Rangkaian Dan Makna Perayaan Imlek
Oleh Josh Chen
Kita sering mendengar, mengucapkan dan membaca kata IMLEK. Konotasi kata Imlek adalah Chinese New Year, betul? Sebenarnya apa arti Imlek itu?
Kata Imlek adalah bunyi dialek Hokkian yang berasal dari kata Yin Li (阴历, baca: IN LI) yang berarti “penanggalan bulan” alias lunar calendar. Penanggalan China berdasarkan peredaran bulan di tata surya sehingga disebut dengan Yin Li. Sementara penanggalan yang kita kenal sekarang, dan dipakai luas seluruh dunia disebut dengan Yang Li (阳历) di dalam bahasa Mandarin, artinya adalah “penanggalan matahari”.
Imlek dikenal juga dengan Nong Li (农历, bacanya: nung li), yang artinya “penanggalan petani”, di mana hal ini bisa dimaklumi, sebagian besar orang jaman dulu adalah bertani. Para petani tersebut mengandalkan kemampuan mereka membaca alam, pergerakan bintang, bulan dan benda angkasa yang lain untuk bercocok tanam. Apalagi di China yang terdapat 4 musim, perhitungan tepat dan presisi harus handal untuk mendapatkan pangan yang cukup.
Perayaan Chinese New Year sebenarnya adalah perayaan menyambut musim semi yang disebut dengan Chun Jie (春节, baca: juen cie), yang artinya “menyambut musim semi”. Musim semi disambut dengan sukacita karena musim dingin akan segera berlalu dan tibalah saat para petani untuk menanam lagi. Tanaman pangan terutama padi (China selatan) dan kebanyakan gandum (China utara) serta tanaman pertanian lainnya. Karena mengandalkan alam untuk kehidupan mereka, menyambut datangnya musim semi merupakan keharusan yang dirayakan dengan meriah.
Perayaan ini mulai dikenal di jaman Dinasti Xia (夏潮, sering ditulis Hsia juga, 2205 – 1766 SM). Setelah dinasti Xia runtuh, penanggalan Imlek selalu berubah sesuai dengan kemauan dinasti yang berkuasa. Biasa diambil adalah waktu berdirinya dinasti tersebut. Baru pada masa Dinasti Han (206 SM – 220 M), penanggalan semua dari Dinasti Xia diresmikan sampai sekarang dan tahun kelahiran Khonghucu ditetapkan sebagai tahun pertama. Namun saat ini di China sendiri penulisan tahun yang berdasarkan tahun kelahiran Khonghucu sudah tidak umum lagi. Misalnya Imlek tahun ini adalah tahun 2562, sudah tidak lazim lagi, tahun yang ditulis biasanya tahun 2011 saja.
Sementara itu, Taiwan juga memiliki standard penulisan tahun sendiri, yang dimulai dengan titik awal 1911 sebagai tahun nol, jadi tahun 2011 bisa jadi ditulis tahun 2000. Tahun 1911 adalah tahun berdirinya Republic of China setelah dinasti terakhir, yaitu Dinasti Qing runtuh.
Rangkaian Perayaan Imlek
Rangkaian perayaan Imlek dimulai dari seminggu sebelum Imlek, diakhiri dengan Cap Go Meh merupakan rangkaian turun temurun yang tidak banyak lagi generasi sekarang yang mengenal urutan dan artinya. Sementara generasi saya lebih parah lagi, karena berangusan Orde Baru, sehingga lebih buta masalah ini.
Tulisan ini hasil mendalami beberapa literatur, internet searching, penuturan almarhum orang tua, tulisan-tulisan tangan Papa, dan interview sekedarnya dari para tukang masak sembahyangan di Semarang.
Tukang masak sembahyangan ini biasanya kisaran umur 50 tahun ke atas dan mewarisi keahlian memasak dan kisah serta cerita di dalamnya turun temurun. Biasa mereka menerima pesanan dari keluarga-keluarga Tionghoa yang sudah tidak mengerti urutan dan tata cara segala macam perayaan, sembahyangan atau peringatan.
Imlek, Cap Go Meh, sembahyang ronde, sembahyang bakcang, cengbeng dan sebagainya, memiliki aturan dan tata cara yang sarat arti dan makna.
Pertama
Seminggu sebelum Tahun Baru Imlek – tepatnya pada tengah malam menjelang tanggal 24 bulan 12 Imlek (Cap Ji Gwee Ji Si) dimulailah rangkaian pertama sembahyangan Tahun Baru Imlek atau kerap disebut Sin Cia yaitu Persembahyangan Toapekong Naik – lazim juga disebut sebagai Sembahyang Couw Kun Kong (灶君公, Zao Jun Gong, Dewa Dapur). Sembahyangan ini adalah prosesi mengantar Dewa Dapur untuk kembali ke Istana Giok dari Kekaisaran Langit untuk melaporkan segala tingkah laku manusia penghuni rumah itu kepada Kaisar Langit. Kaisar Langit dalam kisah cerita klasik Tiongkok di Indonesia dikenal dengan nama Giok Hong Siang Tee atau Yu Huang Shang Di atau Yu Huang Da Di (玉皇上帝 atau 玉皇大帝 baca: Ie Huang Shang Ti atau Ie Huang Ta Ti).
Dewa Dapur
Dalam masyarakat pada umumnya, inti dari sebuah rumah atau sebuah keluarga adalah dapur, di mana kegiatan makan, minum, memasak, berinteraksi antara anggota keluarga, bahkan bersantai kadang dilakukan di dapur juga. Apalagi keluarga dan rumah modern sekarang, dengan design dapur yang cozy dan nyaman, akan membuat dapur menjadi sentral interaksi anggota keluarga. Dewa Dapur merupakan ‘penjaga’ rumah yang paling penting. Dalam tradisi, dipercaya semua hal, jelek – baik, akan didengar dan dicatat semua oleh Dewa Dapur dan menjelang akhir tahun akan dibawa ke ‘sidang kabinet’ Kekaisaran Langit dan merupakan ‘annual report’ masing-masing keluarga.
Kedua
Rangkaian kedua adalah sehari sebelum Sincia, tepatnya tanggal 30 bulan 12 Imlek, kembali diadakan upacara sembahyangan yang dikenal sebagai upacara Sembahyang Tutup Tahun. Sembahyangan ini khusus diadakan untuk menghormati dan memuliakan leluhur, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari ungkapan rasa Bakti (孝, Xiao, baca: siau, Hokkian: Hauw) anak terhadap Orang Tua/Leluhur.
Upacara ini merupakan wujud dari pelaksanaan ajaran moral Confusius yang bersifat humanis religius dan yang berakar kuat pada penekanan konsep bakti atau disebut xiao, dalam bahasa Inggris disebut juga filial piety. Malam ini sering disebut juga dengan Da Nian Ye (大年夜, dapat diterjemahkan secara harafiah menjadi ‘new year’s eve). Orang Hokkian di Medan menyebut dengan ‘sa cap me’ artinya adalah ‘malam tanggal 30’.
Pada malam ini kebanyakan keluarga melek semalam suntuk sampai pagi untuk menyambut tahun baru, menyalakan petasan dan kembang api untuk mengusir ‘nian’ makhluk jahat yang menurut legenda hobby makan manusia. Suara keras petasan dipercaya menakuti si nian tadi. Sekarang makin melenceng untuk sekedar keramaian dan dipercaya mengusir roh jahat. Di Indonesia, 5 tahun belakangan, setelah IBC (Indonesian Born Chinese) diperbolehkan lagi merayakan dan malah sekarang menjadi hari libur resmi nasional, makin tahun makin seru dan ramai orang menyalakan kembang api dan petasan.
Di China setahu saya, 2 malam sebelum tanggal 30 bulan 12, ada yang disebut dengan ‘xiao nian ye’ (小年夜, baca: siau nien ye) yang artinya kurang lebih adalah ‘small new year’s eve’. Yang sudah mulai dirayakan, dengan makan bersama keluarga besar, sambil menantikan segenap sanak famili berkumpul lengkap. Biasa sanak saudara yang dari jauh akan berdatangan hampir secara serentak di 2 hari sebelum Sincia. Tentu saja makan-makan sudah menjadi acara wajib. Di saat-saat seperti ini, makanan biasa tidak berhenti mengalir, yang di iringi tentu saja dengan bir, wine atau minuman beralkohol lain guna melawan dingin di tengah musim dingin yang menggigit.
Ketiga
Rangkaian ketiga adalah tepat di hari Sincia, yaitu yang disebut Cia Gwee Che It/Zheng Yue Chu Yi (正月初一), tanggal 1 bulan 1. Seluruh anggota keluarga bangun pagi, mandi (tidak yakin tapi kalo di China dalam suasana musim dingin…hehehe….), mengenakan pakaian baru, dan siap-siap sembahyang. Yang masih memiliki meja abu dan sembahyangan di rumah, mereka akan bersembahyang kepada para leluhur lebih dulu dan kemudian akan melakukan ‘bai nian’ (拜年, baca: pai nien), yaitu mengucapkan selamat tahun baru dimulai kepada yang paling tua dan berjenjang ke yang paling muda.
Meja Sembahyangan (Pameran Budaya Tionghoa – Bentara Budaya, 2009)
Jaman dulu, para kakek nenek buyut (mak-co, kong-co) yang berumur panjang akan menjadi pertama yang menerima ucapan selamat tahun baru dengan pai-pai, yaitu 2 tangan terkepal, diikuti dengan kepada kakek nenek, papa mama, paman bibi, kakak, sepupu yang lebih tua, dan seterusnya.
Biasanya pemberian angpau (红包, hongbao, artinya ‘amplop merah’) dilakukan di acara bai nian ini. Pemberian angpau dilakukan oleh yang lebih tua ke yang lebih muda, atau yang belum menikah. Sehingga misalkan pasangan muda yang sudah menikah melakukan bai nian kepada paman dan bibi mereka, biasanya mereka sudah ‘tidak berhak’ mendapatkan angpau lagi.
Mengenai pai-pai, sikap 2 tangan terkepal, kadang masih terjadi perdebatan sebenarnya tangan mana yang di atas menangkup tangan yang lain. Yang benar adalah tangan kiri menangkup tangan kanan, dengan arti tangan kanan adalah tangan yang (biasanya) aktif. Pada saat-saat penting seperti bai nian tadi, kita sebagai yang lebih muda diharapkan untuk menundukkan kepala untuk humble barang sejenak menghargai orang yang lebih tua dan menghargai orang lain dengan menangkup tangan kiri untuk ‘menutup keangkuhan’ tangan kanan. Secara singkat, sikap pai-pai tersebut adalah sikap sederhana, menundukkan dan instropeksi sesaat serta menghormat.
Walaupun demikian, masih banyak kontroversi seputar tangan mana yang menangkup. Silakan perhatikan sikap tangan masing-masing hayoooo…..hehehe…..jangan kuatir, bahkan jika anda semua tangan kanan yang menangkup tangan kiri dan merasa nyaman dengan itu, ya silakan saja, tidak ada yang melarang ataupun menghukum karena terbalik. Tulisan ini sekedar menuangkan apa yang pernah saya dengar, pernah orang tua saya menceritakan arti dari sikap pai-pai itu.
Di hari ini juga, setelah bai nian di rumah masing-masing, kemudian akan diikuti dengan kunjungan ke rumah-rumah saudara. Jika mempunyai paman dan bibi yang bejibun banyaknya, sesuai adat istiadat, kunjungan harus dilakukan dimulai dari yang paling tua ke yang paling muda. Di acara inilah biasa anak-anak sampai dengan awal remaja paling menikmati….apa itu…tentu saja angpau dan makanan enak. Angpau jelas berarti uang saku bertambah, kantong dan dompet bertambah tebal, serta makanan enak baik itu cemilan, kue, biskuit atau makan besarnya.
Mengenai ucapan yang menyertainya, bisa berbagai macam, misalnya: gong xi fa cai (恭喜发财, baca: kung si fa jai), xin nian kuai le (新年快乐, baca: sin nien guai le), atau wan shi ru yi (万事如意, baca: wan se ru ie), atau di Indonesia lebih sering terdengar kiong hie, kiong hie, sin cun kiong hie, thiam hok thiam siu (添福添壽) Pengaruh dialek Hokkian sangat kental di sini, artinya kurang lebih sama, kiong hie adalah dari gong xi, sementara sin cun kiong hie adalah dari xin chun gong xi, thiam hok thiam siu dari tian fu tian xiu. Artinya berturut-turut adalah:
• Gong xi fa cai: wish you prosperity
• Xin nian kuai le: happy new year
• Wan shi ru yi: tens of thousands matters will be accomplished/fulfilled/achieved
• Xin chun gong xi: happy spring festival (kurang pas di Indonesia)
• Thiam hok thiam siu: banyak rejeki dan panjang umur.
Di samping itu masih terjadi kesalahkaprahan di Indonesia, yaitu: gong xi fat choi atau gong xi fat chai, ini kesalahan yang paling banyak, bahkan terjadi secara serempak, terpampang di billboard di jalan-jalan, di surat kabar dan media lainnya. Kerancuan dialek Hokkian dengan dialek Konghu (Cantonese) terjadi di sini. Dalam dialek Cantonese, bunyinya memang jadi: kung hei fat choi, terjadilah kerancuan dan tumpang tindih menjadi gong xi fat choi….Selain ucapan-ucapan di atas masih banyak lagi ucapan yang artinya positif dan baik.
Keempat
Hari ke 5 bulan pertama atau yang disebut Cia Gwee Cee Go (Zheng Yue Chu Wu, 正月初五), merupakan sembahyangan Toapekong turun kembali ke bumi. Setelah naik ke langit untuk melaporkan segala sesuatu tentang kehidupan di bumi, Dewa Dapur kembali bertugas di bumi. Dipercaya saat inilah rejeki dan berkah yang dibawa serta dari Sang Kaisar Langit akan tercurah ke umat manusia. Ditambah pula turunnya Cai Shen (财神) atau dewa rejeki yang sudah mendapat tugas untuk memberikan ganjaran dan kekayaan kepada umat manusia.
Sembahyangan ini sudah jarang diketahui oleh generasi sekarang ini, dan juga sudah jarang dilakukan di rumah-rumah, bahkan di dalam keluarga yang masih kuat tata cara dan adat istiadat juga sudah jarang dilakukan. Perayaan utama biasanya adalah new year’s eve dan cap go meh saja.
Kelima
Puncak dari rangkaian Upacara Sin Cia jatuh pada tanggal 9 bulan 1 Imlek (Cia Gwee Ce Kao/Zheng Yue Chu Jiu, 正月初九). Pada hari ini ada satu upacara besar yang disebut Persembahyangan King Ti Kong (Persembahyangan Kepada Tuhan Yang Maha Besar). Sejak dahulu, di kalangan orang Tionghoa (tertentu), pada malam menjelang tibanya tanggal 9 bulan 1 Imlek ini, diadakan persembahyangan kepada Ti Kong / Thian / Tuhan secara khusus. Kata King Ti Kong sendiri adalah dialek Hokkian dari kata Jing Tian Gong (敬天公), yang artinya “menghormati Tuhan Yang Esa/Maha Besar”.
Sembahyang Tebu
Tebu melambangkan banyak hal, di antaranya: manis, simbol keberuntungan, kemakmuran, dan sebagainya, kemudian dari bentuk yang berbuku-buku, tegak lurus, dari bawah sampai atas, secara filosofi adalah untuk meraih kesuksesan, manusia harus melalui jenjang kehidupan yang dilambangkan buku-buku tebu tadi. Dan ada juga cerita bahwa sembahyang tebu ini hanya dilakukan oleh orang Hokkian, di mana kebetulan Hokkian di Indonesia menempati porsi yang cukup besar dibanding dari provinsi lain (Khek, Tiociu, dan sebagainya).
Konon, dulu di salah satu masa peperangan, sekelompok orang Hokkian dikejar para serdadu sehingga terpaksa lari dan bersembunyi di hamparan kebun tebu. Bahkan mereka harus melewatkan malam Sincia dan hari pertama Sincia yang seharusnya di rumah bersama sanak keluarga, ini malah di tengah kebun tebu. Selama bersembunyi itu, tebu-tebu itulah yang menjadi sandaran utama untuk makanan di tengah peperangan. Manisnya sari tebu menjadikan mereka tetap kuat dan bersemangat. Baru di menjelang hari ke 8 dan ke 9 musuh pergi dan keluarlah mereka dari hamparan perkebunan tebu.
Untuk mengucap syukur, spontan mereka memotong beberapa batang tebu utuh dengan daunnya, dan bersembahyang kepada Ti Kong (Tuhan) di tempat itu juga. Dan karena tanggal tersebut adalah tanggal 9 bulan pertama, dipotonglah 9 potong tebu untuk disajikan dalam sembahyang syukur itu. Di samping itu, angka 9 sendiri dalam dialek Hokkian bunyinya adalah Kao (sering juga ditulis Kau), kalau dalam bahasa Mandarin bunyi kao dituliskan dengan gao yang artinya adalah tinggi. Dalam hitungan, dalam bilangan manapun, angka 9 adalah yang tertinggi untuk a single digit number, dan diharapkan seluruh keluarga juga akan mencapai kesuksesan yang tertinggi.
Upacara di hari ke 9 ini dilakukan oleh seluruh anggota keluarga yang didahului dengan pantang daging atau dalam dialek Hokkian disebut ciak cay (makan sayur), tepat setelah hari ke 3, biasanya seluruh anggota keluarga yang berminat untuk ikut sembahyangan King Ti Kong akan berpantang makan daging dari hari ke 4 sampai hari ke 9. Pagi hari di hari ke 9, sembahyangan dimulai oleh anggota keluarga tertua (kakek) atau kepala keluarga (suami, ayah). Sembahyangan King Ti Kong dipandang terpenting dalam rangkaian upacara Sincia karena merupakan kunci dan penentu semua langkah kehidupan bagi seluruh anggota keluarga di tahun berjalan.
Keenam
Versi China (by: Meazza)
Cap Go Meh atau Yuan Xiaojie adalah salah satu hari raya tradisional Tiongkok yang sangat penting. Yuanxiao Jie ini di peringati pada hari pertama bulan purnama di tahun baru (lunar calendar). Dengan berlangsungnya Yuan Xiaojie, maka berakhirlah seluruh rangkaian perayaan tahun baru Imlek.
Yuan Xiaojie, berasal dari kata ‘yuan’ yang artinya pertama, ‘xiao’ adalah sebutan malam oleh orang-orang jaman dulu, sedangkan ‘jie’ artinya adalah hari raya atau festival. Seringkali juga disebut Shang Yuanjie.
Di masa lalu, perayaan Yuan Xiaojie ini selalu ditandai dengan pemasangan lampion, makan ronde/yuanxiao, main tebak-tebakan, keluar rumah untuk melihat bulan, dan makan bersama seluruh anggota keluarga.
Yuan Xiaojie sudah dilaksanakan di Tiongkok sejak 2000 tahun yang lalu. Ada beberapa versi seputar sejarah Yuan Xiaojie. Yang pertama yaitu pada masa pemerintahan Raja Mingdi yang saat itu mulai tertarik dengan ajaran Buddha. Raja mendengar bahwa dalam agama Buddha setiap malam bulan purnama adalah malam penghormatan terhadap Sang Buddha. Salah satu cara untuk menghormati Sang Buddha adalah dengan memasang lampion. Maka diapun memerintahkan setiap keluarga untuk memasang lampion di rumah masing-masing setiap malam bulan purnama.
Pada masa pemerintahan Raja Hanwen, ditetapkan bahwa pemasangan lampion cukup dilakukan di malam purnama di bulan pertama saja. Karena malam purnama pertama di tahun baru ini sebagai suatu lambang keoptimisan, menyongsong hari depan yang lebih baik.
Versi kedua, bahwa tradisi pemasangan lampion ini berasal dari Daoism, yaitu ajaran tentang ‘3 unsur utama’, yaitu malam purnama di bulan pertama merupakan bulan naik yang melambangkan unsur ketuhanan, purnama di bulan ke-7 adalah bulan pertengahan yang melambangkan unsur bumi, dan purnama di bulan ke-10 merupakan bulan turun yang mewakili unsur kemanusiaan. Oleh sebab itu di setiap purnama di 3 waktu itu harus memasang lampion. Maksudnya untuk menghormati ketiga unsur terpenting itu.
Seiring dengan perkembangan jaman, Yuan Xiaojie mengalami perubahan. Pada dinasti Han cukup menggantung lampion selama 1 hari, masuk dinasti Tang diperpanjang menjadi 3 hari, kemudian pada dinasti Song menjadi 5 hari, sampai masuk dinasti Ming pemasangan lampion dimulai sejak hari ke-8 (lunar calendar) sampai hari ke-17 (10 hari). Beragam bentuk lampion digantung di setiap sudut kota maupun rumah-rumah penduduk. Tidak hanya lampion, berbagai kegiatan lain pun diselenggarakan. Bahkan pada dinasti Qing ditambah dengan tarian Naga, Barongsai, dan kegiatan lainnya. Jadilah hari raya ini semakin meriah.
Yang paling menarik dan paling ditunggu-tunggu muda-mudi adalah acara tebak-tebakan. Setiap orang membawa satu lampion dan di lampion itu sudah ditempeli dengan kertas yang berisi teka-teki (biasanya 4 huruf). Yang wanita memberikan tebakan kepada yang pria dan sebaliknya. Kalau masing-masing bisa menebak dengan benar, bisa langsung nge-date lho. Maksudnya untuk mencari pasangan yang tingkat kepintarannya seperti yang diinginkan si pemilik teka-teki.
Mengenai tradisi makan ronde, tak lain untuk melambangkan berkumpulnya seluruh anggota keluarga. Pada Yuan Xiaojie ini semua berkumpul di rumah yang tertua untuk makan ronde yang disebut ‘tangtuan’, ‘tang’ artinya soup, sedangkan ‘tuan’ artinya berkumpul. Jadi, Yuan Xiaojie juga sangat penting karena dengan adanya hari besar ini, meski berada jauh dari sanak keluarga, diusahakan untuk pulang, berkumpul bersama.
Versi Indonesia
Sebutan Cap Go Meh sendiri lebih dikenal di Indonesia daripada di tempat mana pun di dunia. Cap Go Meh sendiri sebenarnya adalah penamaan yang salah kaprah yang mungkin sudah beratus tahun sehingga menjadi benar karena tradisi. Cap go meh artinya adalah “malam ke 15” yaitu tanggal 15 bulan pertama, yang disebut dalam dialek Hokkian “cia gwee cap go”. Perayaan ini merupakan puncak perayaan sekaligus penutup dari serangkaian perayaan Imlek. Di Indonesia sendiri, sejak dulu orang lebih kenal dengan sebutan Cap Go Meh daripada sebutan lain walaupun dalam versi aslinya.
Perayaan Cap Go Meh di kota-kota besar di Indonesia kembali marak sejak era keterbukaan 10 tahun belakangan ini. Perayaan Cap Go Meh pernah mencapai masa keemasan yang dirayakan segenap lapisan masyarakat, suku dan agama terjadi di tahun 1950-1960. Menurut penuturan Papa saya, perayaan Cap Go Meh di Semarang selalu meriah dan merupakan saat yang dinanti-nanti semua orang. Arak-arakan dari berbagai kelenteng di daerah Pecinan, akan memenuhi jalanan, beriringan dengan kemeriahan suara mercon alias petasan, tetabuhan khas atraksi barongsai dan naga, berbaur menyatu di mana-mana.
Masing-masing kota di Indonesia memiliki ciri khas masing-masing dalam merayakan Cap Go Meh ini. Di Jawa terutama, dikenal dengan menyajikan hidangan khas lontong cap go meh. Di Medan juga lain lagi, sembahyang di kelenteng mendominasi kegiatan di malam Cap Go Meh ini. www.baltyra.com