Sutra Upaya Kausalya

Pendahuluan
Banyak umat awam belum dan kurang memahami ajaran Buddha Mahayana, karena langkanya sutra-sutra yang berbahasa Indonesia, sehingga cenderung banyak salah informasi dan menjadi salah persepsi dengan sejarah dan riwayat Guru Agung Sakyamuni Buddha. Ada tulisan yang di muat di salah satu koran, seorang praktisi yang bergelar “Dharma Raja”, atau “Buddha Hidup” mengatakan bahwa Pangeran Siddharta sebelum jadi Buddha mempunyai istri, anak dan banyak selir-selir, layaknya seperti dirinya sebelum mencapai kesucian tinggi. Membandingkan dirinya sama seperti Bodhisattva Pangeran Siddharta Gotama. Pandangan dan asumsi demikian sungguh salah dan absurd (tidak masuk akal), mengira bahwa Bodhisttva Pangeran Siddharta sebelum menjadi Buddha merasakan dulu segala kesenangan dunia layaknya seorang pangeran awam yang mengumbar nafsu dan menikmati kesenangan duniawi. Praktisi khayal tersebut belum melihat dan memahami Sutra Upaya Kausalya, sehingga sesumbar dan gegabah mengatakan dirinya sama dengan Bodhisattva Pangeran Siddharta. Untuk meluruskan pandangan dan asumsi tersebut yang salah, maka dipandang perlu adanya usaha untuk mengangkat dan menyebarkan Sutra ini, agar siswa dan umat Buddha bisa memahami sejarah dan riwayat Hyang Buddha yang sesungguhnya dari ucapan Hyang Buddha sendiri di dalam Sutra ini. Untuk itu, silakan disimak, dihayati dan dipahami sabda-sabda Hyang Buddha di dalam Sutra Upaya Kausalya ini.  Harapannya semoga para siswa dan umat Buddha rajin mengembangkan kesadaran dan kebijaksanaan.

SUTRA UPAYA KAUSALYA
I

Demikianlah yang telah kudengar. Pada suatu ketika Buddha bersemayam di vihara di Taman Anathapindika, Hutan Jeta, dekat kota Sravasti, bersama serombongan Bhiksu Agung berjumlah 8.000 orang. Mereka semuanya merupakan Sravaka agung baik yang masih dalam pelatihan diri (saiksa) maupun yang telah di luar pelatihan (asaiksa), berikut 12.000 Bodhisattva-Mahasattva yang semuanya telah memperoleh kekuatan batin (abhijna), segala pengetahuan, dharani, kefasihan lidah tanpa rintangan, kesabaran terhadap semua dharma (dharma-ksanti), dan kebajikan yang tak terhingga.

Pada saat itu, Tathagatha bangkit dari samadhinya dan siap membabarkan Dharma kepada sejumlah makhluk hidup yang tak terhitung jumlahnya, yang sedang mengelilinginya dengan penuh hormat. Kemudian, dalam pesamuhan tersebut, seorang Bodhisattva-Mahasattva bernama Nyanajina (Jhanajina)*1 bangkit dari tempat duduknya, memperlihatkan sebelah bahu kanannya, berlutut dengan lutut kanannya, berajanli ke arah Buddha dan berkata kepada Buddha, “Bhagavan, saya ingin mengajukan sebuah pertanyaan. Semoga permohonan ini diluluskan, karena saya tidak berani mengajukan pertanyaan ini tanpa izin dari Buddha”.

Buddha memberitahukan kepada Boddhisattva Nyanajina, “Putra yang berbudi, tanyakanlah apa yang ingin Anda tanyakan, saya akan menjawab dan memutuskan semua keraguanmu”.

Lalu Bodhisattva Nyanajina bertanya kepada Buddha, “Bhagavan, mengenai upaya kausalya,*2 apakah upaya kausalya dari seorang Boddhisattva? Bhagavan, bagaimana seorang Bodhisattva-Mahasattva melatih diri dalam upaya kausalya tersebut?”

Setelah Bodhisattva Nyanajina mengajukan pertanyaan tersebut, Buddha menyanjunginya dan berkata, “Bagus! Bagus! Putra yang berbudi, demi kepentingan para Bodhisattva-Mahasattva, Anda menanyakan tentang arti dari upaya kausalya. Ini akan memberi manfaat, menenteramkan, dan membahagiakan semua makhluk hidup. Putra yang berbudi, atas dasar cinta kasih demi memberi manfaat, ketenteraman, dan kebahagiaan kepada para dewa dan manusia, dan untuk membantu mereka kelak meraih semua kearifan Bodhisattva dan semua Buddhadharma masa lalu, sekarang, dan yang akan datang, Saya akan menjelaskan kepada Anda. Simaklah dengan penuh perhatian dan renungkan dengan baik”. Bodhisattva Nyanajina mematuhi dan menyimak.

Buddha berkata, “Putra yang berbudi, seorang Bodhisattva yang melatih diri dalam upaya kausalya dapat menggunakan hanya sesuap makanan sebagai sedekah bagi seluruh makhluk hidup. Mengapa demikian? Ketika seorang Bodhisattva yang melatih diri dalam upaya kausalya memberikan sesuap makanan kepada makhluk hidup apapun, bahkan hingga kepada seekor binatang pun, ia melakukannya dengan cita-cita meraih kearifan-mahatahu (sarvajna)*3 dan bertekad sumpah berbagi kebajikan dari pemberian ini dengan seluruh makhluk hidup dengan melimpahkan kebajikan tersebut demi Anuttara-samyak-sambodhi.*4 Oleh karena kedua hal ini — cita-cita meraih semua jenis kearifan dan ketekadan sumpah dalam daya upaya — Bodhisattva tersebut menarik para makhluk hidup menjadi pengikutnya. Putra yang berbudi, ini adalah upaya kausalya yang dilatih oleh seorang Bodhisattva-Mahasattva.

Lagi pula, putra yang berbudi, seorang Bodhisattva-Mahasattva yang melatih diri dalam upaya kausalya bila melihat para makhluk hidup lainnya melatih diri dengan berdana, maka ia bahagia dan berharap berbagi kebajikan dari kebahagiaan tersebut dengan seluruh makhluk hidup dengan melimpahkan kebajikan tersebut demi Anuttara-samyak-sambodhi. Bodhisattva tersebut juga berharap agar pemberi dan penerima dana tidak terpisah dari cita-cita meraih kearifan-mahatahu, sekalipun penerima dana tersebut adalah dari dua kereta.*5 Ini adalah upaya kausalya yang dilatih oleh seorang Bodhisattva-Mahasattva.

“Lagi pula, putra yang berbudi, seorang Bodhisattva-Mahasattva yang melatih diri dalam upaya kausalya bila melihat bunga-bunga, pepohonan atau aneka wangi-wangian yang tanpa pemilik di sepuluh penjuru dunia, maka ia akan mengumpulkan dan mempersembahkannya kepada para Buddha. Ketika ia melihat bunga-bunga, pepohonan atau aneka wangi-wangian yang dulunya pernah dimiliki seseorang tetapi sekarang telah berterbangan dihembus angin, ia akan mengumpulkan dan mempersembahkannya kepada para Buddha di sepuluh penjuru. Ia melatih akar-akar kebajikan ini dengan maksud supaya dirinya dan seluruh makhluk hidup lainnya bercita-cita meraih kearifan-mahatahu. Karena akar kebajikan ini, ia akan memperoleh sila, samadhi, kearifan (trisaiksa) yang tak terhingga, pembebasan, serta pengetahuan dan pandangan dari hasil pembebasan. Ini adalah upaya kausalya yang dilatih oleh seorang Bodhisattva-Mahasattva.

“Lagi pula, putra yang berbudi, seorang Bodhisattva-Mahasattva yang melatih diri dalam upaya kausalya bila melihat makhluk hidup di sepuluh penjuru dunia menerima berbagai karma yang membahagiakan, maka ia akan berpikir, ‘Semoga semua makhluk hidup memperoleh kebahagiaan di dalam kearifan-mahatahu.’ Bila ia melihat makhluk hidup di sepuluh penjuru dunia menderita balasan karma buruk yang menyakitkan, maka atas nama semua makhluk hidup ia akan bertobat menyesali semua dosa-dosa mereka dan menghiasi dirinya dengan tekad sumpah agung, ‘Saya yang akan mengganti dan menerima semua penderitaan dan kesengsaraan semua makhluk hidup, menyebabkan mereka mendapatkan kebahagiaan’. Dengan akar kebajikan ini, [ia dan seluruh makhluk hidup] akan terbebas dari segala penderitaan dan bisa menikmati semua kebahagiaan suci. Ini adalah upaya kausalya yang dilatih oleh seorang Bodhisattva-Mahasattva.

“Lagi pula, putra yang berbudi, seorang Bodhisattva-Mahasattva yang melatih diri dalam upaya kausalya bila menyembah satu Buddha, memberikan penghormatan kepadanya, memberikan persembahan kepadanya, memuliakannya atau menyanjungnya, ia berpikir, “Semua Tathagata memiliki Dharmadatu *6 yang sama, tubuh Dharma (Dharmakaya) yang sama, sila yang sama, samadhi yang sama, kearifan yang sama, pembebasan yang sama, serta pengetahuan dan pandangan yang sama dari hasil pembebasan.’ Dengan pemikiran ini maka ia akan mengetahui bahwa menyembah satu Buddha, memberikan persembahan kepadanya, atau menyanjungnya berarti melakukan perbuatan-perbuatan yang sama terhadap semua Buddha. Bila memberikan persembahan kepada Satu Buddha berarti memberikan persembahan kepada semua Buddha di sepuluh penjuru. Ini adalah upaya kausalya yang dilatih oleh seorang Bodhisattva-Mahasattva.

“Lagi pila putra yang berbudi, seorang Bodhisattva-Mahasattva yang melatih diri dalam upaya kausalya tidak seharusnya menganggap remeh terhadap dirinya bila ia agak lamban dalam belajar.*7 Sekalipun bila ia menguasai hanya satu-empat baris stanza (gatha),*8 ia seharusnya berpikir, ‘Jika seseorang memahami seluruh Buddhadharma, tercakup di dalam makna dari stanza ini.’ Dengan demikian setelah mengetahui secara mendalam, ia tidak akan kendur dalam usahanya menyebarluaskan ajaran ini kepada yang lainnya, atas dasar welas asih, baik di kota besar maupun di desa. Ia melakukannya tanpa mengharapkan imbalan secara materi, nama baik atau pujian, Ia akan bertekad, ‘Saya akan membuat semua makhluk hidup mendengarkan empat baris stanza ini. ’Dengan akar kebajikan dan tekad upaya kausalya ini, ia akan membuat semua makhluk hidup memiliki pengetahuan seperti Ananda dan memperoleh kefasihan lidah seperti Tathagata. Ini adalah upaya kausalya yang dilatih oleh seorang Bodhisattva-Mahasattva.

“Lagi pula, putra yang berbudi, jika seorang Bodhisattva-Mahasattva yang melatih diri dalam upaya kausalya terlahir di keluarga miskin sehingga ia harus mengemis untuk mendapatkan makanan, dan apabila ia hanya mendapatkan sekepal makanan untuk pemberian sedekah kepada seorang bhiksu, ia tidak akan merasa malu oleh hal ini. Sebaliknya ia akan berpikir: ‘Seperti yang dikatakan Buddha, “Mengembangkan pikiran menjadi agung adalah lebih unggul daripada pemberian materi”. Kendati saya memberikannya dengan cita-cita untuk pencapaian kearifan-mahatahu, dengan harapan bahwa dengan akar kebajikan ini saya akan mendapatkan kearifan-mahatahu dan membuat semua makhluk hidup memperoleh tangan berharga seperti yang dimiliki Tathagata.’ Oleh karena ini, ia dikaruniai penuh dengan berkah dari pemberian sila, dan samadhi. Ini adalah upaya kausalya yang dilatih oleh seorang Bodhisattva-Mahasattva.

“Lagi pula, putra yang berbudi, seorang Bodhisattva-Mahasattva yang melatih diri dalam upaya kausalya bila melihat para Sravaka dan Pratekyabuddha mendapatkan banyak persembahan, manfaat, penghormatan, dan pujian, maka ia akan menghibur dirinya dengan dua pemikiran. Apa kedua pemikiran tersebut? Yang pertama adalah karena adanya para Bodhisattva maka muncullah para Tathagata; yang kedua adalah karena adanya para Tathagata baru ada para Sravaka dan Pratekyabuddha. Walaupun para Sravaka dan Pratekyabuddha mendapatkan manfaat dan persembahan, saya masih lebih unggul dari mereka. Apa yang mereka makan adalah milik ayahku, *9 lalu kenapa saya harus mendambakannya? Ini adalah upaya kausalya yang dilatih oleh seorang Bodhisattva-Mahasattva.

“Lagi pula, putra yang berbudi, seorang Bodhisattva-Mahasattva yang melatih diri dalam upaya kausalya dapat mengembangkan semua enam paramita *10 ketika sedang berlatih dalam pemberian dana. Seperti apakah keenam paramita tersebut? Putra yang berbudi, seorang Bodhisattva yang sedang melatih diri dalam upaya kausalya tidak akan kikir bila melihat seorang pengemis, namun penuh dengan kemurahan, ini disebut dana-paramita.*11

“Ia sendiri menjaga sila dan memberikan persembahan kepada mereka yang memegang teguh sila. Ia menasihati mereka yang telah melanggar sila untuk menjaga sila. Setelah menasehati mereka untuk menjaga sila, ia memberikan persembahan kepada mereka. Ini disebut sila-paramita.*12

“Ia melenyapkan dirinya dari kebencian, melatih diri dalam cinta kasih dan welas asih, dan dengan pikiran tanpa kekotoran batin, memberi manfaat bagi makhluk hidup dengan memberi manfaat bagi makhluk hidup dengan memberi sedekah tanpa pilih kasih. Ini disebut Ksanti-paramita.*13

“Bila memberikan dana makanan, minuman, dan obat-obatan, ia penuh semangat dalam tubuh dan pikiran; baik sewaktu datang maupun pergi, sedang bergerak maju ataupun berhenti, sedang membungkuk maupun merentang, sedang menundukkan kepala ataupun mendongkakkan kepala, ini disebut Virya-paramita. *14

“Bila setelah ia mempraktekkan pemberian dana, pikirannya menjadi tenang, gembira, dan terkonsentrasi, ini disebut Dhyana-paramita.*15

“Setelah pemberian dana, ia akan meneliti semua Dharma: siapa yang memberikan dana? Siapa yang menerima dana? Siapa yang menerima balasan dari karma baik tersebut? Setelah merenungkan ini, ia menemukan bahwa tidak ada yang memberikan dana, tidak ada yang menerima dana, tidak ada yang menerima balasan karma tersebut. Ini disebut Prajna-paramita. *16

“Putra yang berbudi, seorang Bodhisattva-Mahasattva yang melatih upaya kausalya dapat dalam cara ini memenuhi keenam paramita”. *17

Lalu Bodhisattva Nyanajina berkata kepada Buddha, “Luar biasa Bhagavan, seorang Bodhisattva yang melatih diri dalam berdana dengan upaya kausalya dapat melaksanakan segala Buddhadharma dan merangkul seluruh makhluk menjadi pengikutnya dengan pemberian dananya”.

Buddha memberitahukan kepada Bodhisattva Nyanajina, “Putra yang berbudi, demikianlah seperti Anda katakan, walaupun ketika seorang Bodhisattva-Mahasattva yang melatih diri dalam upaya kausalya memberikan hanya sedikit, tetapi ia akan memperoleh berkah dan kebajikan yang tak terhingga dan tak terbatas karena kekuatan kebajikan dari upaya kausalya”.

Buddha memberitahukan lagi kepada Bodhisattva Nyanajina, “Putra yang berbudi, bahkan seorang Bodhisattva-Mahasattva sekalipun yang telah mencapai tingkatan non-regresi, *18 ia masih melatih diri dalam berdana dengan upaya kausalya. Ini adalah upaya kausalya yang dilatih oleh seorang Bodhisattva.

“Putra yang berbudi, kadang kala orang-orang jahat bisa mengajak Bodhisattva [untuk mengabaikan makhluk hidup] dengan berkata, ‘Apa gunanya Anda tinggal lama di Samsara? *19 Anda dalam kehidupan ini bisa masuk Nirvana lebih cepat.’ Bodhisattva tersebut seharusnya segera meninggalkan mereka setelah mendengarkan hal ini, dengan pikiran, ‘Saya telah menghiasi diriku dengan tekad agung untuk membimbing dan mengubah (menolong) seluruh makhluk hidup, dan orang-orang ini menyulitkanku. Jika saya tidak tinggal di Samsara, bagaimana saya bisa mengajari dan mengubah para makhluk hidup yang tak terhingga?’”

Bodhisattva Nyanajina bertanya kepada Buddha, “Bhagavan, bagaimana bila ada seorang mahkluk hidup melakukan empat pelanggaran berat *20 karena pikiran yang tidak benar?”

Buddha memberitahukan kepada Bodhisattva Nyanajina, “Putra yang berbudi, jika seorang Bodhisattva yang merupakan seorang bhiksu melakukan empat pelanggaran berat karena pikiran yang tidak benar, Bodhisattva lain yang mahir dalam upaya kausalya dapat melenyapkan sampai habis segala dosa yang dilakukannya. Saya sekarang mengatakan pula bahwa [sebenarnya] tidak ada yang melakukan pelanggaran atau menerima balasan karmanya”.

Bodhisattva Nyanajina bertanya kepada Buddha, “Bhagavan, kapankah seorang Bodhisattva disebut melakukan pelanggaran?”

Buddha memberitahukan kepada Bodhisattva Nyanajina, “Putra yang berbudi, jika seorang Bodhisattva menganut Dharma dari para Sravaka dan Pratyekabuddha, maka ia telah melakukan pelanggaran berat, walaupun ia telah menjalankan Pratimoksa, *21 hanya makan buah-buahan dan rumput-rumputan selama ratusan ribu kalpa dan bisa tabah menerima baik pujian maupun celaan dari mahkluk hidup. Putra yang berbudi, seperti halnya kaum Sravaka tidak bisa mencapai Nirvana dalam kehidupan ini apabila mereka melakukan pelanggaran berat, maka demikian juga Bodhisattva tidak akan memperoleh Anuttara-samyak-sambodhi apabila mereka tidak menghilangkan Dharma Sravaka dan Pratyekabuddha yang telah dianut, tidak melepaskannya dan tidak menyesali perbuatannya. Adalah tidak mungkin bagi Bodhisattva ini untuk mendapatkan Buddhadharma [selama ia tetap berpikiran seperti itu].

Kemudian Y.A.*22 Ananda berkata kepada Buddha, “Bhagavan, pagi ini ketika saya sedang berpindapatta *23 dari rumah ke rumah memasuki kota Sravati, saya melihat Bodhisattva Sattavaryaraja *24 duduk di bangku yang sama dengan seorang wanita”.

Setelah Ananda mengatakan hal tersebut, seketika enam jenis gempa mengguncang bumi. Dari tengah-tengah pesamuhan tersebut melayang ke udara Bodhisattva Sattavaryaraja setinggi tujuh pohon palem dan bertanya kepada Ananda, “Yang Mulia, bagaimana mungkin seorang yang melakukan pelanggaran bisa melayang di tengah udara? Ananda, Anda boleh bertanya kepada Bhagavan mengenai hal ini: ‘Apakah yang di maksud dengan pelanggaran peraturan dan apa pula yang bukan pelanggaran peraturan?”

Kemudian Ananda dengan berlutut pada lutut kanan dan memegang kaki Buddha, berkata dengan penuh kesedihan, “Bhagavan, saya sekarang menyesali kesalahanku. Saya telah mencela seorang Naga agung *25 dengan mengatakan bahwa ia telah melakukan pelanggaran; saya telah mencari kesalahan dari Bodhisattva agung ini. Bhagavan, saya sekarang menyesali kesalahanku, semoga Bhagavan menerima penyesalanku yang tulus ini”.

Buddha berkata kepada Ananda, “Anda tidak seharusnya mencari kesalahan pelanggaran dari para Bodhisattva agung Mahayana. Ananda, kalian Sravaka tinggal di tempat-tempat terpencil melatih Samadhi untuk meraih kegemingan (ketidakgerakkan) batin, untuk tidak mempunyai kesukaran-kesukaran, dan untuk melenyapkan segala kemelekatan. Ananda, seorang Bodhisattva yang melatih diri dalam upaya kausalya ingin mewujudkan kearifan mahatahu sehingga walaupun dihibur dan dilayani dengan segala kemuliaan dan pelayanan di istana, ia tidak akan terpengaruh oleh setan iblis dan segala rintangan, dan ia akan mencapai Anuttara-samyak-sambodhi. Mengapa? Karena, Ananda, seorang Bodhisattva yang melatih diri dalam upaya kausalya tidak menikmati hiburan seperti yang dilakukan oleh para mahkluk hidup, melainkan ia akan membujuk dan membimbing mereka untuk menuju pencapaian Anuttara-samyak-sambodhi melalui Triratna. *26 Ananda, selama para putra berbudi yang mempelajari Mahayana tidak terpisah dari aspirasi untuk mendapatkan kearifan-mahatahu, mereka boleh saja dihibur oleh kelima kesenangan indrawi bila bertemu. Ananda, Anda seharusnya berpikir, ‘Para Bodhisattva tersebut dapat mengembangkan akar dasar yang menuju pada pencapaian Kebuddhaan’”.

Buddha memberitahukan kepada Ananda, “Sekarang, dengarkan dengan penuh perhatian. Mengapa Bodhisattva Sattvaryaraja duduk di bangku yang sama dengan wanita tersebut? Ananda, wanita itu telah menjadi istri Bodhisattva Sattavaryraja selama lima ratus kali kehidupan di masa lampau. Oleh karena kebiasaan asal ini, setelah ia melihat Bodhisattva Sattavaryaraja, hatinya timbul perasaan cinta, melekat tanpa bisa melepaskannya. Bodhisattva Sattavaryaraja memiliki wibawa yang mengagumkan dan ketampanan fisik yang menarik karena kekuatan dari penjagaan sila. Setelah melihat beliau, wanita itu melonjak kegirangan. Sendirian, di tempat yang terpencil, ia berpikir, ‘Jika Bodhisattva Sattavaryaraja bisa duduk di bangku yang sama denganku, saya tentu akan mengembangkan cita-cita meraih Anuttara-samyak-sambodhi’.

Ananda, pada waktu itu Bodhisattva Sattavaryaraja membaca pikiran wanita itu. Setelah mengetahui demikian, keesokan paginya, dengan memakai jubah pertapa dan memegang sebuah mangkuk di tangan, ia memasuki kota Sravasti berpindapata dari rumah ke rumah. Ketika tiba di rumah wanita itu, beliau masuk ke kediamannya, dan langsung berpikir, “Sepertinya yang dikemukakan pintu-Dharma (Dharmaparyaya),*27 unsur tanah bagian dalam dan unsur tanah bagian luar merupakan suatu bagian yang sama, *28 Dengan pikiran mengenai tanah yang demikian, beliau memegang tangan wanita itu dan duduk bersama dengannya di bangku yang sama. Setelah duduk diatas bangku, Bodhisattva Sattavaryaraja berkata dalam sebuah stanza sebagai berikut:

‘Tathagata tidak menyukai
Nafsu keinginan yang dilakukan oleh orang awam.
Seseorang yang melepaskan diri dari nafsu keinginan termasuk cinta,
Baru bisa menjadi guru para dewa dan manusia’”.

Buddha memberitahukan kepada Ananda, “Setelah wanita itu mendengarkan stanza tersebut, hatinya sangat gembira. Segera ia bangkit dari duduknya, memberi hormat (namaskara) dengan bersujud di kaki Bodhisattva Sattavaryaraja, dan berkata dalam sebuah stanza berikut:

‘Saya akan mencabut nafsu keinginan termasuk cinta
Yang sangat ditentang oleh para Buddha.
Karena seseorang yang telah melepaskan diri dari keinginan termasuk cinta,
Baru bisa menjadi guru para dewa dan manusia.’

“Setelah mengucapkan stanza ini, ia berkata, “Saya sekarang terlebih dahulu mesti menyesali nafsu keinginan buruk yang muncul.’ Segera kemudian ia memunculkan keinginan yang baik: mengembangkan Bodhicitta demi kepentingan semua mahkluk hidup”.

Buddha memberitahukan kepada Ananda, “Setelah berhasil membujuk wanita itu untuk mengembangkan cita-cita meraih Anuttara-samyak-sambodhi, Bodhisattva Sattavaryaraja beranjak dari tempat duduknya. Ananda, lihatlah betapa besar berkah yang diperoleh wanita itu karena ketekunannya. Saya sekarang, sebagai seorang Samyaksambuddha, meramalkan bahwa wanita itu akan menjadi seorang laki-laki setelah kehidupan yang sekarang berakhir, dan ia akan memberikan persembahan kepada ratusan ribu Asankhya*29 Buddha yang tak terhitung jumlahnya selama 99 kalpa. Setelah menyempurnakan semua Buddhadharma, ia akan menjadi seorang Buddha dengan gelar Tathagata Vimala-aklesa, Arhat, *30 Samyaksambuddha.31 Setelah Buddha itu berhasil meraih Sang Jalan,*32 tidak akan ada seorang pun [di dunianya yang] memunculkan pikiran yang tidak baik. Ananda, ketahuilah bahwa bila seorang Bodhisattva yang melatih diri dalam upaya kausalya menarik orang-orang untuk menjadi pengikutnya, maka mereka tidak akan jatuh ke dalam tiga alam kehidupan yang jahat. *33

Ketika itu, Bodhisattva Sattavaryaraja turun dari tengah udara, bersujud di kaki Buddha, dan berkata kepada Buddha, “Bhagavan, misalnya, disebabkan oleh perasaan welas asih yang muncul demi membuat seorang mengumpulkan dharma-dharma bajik, seorang Bodhisattva yang melatih diri dalam upaya kausalya tampak seperti melakukan pelanggaran yang cukup besar baginya untuk jatuh ke neraka-neraka besar selama ratusan ribu kalpa. Bhagavan, Bodhisattva ini mampu menahan segala kejahatan dan penderitaan di neraka dengan akar kebajikannya yang bertekad tidak mengabaikan seorang pun.

Kemudian Bhagavan memuji Bodhisattva Sattvavaryaraja dengan berkata, “Bagus, bagus! Putra yang berbudi, seorang Bodhisattva yang telah mencapai pikiran welas asih yang demikian tidak melakukan pelanggaran yang berat, sekalipun ia menikmati lima kesenangan indrawi. Ia tidak melakukan pelanggaran berat, terlepas jauh dari semua pelanggaran dan segala karma yang membuat mahkluk hidup jatuh ke alam-alam kehidupan yang jahat.

“Putra yang berbudi, saya ingat pada waktu asankhya kalpa yang lalu, ada seorang Brahmacarin *34 bernama Jyotiska.*35 Ia melatih perbuatan suci di dalam sebuah hutan terpencil selama empat milyar dua ratus juta tahun. Ketika keluar dari hutan tersebut, ia memasuki sebuah kota yang bernama Sukhavati.*36 Di sana ia bertemu dengan seorang wanita. Setelah wanita melihat Brahmacarin ini yang berwajah tampan dan agung, dalam hatinya timbul perasaan cinta.

Wanita itu segera menghampiri Brahmacarin ini, lalu tangannya memegang kedua kaki Brahmacarin ini, dan bertiarap di atas tanah.

“Putra yang berbudi, ketika itu Brahmacarin bertanya kepada wanita itu, ‘Apa yang saudari inginkan?’

“Wanita tersebut menjawab, ‘Saya menginginkanmu, Brahmacarin’.
“Brahmacarin berkata, ‘Saya tidak melakukan hal yang berhubungan yang berhubungan dengan nafsu keinginan.’

“Wanita itu berkata, ‘Jika Anda tidak mengabulkan permintaanku, saya akan mati sekarang.’

“Putra yang berbudi, ketika itu, Brahmacarin Jyotiska berpikir: ‘Adalah tidak patut bagiku untuk mengabulkannya, terlebih-lebih pada saat ini. Saya telah melatih perbuatan suci selama empat milyar dua ratus juta tahun. Bagaimana bisa saya hancurkan sekarang?’

“Lalu Brahmacarin itu memaksa dirinya untuk meninggalkan wanita itu. Tetapi setelah ia berjalan tujuh langkah, dalam hatinya timbul rasa kasihan kepada wanita itu dan berpikir, ‘Kendati saya melanggar sila, jatuh ke alam yang jahat, saya mampu menahan penderitaan di neraka, tetapi saya tidak sanggup melihat wanita itu menderita sekali. Saya tidak akan membiarkan dia mati karena saya”.

“Putra yang berbudi, karena pemikiran ini, Brahmacarin tersebut balik ke wanita itu. Brahmacarin ini memegangnya dengan tangan kanannya dan berkata, ‘Silahkan berdiri, Anda boleh berbuat sekehendakmu’.

“Putra yang berbudi, lalu Brahmacarin itu menikah dengan wanita tersebut selama 12 tahun. Setelah itu, ia meninggalkan kehidupan berumah tangga dan dalam waktu singkat memperoleh kembali Empat Tak Terbatas. *37 Setelah meninggal, ia kemudian terlahir di Surga Brahma”.

“Putra yang berbudi, janganlah Anda ragu-ragu. Brahmacarin saat itu adalah diriku [di kehidupan yang lampau]. Sedangkan wanita itu adalah Gopa *38 pada kehidupan sekarang.

“Putra yang berbudi, karena saya saat itu, demi memenuhi keinginan wanita itu, timbul belas kasihan dalam hatiku, saya melompati penderitaan Samsara selama satu juta kalpa.

“Putra yang berbudi, seperti yang Anda lihat, para mahkluk hidup akan jatuh ke neraka disebabkan oleh nafsu keinginan, tetapi Bodhisattva yang melatih diri dalam upaya kausalya akan terlahir di alam Brahma [sekalipun ia melakukan hal yang berhubungan dengan nafsu keinginan]. Ini adalah upaya kausalya yang dilatih oleh seorang Bodhisattva.

Buddha memberitahukan kepada Bodhisattva Nyanajina, “Putra yang berbudi, seandainya Sariputra dan Mahamaudgalyayana melatih diri dalam upaya kausalya, mereka tidak akan membiarkan Gokali jatuh ke alam neraka. *39 Mengapa demikian? Putra yang berbudi, saya teringat bahwa pada masa lalu di era Buddha Krakucchanda, *40 ada seorang bhiksu bernama Vimala *41 yang tinggal di dalam sebuah gua di sebuah hutan yang terpencil, tidak jauh dari tempat tinggal lima mahkluk abadi (rsi). *42 Pada suatu hari awan gelap tiba-tiba muncul dan turun hujan lebat sekali. Pada waktu itu, ada seorang gadis miskin yang sedang berjalan di bawah hujan deras ini. Kedinginan karena berpakaian seadanya dan ketakutan, ia memasuki gua yang di tempati oleh Bhiksu Vimala. Setelah hujan berhenti Bhiksu Vimala keluar dari gua bersama dengan gadis ini. Ketika kelima mahkluk suci tersebut melihat hal ini, pikiran mereka timbul prasangka buruk, dan masing-masing berkata kepada yang lain, ‘Ternyata Bhiksu Vimala berhati busuk, licik, dan culas. Ia telah melakukan perbuatan tidak suci’.

“Pada saat itu, karena mengetahui pikiran dari kelima mahkluk abadi tersebut, Bhiksu Vimala meloncat ke tengah udara setinggi tujuh pohon palem. Setelah kelima mahkluk abadi tersebut melihat Bhiksu Vimala naik ke tengah udara, masing-masing berkata kepada yang lain, ‘Menurut buku-buku dan kitab-kitab klasik yang telah kita baca, seseorang tidak dapat terbang naik ke udara seperti yang demikian apabila ia telah melakukan perbuatan yang tidak suci, namun ia mampu melakukan yang demikian bila ia telah melatih perbuatan-perbuatan yang suci’.

“Lalu kelima mahkluk abadi itu bersujud dengan kelima bagian tubuhnya *43 menyentuh tanah di hadapan Bhiksu Vimala, beranjali, dan menyesali kesalahan mereka, tanpa berani menutupinya”.

Buddha memberitahukan kepada Bodhisattva Nyanajina, “Putra yang berbudi, bila ketika itu Bhiksu Vimala tidak menggunakan upaya kausalya yang demikian dengan terbang ke tengah udara, maka kelima mahkluk abadi ini dengan tubuh jasmani ini akan masuk ke alam neraka seketika itu juga. Putra yang berbudi, siapa Bhiksu Vimala itu? Ia tidak lain adalah Bodhisattva Maitreya di kehidupan lampau”.

“Putra yang berbudi, sekarang ketahuilah Anda, jika Sariputra dan Mahamaudgalyayana menggunakan upaya kausalya yang demikian terbang ke tengah udara, Bhiksu Gokali tidak akan jatuh ke alam neraka. Putra yang berbudi, sekarang ketahuilah Anda bahwa para Sravaka dan Pratyekabuddha tidak memiliki upaya kausalya yang dilatih oleh para Bodhisattva-Mahasattva”.
“Putra yang berbudi, sebagai contoh, ambillah seorang pelacur. Ia memiliki enam puluh empat jenis tipuan licik; misalnya untuk memperoleh kekayaan dan harta, ia bisa memikat dan membujuk seorang laki-laki itu akan memberikan kepadanya barang-barang berharga secara berlebih-lebihan. Setelah wanita itu memperoleh barang-barang berharga, ia akan mengusir laki-laki itu pergi tanpa sedikitpun merasa menyesal dan bersalah. Demikian juga putra yang berbudi, seorang Bodhistattva yang melatih dirinya dalam wujud yang mereka sukai dan memberikan dengan sukarela segala sesuatu yang mereka inginkan tanpa keberatan, bahkan tubuhnya sendiri juga akan diberikan. Demi kepentingan seluruh mahkluk hidup, ia senang menciptakan akar-akar kebajikan tanpa mengharapkan balasan karma baik. Begitu ia mengetahui bahwa para mahkluk hidup [yang diajarinya] telah mengembangkan akar-akar kebajikan dan tidak akan mengalami kemunduran lagi, maka tanpa kemelekatan pun ia akan meninggalkan lima kesenangan indrawi yang pura-pura ia nikmati.

“Putra yang berbudi, sebagai contoh, ambillah seekor lebah hitam. Walaupun lebah hitam ini menikmati keharuman dari segala bunga-bunga, ia tidak mempunyai pemikiran untuk menempati atau menjadi melekat pada bunga mana pun, demikian pula ia tidak mengambil daun, tangkai atau pun keharuman dari setiap bunga yang ditinggalkannya. Putra yang berbudi, seorang Bodhisattva-Mahasattva yang melatih diri dalam upaya kausalya demikian juga halnya. Demi mengubah para mahkluk hidup, ia berdiam di dalam lima kesenangan indrawi, tetapi karena melihat dharma [atau fenomena] adalah tidak kekal, sehingga adanya pemikiran ketidakkekalan itu membuat ia tidak memunculkan perasaan suka pada kesenangan indra tersebut. Ia tidak akan mencelakakan orang lain.

“Putra yang berbudi, sebagai contoh, ambillah sebuah bibit kecil. Setelah bertunas, bibit tersebut tidak kehilangan kualitas aslinya dan tidak menunas sesuatu yang berbeda. Demikian pula, putra yang berbudi, walaupun Bodhisattva mungkin memiliki kekotoran batin dan dan menghibur diri dengan lima kesenangan indrawi, tetapi karena ia memiliki bibit-kearifan mengenai kekosongan, ketiadaan corak (animitta), *44 ketiadaan aktivitas, *45 ketiadaan diri (anatman), *46 sehingga ia tidak akan jatuh ke tiga alam jahat, tidak kehilangan kualitas akar kebajikannya, dan juga tidak mundur [dari usaha pencapaian Anuttara-samyak-sambodhi].

“Putra yang berbudi, sebagai contoh, ambillah seorang nelayan. Ia melumurkan umpan pada jaring dan melemparkannya ke dalam sungai yang dalam; ketika keinginannya terpenuhi, ia menarik keluar jaring tersebut. Demikian pula, putra yang berbudi, seorang Bodhisattva yang melatih diri dalam upaya kausalya, mengembangkan pikirannya dengan kearifan dari kekosongan, ketiadaan corak, ketiadaan aktivitas, dan ketiadaan diri. Ia merajut sebuah jaring kearifan ini, melumurkan umpan berupa kearifan-mahatahu dan melemparkannya ke dalam lumpur kotor berupa lima jenis keinginan indrawi. Setelah harapannya terwujud, ia menariknya keluar dari Alam Nafsu (kamadhatu). *47 Pada akhir kehidupannya ia akan terlahir di Surga Brahma (Brahmaloka). *48

“Putra yang berbudi, sebagai contoh, ambillah seorang yang mahir menggunakan mantra. Jika ia tertangkap oleh petugas hukum dan di ikat dengan lima lilitan tali, *49 maka dengan kekuatan pembacaan mantra, dengan segera ia akan memutuskan lima ikatan tali tersebut dan pergi sesuai dengan keinginannya. Demikian pula, putra yang berbudi, seorang Bodhisattva yang telah melatih diri dalam upaya kausalya, kendati bersama-sama dengan para mahkluk hidup lainnya menikmati hiburan dalam lima kesenangan indrawi, namun ia melakukannya dengan tujuan untuk mengubah para mahkluk hidup. Setelah tujuannya tercapai, maka dengan kekuatan mantra dari kearifan-mahatahu, ia akan memutuskan ikatan lima jenis kesenangan indrawi, dan akan terlahir di Surga Brahma.

“Putra yang berbudi, sebagai contoh, ambillah seorang petarung yang mahir dalam seni perang yang menyembunyikan pisau tajam dan mengawal serombongan pejalan kaki. Tidak ada seorang pun di antara kelompok pejalan kaki itu yang tahu akan rencana rahasia dari orang ini. Mereka memandang rendah dan kasihan padanya, tidak menghormatinya, dan masing-masing berkata satu sama yang lain, ‘Ia tidak memiliki senjata, lagi pula ia tidak punya rekan dan bahkan tidak kuat dan bertenaga. Ia bahkan tidak mempunyai kekuatan untuk menolong dirinya sendiri dari bahaya; bagaimana ia bisa menolong orang lain? Adalah tidak mungkin baginya untuk menghadapi perampok jahat. Orang itu pasti mendapatkan berbagai kesulitan’. Ketika segerombol perampok tiba-tiba muncul dari rawa kosong, petarung tersebut berdiri dengan kokoh dan dengan segera manarik keluar pisau yang disembunyikannya. Dengan sekali sabetan ia membunuh semua perampok itu, dan kemudian menyimpan kembali pisau yang dibawanya. Demikian pula, putra yang berbudi, seorang Bodhisattva yang melatih diri dalam upaya kausalya, pandai menyembunyikan pedang kearifannya dan membaur dengan para mahkluk hidup, bersama-sama menikmati hiburan dalam lima kesenangan indrawi demi mengubah para mahkluk hidup. Ketika orang-orang tidak tahu bahwa ini merupakan upaya kausalya dan melihat Bodhisattva tersebut menikmati hiburan dalam lima kesenangan indrawi bersama-sama mereka, pikiran mereka menjadi tercemar, merasa kasihan dan mengiranya sebagai orang yang suka bersenang-senang, dan berkata, ‘Orang seperti itu bahkan tidak dapat menolong dirinya sendiri dari lingkaran Samsara, apalagi menolong semua mahkluk hidup. Adalah tidak mungkin baginya untuk mengalahkan para mara’. Namun Bodhisattva tersebut mahir dalam menggunakan upaya kausalya dan pedang kearifan. Setelah ia mencapai apa yang diinginkan [yaitu mengubah para mahkluk hidup], maka dengan pedang kearifannya ia akan menghancurkan semua penderitaan-penderitaan sampai ke akar-akarnya dan mencapai tanah Buddha yang suci, di mana tidak terdapat wanita pun tidak terdapat pemikiran berupa nafsu keinginan”.

Pada saat itu [ketika Buddha sedang memberikan ceramah], seorang Bodhisattva bernama Maitrikara sedang berpindapata dari rumah ke rumah di kota Sravati, lambat laun mendekati kediaman seorang Sesepuh. Sesepuh tersebut mempunyai seorang putri bernama Adhiguna yang tinggal di sebuah menara tinggi. Segera setelah mendengar suara Maitrikara, gadis tersebut membawa makanan dan keluar untuk memberikannya kepada Bodhisattva Maitrikara. Ketika melihat Bodhisattva tersebut, ia menjadi tertarik pada penampilan yang tampan dan suara yang bagus dari Bodhisattva tersebut. Kemudian perasaan asmaranya segera bangkit. Terbakar oleh perasaan asmaranya yang menggebu, gadis itu mati di tempat oleh sendi-sendi tulangnya hancur berantakan.

Bodhisattva Maitrikara mempunyai juga hasrat badaniah terhadap Adiguna ketika melihat gadis tersebut. Namun pada saat itu juga ia berpikir, “Apakah itu? Itu adalah kemelekatan. Apakah mata itu [yang di miliki oleh gadis tersebut]? Apakah mata ini [yang dimiliki oleh saya]? Mata hanyalah segumpal daging, di mana sifat-dasarnya tidak mampu mengetahui apa pun. Mata itu tidak bisa merasakan, tidak bisa membedakan apa pun dan sifat-dasarnya kosong. Demikian pula dengan telinga, hidung, lidah, tubuh dan pikiran”. Ia merenungkan selaput tubuh, kulit, darah, daging, lemak, rambut, pori-pori, kuku, gigi, tulang, sumsum, otot dan urat nadi. Ia merenungkan semuanya mulai dari kepala sampai kaki dan menyimpulkan bahwa tidak ada [bagian tubuh ini], baik internal maupun eksternal, yang patut dicintai, dijauhi, dan dikhayal. Setelah mengamati semua dharma ini dengan benar, ia meninggalkan nafsu keinginan dan memperoleh kesabaran-terhadap-ketidakmunculan-dharma (anuttpatika-dharma-ksanti). *50 Setelah itu dengan dipenuhi perasaan bahagia, ia meloncat ketengah udara setinggi sebuah pohon palem dan mengelilingi kota Sravasti sebanyak tujuh kali.

Ketika Bhagavan melihat Bodhisattva Maitrikara terbang di udara tanpa rintangan seperti seekor raja angsa, Beliau bertanya kepada Ananda, “Ananda, apakah anda melihat Bodhisattva Maitrikara terbang tanpa rintangan di udara seperti seekor raja angsa?”

Ananda menjawab, “Ya, saya melihat”.

Buddha memberitahukan kepada Ananda, “Bodhisattva Maitrikara merenungkan segala dharma ketika nafsu badaniahnya muncul, dan pada saat itu juga menaklukkan para mara. Ia akan memutar roda-Dharma”.

Adiguna segera terlahir kembali setelah kematiannya sebagai seorang laki-laki di surga Tiga-puluh-tiga (trayastrimsa). Tiba-tiba ia menemukan dirinya di dalam istana yang terbuat dari tujuh jenis batu permata seluas 12 yojana x 12 yojana.*51 Ia di layani oleh 14.000 gadis surgawi. Mengetahui kehidupan sebelumnya, Devaputra *52 Adhiguna menyelidiki karma lampaunya dan bertanya kepada dirinya sendiri, “Kondisi karma apakah yang menyebabkan saya lahir di tempat ini?” Lalu ia teringat bahwa ia pernah menjadi putri seorang Sesepuh di kota Sravasti, yang nafsu badaniah bangkit ketika melihat Bodhisattva Maitrikara. Dengan kobaran nafsu yang membara, ia kemudian mati seketika dan berubah dari seorang perempuan menjadi seorang laki-laki. Karena kejadian ini, ia memperoleh kekuatan batin yang besar. *53

Lalu Devaputra Adhiguna berpikir, “Saya memperoleh balasan ini disebabkan nafsu badaniah diriku [terhadap Bodhisattva Maitrikara]. Sekarang saya akan memberikan penghormatan dan persembahan kepadanya dengan pikiran yang suci bersih. Saya tidak semestinya menikmati terlebih dahulu lima kesenangan indrawi di sini”.

Dengan pemikiran ini, ia segera pergi mengunjungi Tathagata dan Bodhisattva Maitrikara dengan tujuan untuk memberikan penghormatan dan persembahan kepada mereka. Pada waktu senja ia dan para anggotanya berkunjung ke tempat di mana Buddha tinggal dengan membawa bunga-bunga surgawi yang harum, wangi-wangian, dan bubuk dupa. Dengan tubuh mereka yang bercahaya terang menyinari ke segenap Hutan Jeta, mereka menghadap Bhagavan dan Bodhisattva Maitrikara, dan seluruh pesamuhan sebanyak tiga kali menurut arah jalan jam, dan beranjali kepada Buddha. Lalu Devaputra Adhiguna mengucapkan sebuah stanza:

“Tak dapat dibayangkan Yang Termulia di antara para dewa dan manusia;
Tak dapat dibayangkan perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para Bodhisattva.
Tak dapat dibayangkan Dharma Tathagata,
Demikian pula dengan dirinya Yang Namanya Termasyur.
Pada kehidupanku yang lampau, di Sravasti,
Saya adalah seorang putri sesepuh
Bernama Adhiguna.

Saya masih muda dan cantik rupawan waktu itu,
Disayang dan dilindungi oleh orang tuaku.
Kami tidak pernah menertawakan Tathagata, Bhagavan.
Pada suatu hari, putra Buddha *54 yang bernama Maitrikara,
Yang memiliki keluhuran dan kebajikan yang agung,
Memasuki kota Sravasti untuk berpindapata,
Dan lambat laun akhirnya tiba di rumah ayahku.

Ketika saya mendengar suaranya yang merdu,
Saya dipenuhi kegirangan yang luar biasa.
Segera, saya mengambil makanan
Dan keluar mencari Bodhisattva Maitrikara,
Seorang yang melatih pikiran agung,
Putra Tathagata.

Ketika saya bertemu dengan Bodhisattva yang suci anggun,
Pikiranku dicemari oleh hawa nafsu terhadapnya.
Saya berpikir, ‘jika keinginanku tidak tercapai,
Maka saya segera akan mati.’

Saya tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun waktu itu,
Atau memberikan padanya makanan yang sedang kupegang,
Karena hati sanubariku sedang terbakar
Oleh nafsu keinginan yang cabul.

Badanku terbakar oleh panasnya asmara,
Dan lalu saya mati seketika.

Dalam sekejab satu pemikiran,
Saya mendapat kelahiran di Surga Tiga-Puluh-Tiga,
Berubah dari seorang gadis rendahan biasa
Menjadi seorang dewa lelaki yang disanjung oleh umat manusia.

Sebuah istana yang megah dan menakjubkan muncul seketika,
Penuh dengan aneka barang berharga yang menakjubkan
Dan yang dinilai tinggi oleh manusia.
Disediakan pula empat belas ribu wanita cantik
Menjadi pengikut saya.

Lalu segera saya mengetahui sebab-musabab;
Ini disebabkan oleh nafsu keinginan badaniah,
Menatap Maitrikara dengan pikiran yang tercemar,
Sehingga mendapatkan balasan karma yang demikian.

Karena saya melihat Bodhisattva Maitrikara,
Maka mendapatkan kebahagiaan dan cahaya terang.
Cahaya terang yang sekarang terpancar dari tubuhku,
Disebabkan oleh karma itu.

Nafsu badaniah [terhadap Bodhisattva] saja pun
Dapat mendapatkan balasan karma yang demikian,
Apalagi memberikan persembahan kepadanya
Dengan pikiran yang bajik.

Saya tidak berniat mencari kedua kendaraan;
Apa yang saya inginkan, hanya Buddha yang tahu.

Sekarang di hadapan Bhagavan,
Saya bertekad sumpah untuk mendapatkan kearifan-mahatahu.
Saya tidak akan mundur dalam usahaku mencapai kearifan Buddha,
Kendati saya harus melatih diri selama berkalpa-kalpa
Sebanyak jumlah pasir di Sungai Gangga.

Saya telah bertemu dengan seorang Kalyanamitra,*55 Bodhisattva Maitrikara;
Sekarang saya ingin memberikan persembahan yang sejati kepadanya.
Hanya sebuah persembahan yang sejati:
Mengembangkan Bodhicitta.
Melatih Bodhi
Adalah perbuatan yang terunggul dan termulia.

Saya tidak akan lagi melihat semua wanita dengan gairah,
Dan maka itu berharap terbebas dari tubuh wanita seterusnya.
Saya mengatakan ini di depan Buddha
Yang memiliki Empat Ketidakgentaran. *56

Ketika orang tuaku menemui diriku mati dan membusuk,
Mereka meratap dan meraung dengan penuh kesedihan, dan berkata
Bahwa ini disebabkan oleh Bhiksu Maitrikara,
Sambil mencela dan menangis, mereka memaki Bhiksu tersebut”.

Lalu Buddha dengan kekuatan batinnya, membuat Devaputra tersebut pergi ke kediaman orang tuanya [di kehidupan sebelumnya] untuk memarahi, menegur, serta menjelaskan kepada orang tuanya supaya tidak memarahi dan menaruh dendam terhadap bhiksu tersebut, dan jangan sampai mereka mengalami berbagai penderitaan di malam panjang itu.

Dewa tersebut berkata, “Putrimu Adhiguna telah terlahir kembali di Surga Tiga-Puluh-Tiga dan telah berubah dari seorang wanita menjadi seorang laki-laki. Ia sekarang memiliki tubuh seorang dewa, yang bercahaya terang sampai kejauhan. Kalian sebagai orang tuanya [di kehidupan lampau] sekarang seharusnya pergi mengunjungi Bhagavan, dan menyesali kesalahan berupa pikiran burukmu yang ada sebelumnya. Kecuali para Tathagata, Buddha, Bhagavan, tidak ada lagi tempat berlindung bagi dirimu”. Dengan cara demikianlah dewa tersebut menasihati dan memberitahu orang tuanya dengan pikiran yang tak gentar. Setelah mendengar nama Buddha, mereka segera pergi bersama ke tempat kediaman Buddha Sakyamuni. Setelah tiba, mereka bersujud dengan kepala di atas kaki Buddha dan berkata, “Bhagavan, sekarang kami menyesali kebencian yang merasuki pikiran kami, dan memberikan penghormatan kepada Bhagavan yang termulia di antara para manusia.

“Sekarang yang ingin kami tanyakan telah Tathagata ketahui. Bagaimana seharusnya kami memberikan persembahan kepada Buddha, Dharma, Sangha? Bagaimana seharusnya kami menjalankan dan melatih perbuatan-perbuatan bajik? Mohon Buddha memberitahukan kepada kami! Kami akan menjalankannya dengan sepenuh hati sesuai petunjuk Buddha”.

Mengetahui bahwa mereka bersungguh-sungguh, Buddha, Guru Dewa dan Manusia, bersabda, “Bila seseorang ingin memberikan persembahan kepada para Buddha, ia harus secara kokoh dan teguh memunculkan Bodhicitta dengan sepenuh hati”.

Mendengar Guru Dewa dan Manusia mengatakan ini, Adhiguna, kedua orang tuanya, dan seluruh pengikutnya berjumlah 500 orang semuanya memunculkan Bodhicitta dan membuat tekad sumpah yang agung.

Buddha lalu memberitahukan kepada Y.A. Ananda, “Sekarang Anda perhatikan baik-baik kata-kataku. Perbuatan Bodhisattva yang saya katakan itu adalah tak dapat dibayangkan. Dengan kearifan dan upaya kausalya yang tiada taranya, Bodhisattva Maitrikara selalu membuat tekad sumpah ini: ‘Jika seorang wanita saat milihatku dikuasai nafsu birahi, maka ia akan segera berubah menjadi seorang laki-laki dan mendapatkan penghormatan dari orang lain’.

Ananda, lihatlah betapa luar biasa kekuatan dari kebajikan ini. Jika seorang manusia biasa melakukan perbuatan yang salah, ia akan jatuh ke alam-alam jahat yang menyengsarakan. Tetapi jika seseorang pemberani [yaitu seorang Bodhisattva] melakukan hal yang sama, ia bisa menaklukkan para mara dan membuat yang lain terlahir di alam surga sebagai dewa.

“Sekarang Devaputra ini memberikan persembahan kepadaku dengan pikiran yang penuh hormat. Ia sedang dalam perjalanan menuju pencapaian Bodhi. Setelah memberikan persembahan kepada para Bhagavan yang tak terhitung jumlahnya, ia akan menjadi seorang Buddha bernama Sudarsana *57 di kehidupan mendatang. Sedangkan lima ratus orang yang berada di sini yang sedang menuju Kebohian juga akan menjadi Buddha, Guru Dewa dan Manusia. Para Buddha memiliki kebajikan yang agung, siapakah yang tidak akan memberikan persembahan kepadanya?

“Mereka yang memiliki keyakinan yang dalam terhadap Bodhisattva Maitrikara akan mendapatkan kebahagiaan yang tak terhingga. Bukan satu, dua, atau tiga wanita, tetapi bahkan ratusan ribu juta milyar wanita yang tak terhitung jumlahnya pun yang saat melihat Bodhisattva Maitrikara terbangkit nafsu birahinya, akan mati seketika, untuk kemudian dilahirkan kembali menjadi laki-laki; mereka akan menjadi raja tabib agung yang namanya termasyhur. Siapakah yang tidak menghormati Bodhisattva yang demikian? Bahkan seseorang yang memiliki nafsu birahi terhadap Bodhisattva sekalipun dapat mendapatkan kebahagiaan, Apalagi orang-orang yang memuliakannya.

II

Kemudian Y.A. Ananda berkata kepada Buddha, “Bhagavan, seperti berbagai aneka warna yang mengambil warna emas ketika warna-warna itu berada di sisi gunung Semeru, *58 begitu pula dengan para mahkluk hidup, baik yang penuh dengan kemurkaan, yang suci ataupun yang dicemari oleh nafsu keinginan, mereka semuanya mengambil warna yang sama dengan warna Bodhisattva ketika berdekatan dengannya. Bhagavan, mulai saat ini, saya akan memuliakan semua Bodhisattva seperti [saya memuliakan] Gunung Semeru.

“Bhagavan, ada sebuah raja obat bernama ‘Melihat Segala’ yang melenyapkan semua racun; obat ini dapat menyembuhkan semua penyakit para mahkluk hidup yang memakannya, baik yang penuh kemurkaan, ataupun yang berpikiran suci. Demikian pula dengan Bodhisattva yang dapat menyembuhkan orang-orang yang datang kepadanya dengan segala jenis penyakit berupa nafsu keinginan, kebencian, ataupun kebodohan, baik mereka yang penuh dengan kemurkaan ataupun mereka yang berpikiran suci.

Kemudian Bhagavan memuji Ananda dengan berkata, “Bagus sekali. Bagus sekali! Demikian seperti yang Anda katakan”.

Mahakasyapa lalu berkata kepada Buddha, “Belum pernah ada yang seperti demikian, Bhagavan! Bodhisattva-Mahasattva adalah mahkluk yang termulia, yang terunggul. Bodhisattva-Mahasattva melatih semua dhyana dan samadhi, tetapi setelah melaksanakan itu semua, mereka kembali masuk ke Alam Nafsu untuk mengajari dan mengubah mahkluk hidup. Meskipun mereka melatih kekosongan, ketiadaan corak, dan ketiadaan aktivitas untuk mengubah mahkluk hidup dan menyebabkan mereka menjadi Sravaka atau Pratyekabuddha, namun karena cinta kasih dan welas asih agung, mereka tetap tidak pernah terpisah dari hati Bodhisattva.

“Bhagavan, tak dapat dibayangkan upaya kausalya yang dilatih oleh para Bodhisattva-Mahasattva. Mereka tidak lagi tertarik pada wujud, suara, bebauan, rasa, ataupun sentuhan yang mengelilinginya. Bhagavan, dengan rasa gembira saya akan merincikan sedikit jasa kebajikan dari para Bodhisattva”.

Buddha berkata kepada Kasyapa, “Boleh Anda katakan sekehendak hatimu”.

Kasyapa berkata, “Bhagavan, misalnya ada sebuah rawa yang luas, di mana penduduknya menderita bencana kelaparan yang menyedihkan. Di sekeliling rawa tersebut dipagari oleh tembok yang tingginya mencapai Alam Tak Berwujud. Rawa luas itu hanya memiliki satu pintu gerbang keluar. Tidak jauh dari rawa tersebut, terdapat sebuah kota besar yang kaya, bahagia, makmur, tenteram, indah, dan megah. Para mahkluk hidup yang memasuki kota itu tidak mengalami usia tua, sakit, dan kematian. Jalan satu-satunya dari rawa menuju kota adalah sebuah jalur hanya selebar satu kaki dan sangat lurus.

“Di antara penduduk rawa tersebut, ada seorang yang arif bijaksana dan berpenglihatan jauh, mendadak memunculkan pikiran cinta kasih dan welas asihnya untuk memberikan manfaat, kedamaian, dan kebahagiaan bagi semua mahkluk hidup yang ada di sana. Orang ini mengumumkan dengan suara yang lantang di tengah-tengah rawa, ‘Ketahuilah kalian semua bahwa tidak jauh dari sini, ada sebuah kota besar yang kaya, bahagia, makmur, tenteram, indah, dan megah, dan kota ini didiami oleh banyak dewa. Para mahkluk hidup yang memasuki kota tersebut tidak akan mengalami penderitaan usia tua, sakit, dan kematian, serta mampu pula mengajarkan pada yang lainnya bagaimana menghindari usia tua, sakit, dan kematian. Kalian semuanya dapat mengikuti saya ke sana. Saya akan menjadi guru pembimbing kalian’.

“Di lingkungan rawa tersebut, ada beberapa mahkluk hidup bermutu jelek berharap untuk meraih kebebasan yang demikian tetapi berkata, ‘Kami akan menerima ajaranmu bila ajaranmu memungkinkan kami untuk tetap hidup di rawa; kami tidak dapat menerimanya bila ajaranmu mengharuskan kami pindah dari rawa ini’.

Para mahkluk yang bermutu tinggi mengatakan: ‘Kami akan mengikutimu ke kota tersebut.’ Kendati demikian, setelah mendengar ucapan orang arif tersebut, beberapa mahkluk lain yang kurang beruntung masih tidak mempercayai ucapan Beliau dan menolak untuk mengikutinya.

“Bhagavan, ketika orang arif itu muncul keluar dari rawa itu, dia memandang ke empat sisi di sekelilingnya dan melihat sebuah jalur sempit yang hanya selebar satu kaki. Di sisi kiri dan sisi kanan jalur tersebut ada jurang sedalam ratusan ribu kaki. Setelah orang arif tersebut memagari kedua sisi jalan itu dengan papan, para pengikutnya merangkak lurus ke depan tanpa boleh menoleh ke kiri atau ke kanan; mereka juga tidak menoleh ke belakang walaupun perampok jahat di belakangnya mencoba untuk mengejar dan menakuti mereka. Dengan berani dan semangat juang yang tinggi tanpa rasa takut, mereka perlahan-lahan menapaki jalan sepanjang jalur tersebut. Akhirnya mereka berhasil melihat kota itu. Karena mereka telah melihat kota itu, hati mereka pun tidak ada perasaan takut. Setelah memasuki kota itu, mereka tidak lagi menderita usia tua, sakit dan kematian. Bahkan, sekarang mereka dapat memberi manfaat besar bagi para mahkluk hidup lain yang tak terhitung jumlahnya dengan mengajari mereka cara untuk menghindari usia tua, sakit, dan kematian.

“Bhagavan, rawa luas yang dilanda bencana kelaparan yang menyedihkan itu adalah rawa Samsara. Tembok tebal yang tingginya mencapai Alam Tak Berwujud adalah kebodohan (ketidaktahuan) dan hasrat untuk eksistensi. Para mahkluk yang berada di rawa tersebut mencerminkan umat manuasia biasa yang berada di dalam Samsara; jalan satu-satunya menuju kota yang lebarnya sekaki adalah Satu Jalan. Para mahkluk hidup bermutu rendah yang berharap mencapai kebebasan tetapi ingin berada di rawa adalah Sravaka dan Pratyekabuddha; para mahkluk bermutu tinggi berkata, ‘Kami akan mengikutimu ke tempat yang Anda pergi’ adalah para Bodhisattva lainnya; mahkluk hidup yang kurang beruntung dan tidak mempercayai orang arif itu adalah para guru aliran luar berpandangan sesat beserta murid-murid mereka. Mereka yang keluar dari rawa tersebut adalah mereka yang dengan rajin melatih kearifan-mahatahu; satu-satunya pintu gerbang yang sempit selebar satu kaki adalah pintu gerbang dari sifat-dasar Dharma. Jurang besar sedalam ratusan ribu kaki di kedua sisi jalan tersebut adalah kendaraan Sravaka dan Pratyekabuddha; untuk memagari kedua sisi jalur tersebut dengan papan mencerminkan kearifan menggunakan upaya kausalya. Mereka yang merangkak maju adalah para mahkluk yang tertarik pada ajaran Buddhadharma yang dibabarkan oleh para Bodhisattva dengan menggunakan Empat Kebajikan Pemikat (catuh-samgraha-vastu); *59 perampok jahat yang mengejar dan menakuti mereka adalah para mara dan pengikutnya yang secara mendalam menganut enam puluh dua pandangan [salah], *60 dan mereka yang meremehkan dan mencela para Bodhisattva. Tidak menoleh ke belakang melambangkan perhatian yang terpusat dalam pelatihan Ksanti-paramita; tidak menoleh ke sisi kiri atau kanan adalah tidak menyanjung kendaraan Sravaka dan kendaraan Pratyekabuddha; kota besar adalah pikiran kearifan-mahatahu. Mereka yang perlahan-lahan menapaki jalan ini dan akhirnya setelah melihat kota itu hatinya tidak takut adalah para Bodhisattva, yang setelah melihat para Buddha dan perbuatannya, menghormati kearifan Buddha dan kebajikan yang agung, mengaguminya dengan sepenuh hati mereka, mempelajari dengan baik upaya kausalya paramita, dan perlahan-lahan memperoleh keahlian untuk melakukan pendekatan terhadap semua mahkluk dengan cara yang semestinya tanpa menimbulkan kecurigaan. Mereka yang tidak lagi menderita usia tua, sakit, dan kematian setelah memasuki kota tersebut adalah para Bodhisattva yang memberi manfaat bagi mahkluk hidup yang tak terhitung jumlahnya [dengan mengajari mereka cara] untuk menghindari usia tua, sakit, dan kematian; cara ini adalah [Dharma] yang diajarkan Tathagata, Arhat, Samyak-sambuddha. Bhagavan, sekarang saya memberi penghormatan kepada semua Bodhisattva”.

Setelah Mahakasyapa mengatakan ini, sepuluh ribu dewa dan manusia membangkitkan pikiran Anuttara-samyak-sambodhi.

Kemudian Bhagavan memuji Mahakasyapa dengan berkata, “Bagus sekali, bagus sekali! Anda mendorong semangat para Bodhisattva-Mahasattva dan memperoleh balasan jasa baik yang tak terhitung. Seorang Bodhisattva-Mahasattva tidak akan pernah melakukan sesuatu yang merugikan dirinya dan yang akan merugikan orang lain, juga tidak pernah mengatakan sesuatu yang akan merugikan dirinya dan yang akan merugikan orang lain.”

Kemudian Bodhisattva-Mahasattva Adhiguna bertanya kepada Buddha, “Bhagavan, Anda mengatakan bahwa tidak ada Bodhisattva yang akan berbuat sesuatu atau mengatakan sesuatu yang merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Lalu, Bhagavan, ketika Anda menjadi seorang Maha-Brahmacarin bernama Jyotiska yang sedang menapaki jalan-Bodhisattva pada masa Buddha Kasyapa, dengan satu kehidupan lagi untuk mencapai Kebuddhaan, mengapa Anda mengatakan ‘Sangat sulit untuk mencapai jalan-Bodhi. Bagaimana bisa seorang yang berkepala botak [maksudnya Buddha Kasyapa] mencapainya? Saya tidak mau menemuinya.’ Bhagavan, apa arti dari ucapan yang Anda katakan pada saat itu?”

Buddha memberitahukan kepada Bodhisattva Adhiguna, “Putra yang berbudi, jangan memunculkan keraguan terhadap Tathagata atau Bodhisattva. Mengapa? Karena para Buddha dan Bodhisattva telah mencapai upaya kausalya yang tak dapat dibayangkan, dan mereka bersemayam di dalam semua jenis kausalya untuk mengajari dan mengubah para mahkluk. Putra yang berbudi, Anda sekarang perhatikan baik-baik kata-kata saya dan camkanlah mereka. Ada sebuah sutra yang bernama Upaya Kausalya Paramita, yang akan saya jelaskan kepadamu. Saya juga akan membabarkan kepadamu beberapa upaya kausalya yang telah dikembangkan perlahan-lahan oleh Bodhisattva *61 sejak masa Buddha Dipamkara. *62

“Putra yang berbudi, Bodhisattva-Mahasattva itu mendapatkan kesabaran-terhadap-ketidakmunculan-dharma seketika ia melihat Buddha Dipamkara. Sejak itu ia tidak pernah membuat kesalahan, jenaka, tak melakukan perenungan, terpecah pikirannya, atau kearifannya berkurang.

“Putra yang berbudi, tujuh hari setelah Bodhisattva memenuhi tekad sumpah lampaunya dengan mencapai Anuttara-dharma-ksanti, dia sebenarnya telah bisa mencapai Anuttara-samyak-sambodhi, dan apabila dia menginginkannya, dia bisa mendapatkan seratus kalpa lebih awal. Namun demi kepentingan para mahkluk, Bodhisattva-Mahasattva tersebut dilahirkan banyak sekali dan di mana pun ia dilahirkan, memenuhi permintaan para mahkluk hidup dengan kekuatan kearifannya. Hanya setelah selesai memenuhi tekad sumpahnya barulah dia mencapai Anuttara-samyak-sambodhi.

“Putra yang berbudi, dengan kekuatan upaya kausalya, Bodhisattva-Mahasattva telah tinggal di dunia ini selama bermilyar-milyar kalpa yang tak terhitung tanpa rasa murung dan jijik. Ini adalah upaya kausalya yang dilatih oleh para Bodhisattva-Mahasattva.

“Lagi pula, putra yang berbudi, bila seorang Sravaka memasuki salah satu Dhyana atau Samadhi dari Bodhisattva-Mahasattva, badan jasmani dan pikirannya menjadi geming tak bergerak, dan dia berpikir bahwa dirinya telah memasuki Nirvana. Tetapi bila Bodhisattva memasuki Dhyana atau Samadhi yang mana pun, jiwa dan raganya menjadi bersemangat, bukan sebaliknya menjadi kendur. Dia memikat mahkluk hidup untuk menjadi pengikutnya dengan Empat Kebajikan Pemikat. Karena welas asihnya yang agung, dia mengajari dan mengubah mahkluk hidup dengan enam paramita. Ini adalah upaya kausalya yang dilatih oleh Bodhisattva-Mahasattva.

“Selain itu, putra yang berbudi, ketika Bodhisattva memenuhi tekad sumpah lampaunya dengan bersemayam di istana Surga Tusita, dia dapat saja mencapai Anuttara-samyak-sambodhi dan memutar roda-Dharma. Namun ketika berada di Surga Tusita, dia berpikir: ‘Manusia di dunia tidak dapat naik ke surga ini untuk mendengarkan pembabaran Dharma yang diajarkan, sedangkan dewa-dewa di surga Tusita dapat turun ke bumi untuk mendengarkan pembabaran Dharma’. *63 Oleh karenanya, dia meninggalkan Surga Tusita dan mencapai Anuttara-samyak-sambodhi di dunia ini. Ini adalah upaya kausalya yang di latih oleh Bodhisattva-Mahasattva.

“Lagi pula, putra yang berbudi, setelah Bodhisattva memenuhi tekad sumpah lampaunya dan datang ke dunia ini dari Surga Tusita, dia dapat saja mencapai Anuttara-samyak-sambodhi tanpa harus masuk ke rahim ibunya. Tetapi bila dia tidak masuk ke rahim ibunya, para mahkluk hidup akan mempunyai keragu-raguan dengan berkata demikian, ‘Dari mana datangnya Bodhisattva? Apakah dia seorang dewa, seekor naga, hantu, roh, gandharva, atau mahkluk yang tercipta dari kekuatan batin?’ Bila mereka memiliki keragu-raguan seperti itu, mereka tidak akan dapat mendengarkan pembabaran Dharma atau mengembangkan pelatihan diri untuk melenyapkan penderitaan mereka. Karena itu Bodhisattva-Mahasattva harus masuk ke dalam rahim ibunya, baru setelah itu mencapai anuttara-samyak-sambodhi. Ini adalah upaya kausalya yang dilatih oleh Bodhisattva-Mahasattva.

“Putra yang berbudi, jangan mengatakan bahwa Bodhisattva benar-benar tinggal di dalam rahim ibunya. Janganlah berpikiran seperti itu. Mengapa? Karena Bodhisattva-Mahasattva sebenarnya tidak masuk ke rahim ibunya. Mengapa? Karena Bodhisattva telah memasuki Dhyana Vimala di Surga Tusita; dia tetap bersemayam di dalam Dhyana itu mulai dari saat dirinya turun dari surga, sampai saat Beliau duduk di bawah pohon Bodhi. Para dewa di Surga Tusita berpikir bahwa kehidupan Bodhisattva tersebut telah berakhir dan dia tidak akan kembali lagi ke surga itu, tetapi sebenarnya dia tetap tidak bergerak dari surga itu selama masa tersebut. Dia tampak masuk ke dalam rahim ibunya, menikmati lima kesenangan indrawi, meninggalkan kehidupan berumah tangga, dan melatih kehidupan pertapaan. Bagi semua mahkluk, seluruh kejadian ini dianggap sebagai nyata, tetapi bagi Bodhisattva tersebut, semua ini hanyalah merupakan sebuah pertunjukan gaib atau jelmaan. Mengapa? Bodhisattva tersebut suci bersih di dalam segala perbuatan, lebih-lebih tidak masuk ke dalam rahim karena dia meninggalkan semua ini [kegiatan-kegiatan duniawi] sudah sejak lama sekali. Ini adalah upaya kausalya yang dilatih oleh Bodhisattva-Mahasattva.

“Mengapa Bodhisattva tampak masuk ke dalam rahim ibunya dalam bentuk seekor gajah putih? *64 Putra yang berbudi, di Tri-sahasra-maha-sahasra, *65 Bodhisattva adalah yang terhormat. Karena telah mencapai Dharma nan putih suci, dia tampak masuk ke dalam rahim ibunya dalam bentuk seekor gajah putih. Tiada dewa, manusia, hantu, atau roh yang dapat masuk ke rahim dengan cara seperti ini. Ini adalah upaya kausalya yang dilatih oleh Bodhisattva-Mahasattva.

“Mengapa Bodhisattva berada di rahim ibunya selama sepuluh bulan penuh [berdasarkan takwim bulan] sebelum dia dilahirkan? Putra yang berbudi, beberapa mahkluk mungkin berpikir, ‘Bila seorang anak tidak berada di dalam rahim ibunya selama sepuluh bulan penuh, tubuhnya mungkin tidak berkembang secara menyeluruh.’ Oleh sebab itu, Bodhisattva tampak berdiam di dalam rahim ibunya selama sepuluh bulan penuh. Semasa sepuluh bulan ini, para dewa sering datang mendekati ibunya untuk menunjukkan rasa hormat kepada Bodhisattva dan mengitarinya. Pernah satu kali, para dewa melihat Bodhisattva tinggal di sebuah menara tinggi yang dihiasi indah oleh tujuh permata, yang tidak dimiliki oleh para dewa. Setelah melihat pertanda kemanjuran ini, dua puluh empat ribu Devaputra membangkitkan pikiran Anuttara-samyak-sambodhi [atau Bodhicitta]. Ini adalah upaya kausalya yang dilatih oleh Bodhisattva-Mahasattva.

“Mengapa Bodhisattva masuk ke dalam rahim ibunya melalui sisi kanan tubuh [di antara ketiak dan pinggang] ibunya? Putra yang berbudi, mungkin ada mahkluk hidup yang bersikap ragu-ragu dan berkata, ‘Bodhisattva dilahirkan dari gabungan sperma ayahnya dan sel telur ibunya’; untuk melenyapkan keragu-raguan mereka dan untuk memanifestasikan kelahirannya yang menakjubkan, Bodhisattva masuk ke rahim ibunya melalui sisi kanan tubuh ibunya. Meskipun ia sudah masuk [ke dalam tubuh ibunya] melalui sisi tersebut, namun ia sebenarnya tidak masuk ke mana pun. *66 Ratu Maya lalu mengalami kebahagiaan lahir dan batin yang belum pernah di alami sebelumnya. Ini adalah upaya kausalya yang dilatih Bodhisattva-Mahasattva.

“Mengapa Bodhisattva dilahirkan di tempat terpencil, bukan di rumah atau di dalam kota? Putra yang berbudi, Bodhisattva selalu menyenangi kesunyian; ia memuji kehidupan yang terpencil dan hening di hutan pegunungan sebagai tempat yang baik untuk melatih keheningan yang terdalam. Bila Bodhisattva dilahirkan di rumah, tidak ada dewa, naga, hantu, roh, gandharva, dan lain-lainnya yang datang memberi persembahan kepadanya berupa bunga wangi, bubuk dupa, minyak wangi, dan ratusan ribu jenis musik yang tidak terhitung. Semua penduduk di Kapila pada saat itu kecanduan [pada hal-hal yang bersifat materi], lepas pengendalian diri, dan sombong; mereka [para dewa, naga, dan lain-lainnya] tidak dapat memberi persembahan kepada Bodhisattva. Karena itu ia dilahirkan di tempat yang terpencil, bukan di rumah atau di dalam kota. Ini adalah upaya kausalya yang dilatih oleh Bodhisattva-Mahasattva.

“Mengapa ibu Bodhisattva menjangkau dan memegang sebuah dahan pohon ketika ia melahirkan Bodhisattva? Putra yang berbudi, ada mahkluk hidup yang mungkin mengira bahwa Ratu Maya mengalami rasa sakit ketika melahirkan Bodhisattva, seperti yang di alami para wanita pada umumnya [ketika mereka melahirkan]. Untuk memperlihatkan kepada mereka kenyamanannya saat melahirkan Bodhisattva, ia menjangkau dan memegang dahan saat melahirkan Bodhisattva. Ini adalah upaya kausalya yang dilatih oleh Bodhisattva-Mahasattva.

“Mengapa Bodhisattva dengan perenungannya yang benar datang ke dunia melalui bagian kanan ibunya, bukan melalui bagian tubuh lainnya? Putra yang berbudi, kebajikan yang dilaksanakan Bodhisattva adalah yang termulia, yang tertinggi di antara Tri-sahasra-maha-sahasra; ia tidak masuk ke organ tubuh wanita dan tinggal di dalamnya, atau keluar dari organ tubuh itu. Hanya seorang Bodhisattva, yang tinggal satu kali kehidupan menjadi Buddha, yang dapat melakukan hal yang demikian, sedangkan jenis orang suci lainnya tidak mampu. Maka itu, Bodhisattva datang ke dunia melalui sisi kanan ibunya. Sekalipun ia dilahirkan seperti demikian, ia [sebenarnya] tidak datang dari manapun, sama seperti halnya [ia tidak masuk ke tempat mana pun] di dalam proses pembuahan kehamilan suci tersebut sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Ini adalah upaya kausalya yang dilatih oleh Bodhisattva-Mahasattva.

“Mengapa Sakra, bukan dewa lainnya, yang menyambut Bodhisattva dengan pakaian yang berharga ketika ia lahir? Karena, putra yang berbudi, Sakra telah membuat tekad sumpah ini di masa lampau: ‘Ketika Bodhisattva lahir, saya akan menyambutnya dengan pakaian berharga atas rasa kagumku terhadap akar-akar kebajikannya yang menakjubkan. Hal ini akan menyebabkan para dewa lainnya memiliki keyakinan pada Bodhisattva, lebih menghormatinya, dan lebih banyak memberi persembahan kepadanya’. Ini adalah upaya kausalya yang dilatih oleh Bodhisattva-Mahasattva.

“Mengapa setelah Bodhisattva lahir, segera ia berjalan tujuh langkah, bukan enam atau delapan langkah? Putra yang berbudi, sudah pasti Bodhisattva memiliki kekuatan batin yang luar biasa, ketekunan, kegigihan, dan memiliki ciri-ciri seorang agung, dan ia ingin menunjukkan kepada mahkluk hidup sebuah manifestasi yang tidak ada orang lain dapat melakukan selain dirinya. Bila lebih bermanfaat berjala enam langkah daripada berjalan tujuh langkah, maka Bodhisattva akan berjalan enam langkah. Bila lebih bermanfaat berjalan delapan langkah daripada berjalan tujuh langkah, maka Bodhisattva akan berjalan delapan langkah. Karena berjalan tujuh langkah memberi manfaat terbesar bagi mahluk hidup, maka ia akan berjalan tujuh langkah, bukan enam langkah atau delapan langkah, tanpa ada orang menuntunnya.*67  Ini adalah upaya kausalya yang dilatih oleh Bodhisattva-Mahasattva.

“Mengapa setelah berjalan tujuh langkah, Bodhisattva berkata, ‘Saya adalah yang termulia dan yang tertinggi di dunia; saya bebas dari usia tua, sakit, dan mati’? Putra yang berbudi, pada saat itu di dalam pesamuhan [yang melihat kelahirannya], Sakra, Brahma, dan para dewa lainnya dalam hati mereka mengandung perasaan congkak dan menyatakan dirinya sebagai yang termulia di dunia. Karena sombong dan angkuh, mereka tidak mempunyai perasaan hormat kepada siapa pun. Pada saat itu, Bodhisattva berpikir: ‘Para dewa mempunyai pikiran congkak; disebabkan oleh kecongkakan ini, mereka akan jatuh ke tiga alam kehidupan yang sengsara di malam panjang.’ Oleh karena itu, ia mengatakan, ‘Saya adalah yang termulia, yang tertinggi. Saya bebas dari usia tua, sakit, dan mati.’ Ketika ia mengatakan hal demikian, suaranya terdengar di Tri-sahasra-maha-sahasra. Para dewa yang belum datang [untuk melihatnya] pada saat kelahirannya semua datang berkumpul setelah mendengar suara ini. Kemudian para dewa dari Alam Nafsu dan Alam Berwujud beranjali dengan takzim dan bersujud pada Bodhisattva. Mereka berkata satu sama yang lain, ‘[Betapa menakjubkan!] Belum pernah terjadi sebelumnya.’ Ini sebabnya Bodhisattva berkata sesungguhnya setelah berjalan tujuh langkah, dengan mengatakan, ‘Saya adalah yang termulia, yang tertinggi di dunia. Saya bebas dari usia tua, sakit, dan mati.’ Ini adalah upaya kausalya yang dilatih oleh Bodhisattva-Mahasattva.

“Mengapa Bodhisattva tertawa keras setelah berjalan tujuh langkah? Putra yang berbudi, ia tertawa bukan karena nafsu keinginan, keangkuhan, atau pelecehan. Pada saat itu Bodhisattva berpikir demikian: ‘Sekarang para mahkluk ini [yang telah datang menemui saya] di kehidupan lampaunya memiliki nafsu keinginan, kebencian, kebodohan dan berbagai penderitaan-penderitaan lainnya, dan sekarang pun demikian pula. Saya sebelumnya membujuk dan menganjurkan mereka untuk mengembangkan pikiran Anuttara-samyak-sambodhi. Sekarang Saya telah meraih pencapaian, tetapi mereka masih berada di dalam lautan penderitaan Samsara tanpa bisa melenyapkan karena mereka kendur dan malas. Para mahkluk ini memunculkan pikiran Bodhicitta pada saat yang sama dengan diriku, sedangkan mereka masih berada di dalam lautan penderitaan Samsara, karena mereka selama ini kendur dan malas. Para mahkluk hidup yang bermutu rendah ini, disebabkan oleh keinginan mereka terhadap keuntungan materi, lengah dan tidak gigih dalam usaha untuk mendapatkan kearifan-mahatahu. Sekarang mereka masih pada posisi bersujud memberi penghormatan dan persembahan kepada saya. Di waktu lampau, Saya memunculkan pikiran welas asih kepada mereka [dan bertekad sumpah mencapai pencerahan untuk menolong mereka]. Sekarang saya telah memenuhi tekad sumpah saya.’ Inilah alasan mengapa Bodhisattva tertawa keras. Ini adalah upaya kausalya yang dilatih oleh Bodhisattva-Mahasattva.

“Ketika Bodhisattva lahir, tubuhnya amat bersih, tanpa noda kekotoran apa pun, lalu mengapa Sakra dan Brahma [masih perlu] memandikannya? Putra yang berbudi, karena Bodhisattva bermaksud membuat para pengikut dari Sakra dan Brahma untuk memberikan persembahan, dan karena adanya tuntutan adat-istiadat bahwa bayi yang baru lahir harus dimandikan, maka ia membuat Sakra dan Brahma memandikan dirinya meskipun tubuhnya dari awal sudah bersih tanpa noda kekotoran. Ini adalah upaya kausalya yang dilatih oleh Bodhisattva-Mahasattva.

“Setelah Bodhisattva lahir di tempat terpencil, mengapa ia tidak langsung pergi ke Bodhimanda [di bawah pohon Bodhi] melainkan pergi ke istana? Putra yang berbudi, agar supaya semua organ tubuhnya tumbuh sempurna, ia tampak tinggal di istana dan menghibur dirinya dengan lima kesenangan indrawi; kemudian ia tampak melepaskan empat benua dan meninggalkan kehidupan perumah tangga. *68 Lagi pula, demi mengubah orang lain supaya bisa meninggalkan kehidupan berumah tangga, Bodhisattva tidak langsung pergi ke Bodhimanda melainkan pulang ke rumah setelah ia lahir di tempat terpencil.*69 Ini adalah upaya kausalya yang dilatih oleh Bodhisattva-Mahasattva.
“Mengapa Ratu Maya meninggal tujuh hari setelah Bodhisattva lahir? Putra yang berbudi, Ratu Maya meninggal karena memang kehidupannya telah berakhir; hal ini bukan kesalahan Bodhisattva. Putra yang berbudi, ketika Bodhisattva masih berada di Surga Tusita, ia melihat dengan mata-dewanya bahwa Ratu Maya hanya mempunyai sisa umur sepuluh bulan tujuh hari hidup di bumi. Maka itu ia turun dari Surga Tusita untuk dilahirkan di sini, sudah mengetahui terlebih dahulu melalui upaya kausalya bahwa Ratu Maya akan meninggal dunia tak lama kemudian. Karenanya, hal ini bukan kesalahan Bodhisattva. Ini adalah upaya kausalya yang dilatih oleh Bodhisattva-Mahasattva.

“Mengapa Bodhisattva secara menyeluruh belajar membaca, berargumentasi, main catur, memanah, mengendarai kereta perang, strategi, membuat rencana, dan berbagai teknik dan seni? Karena, putra yang berbudi, ia ingin mengikuti tuntutan kebiasaan duniawi. Tidak ada hal di Tri-sahasra-maha-sahasra yang tidak diketahui Bodhisattva. Ketika lahir, ia sudah mahir dengan semua hal-hal seperti gatha, debat, pidato, mantra, drama, nyanyi, tarian, musik, dan keterampilan. Ini adalah upaya kausalya yang dilatih oleh Bodhisattva-Mahasattva.

“Mengapa Bodhisattva memiliki seorang istri dan selir-selir? Putra yang berbudi, Bodhisattva tidak melakukannya karena nafsu keinginan. Mengapa? Karena ia seorang manusia yang bebas dari nafsu keinginan. Bila ia tidak tampak memiliki seorang istri dan selir-selir pada saat itu, para mahkluk hidup mungkin akan berkata, ‘Bodhisattva bukan seorang lelaki.’ Bila mereka memiliki perasaan curiga yang demikian, tentu mereka sudah melakukan pelanggaran yang sangat besar. Karena itu, untuk mencegah munculnya kecurigaan mereka, Bodhisattva tampak menikahi seorang wanita dari suku Sakya dan mendapatkan seorang anak yang bernama Rahula. Bila seseorang mengatakan bahwa Rahula dilahirkan dari hubungan antara ayah dan ibunya, [ia salah!;] ia tidak seharusnya mempunyai pandangan yang demikian. Kenyataannya adalah segera setelah kehidupannya di surga berakhir, Rahula turun dari surga dan masuk ke rahim ibunya. Lagi pula, Rahula sebelumnya telah membuat sebuah tekad sumpah untuk menjadi anak dari seorang Bodhisattva yang akan mencapai Kebudhaan pada waktu kehidupan itu.

“Pada masa Buddha Dipamkara, Gopa berkata, ‘Saya berharap mulai sekarang dan selanjutnya, Brahmacarin ini akan menjadi suami saya dan saya akan menjadi istrinya, bahkan pada masa kehidupan di mana ia akan mencapai Kebuddhaan.’ Pada waktu itu, Bodhisattva setelah menerima tujuh bunga teratai biru [darinya], berkata, ‘Walau saya tidak ingin menerima hadiah ini, saya akan memenuhi harapan dari wanita bajik ini’. Setelah Bodhisattva mengatakan hal itu, wanita ini tidak pernah lepas dari akar kebajikan yang berasal dari hasil pemberian tujuh kuntum bunga. Karena itu, Bodhisattva menjadikan wanita tersebut sebagai istrinya.

“Lagi pula, Bodhisattva, yang akan mencapai Kebuddhaan pada masa kehidupan itu, tampak tinggal bersama denga dayang-dayang istana. Pada waktu itu, Bodhisattva memiliki rupa yang menakjubkan dan para dewa memberi persembahan kepadanya, tetapi pada akhirnya ia meninggalkan kehidupan berumah tangga. Setelah melihat semua hal ini dengan jelas, wanita dari suku Sakya [yaitu Yasodhara] mengembangkan pikiran Bodhicitta dan dengan sepenuh hati membuat tekad sumpah yang demikian!’ Karenanya, untuk membuat Gopa mengembangkan Bodhicitta, maka Bodhisattva mengambil wanita tersebut sebagai istrinya.

“Lagi pula ada mahkluk hidup berpikiran agung yang menjalani kehidupannya sebagai umat awam dan menikmati lima kesenangan indrawi, kekayaan, barang berharga, kacung dan jongos, dan ditemani oleh anggota keluarga. Untuk membuat mereka melepaskan kehidupan awam, lima kesenangan indrawi, dan lain-lainnya, serta meninggalkan kehidupan berumah tangga, Bodhisattva pertama-tama tampak tinggal di rumah menikmati lima kesenangan indrawi, kekayaan, barang berharga, kacung dan jongos, dan di temani oleh anggota keluarga, dan kemudian tampak melepaskan semua ini dan meninggalkan kehidupan berumah tangga. Setelah melihat hal ini, para mahkluk hidup berpikir: ‘Lima kesenangan indrawi yang Bodhisattva nikmati adalah yang paling menakjubkan tanpa tandingan. Bila Bodhisattva masih dapat melepaskannya dan meninggalkan kehidupan berumah tangga, apalagi kita mengapa tidak melakukan hal yang sama?’

“Lagi pula, istri Bodhisattva dan para anggota keluarga lelaki dan wanita adalah orang-orang yang telah diubah Bodhisattva melalui dharma bajik ketika ia menapaki jalan-Bodhisattva di kehidupan lampau. Para mahkluk ini juga telah membuat tekad sumpah untuk menjadi istri atau anggota keluarga hingga pada masa kehidupan Bodhisattva mencapai Kebuddhaan. Demi menguatkan dharma putih nan suci yang dimiliki oleh orang-orang ini, maka Bodhisattva tampak tinggal bersama istri dan anggota keluarganya.

“Lagi pula, untuk mengajari dan mengubah empat puluh dua ribu wanita, agar mereka mengembangkan pikiran Anuttara-samyak-sambodhi, dan juga untuk membuat agar yang lainnya tidak jatuh ke alam kehidupan yang sengsara, maka Bodhisattva tampak tinggal bersama istri dan anggota keluarganya.
“Lagi pula, semua wanita yang hatinya terbakar oleh api asmara akan segera melepaskan nafsu birahinya ketika melihat Bodhisattva.

“Lagi pula, Bodhisattva secara gaib memunculkan banyak Bodhisattva yang memiliki ciri-ciri dan bentuk tubuh yang sama persis seperti dirinya. Wanita-wanita yang menghibur dirinya dengan Bodhisattva yang dibuat secara gaib itu berkata pada diri mereka bahwa mereka bersenang-senang dengan Bodhisattva yang asli.Sebenarnya, sepanjang waktu Bodhisatta tetap dalam keadaan Samadhi dan melatih diri dalam ketenangan dan kebahagiaan. Sama halnya dengan Bodhisattva yang dibuat secara gaib itu tidak memiliki pikiran nafsu ketika menikmati lima kesenangan indrawi, maka Bodhisattva yang asli bebas dari nafsu keinginan sejak masa Buddha Dipamkara hingga pada masa kehidupan di mana Bodhisattva mencapai Kebuddhaan. Ini adalah upaya kausalya yang dilatih oleh Bodhisattva-Mahasattva.

“Mengapa Bodhisattva melakukan perenungan di bawah pohon Jambudvipa? Putra yang berbudi, Bodhisattva berharap untuk mengajari dan mengubah tujuh ratus juta dewa; ia berharap orang tuanya mengetahui bahwa ia tentu akan mencukur jenggot dan rambutnya, mengenakan jubah pertapa, dan meninggalkan kehidupan berumah tangga; ia ingin memperlihatkan bahwa kearifannya bertambah dengan berteduh di bawah pohon Jambudvipa, dan ia ingin membuat para mahkluk hidup menguatkan akar kebajikannya. Ini adalah alasannya mengapa ia duduk bermeditasi di bawah pohon Jambudvipa melakukan perenungan. Ini adalah upaya kausalya yang dilatih oleh Bodhisattva-Mahasattva.

“Mengapa Bodhisattva keluar kota untuk mengamati kejadian-kejadian, bukannya menghibur dirinya dengan lima kesenangan indrawi? Putra yang berbudi, karena ia ingin memperlihatkan bahwa ia melihat orang tua, orang sakit, dan orang mati, maka ia keluar kota. Ia berharap keluarganya tahu bahwa ia meninggalkan kehidupan berumah tangga karena takut akan usia tua, sakit, dan mati, bukan karena kesombongan; bahwa ia meninggalkan kehidupan berumah tangga karena ia melihat adanya permasalahan dalam kehidupan berumah tangga. Untuk memperlihatkan kepada para mahkluk hidup penderitaan dari usia tua, sakit, dan mati, maka Bodhisattva keluar kota untuk mengamati kejadiaan-kejadian daripada menghibur dirinya dengan lima kesenangan indrawi. Ini adalah upaya kausalya yang dilatih oleh Bodhisattva-Mahasattva.

“Mengapa Bodhisattva tampak meninggalkan rumah pada tengah malam? Putra yang berbudi, Bodhisattva ingin memperlihatkan hal yang bermanfaat bagi mahkluk hidup. Ia menguatkan akar kebajikan mahkluk hidup di mana pun ia berada. Putra yang berbudi, demi pula kepentingan dharma yang putih nan suci, maka Bodhisattva meninggalkan lima kesenangan indrawi. Ia meninggalkan kehidupan berumah tangga tanpa memberitahukan anggota kelurganya, meninggalkan segala kesenangan, dan senantiasa tidak meninggalkan dharma yang putih nan suci, oleh sebab itulah, ia meninggalkan rumahnya pada tengah malam. Ini adalah upaya kausalya yang dilatih oleh Bodhisattva-Mahasattva.

“Mengapa Bodhisattva membuat dayang-dayang dan penjaganya tidur sebelum ia meninggalkan rumah? Karena, putra yang berbudi, ia ingin memberikan kesan seolah-olah para dewa yang bertanggung jawab atas kepergiannya meninggalkan rumah. Sebagian anggota keluarganya akan menjadi marah bila mereka diberitahukan bahwa Bodhisattva telah meninggalkan kehidupan berumah tangga. Bodhisattva berpikir, ‘Bila mereka gusar terhadap Saya, mereka akan sangat menderita di malam yang panjang dan akan jatuh ke tiga alam kehidupan sengsara. Tetapi bila mereka berpikir bahwa hal ini disebabkan oleh para dewa yang membuat para penjaganya tertidur, membukakan pintu untuk Saya, menuntun jalan keluar, dan kemudian naik ke langit dan terbang menjauh, berarti hal itu bukan kesalahan Saya, mereka akan lebih percaya kepada Saya dan tidak mempercayai dewa. *70 Dengan pemikiran ini, Bodhisattva membuat para dayang-dayang dan penjaganya tertidur sebelum ia meninggalkan rumah. Ini adalah upaya kausalya yang dilatih oleh Bodhisattva-Mahasattva.

“Mengapa Bodhisattva mengirim [kusirnya] Chandaka kembali dengan kuda putih, pakaian berharga, dan kalung-kalung giok dan mutiaranya? Karena, putra yang berbudi, ia bermaksud membuat anggota keluarganya tahu bahwa ia tidak serakah terhadap pakaian mewah dan berbagai kalung berharga milik orang awam. Di samping itu Bodhisattva berpikir, ‘Apa yang saya kerjakan sekarang ini akan membuat umat manusia lainnya belajar mengikuti contoh saya yang melepas segala apa pun yang saya miliki dan meninggalkan kehidipan berumah tangga demi Buddhadharma. Setelah meniru saya meninggalkan jauh-jauh semua yang mereka cintai, mereka akan melatih Empat Kebenaran Suci. Kendati demikian, mereka tidak seharusnya [mengikuti contoh saya] meninggalkan kehidupan berumah tanpa izin dari orang-tua mereka. *71 Ini adalah upaya kausalya yang dilatih oleh Bodhisattva-Mahasattva.

“Mengapa Bodhisattva sendiri yang mencukur rambutnya dengan sebuah pisau? Putra yang berbudi, di Tri-sahasra-maha-sahasra, tidak ada dewa, naga, hantu, roh, gandharva, manusia, atau bukan-manusia yang dapat mendekati Bodhisattva yang memiliki perbawa dan kebajikan agung, apalagi untuk bisa mencukur rambutnya. Lagi pula, Bodhisattva tampak mencukur rambutnya dengan sebuah pisau untuk membuat para mahkluk hidup percaya sepenuhnya bahwa ia sungguh-sungguh ingin meninggalkan kehidupan berumah tangga. Lagi pula, Bodhisattva melakukan itu demi [ayahnya] Raja Suddhodhana. Ketika [Bodhisattva meninggalkan rumah], dalam hati Raja Suddhodhana timbul pikiran jahatnya, dengan mengandalkan kekuatan kekuasaannya sendiri, berkata dengan congkaknya, ‘Saya akan bunuh orang yang mencukur rambut putraku.’ Ketika ia mendengar bahwa Bodhisattva mencukur rambutnya sendiri dengan sebuah pisau, pikiran jahat Raja Suddhodhana langsung lenyap. Ini adalah upaya kausalya yang dilatih oleh Bodhisattva-Mahasattva.

“Putra yang berbudi, sekarang Anda simak baik-baik kata-kataku.

Mengapa Bodhisattva melatih diri secara keras selama enam tahun? Putra yang berbudi, Bodhisattva menerima penderitaan ini bukan disebabkan oleh balasan dari karma masa lampau. Hal ini terjadi karena ingin menyebabkan semua mahkluk hidup bisa timbul perasaan takut terhadap semua balasan karma jahat dan berpaling kembali menuju jalan-Bodhisattva.

“Lagi pula, putra yang berbudi, pada masa Buddha Kasyapa, Bodhisattva pernah berkata, ‘Saya tidak mau bertemu dengan pertapa yang berkepala botak itu [maksudnya Buddha Kasyapa]. Bagaimana seorang berkepala botak bisa mencapai Bodhi? Jalan-Bodhi sangatlah dalam dan sulit untuk di capai.’ Ini juga upaya kausalya yang dipertunjukkan dan dilatih oleh Bodhisattva. Anda seharusnya mengerti arti dari apa yang ia katakan. Mengapa Bodhisattva mengucapkan kata-kata kasar seperti demikian?

“Putra yang berbudi, ketika Buddha Kasyapa muncul di dunia, ada seorang putra Brahma yang bernama Jyotiska. Ia mempunyai lima sahabat baik, kelimanya adalah putra-putra dari Brahma-brahma besar dan telah mempelajari Mahayana sebelumnya [di kehidupan mereka sebelumnya]. Pada waktu itu, kelima orang itu melupakan Bodhicitta karena telah lama bergaul dengan teman-teman jahat. Putra yang berbudi, di masa Buddha Kasyapa, kelima orang ini menganut aliran luar, tidak percaya pada Buddhadharma. Mereka memahami kata-kata dari guru-guru aliran luar, tetapi tidak memahami kata-kata Buddha [Kasyapa]. Mereka memahami doktrin dari guru-guru aliran luar, tidak memahami Buddhadharma. Kelima orang ini lalu menjadi pengikut seorang guru aliran luar. Guru aliran luar itu berkata, ‘Saya adalah Buddha, Bhagavan, Samyak-sambuddha. Saya juga telah mencapai jalan-bodhi’.

“Pada waktu itu, Brahmacarin Jyotiska melakukan upaya kausalya untuk membujuk dan memikat kelima orang ini kembali melatih Dharma lagi dan membuat kelima orang ini berpaling dari pikiran sesat aliran luar. Dengan menggunakan upaya kausalya, ia menjumpai seorang pembuat tembikar dan berkata, “Sekarang saya ingin bertemu dengan pertapa berkepala botak. Bagaimana seorang berkepala botak bisa mencapai Bodhi? Jalan-Bodhi sangatlah dalam dan sulit untuk dicapai’.

“Putra yang berbudi, tidak lama setelah ia mengucapkan kata ini, Brahmacarin Jyotiska bersama kelima orang itu berada di tempat terpencil. Pada saat itu, pembuat tembikar ini pergi menemui mereka dan berbicara panjang lebar. Kepada Brahmacarin Jyotiska, ia menyanjung Buddha Kasyapa, Tathagata, Arhat, Samyak-sambuddha. Ia juga berkata kepada Brahmacarin Jyotiska, ‘Anda boleh dengan saya bersama-sama pergi ke Buddha’.

“Putra yang berbudi, pada waktu itu, Brahmacarin Jyotiska berpikir, ‘Akar dari kebajikan dari kelima orang ini belum matang. Bila saya langsung memuji Buddha Kasyapa bukannya memuji guru aliran luar mereka, dalam pikiran kelima orang ini pasti muncul perasaan kurang percaya. [Bila hal ini terjadi,] mereka tidak mungkin pergi bersama Saya menemui Buddha.’ Karena itu, untuk tetap memegang teguh tekad sumpahnya, dan melaksanakan upaya kausalya hasil dari Prajna-paramita, Bodhisattva berkata demikian, ‘Saya tidak mau bertemu dengan pertapa yang berkepala botak itu. Bagaimana seorang berkepala botak bisa mencapai Bodhi? Jalan-Bodhi sangatlah dalam dan sulit untuk dicapai’.

“Apa hasil dari Prajna-paramita? Bodhisattva yang melatih Prajna-paramita itu tidak mempunyai pikiran tentang Bodhi, tidak mempunyai pikiran tentang Buddha. Pada waktu itu, Jyotiska melihat bukan Buddha pun bukan Bodhi; ia tidak melihat Bodhi [di mana pun ia baik] di dalam, di luar maupun di antaranya. Demikianlah ia memahami secara menyeluruh bahwa Bodhi itu kosong dan tidak eksis. Dengan mengetahui bahwa semua dharma adalah tidak eksis, maka sebagai suatu upaya kausalyanya, ia berkata, ‘Saya tidak mau bertemu dengan pertapa yang berkepala botak itu. Bagaimana seorang berkepala botak bisa mencapai Bodhi? Jalan-Bodhi sangatlah dalam dan sulit untuk dicapai’.

“Kemudian, putra yang berbudi, Brahmacarin Jyotiska dan kelima orang itu pergi ke tepi sungai. Ketika itu, demi mengubah kelima orang ini, pembuat tembikar yang telah dipengaruhi kekuatan batin Buddha, kembali datang ke tempat mereka. Kepada Brahmacarin Jyotiska, pembuat tembikar berkata demikian, ‘Anda boleh bersama saya pergi ke tempat Buddha, bersujud, memberi persembahan, penghormatan, dan pujian kepada Buddha. Kemunculan seorang Buddha, seorang Bhagavan, adalah kejadian yang sangat langka.’

“Setelah mendengar apa yang dikatakan pembuat tembikar, Brahmacarin Jyotiska sengaja menolak pergi. Kemudian pembuat tembikar menghampiri Brahmacarin, mencengkeram rambutnya, dan menggiringnya secara paksa untuk pergi ke tempat Buddha. Pada saat itu, [karena melihat peristiwa yang tidak biasa,] kelima orang ini sepakat membuntuti Brahmacarin Jyotiska dan lalu tiba di tempat Buddha.

“Sesuai hukum negara pada masa itu, seorang yang mencengkeram rambut orang lain harus mati bila ia didakwa di depan hakim. Pada waktu itu kelima orang ini memunculkan pandangan salah. Melihat pembuat tembikar mencengkeram rambut Brahmacarin Jyotiska dan menariknya dengan paksa ke tempat Buddha, mereka membuntuti Brahmacarin dengan pemikiran: ‘Berkah dan kebajikan apa yang dimiliki oleh Dharma dari Tathagata sehingga menyebabkan pembuat tembikar, tanpa menghiraukan resiko hukuman mati, mencengkeram rambut Jyotiska dan menariknya untuk bersujud, memberi persembahan, penghormatan, dan pujian kepada Buddha itu?

“Ketika kelima orang ini tiba di tempat Buddha Kasyapa berada dan melihat Buddha, mereka kembali membangkitkan tekad sumpah mereka semula [yang dibuat di kehidupan lampau] dan percaya serta menghormati Buddha. Setelah itu, mereka menghardik Jyotiska di depan Buddha, dan berkata, ‘Bhagavan memiliki kebajikan yang mengagumkan! Bila Anda telah mendengar mengenai ini sebelumnya, mengapa Anda masih tidak mempercayai dan menghormatinya?’

“Putra yang berbudi, ketika kelima orang ini melihat kebajikan yang mengagumkan dari Buddha Kasyapa dan mendengar kefasihan berbicaranya, mereka kembali membangkitkan pikiran Anuttara-samyak-sambodhi.

“Melihat kelima orang begitu terpusat perhatiannya pada Bodhi, maka Buddha Kasyapa menjelaskan kepada mereka, yang pertama adalah Dharani non-Regresif tentang Kalimat Vajra (Avaivartika-dharani-vajra-pada) dari Bodhisattva-pitaka, dan kemudian kesabaran-terhadap-ketidakmunculan-dharma. Pada saat itu pula, kelima orang ini segera mencapai kesabaran-terhadap-ketidakmunculan-dharma.

“Putra yang berbudi, sekarang Saya telah mencapai kearifan-Buddha. Saya tahu bila pada saat itu, Brahmacarin Jyotiska memuji Buddha Kasyapa, bukan memuji guru aliran luar mereka, tentu kelima orang ini tidak akan pergi ke tempat Buddha, dan tentunya tidak akan mempercayai atau menghormati Buddha.

“Putra yang berbudi, demi mengubah kelima orang ini untuk belajar kendaraan-Bodhisattva (Bodhisattva-yana), Brahamacarin Jyotiska melaksanakan upaya kausalya dari hasil pencapaian Prajna-paramita dan berkata demikian, ‘Saya tidak mau bertemu dengan pertapa yang berkepala botak itu. Bagaimana seorang berkepala botak bisa mencapai Bodhi? Jalan-Bodhi sangatlah dalam dan sulit untuk dicapai.’ Putra yang berbudi, Bodhisattva, yang tidak pernah mundur  [dari jalan-Bodhi], tidak ragu-ragu terhadap Buddha, tidak ragu-ragu terhadap Bodhi, dan tidak ragu-ragu terhadap Buddhadharma. Ini adalah upaya kausalya yang dilatih oleh Bodhisattva-Mahasattva.

“Lagi pula, demi mengajari dan mengubah kelima orang ini, serta ia ingin dirinya memperlihatkan balasan karma, Bodhisattva tampak dirintangi oleh karma [karena telah mencela Buddha Kasyapa] dan ia menjalani tirakat [atau pertapaan yang keras dan menderita] selama enam tahun. Tidak sama halnya bila para mahkluk hidup, karena kurangnya pengertian dan kesalahan persepsi, mengatai atau menjelekkan Sramana atau Brahmana, menyebut yang berpengetahuan sebagai yang tak berpengetahuan, menyebut yang bebas [dari Samsara] sebagai yang tak bebas; para mahkluk hidup itu akan mengalami penderitaan di malam yang panjang tanpa mendapatkan manfaat, dan jatuh ke alam kehidupan yang sengsara. Demi kepentingan para mahkluk hidup yang demikianlah maka Bodhisattva memperlihatkan bahwa ia berbuat karma dan tampak menerima hasil dari balasan karma tersebut, meskipun ia sebenarnya bebas dari balasan karma yang merintanginya. Demikian pula halnya dengan semua Tathagata. Ada mahkluk hidup menderita kecemasan dan kesukaran dan tidak dapat memperoleh pembebasan atau hasil buah dari Sang Jalan karena mereka mencela penjaga-sila Sramana atau Brahmana. Demi membebaskan mahkluk hidup ini dari kecemasan dan kesukaran, maka Bodhisattva memperlihatkan dirinya menerima balasan karma yang demikian. Dengan demikian, para mahkluk hidup ini melakukan pemikiran demikian, ‘Bahkan Bodhisattva sekalipun, yang mencapai Kebuddhaan di kehidupan ini, masih mendapatkan pembebasan, meskipun kenyataannya ia mencela Buddha Kasyapa. Apalagi bagi kita yang telah berkata kasar hanya dari ketidaktahuan. Oleh sebab itu, sekarang kita harus menyesali kesalahan-kesalahan kita dan tidak pernah lagi berbuat karma buruk apa pun’.

“Lagi pula, putra yang berbudi, demi menaklukkan para penganut aliran luar [yang menganut pertapaan yang ekstrem], maka Bodhisattva menjalani tirakat selama enam tahun, tetapi bukan disebabkan rintangan karma yang nyata. Mengapa? Ada beberapa Sramana dan Brahmana di dunia ini memakan sebiji wijen atau sebutir beras sehari untuk menunjukkan kepada mereka bahwa dengan memakan makanan kasar [dengan porsi yang demikian sedikit], Bodhisattva masih tetap tidak dapat mencapai jalan mulia, apalagi mencapai kesucian dan pembebasan.*72 Oleh sebab itu, Bodhisattva [sengaja] berkata, ‘Saya tidak mau bertemu dengan pertapa yang berkepala botak itu. Bagaimana seorang berkepala botak bisa mencapai Bodhi? Jalan-Bodhi sangatlah dalam dan sulit untuk dicapai.’ dan tampak menerima penderitaan dengan menjalani tirakat selama enam tahun, tujuannya untuk menaklukkan lima juta dua ratus ribu pertapa yang berlatih ekstrem, para dewa, mahkluk-abadi-setengah-dewa dari aliran luar, dan beberapa Bodhisattva yang berlatih secara ekstrem. Ini adalah upaya kausalya yang dilatih oleh Bodhisattva-Mahasattva.

Mengapa Bodhisattva mencapai pohon Bodhi setelah makan dan penuh dengan tenaga, bukan selagi kurus dan lemah? *73 Putra yang berbudi, Bodhisattva bisa mencapai Anuttara-samyak-sambodhi meskipun tidak makan dan minum sama sekali sehingga menjadi lemah, apalagi bila ia memakan sebiji wijen atau sebiji beras [setiap hari]. Pada waktu itu, demi mengasihi para mahkluk hidup masa depan, Bodhisattva memakan makanan menakjubkan [yang dipersembahkan kepadanya]. Mengapa? Karena akar kebajikan para mahkluk hidup belum matang, sehingga bila mereka yang ingin mencari Sang Jalan namun menderita kelaparan dan kehausan akibat tidak makan dan minum apa pun, mereka tidak dapat memperoleh kearifan; tetapi bila berlatih [Dharma] dengan tenang dan bahagia, mereka dapat memperoleh kearifan. Untuk menunjukkan secara jelas bahwa berlatih Dharma bukanlah dengan cara tirakat, maka Bodhisattva memperlihatkan kepada semua mahkluk hidup bahwa ia memperoleh kearifan dengan cara berlatih [Dharma] secara tenang dan bahagia. Juga demi mengasihi para mahkluk hidup masa depan, Bodhisattva menginginkan mereka memakan makanan yang baik, seperti yang telah dilakukannya; oleh sebab itu ia [memperlihatkan bahwa ia] mencapai tiga-puluh-tujuh cara menuju Bodhi (Bodhipaksika-dharma) *74 dan mencapai Anuttara-samyak-sambodhi hanya setelah memakan makanan menakjubkan yang diberikan seorang wanita bernama Sujata. Wanita ini juga mencapai [tiga-puluh-tujuh] cara menuju Bodhi. Lagi pula, Bodhisattva merasa bahagia bahkan ketika berada di dhyana pertama sekalipun, dan dapat bersemayam di dalam dhyana tersebut tanpa makan selama ratusan ribu kalpa. Ini adalah upaya kausalya yang dilatih oleh Bodhisattva-Mahasattva.

“Mengapa Bodhisattva meminta rumput kepada dewa bernama Sri Prasrabdi untuk menutupi tempat duduknya? Putra yang berbudi, ini karena para Buddha yang terdahulu tidak menutupi kursi-pembebasan dengan bahan sutra halus, dan karena Bodhisattva ingin pula membantu dewa Sri Prasrabdi mencapai tiga-puluh-tujuh jalan menuju Bodhi. Setelah memberikan rumput kepada Bodhisattva, Sri Prasrabdi mengembangkan pikiran Anuttara-samyak-sambodhi. Putra yang berbudi, saya meramalkan bahwa dewa Sri Prasrabdi, di kehidupan yang akan datang, menjadi seorang Buddha bernama Tathagata Vimala, Arhat, Samyak-sambuddha. Ini adalah upaya kausalya yang dilatih oleh Bodhisattva-Mahasattva.

“Ketika Bodhisattva duduk di bawah pohon Bodhi, mengapa ia membuat Papiyan, Raja Mara, datang ke tempatnya di bawah pohon Bodhi dan mencoba merintanginya mencapai Anuttara-samyak-sambodhi? Putra yang berbudi, Raja Mara sebenarnya tidak dapat mencapai pohon Bodhi [dengan kekuatannya sendiri]. Bila Bodhisattva tidak memanggilnya datang, Raja Mara tidak mungkin mampu datang. Putra yang berbudi, pada waktu itu Bodhisattva melakukan pemikiran yang demikian di bawah pohon Bodhi, ‘Siapa yang termulia tiada tara di empat benua? Termasuk siapa punya keempat benua ini?’ Dengan segera, Bodhisattva mengetahui bahwa Papiyan, Raja Mara, adalah yang paling dihormati di Alam Nafsu. Ia berpikir: ‘Sekarang, jika saya bertanding dengan Raja Mara dan ia kalah, ini akan membuktikan bahwa ia dan seluruh mahkluk hidup di Alam Nafsu adalah lebih rendah daripada saya. Pada saat itu, banyak dewa akan datang bersama-sama ke pohon Bodhi dan muncul keyakinan [terhadap Triratna] ketika mereka tiba. Para mara, dewa, naga, hantu, roh, gandharva, asura, garuda, kinnara, dan mahoraga akan mengitari pohon Bodhi; sebagian dari mereka akan membangkitkan pikiran Anuttara-samyak-sambodhi, sebagian lagi bercita-cita menjadi Bodhisattva, dan beberapa membangkitkan keyakinan [terhadap Tritarna] ketika mereka melihat Saya [melakukan] permainan drama singa; ada yang bahkan akan mencapai pembebasan hanya karena melihat saya.’

“Putra yang berbudi, setelah berpikir demikan, Bodhisattva dari bulu halus putih yang terletak di antara alis-alisnya (urna), memancarkan seberkas sinar yang [amat terang] membuat [cahaya yang ada di] istana Papiyan seperti gelap. Pada saat itu, semua tempat di tri-sahasra-maha-sahasra menjadi amat terang karena disinari oleh kecemerlangan cahaya tersebut. Di tengah-tengah kecemerlangan cahaya tersebut terdengar suara ini: “Keturunan dari suku Sakya, yang telah meninggalkan kehidupan berumah-tangga untuk mempelajari Sang Jalan, sekarang akan mencapai anuttara-samyak-sambodhi. Ia akan melampaui alam-fenomena mara, mengalahkan para mahkluk mara, dan mengurangi jumlah para mara di masa mendatang. Sekarang ia sedang bertarung dengan Papiyan, Raja Mara’.

“Putra yang berbudi, setelah mendengar suara itu, Papiyan menjadi sangat cemas, dan merasa bagaikan sebuah panah telah menembus ke dalam hatinya. Lalu ia memerintahkan empat jenis pasukannya *75 berbaris sepanjang 36 yojana [atau sekitar 540-720km], semuanya datang mengepung pohon Bodhi dengan tujuan menyulitkan Bodhisattva. Pada saat itu, Bodhisattva bersemayam dalam cinta kasih agung, welas asih agung, dan kearifan agung. Dengan hasil kebajikan dari kearifannya, ia menunjuk ke tanah dengan tangannya yang keemasan, dan para mara segera lari berhamburan. Setelah para mara dienyahkan, delapan trilyun empat ratus milyar dewa, naga, hantu, roh, gandharva, asura, garuda, kinnara, mahoraga, kumbhanda, dan sebagainya membangkitkan pikiran Anuttara-samyak-sambohi, karena mereka melihat kebajikan yang luar biasa, tubuh yang indah, roman yang cakap, dan kekuatan yang sangat perkasa dari Bodhisattva tersebut. Ini adalah upaya kausalya yang dilatih oleh Bodhisattva-Mahasattva.

“Mengapa Tathagata tetap duduk bersila, menengadah dan melihat ke atas pohon Bodhi tanpa berkedip, selama tujuh hari tujuh malam? Putra yang berbudi, pada saat itu ada beberapa dewa di Alam Berwujud sedang melatih keheningan dan kegemingan [atau ketidakgerakan] tertinggi. Mereka sangat senang melihat Tathagata duduk bersila, dan berpikir, ‘Sekarang mari kita coba mencari tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Sramana Gautama.’ Para dewa tersebut sama sekali tidak bisa menemukan satu pemikiran pun di dalam pikiran Tathagata setelah pencarian selama tujuh hari dan tujuh malam, sehingga kegembiraan mereka bertambah beberapa kali lipat. Ada tiga puluh dua ribu dari mereka yang membangkitkan pikiran Anuttara-samyak-sambodhi dan membuat tekad sumpah yang demikian: ‘Kami di kehidupan mendatang akan mendapatkan kegemingan tertinggi seperti yang demikian sehingga kami dapat menengadah dan memandang ke atas pohon Bodhi [dengan cara yang sama]’. Maka itu, setelah Tathagata mencapai Sang Jalan, ia tetap duduk bersila, menengadah dan memandang atas ke pohon Bodhi tanpa berkedip selama tujuh hari tujuh malam. Ini adalah upaya kausalya dari Tathagata.

“Ketika Tathagata masih menapaki jalan-Bodhisattva, ia melatih perbuatan-perbuatan dan tekad sumpah yang tak terhitung banyaknya untuk memberikan kebahagiaan pembebasan kepada semua mahkluk hidup, namun, Mengapa ia membabarkan Dharma hanya setelah diminta oleh Brahma untuk melakukannya? Putra yang berbudi, Tathagata mengetahui bahwa banyak dewa dan manusia berlindung kepada Brahma dan memujanya karena mereka berpikir bahwa Brahma telah menciptakan mereka, bahwa ia adalah mahkluk yang termulia di dunia, dan bahwa selain ia tiada lagi yang dapat menciptakan dunia. Putra yang berbudi, pada saat itu, mengetahui hal ini, Tathagata berpikir, ‘Sekarang saya harus menunggu Brahma untuk meminta saya membabarkan Dharma. Bila Brahma tunduk padaku, maka mahkluk-mahkluk yang berlindung kepadanya akan berlindung kepadaku dan berkata satu sama yang lain, “Brahma meminta Tathagata untuk membabarkan Dharma. Brahma sungguh telah melakukannya”.

“Putra yang berbudi, karena Tathagata mempunyai kebajikan agung yang luar biasa, Brahma datang kepadanya dan memohon dengan sangat untuk membabarkan Dharma dan memutar roda-Dharma. Putra yang berbudi, jika tidak melalui kekuatan batinku yang menyebabkan Brahma datang memohon kepadaku, ia tidak akan datang memohon, karena ia tidak mempunyai niat untuk melakukannya. Putra yang berbudi, supaya para mahkluk hidup yang berlindung kepada Brahma melepaskan diri mereka darinya, amatlah penting bagi Buddha untuk menunggu sampai Brahma memohon kepadanya; tindakan Brahma membuktikan kehebatan dan keunggulan Buddha. Putra yang berbudi, ketika Brahma memohon kepada Tathagata untuk memutar roda-Dharma, enam juta delapan ratus ribu dewa dari surga Brahma membangkitkan pikiran Anuttara-samyak-sambodhi dan berkata, “Ia benar-benar seorang Buddha. Ia yang termulia, yang tertinggi di antara para mahkluk hidup.’ Mereka membuat tekad sumpah yang demikian: ‘ Di salah satu kehidupan mendatang, saya akan mencapai kearifan dan kebajikan yang luar biasa sama seperti yang telah dicapai Buddha.’ Ini adalah upaya kausalya dari Tathagata.

“Putra yang berbudi, saya baru saja membicarakan tentang sebab-musabab dan kondisi-kondisi dalam memperlihatkan sepuluh perbuatan *76 kepada mahkluk hidup. Dalam melakukan sepuluh perbuatan ini, Bodhisattva, Tathagata mempertunjukkan upaya kausalya. Hanya orang arif yang dapat memahami hal ini. Putra yang berbudi, Anda tidak boleh beranggapan bahwa Bodhisattva telah melakukan pelanggaran, bahkan yang terkecil sekalipun. Akan tidak mungkin bagi Bodhisattva untuk duduk di Bodhimanda dan mencapai Anuttara-samyak-sambodhi jika ia telah melakukan hal-hal yang tidak baik apa pun, bahkan yang terkecil sekalipun. Mengapa? Karena, putra yang berbudi, Tathagata telah berhasil dalam segala dharma yang baik dan memutuskan segala dharma yang tidak baik. Ia bebas dari Samsara, balasan karma, dan kekuatan kebiasaan [yang menumpuk di kehidupan-kehidupan lampau]; sama sekali tidak mungkin bahwa ia masih ada sisa karma yang belum dilenyapkan, apalagi bahwa ia dirintangi oleh balasan karma. Putra yang berbudi, demi kepentingan para mahkluk hidup yang mengatakan bahwa tidak ada balasan karma dan yang tidak percaya adanya balasan karma, maka Tathagata memperlihatkan sebab-musabab dan kondisi-kondisi yang memunculkan ‘balasan karma’ pada dirinya. Tathagata sebenarnya tidak mempunyai balasan karma, tetapi memperlihatkan hal ini kepada para mahkluk hidup, supaya mereka dapat berpikir, ‘Bahkan ia, Raja Dharma, pun masih menerima balasan karma, apalagi para mahkluk hidup lainnya”. *77

“Putra yang berbudi, Tathagata tidak mempunyai rintangan-rintangan karma. Sebagai contoh, misalnya seorang guru pandai yang mengajar anak-anak membacakan untuk mereka beberapa bab dari sebuah buku. Ia melakukannya bukan karena ia tidak mengerti isi buku itu, tetapi karena ia berpikir bahwa anak-anak tersebut akan meniru contohnya dan ikut membaca. Dengan cara yang demikian pula, putra yang berbudi, Tathagata, yang telah mempelajari semua dharma yang baik, mengatakan kata-kata tertentu dan memperlihatkan peristiwa-peristiwa tertentu [bukan karena ia masih mempunyai rintangan-rintangan karma tertentu, tetapi] karena ia ingin para mahkluk hidup lainnya melakukan perbuatan-perbuatan suci.

“Putra yang berbudi, sebgai contoh, misalnya seorang dokter hebat yang bisa menyembuhkan segala penyakit. Ia mungkin memakan obat-obat yang pahit di hadapan para pasien-pasiennya meskipun ia sendiri tidak sakit, agar setelah melihat ini, para pasiennya mungkin juga akan memakan obat yang pahit tersebut dan sembuh dari penyakit mereka. Demikian pula, putra yang berbudi, Tathagata telah menyembuhkan dirinya dari segala penyakit kekotoran batin dan tidak mempunyai rintangan [karma] sedikit pun. Namun ia bisa memunculkan manifestasi apa pun, oleh sebab itulah, kadang-kadang ia tampak seperti menerima balasan karma dari ‘karma jahat’ tertentu untuk membuat para mahkluk hidup melenyapkan segala rintangan karma perbuatan, ucapan, dan pikiran, serta melakukan perbuatan-perbuatan suci.

“Putra yang berbudi, sebagai contoh, misalnya ibu susu dari putra seorang sesepuh. Demi kepentingan bayi yang dipercayakan perawatannya karena cinta orang tua itu terhadap putranya, ia meminum obat yang pahit walaupun tidak sakit. Ia meminum obat yang pahit itu karena ingin membuat susunya suci. Demikian pula, putra yang berbudi, Tathagata, Bapak dari Seluruh Dunia, tidak jatuh sakit, tetapi tampak seperti sakit dengan tujuan untuk mengajari dan mengubah para mahkluk hidup yang tidak bisa mengetahui balasan karma; ia tampak seperti menerima balasan-balasan tertentu dari karma-karma tertentu, agar setelah mendengar hal ini, para mahkluk hidup menjadi takut dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan jahat lagi”.

Buddha memberitahukan lebih lanjut kepada Bodhisattva Nyanajina, “Putra yang berbudi, pada masa Buddha Dipamkara, ada lima ratus orang pedagang yang pergi ke lautan besar untuk mencari barang-barang berharga. Putra yang berbudi, di antara lima ratus orang pedagang itu, ada seorang pedagang gadungan berhati busuk dan selalu melakukan kejahatan dengan kejam tanpa rasa penyesalan. Ia mahir dalam menyusun strategi. Perampok ini sering merampas barang orang lain, biarpun ia kelihatannya seperti pedagang. Ketika ia berada di kapal yang sama dengan pedagang-pedagang lain, ia berpikir, ‘Para pedagang ini telah memperoleh banyak barang berharga. Saya akan membunuh mereka dan kembali sendirian ke Jambudvipa dengan barang rampasan tersebut’. Dengan adanya pemikiran ini, ia memutuskan untuk membunuh mereka. Putra yang berbudi, pada saat itu, ada seorang lelaki bernama Maha Karuna, yang merupakan pemimpin dari para pedagang tersebut. Dalam sebuah mimpi, dewa laut muncul di hadapannya dan berkata, “Di antara orang-orangmu, ada seorang lelaki jahat dengan penampilan tertentu yang merupakan seorang perampok dan selalu mencuri dari orang lain. Sekarang ia mempunyai maksud jahat untuk membunuh lima ratus orang ini dan kembali sendirian dan Jambudvipa sendirian dengan barang berharga tersebut, ia akan melakukan suatu karma buruk yang besar sekali. Mengapa? Karena lima ratus orang ini adalah para Bodhisattva yang tidak mundur dari kemajuan yang telah mereka capai menuju Anuttara-samyak-sambodhi. Jika orang jahat ini membunuh para Bodhisattva, untuk kejahatan ini, ia akan tetap di neraka untuk jangka waktu yang lama, mulai dari saat para Bodhisattva ini membangkitkan Bodhicitta sampai saat mereka mencapai Anuttara-samyak-sambodhi. Anda adalah pemimpin mereka. Anda boleh menyusun suatu upaya kausalya untuk mencegah orang jahat ini masuk ke neraka, dan sekaligus juga untuk menolong nyawa lima ratus Bodhisattva ini.’

“Putra yang berbudi, Maha Karuna, sebagai pemimpin, lalu berpikir, ‘Harus melakukan upaya kausalya yang bagaimana supaya bisa mencegah orang jahat itu masuk ke neraka dan menolong nyawa lima ratus Bodhisattva ini?’ Walupun ia berpikir demikian, ia masih tidak memberitahu siapa pun tentang hal itu.

“Pada saat itu, mereka sedang menunggu angin, yang diharapkan akan datang dalam tujuh hari untuk membawa mereka kembali ke Jambudvipa. Setelah tujuh hari berlalu, ia berpikir, “Tidak ada cara lain untuk menyelamatkan nyawa lima ratus orang itu kecuali membunuh orang jahat ini.’ Lalu ia berpikir lebih lanjut, ‘Bila saya memberitahukan kepada lima ratus orang ini tentang orang jahat tersebut, maka mereka akan memunculkan pikiran jahat dan mereka sendiri yang akan membunuhnya, dan kemudian mereka akan jatuh ke alam kehidupan yang sengsara’.

“Putra yang berbudi, Maha Karuna, sebagai pemimpin, lalu berpikir, ‘Saya harus membunuhnya sendiri. Biarpun saya akan jatuh ke alam neraka yang sengsara dan menjalani penderitaan selama ratusan ribu kalpa karena telah membunuhnya, saya mampu menahan penderitaan ini, namun saya tidak akan membiarkan orang jahat ini membunuh lima ratus Bodhisattva dan menderita di neraka karena karma jahat tersebut.’

“Putra yang berbudi, pada saat itu, sebagai pemimpin, Maha Karuna menaruh belas kasihan kepada orang jahat itu dan berbuat upaya kausalya. Oleh karena ia berpikir, ‘Saya akan membunuh orang jahat ini karena saya mau melindungi lima ratus orang ini,’ maka ia membunuh orang jahat itu dengan menusuk dengan tombak. Pada akhirnya para pedagang tersebut kembali ke Jambudvipa dengan selamat.

“Putra yang berbudi, Anda tidak boleh mempunyai keraguan. Pemimpin pada saat itu tidak lain adalah saya sendiri, lima ratus pedagang tersebut adalah lima ratus Bodhisattva dari Bhadrakalpa *78 yang akan mencapai Anuttara-samyak-sambodhi dalam kalpa ini.

“Putra yang berbudi, karena saya menggunakan upaya kausalya dari welas asih yang sangat besar pada saat itu, saya mampu menghindari kesengsaraan Samsara selama seratus ribu kalpa, dan orang jahat itu dilahirkan kembali di alam yang baik di surga, sesudah mati. *79

“Putra yang berbudi, sekarang ketahuilah Anda bahwa bahwa ini hanya sebuah pertunjukan kekuatan dari upaya kausalya Bodhisattva. Janganlah menganggap bahwa Bodhisattva mempunyai rintangan balasan karma yang demikian namun sekaligus bisa menghindari kesengsaraan Samsara selama ratusan ribu kalpa.

“Putra yang berbudi, demi kepentingan semua mahkluk hidup, Tathagata melakukan upaya kausalya dengan memperlihatkan dirinya ditusuk oleh duri [pohon] khadira [sebagai balasan karma dari perbuatan membunuh orang dengan sebuah tombak di suatu kehidupan lampau]. Putra yang berbudi, saat duri khadira menusuk kaki Tathagata, dan Anda seharusnya tahu, putra yang berbudi, itu merupakan kekuatan batin Buddha menyebabkan duri itu menusuk kakinya. Mengapa? Karena Tubuh-Vajra Tathagata tidak dapat dilukai.

“Putra yang berbudi, suatu ketika di masa lalu, di Sravasti, ada dua puluh orang yang sudah tiba pada kehidupan terakhir di Samsara. Masing-masing dua puluh orang tersebut mempunyai satu musuh, dan setiap musuh itu berpikir: ‘Dengan berpura-pura menjadi sahabat baiknya, saya akan datang ke rumahnya dan membunuhnya, tanpa memberitahukan kepada siapa pun’.

“Putra yang berbudi, waktu itu di sebabkan oleh kekuatan batin Buddha, dua puluh orang yang tiba pada kehidupan terakhir di Samsara, bersama-sama dengan dua puluh musuh mereka, datang ke tempat di mana Buddha berada.

“Putra yang berbudi, untuk menaklukkan keempat puluh orang ini, Tathagata berkata kepada Mahamaudgalyayana di tengah-tengah pesamuhan, ‘Sebuah duri khadira sekarang akan muncul dari tanah dan menusuk kaki kananku’.

“Lalu dari tanah, muncul sebuah duri yang tumbuh hingga sepanjang satu kaki sebelum mengenai kaki Buddha. Pada saat itu, Mahamaudgalyayana berkata kepada Buddha, ‘Bhagavan, biarkan saya menarik duri ini keluar dari tanah dan melemparkannya ke dunia lain’.

“Buddha memberitahukan kepada Mahamaudgalyayana, ‘Ini di luar kekuatanmu. Duri khadira sekarang ada di sini, tetapi Anda tidak akan mampu mencabutinya’.

“Lalu Mahamaudgalyayana mengambil duri ini dan menarik dengan sekuat tenaga batinnya. Terjadilah goncangan hebat diseluruh Tri-sahasra-maha-sahasra, dan semua dunia-dunia terangkat, tetapi duri itu sedikit pun tak bergerak.

“Putra yang berbudi, pada saat itu, dengan kekuatan batinnya, Tathagata naik ke surga Empat Raja Dewata (catur-maharaja-kayika), tetapi duri khadira juga pergi mengikutinya. Lalu Tathagata naik ke Surga Tiga-puluh-Tiga (trayastrimsa), Surga Yama, Surga Tusita, Surga Nirmanarati, Surga Paranirmita-Vasavartin, tetapi duri itu mengikutinya sampai ke tempat-tempat itu juga; demikian pula halnya sampai naik ke Surga Brahma. Lalu Tathagata dari Surga Brahma kembali ke asal tempat duduknya di Sravasti Jambudvipa, tetapi duri itu mengejar Tathagata balik hingga ke tempat semula, mengarah langsung ke Tathagata. Kemudian Tathagata menangkap duri khadira tersebut dengan tangan kanannya dan menaruh tangan kirinya di atas tanah, dan menginjak duri tersebut dengan kaki kanannya. Setelah itu terjadi goncangan hebat di seluruh Tri-sahasra-maha-sahasra. Melihat hal ini Y.A. Ananda bangkit dari tempat duduknya, dengan bahu kanan terbuka, dan bersujud memberi penghormatan pada Buddha; lalu ia beranjali kepada Buddha, dan bertanya, ‘Bhagavan, karma apakah yang Anda lakukan di masa lampau, sehingga Anda mendapatkan balasan karma yang demikian sekarang?’

“Buddha menjawab Ananda, ‘Di salah satu kehidupan lampauku, dalam pelayaran samudra, saya menusuk mati seorang laki-laki dengan tombak. Ananda, disebabkan oleh karma itu, maka saya menerima balasannya’.

“Putra yang berbudi, setelah saya menjelaskan kondisi karma ini, dua puluh musuh yang ingin membunuh dua puluh orang itu berpikir, ‘Balasan Tathagata, Raja Dharma, pun masih harus menerima balasan dari karma buruknya, apalagi kami bagaimana mungkin bisa tidak menerima balasan karma’.

“Dua puluh musuh tersebut segera bangkit dari tempat duduknya, bersujud dengan kepala mereka di kaki Buddha, dan berkata, ‘Kami sekarang di hadapan Buddha menyesali kesalahan kami dan tidak berani menutupinya. Bhagavan, kami dengan pikiran jahat ingin membunuh dua puluh orang. Sekarang kami menyesali secara mendalam kesalahan kami dan tidak berani menutupinya’.

“Lalu demi kepentingan dua puluh orang musuh ini, Bhagavan menjelaskan tentang kondisi-kondisi yang menimbulkan karma dan menghabiskan karma. Setelah mendengar penjelasan ini, dua puluh musuh tersebut memperoleh pemahaman yang benar tentang Dharma, dan juga empat puluh ribu lainnya. Ini adalah alasannya mengapa kaki Tathagata tampak seperti dilukai oleh sebuah duri khadira. Ini adalah upaya kausalya dari Tathagata.

“Mengapa Tathagata suatu kali pernah meminta kepada raja-tabib Jivitadana setangkai bunga lotus biru [yang digunakan sebagai obat]’ mencium baunya dan menelannya, walaupun ia tidak sakit? Putra yang berbudi, tidak lama setelah Tathagata menetapkan sila-sila untuk tujuan pembebasan [dari Samsara], terdapat lima ratus bhiksu yang sudah mencapai kehidupan terakhir di alam Samsara dan yang telah sering melatih Sang Jalan di hutan-hutan terpencil. Bhiksu-bhiksu ini menderita suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan dengan obat usang yang mereka miliki, tetapi meraka tidak mencari obat lain karena mereka menjaga sila-sila yang ditetapkan oleh Buddha dengan hormat dan kehati-hatian.

“Putra yang berbudi, pada waktu itu, Tathagata berpikir, ‘Upaya kausalya apakah yang harus saya lakukan untuk memberi ijin kepada mereka memakan obat lain?’ Jika Tathagata memberikan ijin, bhiksu-bhiksu ini tentu akan mencari dan memakan obat lain [yang dapat menyembuhkan mereka]. Jika Tathagatha tidak memberikan mereka ijin, bhiksu-bhiksu di masa mendatang tentu akan melanggar hukum suci [bila mereka memakan obat yang berkhasiat]. Oleh sebab itu, sebagai upaya kausalya yang dilakukan Tathagata, ia meminta tabib Jivitadana setangkai bunga lotus biru, mencium baunya, dan menelannya.

“Kemudian dewa dari Surga Kediaman Suci, *80 mendatangi para bhiksu-bhiksu itu dan berkata, ‘Yang Mahabajik, kalian boleh mencari obat lain. Jangan mati karena sakit’.

“Para bhiksu tersebut menjawab, ‘Kami tidak berani melanggar ajaran-ajaran Bhagavan. Jika kami tidak mematuhi ajaran-ajarannya, kami akan merasa tidak enak. Kami lebih baik mati daripada tidak mematuhi ajaran-ajaran Buddha. Kami tidak akan mencari obat berkhasiat baik yang dapat memperpanjang hidup kami.’

“Setelah mereka mengucapkan hal yang demikian, dewa itu berkata, “Yang Mahabajik, Tathagata, Raja Dharma, sendiri telah mencari obat yang berkhasiat baik, menolak obat yang usang. Yang Mahabajik, kalian boleh mencari obat lain [yang bisa menyembuhkanmu].

“Setelah mendengar kata-kata ini, para bhiksu tidak lagi ragu-ragu untuk mencari dan memakan obat yang baik, dan dengan demikian mereka sembuh dari penyakit mereka. Kurang dari tujuh hari setelah sembuh dari penyakit, mereka meraih pencapaian Arhat. Putra yang berbudi, jika Tathagata tidak mencari obat yang lain, maka para bhiksu pun tidak akan mencari obat lain. Jika para bhiksu tidak mencari obat lain, maka mereka tidak mungkin dapat menyembuhkan penyakit mereka, memutuskan segala ikatan kekotoran batin mereka, meraih pencapain Arhat. Ini adalah upaya kausalya dari Tathagata.

“Mengapa Tathagata pernah suatu kali memasuki kota untuk berpindapata dan kemudian keluar dengan mangkuk yang kosong? Putra yang berbudi, Tathagata telah terbebas dari rintangan karma. Pada saat itu, Tathagata menaruh kasihan terhadap para bhiksu di masa mendatang. Bilamana ada bhiksu-bhiksu yang memasuki sebuah kota atau desa untuk berpindapata tetapi tidak diberikan apa-apa karena mereka kekurangan nasib baik dan berkah, mereka tentu akan berpikir: ‘Bahkan Tathagata, Bhagavan, yang telah mencapai [semua] berkah dan kebajikan, pun pernah suatu kali memasuki kota untuk berpindapata tetapi keluar dengan mangkuk kosong; apalagi kami yang memiliki akar kebajikan yang sedikit. Kami seharusnya tidak menjadi khawatir atau merasa dongkol hanya ketika kami meminta makanan tetapi tidak diberi apa pun.’ Itulah sebabnya mengapa Tathagata memperlihatkan dirinya memasuki suatu kota untuk berpindapata dan kembali dengan mangkuk kosong.

Putra yang berbudi, jika Anda menyebutkan bahwa ini disebabkan oleh Raja Mara Papiyan [sendiri] yang membingungkan pikiran para sesepuh dan para Brahmana yang ada di kota, sehingga mereka tidak memberikan segentel makanan pun kepada Tathagata. Putra yang berbudi, janganlah berpikiran demikian! Mengapa? Karena Raja Mara Papiyan tidak mampu mencegah Tathagata dari menerima makanan. Pada saat itu, Buddha dengan tenaga gaibnya membuat Raja Mara Papiyan membingungkan pikiran para penduduk kota tersebut. Raja Mara tidak mampu melakukan hal ini dengan kekuatannya sendiri.

“Pada waktu itu, Saya sama sekali telah terbebas dari rintangan karma. Demi mengubah para mahkluk hidup, saya tampak keluar dari kota dengan mangkuk kosong. Ketika Saya dan para anggota Sangha tidak diberi makanan apa pun, para mara dan para dewa berpikir, ‘Apakah Buddha dan para anggota Sanggha menjadi gelisah setelah mereka tidak memperoleh makanan?’ Pada malam itu, mereka melihat Buddha dan para anggota Sanggha tidak menjadi gelisah dan dongkol, dan mereka tidak ceria pun tidak murung, perasaan mereka sama saja antara sebelum dan sesudah kejadian [meminta sedekah makanan dengan sia-sia]. Putra yang berbudi, setelah melihat semua ini, tujuh ribu dewa mulai menghormati dan memiliki keyakinan terhadap Tathagata, di mana setelah itu saya menjelaskan Dharma kepada mereka, sehingga mereka memperoleh Mata-Dharma yang suci dalam melihat segala sesuatu.

“Putra yang berbudi, tidak lama kemudian, beberapa Brahmana dan sesepuh mendengar bahwa Bhagavan mempunyai kebajikan yang maha hebat; jadi, dengan hati penuh dambaan dan kekaguman, mereka pergi ke tempat Buddha, bersujud dengan kepala mereka di kaki Buddha, dan menyesali semua kesalahan mereka. Tathagata kemudian mengajarkan mereka Empat Kebenaran Suci. Sewaktu ia menjelaskan tentang Dharma, dua puluh ribu orang memperoleh Mata-Dharma yang suci dalam melihat segala sesuatu. Itulah sebabnya mengapa Tathagata memasuki sebuah kota untuk berpindapata tetapi keluar dengan mangkuk yang kosong. Ini adalah upaya kausalya dari Tathagata.

“Mengapa Cinca-Manavika, seorang wanita Brahmana, mengikat sepotong kayu pada perutnya dan memfitnah Tathagata dengan mengatakan, ‘Anda adalah Sramana Gautama yang membuat saya menjadi hamil. Ia harus menyediakan keperluan saya seperti pakaian, perlengkapan tidur, makanan dan minuman’? Putra yang berbudi, dalam kejadian ini Tathagata sama sekali tidak mempunyai rintangan karma; jika ia mempunyai rintangan karma [dalam bentuk fitnahan dari wanita Brahmana tersebut], tentu ia [dari awal] sudah bisa melempar wanita tersebut ke suatu tempat yang terpisah banyak dunia sebanyak jumlah pasir di Sungai Gangga. Namun sebagai suatu upaya kausalya, Tathagata mempertunjukkan rintangan karma ini untuk mengajari para mahkluk hidup yang tidak memahami. Mengapa? Di masa mendatang, akan ada bhiksu yang berlindung di dalam Dharmaku dan meninggalkan kehidupan berumah tangga untuk mempelajari Sang Jalan. Beberapa dari mereka mungkin akan difitnah. Disebabkan oleh hal ini, mereka mungkin merasa malu, tidak suka Buddhadharma, tidak mematuhi sila, dan kembali ke kehidupan awam. Namun, sekarang, ketika mereka difitnah, para bhiksu ini akan mengenang Tathagata: ‘Bahkan Tathagata yang telah mencapai segala Dharma murni dan mempunyai kebajikan maha hemat, pun masih difitnah, apalagi kami mana bisa mencegah untuk tidak difitnah’. Setelah berpikir demikian, mereka tidak akan merasa malu dan akan bisa melatih kehidupan suci yang murni dan menakjubkan.

“Putra yang berbudi, karena selalu ditutupi oleh karma buruk, wanita Brahmana Cinca-Manavika tidak mempunyai keyakinan dalam wataknya; dan karena tidak ditaklukkan oleh Buddhadharma, ia menjadi lebih ditutupi oleh karma buruk. Ia menfitnah yang lain bahkan di dalam mimpinya dan merasa gembira karenanya setelah bangun tidur. Wanita ini tentu akan jatuh ke neraka setelah meninggal. Putra yang berbudi, dengan upaya kausalya yang khusus, Saya mampu menjadi penyelamat wanita ini, melenyapkan karma buruknya dan membebaskannya dari Samsara. Putra yang berbudi, janganlah berpikir Tathagata tidak akan menyelamatkan orang-orang tertentu. Mengapa? Karena Tathagata memperlakukan semua mahkluk hidup tanpa pilih kasih. Ini adalah upaya kausalya dari Tathagata.

“Mengapa beberapa Brahmana membunuh Sundari, *81 wanita Brahma tersebut, dan menguburnya di sebuah parit Hutan Jeta? Putra yang berbudi, pada waktu itu, Tathagata mengetahui semua ini tetapi tidak mengucapkan sepatah kata pun. Tathagata telah mencapai pikiran kearifan-manatahu dan tidak mempunyai rintangan apa pun. Dengan kekuatan batinnya ia bisa membuat pisau tersebut tidak tembus ke dalam tubuh wanita tersebut, tatapi pada saat itu ia tahu bahwa kehidupan Sundari bagaimanapun juga sudah harus berakhir dan [karmanya] akan menyebabkan ia pasti dibunuh oleh yang lain. Maka sebagai suatu upaya kausalya, ia membiarkan peristiwa ini terjadi [dan tidak ikut campur tangan], dan membuat perbuatan jahat yang dilakukan oleh orang-orang aliran luar itu diperlihatkan dan orang-orang jahat tersebut semuanya jatuh ke alam-alam yang lebih rendah. Hanya Buddha yang mengetahui peristiwa ini [dan segala implikasinya] sebelumnya. Ia membiarkan hal ini terjadi sebagaimana adanya dan tidak ikut campur, untuk membuat banyak mahkluk hidup bisa melahirkan pikiran suci dan menguatkan akar kebajikan mereka.

“Pada waktu itu, Tathagata tidak memasuki Sravasti selama tujuh hari. Dalam kurun waktu itu, ia menaklukkan enam milyar dewa. Setelah tujuh hari berlalu, para dewa dan manusia datang bersama-sama ke tempatnya, dan Tathagata menjelaskan Dharma kepada empat kelompok pengikutnya.*82 Setelah mendengar Dharma, delapan puluh empat ribu orang memperoleh mata-Dharma yang suci dalam melihat segala sesuatu. Ini adalah upaya kausalya dari Tathagata.

“Mengapa Tathagata dan para bhiksu hanya makan gandum kuda selama tiga bulan di desa kediaman Brahmana Veranja? Putra yang berbudi, dari permulaan, saya sudah tahu bahwa Brahmana ini pasti berubah maksud semulanya untuk mengundang Buddha dan para bhiksu, dan ia tidak akan menawarkan makanan maupun minuman kepada mereka [setelah tiba di sana], tetapi saya tetap menerima undangannya dan pergi ke tempatnya. Mengapa? Saya melakukan hal ini demi kepentingan lima ratus kuda. Lima ratus kuda itu rela mempelajari kendaraan Bodhisattva dan telah memberikan persembahan kepada para Buddha masa lampau, tetapi karena mereka bergaul dekat dengan teman yang jahat dan melakukan perbuatan-perbuatan jahat, sehingga mereka lahir sebagai binatang. Dalam lima ratus kuda itu, ada satu kuda besar bernama Suryagarbha, yang [sebenarnya] adalah seorang Bodhisattva agung. Di masa lampaunya, ketika ia seorang manusia, Bodhisattva Suryagarbha telah pernah membujuk dan menasihati lima ratus kuda itu untuk mengembangkan Bodhicitta. Demi mengubah mereka lima ratus kuda itu, ia sekarang lahir sebagai seekor kuda. Disebabkan kebajikan yang hebat dari kuda besar tersebut, lima ratus kuda itu teringat pada kehidupan mereka sebelumnya dan mendapatkan kembali cita-cita Bodhi mereka yang hilang. Putra yang berbudi, disebabkan oleh rasa kasihan terhadap lima ratus Bodhisattva yang terjerumus menjadi kuda dan untuk membuat mereka lepas dari alam binatang, Tathagata menerima undangan yang diberikan oleh Brahmana, walaupun ia sudah tahu sebelumnya bahwa ia akan menerima perlakuan yang buruk.

“Putra yang berbudi, pada waktu itu, lima ratus kuda tersebut makan setengah dari gandum mereka dan memberikan setengah lainnya kepada para bhiksu, dan kuda besar memberi persembahan setengah dari gandumnya kepada Tathagata. Kuda besar itu sebelumnya telah menjelaskan Dharma kepada lima ratus kuda dalam suara kuda; ia juga telah mengajarkan mereka untuk menyesali semua kesalahan mereka dan memberi hormat kepada Buddha dan para bhiksu, dan juga telah berkata, ‘Kalian mempersembahkan setengah dari makanan kalian kepada para bhiksu’.

Setelah mereka menyesali kesalahan mereka, dalam pikiran mereka timbul keyakinan suci terhadap Buddha, Dharma, dan Sangha. Tiga bulan kemudian, lima ratus kuda itu meninggal dan lima ratus dewa itu turun dari surga ke tempat kediaman Buddha untuk memberi persembahan kepada Tathagata. Lalu di tempat itu pula Tathagata membabarkan Dharma kepada mereka. Setelah mendengar  Dharma, mereka berhasil menaklukkan pikiran mereka dengan baik. Di kehidupan-kehidupan mereka mendatang, mereka akan pertama-tama mencapai Pratyekabuddha, dan kemudian tanpa gagal akan berhasil mencapai Anuttara-samyak-sambodhi. Di kehidupan mendatang, kuda besar Suryagarbha akan memberikan persembahan-persembahan kepada para Buddha yang tak terhitung jumlahnya dan mencapai Bodhipaksika-dharma. Sesudah itu akan menjadi seorang Buddha yang bernama Kusala Penakluk Tathagata, Arhat, Samyak-sambuddha.

“Putra yang berbudi, tidak ada makanan lezat di dunia yang ini yang tidak didapatkan oleh Tathagata. Putra yang berbudi, walaupun Sang Tathagata makan rumput, sepotong kayu, segumpal tanah, atau pecahan ubin, tidak ada makanan di Tri-sahasra-maha-sahasra yang senikmat rasa rumput, sepotong kayu, segumpal tanah, atau pecahan ubin yang dimakan oleh Tathagata. Mengapa? Putra yang berbudi, karena Tathagata, Orang Besar, telah mencapai rasa tertinggi di antara semua rasa. Bahkan ketika Tathagata memakan makanan yang terburuk pun, setelah dimakan, makanan tersebut terasa lebih enak daripada makanan dewa. Putra yang berbudi, oleh karena itu, Anda seharusnya tahu bahwa rasa makanan yang dimakan oleh Tathagata adalah yang terbaik dan paling menakjubkan.

“Putra yang berbudi, pada waktu itu, Ananda bersedih karena Tathagata yang termasuk kasta kerajaan dan telah meninggalkan kehidupan berumah tangga untuk mengikuti Sang Jalan, memakan gandum kuda seperti halnya orang rendahan. Saya melihat apa yang Ananda pikirkan. Oleh karena itu,  Saya memberikan sebutir biji gandum kepadanya dan berkata, ‘Cobalah gandum ini dan cicipilah bagaimana rasanya’.

“Setelah Ananda mencobanya, ia merasa gandum tersebut luar biasa dan berkata kepada Buddha, “Bhagavan, saya dilahirkan dan dibesarkan di dalam keluarga kerajaan, tetapi saya belum pernah mencicipi rasa yang demikian’. Selama tujuh hari tujuh malam setelah ia memakan gandum tersebut, Ananda tidak makan atau minum apa pun dan bebas dari rasa lapar dan haus. Oleh karena itu, putra yang berbudi, Anda harus tahu bahwa ini adalah upaya kausalya dari Tathagata, bukan rintangan karmanya.

“Putra yang berbudi, beberapa Sramana dan Brahmana yang menjaga sila mungkin menyanggupi undangan seseorang seperti yang Ku lakukan, tetapi setelah mengetahui bahwa tuan rumah yang tersesat dan bingung itu tidak akan pergi ke rumahnya. Oleh sebab itu, untuk mencegah mereka melakukan hal yang demikian, Tathagata memperlihatkan bahwa ia pasti akan pergi ke tempat pengundangnya bila Tathagata sudah berjanji menyanggupi undangannya. Ia melakuan hal tersebut karena ia ingin menunjukkan keberadaan balasan karma. Putra yang berbudi, perlu diketahui, sebagai peraturan, bahkan bila Tathagata tidak disuguhi makanan apa pun ketika diundang, ia tidak akan membiarkan tuan rumah jatuh ke alam kehidupan yang sengsara.

“Putra yang berbudi, dari lima ratus bhiksu yang bersama-sama dengan Tathagata memakan gandum kuda sewaktu peristirahatan musim panas tersebut, ada empat ratus di antaranya yang telah timbul hawa nafsunya karena mereka telah melihat banyak [wanita-wanita] yang menarik; jika mereka telah makan makanan yang baik, itu hanya akan menambah hawa nafsu mereka. Karena mereka hanya memakan makanan buruk, mereka tidak dikuasai oleh keinginan. Tiga bulan kemudian para bhiksu terebut terbebas dari hawa nafsu dan mencapai Arhat. Putra yang berbudi, demi menundukkan empat ratus bhiksu ini dan menolong lima ratus Bodhisattva dari alam binatang, Tathagata, dengan kekuatan upaya kausalya, memakan gandum kuda selam tiga bulan. Ini bukan balasan karma Tathagata, tetapi adalah upaya kausalya dari Tahtagata.

“Mengapa Tathagata ketika sedang menerangkan sila (vinaya) pada hari kelima belas, berkata kepada sesepuh Kasyapa, ‘Punggungku sakit; ceramahlah [atas namaku] tentang tujuh faktor pencerahan’? Putra yang berbudi, pada saat itu, di pesamuhan duduk delapan ribu dewa yang menaklukkan diri mereka dengan ajaran Sravaka. Putra yang berbudi, dewa-dewa ini telah diajari dan diubah oleh Mahakasyapa di kehidupan-kehidupan mereka sebelumnya. Mereka berlindung kepada Buddha, Dharma, dan Sangha, dan tidak kehilangan pengendalian-diri. Mereka telah sering mendengar Bhiksu Kasyapa menjelaskan tujuh faktor pencerahan. Putra yang berbudi, selain Bhiksu Kasyapa, tidak ada lagi yang dapat membuat para dewa tersebut memahami ajaran tersebut, bahkan ratusan ribu Buddha pun tak bisa. Pada waktu itu, Kasyapa menjelaskan tentang tujuh faktor pencerahan secara luas. Setelah menyimak ajaran yang dijelaskan oleh Bhiksu Kasyapa, mereka memperoleh Mata-Dharma yang suci.

“Putra yang berbudi, bila para makhluk hidup yang menderita sakit tidak dapat pergi ke tempat di mana Dharma di ajarkan untuk mendengarkannya dengan hormat, mereka seharusnya berpikir, ‘Buddha adalah Raja Dharma, namun masih mendengarkan tujuh faktor pencerahan untuk menyembuhkan penyakitnya, apalagi kami bagaimana mungkin tidak pergi mendengarkan Dharma dan menghormatinya’.

“Putra yang berbudi, untuk menaklukkan para dewa, membebaskan orang-orang dari penderitaan dan musibah, dan untuk memperlihatkan rasa hormat terhadap Dharma, Tathagata berkata, ‘Kasyapa, punggungku sakit. Ceramahlah tentang tujuh faktor pencerahan. Mengapa? Karena Dharma harus dihormati. Tathagata tidak mempunyai tubuh kasar dan berat yang terbuat dari empat unsur, apalagi bagaimana mungkin ia bisa terkena penyakit. Ini adalah upaya kausalya dari Tathagata.

“Mengapa Tathagata berkata, ‘Kepalaku sakit,’ ketika suku Sakya dikalahkan? Putra yang berbudi, ada beberapa mahkluk hidup yang berkata, Bhagavan tidak bisa memberi manfaat bagi sukunya; ia tidak menaruh kasihan pada mereka atau berkeinginan memberikan mereka rasa aman. Sebaliknya sejak meninggalkan kehidupan berumah tangga, ia memutuskan hubungan denga sukunya dan tidak berkeinginan untuk menyelamatkan dan melindungi mereka.’ Para mahkluk hidup berkata demikian karena mereka tidak tahu kenyataan yang sebenarnya. Putra yang berbudi, Tathagata telah melampaui semua penderitaan. Namun, karena mengetahui pikiran-pikiran para mahkluk hidup itu, ia duduk dibawah pohon yang kurus dan mengatakan bahwa kepalanya sakit. Putra yang berbudi, ketika saya mengatakan kepada Ananda bahwa kepala saya sakit, ada tiga ribu dewa hadir di pesamuhan yang menganut pandangan nihilisme, serta hadir pula para mahkluk hidup yang tak terhingga jumlahnya yang suka membunuh. Demi memperlihatkan adanya rintangan karma kepada para dewa yang menganut pandangan nihilisme dan para mahkluk hidup yang suka membunuh. Tathagata berkata, ‘Karena Saya [pernah] senang melihat seorang dibunuh, sekarang Saya menderita sakit kepala’. Setelah Saya berkata ini, tujuh ribu manusia dan dewa ditaklukkan. Ini adalah upaya kausalya dari Tathagata.

‘Mengapa Tathagata tetap sabar ketika Brahmana Bharadvaja mencaci maki dengan lima ratus macam kata makian? Putra yang berbudi, dengan kekuatan batinnya, Tathagata dapat melempar Brahmana ini ke dunia lain; ia juga dapat membuat Brahmana ini tidak dapat mengucapkan sepatah kata makian pun. Putra yang berbudi, pada saat itu ada banyak dewa dan manusia di pesamuhan tersebut. Mereka melihat bahwa Tathagata mampu bersabar terhadap makian yang kasar ini tanpa berkata apa pun sebagai balasan, dan bahwa perasaan Tathagata tetap seperti sebelum dimaki, dengan pikiran yang penuh dengan kesamarataan, kemampuan memberi manfaat, dan kemampuan bersabar. Ketika itu, empat ribu orang mengembangkan Anuttara-samyak-sambodhi. Semua ini dilihat [secara jelas] oleh Tathagata. Lebih lanjut, putra yang berbudi, setelah Brahmana Bharadvaja mencaci maki Buddha dengan lima ratus macam kata makian dan melihat bahwa Bhagavan masih tetap dalam pikiran kesamarataan, pikiran Brahmana tersebut dipenuhi dengan keyakinan dan rasa hormat. Ia lalu berlindung kepada Buddha, Dharma, dan Sanggha, dan menanamkan akar [yang bisa menuntun ke] pembebasan. Ini adalah upaya kausalya dari Tathagata.

“Putra yang berbudi, Devadatta dan Bodhisattva lahir di tempat yang sama di setiap kehidupan. Ini juga adalah upaya kausalya dari Bodhisattva. Mengapa? Disebabkan Devadatta, saya telah memenuhi enam paramita dan memberi manfaat bagi para mahkluk hidup yang berbudi, di masa lampau, [ketika Bodhisattva menjadi seorang raja], ada mahkluk hidup yang suka bersenang-senang, tetapi tidak tahu bagaimana cara memberi atau diberikan kepada siapa, dan Bodhisattva waktu itu ingin mengajari mereka cara melatih berdana. Devadatta, yang menjadi iri kepada Bodhisattva, menemuinya dan meminta ibukota, isteri, anak, kepala, mata, tangan, dan kakinya. Bodhisattva memberikan semua ini kepadanya dengan senang hati. Pada waktu itu para mahkluk hidup yang tidak terhitung banyaknya menjadi gembira, serta percaya dan memahami arti berdana setelah mereka melihat Bodhisattva [sanggup] berdana dengan cara ini. Mereka berkata, ‘Saya pun akan melatih berdana seperti yang dilakukan oleh Bodhisattva, dan bertekad sumpah mencapai Bodhi’.

“Putra yang berbudi, pernah suatu kali, karena mengetahui bahwa Bodhisattva menjaga sila-sila secara murni suci, Devadatta berusaha membuat Bodhisattva melanggar sila tersebut, tetapi Bodhisattva tidak melanggar sila suci yang mana pun. Ketika para mahkluk hidup yang tak terhitung banyaknya melihat Bodhisattva menjaga sila-sila, mereka mengikuti contohnya dan maka itu ikut berlatih. Bodhisattva, yang menjaga sila-sila, tidak memunculkan pikiran jahat sewaktu dipandang rendah, difitnah, atau dimaki oleh yang lain; pada waktu-waktu yang demikianlah ia memenuhi Ksanti-paramita. Melihat Bodhisattva menaklukkan pikirannya dengan kesabaran, para mahkluk hidup yang tak terhingga jumlahnya mengikuti contohnya dan melatih kesabaran. Putra yang berbudi, Anda harus tahu bahwa Devadatta telah memberi manfaat yang besar bagi Bodhisattva. *83

“Putra yang berbudi, baru-baru ini Devadatta berusaha membunuh Buddha, melepaskan seekor gajah besar yang mabuk. Ia juga mendorong jatuh batu besar dari puncak Gunung Grdhrakuta untuk tujuan yang sama. Semuanya ini adalah manifestasi dari upaya kausalya Tathagata, bukan balasan karmanya. Mengapa? Karena semua upaya kausalya ini akan memberi manfaat bagi para mahkluk hidup yang tidak terhingga banyaknya.

“Putra yang berbudi, Tathagata semuanya telah menjelaskan sebab-musabab dan kondisi-kondisi dari sepuluh kejadian ini, yang semuanya adalah manifestasi dari upaya kausalyanya, bukan balasan karmanya. Mengapa? Para mahkluk hidup tidak tahu bahwa karma akan mendapatkan balasan. Demi kepentingan mereka, Tathagata memperlihatkan berbagai balasan karma ini dan berkata, ‘Bila Anda telah melakukan karma ini, Anda akan mendapatkan balasan ini; bila Anda telah melakukan karma itu, Anda akan mendapatkan balasan karma itu. Karma yang demikian akan mendapatkan balasan yang demikian.’ Setelah mendengar ini, para mahkluk hidup akan berbuat karma-karma tertentu dan meninggalkan perbuatan-perbuatan lainnya; mereka akan menghindari karma-karma buruk dan mengembangkan segala karma-karma baik.

“Putra yang berbudi, sekarang saya telah selesai menjelaskan dan mengungkapkan upaya kausalya Saya. Anda harus menjaga kerahasiaan ini dan tidak seharusnya mengatakannya kepada orang-orang rendahan yang hanya mempunyai sedikit akar kebajikan. Mengapa? Karena bahkan para Sravaka dan Pratyekkabuddha pun tidak dapat memahami sutra ini, apalagi orang-orang rendahan dan orang awam bagaimana bisa mempercayai dan memahaminya. Mengapa? Orang-orang ini tidak dapat belajar mengenai upaya kausalya, maka Sutra Upaya Kausalya tidak berguna bagi mereka; tidak ada satu orang awam pun yang dapat menerima atau melatihnya.

“Hanya Bodhisattva yang dapat belajar dan mengajari cara upaya kausalya. Putra yang berbudi, seperti orang dapat melihat segala sesuatu di dalam sebuah ruangan pada malam hari setelah sebuah lampu besar dinyalakan, begitu pula dengan Bodhisattva yang telah mendengar tentang upaya kausalya, dapat melihat semua jalan yang dilalui oleh semua Bodhisattva dan mengetahui apa yang harus dipelajari darinya. Bagi mereka yang mahir dalam mengikuti jalan-Bodhisatva, tidak sulit untuk melaksanakan semua perbuatan dari para Tathagata dan Bodhisattva yang telah mencapai pantai seberang.
“Putra yang berbudi, Saya sekarang mengatakan: Bila para pria bajik dan wanita bajik yang ingin mencapai semua Dharma bajik dari jalan-Bodhi mendengar bahwa Sutra Upaya Kausalya diajarkan ratusan ribu yojana jauhnya dari rumah-rumah mereka, maka mereka seharusnya pergi dan mendengarkannya. Mengapa? Karena bila Bodhisattva telah mendengarkan Sutra Upaya Kausalya ini, ia akan mendapatkan cahaya terang dan tidak mempunyai keraguan terhadap Dharma apa pun”.

Ketika sutra ini dibicarakan, empat kelompok pengikut dan para manusia serta para dewa yang mampu melatih Dharma ini, mendengar dan memahami ini. Namun bagi mereka yang tidak mampu melatih Dharma ini, mereka tidak mendengar sama sekali pun tidak memahami, meskipun mereka hadir di pesamuhan tersebut. Karena mereka tidak dapat mendengar sutra ini dengan telinga mereka, bagaimana mereka bisa menjelaskannya kepada yang lain dengan perkataan mereka? Karena mereka tidak bisa melatih Dharma ini dan tidak diberkahi oleh Buddha dengan kekuatan batin, mereka tidak mendengar atau memahami Dharma ini ketika Tathagata menjelaskannya kepada pesamuhan tersebut.

Setelah sutra ini dibabarkan, tujuh puluh dua ribu orang mengembangkan pikiran Anuttara-samyak-sambodhi.

Lalu Y.A. Ananda bertanya kepada Buddha, “Bhagavan, disebut apakah sutra ini? Bagaimana kami menyokongnya?”

Buddha memberitahukan kepada Ananda, “Sutra ini disebut ‘Upaya Kausalya Paramita’. Juga disebut ‘Penerapan Upaya Kausalya.’ Juga disebut ‘Menaklukkan dengan Upaya Kausalya.’ Demikianlah Anda menyokongnya dengan nama-nama ini”.

Ketika Buddha telah mengatakan ini, Bodhisattva Nyanajina sangat gembira, dan semua pengikut kendaraan Sravaka, kendaraan Pratyekkabuddha, dan kendaraan Bodhisattva; para bhiksu, bhiksuni, upasaka, upasika, dewa, naga, hantu, roh, gandharva, asura, garuda, kinnara, mahoraga, dan para mahkluk-bukan-manusia memuji dengan berkata, “Sadhu, sadhu!” *84

Selesailah penjelasan Sutra Upaya Kausalya dari Mahayana.

CATATAN & PENJELASAN  *
1.    Nyanajina secara literal berarti “kearifan unggul.”
2.    Upaya kausalya artinya kemahiran melakukan daya upaya dengan metode pendekatan. Tujuan dari upaya tersebut adalah untuk mencapai maksud dan tujuan yang sebenarnya.
3.    Kearifan-mahatahu (sarvajna) ialah kearifan Buddha yang mengetahui segala sesuatu. Karena Buddha adalah perwujudan dari kesempurnaan, kearifannya juga sempurna. Kearifannya ada dua jenis: vertikal dan horizontal. Yang vertikal adalah kearifan yang bersifat menembus, mengetahui kebenaran sejati yang mendasari. Yang horizontal adalah kearifan yang melingkupi segala sesuatu, mengetahui bentuk-bentuk dan corak-corak segala dharma.
4.    Anuttara-samyak-sambodhi adalah pencerahan sempurna yang tiada tara, pencerahan universal yang sempurna tanpa bandingan. Sering disingkat menjadi Samyak-sambodhi. Pikiran yang bercita-cita meraih Samyak-sambodhi disebut Bodhicitta.
5.    Dua kereta adalah Sravaka dan Pratyekabuddha.
6.    Dharmadhatu artinya ‘alam dharma-dharma.” Namun di Buddhisme ia mempunyai empat arti:
a)    Sifat-dasar atau esensi dharma (sama dengan tathata), yaitu realitas yang menyatukan dan mendasari segala sesuatu, dianggap sebagai sumber dari segala sesuatu, baik noumena maupun fenomena.
b)    Jumlah tak terhingga; totalitas (keseluruhan atau kesemestaan) yang melingkupi segala sesuatu dari alam semesta yang tak terbatas sebagaimana yang tampak di depan mata Buddha.
c)    Di beberapa sutra-sutra, menunjuk satu dari delapan belas unsur (komponen): unsur dharma; yaitu, obyek mental (dharma).
d)    Jagat raya yang tak terbatas.
7.    Lamban dalam belajar; terjemahan secara literal adalah “orang yang akalnya bebal atau kurang tanggap.”
8.    Stanza (gatha) ialah rangkaian sejumlah larik atau bait yang dibacakan seperti nyanyian pujian. Isi dari stanza ini biasanya mengandung makna moral atau filsafat hidup.
9.    ‘Ayahku’ menunjuk Buddha.
10.    Paramita secara literal “sesuatu yang telah mencapai ke pantai seberang”, yang transendental. Paramita, juga diterjemahkan sebagai “penyempurnaan” atau “pemenuhan” suatu syarat. Tetapi Paramita lebih serring di terjemahkan sebagai “penyempurnaan”.
11.    Dana-paramita ialah pemberian lahir dan batin, kemurahan hati, kedermawanan, belas kasih, persembahan materi dan non-materi.
12.    Sila-paramita ialah moralitas atau kedisiplinan dalam melenyapkan segala nafsu keinginan. Pedomannya adalah Vinaya-pitaka.
13.    Ksanti-paramita ialah melatih kesabaran atau ketabahan dalam menghadapi segala rintangan atau cobaan.
14.    Virya-paramita ialah energik; penuh semangat. Ini adalah kegigihan yang tak tergoyahkan oleh segala pengaruh luar.
15.    Dhyana-paramita ialah meditasi atau Samadhi sebagai jalan untuk membedah ilusi ego dan mencapai kesamarataan (upeksa) di dalam pikiran.
16.    Prajna-paramita ialah penyempurnaan dalam kearifan, sehingga mendapatkan kearifan tiada tara.
17.    Seorang Bodhisattva-Mahasattva yang melatih upaya kausalya dapat mempraktekkan enam paramita sekaligus sekalipun ia hanya melakukan pemberian dana. Sering empat Paramita ditambahkan menjadi sepuluh paramita. Empat paramita tambahan yaitu: (a) Upaya-kausalya-paramita: penyempurnaan dalam melakukan metode upaya kausalya; (b) Pranidhana-paramita: penyempurnaan dalam memenuhi tekad sumpah yang telah dibuat sebelumnya; (c) Bala-paramita: penyempurnaan dalam memunculkan sepuluh kekuatan (dasa-bala); (d) Jhana-paramita: penyempurnaan dalam pengetahuan mengenai makna sejati dari semua dharma.
18.    Tingkatan non-regresi ialah suatu tahapan dimana seorang Bodhisattva tidak mungkin mundur, surut, dan berbalik arah di dalam pengembangan pelatihan dirinya maupun di dalam pencapaian kesuciannya. Pada tingkatan non-regresi ini, seorang Bodhisattva tidak akan turun dan  jatuh ke dalam tingkatan kesucian yang lebih rendah.
19.    Samsara ialah alam yang masih mengalami proses kelahiran dan kematian.
20.    Membunuh, mencuri, berbohong, dan berzina.
21.    Pratimoksa adalah bagian dari Vinaya yang mengandung 250 sila untuk bhiksu dan 348 sila untuk bhiksuni. Pratimoksa menentukan hanya sila untuk para bhiksu dan bhiksuni, sedangkan di dalam Vinaya terdapat juga sila-sila yang harus ditaati oleh para upasaka dan upasika.
22.    Y.A. ialah singkatan dari Yang Arya. Arya secara literal artinya mulia, terhormat. Jadi Yang Arya artinya Yang Mulia atau Yang Terhormat.
23.    Kata ‘Pindapata’ berasal dari gabungan dua kata, yaitu: pinda yang secara literal berarti “bulatan nasi,” dan pata yang secara literal berarti “dijatuhkan.” Jadi arti pindapata adalah “meminta sedekah (makanan).”
24.    Sattavaryaraja secara literal diterjemahkan sebagai Raja yang Dimuliakan oleh Semua Mahkluk.
25.    Naga agung ialah istilah kehormatan bagi seorang Bodhisattva, suciwan, atau Buddha.
26.    Triratna ialah tiga mustika, yaitu Buddha, Dharma, dan Sangha.
27.    Pintu-Dharma (Dharmaparyaya) ialah doktrin-doktrin atau kearifan Buddha yang dianggap sebagai pintu menuju pencerahan. Suatu metoda atau sekte ajaran Buddha.
28.    Tanah bagian dalam menunjuk tubuhnya, dan tanah bagian luar menunjuk tubuh wanita itu. Jadi artinya Bodhisattva menembus ke makna dari perbedaan antara pria dan wanita, dan menyadari bahwa tidak ada perbedaan substansi antara unsur (tubuh) wanita dengan unsur (tubuh) pria. Dengan pemikiran yang demikian, beliau akan menganggap wanita itu sebagai adiknya, atau bagian darinya, sehingga yang muncul hanyalah pikiran welas asih tanpa adanya kemelekatan atau nafsu cinta.
29.    Asankhya; asankhyeya; asamkhyeya artinya tak terhingga, tak terbilang.
30.    Arti dari Arhat di sini bukan menunjuk Sravaka dari dua kereta, melainkan “layak diberi persembahan oleh para dewa dan manusia.”
31.    Samyak-sambuddha secara literal artinya seorang yang telah meraih pencerahan universal yang sempurna, mencapai pencerahan yang disebut Anuttara-samyak-sambodhi. Ia mempunyai ciri-ciri kearifan-mahatahu (sarvajna) dan sepuluh kekuatan (dasabala). Merupakan salah satu dari sepuluh gelar Buddha.
32.    “Meraih Sang Jalan” maksudnya mencapai Anuttara-samyak-sambodhi dan memiliki tanah Buddha tersendiri.
33.    Tiga alam kehidupan yang jahat, ialah tiga alam dharma yang menderita, yaitu: binatang, hantu, dan neraka. Juga disebut alam eksistensi yang sengsara.
34.    Brahmacarin secara literal artinya “mempelajari pengetahuan suci”. Di sini artinya seseorang yang melatih kesederhanaan dan kesucian secara keras, ketat, dan disiplin. Ia membatasi diri dalam segala hal dengan berbagai peraturan, larangan, dan pantangan.
35.    Jyotiska secara literal artinya “orang termasyur; tubuh dewata”.
36.    Sukhavati secara literal artinya “kebahagiaan tertinggi”. Ini juga nama tanah suci dari Buddha Amitabha di barat.
37.    Empat Tak Terbatas (catvari apramanani) menunjuk empat alam spiritual pikiran Buddha yang tak terbatas (Brahma-vihara) yaitu (a) cinta kasih yang tak terbatas (maitri) terhadap semua makhluk; (b) welas asih yang tak terbatas (karuna) terhadap semua mahkluk yang menderita, (c) kebahagiaan yang tak terbatas (mudita) terhadap semua mahkluk yang berhasil bebas dari segala penderitaan; dan (d) kesamarataan (upeksa) yang tak terbatas, berdiri di atas segala perbedaan-penderitaan tanpa pilih kasih, termasuk tidak membeda-bedakan antara teman dan musuh, cinta dan kebencian, dan lain sebagainya.
38.    Gopa ialah nama alias untuk Yasodhara, istri dari Pengeran Siddhartha (yang kemudian menjadi Buddha Sakyamuni), tetapi lebih dikenal dengan nama Yasodhara.
39.    Ini menunjuk cerita berikut ini:
Sariputra dan Mahamaudgalyayana menginap satu malam di rumah pembuat barang-barang tembikar karena hujan turun, tidak mengetahui bahwa ada seorang wanita di tempat itu. Wanita tersebut mandi keesokan harinya karena datang bulan. Bhiksu Gokali melihat [darah ketika] wanita itu mandi, dan menuduh Sariputra dan Mahamaudgalyayana berhubungan dengan wanita itu. Karena tuduhan salah ini, Gokali ditegur dan dimarahi tiga kali oleh Buddha, namun dia tidak menyesali perbuatannya. Dia jatuh ke neraka setelah meninggal.
40.    Buddha Krakucchanda adalah Buddha pertama dihitung dari Bhadrakalpa (kalpa penuh kebajikan) sekarang, dan Buddha keempat berdasarkan urutan tujuh Buddha kuno.
41.    Vimala secara literal artinya “tanpa noda kekotoran”.
42.    Mahkluk abadi adalah manusia yang melatih suatu jenis pelatihan sehingga tubuhnya menjadi kuat dan ringan, dan dengan demikian dibuatkan satu sub-golongan yang diberi nama mahkluk abadi. Mereka juga disebut manusia setengah dewa karena umurnya sangat panjang dan kebiasaan makannya sangat berbeda dari manusia biasa. Mereka mampu terbang. Meski disebut “abadi”, namun sebenarnya mereka hidupnya tidak abadi. Kadang kala mahkluk abadi dimasukkan ke dalam kategori manusia sehingga tidak disebutkan secara khusus dalam pembagian kategori alam kehidupan.
43.    Kelima bagian tubuh yang dimaksud adalah dua siku, dua lutut, dan dahi.
44.    Ketiadaan corak (animitta) adalah tanpa bentuk, tanpa tanda-tanda, tanpa karakteristik, dan kebenaran absolut yang tidak mempunyai pemikiran-pemikiran yang berlainan.
45.    Ketiadaan aktivitas adalah ketidakciptaan; ketidakgerakan; keheningan di luar sifat “diam” dan “bergerak.”
46.    Ketiadaan diri (anatman) adalah tidak ada ego, tidak ada roh yang eksis dalam pengertian substansi yang kekal, tersendiri, dan lengkap dengan sendirinya di dalam eksistensi individu. Maka ego di Buddhisme tidaklah lebih dari ego empiris yang tidak kekal dan berubah-ubah, di mana ego itu hanyalah merupakan penggabungan dari lima skandha, dan dengan disinterigasi skandha tersebut, ego tersebut menjadi berhenti eksis; oleh sebab itu, ia tidak mempunyai realitasnya sendiri, tetapi Sutra Mahaparinirvana menegaskan adanya realitas ego di alam transendental. Di Hinayana, analisis ini terbatas sampai ke kepribadian; di Mahayana, analisis ini berlaku di segala pemunculan yang dikondisikan (dharma). Definisi “ego” dari pandangan non-Buddhis adalah sesuatu yang mempunyai kepribadian yang permanen.
47.    Alam Nafsu (kamadhatu) terdiri dari neraka, hantu, binatang, manusia, asura, dan enam alam Surga Nafsu. Disebut alam nafsu karena mahkluk yang di alam ini pada umumnya masih mempunyai keinginan terhadap makanan, tidur, dan seks.
48.    Surga Brahma (Brahmaloka) adalah delapan belas surga di Alam Berwujud (rupaloka).
49.    Lima lilitan tali menunjuk lima kesenangan indrawi.
50.    Sutra ini menjelaskan perenungan Bodhisattva tersebut secara terperinci. Namun, dilihat dari urutan kejadian, sebenarnya seluruh proses ini terjadi dalam waktu yang sangat singkat. Sedangkan kesabaran-terhadap-ketidakmunculan-dharma (anutpattika-dharma-ksanti) bersemayam di dalam realitas yang tak tergoyahkan, berada di luar kelahiran dan kematian, dan memerlukan ketahanan dengan kesabaran yang luar biasa. Dharma di sini menunjuk arti “fenomena.” Juga bisa juga disebut dengan kesabaran-terhadap-ketidaklahiran-fenomena. Diperlukan ketabahan dan kesabaran yang luar biasa sewaktu menyadari kekosongan dari segala fenomena. Prajna-paramita mendefinisikannya sebagai keyakinan yang tak tergoyahkan dan bersemayam secara kokoh di dalam hakikat realitas dari segala dharma (fenomena dan noumena) yang di luar ciptaan dan kehancuran. Tingkatan batin ini harus dicapai sebelum Kebuddhaan.
51.    Yojana ialah satuan panjang daratan yang digunakan oleh India kuno. Panjangnya ditentukan berdasarkan jarak yang bisa ditempuh oleh tentara berkuda dalam satu hari, yaitu 15-20 kilometer. Jadi 12 yojana itu setara dengan 180-240 kilometer.
52.    Devaputra secara literal artinya “putra para dewa”, tetapi pada umumnya menunjuk mahkluk surgawi yang menetap di suatu surga tertentu.
53.    Musabab terjadinya hal yang demikian adalah sebuah tekad sumpah yang dibuat oleh Bodhisattva Maitrikara, yang akan dijelaskan kemudian.
54.    Putra Buddha menunjuk Bodhisattva, karena Bodhisattva setingkat di bawah Buddha.
55.    Kalyanamitra adalah teman yang bajik dan arif, teman yang memberikan nasihat baik dan pengetahuan yang bijaksana.
56.    Empat Ketidakgentaran atau Empat Keberanian ada dua kelompok, satu untuk Buddha dan satu untuk Bodhisattva.
Untuk Buddha:
a.    merealisasikan dan mengetahui segala sesuatu tanpa takut;
b.    melenyapkan segala kekotoran batin tanpa takut;
c.    menaklukkan segala rintangan tanpa takut; dan
d.    menghentikan segala penderitaan dan menunjukkan Sang Jalan menuju pembebasan tanpa takut.
Untuk Bodhisattva:
a.    mengajarkan Dharma dengan kekuatan ingatan tanpa takut;
b.    mengajarkan Dharma sesuai dengan kondisi masing-masing mahkluk hidup tanpa takut;
c.    menghadapi segala perdebatan Dharma tanpa takut; dan
d.    melenyapkan keragu-raguan mahkluk hidup tanpa takut.
57.    Sudarsana secara literal artinya “baik untuk dilihat”.
58.    Empat sisi Gunung  Semeru masing-masing terbuat dari bahan permata yang berbeda. Legenda mengatakan bahwa ketika seorang berdekatan dengan salah satu sisi tersebut, dia akan mengambil warna dari sisi itu. Salah satu sisi tersebut bewarna emas.
59.    Empat Kebajikan Pemikat (catuh-samgraha-vastu) adalah empat kebajikan yang melingkupi segala sesuatu, dengan tujuan supaya kebajikan yang dilakukan mampu menarik atau memikat para mahkluk hidup untuk berbuat yang benar. Keempat kebajikan yang dimaksud adalah:
a)    dana: memberikan apa yang diinginkan para mahkluk, dengan tujuan untuk menuntun mereka mencintai dan memegang teguh kebenaran.
b)    priyavacana: ucapan yang hangat dan menyentuh hati orang untuk tujuan yang sama dengan butir  a.
c)    arthakriya: sikap dan kelakuan yang memberi manfaat bagi yang lain, untuk tujuan yang sama dengan yang di atas;
d)    samanarthata: kerjasama dan penyesuaian diri kita dengan orang lain, untuk menuntun mereka menuju jalan kebenaran.
60.    Enam puluh dua pandangan [salah] adalah kumpulan doktrin-doktrin yang berdasarkan pada pandangan terhadap diri. Angka enam puluh dua datang dari lima skhanda yang dibahas dalam tiga masa periode. Di masa lalu, setiap skhanda mempunyai kekekalan, ketidakkekalan, kedua-duanya, dan bukan kedua-duanya (5 x 4 = 20). Di masa sekarang, kita berhadapan dengan konsep ruang. Masing-masing skhanda adalah terbatas, tak terbatas, kedua-duanya, dan bukan kedua-duanya (5 x 4 = 20). Di masa mendatang, setiap skhanda bisa berlanjut atau tidak berlanjut, kedua-duanya, dan bukan kedua-duanya (5 x 4 = 20), yaitu 60 total. Ditambah dengan dua gagasan yaitu apakah tubuh dan pikiran itu merupakan satu kesatuan atau berbeda, maka jumlah keseluruhan adalah 62.
61.    Di sini dan pembahasan yang berikut, “Bodhisattva” menunjuk Buddha Sakyamuni ketika Beliau masih menapaki jalan-jalan Bodhisattva sebelum menjadi Buddha.
62.    Dipamkara adalah yang pertama dari dua-puluh-empat Buddha yang mendahului Buddha Sakyamuni. Pada masa Dipamkara, Buddha Sakyamuni masih seorang pertapa bernama Sumedha. Sumedha bersumpah di depan Buddha Dipamkara untuk menjadi Buddha. Dengan kekuatan batinnya, Dipamkara meramalkan bahwa Sumedha akan menjadi Buddha bernama Sakyamuni versi Mahayana (Gautama versi Theravada).
63.    Tujuan lain dari pencapaian Kebuddhaan di alam manusia adalah untuk memperlihatkan kepada kita semua bahwa manusia pada akhirnya pun bisa menjadi Buddha.
64.    Di katakan bahwa pada saat terjadinya pembuahan benih Bodhisattva di dalam rahim ibunya, kesadaran Bodhisattva tersebut memasuki rahim ibunya melalui sisi kanan, dan pada saat itu ibunya bermimpi bahwa seekor gajah putih memasuki tubuhnya.
65.    Tri-sahasra-maha-sahasra secara literal artinya “tiga ribu maha ribu dunia”; Gunung Semeru dan tujuh benua disekelilingnya, delapan lautan dan lingkaran pegunungan besi membentuk satu dunia kecil; 1000 (seribu) dunia kecil membentuk sebuah kosmos kecil; 1000 (seribu) kosmos kecil ini membentuk satu kosmos menengah; 1000 (seribu) kosmos menengah ini membentuk satu kosmos besar, setara dengan 1,000,000,000 (satu milyar) dunia kecil. Yang dimaksud dengan Tri-sahasra-maha-sahasra adalah kosmos besar, juga disebut dengan satu dunia Buddha. Jadi di dalam Tri-sahasra-maha-sahasra, hanya boleh terdapat 1 (satu) Buddha, kendati satu Buddha ini bisa memunculkan Nirmanakaya lebih dari satu di satu dunia Buddha itu, mungkin dengan nama yang berbeda-beda.
66.    Bodhisattva pada dasarnya tetap di Surga Tusita, geming tak bergerak. Namun untuk mendukung suatu pertunjukan drama yang memberi kesan seakan-akan telah terjadi suatu proses pembentukan embrio, maka dimunculkanlah suatu fenomena ilusi yang berupa sebuah gajah putih memasuki rahim ibunya.
67.    Di Buddhisme dan beberapa agama lain, angka tujuh mempunyai arti signifikan yang berbau mistik. Karenanya, tradisi berkabung berlangsung selama 49 hari (7 x 7). Menurut Aliran Esoterik, angka tujuh adalah angka di dalam siklus lahir dan mati. Oleh karenanya, di tahapan bardo, kesadaran kedelapan (“jiwa”) harus mengalami perubahan setiap tujuh hari, dan agar manjur, mantra harus dibacakan minimal 7x. Teks Buddhis mencatat hal ini dengan kata-kata “Dharma adalah demikianlah,” yaitu sesuai dengan Hukum Alam Semesta; ia harus demikian dan tidak bisa dijelaskan, seperti hal susah menjelaskan mengapa api panas dan es dingin. Mulai dengan angka tujuh dan mengkalikannya dengan tiga atau tujuh, kita mendapatkan 21, atau 49x bila pikiran lemah dan tidak bisa berkonsentrasi penuh. Singkat kata, tujuh langkah yang dilakukan Buddha adalah yang terbaik karena angka tujuh merupakan angka “alam semesta”. Angka tujuh juga menunjuk tujuh kualitas Buddha yang tiada tara yaitu, tubuh, hukum alam semesta, kearifan, kesempurnaan, tujuan akhir, kebenaran sejati, dan paramita. Makna dari angka tujuh banyak sekali, termasuk menunjuk tujuh unsur (elemen), yaitu: api, tanah, air, angin, ruang, kosong, kesadaran, dan persepsi.
68.    Dikatakan bahwa ayah Bodhisattva, Raja Suddhodana, menerima ramalan dari seorang resi bernama Asita tidak berapa lama setelah kelahiran Bodhisattva. Resi tersebut memperhatikan tanda roda di kaki pangeran, selaput di antara jari-jari kaki dan jari-jari tangan, rambut keriting putih (urna) di antara kedua alis mata, dan kegigihan agung yang terpancar dari sinar muka bayi. Resi tersebut meramalkan bahwa jika Bodhisattva tersebut bisa dikucilkan dari pandangan yang mengandung penderitaan, ia akan menjadi penguasa alam semesta dan menguasai empat benua. Bila tidak, Asita meramalkan, pangeran akan meninggalkan kehidupan berumah tangga dan menjadi Guru dunia. Raja ingin anaknya menjadi penguasa besar, sehingga dia memastikan istana tempat anaknya tinggal dikelilingi oleh orang-orang muda, cantik, dan gembira.
69.    Para Bodhisattva yang tinggal satu kali kehidupan lagi sebelum menjadi Buddha, semuanya akan terlahir di keluarga raja dan menjadi pangeran atau bahkan menjadi raja. Selain itu, mereka akan menikah dan mempunyai anak. Setelah berumah tangga, mereka semuanya akan meninggalkan kehidupan duniawi dan menjadi pertapa. Hal ini berlaku bagi Buddha masa lampau maupun Buddha mendatang. Tujuannya adalah memberi contoh terbaik di mana seseorang yang kehidupannya begitu mewah dan gemerlapan pun bisa meninggalkan kehidupan duniawi. Apalagi orang awam yang kehidupannya biasa-biasa saja. Selain itu, karena calon Buddha adalah yang termulia, tertinggi, maka mereka harus dilahirkan di keluarga raja, bukan di keluarga biasa.
70.    Bodhisattva khawatir mengenai balasan karma yang sangat buruk menimpa anggota keluarganya bila mereka mengandung perasaan dongkol dan marah terhadap calon Buddha. Oleh sebab itu, ia menyebabkan mereka menyalahkaan para dewa.
71.    Di Vinaya, Buddha membuat peraturan di mana seseorang tidak bisa menjadi seorang bhiksu atau bhiksuni tanpa izin dari orang-tuanya. Namun Buddha sendiri meninggalkan kehidupan berumah tangga tanpa izin dari ayahnya. Hal ini menunjukkan  bahwa bila seseorang sungguh-sungguh berketetapan hati, maka ia dapat menjadi bhiksu atau bhiksuni sekalipun tanpa izin orang-tuanya.
72.    Akhirnya Bodhisattva mencapai pencerahan sempurna hanya setelah Beliau berhenti melakukan tirakat atau pertapaan secara ekstrem.
73.    Setelah Bodhisattva menderita selama enam tahun pertapaan tanpa mencapai pencerahan sempurna, ia memutuskan untutk  melanjutkan tahap  kebiasaan makan yang normal. Ketika sedang duduk dibawah pohon, seorang wanita bernama Sujata menghampirinya, dengan membawa semangkuk bubur-susu yang rencananya untuk dipersembahkan kepada roh pohon. Ketika ia melihat Bodhisattva duduk disana, hatinya tergerak oleh penampilan Bodhisattva yang suci agung sehingga bubur itu dipersembahkan kepada Bodhisattva. Setelah Bodhisattva memakan makanan yang bergizi, ia pergi menuju pohon Bodhi dan mencapai pencerahan sempurna.
74.    Tiga-puluh-tujuh jalan menuju Bodhi (bodhipaksika-dharma) adalah Tiga-puluh-tujuh kondisi, metode, atau persyaratan-persyaratan yang menuntun ke pencapaian Bodhi atau Kebuddhaan, yang terdiri atas:
a)    Catvari-Smrtyupasthana: empat tempat perenungan, yakni:
1)    Perenungan atas tubuh (kaya) sebagai tidak suci murni dan kotor;
2)    Perenungan atas perasaan (vedana) sebagai penderitaan;
3)    Perenungan atas pikiran (citta) sebagai tidak masuk kekal, hanya satu sensasi ke sensasi berikutnya;
4)    Perenungan atas dharma sebagai bersifat ketergantungan, tanpa-substansi, tanpa-aku, tanpa identitas.

b)    Catvari-Samyakprahana: empat usaha yang benar, yakni:
1)    Menghentikan kejahatan yang ada;
2)    Menghindari munculnya kejahatan baru;
3)    Memunculkan kebajikan baru;
4)    Mengembangkan kebajikan yang telah ada.
c)    Catvarah-Rddhipada: empat jenjang menuju kekuatan batin, yakni:
1)    Keinginan yang kuat (chanda-rddhipada);
2)    Kegigihan atau usaha yang kuat (virya-rddhipada);
3)    Pikiran yang kuat (citta-rddhipada);
4)    Kontemplasi atau observasi yang kuat; meditasi (mimamsa-rddhipada).
d)    Panca-indriyani: lima akar atau lima organ spiritual, yakni:
1)    Keimanan (sraddha);
2)    Kegigihan dalam berusaha (virya);
3)    Perenungan (smrti);
4)    Meditasi (samadhi);
5)    Kearifan (prajna).
Kelima jenis ini disebut akar karena dapat melahirkan kebajikan lainnya:
a)    Panca-balani: lima kekuatan, yakni:
1)    Kekuatan keimanan; menghancurkan keragu-raguan.
2)    Kekuatan kegigihan dalam berusaha; menghancurkan kekenduran;
3)    Kekuatan perenungan; menghancurkan kepalsuan;
4)    Kekuatan Meditasi; menghancurkan pikiran yang bercabang;
5)    Kekuatan kearifan; menghancurkan ilusi dan kebodohan.
b)    Sapta-bodhyanga: tujuh faktor atau cabang pencerahan, yakni:
1)    Kemampuan memilah antara yang benar dan yang salah dari segala dharma (dharma-pravicaya-sambodhyanga);
2)    Kegigihan, atau jalur kemajuan yang tak dapat dibengkokkan (virya-sambhodyanga);
3)    Kebahagiaan, kegembiraan (priti- sambhodyanga);
4)    Keringanan dalam tubuh dan pikiran (pasrabdhi- sambhodyanga);
5)    Kemampuan mengingat berbagai alam-fenomena uang muncul di dalam perenungan (smrti- sambhodyanga);
6)    Kemampuan menetap di dalam suatu alam-fenomena tanpa tergoyahkan (samadhi- sambhodyanga);
7)    Penglepasan secara menyeluruh terhadap segala fenomena; pengabaian atau ketidakacuhan terhadap segala gangguan kesadaran-bawah-sadar atau pikiran (upeksa- sambhodyanga).
c)    Astanga-marga: delapan jalan suci, yakni:
1)    Pandangan benar (samyag-drsti): pemahaman terhadap empat kebenaran suci dan mempunyai penembusan mendalam terhadap realitas (kekosongan) di mana tidak terdapat konsep ke-Aku-an;
2)    Pikiran benar (samyag-samkalpa): hanya mempunyai pemikiran yang tidak egois, penuh belas kasih, dan tidak merugikan para mahkluk hidup lainnya;
3)    Perkataan benar (samyag-vac): menghindari berbohong, mencela, ucapan kasar atau kotor, dan gosip;
4)    Perbuatan benar (samyag-karmanta): berbuat yang sesuai dengan sila.
5)    Pencaharian benar (samyag-avija): hidup secara terhormat dari profesi yang tidak merugikan mahkluk hidup, dan menghindari pekerjaan seperti berdagang senjata, racun, dan sebagainya.
6)    Usaha benar (samyag-vyayama): mengembangkan yang menimbulkan karma baik dan menghindari yang menimbulkan karma buruk;
7)    Perenungan benar (samyag-smrti): perenungan terus-menerus terhadap tubuh, perasaan, pikiran, dan obyek pikiran;
8)    Pemusatan pikiran benar (samyag-samadhi): mengembangkan meditasi menurut empat dhyana.
75.    Empat jenis pasukan terdiri dari pasukan yang menunggangi gajah, pasukan berkuda (kavaleri), pasukan kereta kuda beroda dua, dan pasukan berjalan kaki.
76.    Sepuluh perbuatan atau peristiwa yang sengaja diperlihatkan oleh Buddha adalah:
a)    turun dari Surga Tusita;
b)    konsepsi (pembuahan kehamilan) secara suci dalam bentuk sebuah bayangan dari seekor gajah putih;
c)    tinggal di dalam rahim ibunya;
d)    lahir dari bagian kanan ibunya;
e)    meninggalkan kehidupan berumah tangga;
f)    enam tahun pertapaan secara keras;
g)    menaklukkan semua mara di bawah pohon Bodhi;
h)    mencapai pencerahan sempurna;
i)    memutar Roda-Dharma dan menahan sepuluh penderitaan;
j)    mencapai Parinirvana.
Ada versi lain yang berkaitan dengan hal ini, seperti di Mahayanottara-tantra, di mana terdapat dua belas perbuatan. Ada beberapa perbedaan antara kedua versi ini. Di Mahayanottara-tantra tidak ada poin c), tetapi ada tiga peristiwa baru, yaitu (i) kemahiran di segala bidang, (ii) menikmati kesenangan duniawi; (iii) perjalanan menuju pencerahan.
77.    Ini adalah tema utama dalam sutra ini. Buddha dikecualikan dari balasan karma karena ia tidak dapat melakukan karma buruk. Perbuatan “salah” yang diperlihatkannya sebenarnya adalah metoda upaya kausalya untuk menolong para mahkluk hidup lainnya, dan sama sekali bukan karma jahat. Namun, dengan kekuatannya, ia membuat kejadian-kejadian muncul yang tampak  seperti balasan karmanya. Ia melakukan hal yang demikian dengan tujuan untuk mencegah para mahkluk hidup ragu-ragu terhadap hukum karma.
78.    Bhadrakalpa mempunyai 1000 Buddha, maka disebut “kalpa penuh kebajikan.” Sakyamuni adalah Buddha keempat dihitung dari kalpa ini. Buddha selanjutnya adalah Maitreya dan setelah itu masih ada 995 Buddha di kalpa yang beruntung ini. Bhadrakalpa berlangsung selama 236 juta tahun, tetapi lebih dari 151 juta tahun telah berlalu.
79.    Orang jahat itu bisa dilahirkan di alam surga kendati ia telah banyak berbuat karma buruk karena ia dikorbankan dan langsung membuat Maha Karuna mampu mendapatkan banyak berkah dan kebajikan dari perbuatan membunuh. Kekuatan dari berkah dan kebajikan yang diperoleh oleh Maha Karuna membantu orang jahat itu dilahirkan di alam surga.
80.    Surga Kediaman Suci terdiri dari lima surga suci di Surga Dhyana Keempat. Di Surga Dhyana Keempat mempunyai 9 surga, dan Surga Kediaman Suci adalah kelompok 5 surga dari 9 surga Dhyana Keempat. Para mahkluk suci yang berdiam di Surga Kediaman Suci tidak akan kembali ke Alam Nafsu atau ke Empat Surga Dhyana yang berada di bawahnya, sehingga Surga Kediaman Suci juga disebut lima surga yang tak kembali.

Para dewa di surga ini bersemayam di luar penderitaan dari Alam Nafus dan juga di luar kebahagiaan dari Surga Dhyana Pertama karena telah memutuskan Sembilan kategori kebiasaan di alam yang lebih rendah. Kelima surga tersebut adalah:
1.    Avrha: bebas dari penderitaan;
2.    Anavatapta (Atapta; Atapa): bebas dari panas;
3.    Sudarsana pandangan yang suci sempurna;
4.    Sudrsa: manifestasi yang baik;
5.    Akanistha: wujud terhalus. Surga tertinggi di antara Alam Berwujud.
81.    Sundari adalah nama lain dari Cinca-Manavika yang telah disebutkan di atas.
82.    Empat kelompok pengikut terdiri dari bhiksu, bhiksuni, upasaka, dan upasika.
83.    Devadattda boleh dikatakan telah memberi faedah bagi Bodhisattva karena Devadatta memberikan banyak kesempatan kepada Bodhisattva untuk melatih.
84.    Sadhu secara literal “Bagus sekali”.

Sumber referensi: Sutra Upaya Kausalya (Sutra 38 dari Sutra Maharatnakuta) Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh: Upasaka Aryaphala.