Pluralitas, Toleransi & Kerukunan Antar Umat Beragama

Ditinjau Dari Berbagai Informasi, Kajian Dan Perspektif Ajaran Buddha

dirangkum  oleh YM Bhikshu Tadisa Paramita Mahasthavira

Pendahuluan
Bagaimanakah peran dan fungsi semua agama yang baik dan efektif untuk menyejahterakan umat manusia? Adapun setiap agama yang di turunkan dan di ajarkan adalah untuk menyelamatkan dan membahagiakan umat manusia, bukan sebaliknya mengacau, merusak dan membinasakan umat manusia, lalu mengapa banyak orang yang beragama malah suka bertengkar, bertikai dan bertempur satu sama lainnya?

Sesungguhnya tidak ada ajaran agama apapun yang mengajarkan orang untuk saling intoleransi bertikai, menghancurkan dan membinasakan, melainkan mengajarkan manusia untuk saling menghormati, hidup rukun menjalin persahabatan, cinta damai dan anti kekerasan. Lalu apa yang keliru dan salah dalam kehidupan beragama ini? Memang banyak kejadian di berbagai daerah dan belahan dunia lain sebagian umat beragama malah menjadi liar, ekstrim dan anarkis? Kiranya semua kondisi terjadi karena ada sebab dan faktor tertentu yang melatari, bisa juga karena faktor pemahaman agama yang masih sempit dan dangkal yang belum memahami kebenaran mutlak yang bersifat Non-Dualitas, bisa juga terjadi penyelewengan agama atau menjadikan agama sebagai komoditas bisnis atau politik, kepentingan kelompok, ataukah korban hasutan? Ataukah karma buruk sudah matang?

Dalam perspektif agama Buddha, semua kondisi dan kejadian apapun berawal dari sebab sehingga berakibat. Semua masalah berkaitan dengan pandangan dan pikiran manusia itu sendiri yang menciptakan dan berbuat. Di sebabkan pandangannya salah dan sempit sehingga pikirannya menjadi kerdil, egois penuh ketimpangan  sehingga terjadilah sikap risih dan antipati yang berkembang menjadi penolakan. Kemudian tidak dapat menerima keberadaan yang berbeda, akibat selanjutnya membenci dan memusuhi keragaman. Bila kebencian sudah memuncak menjadi dendam kesumat maka aksi kekerasan dan perilaku anarkis sulit dihindari. Bila kondisi ini terus di biarkan maka terjadilah provokasi pengumpulan massa, efek negatifnya terjadilah aksi kekerasan massal dalam masyarakat, bahkan bisa merembet luas menjadi pertikaian antar daerah maupun perang antar bangsa.

Semua sebab bermula karena hati sebagian umat manusia begitu gelap, sempit dan sensitif, tidak mempunyai pandangan terang dan kearifan dalam belajar agama, hanya terpaku kepada ajaran agama yang kaku dan sepihak saja yang berbentuk harfiah (suratan) tanpa dimengerti maksud dan tujuannya sehingga terjadi fanatisme. Belum lagi ditambah penafsiran agama yang keliru, yang mengatakan agama sendirilah yang paling baik yang lainnya sesat, sehingga jiwanya penuh sekat, penuh curiga, dengki dan antipati terhadap yang berbeda dan tidak sesuai dengan keyakinannya. Melihat kondisi demikian, maka muncullah banyak persoalan dan problem dalam kehidupan beragama, tentu bukan agamanya yang bermasalah melainkan umat beragamanya yang bermasalah dan kurang arif dalam memahami ajaran mulia serta tidak melaksanakan ajaran agamanya secara lurus, baik, benar dan utuh dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Lalu bagaimanakah pendapat dari para Tokoh dan Agamawan dari berbagai kalangan yang berbicara pluralitas, toleransi, dan kerukunan? Bagaimana pandangan dan ajaran dari Raja Asoka yang beragama Buddha terhadap toleransi? serta apapula peran dan sumbangsih dari Mpu Tantular yang menggagas  Semboyan Bhinneka  Tunggal Ika? Juga bagaimanakah perspektif ajaran agama Buddha terhadap pluralitas, toleransi, dan kerukunan  antar agama? Untuk itu, silakan disimak untuk dipahami artikel ini untuk mengembang kan pengertian dan kearifan terhadap makna dan tujuan beragama yang hakiki agar toleransi dan kerukunan antar agama dapat terjaga dan terpelihara baik di muka bumi ini.

Fanatisme Agama “Pembunuh Nomer Satu”
ilustrasi.  sumber: www.eramuslim.com
Fanatisme agama merupakan “pembunuh nomor satu” dialog antar-agama, karena kaum fanatik tidak mempunyai kemampuan untuk menjalin dialog, kata Direktur Hanns Seidel Foundation Jerman, Hans Zehetmair.

“Kaum fanatik menganggap pandangan yang berbeda tidak mungkin untuk dapat disejajarkan kembali”, katanya pada orasi ilmiah berjudul ‘pemikiran mengenai dialog lintas agama, pernyataan dari sudut pandang Eropa’, di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Senin (4 Oktober 2010).

Menurut dia, hal-hal yang membatasi dialog lintas agama di Eropa sebagai akibat dari fanatisme, tidak adanya keinginan untuk memeluk demokrasi, dan penolakan terhadap hak asasi manusia sangat jelas terlihat. Namun demikian, peluang yang ada juga cukup jelas terlihat.

“Peluang itu terletak pada upaya untuk mengikuti prinsip yang menjamin keberhasilan dialog lintas agama, kesediaan masyarakat untuk hidup bersama secara damai, dan terlibat dalam dialog yang damai”, katanya.

Ia mengatakan saat ini Eropa lebih bersifat heterogen dalam aliran kepercayaan dan budaya. Ada ribuan bidang yang menyatakan orang dengan latar belakang agama yang berbeda dalam kehidupan sehari-hari, seperti di klub olah raga, tempat kerja, dan festival yang digelar.

Selain itu, jumlah pernikahan antara individu yang berbeda agama semakin meningkat. Saat ini dari setiap lima pernikahan yang terjadi di Jerman melibatkan individu dengan kewarganegaraan yang berbeda.

“Pasangan lintas agama telah menjadi hal yang biasa di Jerman dan jumlahnya juga semakin meningkat. Hal yang sama juga terjadi di berbagai kawasan Eropa lainnya”, katanya.

Menurut dia, pernikahan merupakan lahan yang subur untuk menjamin keberhasilan dialog lintas agama. Masing-masing pasangan akan berhadapan dengan kebutuhan untuk saling terciptanya dialog lintas agama yang akan berlangsung seumur hidup mereka.

“Hal lain yang juga merupakan peluang yang luar biasa untuk terciptanya dialog lintas agama adalah kondisi kehidupan bagi mereka yang percaya pada agama di seluruh dunia”, katanya. (Penulis & editor: Jodhi Yudono;  Sumber : ANT;  Kompas , 5 Okt 2010)

Para Tokoh & Agamawan Berbicara Tentang Pluralitas, Toleransi & Kerukunan
Dalam pembukaan Konstitusi Unesco ditegaskan: “Karena perang di mulai dari pikiran manusia, maka di dalam pikiran manusia jugalah harus dibangun untuk melindungi perdamaian”.

Agama mempunyai dua kecenderungan yakni pertama, kecenderungan esensial yang berasal dari lubuk hati manusia yang paling dalam dan kedua, kecenderungan sekunder yang berasal dari proses historis kehidupan masyarakat dalam menjalankan agamanya. Kecenderungan agama sekunder dapat di lihat dalam bentuknya yang tradisional, dogmatis, ritualistik, institusinalis, dan legal. Sedangkan kecenderungan agama esensial dapat dilihat pada bentuknya yang liberal, spiritual, moral, internal, individual, dan humanis (Said Agil Sirodj, Reposisi Terhadap Dialog antar Umat Beragama, dalam Opini harian Kompas, Edisi : 18 Februari 2004). Sumber : http://leimena.org/

Apabila kecenderungan agama yang sekunder mengalami gangguan berupa tekanan dan intimidasi dari kelompok agama lain, maka konflik tidak bisa dihindari. Pemikir Pos-Strukturalis Jacques Derrida, menawarkan investigasi politik terhadap kekerasan atas nama agama atau agama tanpa agama sebagai bentuk kekerasan yang tidak terkendalikan yang menyertai kembalinya agama dalam maknanya yang paling kaku. Hefner mengingatkan bahwa kekerasan bisa terjadi karena negara memanfaatkan agama, atau bisa pula agama memanfaatkan negara. (Thomas Santoso, Kekerasan Agama Tanpa Agama, (Jakarta: Pustaka Utan Kayu, 2002:1). Sumber http://leimena.org

Integrasi agama dan kekerasan memang bisa terjadi dalam banyak situasi, John D’Mello memaparkan setidaknya ada 3 alasan mengapa hal itu bisa terjadi (John D’Mello, The Hijacking of Religion: Unmasking Violence Discourse, dalam Jnanadeepa: Pune Journal of Religious Studies Vol.6 No. 1, 2003:101):
1.    Agama memberikan bahasa, mitologi, ilustrasi yang bisa digunakan oleh para pemimpin politik atau politik keagamaan untuk memotivasi umatnya melakukan kekerasan.
2.    Agama merupakan sumber identitas yang sangat kuat; oleh sebab itu, apabila para pemimpin politik menggunakan agama, berdasarkan agama yang mayoritas, untuk mengkonstruksi sebuah identitas nasional, maka pintu terhadap kekerasan akan terbuka lebar.
3.    Agama bisa digunakan secara politis untuk mencapai tujuan pribadi atau kelompok yang berkaitan dengan kekuasaan, ekonomi atau perkara material lainnya. (Sumber http://leimena.org)
Tokoh senior Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif, menilai pelaku kekerasan sebagai penghancur peradaban, yang melakukannya atas nama agama. “(Kekerasan itu) secara empirik merusak agama, membajak Tuhan untuk kepentingan jangka pendek”, kata Buya Maarif di Taman Ismail M (sumber http://www.tempointeraktif.com).

Kebebasan beragama, bukan lahir karena konstitusi yang diciptakan oleh negara. Melainkan, kebebasan itu muncul karena prinsip-prinsip beragama itu sendiri. “Jadi, kalau ada kelompok yang menyatakan agama tidak mendukung kebebasan beragama kelompok lain, mereka itu, itulah yang sebenarnya kelompok anti agama”.  Masih ada ketidakadilan dalam mengekspresikan kebebasan beragama di negara yang tahun ini memasuki usianya ke 65 tahun. Ada kelompok yang begitu bebas mengekspresikan diri. Tetapi, ada pula penghambatan di kelompok lain, sampai ada yang ingin memunculkan agama baru, sampai tindakan yang mengatas-namakan kelompok agama. “Sepanjang tidak menimbulkan aksi kekerasan bisa di tolerir. Namun, kalau sampai ada gesekan dan kekerasan, seharusnya tidak bisa di tolerir dan hukum harus bertindak”. Untuk mengatasi persoalan ini, Din berharap persoalan agama tidak diserahkan kepada masyarakat seperti layaknya pasar bebas. “Kalau urusan kebebasan beragama diserahkan ke pasar bebas itu jelas tidak baik. Tetapi, harus diatur. Pemerintah harus mengaturnya, sehingga ada kesadaran bersama”, ujarnya Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin dalam diskusi Polemik: Merdeka Tapi Cemas, di Jakarta Sabtu (14/8) (Sumber:http://www.jpnn.com)

Kemajemukan atau pluralisme bukanlah sesuatu yang harus dihindari, tetapi perlu dikelola dalam satu bingkai Bhinneka Tunggal Ika guna mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan kemampuan bangsa Indonesia mengelola dengan baik kemajemukan, maka negara tersebut dapat tumbuh menjadi bangsa yang kuat dan tangguh. (Taufig Kiemas, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sumber Suara Pembaharuan 5 Nov 2010)

Sektarianisme dan ekstremisme yang memustahilkan kesalahan bagi dirinya dan memustahilkan kebenaran pada pihak lain, kini kian menyeruak di kanan-kiri kita. Aksi terorisme sebagai buah radikalisme pun sudah kita rasakan bara dan efek destruktifnya. Euforia demokrasi dimanfaatkan sebagai momentum untuk menunjukkan kekuatan radikal. Terorisme lahir dari radikalisme atas pemahaman agama yang irasional, sempit, dangkal, dan kurang bisa menerima perbedaan. Pemahaman seperti ini menjadi benih gerakan ekstrem yang bisa menjurus kepada teror. (Masdar Farid Mas’udi, Tokoh NU, sumber Suara Pembaharuan 5 Nov 2010).

Dalam agama terdapat realitas keberagaman atau kemajemukan. Beda pandangan kelompok masyarakat terhadap kenyataan akan keberagaman itulah yang selama ini jadi sumber pemicu kekerasan. Padahal, ide dasar agama sejak semula adalah kumpulan visi, misi, dan aksi tentang Ketuhanan dan kemanusiaan universal. Inilah yang jadi pertanyaan, bagaimana mungkin malah menjadi inspirasi kekerasan. kata Prof Dr Syamsul Arifin       M Si, guru besar Universitas Muhammadiyah Malang. (Sumber: http://www.wahidinstitute.org)

Agama-agama tidak akan menampilkan wajah bengisnya apabila misi perdamaian agama dikumandangkan dengan cara yang benar. Agama-agama tidak boleh memaksakan perdamaian dengan cara kekerasan. Apalagi, kekerasan selalu saja menimbulkan kekerasan, dan perdamaian tidak mungkin tercipta dengan cara kekerasan, sebaliknya harus melalui penegakkan hukum. Dalam tulisan artikel “Agama dan Misi Perdamaian”, Peneliti Reformed Center for Religion Society Binsar A. Hutabarat, Suara Pembaruan, 14 Agustus 2010 (http://www.reformed-crs.org)

Setiap tindak kekerasan dengan menggunakan label agama tidak boleh dibiarkan, segala tindakan kekerasan harus dihukum. Dalam dunia pendidikan, sekolah atau guru tidak boleh mengajarkan sesuatu yang bertentangan dengan Pancasila seperti ekstremisme. Sekolah harus menjadi tempat menciptakan manusia berbudi pekerti dan berakhlak baik, mendorong anak untuk bertoleransi dan saling pengertian. Guru mengajarkan pendidikan yang menciptakan perdamaian bukan konflik. Pendidikan harus kembali kepada Pancasila yang menghargai prinsip perbedaan. (Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina, Sumber Suara Pembaharuan 5 Nov, 2010)

Semua elemen masyarakat bekerja sama melawan religi yang berperangai dehumanisasi atau anti-kemanusiaan yang tega membunuh sesama atas nama Tuhan. Perlawanan tersebut bukan perlawanan dengan kekerasan tetapi harus dengan perlawanan kultural atau kebudayaan seperti Mahatma Gandhi yang melakukan Silence (kebisuan) untuk melawan kolonialisme religi. Perlawanan dapat dilakukan dengan memperbanyak ruang-ruang peradaban dalam ranah pendidikan untuk saling menghargai keragaman dan kembali ke nilai-nilai keIndonesiaan yakni KeBhinnekaan atau pluralisme. (Mudji Sutrisno, Cendikiawan Katholik, Sumber Suara Pembaharuan,5 Nov 2010)

Menurut Bapak Suhardiman pendiri SOKSI, maraknya masalah pluralisme agama di Indonesia disebabkan kegagalan bangsa menangkap pesan toleransi dalam ajaran agama dan menjadikan pluralisme hanya sebagai faham kemajemukan dan keanekaragaman yang menggambarkan kesan fragmentasi. “Seharusnya kita mampu mengubah pandangan yang sempit itu. Pluralisme haruslah dipahami sebagai pertalian sejati KeBinnekaan dalam membangun ikatan-ikatan peradaban. Pluralisme menjadi suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia dalam semangat KeBinnekaan yang kita miliki sesuai dengan cita-cita luhur pendiri bangsa”, kata Suhardiman (sumber: suara karya on line).

Persoalan agama memang menjadi sangat pelik dan sensitif sekaligus membahayakan. Jika agama dipahami dengan spirit pluralisme yang ditambatkan pada nilai universal, maka agama akan menjadi jalan keselamatan. Namun jika agama dipahami secara kaku, untuk menggelar kekuasaan, maka agama akan jadi sumber konflik. Paling tidak itulah yang pernah diwanti-wanti oleh Harold Coward. (Sumber http://www.desantara.org)

Adanya kecenderungan komodifikasi agama menjadi salah satu pemicu maraknya kekerasan berkedok agama di Tanah Air pada beberapa waktu belakangan. Agama berkembang jadi komoditas dan bukan lagi sumber inspirasi. (Direktur Eksekutif Wahid Institute, Ahmad Suaedy, mengemukakan hal itu dalam diskusi bertajuk “Menentang Kekerasan Berkedok Agama” yang diselenggarakan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (LSAM). (Sumber: http://nasional.kompas.com).

Cara efektif mengawal Pancasila sebagai jati diri bangsa dari rongrongan faksi radikal dan militan adalah dengan mengamalkan nilai-nilai luhurnya terutama sila kelima. Pengamalan ini tentunya dilakukan dengan penuh tanggung jawab, sehingga segala sentimen radikal dan militan itu akan kehabisan poin untuk ditawarkan. Tetapi selama sila kelima tetap dalam keadaan yatim-piatu, kelompok-kelompok sempalan itu akan tetap berkoar-koar menipu publik. (Garin Nugroho, Budayawan, Sumber Suara Pembaharuan, 5 Nov 2010).

Menurut pandangan Bapak Abu Hanifah, Peneliti Puslibang Kesos dalam karya tulisannya yang berjudul ‘Toleransi Dalam Masyarakat Plural Memperkuat Ketahanan Sosial” menyebutkan:
Pada era reformasi, kemajemukan masyarakat cenderung menjadi beban daripada modal bangsa Indonesia. Hal itu terbukti dengan munculnya berbagai persoalan yang sumbernya berbau kemajemukan, terutama bidang agama. Dalam perspektif keagamaan, semua kelompok agama belum yakin bahwa nilai dasar setiap agama adalah toleransi. Akibatnya, yang muncul intoleransi dan konflik. Padahal agama bisa menjadi energi positif untuk membangun nilai toleransi guna mewujudkan negara yang adil dan sejahtera. Seharusnya pada era reformasi ini, kita menjunjung tinggi demokrasi dan toleransi. Demokrasi tanpa toleransi akan melahirkan tatanan politik yang otoritarianistik, sedangkan toleransi tanpa demokrasi akan melahirkan pseudo-toleransi, yaitu toleransi yang rentan konflik-konflik komunal.Oleh sebab itu, demokrasi dan toleransi harus terkait klindan, baik dalam komunitas masyarakat politik maupun masyarakat sipil. Untuk itu toleransi perlu dikembangkan, dan cara mengembangkan toleransi dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan sistem sosial dan sistem budaya.

Pendekatan sistem sosial dilakukan melalui inter-group relation, yaitu hubungan antara anggota-anggota dari berbagai kelompok (etnik dan agama) untuk meningkatkan integrasi di antara mereka. Dengan adanya inter-group relation ini dapat pula menetralisir konflik-konflik di antara kelompok, karena setiap anggota kelompok tidak akan memiliki loyalitas tunggal dalam suatu kelompok tertentu, namun sebaliknya loyalitas mereka ganda berdasarkan kelompok-kelompok yang mereka masuki. Dengan demikian kekhawatiran akan terjadi fanatisme sempit, sentimen-sentimen primordial juga akan dapat di netralisir karena kegandaan loyalitas yang dimiliki oleh masing-masing anggota kelompok.

Pendekatan sistem budaya, bahwa masyarakat majemuk dapat bersatu melalui penganutan nilai-nilai umum yang berlaku bagi semua anggota masyarakat. Nilai-nilai umum ini sebagai perekat bagi kelompok-kelompok dalam kehidupan masyarakat. Nilai-nilai umum itu bersumber pada budaya dominan masyarakat multi etnik yang menjadi acuan perilaku yang terpola. Melalui kedua pendekatan tersebut diharapkan dapat meningkatkan toleransi untuk memperkuat ketahanan sosial masyarakat.

Pengertian Toleransi
Toleransi merupakan salah satu bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formil. Kadang-kadang toleransi timbul secara tidak sadar dan tanpa direncanakan, hal mana disebabkan karena adanya watak orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia, untuk sedapat mungkin menghindarkan diri dari suatu perselisihan (Soekanto,1982:71).

Dari sejarah dikenal bangsa Indonesia adalah bangsa yang toleran yang sedapat mungkin menghindarkan diri dari perselisihan-perselisihan. Di samping itu toleransi juga termasuk salah satu faktor yang dapat mempermudah terjadinya asimilasi. Toleransi terhadap kelompok-kelompok manusia dengan kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan sendiri, hanya mungkin di capai dalam akomodasi. Apabila toleransi tersebut mendorong terjadinya komunikasi, maka faktor tersebut dapat mempercepat asimilasi. Asimilasi merupakan suatu proses dalam taraf kelanjutan, yang ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan proses-proses mental dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan bersama. Secara singkat, proses asimilasi ditandai dengan pengembangan sikap-sikap yang sama, walaupun kadang-kadang bersifat emosional, bertujuan untuk mencapai kesatuan, atau paling sedikit untuk mencapai suatu integrasi dalam organisasi, fikiran dan tindakan. Proses asimilasi timbul bila ada: (1) kelompok-kelompok manusia yang berbeda kebudayaannya; (2) orang perorangan sebagai warga kelompok-kelompok tadi saling bergaul secara langsung dan intensif untuk waktu yang lama; sehingga (3) kebudayaan-kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia tersebut masing-masing berubah dan saling menyesuaikan diri (Soekanto, 1982:74).

Halim (2008) dalam arikel yang berjudul “Menggali Oase Toleransi”, menyatakan: “Toleransi berasal dari bahasa Latin, yaitu tolerantia, berarti kelonggaran, kelembutan hati, keringanan, dan kesabaran”. Secara umum, istilah ini mengacu pada sikap terbuka, lapang dada, sukarela, dan kelembutan. United Nations Educational,Scientific and Cultural Organization (UNESCO) mengartikan toleransi sebagai sikap “saling menghormati, saling menerima, dan saling menghargai di tengah keragaman budaya, kebebasan berekspresi, dan karakter manusia”. Untuk itu, toleransi harus didukung oleh cakrawala pengetahuan yang luas, bersikap terbuka, dialog, kebebasan berfikir dan beragama. Singkatnya toleransi setara dengan bersikap positif dan menghargai orang lain dalam rangka menggunakan kebebasan asasi sebagai manusia. Ada dua model toleransi, yaitu: Pertama, “Toleransi-pasif”, yakni sikap menerima perbedaan sebagai sesuatu yang bersifat faktual. Kedua, “Toleransi-aktif”, melibatkan diri dengan yang lain di tengah perbedaan dan keragaman. Toleransi aktif merupakan ajaran semua agama. Hakikat toleransi adalah hidup berdampingan secara damai dan saling menghargai di antara keragaman.

Di Indonesia, praktik toleransi mengalami pasang surut. Pasang surut ini dipicu oleh pemahaman distingtif yang bertumpu pada relasi “mereka” dan “kita”. Tak pelak, dalam berbagai diskursus kontemporer, sering dikemukakan bahwa, radikalisme, ekstremisme, dan fundamentalisme merupakan baju kekerasan yang ditimbulkan oleh pola pemahaman yang eksklusif dan anti-dialog atas teks-teks keagamaan. Seluruh agama harus bertanggung jawab untuk mewujudkan keadilan dan kedamaian. Hal ini tidak akan tercapai hanya dengan mengandalkan teologi eksklusif yang hanya berhenti pada klaim kebenaran, tetapi membutuhkan teologi pluralisme yang berorientasi pada pembebasan.

Toleransi yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah: sikap saling menghormati, saling menghargai, dan saling menerima di tengah keragaman budaya, suku, agama dan kebebasan berekspresi. Dengan adanya sikap toleransi, warga suatu komunitas dapat hidup berdampingan secara damai, rukun, dan bekerja sama dalam mengatasi berbagai permasalahan yang terjadi di lingkungannya.

Pengertian Plural
Kita perlu menyelamatkan bangsa dan negara dengan kembali kepada nilai-nilai luhur yang pasti melekat pada sebagian besar orang, kelompok, dan masyarakat di negeri ini. Persoalannya tidak setiap orang atau kelompok yang mau mengakui pluralisme dan multikulturalisme. Padahal dengan saling mengenal, kelompok masyarakat yang plural dapat mengembangkan apresiasi, penghormatan, bahkan kerja sama antara yang satu dengan yang lain (A’la,2008).

Subkhan (2007:29) menyatakan pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun, yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pluralisme agama dan budaya dapat dijumpai di mana-mana. Di dalam masyarakat tertentu, di kantor tempat kita bekerja, di sekolah tempat kita belajar, bahkan di pasar tempat kita berbelanja. Tapi, seseorang baru dapat dikatakan menyandang sifat tersebut apabila ia dapat berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam KeBhinekaan.

Intan (2007) menyatakan pluralisme agama yang berpondasikan solidaritas individual niscaya membuahkan beberapa implikasi positif:

Pertama,  pemahaman kemajemukan agama bukan lagi sekedar “kenyataan”, melainkan menjadi “keharusan” yang tidak dapat dihilangkan. Pada realitas ini muncul usaha saling memperhatikan yang lahir dari kesadaran interdependensi. Pada kondisi ini, agama didorong memberi kontribusi karena interdependensi agama mensyaratkan ketidak-aktifan satu agama akan berpengaruh kepada hasil-hasil yang akan dicapai. Jika kesadaran interdependensi agama terus bertumbuh, partisipasi agama-agama dapat dimaksimalkan.

Kedua, pluralisme agama berbasis solidaritas intelektual menjunjung prinsip take and give. Dialog yang baik akan menghasilkan perubahan kedua belah pihak.

Ketiga, berdasarkan solidaritas intelektual, pluralisme agama mengharuskan kebebasan beragama bukan sebatas negatif immunity, bahwa agama harus bebas dari cengkraman sosial-politik termasuk negara.

Keempat, pluralisme agama dengan solidaritas intelektual berpotensi menghasilkan nilai-nilai yang mengandung common good. Yang dimaksudkan dengan masyarakat plural dalam tulisan ini, adalah masyarakat majemuk yang ditandai adanya beragam suku bangsa, agama, budaya atau adat-istiadat. Kondisi masyarakat yang demikian diperlukan kerja sama dengan sikap toleransi dalam menghadapi berbagai tantangan untuk memperkuat ketahanan sosial suatu komunitas.

Merawat KeBhinnekaan juga harus dilakukan dengan memperlakukan secara adil semua komponen bangsa. Itu antara lain berarti, yang benar harus dibela dan yang lemah perlu dilindungi. (Marcellus Hernowo; Merawat Kebhinnekaan, Mendatangkan Devisa; 2008)

Piagam & Sejarah Asoka yang terkenal
Piagam Asoka
Raja Asoka membuat piagam yang dipahatnya pada Tugu batu cadas dengan diberikan tandatangannya sendiri dan piagam itu diberi nama “PIYADASSI” artinya “YANG PENUH PRIKEMANUSIAAN”, yang berisikan anjuran kepada rakyatnya agar hidup sesuai menurut Buddhadharma yang diajarkan Hyang Buddha, yaitu saling kasih mengasihi, saling hormat menghormati dan penuh toleransi terhadap semua paham serta aliran agama yang ada. Sekalipun piagam tersebut sekarang telah berusia lebih dari 22 abad lamanya, namun patut untuk dijadikan pegangan bagi semua umat manusia pada umumnya dan umat Buddha khususnya di masa kehidupan sekarang ini, Piagam tersebut berbunyi sebagai berikut:

Asoka membuat dekrit di batu cadas gunung (hingga kini masih dapat dibaca) yang berbunyi : “…Janganlah kita menghormati agama kita sendiri dengan mencela agama orang lain. Sebaliknya agama orang lain hendaknya dihormati atas dasar tertentu. Dengan berbuat demikian, kita membantu agama kita sendiri untuk berkembang di samping menunjang pula agama lain. Dengan berbuat sebaliknya, kita akan merugikan agama kita sendiri di samping merugikan agama orang lain. Oleh karena itu, barangsiapa menghormati agamanya sendiri dengan mencela agama lain semata-mata karena dorongan rasa bakti kepada agamanya dengan berpikir “Bagaimana aku dapat memuliakan agamaku sendiri”, maka dengan berbuat demikian ia malah akan amat merugikan agamanya sendiri. Hendaknya toleransi dan kerukunan beragamalah yang dianjurkan dengan pengertian bahwa semua orang selain mendengarkan ajaran agamanya sendiri juga bersedia untuk mendengarkan ajaran agama yang dianut orang lain…” (Rock Edict XII).

Tanda-tanda dari agama yang benar adalah kebaikan hati, cinta kasih, kejujuran, kesucian, kemuliaan dan kebajikan (Raja Asoka).

Sekilas sejarah Raja Asoka (+/- 260 SM)
Pada mulanya raja Asoka mengikuti jejak ayahnya yang bernama Bidusara dan kakaknya yang bernama Chandragupta, berkeinginan untuk maenyempurnakan penakhlukkan seluruh India. Ia menyerbu dan menaklukkan kerajaan Kalingga dan sebagai akibat dari peperangan yaitu ratusan ribu penduduk yang tidak bersalah telah menjadi tewas, mendapat luka-luka berat dan ringan, serta yang luka-luka itu menjadi cacat. Ribuan rumah dan harta benda penduduk yang tak ternilai harganya itu menjadi musnah. Peperangan ini adalah yang terakhir.

Setelah Raja Asoka memeluk agama Buddha, berubahlah seluruhnya dan menjadi orang baru, yang disebabkan ajaran Buddhadhamma. Ia menerangkan kepada umum, bahwa ia tidak akan menggunakan senjatanya lagi, untuk menaklukkan negara-negara lain dan ia mengharapkan agar semua makhluk yang hidup dapat melakukan pengekangan diri, hidup bersih dan ramah tamah. Tentunya ini dapat dianggap sebagai kemenangan yang terbesar dari “YANG DIKASIHI OLEH PARA DEWA” , yaitu penaklukkan dengan cinta kasih. Bukan saja raja Asoka menolak peperangan untuk dirinya sendiri, tetapi ia menyata kan juga keinginan agar “anak-anakku dan cucu-cucuku’ tidak lagi berpikir tentang penakhlukkan negara-negara lain sebagai sesuatu yang berharga untuk ditaklukkan. Mereka harus berpikir penaklukkan dengan cinta kasih yang berguna untuk di dunia ini dan di dunia lainnya.

Ini merupakan satu-satunya contoh dalam sejarah kemanusiaan dari seorang raja pada puncak kejayaan nya, dimana masih mempunyai kesanggupan untuk melakukan penaklukkan daerah-daerah baru, tetapi menolak peperangan dan kekerasan, sebaliknya menginginkan perdamaian dan tanpa kekerasan (non violance).

Raja Asoka dengan nama lengkapnya, yaitu: ASOKA MAURIYA, dan ia sendirilah yang memberi contoh untuk dapat menjalankan pemerintahan secara adil dan bijaksana, penuh cinta kasih dan toleransi. Kemudian ditingkatkannya kesejahteraan rakyat, yaitu: dengan mendirikan rumah sakit sebanyak-banyaknya, sekolah, waduk, sumur, saluran untuk pengairan dan sebagainya. Inilah pelajaran untuk dunia masa kini. Pemimpin dari suatu kerajaan agung dan besar secara terbuka menolak peperangan dan kekerasan. Sebaliknya ia menjalankan ajaran-ajaran tentang perdamaian dan tanpa kekerasan, dan tidak terdapat bukti-bukti dalam sejarah, bahwa negara tetangganya telah mengambil keuntungan dari “cinta kasih” kerajaan Asoka dan menyerbu dengan kekuatan militernya atau ada terjadi pemberontakan, kerusuhan dalam negerinya pada waktu Asoka Mauriya masih hidup. Sebaliknya seluruh negeri berada dalam keadaan aman dan tenteram serta damai, dan negara tetangganya ternyata telah menerima kepemimpinannya.

Di dalam jaman Kerajaan Asoka Maurya, kebudayaan dan kesenian berkembang dengan pesatnya hingga mencapai puncaknya. Beliau yang telah berkorban demi keselamatan dan kebahagiaan umat manusia. Raja telah membuatnya khusus untuk melakukan puja bhakti kepada Buddha, dalam karya seninya yang sangat indah dan mengagumkan sekali telah dibuatnya. Di tempat-tempat yang bersejarah didirikannya stupa-stupa dan tugu-tugu untuk peringatan kepada Buddha, dengan ukiran-ukiran yang dipahat begitu mengagumkan sekali.

Selain daripada itu, raja Asoka giat sekali menyebar-luaskan ajaran Buddhadhamma ke berbagai negeri dengan dikirimnya utusan-utusan ke India Belakang, Asia Tenggara dan lain-lainnya. Salah seorang utusan yang terpenting adalah putranya sendiri yang bernama Mahinda, yang diutus ke Srilanka dan Beliaulah yang menyebarkan ajaran agama Buddha di negeri ini, Hingga kini menjadi negara Buddhis. Semula adalah kecil, berpusat di sekitar daerah Timur Laut India, kemudian menjadi satu Agama yag sangat berpengaruh ajarannaya di seluruh tanah India, sehingga bisa menjadi suatu agama besar di dunia.

Asoka membangun ribuan stupa dan vihara bagi penganut Buddha. Stupa-stupa di Sanchi sangat termasyhur dan stupa bernama Sanchi Stupa I di dirikan oleh Maharaja Asoka. Selama sisa masa pemerintahannya, ia menganut kebijakan resmi anti-kekerasan (AHIMSA). Bahkan penyembelihan dan penyiksaan sia-sia terhadap hewan pun dilarang. Margasatwa dilindungi dengan undang-undang sang maharaja yang melarang pemburuan untuk olahraga dan pengisian waktu luang. Pemburuan secara terbatas diperbolehkan untuk maksud konsumsi namun Asoka juga mempromosikan konsep vegetarianisme. Asoka juga menaruh belas kasihan kepada para narapidana di penjara. Mereka diperbolehkan mengambil cuti, sehari dalam waktu setahun. Ia berusaha meningkatkan ambisi profesional rakyat jelata dengan membangun pusat-pusat studi yang mungkin bisa disebut universitas. Ia juga mengupayakan sistem irigasi bagi pertanian. Rakyatnya diperlakukan secara sama, apapun derajat, agama, haluan politik, ras, suku bangsa dan kasta mereka. Kerajaan-kerajaan di sekeliling wilayahnya yang sebenarnya mudah ditaklukkan ia buat sebagai sekutu yang terhormat.

Asoka juga dipercayai membangun rumah-sakit untuk hewan dan merenovasi jalan-jalan utama yang menghubungkan daerah-daerah di India. Setelah perubahan dirinya, Asoka dikenal sebagai Dhammashoka (bahasa Pali), artinya Asoka penganut Dhamma, atau Asoka yang Soleh. Bentuknya dalam bahasa Sansekerta adalah Dharmâsoka. Asoka kemudian mendefiniskan prinsip-prinsip dasar Dharma (Dhamma) sebagai tindakan anti-kekerasan, toleransi terhadap semua sekte atau aliran agama, dan segala pendapat, mematuhi orang tua, menghormati para Brahmana, guru-guru agama dan pandita, baik hati terhadap kawan, perlakuan manusiawi terhadap para pembantu, dan murah hati terhadap semua orang. Prinsip-prinsip ini menyinggung haluan umum etika berkelakuan terhadap sesama di mana tidak ada kelompok agama atau sosial yang bisa menentang.

Sumber banyak pengetahuan kita akan Asoka adalah prasasti-prasasti yang banyak ditinggalkannya dan dipahatkannya di pilar-pilar dan batu-batu di seluruh wilayah kekaisarannya. Maharaja Asoka juga dikenal sebagai Piyadasi (dalam bahasa Pali) atau Priyadarsi (dalam bahasa Sansekerta) yang berarti “berparas baik” atau “dikaruniai Dewa-Dewa dengan berkah baik”. Semua prasastinya memiliki sentuhan kekaisaran dan menunjukkan rasa kasih sesama yang mendalam; ia menyapa rakyatnya dengan kata “anak-anakku”. Prasasti-prasasti ini mempromosikan moral sesuai agama Buddha dan memberi semangat pada tindakan non-kekerasan serta keteguhan dalam melaksanan Dharma (kewajiban atau tindakan yang bajik).
Prasasti-prasasti ini juga membicarakan ketenarannya dan negara-negara taklukkan serta juga negara-negara tetangga yang berusaha menghancurkannya. Informasi tentang peperangan Kalinga juga bisa didapatkan dan juga tentang sekutu-sekutu Asoka. Lalu informasi mengenai pemerintahan sipil juga ada. Pilar-pilar Asoka di Sarnath adalah peninggalan Asoka yang paling dikenal. Mereka dibuat dari batu granit dan merekam kunjungan Asoka kepada maharaja Sarnath pada abad ke-3 SM. Pilar ini memiliki pucuk berbentuk empat kepala singa yang berdiri membelakangi satu sama lain. Lambang India modern adalah keempat singa ini. Singa selain melambangkan kekuasaan Asoka, juga melambangkan sifat kerajaan sang Buddha (singa dianggap raja hutan yang merajai semua margasatwa dan Buddha adalah seorang pangeran mahkota). Dalam menerjemahkan teks-teks yang berada pada prasasti di pilar-pilar ini, para sejarawan bisa mempelajari banyak tentang Kekaisaran Maurya. Namun sulit apakah yang tertulis di situ benar semua atau tidak. Yang jelas ialah teks-teks ini menunjukkan kepada kita bagaimana Maharaja Asoka ingin dikenang.

Ajaran Toleransi Mpu Tantular
Dalam Kitab Suci SUTASOMA, terdapat ajaran Mpu Tantular tentang Bhinekkha Tunggal Ikha Tanhana Dharma Mangrwa. Ajaran ini terjadi sewaktu runtuhnya kerajaan Singosari dan seorang putera dari Prabu Kertanegara yang bernama Wijaya dapat meloloskan diri dengan melarikan diri, kemudian ia mendirikan kerajaan Majapahit, pada waktu agama Buddha dan Hindu di Indonesia sedang mengalami jaman keemasannya.

Dalam Babat Tanah Jawi, terlukiskanlah bahwa pada waktu masa keemasannya Majapahit, pusaka kraton disebut Kyai Condong Campur, yang berarti suka bersatu dan bersahabat dengan siapa saja. Dan dalam kitab Sutasoma dari Mpu Tantular bersendikan sebagai berikut:

“Syiwa Buddha Bhinnekha Tunggal Eka, Tanhana Dharma Mangrwa”

Artinya: “Syiwa Buddha miskipun berlainan, akan tetapi sesungguhnya adalah satu, oleh karena tidak ada Dharma atau kebenaran yang mendua”.

Inilah sebuah Hukum Kesunyataan dan kata Kesunyataan itu artinya “Hukum Realita”. Kebenaran dan sejarah kebenaran tersebut manunggal sudah terbukti realita dan efektif, sangat bermanfaat bagi menjalin dan menjaga kerukunan antar agama yang sudah berjalan terus dari masa ke masa.

Demikian pula agama yang berkembang di Indonesia, terdiri dari bermacam-macam agama resmi yang dilindungi oleh UUD 1945 dan sesuai dengan falsafah Pancasila. Dimana dalam GBHN telah ditetapkan pula, bahwa salah satu asas pembangunan nasional adalah asas perikemanusiaan, perikehidupan dalam keseimbangan, antara lain keseimbangan dalam kepentingan duniawi dan akhirat, kepentingan material dan spiritual, kepentingan jiwa dan raga, kepentingan individu dan masyarakat. Oleh karena itu, di dalam Negara Republik Indonesia, pembangunan di bidang agama merupakan salah satu usaha untuk melaksanakan asas pembangunan nasional tersebut dan untuk tujuan pembangunan nasional itu sendiri.

Usaha-usaha pembangunan itu kait-mengkait dengan semua aspek penghidupan manusia dan betapa berhasilnya atau gagalnya usaha pembangunan berkisar kepada manusia serta nilai-nilai yang dipegangnya.

Nilai agama yang universal dan abadi sifatnya merupakan salah satu aspek yang diperlukan bagi kehidupan dan kebudayaan bangsa. Oleh karena itu, agama merupakan salah satu sumber kegairahan bangsa untuk membangun dan memperbaiki nasibnya. Dengan demikian kegairahan kehidupan agama merupakan suatu syarat mutlak untuk usaha pembangunan.

Demikian ajaran toleransi antar agama dari Mpu Tantular yang telah menjiwai rakyat dan bangsa Indonesia, sehingga semua agama hidup rukun berdampingan satu dengan yang lainnya, saling menghormati saling menghargai dengan penuh toleransi saling membantu di dalam mensukseskan perkembangan beragama sesuai dengan kepercayaan dan keyakinan masing-masing.

Kerukunan Antar Umat Beragama
(Dalam Perspektif  Ajaran Buddha dan Orang Bijak)
Kita dapat menjelajahi seluruh dunia luas ini dengan pikiran kita, tetapi tak menemukan sesuatu yang lebih dicintai dari pada diri sendiri. Kalau diri sendiri sangat dicintai, marilah jangan kita mencelakakan yang lainnya. (Sabda Hyang Buddha).

Pada saat Buddha telah memiliki 60 (enam puluh) orang Bhikkhu, Buddha bersabda:

“Oh Bhikkhu, pergilah mengembara demi kebaikan orang banyak, membawa kebahagiaan bagi orang banyak, atas dasar kasih sayang terhadap dunia, untuk kesejahteraan, keselamatan dan kebahagiaan para dewa dan manusia. Janganlah pergi berdua ke tempat yang sama. Babarkan Dharma yang indah pada awalnya. Indah pada pertengahannya, dan indah pada akhirnya”. (Mahavagga, Vinaya-Pitaka 1.21)

Pembabaran Buddha Dharma tidak untuk menghimpun pengikut, atau membuat seseorang meninggalkan gurunya, melepaskan kebiasaan dan cara hidupnya, menyalahkan keyakinan atau doktrin yang dianutnya. Beliau hanya menunjukkan bagaimana membersihkan noda, meninggalkan hal-hal yang buruk yang mengakibatkan hal-hal menyedihkan di kemudian hari. (Digha Nikaya III : 56 –57)

Dalam Paramatthaka-sutta (Snp. 796-803), kita dianjurkan untuk bersifat toleransi terhadap semua pandangan lainnya, karena pada akhirnya segala pandangan dogmatis apapun harus ditinggalkan: “Seseorang yang masih menggengggam pandangan dogmatis tertentu dan menganggapnya sebagai “tertinggi” di dunia, akan menyatakan: “inilah yang terhebat”. Pandangan lain yang berbeda dianggap lebih rendah. Sebagai akibatnya, dia tidak akan terbebas dari perselisihan. Kala melihat, mendengar, atau merasakan sesuatu dan menganggapnya sebagai satu-satunya yang bisa membawa kenyamanan dan keuntungan bagi dirinya, Seseorang selalu cenderung terjebak di dalamnya dan menilai yang lainnya sebagai lebih rendah. Terjebak dalam pandangan dan menganggap semua pandangan lainnya sebagai rendah-sikap ini dianggap oleh orang bijaksana sebagai belenggu, sebagai ketiadaan kebebasan. Seorang praktisi yang baik tidak pernah terlalu cepat mempercayai apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan, termasuk peraturan-peraturan dan upacara-upacara ritual. Seorang praktisi yang baik tidak akan menimbulkan pandangan-pandangan dogmatis di dunia, baik lewat pengetahuan, peraturan, atau pun upacara ritual. Oleh karena itu, dia tidak menganggap dirinya lebih tinggi, lebih rendah, atau setara. Seorang praktisi yang baik meninggalkan gagasan tentang “diri atau ego” dan membuang kecondongan untuk melekat pada pandangan-pandangan. Dia tidak bergantung bahkan pada pengetahuan; dia tidak memihak di tengah perselisihan; dia tidak menggenggam terhadap pandangan-pandangan dogmatis. Baginya tidak ada nafsu untuk meraih ini atau itu, di dunia atau pun di dunia yang akan datang. Dia telah meninggalkan semua pandangan dan tidak lagi perlu mencari kenyamanan/penghiburan dan perlindungan dalam teori atau idiologi apa pun. Bagi orang bijaksana tersebut, sama sekali tak lahir pandangan prasangka mengenai apa yang dilihat, didengar atau dirasakan. Bagaimanakah manusia di dunia dapat menilai atau mengemukakan pendapat tentang orang murni tersebut yang telah melepaskan semua pandangan-pandangan? Seorang bijaksana tidak merasa perlu mendirikan dogma-dogma atau memilih sebuah idiologi. Semua dogma-dogma dan idiologi-idiologi telah ditinggalkan oleh orang yang demikian. Seorang yang mulia tidak pernah terjebak dalam peraturan-peraturan atau upacara-upacara ritual. Dia sedang maju secara mantap ke pantai seberang, dan tidak akan pernah kembali ke alam belenggu.

Seorang yang dapat mempelajari dengan baik-baik, mempertahankan, membacakan dan menjelaskan sutra kepada orang lain akan memperoleh pahala kebajikan yang tak terukur, tak terbatas. (Vajracchedika– Prajnaparamita Sutra 15).

Kemenangan menimbulkan kebencian, orang yang kalah hidup dalam kesedihan, orang yang batinnya tenang dan damai hidup bahagia, karena ia telah mengatasi kemenangan dan kekalahan. (Dhammapada 201).

Mereka yang menganggap salah untuk hal-hal yang tidak salah, dan menganggap tidak salah untuk hal-hal yang salah. Semua orang yang memegang teguh pandangan keliru ini akan terlahir di neraka. Jika seseorang memutuskan suatu perkara secara sewenang-wenang, ia bukanlah seorang yang adil dan bijaksana; seorang bijaksana seharusnya memutuskan suatu perkara setelah mempertimbangkan mana yang benar dan mana yang salah. Mengadili secara jujur, tidak memihak, tidak sewenang-wenang, sesuai dengan kebenaran, maka ia dilindungi dan bertindak sesuai Dhamma. Orang seperti itu pantas disebut sebagai orang yang berpegang pada Dhamma (Dhammapada 318-256-257)

Seseorang tidak dapat disebut berbudi luhur apabila ia masih melukai (menyakiti) makhluk hidup. Seseorang layak disebut berbudi luhur apabila ia tidak lagi menyiksa semua makhluk hidup. (Dhammapada 270).

Kita hidup bahagia karena tanpa membenci di tengah-tengah orang yang penuh kebencian. Di antara orang-orang yang saling membenci kita hidup tanpa membenci. Kalahkan amarah dengan cinta kasih; kalahkan kejahatan dengan kebajikan; kalahkan kekikiran dengan kemurahan hati; kalahkan kebohongan dengan kejujuran. (Dhammapada 197 & 223)

Apabila seseorang menyerang orang yang suka damai, atau menganiaya orang yang tidak bersalah. Ia akan segera mengalami sepuluh keadaan menyedihkan: 1. Rasa sakit yang luar biasa; 2. Malapetaka; 3. Luka-luka tubuh atau mendapat penyakit yang berat; 4. Terganggu jiwanya. 5. Dipersulit oleh penguasa; 6. Menerima tuduhan keliru (difitnah); 7. Kehilangan sanak keluarga; 8. Jatuh miskin; 9. Rumahnya terbakar dalam lautan api; 10. Setelah kematiannya orang jahat itu lahir di neraka. (Dhammapada 137-140).

Semua makhluk hidup gemetar menghadapi ancaman hukuman atau ancaman akan dibunuh. Semua makhluk hidup mencintai kehidupan. Setelah membandingkan bahwa makhluk lain juga seperti dirinya sendiri, hendaknya seseorang tidak menyakiti atau membunuh makhluk lain, atau menyebabkan terjadi pembunuhan. (Dhammapada 130).

Bagi yang sudah berjodoh Buddhadharma pasti diselamatkan; sedangkan bagi yang belum berjodoh dengan Buddhadharma dikaruniakan kebahagiaan. Inilah tekad dan upaya praktisi Bodhisattva. (Mahayana Sutra).

Buddhadharma, bukanlah Buddhadharma maka disebut Buddhadharma. Demikianlah Tiga rangkaian konsep, yaitu: kepalsuan, kesunyataan dan jalan tengah yang diajarkan oleh Hyang Buddha. Menyiratkan Buddhadharma walaupun bermanfaat dan efektif pada akhirnya pun harus dilepaskan apalagi yang bukan Buddhadharma (Cuplikan dari Sutra Intan).

Buddha memberikan pedoman dalam mempelajari doktrin agama lain “Orang-orang (Buddhis) yang tanpa pengetahuan, sedikit kebijaksanaan, atau tidak memahami dengan jernih, tidak seharusnya mempelajari ajaran-ajaran aliran luar. Hanya orang-orang yang mengetahui diri mereka sebagai intelijen, terpelajar, dengan ingatan tajam, dan mampu mengalahkan pembela aliran luar, yang seharusnya mempelajari ajaran-ajaran luar tersebut ……. Anda semestinya membagi waktu Anda menjadi tiga periode. Pelajari ajaran Buddhis selama dua periode, dan ajaran aliran luar pada periode ketiga…..Di periode pertama dari siang hari dan periode kedua setelah siang, Anda boleh mempelajari ajaran Buddhis. Pada periode petang, Anda seharusnya mempelajari ajaran aliran luar”. (Mulasarvastivada-vinaya).

Dalam Bukunya Orthodox Chinese Buddhism, Mahaguru Sheng Yen juga menekankan pentingnya seorang Buddhis yang ideal untuk mempelajari agama lain. “Walau mengakui nilai dari agama-agama lain, seorang Buddhis ortodoks semestinya menjadi seorang menyebar Buddhadharma. …… seorang Buddhis yang ideal semestinya memiliki derajat pengetahuan tertentu mengenai agama-agama lain”. (hlm153-4).

Andrienne Howley, seorang Bhikshuni barat, dalam bukunya berjudul The Naked Buddha (terjemahan Indonesia hlm 156) mengatakan: “Toleransi bukan berarti menerima keyakinan dan praktik religius dari agama lain, melainkan semata-mata merupakan kerelaan untuk membiarkan orang beragama lain menghayati hidup yang mereka anggap sesuai, dengan sebaik mungkin terus menjalani hidup Anda sendiri. Sikap tanpa toleransi hanya memicu ‘perang agama’. Di mana suatu “pihak” berusaha memaksakan gagasan mereka dengan menggunakan kekuatan atas “pihak lain”, atau menyapu bersih pihak lain, dengan begitu mereka telah “membuktikan” kebenaran gagasan mereka.

Seseorang itu mesti menjaga pikirannya agar tidak terusik dan tidak terpengaruh oleh fenomena di sekeliling. Pikiran bukan hanya harus meninggalkan kejahatan, ia mesti juga tidak secara sengaja berusaha menumbuhkan kebaikan. Ia harus mengatasi paham dualisme terang-gelap, tinggi-rendah, mulia-hina, benar-sesat, mayoritas-minoritas, memiliki-tidak memiliki, jahat-baik, hidup-mati, semua adalah keadaan yang saling bertentangan. Hakikat diri yang sesungguhnya mengatasi keadaan yang saling berlawanan, sekaligus melingkupi keadaan yang saling berlawanan. Singkirkan pandangan dan pikiran dualisme dalam segala hal dan jangan biarkan pikiran tercemari bahkan oleh noda paling kecil sekalipun. Jika pikiran tak tergoyahkan lagi, ia tidak akan diperbudak hal-hal duniawi dan tidak lagi mengumbar hawa nafsu duniawi. Dengan memasuki dimensi ini kita berada dalam keadaan yang digambarkan sebagai “Hakikat diri adalah Kebuddhaan”. (Bhikshu Tadisa Paramita).

Agama yang baik berorientasi realita dan humanis yang cinta damai dan anti kekerasan. Ajaran agama yang baik mengajarkan umatnya sadar, santun dan tertib dalam segala hal. Peran dan fungsi agama yang baik menjadikan manusia berhati mulia berperilaku simpatik. Tempat ibadah agama yang baik dapat menyejukan hati dan melayani kebutuhan umatnya. Tokoh agama yang baik mengajarkan masyarakat untuk hidup disiplin mematuhi peraturan. Pemimpin Agama yang baik membimbing pemerintah untuk giat mensejahterakan rakyat. Praktisi agama yang baik melaksanakan kebajikan dan kearifan untuk menolong masyarakat. Umat beragama yang baik senantiasa hidup rukun penuh toleransi dalam kemajemukkan. Organisasi agama yang baik menegakkan moralitas dan keadilan dalam pembangunan nasional. (Bhikshu Tadisa Paramita).

Kalau ada rasa kesal atau kurang simpati, kurang setuju, atau kurang sreg, itu ‘kan cuma perasaan’. Perasaan muncul disebabkan karena kejiwaan belum dewasa, masih ada ego, masih ingin menaruh pandangan sendiri, konsep sendiri dan sebagainya. Kalau secara sederhana, itu adalah ciri-ciri dari demokrasi, ciri-ciri dari pluralisme, ciri-ciri dari keadaan yang berbeda-beda. Tetapi kemudian, bagaimana agar yang berbeda-beda ini bisa mengkondisikan semangat bersatu, itu juga sudah alami sekali. Jadi pluralisme agama di Indonesia itu mengkondisikan para pemimpin berusaha untuk mengatur, membimbing agama ini, supaya tetap bersatu dan rukun. Metodenya: jangan membicarakan tentang doktrin, jangan berdebat tentang perbedaan; kita hanya mengacu kepada kepentingan bersama. Jadi kepentingan yang sama itulah yang diacu, yang dipacu, sehingga bisa rukun-rukun selalu. (YM Bhikkhu Girirakkhito Mahathera).

Orang bodoh penuh egois yang belajar agama tanpa bimbingan guru bijaksana, maka ilmu agamanya hanya akan merusak dirinya sendiri dan suka mengacaukan umat agama lainnya, karena munculnya kemunafikkan dan kefanatikkan sempit dalam sikap dan perilaku yang bertentangan dengan tujuan luhur semua agama. Sehingga ia merasa dirinya paling benar, praktiknya yang paling benar dan agamanya yang diyakini adalah paling benar, memusuhi segala sesuatu yang berbeda. Bila ini terus dibiarkan tanpa adanya upaya pelurusan dan penyadaran maka dikhawatirkan kelak ia akan menjadi pelaku anarkis atau menjadi teroris berlabelkan agama, akibat menyelewengkan peran dan fungsi esensial dari agama yang cinta damai dan anti kekerasan. (Bhikshu Tadisa Paramita).

Tiap ajaran agama mempunyai peraturan yang umum yang pokok,  kemudian yang tambahan. Semuanya adalah untuk menjadikan kita harmonis, seimbang, selaras dan tidak konflik dengan kepentingan bersama. (YM Bhikkhu Girirakkhito Mahathera).

Sebelum terjadi kekacauan, mudah sekali memelihara perdamaian. Sebelum muncul tanda-tanda kesulitan mudah sekali melakukan pencegahan. Benda yang rapuh, akan mudah patah. Benda yang kecil, akan mudah hilang. Bertindaklah sebelum kejadian, bawalah keteraturan sebelum terjadi kekacauan. (The sayings of Lao Zi).

Banyak orang yang mencari “Kebenaran” di kitab-kitab suci, di tempat-tempat ibadah, di tanah-tanah suci nun jauh disana, di dalam diri orang-orang yang dianggap suci, di alam-alam halus/gaib, dan bahkan di planet-planet lain. Mereka lalai untuk mencarinya ke dalam diri sendiri. Kalau Anda tidak bisa menemukan Kebenaran di dalam diri Anda sendiri maka Anda tidak mungkin bisa melihat kebenaran dimana pun juga Anda mencarinya. Sebaliknya bila Anda telah melihat Kebenaran dalam diri Anda maka kemana pun Anda pergi, di mana pun Anda berada, Anda hanya akan melihat Kebenaran yang Sama yang berlaku di seluruh alam semesta raya. (Daung).

Anda tidak perlu terus mencari-cari Kebenaran kesana kemari, cukup singkirkan semua pandangan dan pendapat yang telah membelenggu Anda selama ini yang tanpa pernah Anda sadari sebelumnya, maka Anda akan melihat Kebenaran sebagaimana adanya. Sering kali Anda menggenggam erat-erat pendapat Anda sendiri yang telah Anda anggap sebagai jalan menuju Kebenaran atau Kebenaran itu sendiri, kebiasaan ini sebenarnya malahan merupakan penghalang terbesar dalam usaha Anda mencapai Kebenaran karena biasanya pandangan Anda itu adalah perwujudan dari Ego. Walaupun Anda memperoleh pandangan itu dari kitab suci atau dari orang suci sekalipun, apalagi hanya dari sekedar analisa sendiri, sekarang juga bisa dipastikan bahwa itu semua bukanlah Kebenaran sampai Anda Anda mengalami Kebenaran itu sendiri. (Daung).

Agama yang baik pasti bersinar tidak takut kehilangan pengikutnya. Guru yang baik pasti dikagumi tidak memerlukan sesuatu untuk mengikat umatnya. Pemuka agama yang adil pasti menjungjung tinggi kebenaran  tidak membela umatnya yang salah. Orang  bijaksana pasti berjiwa universal tidak terintangi oleh segala dogma kebenaran sepihak. Orang yang taat agama pasti mencintai perdamaian tidak suka mencari pertengkaran. Orang mulia pasti rela berkorban diri untuk keselamatan semua makhluk tidak mencelakakan siapapun juga. Orang suci pasti sudah padam nafsunya tidak merusak kerukunan dan tidak diskriminatif pilih kasih dalam pluralitas.  (Bhikshu Tadisa Paramita).

Dalam pembangunan bangsa ini, kita harus punya iman dan taqwa yang kuat, moral etik yang tinggi; kemudian digabung, disekutukan dengan ilmu pengetahuan, teknologi, keterampilan, dan keuletan, maka kedua-duanya ini akan menjadi sarana untuk membangun pribadi-pribadi, manusia-manusia Indonesia yang diharapkan. (YM Bhikkhu Girirakkhito Mahathera).

Orang yang batinnya sudah dewasa, yang diumpamakan batinnya sudah digodok, digembleng, diasah, dilap hingga licin dan bersih sekali. Terutama dualisme itu, yaitu ‘Like & Dislike, merasakan diuntungkan atau dirugikan, merasa dihargai atau diremehkan; itu sulit melekat kepada batin orang sedemikian. Maka sikapnya pun menjadi dewasa sekali. (YM Bhikkhu Girirakkhito Mahathera).

Agama-agama yang diturunkan ke muka bumi ini gunanya untuk membersihkan pikiran yang kotor dan noda batin. Bagaikan diberikan banyak sabun mandi (diumpamakan pilihan banyak agama), maka kita dapat memilih satu di antara banyak sabun untuk membersihkan  tubuh jasmani yang kotor. Tentunya sabun mandi  digunakan untuk membersihkan tubuh, bukan untuk “main sabun” atau “dipermainkan oleh sabun” agar  mendapatkan sensasi rangsangan dan kenikmatan tubuh. Jangan menyelewengkan peran dan fungsi sabun tersebut demi mendapatkan kesehatan tubuh serta mengharumkan tubuh. Setelah tubuh jasmaninya digosok bersih, busa sabun tersebut masih perlu dibilas kembali agar mendapatkan tubuh jasmani yang benar-benar bersih. Sangatlah bodoh bila tubuh kotor dikasih sabun mandi tapi busa sabun tersebut masih nempel terus tidak mau dibilas sehingga ditubuhnya masih berlumuran sabun, tentu tubuhnya akan lengket dan ternoda oleh sabun tersebut. Yang lebih konyol lagi bila saat mandi bersama, mereka berkelahi gara-gara persoalan sabun, yaitu: sabun ku yang terbaik, sabunmu jelek, sabun ku wangi sabun mu bau, atau sebaliknya. Memilih sabun kan sesuai selera dan kondisi, tujuan menggunakan sabun saat mandi kan untuk kebersihan, setelah mandi kan ditinggalkan. Aneh kalau masalah sabun dipertengkarkan? Awalnya noda datang dari lingkungan kotor, sekarang noda justru datang dari mandi pakai sabun yang tidak mau dibilas. Begitupula peran dan fungsi agama sesungguhnya bertujuan untuk membersihkan pikiran kusut dan kekotoran batin. Apabila dogma agamanya dipraktikkan lalu dilekatkan terus menerus berarti ia terjebak dan melekat kepada dogma-dogma, artinya tanpa disadari ia ternoda kembali oleh ajaran agamanya sendiri. Begitu juga keyakinan agama tidak bisa dipaksakan harus berdasarkan jodoh. Tujuan agama kan untuk mensucikan diri. Kalau melekat kepada agama kan masih belum benar-benar suci. Kalau bertengkar soal agama kan’ jauh dari suci. (Bhikshu Tadisa Paramita).

Mana yang lebih baik menggenggam atau melepaskan? Bila kita menggenggam terlalu lama akan terasa capai melelahkan, sebaliknya bila kita melepaskan maka kita akan leluasa dan damai. Tujuan akhir semua agama adalah melepaskan khayalan “Sang Aku” dan melepaskan beban  kemelekatan “Milik Ku”. Bilamana seseorang mempelajari dan mempraktikkan agama dengan mengembangkan atribut dan corak “Sang Aku”, ‘Demi Sang Aku’, serakah mengumpulkan “Milikku”, melekat kepada  kaidah dan atribut “Agamaku yang Terbaik” maka ia selamanya tidak akan bisa menjadi orang suci melainkan dikhawatirkan akan menjadi siluman yang berkedok dan bersembunyi di balik jubah sucinya. (Bhikshu Tadisa Paramita).

Musuh jaman dulu adalah penjajah dari luar yang menyusahkan kehidupan kita, tapi sekarang jamannya kemerdekaan, masihkah ada penjajahan yang menyusahkan kita? Masih ada, malah tambah sukar dilacak, rumit dan sulit diberantas,  yaitu: penjajahan yang bersembunyi di dalam batin kita sendiri. Penjajahan tersebut berupa pandangan terkurung ruang sempit, pikiran dibelenggu oleh rantai kebodohan, nafsu menggelepar  karena tenggelam oleh derasnya arus keserakahan, hati terbakar oleh api kebencian. Perbuatan dipacu oleh ilusi Sang Aku, energy terkuras habis untuk memburu segala sesuatu menjadi Milikku. Tubuh rusak akibat banyak menelan racun kenikmatan, usia habis diperbudak oleh khayalan, terlahir lagi dalam kurungan alam sengsara karena penjara tumimbal lahir yang tiada akhir. Sesungguhnya musuh utama umat beragama adalah kebodohan  dan kemiskinan yang berasal dari ulah penjajahan yang muncul dan bersembunyi di dalam batin diri sendiri. Lenyapkanlah  sekat-sekat pandangan Anda. Cerahkan pikiran gelap Anda. Pahamilah makna hidup dan kehidupan dengan bijak. Singkirkanlah penjajajahan yang membelenggu hati Anda. Lepaskanlah ilusi sesat terhadap ciri diri ‘Sang Aku’ dan ‘Milikku’. Singkirkanlah kebodohan dan hawa nafsu. Pergunakan ajaran agama untuk melepaskan kekacauan dan kemelekatan. Bila anda mampu mensunyakanlah gejolak hati khayal ini, maka Anda akan bebas merdeka, leluasa, damai dan bahagia secara hakiki yang menjadi tujuan utama hidup beragama. (Bhikshu Tadisa Paramita).

Banyak orang berteriak menyerukan perdamaian dunia, tetapi sayangnya mereka tidak menyadari bahwa perdamaian dunia harus dimulai dengan berdamai dengan diri sendiri terlebih dahulu. Bila saja setiap orang di dunia bisa berdamai dengan dirinya sendiri maka otomatis dunia ini akan damai. Seseorang yang terus berkonflik dengan batinnya sendiri tidak akan pernah bisa berdamai dengan orang lain di sekitarnya. Tanpa bisa berdamai dengan diri sendiri maka perdamaian dunia hanyalah sekedar omong kosong belaka. Di tengah dunia yang penuh konflik ini, seseorang bisa tetap berbahagia asalkan ia mampu berdamai dengan dirinya sendiri. (Daung).

Masih banyak orang yang tidak mengerti, mengapa kita harus binasa di dunia ini akibat perselisihan. Ia yang memahami kebenaran ini, akan dapat melenyapkan perselisihan. (Dhammapada 6).

“Keberagaman adalah bersifat natural, keseragaman adalah akibat dibentuk”. Slogan “Kembali ke Natural” harus dimaknai terimalah apa adanya keberagaman itu, dan hiduplah wajar penuh keseimbangan dengan keberagaman itu. Janganlah pernah berambisi melakukan tindakkan penyeragaman kepada semua hal yang bertentangan dengan sifat natural dari alam semesta. Karena siapa saja yang antipati dan menolak sifat natural keberagaman berarti menentang kodrat alam, akibatnya cepat atau lambat ia akan tersisih, sulit hidup dan akhirnya akan hancur dengan sendirinya. (Bhikshu Tadisa Paramita).

Sesuatu yang menakjubkan dan luar biasa, tidaklah bertahan lama. Yang bertahan lama adalah yang sederhana dan biasa. Segala sesuatu yang dibuat (diseragamkan), akan kehilangan rasa alaminya. Hanya yang alamilah (keberagaman) yang sejati. (Hong Yin Ming).
Santideva dalam bukunya “Bodhicaryavatara” (Jalan Menuju pencerahan hidup), menulis: “Berapa banyak orang yang jahat yang dapat saya bunuh? Jumlah mereka tak terbatas, seperti langit. Tapi jika pikiran yang penuh amarah dapat kita bunuh, maka semua musuh juga terbunuh”.

“Barang siapa yang tidak bisa menerima sifat dan realita kodrat alamiah yang banyak keragaman atau tidak mampu beradaptatif dengan kemajemukan, maka ia akan menjadi aneh dan terasing, sulit hidup, sukar bergaul dan banyak menciptakan permusuhan”. (Bhikshu Tadisa Paramita).

Pepatah mengatakan: “Berkah dan malapetaka tidak mempunyai pintu. Itu semua hasil ulah manusia”. Bila kita dengan perasaan hati yang penuh kasih dan bijak melihat keberagaman yang ada, maka keberagaman ini merupakan sesuatu karunia berupa kekayaan alamiah yang sangat indah bila dirangkai dengan baik. Tetapi bila kita memiliki rasa benci dan bermusuhan terhadap keberagaman, dan bertindak menyeragamkan menjadi satu corak, satu warna, satu kondisi maka hilanglah keindahan, monoton, dan terlihat membosankan. Oleh sebab itu, terimalah keberagaman dalam segala hal secara keikhlasan, arif penuh kewajaran, hanya dibutuhkan untuk menata dan merangkai perbedaan dalam kebersamaan yang serasi, maka semua terlihat natural dan indah menawan. (Bhikshu Tadisa Paramita).

Apabila kita mempunyai pengertian dan kesadaran yang benar, maka pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar dan kehidupan benar otomatis mengikutinya. (Ven Ajhan Chah).

Buddhisme mengajarkan dunia untuk hidup tanpa perang dan pertengkaran di antara manusia. Buddhisme adalah agama yang hanya cocok bagi manusia yang mendambakan hidup bahagia dan kehidupan yang damai. (Ven. D. Pannasara Mahathera).

Di dalam Sutra dikatakan “Api kebencian dapat membakar habis semua jasa kebajikan”. Api kemarahan sebelum membakar pihak lawan telah habis membakar diri sendiri. Seperti di dalam Sutra dikatakan “Bagaikan orang yang membuang ludah sambil menengadah ke langit, maka muka sendiri yang akan kena ludah” “Bagaikan menabur abu yang melawan angin, maka dirinya sendiri yang terkena”.

Esensi ajaran semua agama tidak mengajarkan permusuhan, konflik, kekerasan dan perilaku anarkis dalam kehidupan beragama. Tetapi mengapa ada sekelompok orang yang beragama malah sikap dan perilakunya vulgar dan anarkis? Karena minimnya pemahaman ditambah lagi sempitnya cara memandang dan memaknai kebenaran agamanya dan agama lain, maka ia cenderung menjungjung tinggi agamanya dan merendahkan agama lain. Membela agamanya sendiri tetapi menolak keberadaan agama lain. Mengembangkan agamanya sendiri tapi merusak dan merintangi  kemajuan agama lain. (Bhikshu Tadisa Paramita).

Pergunakan ajaran agama yang diyakini untuk mengembangkan kebajikan, kearifan dan kesucian terhadap diri sendiri juga mengajarkan kepada orang lain yang berjodoh. Tetapi janganlah memaksakan kehendak bagi yang belum berjodoh dengan agama yang diyakini. Jauhkan sikap fanatisme sempit terhadap kebenaran agamanya sendiri dan menolak memahami kebenaran agama yang diyakini orang lain. Jangan pergunakan simbol dan atribut agama untuk menghalalkan segala hal untuk kepentingan diri sendiri atau kelompoknya. Jangan pernah menyelewengkan peran dan fungsi agama yang luhur untuk menindas dan melakukan aksi kekerasan demi membela agamanya. Jangan menyertakan umat beragama untuk dijadikan demonstran sebagai pendukung kelompok tertentu demi tercapainya ambisi seseorang atau kelompoknya. Janganlah menunjukkan kuantitas dan kekuatan massa umat beragama yang dimiliki untuk menuntut fasilitas  dan mengobarkan semangat anti keragaman.  Pergunakan ajaran agama  tertentu (Eksklusif) yang bersifat khusus dan berbeda untuk melatih diri sendiri atau bersama-sama dengan kelompoknya, dan gunakan esensi ajaran semua agama secara umum (Inklusif), yang bersifat universal dan harmoni demi meraih tujuan luhur untuk keselamatan bersama. Diwujudkan dengan mengembangkan sikap dan perilaku toleransi dan menjalin kerukunan antar agama untuk kebaikan dan kebahagiaan seluruh umat manusia dimuka bumi ini. (Bhiksu Tadisa Paramita).

Kotbah Sang Buddha dalam Upali Sutta yang isinya: “Upali adalah seorang yang sangat terpandang dalam masyarakatnya. Ia menjadi siswa dari Nighanta, Nataputta, guru besar agama Jahina. Upali diutus oleh guru besar-Nya untuk berdialog dengan Buddha tentang hukum Karma. Setelah dialog itu selesai, Upali menyatakan dengan jujur, bahwa ajaran Buddha tentang hukum karma adalah yang benar. Upali lalu memohon kepada Buddha untuk menerimanya menjadi siswa dan penganut Buddha”. Apakah Buddha merasa bangga dan senang? Upali yang sangat terpandang di masyarakat dan menjadi siswa utama dari Guru Besar agama Jahina itu? Sang Buddha tidak merasa bangga dengan permintaan upali. Sang Buddha meminta kepada Upali agar memikirkan maksud dan keinginannya untuk menjadi siswa penganutnya. Buddha memberikan pengarahan kepada Upali dengan bijaksana: “Wahai Upali, anda adalah murid yang bijaksana dari seorang guru besar yang terpandang dalam masyarakat. Mengenai keinginanmu untuk menjadi penganut-Ku dan menjadi siswa-Ku, pikirlah dengan seksama, jangan terburu nafsu untuk menjadi murid dan penganut-Ku”. Untuk kedua kalinya, Upali memohon kepada Buddha, namun Buddha kembali menerangkan dengan bijaksana, untuk dipertimbangkan kembali dengan seksama tentang keinginan tersebut. Kemudian Upali memohon yang ketiga kalinya, akhirnya Sang Buddha berkata: “Upali saya menerimamu sebagai siswa-Ku, dengan syarat kau harus tetap menghormati bekas agamamu dan mantan guru besarmu”. Demikianlah cara yang ditujukan Buddha untuk menjaga kerukunan umat beragama, agar jangan terjadi ketegangan antar agama.

Dalam Visuddhi Magga disebutkan manfaat bagi mereka yang mengembangkan sifat Metta (Cinta Kasih), yaitu: Dia tidur dengan tenang; dia tidak bermimpi buruk; dia dicintai oleh manusia; dia dicintai oleh makhluk bukan-manusia; dia akan dilindungi oleh para dewa; api, racun dan senjata tidak bisa melukainya; pikirannya mudah terkonsentrasi; kulit wajahnya jernih; dia akan meninggal dengan tidak bingung; dan jika tidak menembus alam lebih tinggi, dia akan terlahir kembali di alam Brahma.

Dalam kehidupan politik, Sang Buddha juga mempunyai pengertian yang mendalam tentang politik, perang dan damai, Sang Buddha bukan saja mengajarkan tentang kehidupan tanpa kekerasan dan perdamaian. Dalam hal ini Beliau mengajarkan kepada kaum Vajji, dimana dalam kedamaian dan kesejahteraan dapat ditempuh dengan tujuh syarat. Pada suatu ketika Beliau sendiri pergi ke medan perang dan menjadi penengah untuk menghindari peperangan. Tujuh syarat itu sebagai berikut:
•    Melaksanakan musyawarah untuk mufakat, musyawarah untuk damai.
•    Menghormati dan menjunjung tinggi para pemuka agama yang baik.
•    Menghormati dan menghargai para sesepuh masyarakat (orang tua).
•    Menghormati dan menghargai kitab suci baik agama sendiri maupun agama lain.
•    Menghargai dan menghormati tempat-tempat ibadah baik agama sendiri maupun tempat ibadah agama lain.
•    Menghargai dan menghormati kaum lemah (kaum Wanita).
•    Membuat undang-undang baru dengan tidak meninggalkan undang-undang yang sudah ada sepanjang masih relevan.

“Perbedaan” itu “beda” dengan “pembedaan”
“Perbedaan” seyogianya tidak dipandang sebagai alasan “pembedaan”. Perbedaan atau keragaman adalah suatu sifat alamiah dari jagad raya ini, yang telah ada, masih ada, dan akan selalu ada. Pelangi akan selalu berwarna-warni. Bukankah di situlah indahnya pelangi?

Lain halnya dengan “pembedaan”. Pembedaan timbul karena pikiran yang diskriminatif, yang dualistik, yang melekat pada konsep baik–buruk, menang–kalah, untung–rugi, suka–tidak suka. Sikap pembedaan dan kemelekatan ini berakar dari ketidaktahuan (moha), dan dengan cepat akan terpupuk menjadi dualisme ketamakan (lobha) dan kebencian (dosa).

Betapapun tampak baiknya atau terasa nikmatnya, sayangnya, “pembedaan” ini tidak akan membawa kita pada kedamaian dan kebahagiaan sejati. Dalam tingkat ekstrem, pikiran yang diskriminatif dan melekat ini justru akan mendatangkan penderitaan, entah itu disadari atau tidak, diakui atau tidak. Inilah salah satu contoh Kebenaran Universal: “Kemelekatan membawa derita”.

Buddha berkata: “O para Bhikkhu, bahkan pandangan ini, yang demikian murni dan demikian jelas, jika engkau terikat padanya secara berlebihan, jika engkau terlalu membanggakannya, jika engkau terlalu menghargainya, jika engkau melekat padanya, engkau tidak mengerti bahwa ajaran itu serupa dengan sebuah rakit—yang dipakai untuk menyeberang, bukannya untuk di lekati erat-erat”. (M.I. 260; Miln. 316) “Dharma (‘Kebenaran Mutlak’ yang bersifat Universal meliputi alam semesta) itu ‘Hanya Satu’, bukan banyak. Pembedaan muncul karena kepentingan orang-orang yang tidak tahu”. (Seng-Ts’an, Sesepuh Zen Ketiga)

“Kenapa beragama tidak membuat orang menjadi lebih baik?”, karena pada umumnya pengajar dan pelajar atau sipembicara dan si pendengarnya kurang memahami tujuan luhur agama bahkan dikhawatirkan sama sekali tidak mengerti makna dan tujuan agama besar yang memiliki subtansi ajaran universal. Apabila ajaran agama yang luhur ditafsirkan berdasarkan fikiran seseorang yang kerdil penuh egois dan nafsu, maka ajaran agama tersebut akan dipilah, dipilih, dipoles dan dibumbui sehingga lahirlah berbagai warna, corak, cita rasa dan pendapat tentang makna suatu ajaran dan kebaikan. Bila seseorang belum tercerahkan dan batin orang belum terbebas dari segala rintangan maka setiap tokoh dan penceramah akan berbeda pandangan dalam menafsir dan mendefinisikan ajaran agama maupun kebaikan sesuai dengan kemampuan, selera, latar belakang pendidikan dan perjalanan hidupnya. Coba bayangkan, satu orang mengeluarkan satu pikiran memandang dan berpikir tentang ajaran dan masalah agama, satu pikiran tentu  muncul tiga ribu masalah, berapa banyak masalah soal agama dan berkaitan dengan agama yang muncul? Sulit diperkirakan, bahkan sulit di atasi. Bila masalah penafsiran dan definasi sudah begitu ruwet dan runyam jika ditangani dan dijalani oleh pemuka agama atau praktisi awam yang belum tercerahkan. Akibatnya banyak bermunculan  penafsiran dan definisi masalah agama yang berbeda, imbasnya saat mengimplementasi kan ajaran agama pastilah banyak muncul masalah pro dan kontra,  gesekan, benturan, dan terjadilah disharmoni suka bertengkar dan saling menghujat dan merendahkan.   Sekarang jaman kemerosotan Dharma (Pudarnya jaman kebenaran) kecenderungan umat beragama menjadi fanatisme adalah “Membatasi dan merusak keberagaman agama yang sudah baik, berupaya membentuk dan membela penyeragaman agama yang belum tentu baik”. Untuk mencegah, menghindari dan mengantisipasikan “Agama membawa banyak masalah untuk umat manusia”, maka janganlah “memanusiakan agama” melainkan “mengagamakan manusia” untuk meningkatkan keluhuran, kemuliaan, budi pekerti dan kebajikan umat manusia. Bila visi dan misi agama tidak digali, dikembangkan, diterapkan dan tidak ditujukan untuk kebaikan, kedamaian, kerukunan dan kesejahteraan secara adil dan merata bagi seluruh umat manusia di muka bumi ini, maka dapat dikatakan peran dan fungsi  agama tersebut telah gagal dalam tujuannya karena dipengaruhi kualitas  sebagian para pemuka agama yang minim, picik wawasan dan kerdil jiwanya dalam mengemban tugas mulia agamanya sehingga muncullah kesan, cibiran dan pandangan negatif  bahwa “Kehidupan beragama membawa banyak masalah untuk umat manusia”. (Bhikshu Tadisa Paramita).

Kebenaran Relative & Mutlak Agama-agama
Memilih wujud kebenaran agama berdasarkan jodoh; Meyakini kebenaran ajaran agama berdasarkan kondisi; Memahami ciri kebenaran agama berdasarkan kesadaran; Berpedoman dengan ajaran kebenaran agama berdasarkan kepatuhan; Melaksanakan metode praktik agama berdasarkan kemampuan; Menembusi kebenaran absolut agama berdasarkan intuisi;  Tujuan akhir kebenaran semua agama adalah pembebasan mutlak. Siapapun yang meyakini dan melaksanakan kebenaran agama janganlah terbius, terjebak, fanatik dan melekat kepada kebenaran apapun. Jangan pula menyeragamkan kebenaran agama yang diyakini merusak keberagaman kebenaran agama lain. Jangan khayal memonopoli semua kebenaran hanya ada di dalam agama yang diyakini, dan menista kebenaran agama lain adalah sesat. Jangan pula menjadi pendekar  picik pembela kebenaran agama ini tapi menjadi teroris perusak kebenaran agama lain. Bila masih berpandangan dualitas menerima kebenaran agama ini tapi menolak kebenaran agama lain benar-benar merupakan perbuatan tidak bijak. Sesungguhnya kebenaran bukan kebenaran disebut kebenaran. Bila seseorang masih terbelenggu konsep, gagasan, pembedaan dan melekat dengan kebenaran agama-agama, ia masih belum tuntas benar, benar secara sempurna. (Bhikshu Tadisa Paramita).

Aktualisasi Kerukunan Umat Beragama
Keaneka-ragaman agama dan budaya di Indonesia adalah di antara modal dasar dalam mendukung pembangunan, namun sekaligus dapat menjadi penghambat. Apabila perbedaan tersebut dikelola dengan baik, maka terciptalah kerukunan hidup dalam masyarakat yang akan mendukung pembangunan nasional. Namun sebaliknya, apabila salah mengelolanya justru akan menghambat kelancaran pembangunan nasional.

Kerukunan umat beragama adalah merupakan bagian dari kerukunan nasional. Ia menjadi inti dari kedamaian, ketentraman, dan keharmonisan dalam masyarakat.

Kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Kerukunan atau keharmonisan hidup beragama tersebut adalah proses dan suasana kehidupan beragama dari umat dan pemeluk agama yang plural secara serasi dalam kehidupan bangsa, dimana agama-agama yang berbeda dapat dapat diamalkan oleh pemeluknya tanpa berbenturan satu dengan lain.

Pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah merupakan upaya bersama antara umat beragama dan pemerintah di bidang pelayanan, pengaturan, dan pemberdayaan umat beragama. Untuk itu, ada tiga pilar utama yang harus menjadi perhatian agar kerukunan tersebut dapat terwujud dalam masyarakat yang multikultural dan plural seperti Indonesia.

Pertama, adanya para pengambil kebijakan publik yang adil dan mampu mengantisipasi dampak negatif yang akan ditimbulkan oleh kebijakan publik tersebut terhadap kerukunan beragama.
Kedua, adanya para pemimpin agama yang berwawasan kebangsaan yang luas dan lebih mengedepankan agama sebagai nilai daripada agama institusional.

Ketiga, adanya masyarakat yang berpendidikan dan bersikap rasional dalam menyikapi keragaman keagamaan dan perubahan sosial.

Karena itu, untuk mewujudkan kerukunan tersebut negara membuat undang-undang dan peraturan tentang pemeliharaan kerukunan umat beragama. Salah satunya yang sangat signifikan adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) No. 9 dan No. 8 Tahun 2006 yang mengatur tentang pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah/wakil kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama (FKUB), dan pendirian rumah ibadat.

Dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 29, dinyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan menjamin kemerdekaan penduduk untuk memeluk agama dan menjalankan ibadat sesuai dengan kepercayaannya. Jadi penduduk Indonesia adalah masyarakat religius yang pasti menganut salah satu di antara agama-agama resmi yang ada di Indonesia (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan yang terbaru Konghucu) atau beberapa aliran kepercayaan yang di akui keberadaannya di negara kita.

Sedangkan asas kemerdekaan beragama mengandung makna bahwa kemerdekaan memeluk agama dan beribadah menurut agamanya harus dikembangkan atas kesadaran adanya perbedaan dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga dapat menerima kenyataan berbeda dengan sikap syukur sebagai realitas obyektif, bukan hanya memahami dan mengerti tetapi juga sebagai potensi dinamik yang memberikan berbagai kemungkinan dan harapan akan masa depan yang lebih baik dan bermakna.

Prinsip pengamalan agama seperti yang terdapat dalam pasal 29 UUD 1945 tersebut harus benar-benar dipahami oleh seluruh pemeluk agama di Indonesia. Apabila kurang dipahami dan dihayati oleh masing-masing umat beragama dalam beribadah dan menjalankan agama mereka, maka pada saat itulah akan terjadi pergeseran, perselisihan, dan konflik baik intern maupun antar umat beragama. Di sinilah peran para tokoh-tokoh agama, alim-ulama, pendakwah dan penyiar agama untuk memberikan pemahaman kepada umatnya masing-masing dalam membina dan melestariakan kerukunan umat beragama.

Penghambat kerukunan
Ada beberapa faktor yang menjadi pemicu konflik atau menghambat kerukunan umat beragama antara lain:
1.    Pendirian rumah ibadah, yaitu apabila dalam mendirikannya tidak memperhatikan situasi dan kondisi umat beragama baik secara sosial maupun budaya masyarakat setempat.
2.    Penyiaran agama. Apabila dalam penyiarannya bersifat agitasi dan memaksakan kehendak bahwa agamanya sendirilah yang paling benar dan tidak mau memahami kebenaran agama lain. Apalagi kalau penyiaran agama itu ditujukan kepada orang yang sudah beragama.
3.    Bantuan luar negeri. Walaupun kelihatannya tidak langsung mempengaruhi, namun bantuan  tersebut dapat juga memicu konflik baik intern maupun antar agama, karena pemberi bantuan biasanya menitipkan misi tertentu yang harus dilaksanakan.
4.    Perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama akan mengakibatkan hubungan yang tidak harmonis, apalagi jika menyangkut hukum perkawinan, warisan, harta benda, dan akidah.
5.    Perayaan hari besar keagamaan. Apabila perayaan tersebut dilaksanakan tanpa mempertimbangkan situasi, kondisi, dan lokasi masyarakat sekitar, ia juga bisa memancing ketegangan dengan penganut agama lain.
6.    Penodaan agama, yaitu suatu perbuatan bersifat melecehkan atau menodai doktrin suatu agama tertentu. Tindakan ini sangat sering terjadi baik dilakukan oleh perorangan maupun kelompok tanpa disadari apalagi dengan sengaja.
7.    Kegiatan aliran sempalan. Adalah suatu kegiatan yang menyimpang dari doktrin  agama yang sudah diyakini kebenarannya ataupun kegiatan tersebut merupakan suatu aliran baru.
Dengan mengetahui faktor-faktor penyebab konflik, maka masing-masing penganut agama akan berupaya sekuat tenaga menghindarinya sehingga mencegah sedini mungkin terjadinya konflik tersebut. Tindakan ini disebut dengan pencegahan konflik. Namun apabila terlanjur terjadi konflik, harus di akhiri perilaku kekerasan dan anarkis di dalamnya melalui persetujuan perdamaian. Ini disebut penyelesaian konflik.

Ada juga yang dinamakan dengan pengelolaan konflik, yaitu membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perilaku perubahan yang positif bagi pihak-pihak yang terlibat.

Kemudian ada lagi resolusi konflik, yaitu menangani sebab-sebab konflik di antara kelompok-kelompok yang bertikai dan berusaha membangun hubungan baru dan bertahan lama.
Lalu yang terakhir adalah transformasi konflik, yaitu mengatasi sumber-sumber konflik yang lebih luas dan berusaha merubahnya ke arah positif. Demikian juga dengan mengetahui akar konflik kita tidak mudah terjebak pada rumusan bahwa pertikaian yang terjadi saat ini dikatakan sebagai konflik agama semata-mata. Tanpa mengurangi objektivitas bahwa agama memang mudah dijadikan sumber konflik, karena ikatan emosional yang menyangkut identitas keagamaannya tersebut sesungguhnya yang terjadi di Indonesia tidaklah murni konflik agama, tetapi konflik laten, yakni manifestasi dari ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintahan masa lalu yang menindas masyarakat dalam bidang politik, ekonomi dan budaya yang dijadikan alat pemicu, rekayasa politik dalam level lokal maupun nasional. (Susetyo, 2005).

Agenda Membina Kerukunan
Patut disadari bahwa kondisi masyarakat yang majemuk kapan saja dapat memicu terjadinya konflik. Untuk itu, perlu senantiasa membangun, mempertahankan, memperkuat dan melestarikan kerukunan umat beragama dengan berupaya melakukan beberapa program atau agenda penting. Di antaranya adalah rekonsialisasi (ishlah) nasional dan pemberdayaan forum kerukunan umat beragama.

Seperti diketahui, bahwa kerapnya terjadi konflik yang bernuansa SARA di beberapa wilayah Indonesia beberapa tahun lalu sedikit banyak telah mempengaruhi situasi psikologis dan sosiologis keagamaan masyarakat, sehingga dikhawatirkan antara kelompok agama akan diliputi perasaan tidak aman dan tidak  nyaman. Dengan demikian makin jelas dan mendesak, pentingnya untuk merajut kembali persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah basyariyyah) dan persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathoniyyah) guna merekatkan kembali persatuan dan kesatuan bangsa.

Gagasan untuk melakukan rekonsiliasi, rujuk, atau ishlah nasional adalah suatu tindakan tepat dan bijaksana yang sangat diharapkan oleh masyarakat.  Juga tak kalah pentingnya adalah terwujudnya suatu forum kerukunan umat beragama di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Forum tersebut atau yang lebih dikenal dengan nama FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) dibentuk oleh unsur-unsur pemuka agama dan tokoh masyarakat yang difasilitasi oleh pemerintah daerah. Tugasnya adalah melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat, menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat, menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan bupati/walikota, mensosialisasikan peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat, dan memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadat.

Sedemikian penting dan strategisnya peran FKUB tersebut dalam membantu menciptakan kerukunan umat beragama di Indonesia, namun ironisnya selama ini masyarakat kurang menyadari kehadirannya. Bahkan ada di antara kepala daerah/wakil kepala daerah di kabupaten/kota yang tidak mengetahui bahwa dirinya adalah salah satu unsur yang duduk sebagai dewan penasihat. Sebuah pekerjaan rumah yang harus di selesaikan sesegera mungkin oleh FKUB kabupaten/kota untuk mensosialisasikan keberadaannya agar kerukunan umat beragama senantiasa langgeng di bumi Indonesia. Apabila masyarakat rukun dan harmonis pembangunan berjalan lancar.

Penutup
Demikianlah artikel “Pluralitas, Toleransi dan Kerukunan Antar Agama”, diangkat kepermukaan untuk diketahui para umat Buddhis pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya yang bersumber dari berbagai artikel dan informasi dari berbagai kalangan, serta tulisan dari media internet lainnya yang telah dicantumkan nama sumbernya. Semoga isi artikel ini dapat menambah wawasan pengetahuan dan memperluas cakrawala dalam berpikir untuk menyadarkan kita sebagai umat manusia agar dapat  memahami kondisi umum Pluralitas yang bersifat universal. Kiranya patut dihormati, dihargai dan diterima apa adanya, juga pentingnya sikap dan perilaku toleransi dalam kemajemukan serta hidup penuh kerukunan dalam keragaman dimana saja, kapan saja dan terhadap siapa saja. Svaha.

Daftar Pustaka
–    Kitab suci Theravada dan Mahayana
–    Mutiara Dhamma VI, 10 Dharma Terseleksi, Ir Lindawati
–    Berbagai Cuplikan dari artikel Kerukunan Antar Umat Beragama; sumber:Siddhi Surabaya
–    Aktualisasi Kerukunan Umat Beragama; Sumber: Agus Saputera, Subbag Hukmas dan KUB Kanwil Depag Provinsi Riau ( http://www.docstoc.com)
–    Informasi dari berbagai sumber diinternet.