Tingkatkan Kesadaran & Sempurnakan Kebajikan

(oleh YM Bhiksu Tadisa Paramita Mahasthavira, Ketua Umum Sangha Mahayana Buddhis Internasional)

Hyang Bhagava  Sakyamuni Buddha yang menjadi Guru agung para Dewa dan manusia, Bapak welas asih dari empat jenis kelahiran dan Pembimbing semua makhluk di semua alam.  Kepedulian, pengorbanan dan perjuangan Guru Buddha sungguh menakjubkan, telah membuat histori sejarah emas atas perjuangan seorang manusia luhur untuk mencapai Kebuddhaan dimuka bumi ini. Semua makhluk yang berada dijagad raya ini terkesima, takjub dan salut kepada kesempurnaan Buddha. Berbagai peristiwa agung-Nya telah menggetarkan langit dan bumi. Keteladanan, kebenaran dan kesederhanaan Buddha menjadi  inspirasi dan motivasi umat manusia, untuk itu, sepatutnya kita menggugu dan meniru keteladanan dan kebajikan Buddha.

Cara pandang dan pola kehidupan manusia sangat beragam, bisa dilihat ragamnya orang awam menggunakan cermin kehidupan dan melakoni kehidupan, misalnya:
Orang awam menjadikan tolok ukur kondisi rupa sebagai cermin kehidupan.
Praktisi luar menjadikan semua takdir langit sebagai cermin kehidupan.
Orang mulia menjadikan hati nurani sebagai cermin kehidupan.
Praktisi Buddhis menjadikan hukum sebab-akibat sebagai cermin kehidupan.
Makhluk suci menjadikan hakikat jati diri sebagai cermin kehidupan.

Ragamnya cermin kehidupan yang diyakini dan dilakoni oleh masysrakat luas, semua dipengaruhi oleh kondisi kesadaran, jodoh dan karmanya masing-masing.

Orang yang belum sadar, tidak mengetahui adanya dukkha, sebab dukkha, akhir dukkha dan jalan membebaskan dukkha.  Sedangkan orang yang telah sadar ia mengetahui adanya dukkha, sebab dukkha, akhir dukkha dan jalan membebaskan dukkha. Namun bagi orang yang sudah cerah dan menembusi  realitas Prajna Paramita yang dalam, nyatanya tidak ada dukkha, tiada sebab dukkha, tiada akhir dukkha, dan tiada jalan membebaskan dukkha, keterangan ini disabdakan di dalam ‘Sutra Hati’. Perlu dipahami,  bahwa ajaran Buddha yang beragam dibabarkan berdasarkan kondisi yang disesuaikan jodoh dan kualitas makhluk tersebut. Oleh sebab itu, ajaran Buddhadharma harus dipahami secara menyeluruh dan utuh, jangan diketahui hanya sepenggal-penggal saja, melainkan harus belajar secara luas dan dalam, sehingga menumbuhkembangkan kearifan penuh.

Untuk memahami dan meningkatkan kesadaran, maka harus di awali introspeksi dan refleksi ke dalam dirinya sendiri, memahami kondisi sebab akibat dirinya sendiri, yaitu: Nama dan rupa manusia terdiri: Panca skandha delapan belas dhatu. Pancaskandha terdiri dari rupa, perasaan, pikiran, pencerapan dan kesadaran, sedangkan 18 dhatu terdiri: 6 organ indera (yaitu: mata, telinga, hidung, mulut, tubuh dan pikiran); 6 sensasi indera (yaitu: melihat, mendengar, mencium, mencicipi, sentuhan dan dharma); 6 kesadaran indera: kesadaran mata, kesadaran telinga, kesadaran  mencicipi, kesadaran sentuhan, kesadaran pikiran yang membedakan, ditambah lagi kesadaran ke-7 sang aku, kesadaran ke-8 yaitu gudang kesadaran (memory) dan kesadaran ke-9 yaitu kesadaran murni dan kedemikianan.

Umumnya umat awam batinnya belum terbina baik, maka mudah terpengaruh oleh kondisi luar dan dipermainkan oleh kebodohannya sendiri.  Bila hati tidak membedakan, semua Dharma adalah kedemikian manunggal. Natural Dharma tiada karakteristiknya, jahat atau baik semua bermuara di hati. Hati benar memunculkan dharma bajik, hati sesat menimbulkan dharma jahat. Kembang hati tiada ‘Sang Aku’  untuk keluar Triloka Dhatu, tingkatan hati welas asih untuk  menetap di dunia Saha guna menolong semua makhluk.

Mengembangkan kesadaran, semua dimulai dari:
Sadar diri: harus dimulai perenungan, yaitu: sebelum aku dilahirkan aku siapa? Setelah dilahirkan aku bagaimana? Setelah kematian mau kemana? Untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan ini dibutuhkan perenungan yang mendalam secara berkesinambungan. Seperti kita ketahui, bahwa umat manusia terdiri rupa dan nama yang dikenal sebagai jasmani dan rohani. Tubuh manusia terdiri dari empat unsur, yaitu padat, cair, panas dan udara. Bila gabungan keempat unsur tersebut bekerja tidak harmonis maka pemilik tubuh tersebut akan jatuh sakit bahkan bisa mati. Tubuh manusia memproduksi berbagai kotoran dan memiliki sembilan lobang untuk mengeluarkan kotoran setiap saat. Tubuh manusia adalah sumber kelapukan dan menjadi sarang berbagai penyakit. Karena keberadaan dan kebutuhan jasmani inipula,  manusia begitu sibuk memilihara, memanjakan  dan memberi asupan untuk kesehatan tubuh dan kelangsungan hidup. Tubuh yang berkondisi walaupun dirawat tetapi tidak luput dari kondisi lahir, usia tua, sakit dan mati. Begitupula batin manusia yang terdiri dari perasaan, pikiran, pencerapan dan kesadaran apabila tidak dibina maka akan menjadi liar dan sesat. Batin yang tidak dilatih dan dikendalikan akan dikuasai oleh ketamakan, kebencian dan kebodohan, sehingga terjadilah susah dan derita yang mendera hidupnya.

Kondisi batin bernuansakan timbul, melekat, berubah dan lenyap yang mengakibatkan berpisah yang dicintai, berkumpul yang dibenci, keinginan yang tidak tercapai  dan merajalelanya Pancaskandha. Semua yang terjadi bersifat semu dan berkondisi bagaikan impian, ilusi, ombak, bayang-bayang, bagaikan embun dan halilintar, hanya sekejab saja berlangsungnya kehidupan manusia. Karena dipengaruhi Hukum Tilakkhana, yaitu, Anicca (ketidak-kekalan), Anatta (tanpa inti/kepemilikan) dan Dukkha (penderitaan/kelapukan). Manusia bodoh pergunakan tubuh rapuh  ini untuk aksi kejahatan dan meneguk kenikmatan yang menciptakan ketagihan dan karma buruk yang luas, sedangkan orang bijaksana meminjam tubuh kepalsuan ini untuk membina diri dan mengumpulkan pahala kebajikan. Kaum intelektual tidak menyadari kefanaan sehingga pergunakan tubuh ini untuk mengejar ambisi dan kekayaan sehingga tidak luput dari siklus kelahiran dan kematian tanpa akhir.  Sedangkan orang arif menyadari kesunyataan sehingga pergunakan tubuh ini untuk meraih pencerahan dan pembebasan mutlak, melakukan kebajikan untuk menciptakan surga dan membimbing semua makhluk.  Umumnya orang bodoh hanya takut menerima akibat buruk, orang bijaksana takut menanam karma buruk, sedangkan  orang suci menyadari hukum karma dan tidak terpengaruh oleh buah karma.

Setiap masalah yang muncul, segeralah sadar, bahwa umumnya masalah itu berasal dari pikiran yang mementingkan diri kita sendiri, diciptakan oleh pikiran-pikiran yang hanya menghargai diri kita sendiri, dan dilakukan oleh instruksi pikiran-pikiran bodoh kita sendiri. Selama kita tidak memahami dan mau mengakui kesalahan sendiri, tidak mau memperbaiki sikap dan perilaku diri sendiri, melainkan mudah menyalahkan orang lain maka masalah itu semakin banyak, sulit menemukan solusi dan peroleh kebahagiaan. Setiap  pengalaman yang  kita alami dalam kehidupan adalah perwujudan pikiran kita sendiri karena kita menginterprestasikan kehidupan dan dunia kita melalui sikap mental kita.  Maka penting sekali memiliki pandang benar, pikiran benar dan motivasi yang benar dalam melakoni kehidupan fana ini. Kebahagiaan dan penderitaan semua berasal dari pikiran diri sendiri. Untuk memperoleh kebahagiaan dan terbebas dari penderitaan, kita harus bekerja  di dalam pikiran kita sendiri dan pergunakan pikiran dengan bijaksana.

Orang pesimitis hanya meratapi ketidakkekalan sebagai penderitaan dan kesia-siaan, sedang orang optimis menyadari ketidakkekalan adalah kesempatan untuk berubah dan memperbaiki nasib. Sedangkan orang bijaksana menyadari walaupun segala sesuatu itu sunya tapi tidak lenyap, walaupun bereksisitensi tapi tidak kekal. Oleh karena itu, mereka bekerja tanpa bekerja, menolong tidak ada yang ditolong. Gunakan potensi hati dengan hati sunya. Sempurnakan kebajikan tanpa rintangan subjek dan objek. Kualitas atau kemampuan senantiasa ditingkatkan dengan hati suci.

Sebagai praktisi Buddhis alangkah baiknya kita menyadari makna dan tujuan hidup umat manusia di muka bumi ini. Apa yang kita cari dan apa yang kita dapatkan? Nyatanya saat kita dilahirkan dan saat kita wafat, tidak ada bentuk-bentuk materi dan kondisi diri yang dibawa serta, seperti:  harta, kedudukan, kekuasaan, juga keluarga yang disayangipun harus ditinggalkan. Yang dibawa hanyalah kesadaran dan karmanya, untuk melanjutkan kehidupan selanjutnya. Hyang Buddha mengatakan usia kehidupan manusia hanyalah sepanjang nafas. Bila nafas berhenti maka berakhirlah kehidupan. Untuk itu, sadari kenyataan ‘kehidupan rapuh’ dan “Kehidupan yang berkelanjutan” dengan meningkatkan kesadaran luhur dan gembira mengumpulkan pahala kebajikan selama masih hidup sebagai bekal untuk peroleh  kebahagiaan hakiki. Selama orang itu belum terbebas dari siklus kelahiran dan kematian, maka apa yang ia inginkan dan membangun  seperti khayalan dan terjadi hanya sesaat saja.

Sadar Dharma: Menurut ajaran Buddha, arti esensial dari kata ‘study’  adalah pengamatan tiada akhir yang penuh bakti dan penelitian terhadap segala sesuatu yang timbul dalam pikiran, entah itu menyenangkan atau tidak menyenangkan. Hanya mereka yang familier dengan pemerhatian pikiran sungguh-sungguh mengerti Dharma . Realitas dan hakikat semua Dharma adalah murni, melingkupi dan tidak ada perbedaan, nyatanya bukan ada bukan pula tidak ada. Di dalam Sutra Intan, disabdakan: Buddhadharma diumpamakan sebagai rakit untuk menyeberangi lautan samsara (derita), jangan dilekatkan. Buddhadharma atau bukan pada akhirnya harus dilepaskan. Dharma yang berkondisi adalah terbentuk,         digunakan, berubah dan lenyap.  Hati timbul dharma pun muncul; sebaliknya hati lenyap dharma pun lenyap. Hati jahat maka kemalangan menyertainya, hati bajik maka keberuntungan menyertainya. Tiga hati  bila tidak dipahami (hati masa lampau, hati sekarang dan hati yang akan datang) maka setiap langkah berhadapan dengan banyak duri. Bila lima hawa nafsu sudah sunya (yaitu ketenaran, keuntungan, harta, kenikmatan, pelayanan sudah kosong), setiap aktivitas adalah  murni tidak ternoda bagaikan bunga teratai.

Hyang Buddha membabarkan semua Dharma, gunanya untuk menyembuhkan penyakit hati, bila tidak ada sakit hati untuk apa Dharma dibabarkan.   Perlu diketahui, Buddhadharma bila tidak dipahami, hidup kita pasti sesat; Buddhadharma dipahami sepenggal-penggal kita akan jadi munafik. Buddhadharma dilekatkan kita akan jadi fanatik. Buddhadharma dipahami secara  menyeluruh dan tidak melekat kita akan menjadi arif bijaksana. Begitupula Pancaskandha (terdiri dari rupa, perasaan, pikiran, pencerapan dan kesadaran) sesungguhnya tidak kotor, karena kegalauan sehingga menyesatkan. Delapan kondisi derita sesungguhnya bukan penderitaan yang sebenarnya, bila tidak terjebak dan dapat melepaskan kemelekatan maka peroleh pembebasan.  Cita rasa kebenaran mutlak Dharma hanyalah kedemikianan manunggal tapi disadari beragam oleh semua makhluk yang dijerat oleh beragam relatif karma dan kondisi. Puluhan ribu Dharma demikian adanya, bagaimana ada yang bergerak dan sunyi? Semua bayangan yang menampakkan, karena gejolak hati yang membedakan. Hanya menyadari hatinya sendiri, pintu Dharma yang luas bagaikan butiran pasir di sungai gangga dan kebenaran gaib yang tidak terbatas, tidak diminta pun bisa diperoleh.

Sadar Bodhi: Saat Buddha mencapai penerangan sempurna, Beliau melihat pada dasarnya semua makhluk mempunyai ‘Hakikat Tathagata’ terdapat kearifan dan pahala unggul, dikarenakan pikiran jungkir-balik, khayal dan kemelekatan maka para makhluk tersebut tidak perolehnya. Apabila dapat melepaskan pikiran jungkir-balik, khayalan dan kemelekatan, maka para makhluk tersebut peroleh semua kebijaksanaan, kebijaksanan natural, kebijaksanaan tanpa guru dan kebijaksanaan tanpa rintangan seketika muncul dan diperolehnya. Di dalam Sutra Fan Wang Cing disabdakan, bahwa semua makhluk adalah ayah dan ibu kita dimasa lampau karena berkaitan erat saat mengalami siklus tumimbal lahir panjang, dan setiap makhluk memiliki Hakikat Buddha maka mereka adalah calon-calon Buddha dimasa yang akan datang. Oleh sebab ini, para Bodhisattva berbelas kasih dan berupaya menolong semua makhluk,  menjadikan semua makhluk sebagai mandala untuk berlatih mencapai kesempurnaan.

Di dalam Sutra Avatamsaka disabdakan: tidak memahami hati sendiri dapat menumbuh kembangkan semua kejahatan.  Di dalam Sutra Ta Pao Ci Cing disabdakan: ‘Realita pencerahan terjadi karena disadari tiada aku, tiada makhluk, tiada kehidupan, tiada kepribadian. Hanya menembusi hakikat adalah dinamakan Kebodhian’.   Hati kita pada intinya memiliki hakikat Buddha, hakikat Buddha yang dimiliki adalah  Kebuddhaan sejati; diri sendiri tiada mengembangkan hati Buddha, kearah mana lagi dapat  memohon Buddha.

Umumnya praktisi yang banyak mencari keluar pencerahan dengan menerima pendidikan Dharma akibatnya cenderung hanya peroleh pencerahan yang berkondisi, jarang terjadi pencerahan yang menyeluruh karena menembusi  ‘Dharma Hati’. Walaupun pencerahan yang berkondisi dipraktikkan banyaknya kalpa pada akhirnya tidak mencapai kesejatian Buddha. Bilamana tidak mengembangkan pencerahan hati, melainkan pikiran di cerah oleh ajaran, maka disebut meremehkan hati tapi menjungjung Dharma. Akibatnya mudah menjadi siluman yang memiliki hati khayal. Bilamana praktik ditujukan langsung ke dasar hati, maka tidak perlu memohon Dharma, karena dasarnya hati memunculkan Dharma.

Perlu diketahui, bahwa terkumpulnya  berbagai kesadaran disebut ‘hati’, diskriminasi memilah dan memilih adalah ‘pikiran’, terjadi kesan dan memahami  disebut ‘kesadaran’. Membina diri untuk menjauhi kondisi hati, pikiran dan kesadaran adalah praktik benar untuk keluar dari arus dualitas makhluk awam dan suciwan. Menyadari sendiri hakikat jati diri, menampakkan hakikat Kebuddhaan sendiri, dinamakan sebagai manusia agung, guru para dewa manusia.

Menanam budi dan melakukan kejahatan semua dilakukan oleh pikiran. Pikiran tunggal ini bagaikan seorang artis yang dapat menggambar apa saja,  diwujudkan dan dilakoni. Jika seseorang tidak terjebak, dan dapat melepaskan kesan-kesan, gagasan-gagasan, pemikiran-pemikiran dan sebagainya pada saat mereka muncul tanpa mencamkannya dalam benak. Maka pikiran tersebut tidak akan tercemar, seperti bunga lotus tidak tercemar oleh lumpur dimana ia tumbuh.
Menurut ajaran Buddha, pikiran kita secara alami berbinar. Dalam setiap saat kesadaran timbul dan cahayanya terang. Tetapi di dalam pikiran yang tidak dicerahkan, cahaya itu ditutupi ketidakmurnian oleh ketamakan, kebencian dan angan-angan diri sendiri. Ketidak-murnian ini merintangi kecemerlangan pikiran, menjadikan pikiran jadi gelap, kusut dan menyedihkan.

Kesadaran yang mendasar ini pada dasarnya bukan apa-apa. Dalam kehampaan realita, langkanya yang sadar dan disadari diwujudkan. Langkanya yang melihat dan dilihat terlihat. Langkanya yang mengetahui dan diketahui dimaklumi. Langkahnya yang memperhatikan dan diperhatikan diamati.

Berdana dinilai dari pelepasan dan manfaatnya, dipengaruhi oleh welas asih dan respek. Peran hati dan ladang yang ditanam berbeda , maka jasa pahala mengalami perbedaan subur dan gersang.

Kebenaran hati tidak berkondisi baik dan buruk. Berhadapan dengan kondisi memunculkan gejolak hati berarti lemah Samadhinya. Melekat kepada kebendaan dan tinggi hati pertanda ego khayalnya masih besar. Berbicara Dharma dengan kegelapan batin adalah kebijaksanaan sesat. Tidak membina hati dan sering memohon Buddha adalah praktisi sempalan. Praktisi yang terjebak hati adalah Buddha adalah pengikut Mara (Raja Iblis). Pergunakan hati untuk menghentikan gejolak hati sulit terbebas dari siklus kelahiran dan kematian. Hati yang timbul untuk memahami hati, hati tersebut akan kacau. Hati yang bening menerbitkan pemikiran-pemikiran gaib dan arif. Hati yang terang menguncarkan kata-kata kebenaran sejati.

Buddha bersabda: secara natural hati tidak dipahami hati, ada hati tidak memahami hati, hati yang memunculkan pemikiran cenderung bodoh. Tiada hati adalah Nirvana. Adalah Dharma tidak permanen, mereka muncul karena adanya pemikiran dan ingatan. Untuk memahami kesunyataan direalisasikan dengan tiada pemikiran dan usaha.

Orang awam mencari  bahagia dengan menata kondisi tapi tidak melupakan hati. Orang arif peroleh kebahagiaan dengan melupakan hati tidak terjebak kondisi. Banyak orang tidak mengetahui bahwa hati dan kondisi adalah sedemikian adanya. Seharusnya berkontak mata dan berhadapan dengan  kondisi, batin tanpa rintangan non-dualitas.

Pergunakan Pancaskandha potensi diri untuk keselamatan dan kebajikan, tetapi jangan  menodai kemurnian diri. Gunakan penglihatan, melihat tapi tiada terlihat. Gunakan pendengaran, mendengar tapi tiada terdengar, begitupula gunakan penciuman, pencicipan, penyentuhan dan pemikiran. Gunakan semua organ indera, mengetahui sensasinya, tapi tidak tertambat oleh fenomena yang ditimbulkannya. Mencari sensasi, mengejar fantasi, memunculkan ilusi dan akibatnya delusi.  Kemelekatan adalah pikiran yang tertambat pada sebuah objek. Gunakan energi kualitas kita untuk kebajikan, memupuk kebajikan dan lupakan kebajikan. Gunakan kesempatan terlahir sebagai manusia untuk mengakhiri kebodohan dan penderitaan. Utamanya berjuang meraih pencerahan dan pembebasan mutlak. Walaupun diraihnya  pencerahan dan pembebasan, realitanya tiada pencerahan dan pembebasan mutlak.

Setiap menit umat manusia melaksanakan tindakan karma tetapi mereka nyaris tidak menyadari. Hanya dalam keheningan meditasi bisa mendengarkan gemuruhnya pikiran yang merupakan sumber aktivitas ini. Kesadaran diri menjurus ke pengendalian diri, memungkinkan kita mengusai karma dan bukan dikuasai karma tersebut.

Berbagilah kasihmu, akal-budimu, dan kekayaanmu dan layani satu sama lain sebanyak mungkin. Hiduplah dalam keselarasan, keseimbangan dan keserasian terhadap siapapun juga. Jadilah contoh manusia yang mencintai perdamaian, berbelas kasih dan gembira melaksanakan kebajikan. Berjuanglah menjadi bahagia dalam penekunan membina diri dan merasa puas dengan apapun kondisi  kehidupanmu. Gunakan akal sehat dan kearifan dalam tumbuh dan berkembang. Gunakan energimu untuk kebaikan bagi siapa saja. Tingkatkan peran,  potensi dan bersumbangsih  untuk membimbing dan menumbuhkembangkan karakter serta  peradaban luhur umat manusia.

Sebagai praktisi Buddhis, awalnya kesadaran patut dikembangkan untuk berlatih, tetapi utamakan pengembangan kebijaksanaan sebagai tujuan dalam berlatih. Untuk itu, arahkan berbagai kesadaran menjadi kearifan, antara lain:
Jadikanlah kesadaran kedelapan sebagai kebijaksanaan maha cermin yang sempurna.
Jadikanlah kesadaran ketujuh sebagai kebijaksanaan kesamaan hakikat.
Jadikanlah kesadaran keenam sebagai kebijaksaan penelitian ajaib.
Jadikanlah kesadaran kelima sebagai kebijaksaan dalam beraktivitas.
Melalui pengembangan kebajikan kita bisa mencapai kebangkitan. Karena dengan rutinitas melakukan kebajikan dapat menyempurnakan karakter dan paramita. Oleh karena itu, perbuatan bajik mutlak perlu dilakukan oleh setiap umat manusia. Apabila seseorang selama hidupnya tidak melakukan kebajikan, maka rejeki tidak ada, sekarang kehidupannya susah, kelak terlahir di negera miskin, keluarga miskin dan selama hidupnya mengalami kemiskinan. Apabila perbuatan bajik dilakukan hanya sekedar saja, maka kehidupan sekarang  rejekinya minim terbatas, kehidupan ekonominya serba kekurangan, kelak kehidupan selanjutnya juga sulit dan susah berkembang. Tetapi apabila seseorang rutin melakukan kebajikan dan gembira melakukan kebaikan, maka sekarang hidupnya makmur kelak setelah wafat pun masuk surga, sekurang-kurangnya orang mengumpulkan banyak kebajikan akan terlahir dikeluarga kaya dan hidupnya pasti makmur sejahtera. Untuk itu, Perbuatan bajik jangan dilakukan hanya sekedar saja atau mengarah keluar saja, seperti hanya berdana melakukan sumbangsih kepada yang membutuhkan. Melainkan juga harus dilakukan secara menyeluruh, rutin, konsisten, dan berkelanjutan,  yaitu:  praktik Sila (pengendalian ucapan dan perbuatan), Ksanti (ketabahan dalam berlatih dan berkebajikan), Virya (semangat berlatih untuk menapak jalan Kebuddhaan dan tidak mundur lagi), Samadhi (teguh dalam pengendalian pikiran), dan Prajna (mengendalikan pandangan).

Akhir kata, marilah kita meneladani pengorbanan dan perjuangan Pertapa Siddharta yang berhasil mencapai Kebuddhaan  sebagai cermin dan kompas kehidupan kita. Dalam keheningan, ketulusan doa dipancarkan bersama, mengharapkan semua makhluk senantiasa mendapatkan bimbingan dan perlindungan dari Hyang Triratna Buddha, Dharma dan Sangha untuk meningkatkan kesadaran dan sempurnakan kebajikan untuk meraih pencerahan dan pembebasan mutlak.

Tadyatha Om Gate Gate Paramgate, Parasamgate Bodhi Svaha. Semoga semua makhluk berbahagia, Sadhu-sadhu-sadhu, Amithofo.