Sekilas Mengenal Stupa

Stupa berasal dari sebuah kata dalam bahasa Sansekerta, stupa yang secara harfiah berarti tumpukan atau gundukan. Kata tumpukan disini mengacu pada tumpukan tanah atau batu-batu yang dibangun untuk tujuan-tujuan tertentu, misalnya untuk menyimpan abu atau relik dari seorang suci yang telah meninggal.

Arti kata dalam kamus besar bahasa Indonesia : bangunan dari batu yang bentuknya seperti genta, biasanya merupakan bangunan suci agama Buddha (tempat menyimpan relik atau benda-benda suci Hyang Buddha)

Di India, praktek mendirikan stupa merupakan suatu tradisi yang berlangsung sejak ribuan tahun yang lalu, bahkan sebelum dikenalnya cara membuat rupang yang merupakan pengaruh dari kebudayaan Yunani. Praktek mendirikan stupa ini telah dilakukan bahkan sebelum zaman Sang Buddha, dan dipertahankan sampai sekarang.

Stupa merupakan salah satu dari objek religius terpenting, khususnya untuk Buddhisme aliran Mahayana dan Vajrayana. Objek ini, dalam berbagai aspek ajaran Buddha, mempunyai tingkatan makna yang berbeda pula. Makna dari terjemahan kata stupa dalam bahasa Tibet adalah ‘wadah persembahan’, dan dalam tradisi Tibet rupang Buddha, kitab suci, dan stupa secara berturut-turut merupakan simbol religius dari tubuh, ucapan, dan pikiran Buddha. Makna yang terdalam dari stupa adalah bahwa objek ini merupakan simbol dari Tubuh Dharma Buddha.

Sang Buddha sendiri menganggap bahwa stupa adalah objek yang religius dan merupakan Tubuh Dharmanya (Dharmakaya). Beliau juga mengatakan bahwa Arahat, Bodhisatwa, dan Tahtagatha, patut didirikan stupa, dan siapapun yang melakukan hal ini dan memahaminya, akan mendapatkan kemajuan dalam batinnya. Dengan demikian, stupa juga sangat bermanfaat bagi orang hidup yang menghormatinya.

Pada zaman Hyang Buddha, terdapat dua kisah tentang pembangunan stupa yang berkaitan dengan |Hyang Buddha sendiri dan juga salah satu murid terdekatnya yaitu Arya Sariputra. Seperti tertulis dalam Mahaparinibbana Sutta, Arya Ananda pernah bertanya pada Sang Buddha, ‘Apa yang harus dilakukannya terhadap tubuh Hyang Buddha setelah Beliau Parinirwana (mangkat)?’ Hyang Buddha menjawab dengan berkata bahwa abu kremasi tubuhnya haruslah disimpan dalam sebuah stupa yang dibangun pada perempatan jalan; seperti ketika memperingati meninggalnya seorang Raja Penguasa Dunia (Cakravartin). Setelah Hyang Buddha wafat, relik tubuh Beliau dibagi menjadi delapan bagian dan dibagikan secara merata kepada delapan suku yang pada saat itu berdiam di India Utara. Masing-masing suku tersebut kemudian membangun sebuah stupa untuk menyimpan relik Hyang Buddha.

Dalam perkembangannya, stupa menjadi sebuah monumen Buddhis yang berkaitan dengan peringatan suatu kejadian penting atau berhubungan dengan objek-objek religius tertentu. Banyak dari para guru besar Buddhis, membangun stupa pada masa hidupnya, karena mengetahui kebajikan besar yang dapat diraih. Seiring jalannya waktu, makin banyak objek-objek dan nilai-nilai religius dimasukkan dan dikaitkan dengan stupa sehingga monumen ini terkadang diartikan sebagai miniatur dan seluruh alam semesta. Stupa juga dikatakan sebagai bentuk lebih konvensional dari mandala. Saat ini, suatu bangungan stupa dengan atau tanpa relik, atau bahkan lukisan stupa pada sebuah dinding atau tempat lainnya, dianggap sebagai suatu objek religius dan layak untuk dihormati, setara halnya dengan penghormatan terhadap kitab-kitab atau rupang suci.

The perfect proportions of the Buddha’s body corresponds to the design of religious monuments. Its architecture developed from the pre-Buddhist Indian grave-mound. Under these mounds the saintly ascetic were buried; their bodies were seated on the ground and covered with earth. These dome-shaped graves, or tumuli, of the saints were regarded as holy places. And were destinations for pilgrimage for the devotional and places of practice for meditators.

Ruwanweliseya, or the “Great Stupa”, is regarded as the most important of the stupas at Anuradhapura, Sri Lanka. Standing at 300 feet, it is the oldest but smallest of the three giant edifices in brick in the world. The stupa, decorated by coral brought from the Mediterranean by an envoy of the Sri Lankan king who had an audience with the Roman Emporer Caesar Augustus, was restored by successive rulers. The stupa built by King Duttugamunu, is surrounded by an elephant wall, a restored design of an earlier expression. This design has been repeated in Thailand, Burma, and other countries where Buddhism was taught by monks from Sri Lanka.

Tibetan Style Chortens
The basic structure of a Chorten consist of a square foundation symbolizing the earth, a dome symbolizing water, and thirteen tapering steps of enlightenment symbolizing the element of fire. These steps lead to a stylized parasol, the symbol of wind, which is topped in the ethereal sphere by the well-known ‘twin-symbol’ uniting sun and moon, which is the shimmering crown of the Chorten.

The Analogy with the Symbolism of the Stupa
•    The Seed of Highest Enlightenment, also depicted as a Tongue of Flame (Bindu) to be realized above the double symbol crowning Chorten.
•    The double symbol (Surya Chandra) of Sun and Rising Moon is an emblem of the Twin-unity of the Absolute Truth (of the sphere beyond normal comprehension) and the Relative Truth (of the worldly sphere).
•    The stylized Parasol (Chattra) symbolically giving protection from all evil.
•    The thirteen Steps of Enlightenment, i.e. the first ten Steps of Enlightenment (Dasha-Bhumi) and the three higher levels of supraconsciousness (Avenika-smrityupashthana).
•    The dome, corresponding to the primeval mound, as Receptacle of Relics or offerings (Dhatu-Garbha); the dome-line edifices of Old Indian Stupas were also called egg or water-bubble (Budbuda).
•    The base (Parishada) is square and four-stepped, its sides facing the four directions. Analogous to the underworld.