Pesan Waisak BE 2557/2013 – Agama Dan Pendidikan Tanpa Moralitas Menumbuhkembangkan Penyakit Sosial

(oleh YM Bhiksu Tadisa Paramita Mahasthavira, Ketua Umum Sangha Mahayana Buddhis Internasional)

Setiap tahun kita sebagai umat Buddha tentu berperan aktif dan berpartisipasi merayakan Hari Raya Trisuci Waisak, untuk memperingati Kelahiran, Kesempurnaan, dan Mahaparinirvananya Guru Agung Sakyamuni Buddha. Memperingati Hari Trisuci Waisak tidak cukup dengan upacara ritual, seremonial dan kebajikan saja melainkan apakah kita sudah menyadari makna dan tujuan hidup manusia yang sesungguhnya di muka bumi ini? Bagaimanakah sikap dan perilaku kita dalam kehidupan seharai-hari? Apakah kita sudah memperbaiki watak dan tabiat buruk kita? Kalau belum mampu meningkatkan kualitas religius dalam kehidupan sehari-hari, maka maksud dan tujuan utama perayaan Waisak yang setiap tahun di adakan tidaklah berarti dan tepat sasaran. Sesungguhnya memperingati Hari Trisuci Waisak adalah selain memuliakan Guru Agung Sakyamuni Buddha, juga menyadarkan umat manusia agar menggugu dan meniru sikap dan perilaku Pangeran Siddharta Goutama yang menyadari ketidakkekalan segala fenomena dan menembusi hukum kesunyataan untuk berjuang mengatasi penderitaan dan mengakhiri siklus tumimbal lahir yang menyakitkan. Perjuangan utamanya di arahkan ke atas mencapai Kebuddhaan dan ke bawah menolong semua makhluk, sekaligus mengabdi dan berbakti untuk membabarkan kebenaran Dharma dan membimbing semua makhluk agar bebas dari bodoh dan derita.

Ajaran Buddha menghapus perbudakan agama
Suara Hyang Buddha merupakan suara paling lantang yang pernah terdengar dalam sejarah manusia dalam menjunjung martabat manusia dan dalam prinsip bahwa manusia adalah penentu nasibnya sendiri, dan bahwa figur manusia bukan untuk jadi budak agama, tetapi agamalah yang harus melayani manusia. Hal ini berarti manusia harus menggunakan agama untuk menjadikan dirinya lebih baik dan untuk mencapai kebebasan.
Ajaran Buddha dapat menghapus kegelapan dari kebodohan batin dan membebaskan umat manusia dari bahaya ilusi bawah sadar dan perbudakan oleh agama. Ia dapat membantu manusia untuk menjadi tuan bagi dirinya sendiri. Manusia dapat membebaskan dirinya sendiri dari segala kejahatan jika ia dapat mengerti sifat pikirannya sendiri. Pada zaman modern, aneka hiburan telah disuguhkan untuk memuaskan emosi, mengacaukan mentalitas, mengendurkan pikiran manusia, membiuskan manusia ke dalam sensasi dan ilusi. Mereka telah menjadi seperti obat bius yang hanya menciptakan kegairahan dan kegelisahan di dalam pikiran yang memunculkan sifat binatang yang tersembunyi pada manusia. Tujuan utama agama adalah untuk menenangkan dan mencerahkan pikiran, untuk mengurangi tekanan, keresahan, dan ketakutan dalam pikiran.

Moralitas Membangun Peradaban Luhur
Terlahir sebagai manusia itu sulit, mau jadi manusia-manusia, artinya peroleh tubuh manusia batinnya juga manusia tentu lebih sulit lagi, ditambah lagi bila mau melakoni kehidupan manusia yang benar dan baik teramat sulit. Ini perjuangan manusia yang harus mampu mempertahankan kualitas kemanusiaan, jangan sampai merosot. Alangkah indahnya bila kualitas manusia terus meningkat, berbakat dan bertekad minimal jadi dewa, makhluk suci atau menjadi Bodhisattva. Jaman sekarang ini kesibukan manusia hanya cenderung cari uang dan berambisi mencari kekayaan materi saja tapi mengabaikan kualitas moralitas, mentalitas dan spiritualitas. Akibatnya banyak orang sekarang ini, hidupnya makmur tapi berpenyakit jiwa, kebutuhan terpenuhi tapi hati tidak riang.
Manusia dapat mengalami lima jenis kehilangan, yaitu: kehilangan keluarga, kekayaan, kesehatan, moralitas dan pandangan benar. Tidak ada satu pun makhluk yang jatuh ke alam neraka setelah kematian akibat kehilangan keluarga, kekayaan atau kesehatan, tetapi umumnya makhluk hidup terjatuh ke alam-alam menyedihkan karena kehilangan moralitas dan pandangan benar.
Jika umat manusia menolak untuk berlatih pengendalian diri, ia bukan hanya mungkin melukai orang lain, tetapi ia pasti akan merusak diri sendiri.
Segala tindakan yang kita lihat di dunia ini, segala gerakan di dalam masyarakat manusia, segala karya di sekitar kita, semata-mata merupakan pertunjukkan pikiran, manifestasi hasrat manusia. Bila pikiran umat manusia buruk maka sikap dan perilakunya buruk, lingkungan dirusak,dan pemerintahan pun diganggu, dan dunia pun jadi kacau, sebaliknya bila hati manusianya baik maka semuanya akan menjadi baik pula.
Era globalisasi sekarang ini umumnya ada tujuh penyakit sosial, yaitu:  Politik tanpa prinsip; kekayaan tanpa bekerja; perdagangan tanpa menghiraukan moralitas; pendidikan tanpa watak; kesenangan tanpa hati nurani; ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan; cinta tanpa pengorbanan.
Kecenderungan umat manusia yang memiiki wawasan pikiran sempit dan tersekat sehingga mudah berprasangka jelek, antara lain: Hidup di mana pun di dunia tetapi menentang ras, agama, warna kulit dan berbagai tradisi adalah seperti hidup menentang kodrat alamiah bagaikan orang eskimo di Alaska tetapi menentang salju.
Untuk membangun Bangsa harus ada empat prinsip yang wajib dilaksanakan, yaitu: sopan satun, kejujuran, integritas dan rasa tahu malu adalah empat prinsip etis dalam membangun bangsa. Tanpa pengembangan yang tepat akan keempat prinsip etis tersebut, negara akan mengalami kekacauan dan secara pasti akan mengalami kemusnahan.
Berbuat baik, menjadi baik dan tetap baik: mungkin tidak begitu sulit untuk berbuat baik, adalah lebih sulit untuk menjadi baik. Namun mempertahankan sikap mental yang baik dan melakukan suatu pelayanan kepada orang lain dengan menghadapi berbagai tuduhan, kritikan, dan gangguan adalah yang paling sulit di antara semuanya. Adalah mudah menjadi baik ketika segala sesuatunya baik, tetapi sulit menjadi baik ketika segalanya buruk.
Mengalahkan banyak orang itu mudah, tetapi dapat mengalahkan diri sendiri itu sulit. Ia yang meraih kemenangan atas orang lain adalah bertenaga, tetapi ia yang meraih kemenangan atas dirinya sendiri adalah kuat dalam segalanya.
Apa yang sulit untuk dilakukan: bagi orang baik, berbuat baik adalah mudah; bagi orang jahat, berbuat baik adalah sulit; bagi orang jahat, berbuat jahat adalah mudah; bagi orang baik, berbaut jahat adalah sulit. (Buddha-udana)

Berbagai Ciri Umat Manusia
Empat ciri manusia: 1. Mereka yang mencoba mencari kesalahan mereka sendiri, betapapun kecilnya kesalahan itu, mencoba untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan itu dan hanya melihat kebaikan yang dilakukan orang lain. 2. Mereka yang melihat kebaikan di dalam diri mereka dan kebaikan pada diri orang lain. 3. Mereka yang hanya melihat kebaikan di dalam diri mereka dan hanya melihat kesalahan orang lain (dan mencoba merendahkan orang yang membuat kesalahan). 4. Mereka yang memandang sifat negatif mereka sebagai hal yang positif dan merendahkan kebaikan yang dilakukan orang lain.
Berbagai motivasi orang: 1. Orang yang bekerja untuk kebaikan dirinya tetapi tidak untuk kebaikan orang lain; 2. Orang yang bekerja untuk kebaikan orang lain tetapi tidak untuk kebaikan diri sendiri; 3. Orang yang bekerja tidak untuk kebaikan dirinya sendiri ataupun tidak untuk kebaikan orang lain; 4. Orang yang bekerja untuk kebaikan dirinya sekaligus untuk kebaikan orang lain.
Apa yang dapat anda bawa dari sini? ia yang melekati milik dirinya yang berharga dengan kejahatan yang membuatnya tak terkait. Seorang pelaku kejahatan yang bersuka ria (sejenak) tidak berarti bahwa hal itu baik. Diserang oleh kematian yang ‘menyusul’ dan kehilangan sifat kemanusiaan, apa guna kekayaan baginya, dan apa yang akan dibawa kemudian? Segala perbuatan akan mengikutinya bagaikan bayangan yang tak pernah terpisah darinya. Perbuatan baik dan perbuatan jahat yang dilakukan oleh orang secara sembunyi maupun terang diketahui oleh dirinya sendiri, langit, bumi dan saksi. Inilah miliknya yang sesungguhnya yang akan ia bawa semasa hidup maupun setelah kematian. Segala hasil perbuatan akan mengikuti dan mengganjarnya. Karena itu perbuatan mulia harus banyak dilakukan.
Manusia tidak langsung jadi: manusia sekarang merupakan hasil dari jutaan bentuk pikiran dan tindakan yang lalu. Ia tidak diciptakan langsung jadi, tetapi selalu dalam keadaan menjadi. Proses pikirannya sendiri menentukan perangainya. Manusia tidak menjadi sempurna dengan sendirinya, ia harus melatih dirinya untuk menjadi sempurna. Manusia bukan siapa dia, tetapi siapa yang bukan dia. Ini berarti bahwa umat manusia sekarang tidak bertingkah laku sebagaimana mereka seharusnya bertingkah laku.
Bertindak dengan sepenuh hati, bergembira memberikan kontribusi dan pengabdian. keheningan dalam melaksanakan tugas, berkarya tanpa melekat, berjuang tanpa bergejolak, menolong tanpa pamrih, itulah perilaku bijaksana dan praktik agung yang menuju pencerahan dan pembebasan.
Menurut Hyang Buddha, apa yang diperlukan oleh umat manusia untuk kebahagiaan dan kebebasannya adalah bukan hanya kepercayaan-kepercayaan religius, ritual-ritual, atau teori-teori, tetapi pengetahuan Dharma, sifat universal atau sifat alam semesta dan harmoni yang menyeluruh dengan hukum sebab akibat. Sebelum prinsip ini dimengerti sepenuhnya, kehidupan hanyalah sebuah manifestasi dari sifatnya sendiri yang tidak sempurna dan tidak dapat diprediksi.

Pendidikan dan Moralitas Mutlak Diperlukan
Pengetahuan datang dari banyak sumber: seperempat bagian dari pengetahuan murid diperoleh dari gurunya, seperempat   yang lain diperoleh dari kecerdasannya sendiri; seperempat bagian yang ketiga diperoleh dari sesama murid. Dan seperempat bagian yang terakhir diperoleh dari pengalaman seiring perjalanan waktu. Pengetahuan bukanlah kebijaksanaan; kebijaksanaan bukanlah pengetahuan. Kita memperoleh pengetahuan setelah mendengar, membaca, dan mengamati banyak hal di dunia ini, tetapi itu bukanlah kebijaksanan dalam pengertian yang sesungguhnya. Kebijaksaan hanya muncul di dalam pikiran ketika rintangan, gangguan dan berbagai kekotoran batin tidak aktif di dalam pikiran.
Ada banyak orang yang terpelajar di seluruh dunia yang tidak diragukan memiliki pengetahuan yang mengagumkan, namun sayang sekali sebagian dari mereka kurang bijaksana. Mereka pandai tetapi tingkah laku mereka di ragukan. Mereka mungkin mudah marah, egoistik, emosional, iri hati, tamak dan temperamental. Di lain pihak, ada orang-orang yang sangat baik hati, sabar, toleran, dan memiliki sifat-sifat baik lainnya. Namun mereka juga kurang bijaksana sehingga dapat dengan mudah disesatkan oleh orang lain. Jika kita mengembang kan kemurahan hati tanpa pengetahuan yang tepat, kita akan mendapatkan kesulitan ketika orang mengambil keuntungan dari kita. Karena itu, pengetahuan dan sifat-sifat yang baik harus jalan bersama. Tiga macam pengetahuan: yang diperoleh dengan belajar, yang diperoleh dengan berpikir, dan yang diperoleh dengan meditasi. Inilah kebijaksanaan, yang merupakan puncak dari latihan tiga ruas, disiplin, konsentrasi, dan kebijaksanaan, yang menuju kebahagiaan tertinggi. Jika seseorang mencoba memahami segala sesuatu, maka orang tersebut  tidak akan memahami apapun; kalau seseorang memahami diri sendiri, ia akan memahami segala sesuatu. Seseorang hanyalah produk dari pemikirannya; apa yang ia pikirkan, itulah yang akan terjadi padanya.
Semua pengetahuan dangkal yang di dasarkan pada indera kita sungguh merupakan kebodohan batin. Pengetahuan sejati hanya diperoleh dengan melepaskan semua itu hingga kita mampu berpikir jernih dan realitas tanpa menggunakan gagasan-gagasan inderawi. Pengetahuan datang dari luar, sedangkan kebijaksanan muncul dari dalam. Setiap manusia memerlukan dua pendidikan, yaitu bersifat keluar untuk menata kehidupan dan lingkungan. Bersifat ke dalam untuk menata pikiran dan perilaku. Kilau cahaya pengetahuan: para manusia era modern beruntung karena terlahir pada suatu masa ketika cahaya pengetahuan berkilauan dengan kecermerlangan luar biasa. Karenanya, sungguh suatu hinaan bagi martabat manusia jika kita menggunakan cahaya itu bukan untuk memperbaiki pikiran dan kehidupan manusia, tetapi untuk menghancurkan diri kita sendiri bersama dengan lingkungan kita. Adalah sangat penting pula bahwa semua sarana yang tersedia pada era modern ini digerakkan untuk menyelamatkan kehidupan dan peradaban.
Belajar tanpa pengembangan kebijaksanaan dapat meningkatkan ketidaktahuan:  semakin banyak kita belajar tentang hal-hal yang ada di dunia, semakin banyak kita menciptakan konsep dan fantasi kita, yang merupakan produk dari cara berpikir kita yang terbatas dan dibentuk oleh pengertian kita yang terbatas pula. Bukannya mendapatkan kebijaksaan, kita justru meningkatkan ketidaktahuan kita. Orang-orang yang menyatakan dirinya mengetahui banyak hal hanya mengembangkan egoisme dan pandangan skeptis mereka, yang hanya semakin menciptakan kebingungan dan mengganggu kedamaian dan keyakinan di dalam pikiran mereka. Pengetahuan dan sikap yang mereka pelihara sering kali lebih banyak menciptakan kesalahpahaman dan konflik daripada menghasilkan harmoni dan  niat baik.
Manusia pada dasarnya tidak berwatak jahat: banyak orang yang melakukan kejahatan karena ketidaktahuan, bukan karena memang berwatak jahat. Agaknya, mereka lebih memerlukan bimbingan daripada hukuman.
Dua jenis orang bodoh: orang-orang yang menyalahgunakan kecerdasan mereka disebut orang tolol yang pinter, dan mereka yang mengembangkan kebaikan emosional tanpa akal sehat disebut orang bodoh yang baik hati. Hyang Buddha juga mengatakan bahwa ada dua jenis orang bodoh: mereka yang menyibukkan diri dengan hal-hal yang semestinya tidak perlu dilakukan, dan mereka yang tidak memenuhi tanggung jawab yang semestinya dilakukan.
Pengetahuan dan moralitas: dalam ajaran Buddha, tidak akan ada moralitas sejati tanpa pengetahuan, dan tidak ada pengetahuan sejati tanpa moralitas; keduanya bergandengan bersama seperti panas dan cahaya dari sebuah nyala api. Apa yang merupakan Bodhi adalah pencerahan yang disertai belas kasih. Kesadaran akan kemuliaan moral merupakan pokok dari Bodhi.
Pengetahuan (apa yang kita ketahui) akan kecil artinya jika tidak diterapkan dengan bijak untuk melayani makhluk hidup. Nilai seorang manusia akan terlihat pada apa yang dia berikan dan tidak pada apa yang dia terima. Pencapaian besar biasanya lahir dari pengorbanan besar, dan tidak pernah dihasilkan dari pementingan diri sendiri. Tiga unsur sukses,  yaitu: pelayanan, pengorbanan dan pengendalian diri adalah tiga frasa, sebagai kekuatan  untuk meraih keberhasilan dalam pemberian pertolongan kepada  dunia.
Sukses adalah mendapatkan apa yang kita inginkan; sedangkan kebahagiaan adalah mensyukuri apa yang kita dapatkan.
Disaat bulan Waisak, marilah kita introspeksi dan refleksi diri, apa makna dan tujuan manusia datang ke dunia ini? Apakah kita sudah menyadari realita kelahiran dan kematian yang akan kita alami? Apa yang kita bawa saat kematian hadir? Tentu jawaban akan bijaksana apabila kita mau menyadari hukum kesunyataan ini. Untuk itu, Marilah kita lebih giat lagi mempraktikkan ajaran Buddha dengan konsisten dan tekun untuk meraih cita-cita religius,  membebaskan diri dari penjara siklus tumimbal lahir dan memperoleh pembebasan mutlak mencapai surga Buddha. Tadyatha om gate gate paramgate para samgate bodhi svaha. Akhir kata, semoga semua makhluk berbahagia, sadhu-sadhu-sadhu. Amithofo.