Syair Meluruskan Pandangan & Menjernihkan Pikiran
Seseorang bila tidak memahami makna dan manfaat kehidupan, cenderung merusak kehidupan dan terpenjara oleh kehidupan.
Bila sering memaafkan kesalahan diri Anda, maka kelak sulit kesalahan anda dimaafkan oleh orang lain. Bila anda sering menuntut kebaikan-kebaikan dari orang lain maka kelak anda pasti dijauhi oleh orang lain.
Banyak orang sudah mengetahui bahwa di saat lahir tidak ada wujud materi yang dibawa, begitupula di saat kematiannya tidak ada materi harta kekayaan yang dibawa mati. Tapi dalam perjalanan sejak kelahiran menuju kematian, begitu banyak umat manusia terbius dan bernafsu untuk mengumpulkan segala kekayaan materi. Sesungguhnya apa sih yang bisa kita bawa serta saat kematian? Tiada lain adalah bentuk-bentuk kesadaran dan karmanya saja mengikuti kelahiran selanjutnya. Oleh karena itu, setelah kebutuhan hidup sudah terpenuhi seyoyanya mengembangkan kesadaran dan perbanyaklah karma baik Anda untuk menciptakan sebab akibat memperoleh kualitas kehidupan lebih baik saat sekarang maupun kehidupan yang akan datang.
Banyak orang menghabiskan waktu hanya untuk mengetahui permasalahan orang lain, senang mencari berita dari luar, ditambah suka mengosip dan mencibir membicarakan segala persoalan orang lain. Kenyataannya memang perilaku manusia awam banyak yang aneh dan lucu, ia belum bisa memahami dirinya sendiri, tidak mampu melihat kekurangan dan keburukan dirinya, dan belum mampu mengembangkan potensi dan kualitas dirinya. Bagaimana bisa? Ia mengabai keburukan dan potensi dirinya sendiri? Sebaliknya malah suka membicarakan dan menvonis masalah orang lain yang tidak diketahui persis persoalannya, tidak berkaitan dan tidak bermanfaat bagi dirinya sendiri.
Segala penderitaan umat manusia semua berasal dari pikiran bodoh dan keinginan yang salah. Seperti tidak mengetahui makna hidup dan kehidupannya yang singkat. Tidak mengetahui perilaku baik dan buruk. Tidak mengetahui bagaimana mempergunakan batin dan merawat jasmaninya. Tidak menyadari dan mengabaikan jiwa dan potensi Kebuddhaannya, sehingga menyia-nyiakan jodoh dan kesempatan terlahir sebagai manusia yang dapat merubah dan memperbaiki nasib. Ditambah lagi adanya keinginan yang salah, yaitu: selalu mencari keluar dan menuntut keluar, mengharapkan orang lain memperhatikannya, memujinya, membantunya, atau membahagiakannya sehingga kehidupannya menjadi tergantung dan digantung dipermainkan segala kondisi akibatnya hidup menjadi susah dan banyak derita.
Semua orang mendambakan dan mencari kebahagiaan. Tapi banyak orang yang tidak mengetahui dimanakah dan bagaimanakah kebahagiaan itu bisa diraih? Bila kebahagiaan itu dicari dan didapat dari luar yang berkondisi pasang surut, maka kebahagiaan ini bersifat semu dan rapuh, karena sekarang bisa bahagia kelak pasti bakal susah kembali. Sesungguhnya dimanakah sumber kebahagiaan itu? dan bagaimanakah kebahagiaan itu dapat dicari? Kebahagiaan semu umumnya datang dari luar, sedangkan kebahagiaan sejati harus dimunculkan dari dalam hatinya sendiri. Terhadap ragamnya kebahagiaan dari luar yang berkondisi ia senantiasa mensyukuri, berterima kasih, tapi ia tidak terjebak dan melekat. Sedangkan ia senantiasa mengembangkan kebahagiaan yang tidak berkondisi yang bersumber dari dalam dirinya sendiri, antara lain: Ia merasa bahagia dengan segala kondisinya walaupun kondisinya serba buruk. Ia bisa bahagia dengan lingkungannya walaupun hidup di lingkungan kumuh. Ia selalu bahagia dengan pekerjaannya walaupun mendapat pekerjaan rendah sekalipun. Ia selalu senyum bahagia dengan anggota keluarganya walaupun hubungan keluarganya tidak rukun dan harmonis. Ia merasa bahagia dengan kehidupannya walaupun kehidupannya serba kekurangan. Sikap perilakunya selalu menciptakan kebahagiaan untuk orang lain dengan perasaan bahagia, walaupun banyak orang lain suka lupa budi atau menyakitinya. Jenis orang demikian ini batinnya selalu memunculkan kebahagiaan dan menyalurkan kebahagiaan, maka orang tersebut memiliki kualitas ‘batin-surga’. Kehidupan sekarang walaupun tinggal di dunia kotor dan bobrok namun kualitas batinnya bagaikan penghuni surga. Karena ia memiliki kualitas batin surga kelak setelah meninggal dunia orang tersebut pasti bahagia terlahir di surga.
Seorang umat awam hidupnya senantiasa disibukan oleh berbagai kegiatan, antara lain: sibuk karena kewajiban mengenyam pendidikan, sibuk dalam usaha mata pencaharian, sibuk untuk mengurusi keluarga, sibuk mencari segala kenikmatan, dan sibuk menimbun harta benda. Karena segala kesibukan yang dilakukan dilandasi kebodohan, keserakahan dan kebencian maka telah menciptakan karma buruk yang berlimpah, akibatnya sekarang hidup banyak susah kelak pasti hidup derita dalam siklus tumimbal lahir yang sulit berakhir. Sedangkan seorang praktisi Buddhis sejati senantiasa belajar Dharma, mengkaji Dharma, mempraktikkan Dharma, mengajarkan Dharma dan tidak melekat kepada Dharma. Karena segala kesibukkannya berpedoman dengan Dharma dan tidak bertentangan Dharma, maka ia akan hidup selaras, seimbang dan serasi dengan kebenaran Dharma. Sekarang ia akan memperoleh ‘Mata-Dharma’ bertahap mencapai ‘Kesucian Dharma’, kelak ia akan menjadi “Pemutar roda Dharma”. Bila segala kebijaksanaan dan kebajikannya sudah sempurna maka ia akan menjadi “Raja-Dharma”.
Belajar Buddhadharma memang tidaklah mudah. Tidak semua orang bisa mengembangkan Bodhicitta dan melaksanakan Bodhisattvayana. Kebajikan berdana kepada Sang Triratna (Buddha, Dharma, Sangha) adalah untuk melenyapkan kekikiran dan keserakahan. Berdana berarti mempraktikkan pelepasan untuk menanam karma baik. Pergunakan pikiran bijak untuk berdana di ladang subur, saat berdana haruslah iklas dan penuh hormat, juga tujuan berdana haruslah murni jangan mempunyai hasrat dan ambisi apapun, setelah berdana bersyukur dan berterima kasihlah kepada semua pihak karena dapat melaksanakan kebajikan berdana dan ada yang memberikan kesempatan dan peluang untuk menerima dana. Bila berdana dengan hati tidak hormat, tidak ikhlas dan menyesal maka dikhawatirkan jasa pahala kebajikannya bisa rusak, juga kelak tidak bisa menikmati buah karma baik tersebut.
Umat yang belajar Buddhadharma yang masih mundur-maju belumlah bijak. Umat yang mundur-maju dalam berbakti kepada Sang Triratna (Buddha, Dharma, Sangha) belumlah setia. Umat yang belum mengambil Bodhisattva Sila belumlah mantap dalam praktik. Umat yang tidak peduli dengan kondisi dan perkembangan agama Buddha belumlah sadar. Umat yang belum memiliki ikrar dan tekad luhur pasti tidak konsisten dalam berjuang maupun berkorban. Bila umat belum bijak, belum setia, belum mantap, belum sadar dan belum konsisten, apakah layak dan bisa dipilih menjadi seorang pengurus inti sebuah organisasi Buddhis? Bagaimana ia bisa melangkah bersama kalau konsep pikirannya tidak sama dengan guru spiritualnya? Bagaimana ia bisa patuh kalau sikap dan perilakunya masih liar dan mau bebas? Bagaimana ia bisa dipercaya kalau sikap dan perilakunya pasang surut dipengaruhi oleh kondisi suka dan tidak suka? Bagaimana ia bisa konsisten mengabdi bila tidak paham hukum karma, tidak ada disiplin dan semangat berkorban? Jika umat mau bebas berkehendak, tidak patuh, tidak bijak, tidak sadar, tidak setia, tidak mantap, tidak konsisten dan tidak mau terikat, apakah salah dan berdosa bila guru spiritualnya juga bisa bebas memilih atau tidak memilih ia menjadi pengurus inti sebuah organisasi Buddhis? Ingat! siapa saja yang sudah terpilih menjadi pengurus sebuah organisasi Buddhis tapi mengabaikan tugas dan kewajibannya, dan meremehkan ikrar dan sumpah jabatannya maka ia sangat berdosa dan menciptakan karma buruk yang sangat luas kepada Sang Triratna dan semua makhluk. Juga siapa saja yang menunjuk dan memilih seseorang yang tidak efektif dan tidak konsisten dalam tugas dan kewajibannya sehingga organisasi Buddhis jadi terlantar dan mati suri, maka ia telah melakukan dosa efek secara tidak langsung ikut ambil bagian menghambat kemajuan dan menyulitkan perkembangan agama Buddha. Tentu akibatnya karma buruk demikian sangatlah dalam, kelak pengadilan akhirat dan hukum karmalah yang dapat mengadili dan menghukum pelaku buruk tersebut sesuai dosa pelanggarannya.