Panca Skandha & Kesadaran
(Oleh YM Almarhum Master Shen Yen)
Tanya: Adanya beragam penggunaan istilah “kesadaran (consciousness; vijnana)” dalam filosofi Buddhis cenderung membuat saya bingung. Buddhism menyatakan kesadaran sebagai bagian dari Pancaskandha; namun selain itu juga ada kesadaran ke-enam, ke-tujuh dan ke-delapan. Panca Skandha atau Lima Agregat adalah ajaran fundamental Buddhadharma, namun saya masih kesulitan dalam membedakan antara perasaan, persepsi (pencerapan), kehendak (Sankhara: bentuk-bentuk mental), dan kesadaran. Bisakah Shifu mengurangi kebingungan saya ini?
Shifu: Saya akan menjawab sekaligus kedua pertanyaan anda itu karena mereka saling berhubungan. Panca Skandha (lima gugus kehidupan atau lima agregat), yakni: wujud, perasaan, pencerapan, kehendak, dan kesadaran. Adalah salah satu ajaran Hyang Buddha yang paling mendasar. Pada hakikatnya, orang boleh bilang bahwa panca skandha yang membentuk makhluk hidup. Tanpa panca skandha, makhluk hidup tak bisa menangkap dan berinteraksi dengan lingkungan, bahkan lebih dari itu, sebenarnya malah tak akan ada makhluk atau lingkungan.
Skandha (agregat) yang pertama adalah: wujud (form), ini maksudnya aspek-materi, yakni: tubuh kita dan lingkungan (wujud atau rupa adalah bukan hanya jasmani kita saja, namun adalah seluruh alam yang ditangkap oleh panca indera kita; dengan demikian termasuk dunia lingkungan kita. Jadi kalau saya merujuk ke diri-ku, itu berarti juga termasuk “kamu, orang lain, seluruh makhluk semua, dunia-ku”; lihat buku “Buddhist Dictionary” Ven.Nyanatiloka). Dengan demikian agregat pertama ini mencakup aspek fisiologis dan fisik. Lima organ indera: mata, telinga, hidung, lidah, dan tubuh; dan seluruh sistem syaraf (otak, sumsum tulang belakang dan saraf) membentuk aspek fisiologis dari “wujud”. Segala sesuatu dalam lingkungan termasuk simbol-simbol yang kita pakai untuk memahami lingkungan, membentuk aspek fisik dari wujud.
Sekarang saya akan meloncat ke agregat ke-lima, yakni kesadaran. Penting sekali, janganlah sampai keliru antara kesadaran yang dimaksud di dalam pancaskandha dengan kesadaran ke-delapan yang disebut dalam filosofi Mind-Only dari mazhab Yogacara. Mazhab Yogacara berkembang sekian waktu setelah Hyang Buddha membabarkan Buddhadharma, dan mazhab ini mengembangkan filosofi-nya berdasarkan gagasan yang melandasi pancaskandha.
Dalam aliran filsafat Yogacara, lima kesadaran pertama timbul dari lima buah organ indera: penglihatan, suara, rasa, bau dan sentuhan. Kesadaran yang ke-enam adalah pikiran-pendiskriminasi (discriminating mind). Ke-enam buah kesadaran ini kira-kira berkaitan dengan tiga skandha menengah : perasaan, persepsi dan kehendak. Sementara wujud tergolong dunia fisik, sedangkan perasaan, persepsi dan kehendak tergolong dunia batin. Demikian juga, enam buah kesadaran pertama – dari filosofi Yogacara–adalah tergolong dunia batin.
Skandha ke-dua, ke-tiga dan ke-empat – perasaan, persepsi dan kehendak adalah aktivitas batin. Kalau dimasukkan ke dalam kerangka filosofi Yogacara, kita bisa berkata bahwa mereka adalah hasil dari lima indera yang mengalami kontak dengan lingkungan.
Skandha ke-lima, kesadaran maksudnya lebih dari sekedar pikiran pendiskriminasi (kata “diskriminasi” disini tidak berkonotasi buruk, maksudnya hanyalah kemampuan intelek kita untuk mengenali dan membeda-bedakan satu hal dengan hal lainnya); ia mencakup ke-empat buah skandha lainnya, melingkupi dunia materi dan dunia batin. Dengan demikian, skandha ke-lima juga mencakup aspek materi dan batin. Dari cara pandang ini, maka skandha ke-lima itu adalah sebab dan sekaligus akibat.
Tanya: Apa yang anda maksud dengan skandha ke-lima adalah sebab sekaligus akibat?
Shifu: Skandha ke-lima adalah sebagai sebab karena dunia fisik ini (mencakup tubuh kita dan lingkungan) menjadi ada sebagai akibat dari isi kesadaran kita tersebut. Ingat, kesadaran skandha ke-lima itu lebih dari sekedar intelek, dalam kesadaran terkandung benih-benih karma dari semua tindakan masa lalu. Ini adalah gudang karma, kekuatan karma kita. Tubuh kita dan lingkungan ini adalah perwujudan karma kita masing-masing. Maka dari perspektif ini, wujud (skandha pertama) adalah hasil atau akibat dari kesadaran (skandha kelima).
Sementara kesadaran pun juga adalah suatu akibat karena saat ketiga buah skandha batin berinteraksi dengan wujud, lingkungan kita, ini menghasilkan karma baru, yang kemudian masuk ke gudang karma, yakni kesadaran kita.
Tanya: Jadi anda bilang bahwa dunia materi: tubuh dan lingkungan kita, ada karena karma dan karena itulah kesadaran adalah sebagai sebab. Di saat yang sama, kesadaran juga suatu akibat, karena saat tubuh menghadapi lingkungan, keenam indera kita mencerap pengalaman lalu kita menanggapi, dengan demikian menghasilkan karma baru yang sebenarnya juga adalah kesadaran itu. Apa shifu bersungguh-sungguh ketika mengatakan bahwa dunia (dunia kita: teks bahasa inggrisnya memakai istilah environment (lingkungan kita), tapi diterjemahkan sebagai ‘dunia’ kita, agar lebih tegas dan jelas; karena maksudnya memang seluruh lingkungan hidup kita yang berarti dunia tempat kita hidup dan masing-masing dari kita memiliki dunia-nya sendiri-sendiri. Tidak ada dunia yang obyektif berdiri-sendiri mandiri di sana yang lepas total dari makhluk hidup. Dunia atau jagad raya adalah dunianya makhluk hidup masing-masing) kita. Bahkan seluruh alam semesta ini eksis karena para makhluk hidup eksis. Jadi adalah karma semua makhluk yang menciptakan alam semesta raya ini? (kitab Abhidharmakosha (Vasubhandu, abad ke 4) menyatakan: karmalah yang menciptakan seluruh jagad raya ini dan karena definisi karma adalah the movement of the mind maka pengertian ini pun sebenarnya bisa ditelusuri sejak di kitab Dhamapada, gatha yang pertama).
Shifu: Ya, anda boleh berkata demikian. Tubuh fisik anda juga sebagai tubuh hasil karma (retribution). Dunia ini juga disebut sebagai dunia hasil karma. Mereka ada oleh karena akibat karma masa lampau makhluk hidup. Sebuah prinsip dasar Buddhadharma yang disebut kemunculan yang saling bergantungan atau pemunculan bersyarat menjelaskan bahwa semua fenomena itu saling keterhubungan (interconnected) dan muncul serta lenyap karena karma. Dunia ini dan tubuh kita adalah perwujudan karma individu dan kolektif. Semua diri ini, hal yang kita alami dan yang kita hadapi sekarang adalah akibat dari perbuatan masa lalu. Perbuatan masa lalu itu membentuk gaya kekuatan karma yang tersimpan dalam kesadaran kita. Akhirnya benih karma dalam kesadaran kita bermanifestasi menjadi apa yang kita temui dan alami. Selanjutnya selagi kita mengalami serta bertindak terhadap hasil karma yang lalu, kita pun menciptakan karma baru lagi yang pada selanjutnya tersimpan lagi ke dalam skandha kesadaran ini (consciousness atau vijnana).
Sekarang mari kembali dan membandingkan kerangka pandang Pancaskandha dengan kerangka pandang Yogacara. Perasaan, pencerapan dan kehendak (skandha kedua, ketiga dan keempat) kira-kira berkaitan dengan enam buah kesadaran pertama (penglihatan, suara, bau, rasa, sentuhan dan buah-pikir) dari mazhab Yogacara. Skandha ke-lima dari panca skandha mengacu pada kesadaran ke-tujuh dan ke-delapan dari aliran Yogacara.
Skandha ke-lima juga dikenal sebagai “kesadaran retribusi karma” (kesadaran hasil buah karma). Dahulu sewaktu doktrin panca skandha mulai diajarkan, belum ada pembedaan jelas antara kesadaran ke-enam, ke-tujuh dan ke-delapan. Akhirnya, Yogacara memperluas panca skandha dan membuat pembedaan yang lebih halus antara pelbagai fungsi dari kesadaran retribusi karma ini, maka kemudian mereka pun lalu memilah-milahnya menjadi: kesadaran ke-6, ke-7 dan ke-8.
Seperti yang saya katakan sebelumnya: perasaan, pencerapan dan kehendak tergolong alam batin. Pada dasarnya ada tiga tahapan dari fungsi batin. Pertama, indera seseorang mengalami kontak dengan lingkungan; ini disebut perasaan (sensation), menyenangkan, tidak menyenangkan ataupun netral. Kedua, ia menilai pengalaman dari perasaan; penilaian inilah: pencerapan (perception). Ketiga, orang mulai termotivasi untuk bereaksi terhadap pengalaman itu; inilah kehendak (volition).
Misalnya: saya mendengar bising yang keras dan mengganggu. Aspek perasaan adalah apapun yang memberi kesan pada diriku, dalam kasus ini suaranya memberi kesan (enak, tak enak atau netral) kepada telinga saya. Pencerapanku mungkin “sungguh berisik sekali! Saya tidak suka!” Lalu kehendak adalah keputusan untuk berbuat sesuatu atas hal itu, mungkin saya memberengut atau menutupi telinga dengan tangan. Setiap kali seseorang bertindak atas pencerapan yang muncul karena perasaan maka bakal ada karma yang dihasilkan dan itu di tanam dalan skandha ke-lima: kesadaran. Saya harap sekarang anda bisa membedakan istilah kesadaran dalam panca skandha dengan berbagai kesadaran dalam filosofi Yogacara.
Tanya: Benda mati tidak punya kesadaran, tetapi mereka adalah cerminan dari pikiran kita. Mikrofon yang anda pakai untuk bicara itu ada disana karena karma perorangan dan kolektif kita. Apakah ini yang dimaksud dengan “mengetahui bahwa semua Buddha dari masa silam, saat ini dan masa depan menangkap langsung hakekat Dharmadhatu (jagad raya) itu semuanya adalah ciptaan pikiran?
Shifu: Ya dan tidak. Benda mati ada karena kekuatan karma masa lalu para makhluk hidup. Apapun yang kita jumpai masuk lewat lima organ indera dan dicerap oleh pikiran-pendiskriminasi. Tanpa pikiran-pendiskriminasi (kesadaran ke-6 mazhab Yogacara), kita tak akan mampu mencerap apapun. Saat kesadaran ke-6 seseorang tidak berfungsi, dunia luar pun tiada eksis lagi bagi individu tersebut. Dunia ini masih ada bagi makhluk lain, tetapi sudah tidak ada bagi orang yang tanpa kesadaran-pendiskriminasi. Namun bukan hanya kesadaran ke-6 sendiri saja yang menciptakan dunia ini. Lingkungan (dunia) lahir dari interaksi semua Lima skandha. Lewat panca indera dan pikiran-pendiskriminasi kita mengalami dunia ini. Setiap kali kita mengambil keputusan, berpikir, berkata atau berbuat sesuatu, kita menciptakan dan membentuk dunia lingkungan kita. Dunia ini adalah demikian oleh karena karma semua makhluk. Dunia terus berubah seturut dengan anda menjalani hidup dan menciptakan karma baru. Maka dari itu sungguh penting selalu awas akan segala tindakan dan ucapan anda. Karma anda tak hanya membentuk masa depan anda, tetapi juga dunia semesta ini.
Hakikat dasar dharma dhatu di lain pihak hanya bisa di lihat oleh orang yang sudah mencapai pencerahan. Hakikat dharma dhatu adalah hakekat kekosongan (sunyata). Kekosongan itu berarti bahwa semua dharma, semua fenomena selalu berubah, tidak ada hal yang permanen. Lebih jauh lagi semua dharma itu saling terhubung satu sama lain, tiada satu pun hal yang berdiri sendiri, tak ada yang lepas-total terisolasi dari segala hal yang lainnya. Seseorang yang telah tercerahkan mempersepsi dunia dengan pikiran murni dan mereka berurusan dengan dunia lewat kebijaksanaan mereka. Orang biasa mempersepsi dunia dengan pikiran melekat, dan mereka berhubungan dunia lewat pikiran mereka yang pilih kasih membeda-bedakan, inilah yang menciptakan dunia lingkungan. Sedang pikiran murni menciptakan hakikat dharma dhatu dan sebaliknya hakikat dharma dhatu membuat pikiran murni itu mungkin.
Tanya: Buddha dharma juga menyinggung delapan belas alam yang mencakup enam aspek kesadaran. Tiga unsur yang harus ada saat makhluk hidup mengalami kontak dengan lingkungan, organ indera, objek mata dan kesadaran indera. Contoh mata adalah organ indera, bentuk dan warna adalah objek indera dan penglihatan adalah kesadaran indera. Hal yang sama juga berlaku bagi suara, bau, rasa dan sentuhan. Ini sudah jelas. Tetapi saya masih kurang jelas, tiga unsur apa yang menyertai kesadaran ke-6?
Shifu: Enam organ indera, enam objek indera dan enam kesadaran indera membentuk apa yang kita sebut Delapan Belas Alam. Enam objek indera juga disebut enam jenis debu indera. Objek-objek dari kesadaran batin ke-6 adalah simbol-simbol yang kita pakai untuk berpikir, menimbang dan mengingat. Simbol-simbol inilah yang membentuk debu indera kesadaran ke-6. Berpikir, menimbang dan mengingat membentuk unsur kesadaran dari kesadaran ke-6. Simbol-simbol berasal dari lima jenis debu indera yang lain. Kita meng-konsep dengan gambar dan bahasa. Bahasa terdiri atas kombinasi berbagai suara yang menampilkan diri mereka berupa simbol-simbol kepada kesadaran ke-6. Saat kesadaran batin memakai simbol-simbol ini, kesadaran tersebut bisa menimbang (reason), mengingat dan membuat penilaian. Kesadaran batin ini tidak bisa berfungsi tanpa simbol-simbol. Organ indera kesadaran ke-6 mencakup komponen batin dan fisik. Komponen batin adalah kesadaran hasil karma, ia muncul dari kesadaran ke-8 tempat benih karma tinggal. Komponen fisik itu berfungsi seperti pintu, mengijinkan kesadaran hasil karma untuk meninggalkan gudang karma serta mengijinkan karma baru untuk memasuki gudang karma. Komponen fisik itu adalah sistem nervous seseorang.
Tanya: Lalu fungsi batin kesadaran ke-6 bekerja sama menggabungkan kelima organ indera lainnya? Bukankah otak dan sistem saraflah yang merasa, yang mencerap dan yang memproses semua informasi?
Shifu: Ya, tetapi sewaktu saya menyinggung kesadaran ke-6 saya berbicara tentang bagian otak yang berkaitan dengan berpikir, menimbang dan ingatan. Sistem saraf juga mencakup kesadaran-kesadaran indera yang lain dan fungsi kehidupan, tetapi mereka bukanlah bagian dari organ indera kesadaran ke-6. Otak dan sistem saraf itu punya lebih dari satu fungsi. Agar makhluk hidup bisa menimbang, dia harus memakai simbol-simbol. Patut ditanyakan seberapa banyak ingatan dan kekuatan menimbang yang dimiliki oleh binatang. Selama sebuah organisme punya sistem saraf, maka organisme itu tetap punya empat skandha pertama: wujud, perasaan, pencerapan dan kehendak. Tanpa empat skandha pertama ini makhluk hidup takkan bisa berfungsi, tetapi hanya makhluk dengan ingatan dan kekuatan menimbang yaitu yang memakai simbol-simbol yang lengkap punya semua panca skandha.
Tanya: Bagaimana dengan tumbuhan dan sayuran? Mereka tampaknya bisa merespon sesuatu. Mereka tumbuh menuju ke arah adanya sinar.
Shifu: Tumbuhan itu hidup tetapi mereka tidak punya sistem saraf. Mereka memang bisa bereaksi dalam cara tertentu dan memperlihatkan perilaku primitif karena mereka punya sel, dan reaksi-reaksi kimia-lah yang mengatur dalam tubuh mereka. Tetapi reaksi mereka terhadap lingkungan tidak bisa disebut perasaan karena perasaan berasal dari sistem saraf. Aktivitas seperti fotosintesis dan pertumbuhan adalah murni reaksi kimia.
Tanya: Apa kesadaran ke-6 itu sebenarnya bukan justru bagian dari lima kesadaran pertama? Sewaktu melihat sesuatu, bukankah saya memakai kekuatan-menimbang (akal) untuk mengenal dan memilah apa yang saya lihat?
Shifu: Kita bisa berkata bahwa kesadaran ke-6 (pikiran-pendiskriminasi) itu bekerja menggabungkan lima kesadaran pertama: penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan dan persentuhan. Tetapi kesadaran ke-6 itu mengacu khususnya kepada fungsi menimbang dan mengingat. Begitu saat perasaan muncul, maka yang disebut kesadaran ke-6 itu adalah: kesadaran-indera apapun yang bekerja pada saat itu. Segera sesudah itu, orang akan mulai mengingat, menimbang, dan menilai. Inilah fungsi kesadaran ke-6.
Tanya: Bisakah terjadi keadaan-menyadari-murni (pure awareness) yang ada sebelum bahasa dan simbol, sebelum apa yang disebut sebagai objek-objek indera kesadaran ke-6?
Shifu: Mustahil. Tanpa adanya simbol-simbol dan objek-objek indera kesadaran ke-6 lainnya, pikiran-pendiskriminasi tak dapat berfungsi. Orang akan mati atau mati otak. Sewaktu seseorang memiliki pure-awareness, maka simbol-simbol, ingatan, dan pertimbangan-akal masih ada dalam kesadaran ke-6, tetapi hanya orang itu tidak melekat padanya. Orang itu sudah mencapai tenang-keseimbangan (upeksha). Tiada yang bergerak dalam pikiran tersebut, tetapi pikiran masih tetap berfungsi normal. Orang yang sudah cerah dan para Buddha adalah seperti dengan orang-biasa dalam hal: mereka masih punya dan menggunakan kesadaran ke-6. Mereka bisa mengingat, menimbang, berpikir dan belajar. Bedanya di sini, orang yang sudah mencapai penerangan sempurna tidak lagi melekat pada suatu diri. Mereka bebas dari nafsu ketamakan, kekelirutahuan, kesombongan, dan kebimbangan. Mereka tidak melekat pada keakuan (self-centered). Pikiran mereka telah tertransformasi dari kekesalan menjadi kebijaksanaan; dari klisha menjadi wisdom.
Tanya: Jadi, kita bisa bilang bahwa saya punya kesadaran ke-6, tetapi saya melekat padanya. Saya salah sangka-keliru tahu- mempercayai bahwa kesadaran ke-6 adalah ‘aku’ ini. Tetapi orang yang cerah hanya memakai kesadaran ke-6 seperti sebuah alat.
Shifu: Ya, seorang Buddha masih memakai kesadaran ke-6. Seorang Buddha masih bicara dengan memakai istilah “Saya dan Anda, saya dan ini” Seorang Buddha masih bisa membedakan subjek dan objek. Tetapi seorang Buddha tidak melekat pada pembedaan ini. (Seorang Buddha mengenali langsung baik secara intelektual maupun mental bahwa perbedaan itu hanyalah pada tataran konvensional; orang biasa melekat pada yang konvensional, tidak mampu melihat kebenaran yang ultimit/shunyata, sehingga mereka bersikap diskriminatif-pilih kasih)
Orang-biasa yang belum tercerahkan berkata, “Saya ya saya, kamu ya kamu”, dan meyakini bahwa itu sungguh-sungsuh benar. Orang biasa mengidentifikasikan dirinya dengan pemikiran-pemikiran dan tubuhnya. (Dalam bahasa pali disebut Sakkaya-ditthi atau personality belief: salah sangka mengira bahwa tubuh & pemikiran-pemikiran ini adalah ‘aku’; kendati secara intelektual kita bisa mengenali kesalahan ini, namun secara mental kita masih ‘percaya’ pada hal yang salah ini/’kebodohan spiritual/avidya’).
Para Buddha sudah tidak melekat lagi pada tubuh dan pemikiran-pemikirannya, tetapi mereka masih memanfaatkannya dengan bijak. Kalau para Buddha tidak memakai tubuh dan pikiran mereka, mereka tak akan bisa mengajarkan makhluk hidup biasa (ordinary sentient beings).
Tanya: Bila demikian, lalu apa yang ada dalam pikiran (mind) saat mencapai kondisi tanpa pemikiran (no-thought)?
Shifu: Kelihatan Anda bingung, menyangka bahwa tanpa-pemikiran (no-thought) adalah tanpa-ego (no-self). Adalah tidak mustahil untuk mencapai suatu kondisi meditasi dimana pikiran diam. Dalam keadaan ini tampaknya seperti tak ada lagi buah-buah pikir (no-thoughts), tetapi sesungguhnya masih ada: satu buah-pikir (one thought). Orang tersebut sesungguhnya hanya terus menerus berdiam pada satu buah-pikir, yakni: metode meditasinya. Pikiran (mind) memang tidak bergerak. Tidak ada pemikiran yang berlangsung. Inilah: samadhi. Orang tidak harus mencapai pencerahan untuk mengalami hal ini; atau dengan kata lain, mengalami Samadhi tidak otomatis mengalami pencerahan.
Di lain pihak, apabila seseorang mengalami pencerahan tulen, maka rasa-diri menghilang. Tidak ada lagi ‘diri’ (ego) tetapi pemikiran-pemikiran (thought) terus berlangsung, sama seperti halnya pikiran orang biasa umumnya. Pribadi yang sudah tercerahkan tetap bisa berfungsi, menimbang dan menilai (An enlightened person can function, reason, and make judgments). Bedanya, orang yang cerah sudah tidak lagi lekat mengganggap bahwa fungsi-fungsi batin ini sebagai diri.
Tanya: Baris-baris pertama ‘Sutra Hati’ tersurat: “Sembari mempraktekkan Prajna Paramita (kebijkasanaan sempurna) yang mendalam, sang Bodhisattva Avalokitesvara menangkap langsung bahwa semua pancaskandha itu kosong, dengan demikian mengatasi semua penderitaan.” Jika Avalokitesvara memang mempersepsi bahwa Lima Skandha itu kosong, bagaimana kok dia bisa tahu bahwa disitu ada skandha-skandha (yang mestinya tidak ada itu) untuk diomongkan? (maksud si penanya: mestinya sejak dari awal dia tidak melihat, sehingga tidak ada yang diomongkan, ibarat: kita tidak akan ngomong ”di sini tidak ada kelinci bertanduk emas”, karena sejak awal kita tidak melihat memang tidak ada, dan tidak pernah ada “kelinci bertanduk emas”).
Shifu: Di dalam Sutra Hati, adalah Hyang Buddha yang menceritakan kepada kita tentang apa yang dipraktekkan Avalokitesvara. Bodhisattva Avalokitesvara sendiri tidak mengatakan apa-apa. Sang Bodhisattva tidak menunjuk ke Panca Skandha dan berkata, “Ini semua kosong”.
Ingatlah bahwa Sutra Hati disabdakan oleh Hyang Buddha demi kepentingan para makhluk. Beliau mencoba memberi penjelasan agar segala sesuatunya terpahami bagi orang yang belum mengalami pencerahan. Makhluk biasa masih meyakini dan mempersepsi adanya Lima Skandha. Hyang Buddha bersabda, “bilamana, seperti Avalokitesvara, kalian bisa mempersepsi bahwa panca skandha itu semuanya sunya, maka anda bakal mengatasi semua dukkha.” Para Buddha dan Bodhisattva memang mempersepsi bahwa panca skandha itu tidak eksis, namun para makhluk tercerahkan itu juga sekaligus bisa melihat sesuatu dari sudut pandang orang biasa. (makhluk yang telah tercerahkan mampu secara bersamaan realitas konvensional dan realitas ultimit (kekosongan)“two truths”, sedang makhluk biasa hanya mampu melihat realitas konvensional saja, untuk realitas yang ultimit-kita hanya bisa menangkapnya sebatas intelektual). Mereka tahu para makhluk biasa mengidentifikasi diri dengan panca skandha.
Sutra Hati memuat beberapa kalimat lain yang tampaknya saling bertentangan. Sebelumnya, sutra ini berujar bahwa “tidak ada yang namanya kebijaksanaan atau pencapaian”, lalu dengan segera saja berikutnya sutra itu berujar, “oleh karena inilah para Buddha mencapai Annutara samyak sambodhi: kebijaksanaan sempurna nan tertinggi”. Kalau tidak ada pencapaian, bagaimana bisa para Buddha mencapai kebijaksanaan (wisdom)? Ya intinya: sutra itu berbicara ditujukan bagi kepentingan makhluk hidup biasa yang belum tercerahkan. Pada pamungkasnya, memang tidak ada kebijaksanaan dan tidak ada pencapaian. Tetapi karena kemelekatan-kemelakatannya, orang biasa belum bisa menangkapnya demikian, sehingga Hyang Buddha perlu menyebut tentang “kebijaksanaan” dan “pencapaian”. Meski sebenarnya Annutara samyak sambodhi, kebijaksanaan-sempurna-nan-tertinggi itu memang ya adalah: “tanpa-kebijaksanaan, tanpa-pencapaian”.
Sumber referensi: Buku Zen Wisdom (Dharma Drum Publications, Carifonia) Oleh Master Sheng Yen. Penerbit: Suwung, Jogja.