Syair Meluruskan Pandangan & Menjernihkan Pikiran
Oleh YM Bhiksu Tadisa Paramita Sthavira
Apapun yang dipikirkan, itulah yang dilihat. Pikiran yang menciptakan Buddha. Pikiran adalah Tathagata. Pikiran adalah tubuhnya, pikiran melihat Buddha. Pikiran tidaklah dengan sendirinya mengetahui pikiran, pikiran tidaklah dengan sendiri melihat pikiran. Suatu pikiran dengan konsepsi-konsepsi adalah kebodohan, suatu pikiran tanpa konsepsi-konsepsi adalah Nirvana. Tidak ada sesuatu pun di dalam Dharma ini yang dapat dinikmati, mereka semua adalah bentukan pikiran. Jika pikiran bukan sesuatupun selain kekosongan, maka apapun yang dipikirkan adalah sama sekali tidak nyata (non-existent).
Membina diri dimulai dari mempelajari kebenaran, memahami kebenaran, mempraktekkan kebenaran untuk selaras dengan kebenaran, kemudian menyebarkan kebenaran dengan berpijak sesuai kebenaran tapi tidak terjebak dan melekat kepada kebenaran.
Praktek kesabaran adalah awal melatih pengendalian; Praktek mengalah adalah tahap menengah melatih pengendalian; Praktek ketabahan adalah tahap tinggi melatih pengendalian; Praktek tiada muncul pemikiran adalah tahap tertinggi, karena tiada lagi pemikiran mengendalikan dan dikendalikan melenyapkan khayal keberadaan subjek dan objek.
Mencari Bapak Guru (Shifu) terkenal yang suka mempromosikan dan membanggakan gelar titisan, silsilah, transmisi, pendidikan akademis, kedudukan atau vassa kebhiksuannya atau ilmu gaibnya sangatlah mudah dicari, bagaikan tong kosong nyaring bunyinya sehingga nama dan wajahnya terdengar dan tersebar di mana-mana; Sedangkan mencari Shifu yang sudah cerah yang tidak lagi menyandang atribut ‘Sang Aku dan Dharma’ dan tidak lagi mempromosikan segala hal yang dimiliki, sungguh langka dan sulit dicari, bagaikan tong berisi suaranya melempem sehingga nama dan rupanya tidak terdengar dan tidak diketahui. Tentu berguru kepada yang terkenal akan mendapatkan pendidikan berbagai ilmu pengetahuan Dharma saja, namun berguru kepada yang sudah cerah akan mendidik penuh disiplin keras untuk melepaskan semua hal termasuk aku dan kepemilikan khayal, tercerahkan menembusi hakikat ketiadaan tanpa ketiadaan.
Bermimpi menjadi kaya dan makmur adalah kesenangan orang duniawi; Bermimpi memiliki usia panjang dan hidup mulia adalah kesenangan para dewa; Bermimpi memiliki ilmu gaib dengan mudah melakukan sesuatu adalah kesenangan para petapa; Bermimpi mencapai kesucian dan keluar dari samsara adalah kesenangan praktisi Hinayana; Bermimpi menolong tuntas semua makhluk untuk mengumpulkan jasa pahala adalah kesenangan praktisi Mahayana; Tiada bermimpi untuk mendapatkan sesuatu tapi mengerjakan segala sesuatu adalah praktisi Buddha; Tiada pemikiran bermimpi dan objek yang diimpikan adalah kedamaian Nirwana.
Ingin memiliki segala sesuatunya adalah hasrat para perumah tangga; Belajar melepaskan segala sesuatunya adalah hasrat para Sramana; Ketiadaan hasrat terhadap segala hal adalah perilaku makhluk suci; Memiliki hasrat menolong semua makhluk tanpa munculnya hasrat pribadi adalah perilaku Bodhisattva; Melepaskan segala fenomena dualitas hasrat dan bukan hasrat adalah perilaku Buddha.
Orang-orang duniawi mengumbar hawa nafsu untuk mendapatkan kebahagiaan dari segala objek yang di luar; Para petapa mendapatkan kebahagiaan dari padamnya hawa nafsu; Para Bodhisattva mendapatkan kedamaian dan kemuliaan dari berkarya tanpa berkarya; Para Buddha telah sempurna segala kebajikannya dengan kesucian agung tanpa fenomena dan noumena lagi.
Harta mustika di luar bagaikan fatamorgana banyak dikejar dan dicari oleh umat awam; Sedangkan harta mustika ke-Buddhaan yang dimiliki masih tertutup kabut kebodohan dan terbenam dalam lumpur dosa sudah lama diabaikan. Tidakkah jenuh dan lelah mencari dan mendapatkan yang tidak bisa dimiliki. Alangkah baiknya mencari dan mendapatkan mustika ke-Buddhaan yang dimiliki untuk membangun dan memasuki surga kebahagiaan hakiki.
Umat awam berjuang dalam pendidikan formal untuk mengembangkan intelektualitas dan mendapatkan berbagai gelar akademis yang cenderung bangga dengan atribut diri, citra, gengsi dan kepemilikan. Sebaliknya para Sramana berjuang dalam praktek Buddhism untuk mengembangkan pencerahan dan meraih tingkatan kesucian. Menyadari semua citra, gelar, kebanggan diri dan kepemilikan adalah khayal tidak nyata dan tidak berlangsung lama.
Mendapatkan sensasi nikmat adalah harapan para umat awam; Mendapatkan berbagai kemuliaan adalah harapan para dewa; Mendapatkan kesucian adalah harapan para petapa; Tiada ada suatu yang didapatkan adalah kesadaran para Bodhisattva; Segala sesuatunya demikian murni dan sempurna yang dimiliki setiap makhluk adalah pencerahan para Buddha.