tidak luput dari kesalahan, termasuk dengan anggota Sangha itu sendiri. Saya hanyalah umat awam, tentu tidak pantas mengkritik anggota Sangha. Namun saya juga seorang yang mempelajari serta mempraktikkan DHARMA. Kita harus cermat dan teliti dalam memilih–milih anggota Sangha yang akan menjadi Guru kita. Jangan lihat seorang anggota Sangha dari jubahnya tapi dari perilaku dan tindakannya sebagai anggota Sangha. Hyang Buddha bersabda kepada murid–muridnya, saat Buddha Maha parinibbana (mangkat) maka jadikan DHARMA sebagai GURU–KU. Oleh sebab itu, DHARMA yang seutuhnya itu hanya dibabarkan oleh Buddha. Akan tetapi kita membutuhkan seorang Guru, yaitu: SANGHA yang berkualitas agar dapat membimbing kita semua. Kita butuh Sangha yang dapat mengoreksi dan mendidik dengan penuh disiplin guna membantu kita dalam mencapai kemajuan batin menuju jalan suci. Carilah Guru yang dapat membimbing jalan spiritual Anda, janganlah mencari Guru yang hanya pandai memuji-muji kita dan membimbing kita karena ada uang yang bisa kita beri, tapi Guru sejati adalah Guru yang mau menegur, memarahi dan menghukum kita, agar batin dan diri kita lebih terbenahi. Itu juga dilakukan demi kebaikan kita agar kita menjadi lebih baik.
Waisak sebagai sebuah hari raya agama Buddha bisa memberikan contoh yang positif kepada setiap orang. Contoh positif yang dapat diteladani adalah pengembangan cinta-kasih kepada setiap makhluk hidup. Wujudnya bisa berupa berdana membantu mereka yang membutuhkan, mendonorkan darah, menjaga lingkungan sekitar dengan hidup sederhana atau perbuatan-perbuatan baik lainnya. Tujuan besar dari perayaan Waisak tersebut adalah bahwa setiap manusia diharapkan dapat merenungi segala perbuatannya dan setiap saat selalu hidup dengan rasa cinta-kasih tanpa kebencian, seperti yang tertulis di dalam Dhammapada, “Kebencian tidak akan selesai jika dibalas dengan kebencian, tetapi hanya dengan memaafkan dan cinta-kasihlah maka kebencian akan lenyap”.
Kegiatan positif lainnya yang dapat kita lakukan pada moment WAISAK juga dapat dimaknai dengan mengadakan BAKTI SOSIAL. Dibandingkan dengan perayaan yang begitu mewah, kita juga harus selaras dan sebanding. Dimana kita bisa berbagi dengan saudara–saudara kita yang kurang mampu. Berbagi kebahagiaan dan indahnya Waisak dengan menolong sesama. Bakti Sosial diadakan sebagai perwujudan praktik cinta kasih yang kita lakukan. Dana dapat di bagi menjadi tiga jenis, yaitu: dana materi, dana Dharma dan dana pelayanan, barulah menjadi dana yang sempurna. Banyak di antara kita yang bercukupan dapat memberikan dana materi, tapi sulit untuk berdana tenaga dan pikiran. Tapi kenapa? Banyak dari mereka masih mempunyai Ego yang tinggi seperti takut kotor, gengsi mau kerja kasar seperti angkat barang dalam bakti sosial dan lain sebagainya. Bhakti Sosial merupakan bentuk perwujudan tekad Bodhicitta dan jiwa Bodhisattva yang kita miliki kepada semua makhluk. Dikarenakan dalam mencapai pencerahan bukan dengan kita melatih diri sendiri saja tapi bagaimana kita berbuat demi kebahagiaan banyak orang dan semua makhluk.
Untuk itu, di bulan yang penuh berkah ini, Bulan Waisak, dimana saatnya kita membenah batin dan diri kita masing–masing. Instropeksi, Koreksi, dan Evaluasi terhadap sikap dan perilaku diri kita masing–masing, agar dapat merasakan momen Waisak begitu indah dan damai. Tidak hanya bagi diri kita akan tetapi bagi semua makhluk. Praktikkan cinta kasih Waisak kepada semua makhluk tanpa terkecuali dengan cara yang bijaksana. Karena kebanyakan manusia juga jago dan paham di teori tetapi lemah dalam mengimplementasikan. Kebanyakan teori juga bisa membuat kita keblinger dan hanya penuhi Ego dan kepuasan kita saja. Sebaiknya lebih banyak mengarah ke praktik namun harus dengan menggunakan landasan teori yang tepat dan sesuai.
Satu kutipan bagus dari Mahasiddha Chakme Raga Asye Rinpoche yang dalam teks Inggrisnya mengatakan “The Sutras, Tantras and philosophical scriptures are extensive and great in number. However, life is short and intelligence limited, so it is hard to cover them completely. You may know a lot, but if you do no put it into practice, it is like dying of thirst on the bank of a great lake”. Suatu perenungan yang bagus kita renungkan bersama, bahwa “Hidup ini singkat dan kecerdasan pun terbatas, mungkin Anda dapat mengetahui banyak. Apabila anda tidak disertai dengan praktik maka anda seperti mati kehausan dalam danau yang besar”.
Hidup apa adanya, jangan disalah-artikan kita hidup asal jadi, bukan begitu tapi hidup apa adanya harus disertai praktik yang sesuai dan penuh kewajaran. Maka kalau hidup hanya didasarkan teori–teori saja dan teori tanpa praktek, maka hidup anda memang pintar namun tidak bijaksana. Umumnya pelajar menggunakan teori dan argumen hanya untuk pamer, berdebat, dan menyerang orang lain bukan untuk dipraktikan secara nyata oleh diri sendiri, seperti: debat di forum–forum Buddhis, menggurui dan mengkuliahkan orang lain, mengganggap diri sendiri paling benar dan yang lain adalah keliru atau salah, bahkan celakanya hanya untuk mengagung-agungkan kehebatan diri sendiri.
Dalam momen Waisak ini, sudah saatnya kita membenah diri kita masing–masing, agar Waisak tahun ini mempunyai suatu nilai tersendiri. Setiap tahun kita rutin merayakan Waisak, apakah tidak bosan dengan kondisi yang sama dengan batin yang sama. Setidaknya kita mempunyai suatu perubahan yang berarti dibanding tahun–tahun sebelumnya. Tidak lupa saya pribadi mengucapkan Selamat Trisuci Waisak kepada kedua orang tua saya, Guru Dharma dan Guru Menulis saya, Y.M. Bhiksu Tadisa Paramita Mahasthavira dan beberapa anggota Sangha yang saya anggap sebagai guru saya sendiri serta seluruh staff dan pembaca setia Harmoni. Mari memaknai makna Waisak, dengan hati yang tulus dan sujud, maka niscaya batin terasa damai, dan yakinlah praktik tersebut akan jauh lebih maksimal. Teriring mantra kebahagiaan: Tadyatha om gate gate paragate parasamgate bodhi svaha, Semoga semua makhluk hidup bahagia. Amithofo.