Membangun Karakter Bangsa
(oleh Bambang Wibawarta, Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI)
Dalam beberapa tahun terakkhir, kondisi ekonomi Indonesia secara makro makin membaik. Ketika banyak negara lain mengalami perlambatan pertumbuhan, bahkan didera krisis, Indonesia justru mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Namun, pembangunan nasional bukan hanya menyangkut ekonomi atau aspek fisik belaka. Aspek penting lain yang tidak bisa ditinggalkan adalah pembentukan karakter, yang mencakup pola pikir.
Setiap masyarakat atau bangsa pasti memiliki nilai-nilai moral dan etika yang hidup dan berkembang dalam masyarakat tersebut yang menjadi landasan sikap, perilaku dan perbuatan mereka.
Dengan pegangan moral dan etika itu dapat dibedakan mana yang baik dan yang buruk, yang dianggap ideal dan tidak. Oleh karena itu, dimana pun kita bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, peranan moral etika tidak mungkin dikesampingkan.
Berbagai fenomena sosial, seperti korupsi, konsumerisme, hedonisme, budaya instan, tawuran, amuk massa, pudarnya rasa kesetiakawanan sosial, pupusnya toleransi dan sebagainya, dapat dilihat sebagai gejala terkikisnya nilai-nilai budaya, termasuk moral, etika dan empati dalam masyarakat. dengan kata lain dapat dikatakan sebagai pudarnya jati diri dan karakter bangsa Indonesia. Maka pendidikan karakter menjadi amat penting.
Penetapan pendidikan karakter menjadi fokus pendidikan pada setiap jenjang pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi menjadi relevan. Namun tentu saja memerlukan persiapan, dan mekanisme yang lebih baik dan terukur.
Memilah dan Memilih
Berbagai fenomena sosial menimbulkan keprihatinan yang mendalam terhadap kualitas generasi muda di masa mendatang, juga terhadap citra dan daya saing bangsa. Pendidikan karakter yang dikumandangkan sulit untuk mendapatkan contohnya dalam berita di media khususnya TV (televisi) dan kehidupan sehari-hari. Selain itu, kita lebih suka menuding masuknya budaya asing sebagai kambing hitam dari lunturnya nilai-nilai budaya Indonesia. Padahal, persoalan intinya adalah kita tidak bisa menghargai budaya kita sendiri melalui strategis kebudayaan yang jelas.
Dalam era globalisasi ini, berbagai titik singgung dengan dunia luar tentu suatu keniscayaan. Sehingga yang diperlukan adalah justru mengawali titik singgung tersebut, bukan malah menjadikan diri kita semakin defensif terhadap berbagai pengaruh yang masuk. Lagi pula, tidak semua budaya asing, yang datang dari luar itu tidak baik. Sehingga yang diperlukan adalah bagaimana kita dengan cermat dapat memilah dan memilih budaya mana yang cocok dan kita inginkan, baik dari budaya kita sendiri maupun budaya asing.
Pendidikan karakter mestinya efektif untuk meningkatkan pengembangan karakter, dan untuk mencegah berbagai masalah kontemporer, seperti perilaku agresif, tindak kriminal, korupsi dan produktivitas yang rendah. Sinergi antara lima komponen utama, eksekutif, legeslatif, yudikatif, media massa, dan masyarakat juga sebuah keniscayaan. Pendidikan karakter ini bukan hanya menjadi tugas dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) semata, namun segenap komponen bangsa.
Tentu kita semua patut berharap dengan Kurikulum baru yang digagas Kemdikbud akan dilengkapi dengan berbagai mekanisme, seperti mekanisme kontrol dan mekanisme proses internalisasi (bukan hanya pengajaran) dari nilai-nilai yang kita inginkan bersama. Nilai-nilai budaya apa saja, atau nilai-nilai Keindonesiaan macam apa yang akan diinternalisasikan kepada anak didik pada masing-masing jenjang pendidikan tentu saja harus jelas. Karakter untuk bisa mengatakan tidak (learn to unlearn) pada hal-hal yang tidak baik pun harus turut ditanamkan.
Jangan sampai berbagai pihak justru ingin memasukkan “kepentingannya” dalam kurikulum pendidikan karena menganggap bidang mereka maha penting. Karena hal itu kurikulum baru tersebut akan menjadi sangat gemuk, kurang fokus, dan akan mengurangi subtansi pengetahuan, atau malah menjadi science minded. Metode pembelajarannya pun harus dicermati, bukan hanya monolog dari guru yang miskin makna. Jangan pula kecerdasan siswa di artikan sebagi besarnya daya ingat siswa terhadap setumpuk informasi, yang saat ini dalam hitungan detik dapat diperoleh siswa melalui internet.
Proses pembentukan karakter tentu memerlukan waktu dan tidak bisa instan. Dimulai dari pengenalan nilai-nilai secara kognitif, lantas dilanjutkan dengan proses penghayatan secara afektif. Amat penting pula adalah penerapan atau pengamalan nilai-nilai tersebut secara nyata dalam kehidupan sehari-hari pada tataran praktis. Ini semua perlu dikawal dengan baik hingga jelas keluarannya.
Kita semua berharap bahwa pendidikan akan membentuk masyarakat yang lebih berbudaya dan beradab. Pendidikan karakter melalui pelajaran agama, kewarganegaraan, kewiraan, dan sebagainya memang sudah dilakukan di sekolah-sekolah. Namun ini tampaknya lebih cenderung pada aspek kognitif, yakni terbatas pada pengetahuan di permukaan, belum sampai pada tahap penghayatan, apalagi ke tahap pengamalan.
Anak didik akan mengalami kesulitan mengamalkan, karena sulit menemukan contoh-contoh konkrit dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dari orang-orang yang kerap muncul di media, yakni elite masyarakat. Sementara itu, pendidikan Pancasila yang mestinya menjadi Ruh, disebabkan alasan yang sama dan akibat kemasan yang tidak menarik, seakan menjadi jargon usang tergerus budaya populer (Soft Power) asing yang datang melanda.
Perlu dicermati, berbagai mata pelajaran yang berkaitan dengan pembentukan karakter tersebut hanya dipandang sebagai unsur pelengkap semata, karena tidak termasuk yang diujikan pada Ujian Nasional. Pendidikan karakter baik melalui pendidikan formal, informal maupun non-informal perlu mendapatkan perhatian serius. Mulai pemberdayaan keluarga, kantong-kantong budaya, hingga keterlibatan berbagai lembaga yang diharapkan dapat bersinergi dalam satu muara kepentingan, yakni kepentingan bangsa.
Peran Media
Permasalahan bangsa ini semakin diperparah dengan tayangan televisi yang kurang mendidik, tidak mengenal jam tayang, dan terjadi pada berbagai stasiun televisi. Peristiwa dan berbagai bentuk tindakan kejahatan justru menjadi menu utama dan disiarkan dalam berbagai bentuk tayangan, baik berita, dialog interaktif, sinetron, ataupun infotainmen.
Dewasa ini internet dan media sosial lain melanda masyarakat hingga pelosok desa, tanpa kita mampu mengendalikannya. Padahal, komunikasi memegang peran penting dalam pewarisan dan internalisasi budaya dari generasi ke genarasi.
Dengan menggunakan internet cara-cara baru untuk menonton dan mengakses televisi ditemukan bukan hanya melalui layar pesawat televisi konvensional, tetapi juga melalui smart phone, komputer jinjing, dan sebagainya. Demikian pula dengan internet yang kian mudah diakses. Semua perangkat elektronik tersebut menjelma menjadi dunia yang dapat dijinjing kemana saja, dan kita dapat memasukinya kapan saja kita mau.
Secara umum, ada tiga peran media massa, yakni: memberi informasi, mendidik, dan menghibur. Selain itu sering pula disebutkan fungsi lain, yaitu melakukan kontrol sosial. Jadi, ia dapat jadi penyeimbang dan mengritik berbagai fenomena yang terjadi dalam masyarakat termasuk penyimpangan di lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif.
Patut disayangkan jika kemudian kita lebih banyak menyaksikan berbagai hiburan yang justru kurang mendidik di media televisi. Sehingga, nilai-nilai budaya yang ingin di tanamkan pada masyarakat, khususnya anak didik menjadi kian sulit terimplementasikan dalam kehidupan nyata.
Berita pada dasarnya adalah suatu konstruksi realitas, sesuatu yang sudah dibentuk dan dikemas, bukan suatu realitas yang apa adanya. Memang benar bahwa media dalam pemberitaan terikat pada kode etik jurnalistik, yang mengharuskan kita menyajikan fakta, bukan opini. Namun tentu saja kita dapat mengemasnya agar tidak provokatif, dalam sebuah kerangka berfikir konstruktif, menuju muara kepentingan nasional berdasarkan nilai-nilai Keindonesiaan.
Muara kebangsaan, dan nilai-nilai ke-Indonesiaan perlu dipahami dan mendapatkan porsi yang cukup untuk hadir di masyarakat luas melalui media massa. Masyarakat kita yang sangat majemuk belum semua mampu menyaring dan membedakan benar-tidak ataupun baik-buruk dari apa yang mereka saksikan dan baca.
Pendidikan sebagai unsur penting dalam strategi kebudayaan merupakan proses pembudayaan. Strategi kebudayaan terkait berbagai sektor budaya, politik, pemerintahan, hukum, ekonomi, pendidikan, moral, etika, lingkungan, kesenian, bahasa, serta sektor-sektor budaya lainnya. Sudah semestinya melalui strategi kebudayaan kita “ Membangun Kearifan Nusantara” dari kekayaan kearifan lokal kita melalui cara-cara lebih sistematis, agar tidak hanyut oleh gelombang dahsyat globalisasi.
Pendidikan sudah semestinya menjadi kunci penting dalam memberikan ruang cukup bagi generasi muda dalam menghayati nilai-nilai luhur, empati, toleransi, tenggang rasa, etika, moral, keadilan dan sebagainya. Nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang ada haruslah dilihat sebagai bagian dari masa depan yang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan.
Kearifan lokal, selain penting bagi pembangunan ketahanan budaya dan bermuara pada ketahanan nasional juga dapat menjadi solusi bahkan bagi berbagai permasalahan global. Dengan membangun karakter bangsa, kita akan lebih siap dan percaya diri menghadapi tantangan ke depan.
Sekolah Harus Identifikasi Anak Bermasalah
Pakar pendidikan Arif Rachman mengingatkan, sekolah harus melakukan identifikasi siswa atau anak bermasalah. Pola pendidikan untuk anak-anak nakal atau bermasalah dilakukan melalui penegakan disiplin berupa pemberian hukuman yang mendidik.
“Sekolah harus cepat mengidentifikasi bila ada anak-anak bermasalah. Jangan sampai kita kecolongan. Di sekolah selalu ada anak-anak yang tidak bisa taat aturan, kita harus membimbing dengan baik”. Tutur Arif Rachman yang hadir dalam Deklarasi Stop Tawuran SMK/SMA se-jabodetabek yang di gelar Polda Metro Jaya dan Komunitas Anti Kekerasan Indonesia (KAKI), di Jakarta.
Ketua Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO itu menilai guru dan kepala sekolah termasuk bersalah dalam persoalan tawuran. Sebab tawuran dan kenakalan siswa muncul karena rendahnya penegakan aturan di sekolah.
Arif menegaskan, pelaku tawuran harus diberi hukuman. Jika perbuatannya sudah sampai menghabiskan nyawa orang lain, dia harus diproses secara pidana. Namun, di pihak lain, sekolah tetap wajib melakukan pembinaan dengan memberi kesempatan anak tersebut tetap menempuh pendidikan.
“Kalau ada siswa yang mencontek, beri saja nilai nol. Perkelahian juga harus di hukum, dari mulai ditegur, di skors, sampai di keluarkan. Tapi anak tetap harus dibina. Saya pernah memasukkan anak yang terlibat narkoba ke penjara, tapi setelah itu dia saya izinkan ikut ujian dan diberikan proses pendidikan”. Ucapnya.
Arif mengusulkan pemerintah pusat menambah standar pendidikan nasional dari delapan menjadi sembilan, yakni: berupa standar tentang peraturan. Pemerintah pusat harus mampu mengikat daerah, antara lain kepala dinas, kepala sekolah, dan guru agar mau menegakkan aturan. Selain itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) wajib mengeluarkan sanksi berupa penurunan akreditasi bagi sekolah yang tidak menegakkan disiplin.
Kemdikbud juga harus memperbaiki proses pembelajaran. Siswa jangan terlalu berat dilatih aspek kognitif tapi mengabaikan aspek afektif dan psikomotorik. Kita akan mewarisi sesuatu yang selalu kita ukur. Kalau kita hanya mengukur otak saja, maka otak saja yang oke. Perasaan dan hati tidak.
Semua Kena Sanksi
Sementara itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh menegaskan, pihaknya akan menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) tentang Pencegahan Kekerasan dan Tawuran Pelajar. Isinya berupa penanganan serta sanksi yang dapat di jatuhkan.
Menurut Nuh, Permendikbud tersebut dibuat agar peserta didik tidak terkontaminasi hal-hal buruk, terutama terkait dengan kekerasan dan perkelahian pelajar. Peraturan ini akan berlaku untuk seluruh pihak, mulai dari murid, orang tua, guru, OSIS, hingga kepala sekolah, tentang apa langkah-langkah yang harus dilakukan jika terjadi tawuran.
“Bentuknya seperti SOP, termasuk juga mengatur sanksi. Jadi semuanya terbuka untuk diberi sanksi, termasuk murid, guru, kepala sekolah, juga institusi sekolah itu sendiri”, kata Nuh.
Mendikbud mengatakan “Permendikbud tersebut juga mendorong jejaring antar-sekolah dan sebagai dukungan penuh kepada kepolisian untuk menghukum pihak-pihak yang bersalah”. Ini semua dilakukan karena basisnya kecintaan kita pada adik-adik semua agar tidak terjebak dalam yang negatif, ” ujarnya.
Psikolog dan pemerhati anak, Seto Mulyadi, mengatakan, kekerasan di sekolah terjadi karena anak-anak kurang mendapatkan perhatian dari lingkungan, terutama orang tua. Menurutnya, anak melakukan aksi kekerasan untuk menunjukkan eksistensi diri. Di sekolah siswa kesulitan memiliki ruang untuk mengaktualisasikan diri karena kepadatan kurikulum dan terlalu banyak pekerjaan rumah.
Daftar Referensi:
• Membangun Karakter Bangsa, sumber Suara Pembaruan.
• Sekolah harus Identifikasi Anak Bermasalah, Sumber Suara Pembaruan.