Etika Berbangsa & Bernegara Dalam Perspektif Ajaran Buddha
(YM Bhiksu Tadisa Paramita Mahasthavira; Koordinator Dewan Sangha Perwakilan Umat Buddha Indonesia; WALUBI)
1. Makna Etika & Moral
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988) dipaparkan makna kata etika yang berasal dari bahasa Yunani “ethos”, ke dalam tiga pengertian, yaitu:
1) Ilmu tentang apa yang baik dan buruk, dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak);
2) Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
3) Nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat.
2. Dasar Prinsip Etika dan Sila
Pengertian etika dan sila dalam agama Buddha adalah panduan untuk dapat menimbulkan harmoni dalam hati dan pikiran. Ciri etika dan sila adalah ketertiban dan ketenangan. Fungsi etika dan sila adalah mengarahkan kelakuan yang salah agar menjadi benar, dan menjaga seseorang agar tetap tidak berada dalam sikap yang salah. Wujud etika dan sila adalah kewaspadaan dan pengendalian, yang diwujudkan pada saat berpikir, berucap dan berbuat. Tujuan etika dan sila adalah kemurnian, kebaikan, dan kebenaran dalam berkehidupan. Perkembangan etika dan sila adalah Hiri dan Ottappa, yaitu malu berbuat jahat dan takut terhadap akibat perbuatan jahat. Hiri-Ottapa adalah “Pelindung Dunia”. Jika tidak ada lagi Hiri-Ottapa, dalam diri manusia akan berkecamuk kekacauan yang merugikan diri sendiri maupun masyarakat.
3. Etika Ciri Kemanusiaan
Etika adalah sumber keadaban untuk kemanusiaan. Etika adalah pola berkehidupan manusia. Selama etika tegak berdiri, kemanusiaan tegak berdiri. Bila etika pudar, maka kemanusiaan kacau. Bila etika sudah lenyap, maka kemanusiaan yang adil dan beradab ikut lenyap.
4. Dasar Prinsip Etika Berbangsa dan Bernegara
Etika merupakan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Etika adalah barometer peradaban bangsa. Etika menjadi bagian dari kultur sosial dan antropologis bangsa Indonesia. Konstruksi kebangsaan berlandaskan Pancasila. Prinsip dan formulasi Pancasila adalah etika berbangsa dan bernegara, yaitu religius, berperikemanusiaan, persatuan, demokrasi dan keadilan. Adapun maksud dan tujuan dibentuknya Pancasila bukan hanya untuk dijadikan simbol dan lambang negara semata, melainkan utamanya menjadi prinsip etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apabila implementasi prinsip dan etika Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara diabaikan atau dikesampingkan, maka kehidupan berbangsa akan kacau dan negara dapat runtuh.
Prinsip etika berbangsa dan bernegara bila tidak dilaksanakan maka perjalanan bangsa bagaikan kehilangan kompas, dan negara tidak mempunyai haluan dan sasaran yang hendak dicapai. Bila etika dan prinsip diabaikan, akibat yang akan muncul diprediksi bahwa bangsa dan negara kacau dan tidak punya masa depan yang baik.
Di ilhami Khuddaka Nikya, Silava Thera, disabdakan; negara yang mendambakan tiga macam kemuliaan, yaitu kemasyuran, kemakmuran dan kedamaian, hendaknya memegang teguh prinsip dan melaksanakan etika (sila).
Di dalam Akankheyya Sutta, Majjhima Nikaya disabdakan: apabila seseorang berharap, “Semoga saya menjadi kecintaan, kesukaan, kehormatan, kepercayaan, kebanggaan bagi sahabat-sahabat (rakyat)”, hendaknya ia menyempurnakan sila (etika)-nya.
5. Etika Menjalin Kebersamaan
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang multi etnik, multi kultural dan multi religious. Keragaman ini adalah karunia dan kekayaan yang tidak ternilai yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Keragaman ini perlu ditata, dikelola, dikreasi dan dilestarikan dalam bingkai kesatuan untuk membentuk perpaduan harmonis yang asri tanpa diskriminasi, guna merajut masa depan peradaban luhur bangsa Indonesia.
Adanya keragaman seperti ini merupakan kodrat alamiah yang mengakar dan sudah terjadi di muka bumi ini. Sedangkan keseragaman adalah sebuah bentukan dan menjadi produk atas kepentingan yang bersifat tidak alamiah. Secara etis, setiap warga Indonesia berkewajiban menghormati, bersinergi dan melestarikan keragaman ini, yang sudah dibingkai oleh Founding Father dalam filosofi lambang negara yaitu Bhinneka Tungga Ika; walaupun berbeda entitas namun manunggal. Realitanya, kedudukan dan kewajiban setiap warga Indonesia adalah sederajat dan saling bahu membahu melakoni kehidupan yang bermanfaat dan merangkul kebersamaan untuk mengisi Pembangunan Nasional.
6. Etika dan Peran Tokoh Agama
Pada umumnya para tokoh agama memiliki pandangan luhur, kewibawaan dan kehormatan karena keteladanan dan kebijaksanaan yang mereka tunjukkan di lingkungan masyarakat. Dengan berbekal ajaran agama, mereka memilih kehidupan jujur, sederhana, eligater dan mengayomi semua lapisan masyarakat. Itulah sebabnya banyak masyarakat berharap agar tokoh agama jangan terjun ke panggung politik. Bila tokoh agama sudah terjebak pada permainan politik, mempolitisir agama, agama dijadikan komoditas politik, atau agama dijadikan kendaraan partai politik. Menyelewengkan agama adalah sangat riskan dan berbahaya, karena dapat merusak citra dan reputasi agamanya sendiri. Karena politik dalam agama atau agama dipolitikkan pasti agama tersebut jadi kacau, gaduh, dan redup. Bila saja para rohaniwan bermain politik pasti cepat atau lambat, sedikit atau banyak, akan ada diskriminasi kepentingan dan tujuan politik yang terselubung dan menyusup di dalam komunikasi dan aksi religiusnya sehingga timbul kompromi timbal balik yang menyimpang dalam melaksanakan praktik dan penyebaran agama. Padahal masyarakat sangat berharap kenetralan, kemurnian dan keteladanan para tokoh agama sebagai panutan yang menjadi benteng moralitas di tengah semakin rapuhnya moralitas politisi dewasa ini.
Para tokoh agama mempunyai kewajiban untuk menyebarkan nilai-nilai universal ajaran agama untuk membangun kerukunan dalam kehidupan masyarakat. Walaupun bentuk sejarah, ritual dan kepercayaan antar tokoh agama dapat berbeda, tapi pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama, yaitu penyebaran ajaran agama demi berkembangnya kebijaksanaan dan kebahagiaan semua makhluk. Rangkailah kemajemukan menjadi keindahan; untailah segala perbedaan menjadi keunikan. Mendambakan keharmonisan dalam kemajemukan hanya bisa terwujud bila kita saling menghormati, tenggang rasa, toleransi dan perilaku cinta kasih yang terus dipancarkan tanpa diskriminasi. Perlu ditingkatkan dan di implementasikan terus “Trilogi Kerukunan Umat Beragama” dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini bertujuan untuk melestarikan jalinan persaudaraan sesama anak bangsa dan mengembangkan kerukunan umat beragama agar dapat selalu harmonis dan saling bersinergi bersama dalam membangun bangsa dan negara.
Apakah sesuatu yang paling berkekuatan di dunia? Jawabannya adalah “Toleransi”. Hyang Buddha pernah mengatakan: “Seorang praktisi agama Buddha yang tidak dapat menoleransi hinaan, caci-maki, cemooh, serta tidak menganggapnya sebagai embun yang manis, bukanlah orang yang kuat”. Kekerasan dapat membangkitkan rasa takut dari orang-orang, tetapi tidak dapat mendatangkan rasa hormat. Hanya sikap toleransi yang dapat menyentuh hati orang yang keras kepala.
Di dalam naskah Bodhicarya Avatara dari Santi Deva disebutkan: “Daripada menguasai semua benda-benda yang ada diluar, seseorang sebaiknya menguasai dirinya sendiri, dan membuatnya tahan terhadap pengaruh-pengaruh dari luar”. Sesungguhnya kehidupan spiritual adalah pengolahan terhadap Bodhicitta (pikiran luhur hasil dari pemunculan kesadaran/Kebuddhaan). Kehidupan spiritual harus dimengerti lebih lanjut sebagai refleksi diri dan kritik diri. Hal ini adalah usaha yang tak henti-hentinya untuk menguasai pikiran, ucapan dan perbuatan.
7. Etika Politisi dan Rakyat
Saat sekarang ini, banyak politisi berkuasa yang secara mereka sadari atau tanpa disadari, kerap membuat pernyataan dan melemparkan isu yang menciptakan kegaduhan politik. Tingkah lakunya yang ditampilkan di media pun mengabaikan norma kesopanan publik. Kecenderungan tindakan mereka hanya untuk mengejar kepentingan pribadi, kekuasaan dan pengaruh, mengabaikan tugas dan kewajiban utama mereka untuk membangun bangsa dan memakmurkan negara. Etisnya, figur politisi yang dipilih rakyat dapat memberikan contoh teladan kepada rakyatnya agar dicintai, dihormati dan didukung oleh rakyatnya dengan perasaan penuh apresiasi dan kebanggaan.
Di dalam Anguttara Nikaya, Hyang Buddha pernah bersabda: “Jika penguasa suatu negara adil dan baik, para menteri menjadi adil dan baik, jika para menteri adil dan baik, para pejabat tinggi menjadi adil dan baik, jika para pejabat tinggi adil dan baik, para bawahan menjadi adil dan baik; jika para bawahan adil dan baik, rakyat menjadi adil dan baik”.
Di dalam Dhamma Sutra, disebutkan: “Tahanlah diri dari pertengkaran dan perdebatan. Sekali kita jatuh dalam konflik seperti itu, hidup kita akan terjebak dalam perselisihan. Pikiran kita akan terombang-ambing oleh kemenangan dan kekalahan. Kekhawatiran dan penderitaan akan mudah timbul”.
8. Etika dan Peran Legislatif
Wakil rakyat dipilih oleh rakyat untuk tujuan membangun kesejahteraan rakyat. Bilamana wakil rakyat yang menjadi legislatif membuat peraturan yang malah dapat menyengsarakan rakyat, berarti mereka telah mengkhianati kepercayaan yang diembankan oleh rakyat kepada mereka. Pembuat peraturan seharusnya memahami dan mematuhi peraturan, bukan sebaliknya, melanggar peraturan. Tugas utama wakil rakyat harusnya mengontrol tindakan pemerintah, bukan meminta jatah dari pemerintah. Wakil rakyat adalah panutan rakyat, semestinya tindakannya tidak memalukan rakyat. Tahu apa yang harus dilakukan adalah kebijaksanan. Tahu bagaimana harus melakukan sesuatu adalah keterampilan. Dapat melakukan sebagaimana mestinya adalah pelayanan.
Di dalam Majjhima Nikaya 3, 75, disebutkan ada lima macam penghidupan salah, yaitu: Hidup dengan jalan menipu orang lain; Membual atau menjilat; Memeras dengan menjilat atau memfitnah; Menggelapkan atau menyulap; Mengambil keuntungan yang salah (korupsi).
Di dalam Dhammapada 292 disabdakan: “Apabila seseorang melakukan apa yang seharusnya dilakukan tidak dilakukan, dan tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan, batinnya akan semakin dikotori oleh keangkuhan dan kesombongan, perasaannya malas pun makin berkembang”.
9. Etika Melenyapkan Kejahatan & Menolong yang Lemah
Dalam Cakkavatti Sutra, Hyang Buddha berkata: “Perilaku buruk, pelanggaran susila dan kejahatan, seperti pencurian, penipuan, kekerasan, kebencian dan kekejaman dapat muncul dari kemelaratan”. Pemerintah pergunakan penangkapan dan hukuman untuk menekan kejahatan, tapi sia-sia memberantas kejahatan dengan kekerasan.
Dalam Cakkhavatti-sihanada-sutta, Digha Nikaya, 3,68. “…disebabkan tidak memberikan kebutuhan mendasar kepada kaum fakir miskin, kemiskinan tersebar luas; dari pertumbuhan kemiskinan, mengambil barang yang bukan miliknya menjadi meningkat; dari peningkatan pencurian, penggunaan senjata meningkat; dari kenaikan pengunaan senjata, pembunuhan meningkat dan dari pembunuhan, jangka hidup mereka menurun…”.
Dalam Kutadanta Sutra, Hyang Buddha menyarankan pengembangan ekonomi sebagai pengganti kekerasan untuk mengurangi kejahatan. Pemerintah harus menggunakan sumber daya negara untuk memperbaiki kondisi ekonomi masyarakat. Hal ini dapat dimulai dengan pengembangan pertanian dan pedesaan, menyediakan bantuan pada pengusaha lemah, menyejahterakan bagi pekerja agar mereka hidup layak dengan martabat manusia.
Menurut Kutadanta Sutta, disabdakan: “Sebuah negara juga harus pintar mengelola keuangannya. Karena kedamaian, kemakmuran dan kebebasan dari kejahatan hanya bisa dicapai sebuah negara melalui distribusi kekayaan yang adil dan merata di antara rakyatnya”.
10. Etika dan Peran Pemimpin Negara
Dalam Cerita Jataka, Hyang Buddha memberikan 10 peraturan bagi Kepala negara yang baik, yang dikenal sebagai “Dasa Raja Dharma”. Sepuluh macam kewajiban seorang pemimpin, yaitu:
1. Bebas dari serta menghindari keakuan.
2. Memelihara karakter dan moral yang tinggi.
3. Siap dan rela untuk mengorbankan kesenangan diri sendiri demi kesejahteraan orang banyak.
4. Jujur dan memelihara integritas yang kokoh.
5. Baik hati dan ramah.
6. Menjalani kehidupan yang sederhana agar diteladani orang banyak.
7. Bebas dari segala bentuk kebencian.
8. Bertindak tanpa kekerasan.
9. Mempraktikkan kesabaran.
10. Menghormati opini umum untuk mengembangkan perdamaian dan harmoni.
11. Etika Pemerintah yang Baik dan Efektifl
Dalam Cakkavatti Sihanada Sutra, berkenaan dengan tingkah laku pemerintah. Hyang Buddha lebih lanjut menasehati:
a. Pemerintah yang baik harus berlaku adil, tidak berat sebelah, dan tidak mendiskriminasi antara satu kelompok warga negera tertentu terhadap yang lainnya.
b. Pemerintah yang baik tidak menyimpan segala bentuk kebencian terhadap warga negaranya.
c. Pemerintah yang baik tidak takut terhadap apapun dalam pelaksanaan hukum, jika hal itu adil adanya.
d. Pemerintah yang baik harus memiliki pemahaman yang jelas tentang hukum untuk dilaksanakan. Hukum tidak boleh dilaksanakan hanya karena pemerintah memiliki otoritas untuk memberlakukannya. Hal ini harus dilakukan untuk tujuan baik dengan cara yang masuk akal dan dengan akal sehat.
12. Moralitas Pemimpin Negara
Dalam Melinda Panha, dinyatakan: “Jika seseorang yang tidak sehat, tidak kompeten, tidak bermoral, tidak layak, tidak mampu, dan tidak berharga untuk kedudukan Raja (konteks sekarang adalah Presiden), telah menobatkan dirinya sendiri sebagai Raja atau Penguasa dengan otoriter besar, ia adalah sasaran berbagai hukuman oleh rakyat, karena, dengan tidak pantas dan tidak berharga, ia telah menempatkan dirinya sendiri secara tidak benar dalam kursi kedaulatan. Penguasa, seperti siapapun yang melanggar kode moral dan peraturan dasar segala hukum sosial umat manusia, juga merupakan sasaran terhadap hukuman; dan lebih lanjut, terkecamlah penguasa yang bertindak sebagai perampok rakyat”.
Dalam Majjhima Nikaya, disebutkan: “Raja selalu memperbaiki dirinya sendiri dan menguji tingkah lakunya dengan hati-hati dalam perbuatan, perkataan, dan pikiran, mencoba untuk mengetahui dan mendengarkan pendapat rakyat, seperti apakah ia telah melakukan kekurangan dan kesalahan dalam mengatur kerajaannya (negara). Jika ternyata ia memerintah dengan tidak benar, rakyat akan mengeluh bahwa mereka ditindas oleh penguasa yang buruk dengan perlakuan tidak adil, hukuman, pajak, atau segala bentuk korupsi, dan mereka akan bereaksi menentangnya dengan satu atau lain cara. Sebaliknya, jika ia memerintah dengan benar, mereka akan memberkatinya, ‘Semoga Yang Mulia panjang umur’”.
Penekanan Hyang Buddha pada tugas moral penguasa dalam menggunakan kekuatan rakyat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat telah mengilhami Kaisar Asoka pada abad ke-3 SM untuk berbuat sedemikian. Kaisar Asoka, suatu contoh yang baik dari prinsip ini, memutuskan untuk hidup sesuai Dharma dan melayani warga negara dan seluruh umat manusia. Ia menyatakan keinginan non-agresinya pada tetangganya, menunjukkan niat baiknya dengan mengirimkan para duta pada raja-raja yang jauh untuk mengemban pesan damai dan non-agresinya. Ia mempromosikan praktik kebajikan sosio-moral tentang kejujuran, kebenaran, kasih sayang, kebajikan, tanpa kekerasan, pertimbangan tingkah laku terhadap semua, tidak boros, tidak serakah, hingga tidak menyakiti binatang. Ia mendorong kebebasan beragama dan saling menghormati antar kepercayaan. Ia pergi berkeliling secara berkala membabarkan Dharma kepada rakyat pedesaan. Ia membangun pelayanan publik, seperti mendirikan rumah sakit untuk manusia dan hewan, menyediakan obat-obatan, menanam pohon dan galur di sisi jalan, menggali sumur, dan membangun pengairan dan rumah peristirahatan. Ia dengan tegas melarang kekejaman terhadap binatang.
Di dalam Dhammapada 16, 262-263, disebutkan: “Meskipun mengucapkan kata-kata yang merdu, berpenampilan menarik, namun bila batinnya penuh dengan keserakahan, iri hati dan kebohongan, ia tidak pantas disebut sebagai Pemimpin Bijaksana. Bila sebaliknya ia dapat menyingkirkan dan melenyapkan keserakahan. Mampu melenyapkan iri hati, kebohongan dan terbebas dari segala noda batin, ia sesungguhnya adalah pemimpin bijaksana”.
Hal-hal lainnya Hyang Buddha mengakui persamaan manusia menolak diskriminasi pengkastaan, berbicara demi peningkatan kondisi sosio-ekonomi, menganjurkan pentingnya pemerataan kekayaan yang lebih adil antara orang kaya dan miskin, menjunjung status wanita, menganjurkan penggabungan kemanusiaan dalam pemerintahan dan administrasi, serta mengajarkan bahwa masyarakat tidak boleh dijalankan dengan keserakahan tapi dengan pertimbangan dan kasih sayang bagi rakyat.
13. Dibutuhkan Pemimpin Negara yang Arif Bijaksana, Tegas dan Berwibawa
Nasib bangsa dan masa depan negara ada di tangan para pemimpin negara. Bila pemimpin negara tidak arif bijaksana, tidak berwibawa dan tidak tegas dalam melaksanakan roda pemerintahan maka para pejabat bawahannya tidak takluk dan tunduk, kelemahan ini berpengaruh luas, rakyat menjadi liar, mudah berseteru, suka gaduh, sehingga dimana-mana terjadi bentrokan, perilaku anarkis akibatnya kondisi keamanan negara tidak kondusif. Begitupula para pegawai pemerintahan akan membeo mengikuti pola pemerintahan yang tidak tegas dan loyo, akibatnya pemerintahan daerah tidak menghormati pemerintah pusat sehingga pola pemerintahan daerah bergaya dinasti atau emporium (seperti mendirikan kerajaan-kerajaan). Bila pemimpin negara masih terlena terus dengan wacana tanpa aksi tegas maka kepala pemerintahan membiarkan kondisi bangsa menjadi gaduh, rapuh dan negara dalam keadaan berbahaya.
Apabila pemimpin negara arif, tegas dan berwibawa, maka para pejabat negara akan menggugu dan meniru, bersikap tegas dan disiplin pula dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Sehingga rakyat akan menghormatinya dan mendukung segala program kebijakan pemerintahan pro-rakyat, sehingga kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara menjadi lebih baik.
Di dalam Sutra Raja Berbudi, disabdakan: “Ketika tanah air kacau, pertama-tama “setan dan iblis* ” akan mengacau terlebih dahulu… selanjutnya rakyat akan kacau. Pencuri negara (koruptor) akan merampok negara, rakyat jelata hidup sengasara. Para menteri, orang elit dan ratusan pejabat akan menimbulkan gonjang-ganjing (gaduh). Langit dan bumi akan menimbulkan kelainan (bencana) dan rakyat akan diganggu oleh para perampok, timbul bencana, gagal panen dan lain-lain”.
*Yang dimaksud setan dan iblis adalah representasi kekotoran batin umat manusia yang terwujud dalam sifat-sifat buruk dan destruktif di dalam batin atau jiwa.
14. Koneksi Pemimpin & Yang Dipimpin
Sebuah pemerintahan adalah tempat dimana pikiran-pikiran bergabung dan bersentuhan satu sama lainnya. Apabila pikiran-pikiran itu saling menghormati dan mencintai. Pemerintahan tersebut akan seindah benteng kokoh yang asri. Sebaliknya apabila pikiran-pikiran pemimpin dan yang dipimpin itu tidak harmonis, maka keadaannya bagaikan topan badai yang dapat memporak-porandakan bangsa dan negara yang rapuh. (Di ilhami oleh ajaran Angguttara Nikaya 3, 31).
Nasib dan masa depan bangsa dan negara ada di tangan kepala negara, menteri dan para pejabat pusat maupun daerah, yang didukung segenap lapisan masyarakat. Apabila kebijakan pemerintahan pusat dan daerah tidak singkron, kurang komunikasi dan berseberangan, dikhawatirkan terjadi kebuntuan kebijakan sehingga berkembang egoisme, arogansi dan kesewenangan. Hal ini dapat menimbulkan perpecahan pada kekuatan bangsa, rawan terhadap ancaman perpecahan. Apabila kepala negara, para kabinet menterinya beserta seluruh jajarannya, baik pejabat pusat dan daerah tidak sehati, tidak merasa senasib dan seperjuangan, maka pemerintahan tersebut rapuh bagaikan macan ompong, tidak efektif dan riskan penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya saja. Pepatah mengatakan bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Untuk membangun pemerintah yang efektif, kita perlu mengutamakan dan memegang teguh prinsip membangun kebersamaan untuk menyatukan visi, merealisasikan satu misi, bekerjasama dalam perjuangan untuk kesejahteraan bangsa dan kemakmuran negara. Niscaya semuanya dapat terwujud.
15. Etika Berhadapan Dengan Oposisi
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pasti terdapat pro dan kontra dalam setiap langkah atau kebijakan yang diterapkan; begitupula dalam pemerintahan pasti terjadi hubungan koalisi maupun oposisi. Tentu sebagai pemerintah yang baik harus dapat menampung segala masukkan yang mendukung maupun yang menolak. Kelihatannya baik belum tentu baik seluruhnya, begitu pula kelihatannya buruk belum tentu buruk semuanya. Begitupula bila terjadi koalisi, belum tentu selamanya menjadi pendukung, sebaliknya oposisi belum tentu selamanya menjadi penolak.
Etikanya dalam menghadapi segala permasalahan koalisi maupun oposisi, utamakan dan prioritaskan untuk membela kepentingan bangsa dan negara. Janganlah hidup dengan satu warna, melainkan tata dan kombinasikan banyak warna untuk menciptakan kondisi asri, semarak dan menarik. Artinya, di mana ada kebersamaan tentu di situ juga ada perbedaan. Di mana ada keberagaman di situ pula pasti ada keseragaman. Oleh karena itu, penyelenggara negara harusnya saling menghormati perbedaan pandangan maupun pendapatnya. Menghadapi kritikan yang membangun harus dihargai, dicermati dan dijadikan masukan berharga yang harus diupayakan sebagai pedoman melaksanakan roda pemerintahan. Sedangkan kritikan yang menjatuhkan harus dijadikan introspeksi dan evaluasi untuk memperbaiki dan mengendalikan roda pemerintahan. Perbedaan yang terjadi tentu bukan untuk saling menjatuhkan apalagi saling menghancurkan keberadaan dan kekuasaan yang ada, melainkan untuk mencari solusi atau resolusi yang terbaik, keadilan dan mencari titik temu dalam kebersamaan membangun bangsa dan negara.
Di dalam Ajaran Buddha Dharma, disabdakan; “Sang Buddha adalah seorang yang mempunyai pandangan manusiawi yang luas dan mendalam; jauh dari mencoba pemaksaan serangkaian azas atau aturan disiplin yang tetap atas orang lain. Sebaliknya Sang Buddha juga mempunyai jenius dalam menyesuaikan diri dengan watak khas pribadi setiap orang yang diajaknya berbicara dan yang menjadi lawan bicaranya ketika menguraikan kebenaran Dharma bagi pribadi tersebut dengan cara yang membuat kebenaran Dharma itu benar-benar penuh arti. Dia buka seorang ahli disiplin melainkan “Penganjur Kebebasan”, seorang pemuja kekuatan dan ketahanan yang mengagumkan dalam daya hidup”.
16. Etika dan Peran Penegak Hukum dan Kepolisian
Dalam Cerita Jataka, disebutkan, bahwa penguasa atau hakim yang menghukum orang yang tidak bersalah dan tidak menghukum orang yang melakukan kejahatan, tidak sesuai untuk memerintah suatu negara.
Di dalam Dhammapada 19, 256-257, disebutkan: “Jika seseorang memutuskan perkara sewenang-wenang, ia bukanlah seorang yang adil dan bijaksana. Seorang yang adil dan bijaksana, seharusnya memutuskan suatu perkara setelah ia mempertimbangkan mana yang benar dan salah. Orang yang bijaksana akan mengadili secara jujur, tidak memihak dan juga tidak sewenang-wenangnya dan sesuai dengan kebenaran. Ia selalu bertindak sesuai dengan kebenaran Dharma. Apabila ia bertindak demikian, maka ia patut disebut orang yang berpegang teguh pada kebenaran Dharma”.
17. Penyakit Mental dan Reformasi
Budaya kekerasan untuk menyelesaikan masalah sekarang begitu marak dan mewabah. Emosi masyarakat sekarang begitu tinggi dan sulit terkendali. Hal-hal sepele bisa menyulut perkelahian massal bahkan sampai saling membunuh. Tuntutan masyarakat terhadap pemerintah atau wakil rakyat banyak dilakukan dengan aksi menutup jalan tol dan memacetkan jalan, sehingga merugikan kepentingan umum, cenderung anarkis merusak fasilitas umum. Melihat kondisi demikian, gejala apa yang sedang terjadi, dan bagaimana mengatasinya?
Hyang Buddha menegaskan, carilah akar terdalam penyakit manusia yang ditemukan dalam pikiran manusia. Hanya dalam pikiran manusia, reformasi sejati dapat dijalankan. Reformasi yang dilakukan dengan cara demontrasi melakukan politik praktis dan aksi kekerasan terhadap pemerintah atau dunia luar akan berumur pendek dan tidak efektif, karena hal tersebut tidak berakar. Tetapi perbaikan yang timbul sebagai hasil dari perubahan kesadaran manusia dan berkembangnya nurani hati akan tetap berakar. Jadi perbaikan terjadi ketika pikiran manusia telah direformasi, sehingga mampu menghidupkan kembali cinta mereka akan kebenaran, keadilan, kebijaksanaan dan welas asih.
Pengaruh informasi, tayangan media, kemacetan, persaingan dan kompleksitas kehidupan, membuat masyarakat hidupnya gelisah tidak tenang, batinnya kacau tidak leluasa. Melihat kondisi demikian selayaknya para tokoh agama mengajarkan meditasi secara berkala untuk menentramkan hati dan pikiran masyarakat. Di dalam Dhammapada 20, 282, disebutkan: “Dengan melatih meditasi, kebijaksanaan akan berkembang. Tanpa latihan meditasi, kebijaksanaan akan terkikis”. Meditasi adalah pendekatan psikologis untuk pengembangan, pelatihan, dan pemurnian pikiran”.
Di dalam Majjima Nikaya 1, 424, disebutkan: “Kembangkanlah meditasi cinta kasih, maka kebencian akan lenyap; Kembangkanlah meditasi welas asih, maka kejahatan akan lenyap; Kembangkanlah meditasi simpati, maka ketidaksukaan akan lenyap; Kembangkanlah meditasi keseimbangan batin, maka panca indera akan terkendali; Kembangkanlah meditasi kekotoran batin, maka kemelekatan akan lenyap; Kembangkanlah meditasi ketidak-kekalan, maka kecongkakkan ‘keakuan’ akan lenyap”.
18. Etika Reformasi Sosial
Reformasi sosial dapat tercapai, bukan dengan kekerasan dan hukuman, melainkan dengan pendidikan dan kasih. Pendidikan agama pada abad sekarang ini bukan melulu mengarah kepada ritual dan seremonial, bukan pula hanya memuja dan tunduk kepada yang di luar saja, melainkan harus menata, menaklukkan dan mengembangkan potensi dirinya sendiri. Untuk mencegah dan mengantisipasikan berbagai penyelewengan dan kejahatan, maka perlu digalakkan budaya malu berbuat jahat dan takut akibat perbuatan jahat, yang dikenal dalam bahasa Buddhis, yaitu: Hiri dan Ottappa.
Untuk itu, pendidikan agama yang efektif yang dibutuhkan sekarang ini harus menjurus kepada Pendidikan Psikologi kejiwaan untuk membentuk mental dan karakter yang baik. Agar pemimpin dan masyarakat luas memiliki jiwa yang sehat, sadar, arif dan bajik. Terutama ajarkan kebenaran hukum sebab akibat (Hukum Karma) untuk menyadarkan, meredakan aksi kejahatan dan meningkatkan kebajikan agar sikap dan perilaku rakyat menjadi beradab, disiplin, simpatik dan mulia.
19. Pancasila Buddhis Mengendalikan Sikap Perilaku Masyarakat
Banyak makhluk bertubuh manusia tapi tidak memiliki jiwa manusia, senang berbuat onar, anarkis dan merugikan makhluk lain. Hyang Buddha pernah bersabda: “Bila manusia tidak melaksanakan Pancasila dalam kehidupan sehari-harinya, maka kehidupan sekarang ia telah gagal jadi manusia, kelak kehidupan selanjutnya tidak bisa jadi manusia lagi”.
Pancasila Buddhis, kelima sila ini, menunjukkan lima etika umat awam yang penting harus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, untuk pengendalian diri umat manusia yang mesti dilatih. Yakni, aturan pertama untuk mengendalikan nafsu amarah, menyakiti, dan membunuh; Kedua, nafsu keinginan untuk memiliki materi dengan keinginan dan cara salah, seperti mencuri, korupsi dan menipu. Ketiga, gairah dan nafsu keinginan akan badan jasmani yang sesat, seperti melakukan zina, atau seksual sesat. Keempat, ketakutan, kebusukan hati (penyebab ketidak-jujuran) dan ucapan tidak benar seperti dusta, kata kasar/kotor, fitnah dan gosip; Kelima, keinginan akan kegairahan-kegairahan yang tak berguna dan membawa dampak buruk, seperti minuman keras dan narkoba yang membuat mabuk, teler (kehilangan kesadaran) dan membuat ketagihan.
20. Etika dan Peran Media
Peran dan fungsi media elektronik dan cetak saat sekarang ini bukan hanya sekedar menyampaikan berita, ilmu pengetahuan dan tayangan hiburan yang dirasakan masih kurang mendidik dan membangun moral bangsa. Untuk mencegah kekotoran batin masyarakat dan kerusakan mental para penonton, kiranya semua tayangan harus terlebih dahulu di filter atau disaring, juga penayangannya harus sesuai waktu dan peruntukkannya. Utamakan peran dan kontribusinya untuk mendidik dan mendewasakan pikiran untuk para pembacanya, mencerdaskan dan menumbuhkembangkan kebijaksanaan masyarakat.
Pepatah Tiongkok mengatakan: “Promosikan kebaikan orang di mana saja, sebaliknya berita keburukan orang jangan dipublikasikan”. Hal ini dimaksudkan agar rakyat dapat meniru dan belajar kebaikan, juga malu dan sulit melakukan kejahatan. Di dalam Anguttara Nikaya 2, 78, disebutkan: “Tidak menceritakan keburukan orang lain, sekalipun ditanya, apalagi jika tidak ditanya. Bila perlu berbicara, sepatutnya dikemukan dengan hati-hati, inilah sikap bicara orang bijaksana. Selanjutnya, ditanya atau tidak ditanya selalu menceritakan kebaikan orang lain. Jika ditanya perlu untuk berbicara, sepatutnya memuji kebaikan orang lain tersebut dengan terus terang, tanpa keraguan dan jelas. Inilah arti dari perkataan bijaksana”.
21. Etika & Peran Para Profesional
a. Pengertian Profesi dan Profesional
Para professional dalam melaksanakan peran dan kegiatan utamanya sesuai dengan jabatan, profesi, pengetahuan atau keahlian yang disandangnya tersebut tidak terlepas dari etika jabatan/profesi yang berkaitan dengan kode etik perilaku dan kode etik jabatan/profesi sebagai standar moral, yaitu: tindakan etis sesuai dengan pedoman dalam berperilaku atau bertindak sebagai professional dalam mengambil keputusan, dan prosedur apa yang akan dilakukannya secara obyektif, serta dapat dipertanggungjawabkan. Disamping itu harus memiliki keahlian, kemampuan (keterampilan tinggi), dan dituntut untuk memiliki perilaku baik, mempunyai budi luhur atau akhlak yang tinggi.
b. Ciri-ciri professional
Seorang professional harus memiliki ciri-ciri khusus tertentu yang melekat pada profesi yang ditekuni oleh yang bersangkutan:
i. Memiliki skill atau kemampuan. Pengetahuan tinggi yang tidak dipunyai oleh orang umum lainnya, apakah itu diperoleh dari hasil pendidikan tinggi atau pelatihan yang diperolehnya dan ditambah pengalaman selama bertahun-tahun yang telah ditempuhnya sebagai professional.
ii. Mempunyai kode etik, dan merupakan standar moral bagi setiap profesi yang dituangkan secara formal, tertulis dan normatif dalam suatu bentuk hukum, aturan yang disepakati bersama dan perilaku ke dalam “kode etik”. Yang merupakan standar atau komitmen moral kode perilaku (code of conduct) dalam melaksanakan tugas dan kewajiban selaku by profession dan by function yang memberikan bimbingan, arahan, serta memberikan jaminan dan pedoman bagi profesi yang bersangkutan untuk tetap taat dan mematuhi kode etik tersebut.
iii. Memiliki tanggung jawab profesi (responsibility) dan intergritas pribadi (intergrity) yang tinggi, baik terhadap dirinya sebagai penyandang profesi, maupun terhadap publik, pimpinan, lembaga, penggunaan media umum atau massa. Menjaga keutuhan, martabat serta nama baik bangsa dan negeranya.
iv. Memiliki jiwa pengabdian kepada publik, masyarakat, bangsa dan negara. Dengan penuh dedikasi profesi luhur yang disandangnya, yaitu dalam mengambil keputusan adalah meletakkan kepentingan pribadi demi kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Memiliki jiwa pengabdian dan semangat dedikasi tinggi tanpa pamrih dalam memberikan pelayanan jasa keahlian dan bantuan kepada pihak lain yang memang membutuhkan.
v. Otonomisasi professional yang terkait, yaitu memiliki kemampuan untuk mengelola (manajemen) pemerintahan pusat dan daerah. Mempunyai kemampuan dalam perencanaan program kerja jelas, strategis, mandiri, dan tidak tergantung pihak lain serta sekaligus dapat bekerja sama dengan pihak-pihak terkait. Dapat dipercaya dalam menjalankan operasional, peran dan fungsinya. Disamping itu memiliki standar dan etos kerja professional yang tinggi.
vi. Menjadi anggota salah satu organisasi profesi sebagai wadah untuk menjaga eksistensinya, mempertahankan kehormatan dan menertibkan perilaku standar profesi sebagai tolok ukur itu agar tidak dilanggar. Selain organisasi profesi sebagai tempat berkumpul, dan fungsi lainnya adalah merupakan wacana komunikasi untuk saling tukar menukar informasi, pengetahuan dan membangun rasa solidaritas.
Di dalam Sangity Sutta, disabdakan : Tujuan harta kekayaan Mulia (Ariya Dhanani), 1. Kekayaan keyakinan; 2. Kekayaan sila (etika); 3. Kekayaan rasa malu berbuat jahat; 4. Kekayaan rasa takut akibat perbuatan jahat; 5. Kekayaan pengetahuan; 6. Kekayaan kemurahan hati; 7. Kekayaan kebijaksanaan. Inilah tujuh kekayaan mulia yang banyak membantu seseorang untuk meraih kesuksesan dan kemuliaan.
c. Prinsip-Prinsip Etika Profesi
Seorang professional dalam melakukan tugas dan kewajibannya itu selalu berkaitan erat dengan kode etik profesi (code of profession) dan kode perilaku (code of conduct), yaitu sebagai standar moral, tolok ukur atau pedoman dalam melaksanakan pekerjaan dan kewajibannya masing-masing sesuai dengan fungsi dan peran dalam jabatan atau lembaga yang diwakilinya. Membedakan secara etis mana yang dapat dilakukan dan mana yang tidak dapat dilakukannya sesuai pedoman kode etik profesi atau hukum yang berlaku.
i. Kemampuan untuk kesadaran etis (ethical sensibility), merupakan landasan kesadaran utama bagi seorang profesi untuk lebih sensitif dalam memperhatikan kepentingan profesi bukan untuk subyektif, tetapi ditujukan untuk kepentingan yang lebih luas (obyektif).
ii. Kemampuan untuk berpikir etis (ethical reasoning), memiliki kemampuan, berwawasan dan berpikir secara etis dan mempertimbangkan tindakan profesi atau mengambil keputusan harus berdasarkan pertimbangan rasional, obyektif dan penuh dengan intergritas pribadi serta tanggung jawab yang tinggi.
iii. Kemampuan untuk berperilaku secara etis (ethical conduct), memiliki perilaku, sikap, etika moral dan tata krama (etika) yang baik (good moral and good manner) dalam bergaul atau berhubungan dengan pihak lain (social contact). Termasuk memperhatikan hak-hak pihak lain dan saling menghormati pendapat atau menghargai martabat orang lain.
iv. Kemampuan untuk kepemimpinan yang etis (ethical leadership), kemampuan atau memiliki jiwa untuk memimpin secara etis, diperlukan untuk mengayomi, membimbing dan membina pihak lain yang dipimpinnya. Termasuk menghargai pendapat dan kritikan dari orang lain demi tercapainya tujuan dan kepentingan bersama.
Di dalam Dhammapada Syair 217, disabdakan: “Barang siapa sempurna dalam sila dan mempunyai pandangan terang, teguh dalam Dhamma (kebenaran), selalu berbicara benar dan memenuhi segala kewajibannya, maka semua orang akan mencintainya”.
Etika dan Peran Para Usahawan
Sistem perekonomian Buddhis, bukan semata pada keuntungan, melainkan bagaimana sistem tersebut bisa memberikan dampak lebih baik bagi masyarakat luas. Sistem ekonomi Buddhis adalah bukan merupakan ilmu yang berdiri sendiri, melainkan salah satu disiplin ilmu yang saling bergantungan satu sama lainnya. Ilmu ini bekerja bersama-sama menuju satu tujuan yang sama yaitu kehidupan sosial, pribadi dan lingkungan yang baik.
Buddhisme tidak menentang memperoleh kekayaan secara benar melalui mata pencaharian yang merupakan satu dari “Delapan Jalan Utama”. Kemudian Hyang Buddha mengajarkan cara yang baik untuk menghasilkan kekayaan. Beliau mengajarkan upaya tekun dan atusiasme yang tinggi adalah kualitas esensial yang perlu dikembangkan oleh orang yang mau menjadi kaya. Hyang Buddha pun menentang dan melarang umatnya untuk tidak melakukan pencurian, perampokan, penipuan, korupsi dan kejahatan lainnya dalam usahanya menjadi kaya dan makmur. Kekayaan seharusnya dicari dengan kejujuran, dengan cucuran keringat dan usaha keras, hemat, produktif, kreatif dan inovatif. Di dalam ajaran Buddhis dikenal istilah: 1. Kenal rejeki, 2. Menyayangi Rejeki, 3. Mengembangkan rejeki, 4. Menanam rejeki.
Mata pencaharian yang benar, mereka yang menjalankan penghidupan benar tidak akan merugikan atau merusak kehidupan makhluk lain. Hyang Buddha menegaskan larangan dalam usaha, yang berkaitan dengan sila, terdapat lima jenis perdagangan yang dilarang dan harus dihindari. Yaitu: 1. Mendirikan rumah jagal. 2. Berdagang senjata. 3. Berdagang seksual/pornografi. 4. Usaha Perbudakan manusia atau binatang 5. Berdagang minuman keras, racun atau narkoba.
22. Etika Pendidikan & Keilmuan
Tujuan pendidikan utamanya mengajarkan umat manusia menjadi baik, benar dan berguna, untuk mengisi kehidupan, memberikan kontribusi dan manfaat bagi kebaikan umat manusia. Segala usaha yang baik dan benar dapat membawa kebaikan harus ditujukan untuk mengangkat moralitas, harkat dan martabat umat manusia. Untuk itu, selayaknya umat manusia senantiasa ‘ke dalam berbenah diri dan keluar mengembangkan potensi diri’. Utamakan menjalin hubungan horizontal dan vertikal yang harmonis dan bersinergi untuk membentuk kehidupan bersama yang sejahtera dan makmur.Orang yang berperilaku baik terlebih dahulu baru kemudian mengajar orang lain untuk berbuat hal yang sama, ia adalah ‘Orang Mulia’. Mengajar orang lain berbuat baik, lalu ikut melakukan hal yang sama, maka ia adalah ‘Orang bijaksana’. Bila hanya bisa mengajarkan orang lain berbuat baik, tapi diri sendiri tidak melakukan, maka ia adalah “Seorang PEMBOHONG”.
Pola pemikiran seseorang menentukan perbuatan, perbuatan membentuk kebiasaan, kebiasaan membentuk karakter, karakter menentukan nasibnya. Umumnya pola pemikiran manusia awam dibentuk oleh keadaan subyektif dan dipengaruhi oleh kondisi obyektif. Keadaan subyektif yang bermasalah tidak dapat memperbaiki kondisi obyektif. “Pikiran bodoh pasti kemauannya buruk; Mental jahat otomatis kondisi dirusak”.
Mengajarkan murid menjadi pandai dan cerdas itu mudah. Tetapi mengajarkan murid menjadi baik dan bijaksana itu sulit. Memiliki kepandaian tanpa moral yang baik, hanya menyesatkan orang lain. Kecerdasan tanpa kebijaksanaan, hanya menguntungkan diri sendiri sering merugikan orang lain.
Pengajaran adalah guru memberi contoh, kemudian murid meniru. Tugas mulia dan kewajiban luhur seorang guru pengajar, bukan hanya mengajarkan ilmu kepandaian saja melainkan dahulukan pendidikan budi pekerti, etika sopan-santun, disiplin dan moral, baru kemudian kepandaian dan prestasi.
Setiap orang harus berperan baik dalam bidangnya masing-masing, memberikan contoh yang baik, pasti bisa menggugah dan mengubah kebiasaan yang buruk dalam masyarakat.
23. Dibutuhkan Pendidikan Etika dan Moral
Kecerdasan tanpa moralitas akan menjadi manusia licik. Kebajikan tanpa Bodhicitta (keluhuran pikiran) akan menjadi manusia siluman.
Pemerintah bersama para guru berkewajiban menyusun dan memberikan pendidikan etika moral kepada setiap pelajar dan semua generasi untuk menumbuh kembangkan budi pekerti, ajaran sopan-santun, dan etika hidup beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Guna membangun ketertiban, keteraturan, kesopanan, keamanan, dan kenyamanan demi kesejahteraan kita semua dan membangun citra dan budaya luhur bangsa. Apabila ajaran etika moral diabaikan, dipastikan sikap perilaku masyarakat menjadi liar, buas dan beringas. Ditambah lagi bila mental masyarakat sakit, jika pikiran masyarakat gelap, maka perilaku masyarakat menjadi negatif, nasib mereka pun akan menjadi buruk, efek luasnya kehidupan masyarakat menjadi kacau, bangsa menjadi tidak beradab dan nasib negara menjadi suram.
24. Etika Pengelolaan Lingkungan Hidup
Krisis lingkungan hidup yang dihadapi manusia moderen merupakan akibat langsung dari pengelolaan lingkungan hidup yang “nir-etik” (tanpa etika). Alam begitu saja dieksploitasi dan dicemari. Akibatnya terjadi penurunan secara drastis kualitas sumber daya alam seperti lenyapnya sebagian spesies dari muka bumi, yang diikuti pula penurunan kualitas alam. Pencemaran dan kerusakan alam pun akhirnya mencuat pemanasan global akibatnya kehidupan manusia tidak nyaman dan terganggu, daratan semakin berkurang, munculnya berbagai bencana alam, iklim yang kacau, gempa, badai dan banjir.
Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. Pengelolaan lingkungan hidup diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seutuhnya.
Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Dari sinilah jelas bahwa: setiap warganegara atau masyarakat tentunya mempunyai hak yang sama atas pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sehingga, setiap orang mempunyai hak dan kewajiban untuk berperan menjaga, mengelola dan melestarikan lingkungan hidup. Selain mempunyai hak, setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan sekaligus pengrusakan lingkungan hidup.
Dalam Sutra Vimalakirti disabdakan: “Bila ingin lingkungan hidup asri, jernihkan hati dan pikiran; Bila hati murni maka tanah suci terbentuk”.
Maha Bodhisattva Siddharta calon Buddha terlahir di hutan, bertapa di hutan, mencapai kesempurnaan di hutan, membabarkan Dharma di hutan dan memasuki Maha Parinirvana juga di hutan. Oleh sebab itu, boleh dikatakan keberadaan hutan begitu penting dan sakral yang merupakan ladang tumbuh dan berkembangnya ajaran Buddha. Melestarikan lingkungan hutan termasuk kategori melestarikan sejarah agama Buddha.
Menurut agama Buddha, cuaca dipengaruhi oleh karma kolektif dari seluruh makhluk. Segala fenomena adalah perwujudan dari hasil interaksi energi karma kolektif dan karma individu-individu. Menurut ajaran Buddha, bencana alam seperti letusan gunung berapi dapat dihubungkan terutama dengan nafsu birahi, kebencian dan kedengkian; bencana banjir dihubungkan dengan keserakahan; bencana alam angin topan dihubungkan terutama dengan pandangan sesat; bencana gempa bumi dihubungkan dengan ketidakadilan dan penindasan semena-mena. Cuaca dan iklim dipengaruhi oleh tindak-tanduk manusia sendiri, atau dengan kata lain manusia sendirilah yang menentukan apa yang akan terjadi pada dirinya, relasi, kondisi yang berkaitan dengan hukum sebab akibat. Sebab akibat perbuatan manusia, karma utamanya tentu saja untuk manusia itu sendiri, sedangkan perbuatan manusia dapat menimbulkan karma efek yaitu mempengaruhi lingkungan atau kondisi hidup manusia.
25. Etika Bermusyawarah Mufakat
Hendaknya sila musyawarah dapat dibudayakan ke seluruh lapisan masyarakat. Sebaliknya kikis habis budaya pemaksaan yang mengatasnamakan ramai-ramai (demokrasi) dengan menegakkan hukum yang adil, tegas dan tuntas. Di dalam Sutra Nirvana, disabdakan: “Taatlah pada hukumnya, jangan taat karena orangnya”.
Dengan melaksanakan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab serta sila Musyawarah mufakat akan menjadi sebab utama yang mengakibatkan tercapainya Persatuan Indonesia dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
26. Etika Pemilihan Capres dan Wakil Rakyat
Di mulai saat sekarang dan ke depan, untuk mendapatkan kepemimpinan bangsa, dan pejabat negara yang berkualitas, bermoral dan memiliki keteladanan, kiranya diperlukan konsensus bersama semua pihak di saat mendekati Pemilihan Umum Calon Presiden (Pemilu Capres) dan calon Wakil Rakyat, dengan membuat perangkat peraturan yang terkait dengan pengujian terhadap mentalitas, moralitas dan spiritualitas. Calon pejabat harus teruji dan unggul dalam pendidikan kebangsaan dan berbakat sebagai negarawan, tentu dengan menengok atau melacak latar belakang sejarah pribadi dan kontribusinya dalam masyarakat. Juga harus memiliki kemampuan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai universal agama dalam menata dan membangun negara. Sekaligus mempunyai strategi dan komitmen yang konstruktif pada penegakkan “Empat Pilar Kebangsaan” untuk menjaga keutuhan bangsa.
Demikian makalah singkat yang bertemakan “Etika Berbangsa dan Bernegara Dalam Perspektif Ajaran Buddha” dibuat, semoga dapat di ambil hikmahnya dan bermanfaat. Akhir kata “Semoga semua makhuk berbahagia”, sadhu, sadhu, sadhu.
*** Adapun makalah ini pernah disampaikan secara lisan dan singkat padat oleh YM Bhiksu Tadisa Paramita Mahasthavira yang mewakili organisasi WALUBI pada saat Kongres Nasional Tokoh Agama IV, Tanggal 5-6 Desember 2012, di Sheraton Media & Tower, Jakarta. Acara ini diselenggarakan oleh Pusat Kerukunan Umat Beragama Kementrian Agama Republik Indonesia.