Marilah Kita Bersama-sama Berjuang Mengalahkan Sang Ego
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, pengertian EGO adalah : Aku; diri pribadi; rasa sadar akan diri sendiri ; konsepsi individu tentang dirinya sendiri.
Ego dari sudut pandang psikologi
Dalam istilah awam, ego dapat diartikan sebagai kebanggaan akan diri sendiri. Pemikiran-pemikiran seperti jasmani dan pikiran ‘ku’, intelek ‘ku’, hidup ‘ku’, kekayaan ‘ku’, anak dan istri ‘ku’, ‘Aku’ harus meraih kebahagiaan, dan lain-lain yang timbul sepenuhnya dari ego.
Ego adalah kesadaran akan diri sendiri, kebanggaan, kecongkakan dan ke’aku’an merupakan kata-kata yang berhubungan dengan ego.
Egois berasal dari kata ego, ego itu adalah aku dalam bahasa Yunani, jadi orang yang disebut egois orang yang memang mementingkan dirinya, mementingkan akunya. Egois adalah sikap mementingkan diri di atas kepentingan orang lain tanpa batas. Artinya tidak mengenal kondisi, dalam pengertian dengan siapakah kita bersama, pokoknya kita yang harus mendapatkan prioritas yang utama. Egois adalah orang yang menjadikan dirinya sebagai titik pusat perhatian, jika satu kelompok manusia diibaratkan tata surya maka ia ingin menempatkan dirinya sebagai matahari yang dikelilingi oleh planet planet lainnya.
Manusia Awam Dicengkeram Oleh Lobha, Dosa dan Moha
Manusia merupakan salah satu makhluk yang masih terbenam dalam arus kelahiran dan kematian yang berulang-ulang di siklus tumimbal lahir. Umumnya manusia awam masih diliputi keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kebodohan batin (moha). Tindakan-tindakan buruk yang dilakukan manusia dan sering terjadi dilingkungan keluarga dan lingkungan sosial masyarakat karena manusia masih dicengkeram oleh jejak karma, sehingga tabiat dan wataknya cenderung bodoh, bingung dan buruk penuh ke egoisan. Manusia awam cenderung masih gelap batinnya pasti memiliki sifat serakah, semaunya sendiri, diskriminasi dan dipermainkan dualitas kondisi suka dan tidak suka. Sifat serakah, semaunya sendiri, dan mau menang sendiri tanpa disadari menciptakan suatu tindakan yang dapat merusak diri sendiri juga orang lain. Kecenderungan sifat manusia yang paling menonjol adalah sifat keakuan. Sifat keakuan ketika terus berkembang dan tumbuh dalam pribadi seseorang akan menimbulkan penderitaan secara terus-menerus, oleh karena itu keakuan hendaknya untuk dikurangi. Mengurangi keakuan dalam diri bukan suatu hal yang mudah dilakukan dan membutuhkan waktu yang tidak singkat.
Ajaran Buddhis menerangkan bahwa keakuan bukanlah substansi inti atau keakuan dapat berdiri sendiri. Ego menjadikan pandangan bahwa diri terpisah dengan yang lainnya, meskipun keakuan selalu ada ketergantungan pada yang lain. Timbulnya rasa keakuan karena adanya rasa ketidakcocokan, ketidakpuasan, dan ketidaksenangan dalam diri terhadap pandangan dan tindakan orang lain, misal: seseorang merasa pandagan yang dimilikinya merupakan pandangan yang paling benar dan tidak mau menerima pendapat orang lain. Keakuan akan mampu mengkondisikan seseorang untuk keras kepala semaunya sendiri tanpa memertimbangkan antara baik dan buruk. Orang yang keras kepala dan tidak mau mendengarkan pendapat orang lain sulit untuk bergaul dalam lingkungan masyarakat maupun dalam sebuah organisasi.
Ego Merusak Diri, Mengotori Citra Diri
Ego is just like dust in the eyes, without clearing the dust, we can’t see anything clearly. So clear the Ego and see the world. (Ego seperti debu di mata, tanpa membersihkan debu, kita tidak bisa melihat apa pun dengan jelas. Jadi bersihkan Ego dan lihatlah dunia.)
Too much Ego will kill your talent. Terlalu banyak ego bisa membunuh bakat;
Leave the Ego, otherwise everyone would leave you. Tinggalkan Ego, kalau tidak semua orang akan meninggalkanmu.
The Ego is not who you really are. The Ego is your self-image; The Ego is your character mask. Ego bukan siapa Anda sebenarnya. Ego adalah citra diri Anda; Ego adalah topeng karakter Anda.
Ego is just a small three letter word, which can destroy a big twelve letter world called relationship. Ego hanyalah kata tiga huruf kecil, yang dapat menghancurkan hubungan dua belas huruf besar yang disebut relasi hubungan. You’re stuck in an ego trap if you:
- Fell superior to others/self righteous;
- Think you’re more spiritual;
- Believe you know it all;
- Refuse to learn from others;
- Compare yourself to others/jealousy;
- Think you are better;
- Fell people think and be like you.
Anda terjebak dalam jebakan ego jika Anda:
- Merasa lebih tinggi dari orang lain / merasa diri yang paling benar;
- Berpikiran Anda lebih spiritual;
- Percaya Anda tahu semuanya;
- Menolak untuk belajar dari orang lain;
- Bandingkan diri dengan orang lain / cemburu;
- Berpikir Anda lebih baik;
- Merasa orang orang berpikiran dan menjadi seperti Anda.
You think that you are your ego-and that your ego is you. That is mistake! Anda berpikir bahwa Anda adalah ego — dan bahwa ego Anda adalah Anda. Itu kesalahan!
Pada umumnya orang bodoh, hatinya masih penuh khayalan dan kesadarannya masih rendah. Mereka masih belum memahami realita kebenaran. Bahwa, manusia awam senantiasa dipermainkan’ kepalsuan aku’, ‘khayalan aku’ tidak menembusi ‘Kebenaran Aku’, sehingga ego khayalnya tumbuh berkembang dan diaplikasikan ke dalam kehidupan dan pergaulan, sehingga rasa egoismenya terus berkembang dan mengakar dalam benaknya. Akibatnya orang-orang tersebut maunya benar sendiri dan maunya menang sendiri, harapannya semua orang mau menuruti dia, sehingga banyak orang menjadi tidak suka dan sulit mendapatkan kawan. Orang yang memiliki rasa ego yang tinggi sulit bisa hidup damai dan bahagia. Walupun mungkin ia bisa hidup sukses, tapi karena sifat sang aku dan egonya melambung tinggi, otomatis ia haus dan dahaga dengan ketenaran, kekuasaan, keuntungan, kekayaan, kenikmatan dan pelayanan. Bila semua ini sudah dimiliki, orang-orang tersebut tidak kenal cukup dan tidak pernah puas, sehingga batinnya lelah dan bingung terjerat dengan khayalan yang melambung tinggi.
Pada dasarnya orang yang egois memiliki sifat serakah meskipun tidak selalu nampak serakah. Orang egois sebetulnya menyimpan ketakutan, kekhawatiran. Dia takut kehilangan apa yang menjadi miliknya atau haknya maka itulah dia tidak rela kehilangan sedikitpun yang sudah menjadi miliknya. Dia takut sekali, maka dikatakan orang yang egois sebetulnya mempunyai kebutuhan yang besar akan ketenteraman atau keamanan.
Egois adalah : “Orang yang tidak peduli dengan kepentingan orang lain, yang di dipikirkan hanyalah kepentingannya sendiri.” Dari pengertian itu, pernahkah kita sadari sering kali kita merasa bahwa yang terpenting kita terbebas dari masalah, kita tidak peduli bagaimana orang lain akan mengalami kesulitan karena kita. Pada saat kita berada dalam situasi yang berat, apakah kita pernah berpikir bahwa kalau kita melakukan hal itu ternyata orang lain yang kita rugikan? Meskipun kita melakukan nya untuk kebaikan kita sendiri?
Penyebab orang memiliki sikap egois yang besar adalah:
Merupakan kelanjutan dari apa yang telah diterimanya selama ini. Misalnya sejak kecil ia dijunjung dan diutamakan, ia tidak pernah disalahkan dan senantiasa dibenarkan, orang seperti ini sewaktu dia dewasa, dia menuntut perlakuan yang sama dari semua orang. Dan dia akan gagal mengembangkan satu keterampilan yang sangat penting, yakni berempati yang artinya adalah menempatkan diri pada posisi orang lain, melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain, merasakan sesuatu dari perasaan orang lain. Dalam hal ini anak tunggal cenderung juga untuk egois, karena anak tunggal tidak harus mengalah.
Timbul dari kebutuhan, kebutuhan emosional, kebutuhan finansial atau kebutuhan jasmaniah. Artinya anak-anak ini bertumbuh dalam lingkungan yang minus, kurang mendapatkan gizi-gizi emosional, perhatian, kasih sayang dari orangtuanya atau hidupnya susah sekali secara finansial atau jasmaniah. Meskipun tidak selalu, anak-anak yang dibesarkan dalam kekurangan yang begitu besar kalau tidak hati-hati akan menjadi orang dewasa yang sangat haus atau lapar akan pemenuhan. Sehingga waktu dia menerima, waktu dia mencicipi dia tidak bisa melepaskan, tapi ini tidak semua.
Ciri-Ciri Pribadi yang Egois
- Sulit mengenal apalagi memahami orang lain, walau sering berinteraksi, sehingga yang ada sering terjadi salah paham.
- Kecenderungannya ingin atau minta dipahami orang lain, tetapi tidak mau tahu dan tidak mau memahami orang lain.
- Merasa paling benar sendiri, sementara orang lain selalu salah.
- Merasa paling banyak kontribusi dan jasanya, sehingga menganggap kecil kontribusi orang lain, bahkan tidak diperhitungkan.
- Lebih dahulu meminta hak dari pada melaksanakan kewajibannya.
- Lebih suka minta dilayani dari pada melayani orang lain.
- Merasa paling berhak mengatur sehingga sulit diatur atau sulit mematuhi aturan yang telah disepakati bersama.
- Merasa terganggu jika ada campur tangan pihak lain, karena merasa jadi kurang leluasa geraknya.
- Mengecilkan Ide ide orang lain, karena merasa superior, sehingga dianggap tidak berguna masukan dari lainnya.
- Merasa nikmat yang telah diterima terlalu kecil, sehingga kurang berterimakasih dan kurang bersyukur.
- Jika mendapat musibah atau cobaan merasa paling sengsara, disakiti, menderita, terpuruk dan sebagainya.
- Senang dan sibuk mencari kesalahan orang lain, senang mencari kambing hitam, sampai melupakan kesalahannya sendiri.
- Sulit mencari teman yang cocok, sehingga hanya sebagian kecil orang saja yang bisa memahami dan melayani dirinya yang bisa dijadikan teman.
- Sering mengkotak kotak orang lain dengan vonis kawan atau lawan, musuh atau teman, pembela atau penghianat dan seterusnya.
- Hanya dapat melihat dari sudut pandangnya; tidak dapat melihat dari sudut pandang orang lain, apalagi merasakan apa yang orang lain rasakan. Jadi, tidak mudah untuk berdiskusi dengannya karena ia akan berusaha keras agar kita menuruti pendapatnya
- Hanya memikirkan kepentingan pribadinya; jadi, apa yang dikerjakannya selalu untuk kepentingan pribadi, bukan murni untuk kepentingan orang lain. Ia tidak mengenal makna pengorbanan dan ketulusan; semua hal
diperhitungkan berdasarkan untung-ruginya. - Hanya membicarakan pekerjaannya, teman-temannya, perasaan dan segala sesuatu yang menyangkut tentang dirinya sendiri
- Sangat senang dengan standar ganda, semua peraturan dianggap hanya untuk orang lain, bukan untuk dirinya.
Dampak Sifat Egois
Sifat egois ini bisa berdampak negatif yang selalu hadir di dalam hidup kita. Seperti; merasa diri selalu benar dan hebat, suka membantah bila dinasehati, tidak suka mendengarkan sesuatu yang baik yang disampaikan, hidup yang terlalu bebas tanpa aturan dan larangan, memuaskan diri sendiri, suka merugikan orang lain, tidak perduli dengan orang-orang dan lingkungan disekelilingnya, dan semua hal negatif pada diri kita yang akan hadir dengan jelas.
Coba kita pikirkan, bila kita memiliki sifat-sifat negatif seperti itu berarti sifat egois kita lah yang mengendalikan hidup kita sepenuhnya tanpa kita sadari. Semuanya menjadi serba tak terkendali dan tak terkontrol, bahkan tak bisa dihentikan oleh diri kita sendiri maupun orang lain. Yang pada akhirnya akan berakibat kerugian pada diri sendiri dan orang lain, seperti; musibah, bencana, permusuhan, pertengkaran, kriminalitas, dan pasti diri kita akan ditinggalkan oleh orang-orang terdekat dan disekeliling kita.
Bila kita tahu hal-hal tersebut tidak pernah ada baiknya, tapi kenapa masih banyak manusia di dunia ini dari dahulu sampai akhir kehidupan ini tetap tidak perduli dengan sifat egois yang negatif yang terus mengendalikan diri ini bahkan membiarkan semua sifat egois yang negatif itu terus hidup dan berkembang di dalam diri kita? Ya, hanya diri kita sendirilah yang bisa menjawab dengan jelas semuanya, sekaligus untuk memperbaikinya.
Disatu sisi sifat egois itupun bisa berdampak positif. Seperti; terlalu ingin melindungi orang yang penting didalam hidup kita demi keselamatannya, suka mengatur untuk kebaikan, tidak suka melihat hal-hal yang tidak baik, selalu berusaha walaupun sering mengalami kegagalan, bertekad untuk berhasil walaupun halangan maupun rintangan berbahaya sekalipun yang menghadang, membantah untuk sesuatu yang tidak baik dan berdampak buruk, dan semua hal positif yang lainnya.
Sifat egois ini merupakan sifat yang dapat kita kendalikan dengan kesadaran yang penuh dan akan berdampak keuntungan bagi diri kita dan orang lain, seperti; keselamatan, keberhasilan, kesuksesan, kasih sayang dan kepedulian serta kepekaan terhadap orang lain dan lingkungan.
Segala sesuatu tercipta/terjadi karena adanya sebab akibat. Kondisi dunia ini memiliki dua sisi, positif dan negatif, hitam dan putih, kebaikan dan keburukan, keuntungan dan kerugian, dan banyak hal lainnya. Semuanya ini menjadi pilihan hidup kita masing-masing, manakah sifat egois yang pantas hadir di dalam diri kita dan mana sifat egois yang harus kita buang serta singkirkan dari dalam diri kita sebelum semuanya menjadi penyesalan pada akhirnya.
Sudah banyak contoh yang jelas dapat kita lihat karena dampak dari sifat egois, dan ternyata lebih banyak berdampak buruk serta kerugian dalam hidup ini. Jadi, gunakanlah akal dan pikiran kita yang kita miliki sebagai anugerah terbesar untuk manusia agar kita dapat menentukan semua pilihan selama kita masih bisa bernafas.
Dampak Pribadi Egois
Di antara sifat yang bisa merusak Team Work, Organisasi dan Kebersamaan adalah Sifat egois. Orang yang egois akan selalu mendahulukan kepentingan pribadi diatas kepentingan bersama, karena itulah kita harus mewaspadainya, supaya sifat itu tidak ada pada diri kita
Lingkungan sulit menerimanya karena tidak ada usaha darinya untuk menyesuaikan diri. Daripada terjadi konflik, pada umumnya lingkungan akan menghindar berelasi dengannya sehingga ia terpaksa hidup dalam kesendirian. Malangnya, makin terkucil, makin ia menganggap bahwa lingkunganlah yang salah. Pada akhirnya orang yang egois hidup dalam kesendirian, mengalami kesepian dan terasing.
Lingkungan pun sulit untuk mempercayainya sebab lingkungan menilai ia tidak tulus. Semua yang dikerjakannya cenderung dinilai mempunyai maksud tersembunyi di belakangnya. Pada akhirnya relasinya dengan sesama terhambat dan makin hari makin sedikit orang yang bersedia berelasi dengannya. Kalaupun berelasi, relasi yang terjalin merupakan relasi timbal-balik, tanpa ketulusan dan pengorbanan.
Harapan, usaha, doa dan keikhlasan, serta kerendahan hati yang harus kita tanamkan dalam hidup kita agar kita bisa melangkah kesatu titik kebaikan yang bisa membawa kita untuk mengendalikan semua sifat egois yang hidup didalam diri ini. Jadilah diri kita sendiri walau dengan banyak kekurangan, tapi tak merugikan orang lain.
Upaya Membuang Sikap Egois:
Kita mesti memahami sumber sikap egois kita, apakah sumbernya adalah karena kelebihan, kita terlalu banyak menerima sehingga kita menuntut orang memberikan yang sama.
Bertanya, jika orang berada pada posisi saya, apa yang akan mereka lakukan. Saya nggak berkata jika saya berada pada posisi orang, sebab orang yang egois akan berkata kalau saya berada pada posisi orang, saya akan begini dirinya lagi yang muncul, jadi harus dibalik. Pertanyaan ini bertujuan untuk menempatkan diri pada posisi orang, melihat dari kaca mata orang, merasakan dari perasaan orang, sebab itulah yang telah mati dalam hidupnya.
Belajar dan praktikkan ajaran Buddha untuk membimbing hidup kita, Dasarnya semua makhluk memiliki Hakikat Buddha, hanya melepaskan khayalan, (aku dan dharma/kondisinya), melepaskan keterbalikan cara pandang dan pikiran manusia yang sempit dan dangkal, melepaskan kemelekatan dalam segala hal, maka kesadaran murni atau kesadaran tunggal ini akan mencuat keluar. Agama Buddha mengajarkan sebab akibat. Untuk itu, janganlah berpikir egois dan serakah, apa yang bisa saya dapatkan, melainkan belajarlah apa yang saya bisa berikan. Ini adalah kebijaksanaan dan lakukan kebaikan dan kebajikan untuk peroleh kebahagiaan dalam kehidupan sekarang maupun kehidupan selanjutnya.
Pahami hukum Tilakkhana (Tiga corak umum), yaitu: Anitya/ketidak-kekalan; Anatta tanpa kepemilikan, dan Dukkha semua yang berkondisi tidak memuaskan. Bila ini sudah dipahami dan diresapi, amalkan dalam kehidupan sehari-hari untuk mengikis SANG AKU yang khayal dan EGO yang melambung tinggi..
Ego Dalam Pandangan Buddhis:
凡夫迷执之我, 外道妄执神我, 二乘寂灭无我, 菩萨随机假我, 如来法身真我。
(Orang awam takhayul dan melekat kepada sang aku; Aliran sempalan khayal dan melekat mendewakan sang aku; Dua yana (dua jenis praktisi hinayana) sunyi nirvananya sang aku; Bodhisattva mengikuti kondisi memunculkan kepalsuan aku, Tathagata memiliki Dharmakaya kebenaran aku.)
Buddha menyatakan dalam Anattalakkhaṇa Sutta tentang konsep Anatta, bahwa;
“O para bhikkhu, bagaimanakah pandangan kalian terhadap tubuh jasmani, perasaan, persepsi, bentuk-bentuk pikiran, dan kesadaran indra, apakah hal ini kekal (nicca), atau tidak kekal (anicca)?”
“Tidak kekal bhante,” jawab para bhikkhu.
Apakah sesuatu yang tidak kekal itu kebahagiaan (sukha), atau penderitaan (dukkha)?”
“Penderitaan, bhante.”
“Sekarang, sesuatu yang tidak kekal, penderitaan, dan senantiasa berubah itu, apakah patut dipandang sebagai, ‘ini milikku, ini aku, ini diriku.?”
“Tidak patut, bhante.”
Di dalam Sutra Delapan Kesadaran Agung, disabdakan: “Ketidaklanggengan merupakan ciri segala sesuatu di alam semesta. Alam semesta adalah berbahaya dan rapuh, akan mengalami kehancuran. Badan jasmani yang terdiri atas empat unsur pokok (mahabhuta) berkaitan dengan penderitaan dan kekosongan (sunya). Gabungan lima faktor kehidupan (Pancaskandha/lima agregat) tidak memiliki suatu pribadi (ego) yang nyata. Adalah merupakan suatu hukum bahwa segala sesuatu yang berkondisi akan timbul dan lenyap. Sama sekali tidak ada penguasaan atas badan jasmani dan objek-objek duniawi. Karenanya, hati merupakan akar kejahatan serta melekat pada objek-objek duniawi, menjadi tempat bersembunyinya dosa dan kejahatan. Dengan melihat semua fenomena dari sudut ini, sedikit demi sedikit kita akan membebaskan diri dari penderitaan kelahiran dan kematian”.
Setelah melihat kenyataan ini, untuk apa kesombongan dan kebanggan diri? Kenapa bisa ‘delapan penjuru angin’ senantiasa mempermainkan dan mengacaukan diriku? (delapan penjuru angin adalah: untung-rugi, sukses-gagal, dicela-dipuji, bahagia-derita) . Bila ada khayalanm pemikiran Sang Aku, otomatis tumbuh berkembangnya Sang Ego, adanya sang Ego maka kecenderungan adalah semua kesukaanya ingin Di Yalayi dan me-MILIKI, semua ambisi harus tercapai dengan cara apapun. Terjebak dengan konsep Milikku maka melekatlah dan terjeratlah dalam kehidupan fana dan maya ini akibatnya mengalami siklus kelahiran dan kematian yang berulang dan sulit berakhir. Semua bisa terjadi karena orang tersebut masih khayal belum sadar dan bijaksana.
Urusan Hidup dan mati adalah masalah terbesar bagi manusia. Seperti kita pahami, saat kita lahir tidak bawa bentuk materi apapun, begitupula saat kita meninggal dunia, tiada satupun materi termasuk tubuh kita yang selama ini kita rawat, sayangi dan kita gunakan tidak bisa ikut serta. Apalagi semua kondisi lain kepemilikan dan titel, kekuasaan , ketenaran, reputasi harta, dan keluarga hanya menjadi kenangan tidak bisa dibawa mati. Yang dibawa mati adalah kesadaran dan karmanya untuk melanjutkan kehidupan barunya yang sesuai karmanya. Orang bodoh hanya terpaku kepada urusan duniawi saja, tapi orang bijak berjuang mengatasi kelahiran dan kematiannya yang berulang-ulang. Orang yang egonya tinggi sulit belajar pelepasan dan praktik Buddhadharma secara tulus, tekun berkesinambungan. Karena waktunya habis terbuang sia-sia untuk khayalan dan kenyamaan Sang Ego, menyalurkan nafsu-nafsunya, ditambah sibuk dalam usaha dan melindungi kepemilikannya. Orang bodoh terpaku dan sibuk mengembangkan ego dan nafsunya, sedangkan orang bijak leluasa dan sibuk mengembangkan kebijaksanaan dan welas asih nya untuk kebahagiaan semua makhluk.
Bhagavan Buddha bersabda: “Semua penderitaan bermula dari khayalan, prasangka dan keras kepala yang timbul dari khayalan. Penderitaan akan mengikuti sebagai hasilnya”. Saat manusia mencari kebahagiaan dari nafsu eksternalnya, kesenangan ini akan menjadi sumber derita. Kita adalah apa yang kita pikirkan. Bagaimana jadinya kita, semua timbul dari pikiran kita. Kita menciptakan dunia ini berdasarkan persepsi kita sendiri. Kita terjerat dan terkurung oleh dunia materi, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran dan kesadaran, sehingga saat kita bicara atau bertindak dengan pikiran yang tidak benar. Akibatnya kekhawatiran dan penderitaan akan mengikuti kita, seperti halnya roda mengikuti sapi yang menarik pedati. Pikiran kita mempertajam pandangan kita tentang dunia. Saat kita senang, kita melihat bunga tersenyum dan awan tertawa gembira. Tetapi saat kita sedih, kita mendengar angin terisak dan laut menangis nyaring.
Hanya pikiran kita sendiri yang dapat mengubah pandangan terhadap dunia luar. Kalau kita memeluk kebencian, kita mungkin akan lebih membenci. Memeluk kasih akan membuat kita lebih mengasihi. Memeluk kegembiraan akan secara otomatis membawa kita hidup yang penuh kegembiraan. Intensitas penderitaan itu secara proposional tergantung pada seberapa dekat kita berhubungan dengan benda-benda dan penggunaan perasaan kita? Jika kita tidak melekat kepada benda-benda, dan perasaan kita tidak sensitif dan cengeng maka kita tidak mengalami penderitaan. Karenanya bisa dikatakan bahwa penderitaan itu tidak memiliki tempat apabila kita tidak mementingkan diri sendiri. Keserakahan, kebencian, khayalan dan nafsu adalah badai yang paling buruk yang selalu dikobarkan umat manusia, juga penyebab paling besar dari rasa sakit dan penderitaan yang di alami manusia. Tugas yang paling penting dalam menjaga pikiran kita, ialah membasmi keempat deraan (keserakahan, kebencian, khayalan dan nafsu) itu sampai ke akarnya.
Hidup itu berharga. Bisa hidup sehat, normal dan selamat adalah merupakan anugerah yang tiada taranya. Hidup bila diisi dengan kebajikan dan menumbuh kembangkan kebijaksanaan adalah berkah kemuliaan.
Realitanya kelahiran mengarah kepada kematian. Adanya sebab tentu mengarah kepada akibat. Hukum universal ini tidaklah pernah berubah atau hilang. Kita harus menerima konsekuensi atas semua sebab yang telah kita perbuat. Kita telah dilahirkan di dunia ini dan pada akhirnya harus menghadapi kematian. Oleh sebab itu, kita harus melindungi diri, menggunakan bakat dan kesempatan kita untuk berbuat baik. Orang bijak telah mengetahui kebenaran ini dan mempraktikkannya dengan sungguh-sungguh tanpa takut menghadapi kematian. Orang awam biasanya hanya mengembangkan secara keliru dan berlebihan terhadap kesadaran diri yang khayal sehingga timbullah egoisme “Sang Aku”, akibatnya selalu haus untuk mengejar ketenaran dan keberuntungan dalam hidup mereka. Hati mereka hanya berkhayal dan bermimpi kapan ‘AKU’ bisa kaya, dan di muliakan oleh banyak orang? sehingga rakus mengejar dan mencari uang yang cuma bisa membeli lebih banyak nafsu, akibatnya sepanjang hidup diperbudak oleh uang dan nafsu untuk memiliki kekayaan materi yang tidak pernah terpuaskan.
Hasil yang kita peroleh dari mendapatkan barang-barang duniawi tidak akan memuaskan keserakahan kita, hanya terlihat kesenangan sesaat. Segera setelah itu kesenangan itu berlalu berganti memunculkan penderitaan lebih lanjut. Kenapa bisa demikan? Karena kita akan selalu mencari yang lebih baik dan takut kehilangan apa yang sudah diperoleh. Akhirnya mereka memutarbalikkan arti dan tujuan hidup, dan menyia-nyiakan kesempatan hidup atau merusak kehidupan yang berkualitas. Buddha Bersabda: “Mengejar kesenangan duniawi adalah penyebab kesengsaraan manusia”. Para bijaksana hanya berjuang mencapai Kebuddhaan dan peduli kepada keselamatan dunia beserta isinya, tidak mau menukar hidupnya dengan ketenaran dan keberuntungan yang hanya bersifat maya dan sekejab saja.
Kita memiliki hati, dan hati kita adalah tuan dari semua tindakan dan membimbing kita ke mana kita pergi. Bila hati benar tindakan kita ikut benar, hati sesat tindakan kita jahat, hati sunya derita juga lenyap, hati suci surga disekeliling kita. Perbuatan salah yang di dorong oleh hati kita adalah hal yang paling menyakitkan. Tindakan mulia oleh cetusan hati adalah hal yang paling menguntungkan. Semua manifestasi, entah baik atau jahat, semuanya berasal dari hati kita. Kita sendiri yang akan yang akan memperoleh keberuntungan atau kesakitan dari manifestasi hati kita masing-masing.
Orang senang dan bangga bila menyatakan tentang “AKU” dan mengharapkan semua bakal jadi “MILIKKU”. Tapi sebenarnya kita sendiri tidak dapat mengontrol kelahiran, kesehatan, penyakit, dan kematian kita. Juga kita tidak bisa mendisiplinkan indera, nafsu, kemarahan, ketakutan, kebencian dan keserakahan kita. Lalu bagaimana kita dapat menyebut si “AKU” yang sebenarnya tidak dapat mengontrol dirinya sendiri sebagai “MILIKKU?” Jangan berpegang pada konsep “AKU” dan “MILIKKU” dalam setiap hubungan baik fisik maupun mental. Saat kita tak lagi memiliki konsep “AKU” dan “MILIKKU” dalam diri kita, kita tidak akan merasakan sakit dan menderita yang diciptakan oleh Ego dan kebodohan sendiri. Orang bijak mendisplinkan pikiran mereka, dan praktik utamanya ialah tidak terjebak dan melekat kepada konsep “AKU” dan “MILIKKU” sehingga tidak bodoh dan menjadi egois. Secara bertahap mungkin kita dapat mendisiplinkan si “AKU”. Perlu diketahui, bahwa manusia mempunyai dua sisi sang “AKU” yang berbeda. Sisi pertama adalah “AKU yang dilihat orang lain, sedangkan sisi kedua adalah “AKU yang berada dalam jiwa kita sendiri. Saat kita sendirian, adalah paling baik bagi “AKU” dalam jiwa kita muncul. Jangan takut sendirian, ini adalah waktu yang tepat untuk berkomunikasi dengan diri sendiri dan waktu yang tepat untuk memurnikan pikiran, melepas ‘AKU yang khayal妄我’, gunakan ‘AKU yang Sunya/kosong 空我’ dan kembangkan ‘Kebenaran Aku 真我‘.
Keserakahan adalah api yang bisa membakar tubuh kita, kebencian adalah iblis yang bisa melukai pikiran kita, dan khayalan dapat menimbulkan penderitaan bagi mental kita karena ketidak-seimbangan dari lima kumpulan eksistensi diri kita. Satu-satunya jalan untuk mengakhiri penderitaan dan mencapai kegembiraan ialah memadamkan pengertian “AKU KHAYAL/EGO” dan “MILIKKU”. Tidak membiarkan adanya pemikiran yang bersifat ilusi atau lamunan, adalah satu-satunya jalan untuk mencapai kegembiraan yang tidak berkondisi untuk memperoleh ketenangan dan merawat kesehatan jasmani dan rohani. Di dalam Sutra Hati, disabdakan: dapat sunyakan/kosongkan pancaskandha (rupa tubuh, perasaan, pikiran, pencerapan dan kesadaran) semua derita lenyap adanya.
Perlu di sadari, bahwa “Manusia memiliki Hakikat Buddha, berpotensi jadi Buddha dan kelak bakal jadi Buddha”. Bhagavan Buddha bersabda: “Kegembiraan adalah sumber dari segala pencerahan yang membuka kebijaksanaan”. Makna Buddha berarti “Maha Sadar” atau “Maha Tahu”. Sadar akan kebenaran universal dan tahu membuka kunci kebijaksanaan. Namun sebelum kita menemukan kebijaksanaan, pertama kali kita harus menemukan kegembiraan dan sebelum menemukan kegembiraan, maka kita harus menemukan diri kita sendiri. Dalam rangka mencapai tingkat pencerahan tertinggi kita harus terlebih dahulu mengerti diri kita sendiri, mengendalikan diri, mengembangkan potensi diri dan juga hubungan kita dengan ruang dan waktu. Jalur perbaikan spiritual ditujukan untuk menuju kebijaksanaan mutlak. Kita akan memahami bahwa ada dua bentuk kebenaran mutlak, bentuk yang pertama ialah mencapai pencerahan di tengah-tengah penderitaan; sedangkan bentuk yang kedua ialah menghargai arti hidup dalam kegembiraan. Tentu awal nya kegembiraan itu kita bangkitkan tapi untuk jangka panjang kita harus memahami kegembiraan berkoneksi dengan penderitaan. Bagaimanakah kegembiraan yang sejati? Hyang Buddha bersabda: “Semua aktivitas tidaklah kekal, adalah Dharma timbul lenyap. Timbul lenyap sudah lenyap, itulah kebahagiaan Nirvana”.
Demikian artikel ‘Marilah Kita Bersama-sama Berjuang Mengalahkan Sang Ego’ ini dibuat, semoga dipahami dan bermanfaat. Semoga semua makhluk menyadari realita kebenaran segala sesuatunya, dan hiduplah sesuai kebenaran dengan bijaksana. Akhir kata semua makhluk berbahagia, svaha, Amituofo.