Ketika Bumi Menggeliat Dan Berdetak
Oleh Jo Priastana
Bumi mengungkapkan dirinya melalui bencana yang hadir dalam kehidupan manusia. Bumi berdetak dan menggeliatkan dirinya berupa bencana gempa bumi, meletusnya gunung berapi maupun gelombang laut tsunami.
Adakah hubunan gejala menggeliatnya bumi ini dengan kehidupan manusia terhadap alamnya? Adakah selama ini manusia terlalu menyakiti bumi, hingga bumi harus menggeliatkan dirinya dalam rentetan gempa, bencana tsunami maupun meletusnya gunung berapi.
Tampaknya bencana dari berdetak dan menggeliatnya bumi ini rajin menyambangi Tanah Air. Di tahun 2009 dan 2010 ini banyak terjadi bencana alam seperti yang disebabkan gempa bumi di Ujung Kulon, Tasikmalaya dan Sumatera Barat, dan terakhir Oktober 2010 di Mentawai yang disertai gelombang Tsunani dan bersamaan dengan meletusnya Gunung Merapi di Jawa Tengah.
Setiap bumi menggeliat dan berdetak menghadirkan bencana dan menelan korban manusia. Terhadap kerapnya datang bencana yang dihadirkan bumi ini, kita ditantang untuk dapat mengantipasi terhadap kemungkinan jatuhnya korban dan merehabilitasi kembali lingkungan masyarakat.
Perlu mengenali gejala-gejala alam seperti dengan mempelajari ilmu geologi untuk mengetahui fenomena bumi dan bekerjanya alam. Selain itu kita juga perlu menumbuhkan rasa solidaritas terhadap korban bencana gempa dengan menumbuhkan jiwa kepedulian sosial Bodhisattva dengan berbagai karya-karya sosial-kemanusiaan.
Berbagai bantuan pertolongan, aksi sosial perlu segera diulurkan bagi korban bencan gempa, seperti pemulihan kesehatan korban baik fisik maupun psikis, dan kesejahteraan maupun rehabilitasi hunian, lingkungan dan berbagai sarana fisik lainnya.
Pemahaman Terhadap Bumi
Bumi yang menggeliat seperti yang hadir dalam gempa bumi maupun meletusnya gunung berapi itu dapat dideteksi dan diketahui serta dipahami melalui ilmu geologi maupun vulkanologi. Ilmu geologi sangat penting dalam pengenalan dan antisipasi terhadap bahaya gempa bumi, karena dalam ilmu geologi tersebut dapat diketahui tentang komposisi, struktur, proses dan sejarah bumi, serta kemungkinan munculnya gempa.
Ilmuwan yang mendefinisikan geologi adalah Sir Charles Lyell pada tahun 1830. Semenjak saat ilmu itu dikumandangkan maka studi geologi itu diperluas sampai ke planet-planet lain dan satelitnya, yang lalu dikenal sebagai geologi keplanetan. Ada banyak cabang dalam geologi, antara lain geofisika yang mempelajari fisika bumi.
Dalam perspektif Buddhadharma pemahaman mengenai bumi yang dipelajari ilmu geologi termasuk dalam pemahaman tertib alam semesta, seperti utu niyama yang berkenan dengan ketertiban atau hukum-hukum yang mengatur dunia inorganic.
Utu Niyama merupakan salah satu hukum tertib alam semesta (niyama) yang dikemukakan Sang Buddha bersama dengan hukum tata-tertib lainnya seperti untuk dunia organis (bija niyama), perilaku manusia (karma niyama), kesadaran (citta niyama), serta fenomena lainnya yang melampaui dunia empiris (dhamma niyama).
Sebagaimana dengan hukum kesunyataan tilakkhana yang diungkapkan Sang Buddha bahwa fenomena manusia dan kehidupan di semesta ini, termasuk juga bumi adalah selalu mengalami perubahan (anicca), penderitaan (dukkha), dan tiadanya inti yang kekal (anatta), maka di dalam ilmu geologi yang mempelajari tentang bumi pun diungkapkan bahwa bumi ini selalu bergerak, bukan sesuatu yang kekal selalu mengalami perubahan baik cepat maupun lambat.
Berdetak dan menggeliatnya bumi, seperti gempa bumi, meletusnya gunung berapi, gelombang tsunami menunjukkan fenomena perubahan dan ketidakakkekalan, serta kedukaan pada manusia yang menjadi korban. Fenomena yang mencerminkan proses yang terjadi pada bumi itu sendiri merupakan bekerjanya unsur-unsur alam sebagaimana yang menjadi kajian ilmu geologi.
Sehubungan dengan fenomena gempa bumi, terdapat penjelasan dari Buddhadharma sebagaimana yang diungkapkan dalam Maha Parinibbana Sutta. Dalam Sutta itu dikemukakan jawaban atas pertanyaan Ananda mengenai latar belakang, penyebab terjadinya gempa bumi, diantaranya satu dari delapan jawaban tersebut mencerminkan keselarasan dengan apa yang diungkapkan ilmu geologi, yaitu:
(1) Bumi yang luas ini terbentuk dari zat cair, zat cair terbentuk dari udara dan udara ada diangkasa. Apabila udara bertiup dengan dahsyatnya, maka zat cair berguncang. Keguncangan zat cair ini menyebabkan bumi bergetar.
Itulah sebab pertama timbulnya gempa bumi, bumi yang bergetar dan bergoncang. Sedangkan tujuh penyebab lainnya, adalah: (2) Adanya seorang pertapa atau Brahmana yang memiliki kekuatan batin maha besar. (3) Sang Bodhisattva meninggalkan alam surga Tusita masuk ke dalam kandungan seorang ibu yang penuh pengertian, (4) Sang Bodhisattva hadir rahim (kandungan) seorang ibu yang penuh pengertian. (5) Sang Tathagata mencapai kesempurnaan yang maha sempurna, (6) Sang Tathagata memutar Dharmacakra. (7) Sang Tathagata telah bertekad untuk meneruskan hidupnya, dan (8) Sang Tatagatha telah tiba saatnya mangkat, parinibbana dimana tiada tersisa suatu unsur keinginan.
Fenomena Bumi
Ilmu geologi mengungkapkan bahwa bumi terdiri dari berbagai lapisan, seperti adanya kerak atau kulit, lalu mantel dan inti. Kerak bumi yang berwujud lempeng-lempeng itu telah bergerak ke sana-sini di permukaan Bumi setidaknya sejak 600 juta tahun terakhir dan bahkan sejak beberapa miliar tahun sebelumnya (New York Public Library Science Desk Ref, 1995).
Sekarang ini, setiap lempeng bergerak dengan kecepatan berbeda-beda, di antaranya ada yang dengan kecepatan 2,5 sentimeter per tahun. Para ilmuwan juga meyakinini bahwa pada ada masa lalu, sekitar 250 juta tahun silam, ada benua besar atau superkontinen yang dinamai Pangaea (Nama Pangaea diusulkan oleh geolog besar Afred Wegener tahun 1915).
Sekitar 180 juta tahun lalu, superkontinen ini pecah menjadi Gondwanaland, atau Gondwana dan Laurasia. Gondwana adalah kontinen hipotetis yang dibentuknya dari bersatunya Amerika Selatan, Afrika, Australia, India, dan Antartika. Sementara Laurasia tersusun dari Amerika Utara dan Eurasia.
Sekitar 65 juta tahun silam atau masa sekitar punahnya dinosaurus, kedua kontinen itu mulai berpisah dan perlahan-lahan membentuk tatanan seperti yang kita lihat sekarang ini.
Ada prediksi menarik dalam 50 juta tahun dari sekarang, pantai barat Amerika Utara akan robek dari daratan utama (mainland). Australia akan bergerak ke utara dan bertubrukan dengan Indonesia. Sementara Afrika dan Asia akan terpisah di Laut Merah.
Fenomena bumi yang selalu bergerak dan bertransformasi itu menimbulkan pertanyaan tentang kelangsungannya. Berapa lama lagikah usia bumi? Sampai seberapa lama bumi masih dapat menyediakan dirinya sebagai kondisi yang layak bagi hunian manusia dan makhluk-makhluk hidup lainnya. Adakah katerkaitan antara kehidupan manusia dengan bumi, dan bagaimanakah keterkaitan tersebut?
Bumi dan Abad Terakhir
Disebut-sebut bahwa kemungkinan umur bumi ini tinggal satu abad. Tentu yang dimaksud dengan ini adalah berkenan dengan batas keterhunian, yakni menyangkut dengan datangnya pemanasan global dan terus menurunnya kualitas lingkungan. Karena itu, sejumlah ilmuwan menyebut kurun seabad ke depan sebagai one final century (abad kita yang terakhir).
Semakin pendeknya waktu bagi manusia menempati bumi sebagai hunian ini tentunya juga berkaitan dengan sikapnya terhadap bum yang gemar mengekploitasi. Padahal dari ilmu astronomi yang mengaitkan umur bumi ini dengan teori evolusi bintang dan dengan umur Matahari masih sekitar 4,5 miliar tahun lagi.
Kondisi bumi yang tinggal se-abad bagi hunian manusia akibat eksploitasi manusia yang berlebihan terhadap alam ini, sesungguhnya telah jauh diperingatkan sejak tiga puluh tahun yang lampau.
Pada saat isu lingkungan hidup mulai mencuat, di tahun 1972, pada konferensi Lingkungan Hidup PBB terbit sebuah buku “Only One Earth”. oleh Barbara Ward dan Rene Dubos. Buku itu memperingatkan tentang keterbatasan bumi dalam memberikan daya dukung kehidupan manusia.
Semestinya setelah terbitnya buku tersebut, kita cepat tergugah untuk memelihara lingkungan, menjaga hutan dan sungai, dalam rangka menghormati bumi dan berbagai makhluk hidup yang berbagi ruang hidup di Bumi yang satu ini.
Kini dengan melihat perkembangan aktivitas bumi yang gemar “menyulut api” menggeliatkan dirinya dalam gempa bumi, tentunya manusia dapat lebih menyadari akan efek ambisinya selama ini dalam mengeksploitasi kandungan isi bumi demi pemenuhan industri.
Sejak industrialisasi yang mendapatkan momentumnya dalam revolusi industri di pertengahan abad ke-19, manusia telah mengeksploitasi alam secara luar biasa.
Tidak hanya menguras isi bumi, aktivitas manusia dalam industri itu juga telah menyemburkan miliaran ton gas dan debu ke atmosfer, yang tak sepenuhnya bisa dibawa turun lagi ke permukaan bumi dan menimbulkan apa yang sekarang dikenal sebagai efek rumah kaca, global warming/pemanasan global.
Sedikit banyaknya, aktivitas manusia yang berindustrialisasi dengan kandungan ketamakan dan keserakahan dalam memenuhi ambisi dan kebutuhan yang terciptakannnya itu memberi efek bagi bumi yang akhirnya berdetak dan menggeliat dalam fenomena berbagai bencana alam.
Usia bumi semakin terasa lebih cepat, dan ini memperoleh pengaruh dari eksplorasi yang berlebihan terhadap alam dan kandungan isi bumi dalam industrialisasi. Aktivitas eksplorasi terhadap alam yang mencerminkan pandangan manusia terhadap alam yang bersifat linier dimana alam hanya dianggap untuk pemenuhan ambisi manusia.
Oleh karenanya pandangan yang selaras, bersahabat dan akrab terhadap alam perlu menggantikannya. Pandangan tentang alam semesta yang bersifat holistic perlu diketengahkan sebagaimana yang terdapat dalam filsafat Buddha tentang alam, yaitu bahwa segenap bentuk kehidupan itu saling terkait dan berhubungan dalam jejaring alam semesta.
Untuk itulah manusia perlu menjaga lingkungannya, hidup selalu selaras dan harmoni dengan alam. Manusia yang hidup di bumi perlu merawat dan menjaga segenap eksistensi kehidupan yang ada, hidup bersama. Setiap kehidupan bumi dan segenap isinya memilliki hak yang sama, sama-sama berada, tumbuh, berkembang secara harmonis. (JP)