Menciptakan Surga Di Dunia

Oleh Buntario Tigris, SH, SE, CN.

Kalau berbicara surga, yang ada dipikiran kita semuanya adalah kehidupan setelah kematian. Hampir semua ajaran agama menceritakan kehidupan di surga yang penuh dengan kebahagiaan. Surga adalah suatu tempat yang dijanjikan bagi orang yang berbuat baik, sedangkan neraka tempat sebaliknya buat menghukum orang-orang jahat.

Imajinasi kita disurga adalah tempat yang indah, penuh kebahagiaan, tiada kesedihan, segala keinginan dapat dipenuhi. Penghuni surga mempunyai rupa yang cantik rupawan, tiada kekurangan apapun, tiada perlu bersusah payah bekerja untuk mencari materi, tiada penyakit, tiada kebencian dan ketakutan. Lingkungan indah dipenuhi dengan batu mulia nan berkilauan dan tanaman berkembang dan bermekaran tanpa mengenal musim, musik surgawi bergema merdu tiada bandingan, sungguh mengesankan, siapa yang tidak ingin kesana?.

Dulu, sewaktu teknologi belum secanggih sekarang, semua keinginan manusia tidak segila sekarang, imajinasi tersebut masih dapat membuat orang tertarik dan berangan-angan untuk ke surga, namun setelah manusia dapat menginjak bulan, ketika Armstrong astronot pertama yang menginjakan kaki dibulan dan berkata “Ini adalah suatu langkah kaki kecil manusia, tetapi lompatan besar bagi umat manusia”, maka imajinasi surga semakin merosot dan tidak lagi menjadi tujuan manusia.

Kalau kita berbicara dengan orang perihal surga, dengan ketus kita akan ditanya apakah anda pernah kesana?. Atau ah itukan teori saja. Sungguh sulit menjelaskan dan meyakinkan, satu hal kita sendiri belum pernah kesana dan tidak ada orang yang sudah mati melaporkan kembali kepada kita keadaan ditempat tersebut. Agama Buddha adalah agama yang optimis, realistis dan dapat dibuktikan. Einstein mengatakan “If there is any religion that would cope with modern scientific needs, it would be Buddhism (Jika ada agama yang sesuai dengan ilmu pengetahuan modern, maka agama tersebut adalah agama Buddha)”. Tetapi bukanlah agama Buddha senantiasa berbicara tentang penderitaan, yah benar, karena memang di alam semesta ini penderitaan tersebut sangat dominan orang kaya menderita ketakutan kehilangan hartanya dan diliputi oleh keserakahan serta sifat ketamakan yang semakin menjadi-jadi. Orang miskin menderita karena tidak dapat memenuhi keinginan mereka yang selalu muncul, karenanya mereka menjadi kikir dan bersifat ego, semua orang diliputi ketakutan dan kekecewaan berpisah dengan orang-orang yang mereka cintai.

Agama Buddha justru ingin mengungkapkan penderitaan tersebut sebagai suatu masalah yang bukannya harus dihindari, tetapi juga harus dihadapi, untuk dicari jalan keluarnya. Beberapa lama kita dapat berpura-pura bahagia ketika suatu saat penderitaan pasti datang? Mereka yang melarikan diri dari kenyataan, akan menerima penderitaan yang jauh lebih menderita daripada mereka yang realistis.

Agama Buddha realistis, pada jaman kehidupan Sang Buddha, seorang anak muda pemeluk agama lain setelah mendengarkan nasihat Sang Buddha, langsung hendak menjadi pengikut Sang Buddha, tetapi apakah Sang Buddha berbahagia mendapatkan tambahan umat? Sang Buddha meminta anak muda tersebut untuk tidak terburu-buru percaya akan suatu ajaran, tetapi harus mempelajari secara mendalam dan melihat apakah ajaran tersebut dapat membawakan kebahagiaan, dapat dibuktikan kebenarannya. Apabila kita sudah yakin akan kebenarannya, maka jadikanlah ajaran tersebut sebagai pedoman hidup. Karena ajaran Sang Buddha tersebut dapat dibuktikan kebenarannya, maka bagi manusia kalau mereka dapat melaksanakan ajarannya, mereka tidak perlu menunggu kematian dulu baru dapat ke surga, mereka dapat menciptakan surga pada kehidupan sekarang, pada saat ini!.

Pada saat mencapai pencerahan sempurna, Sang Buddha telah mengetahui dengan sejelas-jelasnya bahwa pikiran manusialah yang harus dikendalikan “Kita adalah apa yang kita pikirkan, bagaimana jadinya kita timbul dari pikiran kita”, “kita menciptakan dunia berdasarkan persepsi kita sendiri, saat kita berbicara atau bertindak dengan pikiran yang tidak benar, maka kekhawatiran dan penderitaan akan mengingkuti kita seperti halnya roda mengingkuti sapi yang menarik pedati”. ( Dharmapada)

Salah satu contoh, adalah saat kesepian merasuk kedalam pikiran kita, maka kita akan merasakan kesepian, tiada peduli kita sedang dalam kesendirian atau sedang berada ditengah konser musik Michael Jackson.
Pikiran kita mempertajam pandangan kita tentang surga, saat kita senang kita melihat bunga dan kerbau tersenyum kepada kita, saat kita susah kita dengar angin terisak dan laut menangis. Karena kekuatan pikiran tersebut yang begitu hebat, maka pikiran dapat menciptakan surga atau neraka di dunia ini.

Orang bahagia dan sukses, dengan pikiran mereka menciptakan surga. Orang yang menderita dan gagal, dengan pikiran mereka menciptakan neraka di dunia ini. karena kunci dari segalanya adalah pikiran, kita harus senantiasa menciptakan pikiran yang positif, agar dapat sukses dan bahagia. Orang-orang sukses senantiasa berpikiran positif. Mereka menilai kegagalan adalah kemunduran selangkah, agar dapat melompat tiga langkah.

Pikiran kita seperti tanah, yang memberikan zat makanan kepada apa yang kita tanam. Apabila ditanah tersebut kita tanam benih kebahagiaan, maka akan tumbuh kebahagiaan dan sebaliknya apabila benih penderitaan dan kegagalan ditanam, kita akan memperoleh buah penderitaan dan kegagalan tersebut.

Hukum karma dalam agama Buddha sering disalah tafsirkan, mereka yang berpikiran negatif senantiasa tidak bersemangat untuk berjuang, karena semua toh sudah diatur oleh karma masa lampau kita, sedangkan mereka yang berpikiran positif, akan semakin bersemangat untuk berjuang karena Hukum Karma memberikan mereka kesempatan untuk keluar sebagai pemenang, mengubah kegagalan menjadi kesuksesan.

Hukum Karma adalah Hukum Universal, apa yang kita tanam, itulah yang akan kita panen. Hukuman Karma dapat diubah dan dapat diperingan. Hukumnya yang tetap, tetapi buah karmanya yang tidak tetap (Anicca = tidak kekal). Janganlah ditafsirkan sama antara Hukum Karma dan karma itu sendiri.

Semua manusia mempunyai kekuatan yang sama untuk mencapai kebahagiaan dan kesuksesan. Kalau kita berpikir dan bertindak positif, kita akan dapat mencapai kebahagiaan, kita dapat menciptakan surga didunia. “Surga dan neraka bukannya diluar dunia ini, mereka ada didalam tubuh kita yang tingginya Cuma beberapa meter saja”. (Dharmapada)

Mengendalikan diri
Sebelum membicarakan pikiran positif, maka kunci untuk menciptakan surga didunia adalah pengendalian diri. Komponen yang membentuk dunia yang kita kenal sekarang ini adalah 5 Panca Indera ditambah pikiran dan kesadaran. 5 panca indera adalah : Mata untuk melihat bentuk; Hidung untuk mencium bau; Telinga untuk mendengar suara; Lidah untuk rasa; Tubuh/kulit untuk sentuhan.

Dari panca indera ini pikiran mendapatkan getaran-getaran dari luar yang akan direspon dengan perintah untuk tindakan-tindakan. Panca indera adalah gerbang dari segala nafsu keinginan, sedangkan pikiran dan kesadaran adalah sumber dari segala nafsu dan penderitaan. Dari hasil pengolahan data-data yang dikirim oleh panca indera, maka timbullah nafsu dan keinginan. Nafsu untuk mendapatkan kenikmatan-kenikmatan dan keinginan untuk mendapatkan lebih dan mempertahankan keadaan yang ada.

Sang Buddha mengatakan orang biasa akan dihanguskan oleh sebelas macam api yang merusak: yakni keserakahan, kebodohan dan keras kepala, kebencian dan ketidakpuasan, usia dan kematian, penyakit, duka cita, penyesalan, despresi, kesedihan dan penderitaan akibat bermacam-macam penyakit mental dan fisik.

Semua penderitaan tersebut ditimbulkan oleh pikiran kita sendiri. Karenanya adalah penting untuk mengendalikan diri. Mengendalikan diri artinya mengendalikan 5 panca indera dan pikiran/kesadaran. Dengan mengendalikan 5 panca indera, maka getaran-getaran kenikmatan dan ketidaknikmatan berkurang masuk keruangan pikiran/kesadaran. Dengan demikian mengurangi beban kerja pikiran/kesadaran.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita harus menjaga agar panca indera ini tidak terlarut dan lepas kendali terhadap kenikmatan dan ketidak-nikmatan, sedangkan pikiran dan kesadaran harus dijaga dan dimurnikan setiap saat. Nafsu hanya membawa sedikit kegembiraan dan banyak penderitaan. Dengan adanya pengendalian diri, maka secara otomatis nafsu kita juga dapat dikendalikan. “Seandainya ada gunung terbuat dari emas, dua kali lipatpun tidak akan cukup untuk memuaskan keserakahan satu orang manusia. Pahamilah hal itu dan hiduplah yang pantas”. (Samyutta Nikaya 1,117)

Bagaimana dengan pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari? Dalam kehidupan sebagai umat awam, kita banyak menghadapai kendala-kendala, tentang ketidak-tahuan dan ketidak-mengertian kita akan arti hidup ini. Kita bukannya tidak boleh mempunyai keinginan, tetapi kita harus mengendalikan nafsu dan keinginan kita, seperti seorang kusir mengendalikan kereta kudanya.

Hidup haruslah dibuat tidak berlebihan, makan tidak berlebihan, melihat tidak berlebihan mendengar tidak berlebihan, berbicara tidak berlebihan, merasakan tidak berlebihan, mencium bau tidak berlebihan, kita tidak tunduk pada panca indera ini, kita dapat mengendalikannya, kita dapat melihat semuanya dengan hati dan pikiran sadar. Kita makan tujuannya agar dapat bertahan hidup, bukan hidup untuk makan. Dalam setiap tindakan, utamakan kesederhanaan, keprihatinan.

Penulis sendiri walaupun mampu untuk makan apapun, tetapi mengendalikan diri dengan 5 hari vegetarian (senin s/d jum’at ) termasuk Uposatha dan hari besar agama.

Dengan Dharma saya mengendalikan diri dari keserakahan akan nafsu kenikmatan makanan. Melihat janganlah berlebihan, lihatlah apa yang sewajarnya kita lihat, melihat wanita cantik siapa yang tidak tertarik, tetapi lihatlah secara wajar, tanpa terikat akan nafsu, tanpa keinginan untuk memiliki, dan begitu wanita itu lewat, maka lenyaplah bayangan tersebut. Melihatlah obyek-obyek yang baik yang dapat dapat membawa kemajuan batin, sebaliknya jauhkanlah obyek penglihatan yang dapat membawa kemerosostan batin antara lain gambar-gambar porno, buku-buku cabul yang tidak membawa kemajuan batin.

Penulis belajar Dharma dengan banyak membaca buku-buku Dharma, sehingga dapat membawa kemajuan batin.

Mendengar, dengarlah yang baik, jauhkanlah pendengaran yang dapat membawa kemerosotan batin. Jauhkanlah pendengaran akan gosip-gosip dan keburukan orang lain. Mulut berbicaralah yang baik, berikanlah pujian dan jauhkan ucapan yang menyakitkan. Berbicaralah seperlunya, lebih baik satu buah tindakan nyata daripada seribu pembicaraan yang tidak bermanfaat. “Jadikanlah hari-harimu produktif, apakah sedikit atau banyak. Karena setiap siang atau malam yang berlalu, hidupmu berkurang sebanyak itu”. (Theragatha 451).

“Meskipun kita telah membaca seribu ayat dan dari naskah keagamaan, mungkin kita tidak mengerti artinya sama sekali, untuk mencapai tujuan memurnikan diri sendiri adalah lebih baik dengan jalan mengerti hanya satu ayat dan melaksanakannya”.

Merasakanlah yang sewajarnya. Kita dapat hidup dengan baik, mempunyai tempat tidur empuk, mempunyai kendaraan bagus, rumah mewah, tetapi kita tidak terikat kepada semuanya. Kita merasakan kenikmatan yang sewajarnya. Jangan kalau tidak ada AC (air conditioner) atau tidur ditempat lain yang tidak seempuk dirumah, kita marah, jalani saja hidup ini dengan sewajarnya.

Kehidupan akan bahagia apabila kita jalankan sewajarnya, tidak berlebihan tidak berkekurangan, konsep “Jalan Tengah” yang Sang Buddha ajarkan juga menyangkut kehidupan ini bagi umat awam.

Hiduplah saat ini, kewajaran tersebut artinya menerima apa adanya, kalau biasa naik mobil Mercedes, sesekali naik bemo atau becak juga tidak menjadi masalah.

Hampir semua umat awam, tidak menyadari prinsip hidup saat ini, mereka tenggelam dalam permainan hawa nafsu indera dan pikiran yang tidak terkendalikan. Dalam praktik sehari-harinya, kita menjalani kehidupan ini penuh dengan khayalan dan tidak konsentrasi.

Sewaktu kita makan, pikiran kita melayang tidak terkendali, sampai makanan selesai dimakan, kita tidak tahu apa yang kita makan. Manusia melakukan ini dan itu tetapi mereka tidak sadar dan waspada, mereka dipermainkan oleh pikiran yang tidak terkendali seperti roda pedati yang terus berputar. Manusia selama hampir seperempat hidupnya bekerja untuk mendapatkan pekerjaan (melalui sekolah dan pendidikan). Seperempat hidupnya untuk mencari kekayaan, seperempat hidupnya untuk tidur dan seperempat berikutnya mereka menuju kematian tanpa mengetahui untuk apa mereka sebenarnya hidup.

Mengendalikan pikiran berarti hidup pada saat ini, gaya hidup manusia modern hidup demikian sibuknya, mereka digilakan oleh segala macam nafsu dan keinginan, mereka berjalan terus tetapi tidak tahu kemana tujuannya. Mereka yang dapat hidup saat ini, yang tidak meramalkan masa depan dan menyesali masa lalu, berkonsentrasi penuh pada keadaan yang sedang dihadapi, kalau kita bisa menjaga dan merasakan kaki kita tetap menginjak tanah, maka secara alamiah kita akan memiliki kesehatan fisik dan mental yang baik, dan kita dapat hidup dengan sewajarnya dan penuh kedamaian.

Dengan pengendalian pikiran dari panca indera kita menciptakan dunia ini penuh kedamaian dan keindahan seperti disurga. Katakanlah kita sekarang sudah dapat hidup sewajarnya, ke lima panca indera kita sudah dapat hidup tanpa berlebihan, apakah pikiran kita sudah otomatis dapat dikendalikan, dan dapat menjadi baik?. Secara jujur, dapat dikatakan bahwa pikiran belumlah sepenuhnya terkendali, pengendalian ke lima panca indera memberikan masukan efek negatif yang berkurang kepada pikiran dan kesadaran kita, namun tidak sepenuhnya pikiran dan kesadaran tersebut terkendali.

Pikiran dan kesadaran perlu dimurnikan, dilatih agar tetap konsisten dan tidak melayang kemana-mana. Pikiran seperti kuda liar, yang walaupun sudah ditangkap, tetapi melonjak-lonjak untuk melepaskan diri. Cara mengendalikan pikiran dan kesadaran adalah dengan berlatih meditasi. Duduklah diam selama 20 menit setiap hari, dan kita akan mampu melihat diri kita lebih jelas dan terang, kita akan mampu berkata “Oh ini pikiran yang liar itu”.

Kita mampu menangkapnya, paling tidak menyadari diri kita dan menyadari pikiran dan kesadaran itu sendiri. Meditasi adalah cara agar kita dapat memurnikan pikiran kita. Masalah waktu memang menjadi kendala bagi sebagian umat awam, tetapi alasan tiada waktu adalah alasan klasik untuk kemalasan. Untuk 20 menit bagi pemurnian pikiran dibandingkan 24 jam untuk memanjakan dan mengingkuti pikiran yang liar, suatu perbandingan yang tidak memadai! Saya harus melatih meditasi, suatu keputusan yang tidak perlu lagi untuk dipertimbangkan dan dijadikan alasan. Laksanakan sekarang, duduklah dan diam, perhatikan nafas keluar masuk, perhatikan dengan konsentrasi (sati), jangan bergerak walau ada kejadian apapun. Kejadian dapat menunggu selesainya anda bermeditasi. Pelajari buku-buku meditasi dan praktikkanlah, sekarang kita berbicara dengan kita sendiri. Ok, saya perlu 20 menit minimum dari waktu 24 jam, jangan ganggu saya. Percayalah setelah melaksanakan dengan penuh ketekunan, pengendalian panca indera dan meditasi, akan membuat anda lahir sebagai manusia baru, di dunia ini, disurga ini, tempat hidup itu indah dan penuh arti.