Perayaan Tahun Baru Imlek
Tahun Baru Imlek 2561 jatuh pada tanggal 14 Februari 2010 merupakan hari raya spesial, karena bertepatan dengan hari Valentine day dan ulang tahun Maitreya Bodhisattva. Penanggalan Imlek merupakan sistem kalender lunisolar yaitu gabungan dari sistem kalender bulan dan kalender matahari. Tahun Baru Imlek dikenal juga sebagai Tahun Baru China dan Festival Musim Semi (Chun Jie). Perayaan tahun baru ini tentunya tidak bisa lepas dari segala mitos dan perayaan yang melekat kuat di dalamnya. Asal muasal peringatan Tahun Baru Imlek ini pun mempunyai kisahnya sendiri.
Di negara asalnya Tiongkok, perayaan tahun baru Imlek dinamakan ‘Chun Jie’ yang berarti “Perayaan Musim Semi”. Kata Chun Jie digunakan sejak Tiongkok merdeka, karena sebelumnya digunakan istilah ‘Yuan Dan’ yang berarti pertama di tahun yang baru dimasuki. Tapi pada tahun 1949, Pemerintah Tiongkok menetapkan nama ‘Yuan Dan’ untuk tahun baru internasional atau tahun Masehi (1 Januari), dan Tahun Baru Imlek dinamakan ‘Chun Jie.’
Tahun baru Imlek bukan hanya di rayakan di negara-negara Asia Timur, seperti Tiongkok, Jepang, Korea, Taiwan, Hongkong, Vietnam, dan lainnya, tapi juga semarak di berbagai negara lain yang terdapat kawasan Pecinan (kawasan khusus etnis Tionghoa).
Konon pada dahulu kala pada tepat setiap musim semi tiba di akhir musim dingin masyarakat sering diganggu binatang buas yang bernama Nian. Binatang buas ini datang dari dasar lautan untuk memakan manusia. Masyarakat mengetahui bahwa Nian ini takut akan bunyi yang keras. Karena itu untuk mencegahnya datang, mereka memukul beduk, gong dan membakar bambu yang akan menimbulkan suara ledakan (terakhir ini telah diganti dengan petasan, setelah diketemukannya mesiu pada Dinasti Sung).
Mulai saat itu setiap akhir musim dingin, masyarakat merayakan tahun baru Imlek dengan membakar petasan dan memainkan barongsai untuk mengusir segala yang jahat dan menyambut datangnya musim semi. Imlek secara tradisi telah diperingati oleh masyarakat Tionghoa seluruh dunia sejak ribuan tahun lalu. Dari buku kuno diketahui Imlek dirayakan di Tiongkok 4699 tahun yang lalu oleh raja pertama Huang Ti. Secara tradisi penyambutan Imlek di isi dengan aktivitas menjadi baru mulai dari mendandani rumah dan dirinya sendiri dengan pakaian dan semangat baru. Yik Nien Fuk Se, Wan Siang Keng Sin artinya ”Datangnya tahun baru mengubah segalanya menjadi baru”. Warga Tionghoa kini menghabiskan hari-harinya mempersiapkan Imlek dengan membuat aneka macam kue keranjang atau kue tar, membersihkan rumah dan tempat ibadah serta menyiapkan angpao. Sementara yang laki-laki akan membersihkan pekarangan, mencat atau menghias rumah.
Segala rangkaian prosesi perayaan Tahun Baru Imlek ini dimulai dengan suatu ritual yang dinamakan Cap Ji Gwee Ji Shi (tanggal 24 bulan ke-12 Imlek), yang jatuh pada hari 7 Februari 2010. Ditandai dengan membersihkan rupang dan altar, dimulainya mendekor altar, menyalakan lilin, pelita minyak dan puluhan hio (dupa bergagang) di vihara, kuil maupun di kelenteng. Bagi yang tidak mampu membeli itu, pelaksanaan sembahyang cukup dengan hio biasa, lilin kecil, minyak nabati, serta sesaji buah-buahan, kue serba manis, dan aneka jenis minuman lainnya.
Ritual ini juga sering disebut dengan Shang Sheng (saat para dewa berpulang ke surga untuk melaporkan perbuatan manusia di bumi). Shang Sheng merupakan salah satu dari rangkaian ritual keagamaan pemeluk agama Khong Hu Cu, meski kemeriahannya tak semencolok pada Malam Tahun Baru Imlek, dan Cap Go Mee atau hari ke-15 Tahun Baru Imlek. Rangkaian kegiatan menyambut tahun baru Imlek dimulai dengan sembahyang syukuran tutup tahun Imlek 2560 atau Sam Sip Pu. Acara persembahyangan Tahun Baru sendiri, dimulai menjelang tengah malam hingga besok paginya. Biasanya pada malam sebelum tahun baru atau Chu Si Ye, seluruh anggota keluarga harus kumpul bersama dan makan Thuan Yuen Fan (makan malam sekeluarga). Jika ada anggota keluarga yang tidak sempat atau berhalangan untuk pulang ke rumah, di meja akan disiapkan mangkok dan sepasang sumpit yang mewakili yang tidak sempat datang tadi.
Sayur yang disajikan cukup banyak dan mengandung arti tersendiri, seperti Kiau Choi yang melambangkan panjang umur, ayam rebus (Menu bisa digantikan dengan daging Vegetarian) yang disajikan utuh melambangkan kemakmuran untuk keluarga. Sedangkan bakso ikan, bakso udang dan bakso daging (ini pun bisa digantikan dengan bakso vegetarian) yang melambangkan San Yuan atau tiga jabatan yaitu Cuang Yuen, Hue Yuen dan Cie Yuen. Tiga jabatan tersebut adalah jabatan yang sangat dihormati masyarakat Tionghoa pada jaman kekaisaran dahulu.
Juga ada Jiao Zi atau pangsit yang bentuknya dibuat mirip dengan uang perak jaman dulu. Menurut kepercayaan, makan Jiao Zi akan mendatangkan rejeki. Malahan sesuai tradisi di antara pangsit tersebut salah satunya akan di isi dengan koin. Bagi yang mendapatkan koin tersebut konon akan mendapatkan rejeki besar. Di meja juga disiapkan ikan yang dihias dan akan dimakan. Maknanya yaitu Nien nien you yu atau ‘setiap tahun ada kelebihannya’. Makanan perpaduan delapan jenis merupakan hidangan istimewa sebab diyakini dapat membawa keberuntungan di tahun baru.
Selain sajian-sajian itu yang menjadi tradisi di warga Tionghoa dalam menyambut Imlek, adalah dengan menggunakan pakaian tidur berikut pakaian dalam yang masih baru. Maksudnya adalah untuk membuang kesialan tahun lalu. Pada malam tahun baru setelah berdoa dan makan malam, tidur dengan menggunakan pakaian tidur yang baru umumnya berwarna merah. Karena warna merah melambangkan cinta kasih dan keberuntungan, diyakini mendatangkan segala kebaikan.
Pada hari pertama Sin Nien atau tahun baru, pertama yang akan dilakukan adalah sembahyang pada altar dan leluhur di rumah. Bagi yang tidak punya altar, akan ke vihara, kuil atau kelenteng terdekat untuk sembahyang mengucapkan terima kasih atas perlindungan Triratna, Buddha, Dharma dan Sangha, para dewa sepanjang tahun. Setelah itu memberikan sungkem dan hormat kepada kedua orang tuanya, saling mengunjungi sanak keluarga dan kerabat dekat, menerima angpao atau memberikan angpao.
Selain itu bagi anak-anak muda mereka akan menyambut tahun baru dengan memasang petasan dan main barongsai yang mengandung arti mengusir segala yang jahat dan menyambut segala yang baik. Banyak pantangan yang tidak dilakukan pada hari tersebut. Seperti tidak menyapu dan tidak membuang sampah yang katanya akan mengusir rejeki keluar rumah. Pantangan lainnya yaitu tidak boleh bertengkar atau mengeluarkan kata-kata fitnah dan tidak boleh memecahkan piring. Namun jika kebetulan secara tidak sengaja ada piring atau mangkok yang pecah, untuk penangkalnya harus cepat-cepat mengucapkan Suei- Suei Phing An yang artinya setiap tahun tetap selamat.
Pada hari kedua tahun baru adalah saatnya ‘Huei niang cia’ atau pulang ke rumah ibu. Hari ini bagi wanita yang sudah menikah akan pulang ke rumah ibunya dengan membawa Teng Lu yang merupakan bingkisan atau angpao (kantong merah kecil yang berisi uang) untuk ibu dan adik-adiknya. Secara tradisi Angpao atau Hung pau juga diberikan kepada anak-anak dan orang tua. Pada hari ketiga, mereka lebih banyak tinggal di rumah, tidak banyak melakukan perjalanan dan aktivitas.
Pada hari ke-empat adalah hari menyambut para dewa untuk kembali ke bumi. Konon menurut kepercayaan Dewa Dapur (Cho Jun Kong) dan para dewa dari langit akan kembali ke Bumi. Pada hari kedatangan kembali para dewa-dewi itu, khususnya Dewa Dapur, akan disambut bunyi-bunyian antara lain dengan kentongan. Warga Tionghoa biasanya ke Vihara, kuil atau kelenteng untuk Qi Fuk atau memohon kepada para Hyang Triratna, para Buddha, Bodhisattva atau Dewa-Dewi untuk mendapatkan perlindungan dan rejeki. Sesaji yang dibawa biasanya berupa buah-buahan, manisan, kue dan teh kering.
Dihitung dari Shang Sheng rangkaian acara sembahyang menjelang dan sesudah Tahun Baru Imlek meliputi 21 hari. Bagi orang yang masih kental merayakannya secara lengkap, tiga pekan itu adalah saat-saat penuh makna bagi perawatan jasmani dan rohani. Mereka berdoa, bersedekah, mohon pengampunan, berterima kasih kepada Hyang Triratna, Tuhan/Dewa, leluhur, orang tua, guru dan orang-orang yang dituakan, dan memohon perlindungan dan bimbingan kepada Hyang Triratna, para pelindung Dharma, dewa rejeki, dan dewa bumi agar sehat, selamat, makmur dan sejahtera untuk satu tahun penuh ke depan.
Kebiasaan merayakan Tahun Baru Imlek memang tidak harus dilakukan dalam pesta atau perayaan yang berlebihan. Seyogyanya manusia yang berbudi dapat melakukan introspeksi diri, mawas diri dan mengevaluasikan sikap dan perilaku pada tahun sebelumnya, serta menata, merencana dan meningkatkan kualitas diri, usaha dan kebajikan untuk tahun ke depan. Juga pada saat perayaan tahun baru Imlek dianjurkan tidak melakukan kegiatan liar dan sesat yang melanggar hukum dan norma agama, seperti berjudi, bermabuk-mabukan, berzina, ngebut-ngebutan dan berkelahi, karena saat tahun baru Imlek banyak Dewa Rejeki akan memberikan berkah keberuntungan. Apabila kita tidak bersih diri dan senang berbuat karma buruk bagaimanakah memohon dan mendapatkan berkah keberuntungan? Oleh karena itu, di hari besar Imlek ini alangkah baik membersihkan diri dan berbuat banyak amal ibadah memohon dalam satu tahun kedepan mendapatkan banyak keberuntungan dan mudah meraih kesuksesan dalam segala hal. Apabila ditahun sebelumnya sekeluarga mendapat rejeki keberuntungan yang lebih, danakanlah untuk kepentingan agama, panti-panti sosial atau kepada para fakir miskin untuk berbuat kebajikan, karena apabila seseorang senantiasa dapat ‘mengenal rejeki’, ‘menyayangi rejeki’, ‘mengembangkan rejeki’ dan ‘menanam rejeki’, maka sepanjang hidupnya memiliki banyak rejeki.
Imlek 2561 yang dilambangkan dengan “Tahun Macan”, tentu dalam menyambut tahun macan ini mempunyai efek psikologi dan implikasi bagi orang yang masih percaya pantangan Taoism sehingga masih memerlukan ritual tradisi khas untuk masalah Ciong, Fan Thai Sui, Wu Kuei, Pai Hu dan Thien Kou. Lain agama lain pula ritualnya. Adapun keyakinan dan kegiatan para umat Buddha, pagi hari mereka mengadakan ritual upacara Kung Thien (berdana kepada para dewa pelindung Dharma) siangnya berdana kepada Hyang Triratna dan mengikut upacara Po Un (upacara memohon perlindungan keselamatan) di vihara terdekat. Semua tradisi ritual upacara yang nampaknya banyaknya perbedaan-perbedaan yang dilakukan warga Tionghua kiranya hanya bersifat relatif yang berlandasan tradisi dan kepercayaannya masing-masing atau karena pengaruh budaya asalnya. Sebagai warga negara yang baik, warga Tionghoa menyadari hidup diperantauan atau hidup dan tumbuh berkembang ditengah-tengah bangsa yang majemuk ini harus saling menghormati dan memiliki tenggang rasa, sehingga lebih mengutamakan kerukunan, keselamatan dan keberuntungan, bukan mempersoalkan perbedaan suku, keyakinan atau tradisi masing-masing yang berkembang di masyarakat, sehingga komunitas warga Tionghua bisa hidup damai, rukun dan sukses.
Kiranya warga Tionghua sudah greget menanti datangnya hari raya Imlek yang penuh berkah dan sarat makna, nilai-nilai religius dan tradisi, semoga tahun macan ini membawa berkah keselamatan dan keberuntungan bagi kita semua. Svaha. Gong Xi Fat Choi!