Upacara Pengorbanan dalam Perspektif Buddhis

“Sukhakāmāni bhūtāni, yo daṇḍena vihiṃsati;
Attano sukhamesāno, pecca so na labhate sukhaṃ.
Orang yang mencari kebahagiaan untuk dirinya sendiri dengan cara menyiksa makhluk lain yang juga sama-sama menginginkan kebahagiaan, Tidak akan memperoleh kebahagiaan di dunia ini maupun di dunia berikutnya”(Dhp. 131).

Pendahuluan

Upacara pengorbanan sampai sekarang ini masih menjadi ritual tersendiri bagi kepercayaan-kepercayaan tertentu. Dipercaya bahwa dengan melakukan pengorbanan seseorang akan mendapatkan jalan kemudahan di dunia ini dan setelah kematian. Dengan kata lain, upacara pengorbanan dilakukan untuk mendapatkan pahala. Pahala yang didapat dari melakukan pengorbanan adalah untuk diri sendiri atau untuk sanak keluarga yang sudah meninggal. Upacara pengorbanan ini umumnya melibatkan hewan-hewan kurban untuk disembelih. Sebagai salah satu agama yang diterima di negara Indonesia, Buddhisme diminta untuk memberikan pandangan bagaimana upacara pengorbanan menurut Buddhis.

Apakah ada upacara pengorbanan menurut Buddhis? Dengan dasar itu, artikel ini akan menguraikan tentang upacara pengorbanan dalam perspektif Buddhis dengan merujuk pada literatur Tipitaka Pāli.

Upacara Kurban

Istilah kurban dalam bahasa Pāli disebut yañña atau yāga dan dalam bahasa Sansekerta disebut yajña atau yāga. Ini digunakan untuk mendeskripsikan ritual pemujaan atau pemberian sesuatu kepada dewa-dewa dan terkadang kepada makhluk bukan manusia seperti Ayah (pitṛs) dan makhluk setengah dewa (bhūta). Pengorbanan semacam ini merupakan ritual utama dalam tradisi Brahmanisme. Dengan berkembangnya sistem penyaluran jasa kepada sanak kelurga yang meninggal, upacara pengorbanan (yāga) semakin popular di kalangan masyarakat. Para brahmana semakin mendapat kekuatan karena upacara pengorbanan harus dilakukan dengan bantuan para brahmana. Di sini brahmana berfungsi sebagai perantara antara manusia dengan dewa-dewa, tanpa bantuan mereka upacara pengorbanan hanyalah sia-sia. Selain itu, yāga tidak bisa dilakukan hanya dengan satu brahmana, tetapi minimal empat kelompok brahmana. Mereka antara lain: Hotru adalah brahmana yang mempersiapkan upacara pengorbanan; Udgatru adalah brahmana yang mengundang para dewa untuk menerima yāga dengan melafalkan pujian Veda; Advargu adalah brahmana yang memegang kekuatan untuk mengurus apabila terjadi kesalahan dalam proses yāga; dan brahmna yang bertanggung jawab atas segala sesuatu dalam upacara pengorbanan.

Dalam literatur Buddhis, upacara pengorbanan besar-besaran yang dilakukan oleh brahmanisme disebut Mahayañña. Terdapat lima jenis pengorbanan yang dilakukan oleh para brahmana yaitu pengorbanan kuda (assamedha atau aśvamedha), pengorbanan manusia (purisamedha atau puruṣamedha), minuman penguat (vājapeya atau vācapeya), membuang pasak (sammāpāsa atau samyaprāsa atau somaprāsa), menarik anak panah (niraggala).

Upacara Pengorbanan Menurut Buddhis

Buddhisme juga memiliki ajaran tentang pengorbanan dan cara melakukan pengorbanan yang baik. Pengorbanan menurut Buddhis bukanlah pengorbanan yang melibatkan pembunuhan dan merusak ekosistem. Kūṭadanta Sutta, Dīgha Nikāya memberikan uraian menarik tentang topik pengorbanan menurut Buddhis (D. I. 127). Dikisahkan Brahmana Kūṭadanta bermaksud untuk melakukan upacara pengorbanan dengan 700 ekor sapi, 700 ekor kerbau, 700 ekor anak sapi, 700 ekor kambing jantan dan 700 ekor domba. Dia telah mendengar bahwa petapa Gotama memahami bagaimana cara melakukan pengorbanan tiga macam pengorbanan dengan enam belas perlengkapannya dengan berhasil. Setelah pergi untuk menemui Buddha bersama dengan para brahmana yang lain, dia mengajukan pertanyaan tentang bagaimana melakukan pengorbanan.

Buddha menceritakan kisah tentang Raja Mahāvijita yang bermaksud untuk melakukan pengorbanan besar-besaran. Raja itu memanggil brahmana penasihat raja (purohita) dan menyampaikan keinginannya untuk melakukan pengorbanan. Penasihat raja menasihatinya untuk melakukan pengorbanan tanpa setetes darah yang tumpah. Pengorbanan harus dilakukan dengan kedermawanan dan kemoralan. Pengorbanan yang dianjurkan oleh Buddha bukanlah pengorbanan yang mengakibatkan banyak makhluk mati, banyak pohon ditebang untuk upacara pengorbanan, dan banyak pekerja tersiksa dan menangis ketakutan karena harus melakukan hal yang tidak mereka kehendaki. Berdasarkan tingkat manfaatnya, pengorbanan yang dianjurkan Buddha antara lain:
Berdana kepada para petapa atau bhikkhu yang bermoralitas baik.
Membangun vihara atau tempat tinggal untuk bhikkhu saṅgha yang datang dari berbagai penjuru.
Belindung pada Buddha, Dhamma, dan Saṅgha dengan hati yang bersih.
Mempraktikkan lima aturan kemoralan: menghindari pembunuhan, pencurian, perbuatan asusila, berbohong, dan minum-minuman keras.
Meninggalkan keduniawian di bawah bimbingan Buddha, mempraktikkan sila, mencapai tingkatan-tingkatan jhāna, mencapai kebijaksanaan, dan menghancurkan segala bentuk kekotoran batin.

Dalam Dutiyaaggi Sutta dari Aṅguttara Nikāya, Buddha juga memberikan catatan penting mengenai upacara pengorbanan (A. IV. 41). Dikisahkan Brahmana Uggatasarīra ingin melakukan upacara pengorbanan. Terdapat 500 sapi, 500 banteng, 500 anak sapi, 500 kambing, 500 biri-biri jantan yang sudah siap untuk dikorbankan. Ia datang untuk menemui Buddha dan meminta petujuknya agar mendapatkan kesejahteraan dan kebahagiaan dalam waktu yang lama. Buddha mengatakan bahwa bahkan sebelum pengorbanan itu dimulai, seseorang telah mengacungkan tiga pisau yang tidak bermanfaat dan memiliki penderitaan sebagai akibatnya; pisau jasmani, ucapan, dan pikiran. Dengan berpikir untuk membunuh sekian banyak hewan, walau sesungguhnya ia berpikir untuk melakukan kebaikan, tetapi dengan melakukan pengorbanan semacam ini ia malah melakukan kejahatan. Walau ia berpikir dengan cara ini ia melakukan perbuatan yang bermanfaat, tetapi sebenarnya perbuatannya sama sekali tidak membawa manfaat. Walau ia berpikir bahwa dengan cara ini ia akan mendapatkan kelahiran yang baik setelah kematian, tetapi apa yang ia lakukan sebenarnya malah menuntunnya ke alam penderitaan. Buddha menganggap pengorbanan yang melibatkan pembunuhan makhluk hidup sebagai hal yang tidak bermanfaat dan akan membawanya menuju kehidupan yang penuh penderitaan. Oleh karena itu, Buddha tidak menyetujui pengorbanan dengan cara membunuh makhluk-makhluk hidup.

Ketika Brahmana Ujjaya bertanya kepadaNya apakah ia memuji upacara pengorbanan, Buddha menjawab bahwa beliau tidak menolak pujian pada segala bentuk pengorbanan. Beliau berkata lebih lanjut bahwa Beliau tidak memuji pengorbanan kejam di mana ternak, kambing, domba, ayam, dan babi bunuh; di mana berbagai makhluk digiring untuk disembelih. Tetapi Beliau menyetujui pengorbanan yang tidak melibatkan pembunuhan makhluk-makhluk hidup dan pengorbanan yang dipersembahkan melalui kebiasaan keluarga (niccadānaṃ anukulayaññaṃ. A. II. 42). Alasannya karena seorang Arahat dan orang yang telah memasuki jalan kearahatan tidak pernah melakukan pengorbanan yang kejam. Mereka tak pernah melakukan pembunuhan atau segala bentuk kekejaman. Pengorbanan kuda, pengorbanan manusia, vājapeya, sammāpāsa, niraggala, adalah pengorbanan yang penuh dengan kekejaman dan tidak akan memberikan manfaat yang besar (A. II. 43).

Buddha menyebut orang yang melakukan pengorbanan kejam dengan membunuh makhluk-makhluk hidup sebagai orang-orang yang menyiksa diri sendiri dan menyiksa makhluk lain (attantapa parantapa. A. II. 207). Praktik semacam ini tidak diterima oleh Buddha karena itu adalah praktik keagamaan yang tidak berguna bagi diri sendiri maupun orang lain. Apapun bentuk kekejaman tidak akan memberikan manfaat bagi diri sendiri maupun orang lain. Buddha mengatakan bahwa orang yang mencari kebahagiaan dengan cara menyiksa makhluk lain yang sama-sama juga menginginkan kebahagiaan, tidak akan memperoleh kebahagiaan di dunia ini maupun di dunia berikutnya (Dhp. 131). Sebaliknya orang yang mencari kebahagiaan dengan tidak melakukan penyiksaan terhadap makhluk lain akan memperoleh kebahagiaan di dunia ini maupun berikutnya (Dhp. 132).

Buddha menginterpretasikan pengorbanan sebagai memberi atau berdana. Kata yañña, dāna, dan dakkhiṇa memiliki arti yang sama menurut interpretasi Buddhis. Sebagai contohnya dalam Niddesa, yañña diinterpretasikan sebagai deyyadhamma atau sesuatu yang pantas untuk diberikan (yañño vuccati deyyadhammo Nd. II. 523). Dalam Kūṭadanta Sutta Buddha menyebutkan pengorbanan yang akan memberikan manfaat yang besar adalah dengan berdana kepada para petapa atau bhikkhu yang bermoralitas baik dan membangun vihara atau tempat tinggal untuk bhikkhu saṅgha yang datang dari berbagai penjuru (D. I. 144-145). Sebagai tambahan, ketika seseorang memiliki kekayaan yang diperolehnya dengan cara yang benar, seseorang dapat menggunakannya untuk memberikan lima pengorbanan yang ditujukan kepada sanak keluarga, tamu, leluhur, raja, dan para dewa (A. II. 68). Singkatnya, pengorbanan Buddhis adalah berdana kepada orang yang pantas.

Seperti yang telah dibahas di atas, Kūṭadanta Sutta menunjukkan bahwa Buddhisme memberikan interpretasi pengorbanan bukan sebagai ritual. Buddhisme bukan hanya memberikan interpretasi yañña dari segi etika, tetapi juga dari segi spiritual. Secara bertahap pengorbanan Buddhis adalah berdana yang kemudian disusul dengan mempraktikkan moral hingga pencapaian tujuan dengan terbebasnya segala bentuk kekotoran batin (D. I. 145-147).

Kesimpulan

Buddhisme tidak menolak semua jenis pengorbanan. Buddhisme hanya menolak pengorbanan yang mengakibatkan terbunuhnya makhluk-makhluk hidup lain, pengorbanan yang kejam dan merusak ekosistem. Bagi Buddhisme, pengorbanan adalah bentuk berbuat baik dengan cara berdana, mempraktikkan kemoralan, hingga mencapai tujuan untuk melenyapkan segala bentuk kekotoran batin. Pengorbanan yang demikian bukan hanya bermanfaat bagi diri sendiri, tetapi juga memberikan manfaat kepada makhluk-makhluk lain. Makhluk-makhluk lain berhak untuk hidup bebas sebagaimana kita mengingingakan hidup bebas terhindar dari ketakutan untuk dibunuh. Dengan begitu, perbuatan baik yang diperoleh dengan cara yang baik ini dapat disalurkan kepada sanak keluarga yang telah meninggal.

Referensi:

Aṅguttara Nikāya: The Numerical Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publication, 2012.
Dhammapada: The Buddha’s Path of Wisdom. Trans. Ācarya Buddharakkhita. Kandy: Buddhist Publication Society, 2007.
Dīgha Nikāya: The Long Discourses of the Buddha. Trans. Maurice Walshe. Boston: Wisdom Publications, 2012.
Malalasekera, G. P. (founder editor-in chief). 2011. Encyclopaedia of Buddhism. Vol. VII. Sri Lanka: Departement of Buddhist Affairs.
…………….,……………………………………….
*500 Kelahiran Disembelih *

Suatu hari, ketika Sang Buddha sedang menetap di Jetavana, beberapa orang bhikkhu bertanya apakah ada manfaat mengorbankan kambing, domba, dan hewan-hewan lainnya untuk merayakan memberi makan kepada orang-orang yang telah meninggal.

“Tidak, para Bhikkhu,” jawab Sang Buddha. “Tidak ada manfaat yang didapat dari mengambil nyawa, bahkan saat ditujukan untuk memberi makan kepada orang-orang yang sudah meninggal.” Setelah itu, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
————————————-
Pada zaman dahulu kala, ketika Brahmadatta masih memerintah di Baranasi, seorang brahmana memutuskan untuk mengorbankan seekor kambing untuk perayaan memberi makan untuk orang-orang yang telah meninggal. “Anak-anakku,” katanya kepada siswa-siswanya, “Bawa kambing ini ke sungai dan mandikan serta sikat bulunya. Kemudian, gantungkan rangkaian bunga di lehernya, beri makan biji-bijian, lalu bawa kembali ke saya.”

“Baik, tuan,” kata para siswanya yang kemudian membawa kambing tersebut ke pinggir sungai.

Ketika mereka sedang merapikannya, tiba-tiba kambing itu mulai tertawa dengan suara keras seperti panci yang dijatuhkan. Kemudian anehnya, ia mulai menangis tersedu-sedu.

Para siswa muda pun terheran-heran dengan perilaku kambing ini. “Kenapa kamu tiba-tiba tertawa,” tanya mereka, ”lalu sekarang kamu menangis dengan tersedu-sedu?”

“Ulangi pertanyaan itu saat kita kembali ke gurumu,” jawab si kambing.

Para siswa lalu dengan cepat membawa si kambing kembali ke guru mereka dan memberitahukannya apa yang barusan terjadi di pinggir sungai. Setelah mendengar cerita mereka, si guru sendiri menanyakan si kambing mengapa ia tiba-tiba tertawa lalu menangis.

“Pada suatu waktu yang lalu, brahmana,” kata kambing tersebut, “Saya adalah seorang brahmana yang mengajarkan Weda, persis seperti kamu. Saya juga mengorbankan seekor kambing sebagai persembahan saat perayaan memberi makan orang-orang yang sudah meninggal. Gara-gara membunuh seekor kambing itu saja, kepala saya dipenggal sudah 499 kali. Saya tadi tertawa keras karena menyadari bahwa inilah kehidupan terakhir saya sebagai hewan korban. Di lain sisi, saya menangis karena menyadari bahwa karena membunuh saya, kamu pun nanti akan dipenggal kepalanya sebanyak 500 kali. Karena merasa kasihan, makanya saya menangis.”

“Kambing,” kata brahmana, “kalau begitu kejadiannya, saya tidak akan membunuhmu.”

“Brahmana!” seru si kambing. “Tak peduli kamu membunuh saya atau tidak, saya tidak bisa terlepas dari kematian hari ini.”

“Jangan khawatir,” si brahmana menenangkan si kambing. “Saya akan melindungimu.”

“Kamu tidak mengerti,” kata si kambing. “Kamu tidak akan bisa melindungiku. Kekuatan karma buruk saya sangatlah kuat.”

Si brahmana kemudian melepaskan ikatan kambing tersebut dan berkata kepada para siswanya, “Jangan biarkan siapapun menyakiti kambing ini.” Mereka semua lalu dengan patuh mengikuti hewan itu untuk melindunginya.

Setelah si kambing dibebaskan, ia pergi mencari makan. Saat kambing itu menjulurkan lehernya untuk meraih semak-semak yang tumbuh di atas sebuah batu besar, seketika itu juga petir menyambar batu itu, sehingga sekeping kecil batu yang tajam melayang di udara dan langsung memenggal kepala kambing tersebut. Orang-orang pun berkerumun mengelilingi kambing mati itu dan mulai berbicara tentang kejadian mengherankan ini.

Seorang dewa pohon yang telah menyaksikan semua kejadian; mulai dari saat kambing itu dibeli sampai kematiannya yang dramatis, menasihati kerumunan orang yang berkumpul di sana: “Jika saja kita mengetahui bahwa akibatnya adalah dilahirkan kembali dalam keadaan menderita, maka tidak akan ada yang mau mengambil nyawa makhluk lain. Malapetaka yang mengerikan menanti mereka yang membunuh.” Dengan penjelasan tentang hukum karma ini, dewa tersebut menanamkan benih ketakutan terhadap neraka dalam hati semua orang yang mendengar. Sebegitu takutnya mereka, sehingga mereka menghentikan praktik mengorbankan hewan sepenuhnya. Sang dewa pun kemudian mengajarkan sila-sila kepada orang-orang tersebut dan mendorong mereka untuk berbuat baik.

Pada akhirnya, dewa itu pun meninggal dunia dan terlahir di alam bahagia. Selama beberapa generasi setelah kejadian ini, orang-orang tetap setia menjalankan ajaran dewa tersebut dan menghabiskan hidup mereka dengan berdana dan berbuat baik, agar nantinya dapat terlahir kembali di alam surga.

Sang Buddha kemudian mengakhiri kisah ini dengan mengaitkan kehidupan masa lampau-Nya. “Pada saat itu, Saya adalah dewa pohon itu.”