Siapakah Yang Layak & Efektif Memimpin Organisasi Besar Agama Buddha?
(Oleh YM Bhikshu Tadisa Paramita Mahasthavira)
Pendahuluan
Banyak di kalangan umat Buddha bertanya-tanya, siapakah yang berhak dan layak memimpin organisasi agama Buddha? Adakah kriterianya dan persyaratan untuk menduduki posisi jabatan strategis organisasi agama Buddha? Dimana dan bagaimana para umat awam dapat memberikan konstribusi untuk perkembangan agama Buddha, sekaligus bagaimana pula posisi umat awam dalam struktur kepengurusan agama Buddha? Sikap dan perilaku pendiskriminasian apakah ada dan diperkenankan dalam ajaran agama Buddha? Kenapa agama Buddha yang sempurna malah sulit berkembang? Adakah kekeliruan dalam menerapkan sistem sehingga agama Buddha tidak banyak diminati oleh umat manusia? Kenapa dibentuk organisasi Buddhis bukan menampung aspirasi seluruh umat Buddha malahan bergejolaknya pendiskriminasian dan penyekatan? Untuk mengetahui jawaban ini, marilah kita simak artikel “Siapakah yang layak memimpin organisasi besar agama Buddha”. Semoga tulisan ini bisa membuka cakrawala pandangan yang lebih arif dan berkembangnya pikiran rasionalitas untuk menumbuhkan semangat kebersamaan dan berani berkorban guna mengabdi dan berbakti bagi perkembangan, kemajuan dan kejayaan agama Buddha di persada nusantara ini.
Dharma-Vinaya Sebagai Guru Pengganti
Saat Hyang Buddha mau memasuki Maha Parinirvana, Yang Mulia Ananda bertanya, saat Hyang Buddha masih berada di dunia, Buddha sebagai “Guru Agung” kami. Tetapi setelah Hyang Buddha memasuki Mahaparinirvana, siapakah yang menjadi guru pengganti? Hyang Buddha menjawab pertanyaan Ananda: “Dharma dan Vinaya lah yang menjadi Guru-pengganti yang utama”. artinya, jadikan Dharma dan Vinaya sebagai ‘Guru Utama’ para praktisi Buddhism di saat Hyang Buddha sudah memasuki Maha Parinirvana (mangkat), bukan individual makhluk suci atau kelompok sangha tertentu.
Perlu diketahui! Adapun susunan Sang Triratna, adalah: Buddha, Dharma dan Sangha. Susunan efektifnya, adalah sebagai berikut: Buddha yang pertama, Dharma yang ke dua dan Sangha adalah yang ke tiga. Bila yang pertama sudah “mangkat” (Parinirvana), maka jadikanlah yang ke dua sebagai ‘Guru-pengganti’. Bila umat awam tidak mampu menjadikan Dharma-vinaya sebagai guru pengganti, maka carilah “Sangha-suci” sebagai guru pembina. Bila sulit dan tidak ketemu Sangha-suci sebagai pembimbing, maka carilah ’sangha-awam’ sebagai pembimbing. Tentu umat Buddhis tersebut harus cerdas, waspada, berhati-hati dan jaga jarak, karena sramana-awam masih kental dengan watak keserakahan, kebencian dan kebodohan, dikhawatirkan bisa riskan atau untung-untungan, artinya bisa saja mujur ketemu anggota sangha-awam yang manunggal baik mempraktikkan dan mengajarkan kebenaran Buddhadharma. Tetapi bisa juga ketemu anggota sangha yang kurang baik yang mempunyai watak dualitas mampu mengajarkan Buddhadharma tapi perilakunya menyimpang dari Buddhadharma.
Lebih parah lagi, bila ketemu dan berjodoh dengan anggota sangha yang tidak baik, kedua-duanya mempraktikkan dan mengajarkan penyimpangan yang kontra dengan Buddhadharma. Umat Buddha harus waspada dan teliti karena di saat jaman kemunduran Dharma banyak bermunculan “Penampilan sramana tapi perilaku umat awam; Berwajah Bodhisattva tetapi berhati siluman; Berkedok mengajarkan Buddhadharma tapi mempraktikkan kesesatan”.
Walaupun kita berguru kepada sramana-awam utamakan berlindung kepada Buddhadharma, jangan berlindung kepada ciri dan pribadi sramana-awam tersebut. Jadikanlah sila-vinaya dan Buddhadharma di dalam Maha Tripitaka sebagai Guru-pengganti, walaupun kita di bimbing oleh anggota sangha-awam. Perlu diketahui, walaupun bercirikan sramana tapi apabila ia tidak melaksanakan sila-vinaya atau tidak mempraktikkan Buddhadharma dalam kehidupan sehari-hari maka sramana tersebut tidak layak dan tidak efektif menjadi guru pembimbing para umat atau pemimpin umat. Tapi sebagai umat yang baik kita harus tetap menghormatinya, tapi jauhkanlah sramana yang tidak baik tersebut.
Empat Jenis Rahib
Ada empat jenis rahib. Mereka itu serupa, tetapi tidak sama. Para rahib mencukur bersih rambutnya dan berjubah. Jubah beraneka ragam bentuk dan warna. Namun bukan pakaian ini yang membuat mereka tidak sama. Para rahib dibedakan sebagaimana pernyataan Buddha sendiri dalam CUNDA SUTTA (Sutta-Nipata). Antara lain:
1. Rahib yang telah menyelesaikan jalan. Mereka telah mengatasi keraguan, telah bebas dari penderitaan dan menikmati kebahagiaan Nirvana.
2. Rahib yang membentangkan jalan. Mereka percaya bahwa Nirvana itu paling mulia dan senang mengajarkan atau menerangkan Dharma.
3. Rahib yang hidup di atas jalan. Mereka berjuang mengendalikan diri dengan sadar dan hidup sehat sesuai dengan Dharma yang telah di ajarkan dengan baik. (Mereka tidak mengajarkan Dharma, karena kemampuan yang minim dan terbatas)
4. Rahib yang mengotori jalan. Orang-orang ini tidak lain adalah penipu yang menyamar. Mereka memakai jubah pemimpin yang baik, berdalih sebagai rahib yang sejati, namun memiliki tingkah laku yang tercela.
(Ciri-ciri dan aktivitas Rahib yang Mengotori Jalan, yaitu: Penampilan suci tapi perbuatan tercela; Mulutnya babarkan Dharma tapi perilakunya bertentangan dengan Dharma; Penghidupannya sesat, menyimpang dan bertentangan dengan Buddhadharma; Pandai mencari dana tapi tidak mau berdana; Agama Buddha diobyekan dan dikormersialkan; Sirik dan dengki melihat kemajuan rahib lain; Menggangu, merintangi dan menyakiti rahib lain yang berprestasi; Mengambil murid orang lain/merusak hubungan baik guru-murid; Merusak kerukunan/kebersamaan seluruh umat Buddha hanya membela kepentingan kelompok kecil; Berusaha mengusai dan memonopoli perkembangan agama Buddha; Perilaku diskriminasi memecah belah umat; Menyerobot aset vihara orang lain atau mengusai vihara milik orang lain; Melarang atu merintangi pembabaran Dharma yang dilakukan oleh Bhikkhu lain; Melarang, memusuhi atau tidak mendukung mahasiswa-mahasiswi yang bersikap netral tidak ngeblok timur-barat; Mendirikan organsasi kerahiban tapi sepak terjangnya liar dan diskriminasi tanpa disadari telah memecah-belah umat atau merusak kerukunan dan keharmonisan seluruh praktisi dan umat Buddha.)
Siapakah yang layak disebut Bhikkhu? Marilah kita simak ucapan Buddha: Apabila seseorang tidak lagi melekat pada konsepsi “Aku” atau Milikku”, baik yang berkenaan dengan batin maupun jasmani, maka orang seperti itu layak disebut bhikkhu (Dhammapada 357)
Sebaliknya, bila seorang bhikkhu masih terjebak dan melekat dengan konsepsi “Sang Aku dan Milikku” maka tidak layak disebut bhikkhu.
Pembentukan Dinasti & Penggunaan Sisilah Keturunan
Di masa Hyang Buddha, tidak ada pembentukan sekte dan dinasti serta penggunaan silsilah keturunan, bisa kita saksikan seluruh siswa-siswa dan umat pada era Buddha tidak ada penggunaan silsilah keturunan. Umumnya Hyang Buddha memberikan nama sramana berkaitan latar belakang, keistimewaan maupun kemampuan orang tersebut, juga pemberian nama karena pertimbangan ke depan bagaimana prestasi dan karya sramana tersebut. Tengoklah nama para Patriach yang sudah tercerahkan dan dikenal luas tidak ada berasal dan penggunaan silsilah keturunan. Tetapi setelah Hyang Buddha Mahaparinirvana, karena tiada lagi figur dan peran Buddha, ditambah lagi keterbatasan kearifan dan kemampuan melatih diri untuk para sramana sehingga muncullah beragam aliran sekte, pembentukan dinasti dan penggunaan silsilah. Tentu sebagai siswa dan umat Buddha kita harus berpijak kepada ajaran Buddha dan mengikuti tradisi kearifan yang bermanfaat seperti yang sudah dipraktikkan Buddha, bukan sebaliknya hanya berorientasi kepada dogma dan tradisi dari leluhur sramana yang belum tentu benar dan bermanfaat luas.
Justru di dalam tradisi Buddhis khususnya aliran utara, sering dijumpai pembentukan sekte maupun dinasti dan sisilah keturunan untuk digunakan melabelkan identitas sramana berasal dari mana, masuk keturunan siapa dan berada di level ke berapa? Mungkin penggunaan silsilah keturunan ini awalnya dimaksud supaya mudah mengetahui siapakah leluhur sramana, guru sramana dan sisilah keturunan siapa, tapi ada efek kecenderungannya, justru penggunaan silsilah keturunan banyak yang disalah gunakan untuk meremehkan atau memandang rendah jenjang sramana yang yunior di bawahnya. Bila saja leluhur maupun gurunya ada yang berkelakuan kurang baik, tercela atau bercitra buruk maka imbasnya seluruh silsilah keturunan yang di bawahnya ikut kena getahnya. Juga sering terjadi penggunaan label silsilah keturunan tersebut untuk menekan keturunan yang di bawahnya, misalnya sisilah yang di atasnya: panggilan supeh (paman tua dari guru), sucek (paman muda dari guru), sukong (kakek guru), suthai (buyutnya guru), dan lain sebagainya. Bilamana ada satu orang murid berdedikasi, berprestasi, dan dikenal luas oleh kalangan umat Buddha, maka kecenderungannya supeh atau suceknya iri, pasti gusar dan meradang mengatakan: kamu sisilah keturunan di bawah kami jangan dulu menonjol dan menyebarkan Dharma dulu atau berprestasi, seharusnya generasi sisilah yang lebih tua di atasnya yang berkembang dulu, kamu generasi yunior harusnya membantu para senior dulu untuk membabarkan Dharma. Bila kami generasi sisilah di atasnya (senior) sudah wafat baru kalian generasi selanjutnya (yunior) melanjutkan pembabaran Dharma. Pertanyaannya: Apakah perbuatan ini di ajarkan dan dibenarkan oleh Hyang Buddha? Tentu saja tidak! Ingat perkembangan agama Buddha bukan milik dan dimonopoli oleh para seniornya saja, siapapun tanpa kecuali termasuk sramana yunior asalkan mampu dan arif silakan untuk mengembangkan agama Buddha.
Coba kita pikirkan: bila seorang guru dipanggil suhu, pamannya dipanggil supeh, sucek, atau kakek guru dipanggil sukong, dan buyut guru dipanggil suthai, lantas bagaimanakah panggilan terbaik untuk Hyang Buddha guru agung yang pertama? Apakah pantas di panggil nenek moyang para guru sramana? Aneh ya?, Rada bingungkan?
Ada juga kejadian beberapa suhu yang menggunakan silsilah keturunan tersebut diterapkan sama rata untuk sramana dan para umat. Bila penggunaan ini terjadi terus menerus, maka kedudukan sramana dan para umat tidaklah berbeda, hanya terlihat perbedaan tingkatan saja. Apabila seorang umat yang lebih awal menerima pendiksaan apapun maka sramana yang belakangan menerima sila harus memanggil umat tersebut dengan panggilan “Se Siung” (kakak seperguruan). Aneh dan lucukan? Bilamana sramana lebih awal menerima pendiksaan sedangkan umat baru belakangan mengambil pendiksaan, apakah sramana tersebut memanggil umat dengan panggilan ‘Se Ti’ (adik seperguruan)? Lucu dan gelikan? Begitupula gurunya menerima umat menjadi murid, tak lama kemudian muridnya sramana menerima seorang murid (cucu) sramana, apakah cucu sramana tersebut memanggil umat dari kakek gurunya dengan sebutan Sucek atau Supeh? Kacaukan tingkatan pendinastian atau penggunaan silsilah keturunan.
Perlu diperhatikan, jiwa Buddha sesungguhnya tidak ada yang tua ataupun yang muda. Tidak ada istilah senior maupun yunior, walaupun ciri usia kehidupan atau Vassa seseorang sramana ada perbedaan, tapi hakikat Kebuddhaan tidak ada yang berbeda. Perbedaan hanya terlihat sekilas saja dalam bentuk khayalan, juga ditinjau dari pembedaan terhadap corak kesadaran dan karmanya setiap orang yang berbeda-beda. Pembedaan silsilah keturunan dan vassa kebhiksuan justru menimbulkan perilaku pendiskriminasi dan pengelompokan yang eklusif yang menimbulkan perpecahan di kalangan sramana.
Kadang-kadang para senior (termasuk sukong, supeh kong, sucek kong, suhu, supeh, suceknya) menghambat dan tidak memberi kesempatan kepada keturunannya seorang sramana murid yang masih yunior untuk bisa maju atau tumbuh berkembang. Mereka yang merasa lebih tua cenderung merasa lebih senior lebih berpengalaman, merasa perkembangan agama Buddha dan keberadaan umat adalah lahan para senior saja, kecenderungan para senior menuntut ‘harus diprioritaskan’ terlebih dahulu. Sedangkan sramana yunior harus menunda berkarya. Mereka lupa, kesucian dan kemampuan seseorang sramana bukan di nilai dari beberapa lama usia vassa kebhiksuan, hubungan relasi, kedudukan, dan kekuasaan seseorang? Melainkan hanya praktik pelepasan total dan konsentrasi sepenuhnya seseorang baru mencapai tahapan kesucian, tentu semua proses keberhasilan juga di pengaruh hubungan karma masa lalunya, yaitu: adanya berkaitan tiga periode waktu, yaitu: masa lalu, masa sekarang dan masa depan. Hyang Buddha bersabda: bahwa para sramana harus rajin membina diri, selekasnya mencapai kesucian dan berupaya membabarkan Buddhadharma untuk menolong semua makhluk. Dalam hal ini, jangan gunakan praktik pendiskriminasian dan pilih kasih yang berat sebelah hanya memprioritaskan para seniornya utuk berkembang maju tetapi menghambat kemajuan para yunior dalam segala bidang.
Bila di tinjau dari hakikat Kebuddhaan, semua makhluk tanpa kecuali memiliki jiwa Buddha, siapakah yang berbeda? Dimanakan perbedaan itu? Tentu tidak ada bukan? Bila merasa ada perbedaan itulah khayalan (kebodohan), bila membedakan itulah perilaku pendiskriminasian! Ditilik dari hukum sebab akibat, atau hukum saling bergantungan, maka kebanyakan murid yang cepat berprestasi justru karena kehidupan masa lalunya telah melatih diri dan telah menanam jasa pahala yang banyak, sehingga di masa sekarang saat ia reinkarnasi kembali untuk melanjutkan perjuangannya, buah jasa kebajikannya yang pernah di tanam dulu berbuah sekarang sehingga mudah maju berkembang dalam kehidupan sekarang, yaitu: kearifan dan rejekinya melampaui gurunya atau para senior lainnya, lalu bagaimana mungkin ia disekat atau di rintangi oleh guru atau para senior lainnya, atau dilarang untuk maju berkembang?
4 Hal Tidak Boleh Dipandang Remeh
Di dalam kitab suci, Hyang Buddha bersabda: ada 4 hal yang tidak boleh di anggap remeh, yaitu:
1. Api kecil: semua kebakaran besar bermula dari api yang kecil. Sekecil apapun api sangat berbahaya bila lalai dan sembrono. Juga keberadaan api bisa bermanfaat bila tepat digunakan.
2. Naga kecil: kebanjiran atau kebakaran suatu kota bisa juga disebabkan ulah dan kemarahan seekor naga. Bila saja seekor naga kecil disakiti ia akan memendam kebencian, kelak setelah beranjak besar ia akan balas dendam. Atau naga tersebut bisa juga menjadi pelindung Dharma apabila sudah tersadarkan atau ditaklukkan.
3. Pangeran kecil: mungkin saja sekarang terlihat seorang pangeran kecil tidak ada artinya bagi suatu kerajaan, tetapi apabila setelah beranjak dewasa ia akan naik tahta dan berkuasa penuh dalam kerajaan. Mempunyai banyak panglima perang dan pasukan tentara. Memerintah penuh dengan kekuasaan. Oleh karena itu, bila menyakiti sang pangeran kecil, bisa mendatangkan bahaya besar, sebaliknya bila menyanginya ia akan membalas budi besar.
4. Sramanera kecil: siapapun termasuk gurunya sendiri tidak boleh meremehkan dan merendahkan keberadaan sramanera kecil, karena apabila kelak ia beranjak dewasa, ia bisa memutar roda Dharma, meraih kesucian tertinggi dan menolong banyak makhluk. Mungkin saat sekarang sramanera kecil belum mempunyai kemampuan apa-apa, tapi karena latihan yang terus menerus dan setelah beranjak dewasa bisa saja ia menjadi guru besar yang mempunyai dedikasi dan kontribusi yang besar untuk perkembangan agama Buddha. Siapapun yang meremehkan dan merendahkan sramanera kecil sama juga menggganggu ketentraman komunitas Sangha dan meremehkan calon Buddha. Ingat! Semua guru besar berawal dari sramanera kecil, seseorang tanpa menerima sila sramanera bagaimana ia bisa menerima pendiksaan sila kebhiksuan? Oleh sebab itu, hormati dan junjung tinggi para sramana secara adil dan merata tanpa terjebak ciri, pilih kasih, diskriminasi.
“Walaupun seorang bhikkhu masih berusia muda, namun bila ia tekun menghayati ajaran Sang Buddha, maka ia akan menerangi dunia ini, bagaikan bulan yang terbebas dari awan”. (Dhammapada 382)
Kebaikan dan Kejahatan Seorang Guru
Perilaku seorang guru, mengajar, mendorong, mendukung dan memberikan kesempatan kepada murid-muridnya untuk maju berkembang adalah perbuatan Bodhisattva. Guru yang baik tentu menghendaki murid-muridnya harus lebih maju dan berprestasi unggul dibanding gurunya. Sebaliknya guru bodoh yang takut muridnya maju berkembang khawatir melampaui gurunya, atau gurunya takut bila muridnya lebih mahir maka kelak umatnya akan berpindah atau kabur menjadi pengikut muridnya.
Banyak ditemukan perilaku guru yang cenderung mempunyai sifat sirik, iri hati, mata merah, dan dengki atas kemajuan muridnya sehingga berusaha mengekang, menghambat atau merintangi seseorang murid untuk bisa berkembang maju adalah “Perbuatan guru bodoh yang jahat”. Seorang guru yang banyak menuntut perilaku penghormatan, kepatuhan dan pelayanan yang berlebihan dari para murid kepada gurunya adalah: “Guru yang mempraktikan perbudakkan”. Seorang guru yang tidak mampu mengajarkan Dharma, tidak mendorong dan tidak mendukung muridnya untuk belajar dan praktik Dharma agar berprestasi kelak kemudian hari tidak layak dipanggil “Guru”. Guru yang baik adalah guru yang menuntun, melindungi, membimbing dan mendukung cita-cita dan perjuangan mulia dari murid-muridnya sehingga berhasil menjadi sramana berkualitas lahir dan batin. Kategori seorang guru yang baik dan berjiwa luhur adalah: mengajar tanpa pamrih, tidak merusak masa depan murid-muridnya, tidak menghambat kemajuan murid-muridnya, juga tidak menggunakan segala intrik, tipu muslihat, kelicikan, jebakan, teluh, obat lupa ingatan, atau racun yang dapat menghilangkan kesadaran seseorang murid untuk menginginkan, menguasai atau merampas property vihara yang sudah dibeli dan dibangun oleh murid-muridnya. Adapun kebaikan seorang guru sejati hanyalah untuk keberhasilan murid-muridnya bersifat tanpa terjebak dan melekat kepada ciri, pamrih dan tidak mengikat. Sedangkan murid-muridnya pun harus kenal budi, ingat budi dan dapat membalas budi jasa kebaikan gurunya sepanjang hayatnya.
Agama Buddha jangan disekat oleh ruang dan waktu, jangan pula dijadikan sasana tinju untuk meraih kemenangan sepihak dan mengalahkan pihak lain. Jangan pula agama Buddha dijadikan ajang komersial, ritual agama Buddha jangan di SALE atau di obral untuk mendapatkan imajinasi keselamatan dan kebahagiaan semu. Hanya kearifan, kebajikan dan Bodhicitta yang perlu dikembangkan dan diajarkan kepada semua makhluk untuk meraih pencerahan, dan pembebasan mutlak demi kebahagiaan hakiki.
Banyak ditemukan sikap perilaku sramana tua yang merasa senior atau berperilaku superior ingin mengusai agama Buddha dan perkembangannya. Sepertinya, agama Buddha milik generasi angkatan tua saja atau mau dimonopoli oleh kalangan tertentu saja. Ingat! Agama Buddha milik kita semua, juga menjadi tugas kita semua untuk mengembangkan dan memajukan agama Buddha. Untuk itu, marilah gunakan hati nurani dan kembangkan hati luhur untuk senantiasa inovatif, kreatif, produktif dan berkarya untuk memajukan dan mengembangkan agama Buddha tanpa kecuali termasuk sramana murid yang masih yunior.
Di dalam Sutra Avatamsaka disabdakan: “Membina segala kebajikan tanpa mengembangkan Bodhicitta adalah perbuatan iblis Mara.” Juga di dalam Sutra Intan (Cing Kang Cing) disabdakan: “Bilamana praktisi dalam berbuat baik masih terjebak dan melekat kepada ciri sang aku, ciri kepribadian, ciri keusiaan dan ciri makhluk bukanlah seorang Bodhisattva yang sesungguhnya”. Maknanya: Berbuat segala kebajikan masih terjebak dan melekat segala ciri adalah perbuatan Mara. Bilamana dalam berbuat kebajikan tidak terjebak dan melekat kepada segala ciri, atribut, identitas, keturunan, kesukuan, atau jasa pahala barulah disebut perilaku Bodhisattva. Hanya perilaku Bodhisattva yang luhur saja dapat menyempurnakan paramita jadi Buddha.
Mengaburkan Makna dan Tujuan Pelepasan Agung
Perlu diketahui, pembentukan dinasti dan penggunaan sisilah keturunan umumnya terjadi dikalangan kerajaan atau kehidupan perumah tangga, tetapi apabila dalam kehidupan Sramana masih juga dikembangkan pembentukan dinasti dan penggunaan sisilah dikhawatirkan cenderung mengaburkan makna dan tujuan dari “Chu Cia” itu sendiri (pelepasan agung meninggalkan kehidupan duniawi/perumah tangga). Adapun makna pelepasan agung (Chu Cia) adalah melepaskan segala kemelekatan terhadap ciri, atribut, identitas, jenis, keturunan, kesukuan, dan lain sebagainya.
Ingat! Kita ini siswa Buddha atau umat Buddha, Guru agung kita adalah Sakyamuni Buddha, bukan siswa atau umat suhu tertentu, umat sekte tertentu, atau siswa atau umat kelompok tertentu. Keberadaan, peran dan fungsi para guru hanyalah wakil Buddha di saat Guru Buddha sudah memasuki Mahaparinirvana. Tetapi kedudukan wakil hanyalah sebatas wakil belaka saja bukan lantas seperti menjadi Buddha. Seorang sramana bila belum mencapai tingkatan Kebuddhaan, tidak layak, tidak dibenarkan dan tidak etis menerima murid maupun umat sebagai “muridnya sendiri.” Melainkan harus menjelaskan dan mengarahkan murid dan umat sebagai siswa dan umat Buddha. Perlu disadari: Jangan salah persepsi, terkecoh dan berperilaku jungkir-balik, menjadikan guru awam sebagai guru sejati, menuruti segala kehendaknya yang belum arif dan masih penuh nafsu. Tentu sebagai murid yang baik, hanya berlindung kepada Dharma gurunya yang baik, benar dan selaras dengan Buddhadharma bukan berlindung kepada ego dan pribadi gurunya, karena kelak pasti mengecewakan dan menyakitkan.
Adapun awal pembentukan sekte hanya pilihan berdasarkan jodoh dan kemampuan untuk praktik terfokus; Juga keberadaan organisasi Buddhis hanyalah menampung aspirasi para umat untuk bergabung berdasarkan kerukunan dan musyawarah untuk motivasi, visi dan misi demi kebaikan bersama. Jadi keberadaan, peran dan fungsi guru, sekte, dan organisasi hanyalah sekedar membantu, sebagai alat dan sarana untuk kemudahan, bukan sebagai tempat berlindung sejati untuk selama-lamanya. Sesungguhnya, kita sudah di ajarkan oleh Guru Buddha, yaitu: cukup hanya “Berlindung kepada Sang Triratna” (Buddha, Dharma dan Sangha). Adapun makna dan tujuan “Berlindung kepada Buddha, untuk mengembangkan kesadaran agung dan melenyapkan ketahayulan; Berlindung kepada Dharma, untuk mempraktikkan kebenaran dan melenyapkan kesesatan; Berlindung kepada Sangha, untuk mensucikan diri dan melenyapkan kekotoran batin.
Dalam meraih tingkatan kesucian tidak bisa dihitung dan dinilai dari beberapa lama menjalani vassa kehidupan bhiksu dan tidak bisa dimonopoli oleh sramana seniornya saja. Mungkin saja sramana yunior bisa lebih awal dan lebih cepat meraih kearifan, pencerahan dan kesucian dibanding yang seniornya. Jadi para sramana senior janganlah berperilaku bodoh, sembrono dan over acting, yaitu: menghambat, merintangi atau menghalangi seseorang siswa yang diberi label sebagai murid, keponakan murid, atau cucu murid (sramana yunior) untuk praktik religius secara total, sekaligus menunda perkembangan spiritual dan berprestasi untuk meraih kesucian. Juga diharapkan sramana senior tidak mempunyai niat dan perilaku jahat yang menistakan siapapun yang lagi bersemangat dan berjuang untuk mengembangan Buddhadharma dan upaya menolong semua makhluk.
Perlu dipahami, bahwa para Bodhisattva mengandalkan Dharma ‘Prajna Paramita’, batinnya tanpa rintangan lagi (tidak terjebak dan melekat kepada subyek maupun obyek) dan mencapai Nirvana sesungguhnya (tidak menetap di arus tumimbal-lahir maupun di Nirvana). Tiga masa dan sepuluh penjuru para Buddha hanya mengandalkan Maha Prajna Paramita mencapai Anuttara Samyaksambodhi (kesempurnaan Buddha). Ajaran Dharma inilah sebagai guru pengganti, guru pembimbing, guru yang sebenarnya, karena itu harus dipraktikkan dan direalisasikan oleh seluruh sramana senior maupun yunior.
Siapakah yang Berperan untuk Mengembangkan Buddhadharma?
Barang siapa yang melaksanakan kehidupan suci menjadi sramana yang melaksanakan sila-vinaya, dan mempraktikkan ajaran Buddhadharma, mengajarkan kebajikan sesuai Buddhadharma, mereka bisa di anggap sebagai guru pembimbing. Begitupula umat Buddha yang melaksanakan sila-vinaya dengan baik, mempraktikkan Buddhadharma dan mampu mengajarkan Buddhadharma bisa dianggap pula sebagai guru pembimbing.
Banyak sramana tenar yang pernah di bimbing oleh umat awam, seperti Ven Master Cing Khung pernah di ajarkan oleh Upasaka Li Ping Nan. Maha Bhikshu Yen Ying yang berpengaruh di Tiongkok pernah menunjuk Upasaka Cao Pu Chu sebagai pemimpin tinggi agama Buddha di Tiongkok. Pertanyaannya, kenapa menunjuk Upasaka sebagai pemimpin tinggi agama Buddha di Tiongkok? Padahal di China banyak sekali para Bhiksunya, tentu ada kearifan dan alasan yang tepat, mungkin ditinjau dari kualitas, kemampuan dan kondisi dari sramana atau upasaka tersebut dalam memimpin agama Buddha di saat masih terjadi banyak pergolakan di sana pada saat itu.
Patriach kelima, Yang Arya Master Hung Ren, memiliki dan mengajar banyak murid yang menjadi Hwe-shio, (sramana/petapa Buddhis), tapi saat bertemu dengan umat-awam berbakat yang bernama Hui Neng, terjadilah diskusi Dharma yang mendalam dan menarik. Master Hung Ren menyadari Hui Neng sudah memiliki instuisi kearifan yang mendalam. Saat Master Hung Ren mencari generasi penerus untuk mewariskan jubah dan mangkok pindapatra, dibuat pengumunan “Barang siapa yang dapat menulis syair memahami “Hakikat Kebuddhaan” akan ditunjuk sebagai Patriach Keenam”. Sramana senior Shen Siu, guru para Hwe-shio yang selalu membimbing dan mengajar bagi hwe shio telah mendapat dukungan siswa-siswa lainnya, mencoba menulis syair tersebut, ternyata gagal karena belum memahami ‘Realitas Kebenaran Sejati’. Tetapi umat awam Hui Neng mampu menulis syair cemerlang, memahami “Realitas Kebuddhaan yang sunya”. Mengetahui Hui Neng mempunyai bakat pencerahan dan kelak menjadi guru besar, maka di ajarkan Dharma khusus inti sari dari Sutra Intan (Cing Kang Cing). Setelah mendapatkan ajaran khusus dari hati ke hati, Hui Neng peroleh pencerahan mutlak sehingga terpilih dan ditunjuk menjadi “Patriach Keenam dari Tiongkok dalam silsilah Zen Master” dan menerima jubah dan mangkok pindapatra warisan Buddha. (Adapun makna tersirat ini, janganlah diskriminasi, terjebak dan melekat kepada ciri, penampilan bhiksu atau umat awam, karena semua corak adalah khayal tidak nyata; Jangan hanya menilai buah dari kulitnya saja, tetapi yang terpenting adalah bagaimana dan manfaat isi buahnya tersebut. Lihatlah terpilihnya umat awam Hui Neng dan perjungan yang begitu populer menjadi Patriach-Keenam Zen Master).
Di mata Buddha, orang dipandang tua tidaklah karena umurnya atau vassanya yang sudah lanjut, seseorang yang menjadi tua secara fisik di tandai kelapukan dan selebihnya hanya berupa penyakit dan kesombongan saja jika tidak di imbangi kebijaksanaan dan kesucian. Sebaliknya seseorang yang masih muda usia mungkin pantas dihormati sebagai orang tua karena kemajuan hidup batiniah melampaui orang-orang lain. “Sumana, putri bungsu Anathapindika, adalah seorang wanita yang berbuat luhur. Ketika Sumana jatuh sakit, menjelang nafasnya yang terakhir ia memanggil ayahnya dengan sebutan adik. Anathapindika tercengang dan disangkanya Sumana mengalami gangguan kesadaran. Ia menemui Buddha dan menceritakan apa yang terjadi dengan putrinya. Buddha menjelaskan bahwa kesadaran Sumana menjelang ajalnya tidak terganggu. Ia memanggil sang ayah dengan sebutan adik, karena tingkat kesucian yang ia peroleh memang melampaui ayahnya. Sumana telah mencapai tingkat kesucian kedua. (Sakadagami), sedangkan ayahnya baru mencapai tingkat kesucian pertama (Sotapati)”. (Dhammapada Attataka 18.) artinya: “Tingkatan kesucian dan Bodhicitta seseorang sajalah yang patut dinilai bukan faktor keusiaan, vassa, kedudukan yang layak menuntut perlakuan istimewa”.
Jangan diskriminasi dan memandang rendah kedudukan umat awam
“Janganlah memandang rendah atau menyepelekan siapapun juga, karena umat awam pun dapat meraih tingkat kesucian Sotapati, Sakadagami, Anagami. Juga tingkatan Bodhisattva yang beragam”. Orang yang patut di tempatkan kedudukan yang lebih tinggi dipandang sebagai orang yang lebih tua atau senioritas menurut ajaran Buddha adalah bukan berdasarkan ciri, atribut maupun ditinjau dari identitas dan gelar, melainkan orang yang memiliki kesucian, kebenaran, maupun kebajikan, yang tidak bersifat kejam, non-diskriminasi, yang terkendali dan terlatih, yang pandai dan bersih dari noda.
Seperti kita ketahui, Raja Asoka dan Raja Liang Wu Ti sebagai umat awam telah memimpin dan berjasa memberikan kontribusi dan sumbangsih yang sangat besar bagi pelestarian dan perkembangan agama Buddha pada jamannya.
Di dalam Sutra Avatamsaka bagian Gandawyuha, menjelaskan: Perjalanan ziarah seorang pemuda bernama Sudhana (San-chai) yang bertekad menyempurnakan hidupnya sebagai seorang Bodhisattva dalam usaha memasuki Dharmadhatu realitas tertinggi. Berusaha mencari berbagai Guru berkualitas dan belajar Dharma, ada sebanyak 53 jenis ciri Guru. Guru macam apakah yang dikunjungi oleh Sudhana? Klarifikasinya adalah: 5 orang Bodhisattva; 5 orang bhiksu; 1 orang bhiksuni; 8 orang perumah tangga; 1 orang tabib; 1 orang penjual farfum; 1 orang pelaut; 2 orang raja; 2 orang awam laki-laki; 4 orang awam perempuan; 3 di antaranya nyonya; 1 orang gadis yang menyenangkan; beberapa anak; sejumlah dewata; seorang pengemis; seorang petapa; dan dua orang brahmana.
Semua ini menunjukkan kecenderungan ajaran Mahayana untuk memberikan penekanan pada “orang awam” ketimbang bhiksu dan bhiksuni yang hanya sebanyak 6 orang. Maksudnya: “Kualitas para guru tidak dapat di nilai dari ciri dan identitas”. Ciri dan identitas bukanlah menunjukkan keunggulan juga bukan jaminan kualitas terbaik”. “Bila terjebak dan melekat kepada ciri dalam menilai seseorang, mencari dan menempatkan seseorang pemimpin ditinjau dari ciri, menuntut kualitas dari ciri, maka orang tersebut belum arif, batinnya masih gelap, perilakunya tersesat dan akibatnya bakal terpuruk”.
Apakah Ciri Orang Awam Tidak Dapat Memimpin Organisasi Buddhis
Banyak sramana dan umat awam mengatakan bahwa organisasi besar agama Buddha harus dipimpin oleh sramana (anggota sangha) bukan umat awam. Perkataan sramana dan umat awam tersebut kiranya kurang arif, lupa, alpa atau mengabaikan bahwa kategori Sangha sesungguhnya terdiri dari 7 jenis praktisi, yaitu: Bhiksu-bhiksuni, Sramanera-sramaneri, Siksamana (Se cha mo ni), Upasaka-upasika. Lagi pula, bagaimana mungkin organisasi Sangha hanya menampung para bhiksu dan bhiksuni saja? Lantas apakah praktisi lainnya boleh diabaikan, tidak patut untuk direkut, tidak ditampung aspirasinya dan kurang di ikutkan peran sertanya? Apakah karena 5 praktisi tersebut tidak bisa arif dan suci?, tidak mampu berbuat bajikkah atau tidak bisa menumbuh-kembangkan agama Buddha? Ataukah mereka tidak bisa di didik menjadi pewaris (regenerasi) dan pelindung Buddhadharmakah? Nyatanya banyak sramanera dan umat awam yang mencapai tingkatan kesucian beragam. Untuk lebih mengetahui perjuangan dan keberhasilan mereka, silakan dilihat dan di simak di dalam berbagai sutra-sutra Buddhis.
Sesungguhnya siapa pun berhak dan punya andil untuk mengembangkan Buddhadharma, baik sramana, tokoh maupun umat yang mempunyai kualitas ke dalam batin tanpa rintangan, keluar batin penuh welas asih. Hidupnya terkendali dan segala kemampuannya dibaktikan serta mampu bekerja dan berkarya secara optimal dan maksimal untuk memajukan Buddhadharma, tanpa terjebak segala ciri dan atribut. Kita tidak boleh diskriminasi dan pilih kasih hanya menunjuk kelompok sendiri untuk memimpin organisasi besar agama Buddha. Kita harus gunakan insting, intuitif, nurani, jujur, cermat dan adil untuk memilah dan memilih manusia yang terbaik untuk memimpin organisasi besar agama Buddha. Hanya praktisi (sramana maupun umat) ke atas bertekad mengembangkan Bodhicitta luhur untuk mencapai Kebuddhaan dan tekad ke bawah rajin melaksanakan Bodhisattvayana untuk menolong semua makhluk sajalah yang layak dipilih dan patut untuk memimpin organisasi besar agama Buddha. Karena praktisi demikian bila dipilih maka dipastikan organisasi Buddhis tersebut bisa berperan aktif dan memberikan kontribusi yang terbaik bagi perkembangan dan kemajuan agama Buddha.
Untuk itu, kita harus mengundang dan menampung seluruh keberadaan, potensi dan kekuatan umat Buddha agar terbuka pikirannya, terpanggil nuraninya dan berkembang kepeduliannya untuk usaha membentuk sehati, senasib dan seperjuangan menggalang kekuatan bersama guna memajukan agama Buddha. Maksudnya tanpa dukungan kuantitas umat yang banyak apalah artinya kualitas sramana dalam memajukan agama Buddha? Tanpa kualitas sramana bagaimana membimbing umat Buddha agar arif, rukun dan bajik? Tanpa organisasi Buddhis bagaimana bekerja secara struktural dan bersinerginya pemimpin dan yang dipimpin?
Sesungguhnya kita butuh dan memang mutlak dibutuhkan organisasi besar Buddhis yang tertinggi yang bersifat manunggal agar dapat menampung keberadaan semua sramana, guru, tokoh dan umat Buddha tanpa diskriminasi dan pilih kasih untuk memajukan agama Buddha dan mengembangkan kuantitas dan kualitas umat Buddha secara kompak, serentak dalam kebersamaan. Bukan sebaliknya berdirinya banyak organisasi berdasarkan kelompok tertentu yang bermaksud monopoli dan mengklaim otoritas tertinggi yang dikhawatirkan dapat memecah belah, mengkoyak-koyak kebersamaan, persatuan, persaudaraan dan kerukunan umat.
Kenyataannya sekarang ini, banyak umat menjadi bingung, resah dan gelisah, mau ikut kelompok yang mana. Bila ia pilih dan ikut salah satu kelompok maka di jauhkan bahkan dimusuhi oleh kelompok lain, sehingga tumbuh dan berkembangnya pro dan kontra di dalam tubuh agama Buddha yang tidak dikehendaki. Bila masalah ini tidak disadari, dicegah, di antisipasi dan dicarikan solusi untuk menjalin kebersamaan maka dikhawatirkan efek negatifnya bisa meluas dan kelak umat Buddha banyak yang bingung dan frustasi, akhirnya pindah agama lain yang lebih kompak dan solid, ditambah iklan yang menjanjikan banyak kebaikan dan kemudahan, sehingga populasi umat Buddha setiap tahun menjadi berkurang karena pindah agama.
Coba perhatikan organisasi lain Non-Buddhis, umatnya banyak, kegiatan dan karyanya juga banyak. Hampir seluruh pengurus strategis adalah orang awam (bukan sramana), tapi pribadi mereka bisa berkorban bukan mengorbankan orang lain. Mereka rajin mengunjungi dan menolong siapa saja, menggugah dan mengajak umat manusia masuk ke dalam kelompoknya. Mereka getol dan bersemangat menggalang persatuan dan kesatuan sehingga agamanya disukai, dikagumi dan disegani, sehingga mudah tumbuh berkembang. Perhatikan organisasi Non Buddhis, pemimpin dan yang dipimpin bisa saling hormat, rukun dan bersinergi. Mereka terlihat kompak dan solid. Sedangkan organisasi Buddhis rada sedikit aneh, aneh tapi nyata. Di dalam tubuh agama Buddha banyak orang menjadi sramana (pelaku kesucian), berpenampilan suci dengan menerima banyak sila dan vinaya, tetapi kenapa ya sulit berjiwa besar dan berhati luhur, dapat merangkul dan menampung semua ragam potensi umat Buddha secara keseluruhan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Padahal setiap hari mereka rajin melafalkan banyak paritta, sutra dan mantra, tapi kenapa ya sulit berkembangnya kearifan tinggi dan belas kasih universal untuk menata persatuan dan kesatuan seluruh Buddhis Indonesia?.
Perlu diketahui, “Walaupun praktik Dharma benar tapi bila pandangannya sesat dan gejolak hati tidak baik, maka sulit membangun kesuksesan”. Perlu diketahui! Seorang sramana hanya mengerti dan mempraktikkan Dharma di luar, tapi tidak mengerti dan mengendalikan dharma yang di dalam dirinya (pikiran dan tindak-tanduknya), maka ia hanya memoles wajahnya dengan bedak Dharma tapi tidak mempu membersihkan wajahnya dari segala kotoran, apa jadinya? Nampak cantik tapi sungguh jorok.
Di dalam kepengurusan organisasi Buddhis, siapapun yang dipilih ataupun terpilih menjadi pemimpin organisasi besar Buddhis, ia mempunyai tugas dan kewajiban serta tanggung jawab yang besar terhadap Sang Triratna (Buddha,Dharma dan Sangha), umat Buddhis, pemerintah, masyarakat luas, dan semua makhluk. Siapa pun yang menyimpang juga melalaikan tugas dan kewajiban tersebut, maka kelak ia harus berhadapan dengan konsekuensi hukum negara, hukum karma dan hukum akhirat.
Sebenarnya musuh kita bersama adalah kebodohan dan kemiskinan. Ini harus ditumpas bersama oleh semua siswa dan umat Buddha. Karena pengaruh dari kebodohan sehingga bersikap diskriminasi dan pilih kasih terhadap semua makhluk yang mempunyai jiwa Buddha, berpotensi jadi Buddha dan kelak bakal jadi Buddha. Karena miskin kebajikan para siswa dan umat Buddha sehingga efeknya agama Buddha sulit menjadi mercusuar dan bersinar-gemilang, untuk mengembalikan kejayaan agama Buddha seperti di masa lalu. Pepatah mengatakan: Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh; Berdamai kita maju, bermusuhan kita binasa; Perilaku arif kita bersinergi, perilaku bodoh kita bertikai; Perilaku kebajikan kita sukses, perilaku kejahatan kita hancur.
Janganlah menjadikan organisasi besar Buddhis sebagai kendaraan untuk mengejar ambisi pribadi yang terselubung atau untuk kepentingan kelompoknya saja. Jangan pula mempunyai sikap dan perilaku yang merusak dan mengorbankan kemuliaan Triratna, kemanunggalan Buddhadharma dan kerukunan umat Buddha demi mengembangkan sekte dan organisasinya yang sepihak saja. Ingat, kita umat Buddha! Bukan umat sramana tertentu, sekte tertentu, sangha tertentu atau organisasi tertentu. Sebagai umat Buddha seyogyanya dapat rukun dan bersatu dengan umat Buddha lainnya, walaupun sekte, metode dan organisasinya berbeda tapi memiliki ‘Guru Agung’ yang sama, kebenaran agung yang sama (walaupun kebenaran relatif berbeda tapi kebenaran absolut non dualitas), dan untuk tujuan akhir yang sama ke Nirvana, kenapa kita sulit rukun dan bersatu? Sesungguhnya kita belajar Buddhadharma untuk melenyapkan khayalan, egoisme dan kemelekatan, bukan sebaliknya menumbuh-kembangkan “Sang Aku & Dharmaku”. Penyimpangan saat belajar dan penyelewengan dikala kita berbakti dapat menyuramkan dan mengacaukan agama Buddha. Janganlah membawa segala bentuk keserakahan, kebencian dan kebodohan yang dapat menistakan agama Buddha. Melainkan kembangkan Dharma universal, kerukunan universal, kebajikan universal, pencerahan universal, dan pembebasan universal, demi kebahagiaan dan keselamatan universal semua makhluk.
Peran dan Sumbangsih Umat Awam
Orang tua Pangeran Siddharta Gotama (calon Buddha) adalah umat awam. Orang tua para suciwan adalah umat awam. Orang tua para bhiksu juga adalah umat awam. Para guru pendidikan formal atau keterampilan untuk sramana mayoritas adalah umat awam. Para menteri agama di berbagai manca negara di dominasi oleh umat awam. Banyak kepala negara dipimpin oleh umat awam. Perserikatan bangsa-bangsa (PBB) juga dipimpin oleh umat awam. Dunia maju berkembang karena peran dan aktivitas para umat awam. Dana untuk keperluan para sramana berasal dari umat awam. Segala makanan yang disantap oleh sramana semua berasal dari jerih payah petani dan pedagang umat awam. Pakaian rahib yang dikenakan sramana juga dibuat oleh penjahit umat awam. Vihara di rancang dan dibangun oleh arsitek, insinyur dan sumbangan umat awam. Kitab suci Mahapitaka dan buku-buku Buddhis lainnya juga dicetak oleh tenaga ahli umat awam. Semua alat-alat sembahyang juga diproduksi oleh umat awam. Segala kendaraan yang ditumpangi oleh sramana juga dirakit oleh umat awam. Handphone yang disering digunakan oleh sramana juga diproduksi oleh umat awam. Sramana bila sakit juga diobati oleh dokter umat awam. Segala obat juga diracik oleh apoteker umat awam. Saat wafat tubuh jenazahnya sramana juga di kremasi oleh umat awam.
Jadi, janganlah suka memandang rendah dan meremehkan keberadaan, peran dan kontribusi umat awam terhadap dunia, keperluan sramana maupun perkembangan agama Buddha. Sepatutnya, para agamawan yang arif harus membimbing dan membantu agar mereka umat awam dapat bekerja optimal dan maksimal demi meningkatnya kualitas kesejahteraan lahir dan batin umat manusia, agama dan dunia. Bukanlah sebaliknya menyepelekan, memandang sebelah mata atau memandang rendah keberadaan, peran, sumbangsih para umat awam yang melaksanakan visi dan misi untuk kebaikan manusia, kemajuan dan perkembangan agama dan dunia. Oleh karena itu, Hyang Buddha mengajarkan kita untuk menghormati dan membalas empat budi besar, yaitu: orang tua, guru, negara dan semua makhluk yang hampir semuanya adalah umat awam.
Makna dan Kualitas Sangha
Perlu disadari, bahwa Sangha dibagi 2 kategori, yaitu: Sangha-Sravaka (Arahat/Pratyeka Buddha), anggota Sangha demikian umumnya menjadi Petapa atau Sramana (Chu Cia Ren) sedangkan Sangha-Bodhisattva, yang terdiri 52 tingkatan, ada yang berupa Sramana, adapula yang menjadi orang awam.
Sangha pada umumnya dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu 1. Sangha-suci, yaitu: Sangha yang tidak belajar lagi (sudah terbebas dari keserakahan, kebencian dan kebodohan) seperti Arahat atau Pratyeka Buddha dan Bodhisattva Tingkatan Tinggi Dasa Bhumika; 2. Sangha-awam yang belum suci masih tahap belajar (perjalanan kesuciannya masih jatuh-bangun karena batinnya masih diliputi keserakahan, kebencian dan kebodohan); Logikanya Sangha-suci yang seharusnya memimpin dan mengembangkan agama Buddha di dunia ini, agar agama Buddha bisa mudah tumbuh berkembang secara rukun-harmonis, tidak tercerai-berai dengan masalah Dharma, sekte dan kepentingan. Bila sangha-awam yang memimpin agama Buddha maka dikhawatirkan dan diprediksi di dalam tubuh agama Buddha akan banyak terjadi benturan, keruwetan dan gesekan yang disebabkan perbedaan dan ambisi, pandangan Dharma yang sepihak, masalah maraknya organisasi agama Buddha, masalah jabatan, ritual, toleransi dan kerukunan, masalah kuantitas dan kualitas umat Buddha dan sebagainya.
Pada umumnya Sangha-suci sudah memasuki Nirvana, sedangkan Para Bodhisattva suci lebih suka memilih Sambhogakaya (tubuh cahaya) dalam membabarkan Dharma, jarang kembali reinkarnasi menjadi manusia suci (Nirmanakaya-tubuh penjelmaan) untuk membabar Dharma atau memimpin agama Buddha di dunia, sehingga peran dan bakti sangha-awam saja yang masih berperan dan dominan dalam melestarikan dan mengembangkan agama Buddha.
Melihat kondisi demikian dari peran dan sumbangsih dari ’sangha-awam’ maka dapat dipastikan di satu sisi banyak kebaikan untuk agama Buddha, tetapi di sisi lain pasti banyak pula keburukan, gesekan dan kericuhan di dalam tubuh agama Buddha.
Barang siapa yang bijaksana dan penuh keyakinan. Terpelajar dan berpegang teguh pada Dhamma. Juga hidup sesuai dengannya, mereka di sebut “Cahaya Sangha”Bhikkhu yang memiliki kebajikan luas, Bhikkhuni yang terpelajar secara luas. Upasaka dan Upasika yang diberkahi, Merekalah yang menerangi Sangha. Mereka di sebut “Cahaya Sangha”. (Anguttara Nikaya II, 8)
Bukan dikarenakan rambutnya telah beruban. Seseorang disebut sebagai sesepuh. Akan tetapi, barang siapa yang hidup sesuai dengan Dhamma, tak bersifat kejam dan pandai mengendalikan diri, serta tabah dan terbebas dari segala noda batin. Maka, ia patut di sebut sesepuh. (Dhammapada XIX, 206-261)
Kualitas Sangha yang Dibutuhkan
Kualitas Anggota Sangha yang didambakan dan dibutuhkan oleh para umat pada jaman sekarang ini, adalah: kesucian, kearifan, kebajikan, pembabaran Dharma yang efektif untuk mendidik, membimbing dan menuntun umat Buddha pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Bukan malah demi kepentingan pribadi, sekte maupun kelompoknya senang bikin masalah, suka ribut (onar), bikin ulah dan intrik, yang menimbulkan kondisi carut-marut, pro dan kontra di dalam kalangan umat Buddha. Atau berebut untuk menduduki jabatan strategis organisasi besar agama Buddha. Atau berlomba mencari pengaruh dan mengusai umat Buddha secara keseluruhan. Perlu diketahui, banyak kalangan tokoh dan masyarakat luas senantiasa memperhatikan gejolak dan krisis yang terjadi di tubuh agama Buddha. Apakah kalangan anggota sangha tidak malu dan risih bila melihat agama Buddha yang sempurna, cinta damai dan anti kekerasan, tetapi aneh dan nyata, sebagian anggota sangha, tokoh dan umatnya malah tidak bisa rukun, tidak harmonis dan tidak bisa bersinergi satu sama lainnya untuk memajukan agama Buddha. Kenapa mereka sulit merangkul dan bekerja sama dengan semua kelompok agama Buddha?
Ini semua terjadi disebabkan adanya faktor ego yang masih tinggi, kecenderungan laten, yaitu: sifat keserakahan, kebencian dan kebodohan yang mendominasi, sehingga tindak dan tanduk mereka menyimpang, tidak sejalan dan berlawanan dengan kebenaran Buddhadharma, imbasnya merusak citra dan reputasi agama Buddha secara keseluruhan.
Menetralisir Perpecahan Umat Buddha
Untuk menetralisirkan kondisi buruk ini: Pertama-tama, lepaskan egoisme dan pandangan sempit masing-masing pihak. Kedua, lupakan masa lalu, marilah membuka diri dan berlapang dada menerima kondisi yang sudah terjadi, perbedaan yang natural, dan menepis pembedaan yang beraroma diskriminasi. Ketiga, merangkul semua kalangan Buddhis dan memberikan kesempatan kepada yang layak dan tepat untuk memimpin perkembangan agama Buddha. Keempat, mari berperan dan bersumbangsih yang sesuai kodratnya dan kemampuannya masing-masing untuk mengentaskan kebodohan dan kemiskinan. Kelima, tunjukkan identitas sebagai siswa atau umat Buddha yang luhur, memiliki kepribadian simpatik yang penuh kearifan, Bodhicitta, dan belas kasih universal untuk saling menyelamatkan atau setidak-tidaknya saling membahagiakan, menciptakan kerukunan, keharmonisan dan dapat bersinergi kepada seluruh umat Buddha, masyarakat luas, pemerintah, bangsa, negara dan dunia.
Konsep Kepemimpinan Dalam Buddhadharma
Dalam Agama Buddha, konsep kepemimpinan dapat ditemukan dalam falsafah Dharma pada uraian Thakada. Di sana diuraikan bahwa kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang memenuhi “Sepuluh Kewajiban Raja” (DASA RAJA DHAMMA) yang terdiri dari: DHANA (suka menolong, tidak kikir), SILA (bermoralitas tinggi), PARICAGA (mengorbankan segala sesuatu demi rakyat), AJJAVA (jujur dan bersih), MADDAVA (ramah tamah dan sopan santun), TAPA (sederhana dalam penghidupan), AKKHODA (bebas dari kebencian dan permusuhan), AVIHIMSA (tanpa kekerasan), KHANTI (sabar, rendah hati, dan pemaaf), AVIRODHA (tidak menentang dan tidak menghalang-halangi).
Merujuk pada konsep-konsep di atas, dapat difahami bahwa semua Agama memiliki pandangan yang hampir sama mengenai kepemimpinan dan sifat dasar yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, bahwa pemimpin paling tidak harus memiliki karakter: pertama, menjadi contoh (teladan) bagi umatnya; Kedua, bersifat jujur dan adil; Ketiga, berpihak kepada umat (dari umat, oleh umat untuk umat). Hal ini mengindikasikan bahwa konsep-konsep kepemimpinan yang ada dalam setiap Agama pada dasarnya tidak lahir hanya sebagai sebuah teori ilmiah-akademis, tapi memiliki akar yang kuat baik dalam hubungan kemasyarakatan-kemanusiaan, pemahaman Dharma absolut secara universal dan hubungan transendental dengan Buddha.
Apa Pengertian Pemuka Agama dan Pemimpin Agama?
Apa bedanya pemimpin agama dengan pemuka agama? dan ciri-ciri pemuka agama dan pemimpin agama.
Pemuka agama bisa juga kita artikan seperti: Bhiksu-bhiksuni, Sramanera-sramaneri, pandita, romo-ramani dan lain-lainnya, yang memiliki konstribusi dalam agamanya tersebut, sehingga banyak dijadikan panutan dan teladan bagi masyarakat ataupun pemeluk agama tersebut. Sedangkan pemimpin agama adalah orang yang diangkat dan dipercaya oleh segolongan/sekelompok dari pemuka agama, majelis atau para umat Buddha sebagai pemimpin mereka, dan biasanya pemimpin agama dipilih berdasarkan besarnya konstribusi dan pengabdian serta ilmu mereka dalam agama tersebut, seperti contoh: Dalam agama Katolik ada Paus; Dalam agama Buddha ada Ketua Sangha Dunia, Ketum terpilih (ketua umum yang dipilih oleh suara terbanyak dari majelis-majelis yang tergabung di dalam organisasi Buddhis tersebut) atau budaya Trantra yang senang mengkultuskan seseorang dengan gelar tertentu karena diyakini reinkaransi guru besar pada jaman dulu; Dalam agama Islam ada Khalifah dan sebagainya.
Ciri demokratis dalam agama Buddha menyangkut persamaan hak dan kebebasan bagi setiap orang untuk menjadi dirinya sendiri. Buddha mengajarkan kebebasan, Beliau mematahkan otoritas dan monopoli seseorang atau segolongan orang atas kebenaran. Ajarannya adalah ajaran yang terbuka dan menghargai keterbukaan mengambil keputusan bersama, kemerdekaan mengeluarkan pendapat, memberi kesempatan pada perbedaaan pendapat dan kritik, sangat ditekankan oleh Hyang Buddha dalam konteks kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, pandangan ini tempat yang mendasari dengan apa yang disebut sebagai pasamuan, permusyawaran dan pemufakatan.
Menjalin komunikasi, saling mengerti hormat menghormati diperlukan untuk memecahkan masalah bersama dan bekerja sama memperjuangkan pendapat, aspirasi, keinginan atau cita-cita memang harus, tetapi tidak dengan mengorbankan kerukunan. Mencapai mufakat pun menuntut kearifan dan selanjutnya melaksanakan dengan benar kemufakatan itu (Mukti, 1991:15-17).
“Bukan karena kelahiran seseorang disebut Vasala (sampah masyarakat). Bukan karena kelahiran seseorang disebut Brahmana. Hanya karena perbuatan seseorang disebut Vasala. Hanya karena perbuatan seseorang disebut Brahmana”. (Sutta Nipata, Vasala Sutta)
Bukan karena ciri-ciri yang dimiliki seseorang yang berpredikat sebagai umat awam disebut kotor. Bukan karena bercirikan sramana disebut suciwan. Hanya karena perbuatan seseorang disebut sampah masyarakat. Hanya karena perbuatan seseorang disebut Brahmana.
Perlukah Sistem Digunakan?
Sramana bodoh selalu berpikir dan berperilaku diskriminasi, saya anggota sangha, dan kamu umat awam; anggota sangha dijalan Kebuddhaan sedangkan umat awam tenggelam di arus tumimbal lahir. Anggota sangha meraih kesucian sedangkan umat awam berlumuran noda penuh kotoran. Pikiran diskriminasi demikian jauh dari kesucian dan belum memiliki kearifan universal. Kecenderungan hanya melihat ciri, tidak mampu melihat hakikat semua makhluk yang memiliki jiwa Buddha natural yang tidak timbul-tidak lenyap; tidak kotor-tidak murni; tidak bertambah-tidak berkurang. Tentu melihat ciri khayal semua makhluk tampaknya ada perbedaan, tapi bila kita perhatikan hakikat Kebuddhaan sejati semua makhluk realitanya tidak ada perbedaan. Hanya orang yang masih gelap batin (bodoh) senang dengan perilaku diskriminasif. “Memang orang bodoh dan lemah harus di atur oleh sistem (dogma/aturan), melatih diri untuk mencapai target harus gunakan sistem. Tapi orang yang sudah arif jangan lagi kaku dan terkurung oleh sistem. Pembebasan mutlak hanya bisa diraih bila ia terbebas dari segala dogma dan sistem yang mengikat. Begitupula saat bergaul, merangkul dan menolong semua makhluk jangan lagi menuntut diberlakukannya sistem tersebut. Bagaiman mungkin menerapkan sistem saat menolong makhluk lain? Hanya gunakan belas kasih universal tanpa syarat sajalah yang dapat diterima semua makhluk dan sebagai bekal untuk menyempurnakan paramita jadi Buddha. Untuk itu, Janganlah hanya pandai menilai orang dari kaca mata berdasarkan sistem saja. Jangan pula mudah menvonis seseorang dari tataran sistem, melainkan gunakan sistem, lepaskan sistem dan kembangkan sistem, baru seseorang bisa meraih kesempurnaan Buddha. Sangat naïf apabila seseorang terjebak sistem, melekat kepada sistem, sehingga ia menjadi kerdil dan terpasung oleh sistem tersebut. Hanya gunakan sistem tanpa melekat kepada sistem sajalah yang efektif untuk kendalikan diri sendiri, dan kembangkan kearifan universal sajalah yang dapat membimbing dan menolong semua makhluk itulah seorang sramana baru bisa mencapai keBuddhaan”.
Memang ajaran Buddha mengajarkan umat harus menghormati sramana tapi bukan mengajarkan sramana harus menuntut untuk dihormati. Janganlah menuntut prioritas sebelum berkualitas; Bila sudah berkualitaslah baru layak mendapatkan prioritas! Justru pikiran dan perilaku diskriminasi itulah banyak umat yang tidak mau menghormati sramana. Karena banyak menuntut prioritas tanpa kualitas sehingga umat banyak yang menjadi gerah dan efek negatifnya pasti dijauhkan para umat.
Para umat selayaknya meminta anggota sangha untuk memimpin agama Buddha, bukan anggota sangha yang berebut kedudukan menjadi pemimpin agama Buddha. Jika diminta dan dipilih, maka lakukan tugas dan kewajiban dengan sebaik-baiknya, tetapi bila tidak diminta dan tidak terpilih, maka ia harus berjiwa besar, berlapang dada dan ikhlas legowo, karena adanya sosok lain yang lebih baik, lebih berkualitas, berjodoh dan matangnya karma baiknya sehingga terpilih. Yang belum terpilih selayaknya mendukung dan mensupport yang terpilih, bukan sebaliknya menjegal dan merusak yang terpilih. Bila dilakukan sikap perilaku menjegal atau merintangi kepada yang terpilih maka secara tidak langsung juga merusak dan menghambat perkembangan agama Buddha.
Sramana yang baik adalah: “Mengembangkan cinta kasih universal bagi yang belum berjodoh; dan mengembangkan belas kasih universal bagi yang memiliki keyakinan yang sama”. Bukan sebaliknya memusuhi yang berbeda, tapi mesra dengan yang sesama.
Sramana suci nan arif pantasnya yang memimpin agama Buddha, jangan sramana yang masih terjebak dan melekat kepada diskriminasi dan penuh nafsu yang memimpin agama Buddha. Sramana handal yang berjiwa universal saja yang layak menduduki jabatan utama yang strategis untuk agama Buddha, jangan sramana yang berjiwa kerdil penuh sekat bagaikan katak dalam tempurung yang memimpin agama Buddha. Bila saja sramana bodoh dan penuh nafsu yang memimpin agama Buddha, maka organisasi agama Buddha pasti terkotak-kotak, atau terkoyak-koyak, diobyekkan dan pasti dikorbankan untuk mencapai ambisi pribadi atau dijadikan sarana untuk mencapai target demi kepentingan kelompoknya. Sungguh sulit di jaman sekarang ini mendapatkan sramana yang bebas dari kebodohan, keserakahan dan kebencian, apalagi umat yang yang masih terjerat oleh nafsu dan duniawi.
Agama Buddha berada di dunia tidak terlepas dengan urusan duniawi. Sramana awam wajibnya meninggalkan urusan duniawi bukan lagi tenggelam lagi dalam urusan duniawi. Bila seorang sramana sudah mencapai kesucian tentu dihormati, dicari dan dibutuhkan banyak orang, lagipula dapat mempengaruhi perkembangan agama Buddha jadi pesat. Kalaupun sramana suci tersebut mau terjun dan berperan didunia maka ia harus seperti bunga teratai, hidup dikolam lumpur tapi tidak ternoda oleh lumpur.
Coba perhatikan, kebanyakan para Bodhisattva yang berpenampilan umat awamlah yang berperan membimbing dan menolong semua makhluk, sedangkan Sramana suciwan lainnya (maaf, kebanyakan dari mereka kepalanya gundul) sangat langkah sekali muncul di dunia untuk membimbing dan menolong semua makhluk. Adanya kegaiban dan kemanjuran menjawab semua doa dan harapan dapat dibuktikan dimana-mana umat memuja dan membutuhkan para Bodhisattva.
Sedangkan Sramana suci lain jarang dipuja dan dibutuhkan karena kurang peduli dan kurang respon. Oleh karena itu, kesucian, kearifan dan welas asih bukan milik para sramana saja, melainkan semua makhluk bila sudah sadar bisa berjuang menjadi suci, arif dan welas asih. Jadi, “Janganlah diskriminasi melihat ciri lantas menvonis kualitas seseorang!” Janganlah suka meremehkan penampilan seseorang umat awam juga mengabaikan kemampuan dari seorang umat awam. Karena sramana unggul berasal dari umat, dari umat untuk umat, sehingga ia menjadi besar. Tanpa peran dan sumbangsih umat awam bagaimana kelanjutan kehidupan para sramana? Tiadanya peran dan titah raja-raja yang menjadi umat Buddha bagaimana adanya candi-candi agung? Tanpa peran para donatur umat Buddha bagaimana sramana dapat membangun dan memiliki vihara megah? Tanpa keberadaan umat awam, bagaimana sramana bisa berbuat jasa pahala? Ingatlah, umat Buddha adalah pelindung Sang Triratna (Buddha, Dharma dan Sangha) harus dirangkul bukan untuk dimusuhi! Potensi umat Buddha harus diberdayakan bukan diredupkan! Kuantitas umat Buddha harus ditumbuh kembangkan bukan diminimalisirkan. Slogan efektif adalah kebersamaan, yaitu: Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Inilah tugas utama dari para sramana! Oleh karena itu, marilah kita saling menghormati dan mengisi, dan jalinlah kebersamaan dalam perbedaan. Terimalah perbedaan sebagai realita yang tidak terbantahkan, tetapi janganlah menghadapi fenomena perbedaan menjadi ‘pelaku diskriminatif’. Lihatlah hakikat kebersamaan jiwa Buddha, dan jauhkan diskriminasi ciri berkaitan sebab-akibat yang khayal. “Rangkailah kemajemukan menjadi keindahan. Tatalah perbedaan menjadi keunikan”. Alangkah indahnya bila para sramana, tokoh dan umat bisa bersatu dan bersinergi membangun dan mengembangkan agama Buddha yang selaras, seimbang dan serasi. Marilah kita tegakkan kebersamaan dan runtuhkan pendiskriminasian.
Tugas & Kewajiban Para Sramana
Tugas dan kewajiban seorang petapa atau sramana (anggota sangha) adalah melaksanakan kehidupan suci secara utuh, konsisten dan bertanggung-jawab (Rajin mengendalikan diri dengan Sila; Mengendalikan pikiran dengan Samadhi; Mengendalikan pandangan dengan Prajna; Menyempurnakan belas-kasih dengan Dana; Tegar menghadapi segala rintangan dengan Ketabahan; Mengembangkan Bodhisattvayana dengan tekad/semangat). Di samping itu, senantiasa membabarkan Buddhadharma ke segenap penjuru untuk kebahagiaan dan keselamatan semua makhluk tanpa kenal lelah dan pamrih. Tugas dan kewajiban sramana ini saja sudah banyak dan repot, sehingga tidak perlu mencari-cari kesibukan yang kurang tepat dan bermanfaat.
Sesungguhnya kemuliaan anggota Sangha bukan diukur dan dinilai dari berapa banyak vihara yang ia miliki, bukan berapa besar bangunan vihara yang dimiliki, bukan kemewahan yang dapat melambungkan harkatnya, bukan pula ia memangku jabatan tinggi apa yang dikuasai. Melainkan dinilai dari kebajikan, kearifan, pencerahan dan kesuciannya ia menjadi mulia, patut menjadi guru dewa dan manusia.
Untuk memimpin organisasi Buddhis alangkah baiknya peran dan fungsi sramana sebagai pemimpin spiritual, etisnya hanya duduk dijabatan Widyaka-sabha sebagai penasehat dan pembina organisasi. Sedangkan orang awam yang berkualitas (bijak & bajik) dan mampu bekerja diberi kesempatan untuk menempatkan kedudukan strategis, untuk melaksanakan tugas dan kewajiban, menjalankan amanat visi dan misi juga target yang harus diraih saat menjalankan roda organisasi. Jangan sebaliknya, umat Buddha yang melatih diri dan babarkan Buddhadharma, sedangkan para sramana yang bekerja menjalankan organisasi Buddhis. Kalau begini rasanya kacau tidak pantas, tidak adil, dan tidak etis. Bila saja para sramana dan umat mendirikan berbagai organisasi yang terpisah-pisah, maka dipastikan perjalanan organisasi tersebut bisa mandek dan tidak mulus, karena adanya ketimpangan maka sulit tumbuh dan berkembang. Bila saja organisasi sramana dan umat bisa bersatu pasti semarak, mudah tumbuh dan berkembang.
Keberadaan sramana realitanya kaya akan Dharma dan kesucian, tetapi populasinya anggota sanghanya hanyalah sedikit; Sedangkan umat awam kaya akan harta-benda dan berpengaruh, populasinya umat awam sangatlah banyak. Bila kedua belah pihak bisa saling menghormati, merangkul dan bersinergi maka diyakini agama Buddha bakal sukses dalam pengembangan dan kemajuannya.
Perlu diketahui, organisasi Buddhis yang eklusif sifatnya terbatas untuk kalangan tertentu kiranya sulit tumbuh-berkembang; Sedangkan organisasi Buddhis yang inklusif fungsi dan perannya menampung seluruh keberadaan, potensi dan kontribusi dari berbagai kalangan yang tidak terbatas, kiranya mudah untuk maju tumbuh-berkembang.
Ciri Bukanlah Ciri Hanya Sekedar Disebut Ciri
Pada dasarnya semua makhluk sudah dimiliki kesucian, karena kesucian itu tidak timbul pun tidak lenyap, tidak bertambah pun tidak berkurang. Karena semua makhluk belum menyadari dan belum mampu melepaskan khayalannya, maka untuk sementara waktu kesucian tersebut terbenam dalam kebodohannya. Perlu diketahui, bahwa kesucian bukan dicari dan dibentuk, bukan karena dikondisikan kesucian dapat diraih. Hanya apabila kebodohan dan khayalannya sudah lenyap maka kesucian hakiki muncul dengan sendirinya.
Hyang Buddha bersabda: “Buddha, hati dan semua makhluk tidaklah berbeda (hakikatnya)”; Ketahuilah! bahwa banyak umat awam dari dulu sampai sekarang malah mencapai beragam tingkat kesucian; Begitupula banyak umat awam yang terbukti terlahir di surga Sukhavati. Sebaliknya banyak sramana di akhir kehidupannya terjatuh ke neraka atau terlahir di tiga alam sengsara. Kenapa bisa demikian?, karena umat Buddha berjuang keras mencari nafkah tanpa menerima dana, merawat keluarga, dan praktik Buddhadharma secara konsisten, bersemangat tanpa kenal lelah; Sedangkan kehidupan dan keperluan para sramana selalu ditunjang dan didanakan oleh umat. Bila senantiasa menerima dana tapi malas mempelajari dan mempraktikan Buddhadharma, pasti batinnya merosot, liar dan jahat; Apabila dana pemberian para umat disalahgunakan untuk kesenangan diri, untuk mengumbar hawa nafsu, hidup mewah dan pelihara geng untuk melakukan aksi kejahatan untuk memenuhi ambisi pribadinya, sehingga dosa dan karma buruknya meluas. Apabila karma buruknya bila sudah menumpuk maka bunga karmanya akan berakibat langsung sakit keras (tubuhnya banyak di operasi) atau terkena bencana, dan kelak setelah mati buah karmanya pasti terjatuh masuk ke neraka.
Adalah lebih baik bagi seorang Bhikkhu untuk menelan bola besi yang panas membara. Daripada menerima dana makanan dari umat. Apabila ia tidak memiliki moral, dan tidak dapat mengendalikan pikiran, juga ucapan dan perbuatannya! (Dhammapada XXII, 308)
Lihatlah ciri para Bodhisattva, apakah mereka gundul kepalanya? Apakah mereka bercirikan pria dan memakai pakaian rahib? Tentu jawabannya bisa bervariasi. Lihatlah Bodhisattva Vimalakirti berpenampilan umat awam perumah tangga, tapi ia seorang Maha Bodhisattva telah banyak mengajari para Sramana-suci. Lihat pula Penampilan Avalokitesvara Bodhisattva, Manjusri Bodhisattva, Samanthabadra Bodhisattva, Maha Bodhisattva dan Mahasattva lainnya, semuanya berpenampilan sebagai orang awam. Tetapi kesucian dan karya agung mereka sungguh gemilang dan sulit dikatakan! Kenyataannya memang banyak Bodhisattva pada umumnya kepalanya tidak gundul, berpakaian seperti orang awam, banyak yang menjelma jadi perempuan, tapi kearifan, kesucian dan kemuliaannya sungguh luar biasa, karya-baktinya dan perjuangannya sungguh teramat luhur dan agung, yaitu: mencari dan mendengar keluh-kesah semua penderitaan makhluk. Mereka menjelma dengan berbagai rupa tanpa melekat kepada ciri dan pamrih untuk menolong dan membimbing semua makhluk untuk keluar dari lautan Samsara (derita) demi kebahagiaan hakiki semua makhluk. Coba renungkan! Buddha kepalanya tidak gundul. Para Bodhisattva kepalanya berambut, kenapa banyak bhiksu dan umat bernamaskara dan memujanya? Kepala gundul atau kepalanya berambut bukanlah cerminan pasti yang menandakan kesucian atau bukan kesucian. Melainkan dinilai dan dibuktikan oleh sikap-perilakunya dan perjuangannya! Oleh karena itu, janganlah terjebak segala ciri, lihatlah kesucian dan karya agungnya!
Ciri-ciri seseorang yang bukan dijalan Bodhisattva: “Jika tubuh ini dipandang sebagai milikku, hasilnya karma-tubuh; Jika ucapan ini dipandang sebagai ucapanku, hasilnya karma-ucapan; Jika pikiran ini dipandang sebagai pikiranku, hasilnya karma-pikiran. Jika ketamakan menyertai, sila dilanggar, kemarahan timbul, dan kelemahan, gangguan, dan cara berpikir yang jahat menentang Enam Paramita. Ini bukanlah “Jalan Para Bodhisattva”. (Prajnaparamita-sutra)” [keterangan: Enam Paramita: 1. Dana-paramita; 2. Sila-paramita; 3. Khanti-paramita; 4. Virya-paramita; 5. Samadhi-paramita; 6. Prajna-paramita.]
Ingat! “Sebagai masyarakat Buddhis kita harus membela kebenaran dan kebajikan, bukan membela ciri tanpa kebenaran dan kebajikan [seperti ciri sang aku berupa figur sebagai anggota sangha atau umat awam; ciri kepribadian (etnis, gelar, jabatan); ciri keusiaan (tua-muda, senior-yunior, sisilah generasi, vassa kebhiksuan); dan ciri segala makhluk (manusia atau bukan manusia)], seperti yang disabdakan dalam Sutra Intan: “Segala ciri adalah khayal; Bila dapat melihat ciri bukan sebagai ciri barulah melihat Tathagata”.
Kenyataan dari sejak jaman Hyang Buddha sampai jaman sekarang pasti ada segelintir sramana penjelmaan Iblis Mara, bersekutu atau berperilaku seperti Dewa Mara penggoda dan pengganggu. Karena jaman kemunduran Dharma yang terjadi sekarang ini maka bermunculanlah sramana yang sulit belajar suci tetapi mudah belajar jahat. Di antaranya sekian banyak sramana, ada sebagian yang mengusai ilmu hitam dan bersifat jahat tapi berlagak sok suci, walaupun penampilan seperti Bodhisattva tapi perilakunya seperti Asura-jahat. Sering mengatakan: orang lain sesat dan dirinya paling benar. Ajarannya paling murni diluar ajaran semua adalah sesat.
Siapapun Bisa Suci & Berkewajiban Menumbuh-kembangkan Agama Buddha
Sesungguhnya makhluk berjenis apa pun bisa suci asalkan pandangannya lurus dan pikiran benar, dapat melepaskan segala nafsu, khayal dan kemelekatan. Bukan karena ditinjau dari ciri, jenjang dan gelar tingkatan, vassa, jenis kelamin dan sisilah keturunan seseorang baru bisa disebut makhluk hebat yang dapat memimpin agama Buddha. Melainkan semua orang termasuk sramana dan umat awam (kadang-kadang memang penampilan umat awam tapi bisa saja penjelmaan Bodhisattva) yang memiliki kearifan tinggi, praktisi teladan, orang berkebajikan tinggi atau orang yang mampu secara finansial, berwibawa, berpengaruh, disegani dan berdedikasi dan dapat memberikan kontribusi yang tinggi saja, selain itu dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik saja yang seharusnya dipilih dan ditunjuk untuk memimpin organisasi besar agama Buddha. Bagi siapa saja yang tidak memiliki rejeki besar dan kearifan, tidak melaksanakan sila dan vinaya secara baik dan benar, tidak melaksanakan kehidupan benar janganlah berambisi menduduki jabatan tertinggi dalam tubuh agama Buddha. Berikanlah kesempatan kepada yang layak, berhak, dan pilihlah yang tepat dan berguna serta mampu bekerja secara optimal dan maksimal untuk mengabdi dan membaktikan diri untuk kemajuan agama Buddha. Ingatlah! Janganlah mencoba merintangi, mengacaukan dan menggagalkan usaha mulia orang tersebut, karena secara langsung maupun tidak langsung dapat mengacaukan, merusak dan meredupkan masa depan agama Buddha. Akibatnya kelak ia pasti menderita di alam sengsara dan semua makhluk juga menderita karena tidak dapat mendengarkan ajaran mulia.
Apalah artinya sebuah ciri? sebuah nama besar atau gelar apapun dibelakangnya bila ia masih liar dan jahat, tidak tunduk dan patuh kepada sila dan vinaya dan tidak melaksanakannya kehidupan suci secara konsisten? Apalah artinya kepalanya digunduli tapi hatinya masih gondrong (nafsu dan ambisinya masih penuh dengan keserakahan, kebencian dan kebodohan)? Apalah gunanya memiliki kecerdasan dan intelektual bila tidak memiliki moral-etika dan santun yang baik? Sungguh ironis dan tragis bahwa ramalan Hyang Buddha pernah mengatakan di dalam “Sutra Kelenyap Dharma” bahwa kelak agama Buddha akan lenyap oleh tindak-tanduk siswanya sendiri yang menyimpang, karena sikap dan perilaku buruk siswanya yang demikian disebabkan pandangannya dan pikiran juga hatinya yang sesat, sehingga mengundang unsur jahat sehingga dipengaruh dan dirasuk oleh kekuatan iblis atau memang penjelmaan dari keturunan Mara. Keburukan sramana aspal atau jahat tanpa disadari ikut andil dalam merusak dan mengacaukan nama baik, kerukunan dan ketentraman Sangha secara keseluruhan, sehingga keberadaan dan lestarinya agama Buddha ikut tercoreng dan tercemar oleh perilaku buruknya. Tapi kita semua yakin dan berharap semoga masih banyak sramana baik dan benar yang melaksanakan kehidupan suci, tidak terjebak ciri dan berjuang tanpa kenal lelah dan tidak pamrih untuk perkembangan agama Buddha di persada nusantara ini.
Ada ‘Pepatah Buddhis’ mengatakan:
“Membina diri tapi tidak mengendalikan hati, cepat atau lambat jadi siluman berjubah; Mengendalikan hati tapi tidak membina diri, sulit menghindar cibiran banyak orang”.
“Hati sesat Dharma yang dipraktik baikpun menjadi sesat; Sebaliknya hati benar, praktik yang menyimpang pun akan menjadi benar”.
Sesungguhnya Buddhadharma intinya mengajarkan ‘kebenaran mutlak’, bagaimana bisa lenyap dari muka bumi ini? Tetapi karena perilaku buruk dari sebagian sramana, tentu menimbulkan efek dan berpengaruh besar, yaitu: umat takut beragama Buddha, tidak tertarik belajar agama Buddha, tidak mempraktikkan agama Buddha, tidak melestarikan agama Buddha sehingga agama Buddha cepat atau lambat akan ditinggali dan dilupakan oleh umat, akibatnya kuantitas dan kualitas umat Buddha menurun dan lambat-laun ciri-ciri keberadaan dan keagungan agama Buddha akan redup dan sirna dari muka bumi ini.
Hormati Perbedaan & Singkirkan Pembedaan
Aneh! Banyak sramana yang tidak bisa akur dengan sramana lainnya karena alasan sektenya berbeda atau organisasinya berbeda. Begitupula banyak umat Buddha yang merasakan paling benar dan murni, mempunyai sikap dan perilaku risih, rikuh dan menjauhi umat Buddha yang tidak se-Dharma (berbeda sekte). Tetapi mereka bisa akur, rukun dan bersinergi dengan tokoh atau umat Non-Buddhis. Lihatlah di saat Hari Trisuci Waisak dan perayaan agama Buddha lainnya, mereka bisa mengundang tokoh-tokoh agama lain (Non-Buddhis) tapi tidak pernah mengundang tokoh-tokoh agama Buddha yang berbeda sekte atau berlainan organsasi Buddhis. Sungguh naif dan lucu bisa rukun dengan tokoh dan umat agama lain (non-Buddhis), tapi menjauhi bahkan memusuhi tokoh umat Buddha yang berlainan sekte atau berlainan organisasi.
Layakkah Sramana Buddhis mempunyai sikap dan perilaku demikian? Pantaskah umat Buddha berbuat demikian? Tentu tidak! Kenyataannya Buddhadharma tidak terbatas, jenis, jodoh, kesadaran dan karma semua makhluk berbeda. Untuk itu, kita harus “Menghormati Perbedaan, dan Menyingkirkan Pembedaan” kita harus berjiwa besar dan berlapang dada menerima perbedaan yang ada. Ingat! kita harus menyadari bahwa umat Buddha di Indonesia adalah kelompok minoritas bukan mayoritas, bagaimana pula di beda-bedakan, disekat-sekat atau dipecah-pecah lagi, kelompok apa lagi jadi nantinya?
Kita sebagai kelompok minoritas tentu harus tahu diri dan tahu malu, janganlah egoisme dan untuk memenuhi ambisi dan kepentingan pribadi atau kelompok, kita tega menyekat-nyekat, mengkerdilkan dan mengebirikan lagi perkembangan agama Buddha. Seharusnya tokoh umat Buddha bisa arif dan berpandangan luas, untuk merukunkan dan mengembangkan kuantitas dan kualitas umat Buddha, bukan malah mengkotak-kotakkan dan memecah-belah umat Buddha, sehingga umat menjadi bingung, resah dan kacau.
Di dalam kelompok masyarakat Buddhis kita bisa melakukan “Dharma-Agama” secara masing-masing, melaksanakan ritual maupun seremonial secara sekte atau tradisi masing-masing sesuai keyakinan dan alirannya. Tetapi di Tingkat Nasional seharusnya kita musti bisa bersatu, menyatu, rukun dan bersinergi satu lainnya untuk melaksanakan “Dharma Negara” menunjukkan indentitas kebersamaan dan kekuatan dimata Pemerintah Pusat maupun pemerintah daerah bahkan ditingkat dunia internasional, dengan cara menghormati perbedaan dan menyingkirkan pembedaan, demi membangun citra, kerukunan dan perkembangan agama Buddha. Apabila organisasi Buddhis yang minoritas, ditambah lagi terpecah-pecah dan tidak rukun tentu mudah dirusak, di adu-domba, di anak-tirikan atau dihancurkan oleh pihak-pihak lain yang tidak menghendaki agama Buddha dapat tumbuh dan berkembang dipersada nusantara ini. Juga ketidakrukunan umat Buddhis yang minoritas dapat menunjukkan kualitas sramana, tokoh dan umat Buddhis di Indonesia belumlah dewasa cara berpikir dan belum arif dalam memimpin perkembangan agama Buddha. Oleh karena itu, menjadi tugas dan kewajiban kita semua untuk mengembangkan agama Buddha dengan cara “Menghormati Perbedaan dan Menyingkirkan Pembedaan”. “Mengembangkan Buddhis inklusif dan menjauhkan Buddhis eklusif, agar siswa dan umat Buddha bisa hidup rukun-harmonis, bangga dan bahagia beragama Buddha, sekaligus dihormati dan di segani oleh umat non-Buddhis lainnya”.
Pepatah mengatakan: Terimalah dan hormati perbedaan yang ada; Janganlah perbedaan di bedakan oleh pembedaan lagi, karena dapat merusak kesatuan dan persatuan. Pembedaan dapat melahirkan perpecahan dan pertikaian. Ajaran yang baik kita hormati, tetapi ajaran yang menyimpang jangan dimusuhi, melainkan kita sadarkan untuk diperbaiki. Bila masih tidak mau perbaiki, maka mereka sungguh bodoh. Jangan karena keberadaan orang bodoh kita ikut jadi bodoh, jangan karena mereka sesat kita ikut jadi sesat karena memunculkan permusuhan dan antipati. Seharus yang berjodoh kita selamatkan, yang belum berjodoh kita bahagiakan. Demikianlah orang arif bersikap dan berperilaku.
Kebersamaan mendatangan pujian; Egoisme mendatangkan celaan; Prestasi dihormati banyak orang; Kekalahan memang dicibir orang tapi mengalah bukan berarti kalah, karena bersedia berkorban untuk kebaikan bersama maka disegani dan dimuliakan oleh banyak orang; Pejuang sejati mengorbankan dirinya untuk memuliakan agama; Penjahat mengorbankan agama untuk kepentingan dirinya (kelompoknya) sendiri.
Penutup
Demikianlah artikel “Siapakah yang layak memimpin organisasi besar agama Buddha dikupas dan diangkat kepermukaan untuk diketahui oleh siswa maupun umat Buddha, agar berpandangan luas dan arif, untuk kembali bersatu dalam persatuan umat Buddha, agar agama Buddha dapat tumbuh berkembang demi keselamatan dan kebahagiaan semua makhluk.
Penulis telah berusaha sebaik mungkin menyajikan artikel ini untuk niat dan tujuan yang baik demi tercapainya kerukunan umat Buddha. Apabila didalam artikel ini ada tulisan yang kurang berkenan hati atau telah menyinggung perasaan siapapun juga, penulis kiranya memohon maaf yang sebesar-besarnya semoga dapat dimaklumkan. Akhir kata, semoga kita semua dapat bersama merangkul perbedaan menjadi sinergi dan kekuatan bersama untuk menumbuh-kembangkan agama Buddha, memperbaiki citra agama Buddha dan mencemerlangkan kejayaan kembali agama Buddha, sadhu-sadhu-sadhu. ***