Pencerahan Pikiran

(Oleh YM Bhiksu Tadisa Paramita Mahasthavira)

Kelahiran umat manusia di dunia Saha ini disebabkan pengaruh kesadaran dan terjerat karmanya sendiri, sehingga rupa, kondisi jiwa raga, juga lingkungan satu sama lain berbeda. Walaupun setiap makhluk berbeda ciri dan kondisi, tetapi semua makhluk tersebut pada dasarnya memiliki hakikat Tathagata yang sama. Dikaruniakan kearifan dan pahala unggul, dikarenakan tergerus khayal penciptaan, dan terjerat batin yang bergejolak, maka hakikat Kebuddhaannya terbenam oleh khayal dan terbungkus oleh ego, nafsu dan karmanya. Kecenderungan umat awam batinnya masih gelap dan melekat kepada ketahayulan, belum memahami kebenaran mutlak. Tidak mengetahui karakteristik jati dirinya dan fenomena hatinya sehingga tergerak dan bergejolak memunculkan segala pikiran dharma dan bayang-bayang ilusi yang tidak nyata. Sehingga dirinya dipermainkan oleh berbagai kondisi luar maupun dalam. Misalnya: munculnya pikiran diskriminasi yang terjadi pasang surut sehingga setiap aktivitas terjebak corak dan memberi nama, mengandalkan nama melekat kepada ciri, apa yang dilekatkan tidak realita, maka disebut pikiran khayal. Ditambah lagi berkembangnya pikiran jungkir-balik, antara lain: terjebak kondisi tubuh adalah murni, terjebak bentuk perasaan adalah menyenangkan, terjebak nuansa hati adalah berketetapan, terjebak segala dharma adalah milikku, sehingga manusia awam cenderung berperilaku bodoh, berkubang nafsu dan dilanda badai derita.

Tingkah dan pola kehidupan manusia berasal dari sebab-akibat produk pikirannya sendiri. Hukum dasar pikiran adalah: “Apa yang dilihat anda bisa merasakan; Apa yang di rasakan anda bisa pikirkan; Apa yang di pikirkan anda bisa menginginkan; Apa yang di inginkan anda bisa lakukan; Apa yang sudah di lakukan anda membentuk karma; Sebab karma apa yang sudah dilakukan anda pewaris akibatnya”. Pikiran yang di arahkan secara keliru akan menyebabkan kerugian yang sangat besar. Kenyataan buah pikiran walaupun sepele dan tidak berarti, jika di ikuti akan menyelewengkan pikiran. Jika saja tidak dikendalikan cara berpikir dan tidak di tatanya buah pemikiran tersebut, maka pikiran tersebut tidaklah efektif, selalu berubah-ubah, timbul lenyap silih berganti dan mengembara berlari ke sana-sini. Apabila kecenderungan ini berkelanjut terus menerus, umumnya orang tersebut menjadi plin-plan, lengah, dan sembrono. Akibat adanya akumulasi pikiran kacau dan perbuatan bodoh yang berkesinambungan maka dapat merusak kehidupan sekarang, kelak menjerumuskan dirinya ke tiga alam celaka.

Munculnya semua dharma disebabkan permainan hati yang menampakkan dan menjelmakan. Memahami nuansa hati sesungguhnya tidak nyata sedangkan menampakkan hakikat jiwa Buddha realitanya ada. Hati pada dasarnya tidak ada kondisi hati, karena hakikat hati karakteristiknya sunya, walaupun sunya tapi tidak lenyap. Kenyataan hati tidak terlihat oleh kasat mata tapi bisa menampakkan mimik, sikap dan perilaku yang dapat memunculkan segala sesuatu berdasarkan kondisi. Menampakkan adalah hati, sunya adalah hati, memahami adalah hati, galau juga adalah hati. Timbul adalah hati, lenyap juga adalah hati. Mengetahui adalah hati, tidak mengetahui juga adalah hati. Hati demikian dipermainkan oleh fenomena dualitas sehingga batin berkecamuk dan bergelora memunculnya berbagai khayalan dan redupnya kearifan.

Hati dalam ajaran Buddhis disebut sebagai Panca Skandha (terdiri dari: rupa, perasaan, pikiran, pencerapan dan kesadaran). Pahamilah bahwa: “Semua karma berasal dari aktivitas hati;  Hati khayal yang menampakkan; Hati diskriminasi yang membedakan ciri; Hati melekat yang menjelmakan; Hati bodoh yang membuat derita; Hati bijak yang menetralisirkan; Hati sunya lenyaplah fenomena; Hati murni bebas dari rintangan dualitas; Hati cerah menerangi segala realita kebenaran sebagaimana adanya”.

Pikiran adalah pemimpin segala sesuatu. Ketika seseorang mengerti pikiran, maka ia memahami segala sesuatu, karena segala sesuatu di dunia diciptakan oleh pikiran. Jikalau pikiran terganggu, maka berbagai hal (persoalan) timbul; Jikalau pikiran ditenangkan, berbagai persoalan pun lenyap. Meskipun diliputi kotoran, pada hakikatnya pikiran itu abadi, jernih, murni dan bukan merupakan subyek bagi perubahan. (Prajna Paramita-sutra & Mahayana-sraddhotpada-sastra)

Pikiran itu pada dasarnya bercahaya, namun objek-objek eksternal mencemari pikiran, melalui pengaruh berbagai indera, dan kekotoran batin. Begitupula segala keadaan mental memiliki pikiran sebagai pelopor. Pikiran adalah pemimpin, dan semua kondisi di ciptakan oleh pikiran. Bila dibangun pemikiran yang baik adalah memperbaiki nasib, akan tetapi bila diselewengkan menjadi pemikiran yang buruk adalah merusak nasib. Bila pikiran ini dilatih dengan tepat, tujuan hidup dapat dicapai. Jika sebaliknya pikiran ini tidak dilatih, sehingga liar, khayal, dan jahat, kehidupan berada dalam bahaya. Karena itulah, oleh pikiran dunia dipimpin, oleh pikiran dunia digerakkan, dan segala hal yang baik dan buruk, ada di dalam dunia karena pikiran.
Pada hakikatnya tiada yang salah dengan pikiran kita. Intinya pikiran ini begitu murni dan tenang. Pikiran kita menjadi kacau karena selalu mengikuti suasana hati. Pikiran menjadi tidak tenang atau gelisah karena tertipu dan dipermainkan oleh kondisi hati. Sesungguhnya ia tidak memiliki apa-apa di dalamnya. Segala fenomena yang ditangkap dan diproduksi oleh pikiran bagaikan impian, ilusi, ombak, bayang-bayang, embun dan halilintar tidak nyata dan tidak diperoleh. Pikiran dapat membentuk segala imajinasi dan fantasi menciptakan berbagai pemikiran namun hakikat pikiran asli tetaplah tidak berubah. Umumnya, pikiran umat awam tidak terlatih cenderung liar dan bodoh, hingga rangsangan-indera datang menerpa dan menjeratnya dalam berbagai dimensi bahagia, derita, suka atau duka, itupun bukan pikiran. Mereka hanyalah suasana hati yang datang memperdaya. Pikiran yang tidak terlatih akan hanyut dan tenggelam mengikuti mereka, lupa akan hakikatnya dan lalu berpikir bahwa memang kitalah yang sedang bersedih, jenuh, gembira, dan sebagainya. Produk dari pikiran bisa saja menjadi tambang emas, sebaliknya bisa menjadi timbunan sampah bagi pemiliknya. Adanya hambatan pikiran khayalan inilah telah menggangu umat manusia dan membuatnya mengembara selamanya.

Sesungguhnya pikiran orisinil ini berada dalam keadaan tenang  (benar-benar tenang) seperti sehelai daun yang tenang selama tiada angin berhembus, tapi bila angin datang, ia akan bergoyang. Dedaunan bergoyang karena ditiup angin. Pikiran bergoyang disebabkan pengaruh rangsangan-indera, menuruti ajakannya. Jika kita tidak menurutinya, karena mengetahui hakikat pengaruh-pengaruh itu tidak nyata, tidak peduli atau tidak tergganggu, maka pikiran tidak akan bergoyang dan berkelana. Bila pikiran dilatih menjadi terkendali, tenang dan damai pasti menunjang kesejahteraan mental dan fisik.

Praktik yang baik sesungguhnya ditujukan untuk penelaahan hakikat pikiran yang alamiah bersifat murni. Kita musti melatih pikiran untuk mengetahui pengaruh dan rangsangan indera agar tidak terhanyut di dalamnya. Hanya dengan latihan teguh yang tidak mudah ini, kita akan memperoleh hasil. Umat awam pada umumnya pikirannya belum kokoh dan tenang, cenderung liar, binal dan bergelombang lari sana lari sini, sehingga tidak mempunyai energi Samadhi, yaitu ketenangan yang terpusat hasil dari latihan meditasi. Tetapi meditasi bukanlah suatu cara untuk membuat pikiran menjadi tenang. Meditasi adalah cara untuk masuk ke dalam ketenangan yang sudah ada–yang terkubur di bawah 50.000 bentuk pikiran yang dipikirkan rata-rata orang setiap hari. Seorang praktisi yang ingin mencerahkan pikirannya kembali maka ia harus mulai mempraktikkan konsentrasi, yaitu: memfokuskan pikirannya kepada satu objek dengan menyadari subjek, bila dilaksanakan terus yang berkesinambungan maka akan menjadi tenang. Di tingkatkan menjadi murni, di kembangkan lagi menjadi pencerahan. Jika di lanjutkan pelepasan total maka hati akan terbebas dari segala hal itulah pembebasan mutlak.

Kebuddhaan, kebodohan, kebebasan, kelahiran dan kematian, nirvana dan samsara. Semuanya tak terpisahkan dan tidak berbeda. Kita dapat berbicara soal menghapus kebodohan dan mencapai pencerahan, tetapi ketika benar-benar mengalami pencerahan, kita akan menyadari bahwa kebodohan dan Kebuddhaan adalah satu dan sama. Jika kebodohan dan Kebuddhaan terpisah sendiri-sendiri, maka orang yang bodoh tidak akan pernah menemukan kebodohan, ia akan tetap berada dalam kebodohan dan tidak dapat mencapai pencerahan. Dalam transformasi dari kebodohan menuju Kebuddhaan, kita akan menyadari bahwa kebodohan itu sesungguhnya tidak ada. Seorang praktisi  yang mengerti prinsip ini tidak akan berjuang untuk “menyingkirkan kebodohan dan mencari Kebuddhaan”.

Surga dan neraka berada dalam benak pemikirannya dan di aktualisasikan oleh sikap dan perilakunya sendiri. Apabila pikiran manusia dapat dikembang dengan baik mudah untuk mengalami kebahagiaan, dan bilamana disalahgunakan, pikiran dapat menjerumuskan penderitaan ke neraka. Kemalangan hidup manusia berasal dari tiga racun (keserakahan, kebencian dan kebodohan) yang dapat disamakan dengan candu. Saat dirangsang oleh mereka, kita mengalami kepuasan dan kenikmatan semu yang sementara, berkembang menjadi ketagihan dan kemelekatan yang menimbulkan gelora hawa nafsu. Banyak manusia yang terlena dan terbenam dari lumpur tiga racun ini, sehingga mengalami penderitaan kelahiran dan kematian yang berulang-ulang di dalam siklus tumimbal lahir yang tidak berakhir. Kenyataan ungkapan keindahan atau keburukan adalah ekpresi batin yang terjebak, melekat dan terikat.

Bila hati kita sedang sedih karena kecewa dengan kenyataan yang tidak sesuai harapan. Bila hati kita senang karena mendapatkan apa yang kita inginkan. Kala sedang jatuh cinta, batin kita terpaut oleh rupa, dipermainkan oleh perasaan, dibakar oleh emosi dan digelapi oleh nafsu, sehingga pasangan anda menjadi perwujudan dari emosi dan perasaan kita. Saat jatuh cinta atau putus cinta, batin kita umumnya dikotori oleh emosi tiga racun (keserakahan, kebencian atau kebodohan). Perlu waktu dan upaya untuk melupakan manis dan getirnya rasa cinta. Ketahuilah, berbagai bentuk pikiran dan perasaan harus di bimbing secara tepat dengan akal sehat, kalau tidak, bila mereka meledak dalam tindakan, maka empunya yang memiliki perasaan dan pikiran sendiri tidak akan mampu mengendalikannya. Hanya orang bijak akan menjadi tuan dari pikirannya dan tidak mudah tergerus oleh ulah pemikirannya sendiri. Sedangkan orang bodoh senantiasa dipermainkan oleh kondisi pikiran  dan menjadi budak dari pemikirannya sendiri.

Untuk mengalami pencerahan bisa sepanjang kalpa, sesingkat satu pemikiran.
Metode yang cepat adalah ambil semua pikiran-pikiran, yaitu: kebaikan, keburukan atau perbedaan dan lepaskan mereka semua. Jika kita dapat melakukan hal ini, kalian akan langsung cerah. Jika dapat mencapai keadaan pikiran dimana tidak ada diri, tidak ada yang lain, tidak ada diskriminasi, tidak ada makhluk hidup, tidak ada Buddha. Maka kita akan menyadari realita sejati dari segala sesuatu.

Melatih diri, pertama-tama harus membebaskan diri dari masa lalu dan masa depan. Jika dapat menjaga pikiran tetap berada di saat ini, maka kita telah sungguh-sungguh mendapatkan tenaga dari kekuatan dari latihan ini. Dengan kekuatan itu kalian dapat membebaskan diri dari masa sekarang juga. Jika kalian terbebas dari waktu, kalian juga terbebas dari ruang. Ruang dan waktu, seperti Panca Skandha adalah khayal. Jika sesuatu diri muncul, apakah diri kecil, diri besar atau diri universal, maka keserakahan, kebencian dan kebodohan juga muncul. Ketika kalian sudah bebas dari ruang, waktu, Panca Skandha atau diri, maka kita sudah terbebas dari penderitaan siklus tumimbal lahir yang berulang-ulang.

Ajaran Dharma masih dibutuhkan selama masih adanya khayal ‘Sang Aku’, tetapi bila ‘Ego Sang Aku’ sudah lenyap untuk apa Dharma itu? Pada Akhirnya Dharmapun harus dilepaskan, hanya perlu dibabarkan untuk menyadarkan dan menolong semua makhluk. Kearifan transenden bukan datang dari pembelajaran melainkan dari dari intuitif kita. Berkembangnya Bodhicitta dari pelepasan pandangan dan pikiran bernuansa subyektif diri maupun obyektif dharma. Tujuan melatih diri adalah untuk bisa bangun dari mimpi kehidupan, melepaskan segala khayal, ilusi dan delusi, menemukan hakikat jati diri, yaitu: hakikat Kebuddhaan. Memahami hakikat diri berarti terjaga dari mimpi yang mengecewakan. Bila saat kita benar-benar sadar, seolah-olah alam semesta pun lenyap. Akan tetapi, sebenarnya bukan alam semesta, melainkan dirilah yang lenyap saat kalian mencapai pencerahan. Pada saat mencapai pencerahan, kalian sadar dari mimpi dan latihan pun lenyap. Meskipun latihan itu cuma khayal, namun diperlukan agar kita terbangun. Sebelum memahami hakikat diri, ada hubungan sebab dan akibat antara latihan dan pencerahan, sehingga memerlukan latihan menuju pencerahan. Pada tingkatan pencerahan, bagaimanapun juga tidak ada lagi latihan.

Nirvana tidak bergerak, dan tidak terpisah dari kita. Bagaimana kita mendapatkan dan kehilangan nirvana. Setelah pencerahan, tidak ada yang diperoleh ataupun lenyap. Sesudah pencerahan saat cermin bebas dari debu, kita sadar bahwa pikiran atau debu itu tidak ada. Cermin hanyalah sebuah bayangan diri yang semu, dan debu adalah kekecewaan di mana diri yang semu ini terikat. Cermin sejati tidak memantulkan suatu diri ataupun penderitaan; sesungguhnya cermin sejati bukanlah cermin.

Kebuddhaan bukan sesuatu yang dicapai dengan latihan. Kebuddhaan bukanlah sesuatu yang diciptakan atau suatu pencapaian. “Pikiran adalah Buddha”, sehingga gagasan pencapaian Kebuddhaan lewat latihan tidak bermakna sama sekali. Kebuddhaan berarti sadar sepenuhnya terhadap realita kebenaran. Orang-orang berpikir bahwa saat seseorang mencapai pencerahan, penderitaan lenyap dan kebijaksanaan diperoleh. Sebenarnya setelah pencerahan sempurna, tidak ada yang tersisa, baik kebijaksanaan maupun penderitaan. Jika tak ada penderitaan maka tak ada kebijaksanaan; Hanya jika orang masih memiliki penderitaan, kebijaksanaan itu perlu ada. Sebenarnya diri itu semu, kebijaksanaan dan Kebuddhaan hanya ada selama seseorang bergantung pada gagasan diri. Saat diri lenyap, tidak ada kebijaksanaan atau pencapaian apapun. Akan tetapi untuk makhluk hidup yang belum mencapai pencerahan, kebijaksaaan itu benar-benar ada dan Buddha sungguh-sungguh menyelamatkan makhluk hidup.

Ketika kita berlatih, buanglah semua gagasan tentang penderitaan dan kebijaksanaan, pencerahan dan Kebuddhaan. Jangan tertarik pada kemajuan atau kemunduran. Singkatnya berlatihlah demi latihan itu sendiri. Latihan dengan sikap semacam itu merupakan kemajuan sendiri. Semua ingatan, pengalaman, gagasan dan sikap yang bergabung membentuk karma, dan karma adalah kekuatan yang mengikuti kemanapun kita pergi.

Kebuddhaan adalah kekosongan, tetapi kekosongan bukan berarti tidak ada. Kekosongan artinya segala sesuatu tidak kekal. Keberadaan subjektif maupun objektif terus berubah silih berganti, tidak ada yang tidak berubah atau disebut tidak permanen. (sesuatu yang ada terus-menerus berubah). Hakikat yang terus –menerus berubah ini adalah hakikat Buddha. Pencerahan adalah menyadari hakikat diri sendiri serta dunia yang kosong dan sementara. Jika kita dapat hidup dalam kekosongan dan tidak terikat padanya, itulah yang disebut “Tidak berdiam di dalam keberadaan maupun kekosongan”. Meskipun segala sesuatu terus muncul, tidak ada suatu diri yang melekat pada apapun. ‘Tidak tinggal di dalam keberadaan dan tidak tinggal di dalam kekosongan adalah pencerahan’. Saat tingkat latihan ini disempurnakan, ia disebut “Penerangan Sempurna atau Kebuddhaan”.
Seorang praktisi tidak dapat menemukan hakikat Buddha lewat kata-kata, logika atau intelektual. Kita harus menyadari seperti apa yang dilihat oleh Hyang Buddha. Jika kita sudah melihat hakikat sejati, kita tidak akan mampu menjelaskan atau menganalisanya.

Bukan ada hati, bukan pula tiada hati. Bukan tidak melihat, bukan pula tidak mendengar. Setiap momen diketahui dan disadari tapi tidak menjadi pengetahuan yang cenderung melekat kepada apa yang di lihat dan di dengar. Tiga periode hati tidak diperoleh, secara natural semua hanya berlalu tidak terikat, ini dinamakan hati tanpa hati. Bila hati tidak terikat, maka khayal bagaimana terbentuk?. Bila khayal tidak muncul semua rintangan lenyap adanya.

Bertanya hati datang dari mana, karena ada fenomena ia terbangkit. Fenomena realitanya tidak ada bagaikan ilusi dan bayang-bayang. Tapi kegunaan hati begitu ajaib bagaikan seluas pasir sungai gangga. Semua kondisi disebabkan fenomena hati yang muncul. Bila hati murni, tanah suci berada disekitarnya; Hati bajik surga berada disekelilingnya; Hati jahat kurungan neraka seketika memenjarakannya. Bilamana kondisi hati sudah sunya sunyi, seketika muncul ‘ketiadaan.’ Tidak timbul adalah realita dari semua ciri, bukan bisa dilihat dengan mata atau pandangan. Dengan kontemplasi yang mendalam diketahui adanya energi Kebuddhaan, siapa yang menembusi disebut cerah dan dikatakan sudah menampakkan hakikat jadi diri. Perolehan demikian tidak bisa dimohonkan, hanya hati terfokus tenang kepada satu objek. Bila sudah konsentrasi penuh satu objek maka seketika hati akan kembali tenang, murni dan cerah. Tiada hati tiada kebodohan, seketika di namakan Maha Dhyana (ketenangan tinggi). Praktisi yang peroleh Maha Dhyana, tidak tergerak maupun tidak diam, tidak diperoleh pun tidak kehilangan, tiada riang pun tiada benci, dasarnya tidak muncul bagaimana ada fenomena? Bila memunculkan hati untuk manfaat bagi semua, tetap tidak berubah walaupun mengikuti kondisi, sehingga ia tidak terjerat kelahiran dan kematian. Mempraktikkan satu jalan dengan hati tidak berjalan, inilah praktik jalan Buddha, hanya demikian direalisasikan.  ***