Togetherness In Humanity (Kebersamaan Dalam Kemanusiaan)

(Oleh YM Bhiksu Tadisa Paramita Mahasthavira)

Di era modern ini, dimana Hak Azasi Manusia (HAM) atau dikenal dengan sebutan humanisme perlu mendapatkan perhatian serius oleh semua pihak. Humanisme adalah paham yang menyatakan bahwa kemanusiaan berada di atas segala-galanya. Dalam humanisme tidak dibenarkan lagi sikap perilaku intimidasi, pelecehan, penindasan dan pembunuhan karakter-karakter kemanusiaan manusia.

Pada milenium ketiga ini, peringatan HAM semakin penting mengingat penghargaan terhadap nilai-nilai humanisme mengalami degradasi berkelanjutan. Dengan kata lain, aksi-aksi dehumanisme menunjukkan skala yang semakin meningkat tahun demi tahun.

Peningkatan skala dehumanisasi itu terungkap dalam tiga fakta global.
Fakta Pertama, semakin meningkatnya tindakan kejahatan yang mengancam nyawa manusia. Menurut hasil kajian Francis Fukuyama sebagaimana diperlihatkan dalam buku The Great Disruption (1999), peningkatan kejahatan tersebut menonjol, tidak saja di negara-negara berkembang yang ditimpa kesulitan ekonomi, tetapi juga terjadi di negara-negara maju.

Tetapi sinyalemen Fukuyama menunjukkan bahwa ancaman humanisme yang terjadi akibat tindakan negara-negara maju, memiliki skala yang jauh lebih luas dibandingkan dengan di negara- negara berkembang. Alasan Fukuyama menyatakan demikian bersandar pada orientasi tindakan kejahatan serta instrumen yang dipakai negara-negara maju.

Orientasi kejahatan di negara-negara berkembang yang dilakukan oleh baik individu maupun kelompok, lebih condong pada pemenuhan kebutuhan ekonomis belaka dan bersifat aksidental. Sementara orientasi tindakan negara-negara maju terkait dengan perluasan kekuasaan dan ekonomi, dan ini melibatkan negara-negara yang tidak berkembang sebagai korban.

Fakta Kedua, ketidakadilan sosial yang semakin menonjol dalam bidang ekonomi. Sadar atau tidak, dewasa ini kegiatan ekonomi hanya dikuasai oleh segelintir orang. Karena itu pula bonum communae (kesejahteraan umum) yang menjadi cita-cita bersama manusia modern nampaknya semakin jauh dari kenyataan. Sebaliknya, kemiskinan justru semakin menghantui manusia di seantero dunia yang kuantitasnya semakin bertambah terus menerus.

Asumsi etis pasar bebas yang digaungkan oleh Adam Smith dalam The Wealth of Nations (1776) bahwa kegiatan ekonomi (baca: perdagangan bebas) adalah demi perwujudan simpati manusia untuk turut memenuhi kebutuhan sesama, nyatanya telah berbalik arah. Ekonomi pasar bebas lebih merupakan upaya legitimasi hukum rimba yang dulunya amat ditentang. Artinya semboyan “siapa yang kuat itulah yang menang” justru dilegalisasi sebagai prinsip bersama. Dan, upaya legalisasi ini muncul dari kaum borjuis di negara-negara maju yang menguasai perdagangan global.

Dalam aras ini, negara-negara miskin akan menjadi korban gilasan pasar bebas. Ini merupakan ketidakadilan sosial yang bersifat global. Tidak bisa dinyana, kondisi ini merupakan ancaman kemanusiaan yang mengkhawatirkan. Melihat kondisi seperti ini, cukup beralasan bila Noam Chomsky dalam Global Order: Neoliberalisme anda Global Order (1999) menyatakan bahwa neoliberalisme ekonomi merupakan penindasan terhadap tatanan humanisme baru di era modern ini. Bahkan, Susan George melihat ketidakadilan pasar bebas sendiri terletak pada usaha menjual kekuasaan negara dan demokrasi serta hak-hak masyarakat sipil kepada kapitalisme global.

Fakta ketiga adalah sebagai konsekuensi dari ketidakadilan sosial yang bersifat global itu. Lahirnya ideologi baru yang di internalisasikan oleh segelintir orang yang berbasis fundamentalisme. Ideologi baru itu adalah terorisme. Sejak tragedi 11 September 2001, eskalasi tindakan terorisme semakin meningkat. dan ideologi ini semakin mengkhawatirkan dan menakutkan di era sekarang.

Kebersamaan Dalam Pembaharuan Sosial
Berhadapan dengan situasi global yang kacau tidak menentu itu maka diperlukan satu upaya strategis yang paling penting dan vital, yaitu: kebersamaan dalam pembaharuan sosial akan komitmen bersama untuk memihak nilai-nilai kemanusiaan.

Itu berarti, komitmen ini tidak saja datang dan menjadi fokus perhatian aktivis-aktivis kemanusiaan, melainkan lebih-lebih menjadi gerakan para pengambil kebijakan di berbagai belahan di dunia ini. Artinya, penguasa-penguasa negara perlu membaharui kebijakan-kebijakan yang dibuatnya terkait dengan kemaslahatan orang banyak untuk meminimalisasi tiga fakta di atas.
Dalam upaya tersebut, komitmen pada butir-butir etika global yang digulirkan oleh Dewan Parlemen Agama-Agama 12 tahun lalu masih tetap aktual menjadi perhatian bersama. Dari paparan Hans Kung pada Global Ethics (1993), penulis melihat ada lima butir nilai etis mendasar yang sangat perlu mendapat perhatian global untuk menghargai humanitas di era sekarang.

Nilai etis pertama adalah komitmen pada budaya non-kekerasan dan hormat pada kehidupan. Ini berarti setiap pengambil keputusan dan setiap individu memiliki tanggung jawab untuk memperjuangkan kehidupan setiap insan di dunia ini menurut peran masing-masing.

Nilai etis kedua adalah komitmen pada budaya solidaritas. Untuk memperjuangkan nilai humanisme tidak bisa berhasil dengan upaya pribadi dan kelompok belaka, melainkan harus dilakukan secara bersama-sama. Untuk itu komitmen bersama untuk menempatkan solidaritas sosial sebagai pijakan sangatlah penting.

Nilai etis ketiga adalah tata ekonomi dunia yang adil. Sebagaimana sudah dijelaskan di atas bahwa salah satu ancaman besar dewasa ini adalah ketidakadilan sosial di bidang ekonomi yang menimpa manusia. Muaranya adalah kemiskinan. Ancaman kemanusiaan ini hanya bisa diatasi kalau tatanan ekonomi global yang adil menjadi perhatian serius secara bersama-sama. Wujudnya, hasil dan kegiatan ekonomi tidak bisa hanya dirasakan dan dikuasai oleh segelintir orang atau negara tertentu, melainkan harus dapat dirasakan dan melibatkan semua orang. Untuk itulah komitmen para penguasa negara, khususnya negara-negara maju sangat diharapkan.

Nilai etis keempat adalah komitmen pada budaya toleransi dan hidup yang tulus. Dua nilai etis ini merupakan prinsip mendasar untuk mengurangi kejahatan kemanusiaan di era global ini, bukan penggunaan senjata dan politik balas dendam. Dengan kata lain, penghayatan akan budaya toleransi dan hidup yang tulus justru memungkinkan hidupnya rasa kemanusiaan dalam interaksi sosial.

Nilai etis kelima adalah pengakuan atas kesejajaran hak antara laki-laki dan kaum perempuan. Paradigma etis ini nampaknya masih belum menjadi sebuah kenyataan. De facto kaum perempuan tetap saja ditempatkan pada posisi marginal dalam tata sosial, eksploitasi terhadap mereka masih menjadi pemandangan di era global ini. Dehumanisasi ini tentu hanya bisa dikurangi kalau ada kesadaran dan komitmen bersama untuk mengakui peran bersama di antara keduanya. Artinya, nilai kesetaraan di antara keduanya menjadi penting.

Jadi, komitmen bersama pada prinsip keadilan sosial dalam bidang ekonomi, solidaritas, sikap toleran dan ketulusan hidup serta pengakuan kesetaraan merupakan sikap dasar esensial yang diperlukan di era cyberspace ini, demi penghargaan terhadap nilai-nilai humanisme. Setiap insan di muka bumi ini memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan ini. Karena itulah, kesadaran dan kerjasama global menjadi sesuatu yang penting.

Fungsi & Peran Agama Buddha Dalam Kemanusiaan
Menengok berbagai peristiwa historis Hyang Buddha Sakyamuni disaat lahir, menjadi seorang pertapa, mencapai kesempurnaan, membabarkan Dharma ajarannya, dan mangkatNya (Mahaparinirvana) semua terjadi dan dilakukan di dunia manusia di muka bumi ini. Ajaran utamanya ditujukan untuk kebaikan umat manusia, menggunakan bahasa manusia, untuk menata kehidupan yang bermanfaat bagi manusia, meningkatkan harkat dan martabat manusia, mengajarkan berbagai metode untuk mencerahkan pikiran manusia, memperjuangkan kebahagiaan hakiki dan keselamatan umat manusia, dan totalitas kesempurnaannya mencapai tingkatan manusia-Buddha. Begitupula ciri-ciri ajaran Buddhadharma berlandaskan humanistik, datang, lihat dan buktikan untuk kebaikan umat manusia, bukan cerita dongeng abstrak yang menciptakan ketahayulan dan kepercayaan buta. Semua realita ajaran, perjuangan dan buah karya Guru Agung Buddha dapat disimak dan dibuktikan dalam kitab suci Maha Tripitaka Buddhis.

Agama dan kemanusiaan dapat dikelompokkan sebagaimana apa yang disebut dengan Religiusitas. Para ahli menyebutkan bahwa Religiusitas ditandai dengan sikap moral yang luhur, ketulusan, dan kepekaan yang membuat seseorang bersedia berkorban untuk mengekpresikan Bodhicitta (keluhuran pikiran) terkait dengan tanggung jawab terhadap kemanusiaan dan kehidupan.

Orang sering menafsirkan bahwa apa yang disebut religius adalah agama, padahal apa yang disebut sebagai agama lebih menunjuk kepada kelembagaan, kebaktian dalam aspeknya yang formal, ajaran termasuk tafsir kitab-kitab suci, peraturan atau hukum-hukumnya, dan keseluruhan perangkat organisasi yang melingkupi segi-segi kemasyarakatan. Sedangkan  religius, mengatasi atau lebih dalam dari agama yang tampak formal. Religius lebih melihat aspek di dalam lubuk hati, getaran hati nurani pribadi; sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, karena bernafaskan intimitas jiwa, cita rasa yang mencakup totalitas kedalaman isi pribadi manusia, termasuk rasio dan rasa manusiawinya.

Perbedaan agama Buddha dan agama lain adalah ajaran Buddha menyatakan semua nasib manusia, kehidupan dan lingkungan dibentuk oleh sebab akibat dari kecenderungan pikiran dan ulah perbuatan manusia itu sendiri di tiga masa. Sedangkan agama lain mengajarkan bahwa semua bentuk, kondisi manusia dan kondisi alam semua diciptakan, ditakdirkan dan berpulang kepada kekuasaan Tuhan yang dipersonalkan. Sesungguhnya ajaran hakiki Buddha bukan berbentuk agama bukan pula bukan agama, karena kebenaran Buddhadharma bersifat non-dualitas, dan kebenaran absolut tidak terkatakan. Tetapi karena Buddhadharma untuk keperluan manusia dan mau dikembangkan di dunia sehingga dibutuhkan bahasa manusia, berdasarkan kemampuan manusia dalam konteks dunia relatif, juga berkaitan kemampuan nalar dan kearifan umat manusia yang masih minim dan terbatas maka Buddhadharma dijadikan sementara waktu sebagai “agama” pada umumnya. Bagi para bijaksanawan menyatakan Buddhadharma adalah sebuah ajaran dan pendidikan sempurna yang arif, realita, fakta dan efektif untuk peroleh kebahagiaan dan keselamatan umat manusia.

Perlu diketahui, kalaupun Undang-undang Hak Azasi Manusia (HAM) yang dibuat oleh manusia duniawi kiranya hanya sebatas normatif menghormati, kesetaraan, keadilan dan memenuhi hak-hak kemanusiaan saja, tapi belum  menyentuh subtansi dasar mengajar dan mengembangkan moral-etika kemanusiaan, jalinan hubungan horizontal dan vertikal kalangan manusia, nurani kebajikan kemanusiaan, dan potensi spiritual kemanusiaan. Sedangkan ajaran Buddhadharma lengkap dan sempurna untuk melindungi dan membimbingan bagi kebaikan dan kesempurnaan kemanusiaan dimulai mengajarkan bagaimana menjadi manusia-manusia (manusia bermoral), manusia-bajik (manusia dewa), manusia-mulia (manusia petapa), manusia-suci (manusia Arahat), manusia-Bodhi (manusia-Bodhisattva), sampai tingkatan tertinggi, yaitu: menjadi manusia-sempurna (manusia-Buddha).

Dalam ajaran Mahayana suatu aliran dalam Buddhisme menyebutkan bahwa cita-cita religius Bodhisatva adalah melenyapkan penderitaan semua makhluk secara tuntas. Umumnya ikrar agung para Bodhisatva tidak mau mencapai ‘Nirvana-total’ selagi masih ada makhluk yang menderita. Tentu para Bodhisattva harus melenyapkan ego, nafsu dan pamrih dalam perjuangan menolong semua makhluk, sebabnya semua makhluk dijadikan sebagai mandala pelatihan untuk mencapai kesempurnaan Buddha. Walaupun Bodhisattva hidup dan perjuangannya di dunia, tapi mereka tidak terjebak dan melekat kepada dunia, bagaikan bunga teratai tumbuh dan hidup di lumpur tapi tidak ternoda di lumpur. Bodhisattva sudah membebaskan dirinya dari belenggu nafsu duniawi, bebas dari penyakit yang di namakan ketidak-tahuan, dan bebas dari kelahiran kembali (tumimbal lahir), hanya terus ber-reinkarnasi (lahir kembali berdasarkan tekad dan kemampuan memilih) untuk menolong semua makhluk guna menyempurnakan segala paramitanya. Di jaman kerusuhan ini di saat periode kemerosotan Dharma, alangkah baiknya para  pemimpin dan pelindung dunia termasuk ’Manusia-Bodhisattva’ dimana saja berada, marilah bersatu teguh menyamakan visi dan misi, menjalin kerja sama, merajut kebersamaan dalam menegakkan kebenaran dan menerangi kegelapan dunia, agar kehidupan umat manusia masih normal, baik dan benar juga kondisi bumi sebagai lingkungan hidupnya masih tertib, aman dan nyaman untuk dihuni.

Lima Pengembangan Pelatihan (Panca Vidya):
Upaya untuk menolong makhluk hidup, para Bodhisattva haruslah melengkapi dirinya dengan kemampuan yang luas dan baik serta sangat terpelajar. Agama Buddha meminta para Bodhisattva untuk menjalani lima pelatihan (panca vidya), sebagai berikut:
1.    Sabdavidya: memahami dan pelatihan fonologi dan ilmu tata bahasa dan mengarang.
2.    Sipakarmasthanavidya: memahami dan pelatihan seni, segala jenis teknologi, matematika, dan pengetahuan mengenai astronomi, astrologi, dan lain-lain.
3.    Cikitsavidya: memahami dan pelatihan sains (ilmu pengetahuan) pengobatan.
4.    Hetuvidya: memahami dan pelatihan tentang sebab-musabab segala hal.
5.    Adhayatmavidya: memahami dan pelatihan ajaran agama Buddha. (berbagai ajaran dan metode yang terdapat di kitab suci Maha Triptaka)

Kelima pelatihan ini adalah subjek yang pokok yang harus dipelajari oleh para Bodhisattva. “Memperluas pengetahuan seseorang” dan ‘penuh kasih sayang dan sungguh-sungguh’, adalah persyaratan utama menjadi seorang Bodhisattva. Aliran Buddha Mahayana mengajurkan agar seseorang mempelajari ‘apa yang sulit dipelajari dan mempelajari apa saja’. Di dalam Sutra Ta Shen Cuang Yen Cing Lun, bagian kelima disabdakan: “Bilamana tidak rajin melatih Panca Vidya, maka tidak diperoleh semua ragam kearifan untuk mencapai kesempurnaan”.

Tercatat dalam percakapan antara Kaisar Tiongkok yang bernama Liang Wu Ti dengan Patriach Bodhidharma (527 M), percakapan itu memberikan gambaran bahwa sikap dan praktik formal keagamaan tidak identik dengan religiusitas. Kaisar berkata, sejak ia naik takhta, ia telah mendirikan banyak vihara, menyalin banyak kitab suci, memberi dana yang tidak sedikit kepada anggota Sangha. Bukankah ia telah banyak melakukan kebajikan? Menurut Patriach Bodhidharma, kaisar belum benar-benar melakukan kebajikan hakiki. Apa yang dilakukan oleh kaisar lebih merupakan kesibukan kebajikan duniawi saja. Sedangkan kebajikan yang sejati ada dalam kesadaran, kesucian yang sempurna. Intinya adalah kekosongan (sunyata), yang tak dapat diraih dengan cara-cara duniawi. Kepada orang-orang yang terikat kepada kitab suci, Patriach Bodhidharma mengatakan bahwa Buddha tidak dapat ditemukan dalam kitab atau dalam kegiatan ritual belaka saja, melainkan melihat dan menembusi  ke dalam  hatinya sendiri, disitulah kita akan bertemu dengan natural-Buddha.

Kebersamaan Dalam Ajaran Buddhadharma
Untuk membangun kebersamaan dalam konteks kemanusiaan maka diperlukan pemahaman, tekad dan praktik nyata, antara lain:

4 jenis kualitas menguntungkan komunitas (Sansekerta: Samgrahavastu; Pali: Sanghavatthu)
Adalah persyaratan untuk persatuan komunitas (masyarakat). 4 macam kualitas ini adalah metode yang dipakai oleh para Bodhisattva dalam pelatihan mereka berhubungan dengan para makhluk. seperti:
1.    Kemurahan hati (dana). Peduli dan ringan tangan membantu kesulitan makhluk lain.
2.    Ucapan yang baik (Priyavaca). Kata-kata yang bermanfaat, menyenangkan dan disampaikan dengan tutur kata yang baik.
3.    Perbuatan yang bermanfaat (Arthacarya). Perbuatan yang efektif dan bermanfaat, tidak merugikan siapapun juga.
4.    Kerjasama (samanatmanta). Kerja sama yang bermanfaat, adil dan seimbang, sesuai kesepakatan untuk kebahagiaan orang lain.

6 Prinsip Keharmonisan
Keharmonisan berarti adanya keselarasan, keseimbangan dan keserasian. Kebersamaan dibangun dari keharmonisan, tanpa keharmonisan maka sulit terealisasikan kebersamaan yang positif, bermanfaat yang saling menguntungkan. Untuk menciptakan kebersamaan dalam kemanusiaan, maka diperlukan 6 prinsip keharmonisan, yaitu:
1.    Keharmonisan dalam disiplin moral. (taat dan patuh sila-vinaya, malu berbuat jahat dan takut akibat perbuatan jahat).
2.    Keharmonisan dalam pandangan. (pelatihan bersama berdasarkan pengertian yang sama).
3.    Keharmonisan dalam berbagi keuntungan. (membagikan keberuntungan secara adil dan seimbang  dan tidak merugikan).
4.    Keharmonisan dalam perbuatan. (perbuatan baik yang bermanfaat, saling melindungi, tidak melukai satu sama lain).
5.    Keharmonisan dalam ucapan. (ucapan yang bermanfaat yang mengingatkan satu sama lain untuk melakukan kebaikan dan menghindarkan kejahatan).
6.    Keharmonisan dalam pikiran. (pikiran yang positif dan bermanfaat dalam persahabatan dan menghormati peran, pengabdian dan sumbangsihnya masing-masing).

Kemanusiaan yang adil dan beradab hanya bisa dibangun dari kesadaran, kearifan, peran dan kepedulian manusia, serta konsisten dipraktikkan untuk kebaikan manusia. Kebersamaan umumnya dibentuk dari kesamaan pandangan visi dan misi berdasarkan motivasi pikiran Bodhi yang terang dan seimbang. Kebersamaan yang langgeng normatifnya hanya bisa dibentuk dan dilaksanakan apabila manusia sudah terbebas dari keserakahan, kebencian dan kebodohan. Hanya kumpulan manusia arif yang memiliki belas kasih universal dan bekerja tanpa pamrih sajalah yang dapat menjalin kebersamaan secara utuh lahir dan batin, secara tekun, ulet dan gigih guna mengajarkan kebaikan untuk dunia, bagaikan lilin yang rela terbakar untuk menerangi kegelapan dunia.

Sebagaimana tercatat dalam Ovada Patimokha, Guru Agung Buddha mengingatkan adanya intisari yang telah diajarkan selama berpuluh-puluh tahun, adalah: “Tidak berbuat bodoh dan jahat, sempurnakan segala kebajikan dan sucikan hati dan pikiran”. Inilah cahaya kebenaran hakiki sebagai pedoman luhur untuk membangun dan menjalin ‘Kebersamaan dalam kemanusiaan’ sepanjang masa di muka bumi ini. ***

Sumber Referensi:
1.    Komitmen Kebersamaan pada Kemanusiaan, oleh Bpk Kasdin Sihotang, dosen etika, koran suara pembaruan.
2.    Rasa Kemanusiaan, Sdr Hariyono;