Imlek & Kedewasaan Bangsa

Di Indonesia, selama 1965–1998, perayaan Tahun Baru Imlek dilarang dirayakan di depan umum. Dengan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto melarang segala hal yang berbau Tionghoa, di antaranya Imlek.

Masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan tahun baru Imlek pada 2000 ketika Presiden Abdurrahman Wahid atau yang biasa disapa Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14/1967. Kemudian Presiden Megawati Soekarnoputri menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2002 tertanggal 9 April 2002 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional. Mulai 2003, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional.

Sebenarnya penanggalan Tionghoa dipengaruhi oleh dua sistem kalender, yaitu sistem Gregorian dan sistem bulan-matahari, di mana satu tahun terbagi rata menjadi 12 bulan sehingga tiap bulannya terdiri dari 29 hari. Penanggalan ini masih dilengkapi dengan pembagian 24 musim yang amat erat hubungannya dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada alam sehingga pembagian musim ini terbukti amat berguna bagi pertanian dalam menentukan saat tanam maupun saat panen.

Aslinya Imlek atau Sin Tjia adalah sebuah perayaan yang dilakukan para petani di China yang biasanya jatuh pada tanggal satu di bulan pertama di awal tahun baru. Perayaan ini juga berkaitan dengan pesta para petani untuk menyambut musim semi. Perayaan ini dimulai pada tanggal 30 bulan ke-12 dan berakhir pada tanggal 15 bulan pertama. Acaranya meliputi sembahyang Imlek, sembahyang kepada Sang Pencipta, dan perayaan capgome.

Tujuan dari persembahyangan ini adalah sebagai wujud syukur dan doa harapan agar di tahun depan mendapat rezeki lebih banyak, untuk menjamu leluhur, dan sebagai sarana silaturahmi dengan kerabat dan tetangga. Karena perayaan Imlek berasal dari kebudayaan petani, segala bentuk persembahannya adalah berupa berbagai jenis makanan. Idealnya, pada setiap acara sembahyang Imlek disajikan minimal 12 macam masakan dan 12 macam kue yang mewakili lambang-lambang shio yang berjumlah 12.

Di China, hidangan yang wajib adalah mi panjang umur (siu mi) dan arak. Di Indonesia, hidangan yang dipilih biasanya hidangan yang mempunyai arti “kemakmuran, panjang umur, keselamatan, atau kebahagiaan”, dan merupakan hidangan kesukaan para leluhur.

Dari jutaan orang Tionghoa yang ada di dunia ini, ternyata yang mengetahui sejarah dan asal usul Tahun Baru Imlek memang tidak banyak. Biasanya mereka hanya merayakannya dari tahun ke tahun bila kalender penanggalan Imlek telah menunjukkan tanggal 1 bulan satu. Jenis dan cara merayakannya pun bisa berbeda dari satu suku dengan yang lain. Hal ini dikarenakan luasnya daratan Tiongkok dengan beraneka ragamnya kondisi alam, lingkungan baik secara geografis maupun demografis, belum lagi secara etnis.

Sebab itulah, Imlek biasanya dirayakan dengan berbagai macam bentuk kegiatan yang kesemuanya tersebut memiliki makna yang berbeda. Mulai dari kue-kue yang dihidangkan, biasanya kue tersebut lebih manis daripada biasanya. Diharapkan, kehidupan di tahun mendatang menjadi lebih manis. Di samping itu dihidangkan pula kue lapis sebagai perlambang rezeki yang berlapis-lapis. Kue mangkok dan kue keranjang juga merupakan makanan yang wajib dihidangkan pada waktu persembahyangan menyambut datangnya tahun baru Imlek.

Biasanya kue keranjang disusun ke atas dengan kue mangkok berwarna merah di bagian atasnya. Ini adalah sebagai simbol kehidupan manis yang kian menanjak dan mekar seperti kue mangkok. Menggantung lampion merah selama perayaan Tahun Baru Imlek sebagai makna keberuntungan. Membagikan angpau kepada anak-anak dan kerebat. Angpau adalah bingkisan dalam amplop merah yang biasanya berisikan sejumlah uang sebagai hadiah menyambut tahun baru Imlek. Jumlah uang yang ada dalam sebuah amplop angpau bervariasi. Untuk perhelatan yang bersifat sukacita biasanya besarnya dalam angka genap, angka ganjil untuk kematian.

Oleh karena angka 4 terasosiasi dengan ketidakberuntungan–pelafalan angka 4 bisa berarti “mati” maka jumlah uang dalam amplop angpau tidak berisi 4 namun berisi angka 8, karena angka tersebut terasosiasi untuk keberuntungan. Pelafalan angka 8 berarti “kekayaan”.
Makanya jumlah uang dalam amplop angpau seringkali merupakan kelipatan 8. Angpau melambangkan kegembiraan dan semangat yang akan membawa nasib baik sehingga angpao juga ada di dalam beberapa perhelatan penting seperti pernikahan, ulang tahun, masuk rumah baru dan lain-lain yang bersifat sukacita. Hingga membuat acara keramaian yang menyuguhkan atraksi barongsai dan kembang api.

Kegiatan semacam ini dapat membuat industri rumahan, serta sektor riil lainnya bergairah. Bagaimana tidak, para perajin kesenian dapat membuat lampion dengan bentuk dan hiasan yang beragam yang tentunya banyak diminati tidak hanya oleh individu yang merayakan tapi juga oleh pusat-pusat perbelanjaan dan lain sebagainya.

Para pembuat kue dapat memproduksi kue mangkok serta kue lainnya yang biasa disajikan pada saat perayaan imlek. Para pekerja hiburan dapat menampilkan aktaksi barongsai, hingga para anak jalanan pun turut mendapatkan kemujuran dari angpau yang mereka dapatkan sewaktu perayan Imlek. Dan tentu kesemuanya ini akan mendatangkan keuntungan yang sangat banyak jika kita dapat melihat peluang tersebut.

Indonesia sebagai negara yang terkenal akan keanekaragaman budaya yang dimiliki tentu saja Imlek telah menjadi bagian dari keanekaragaman tesebut. Banyaknya kegiatan dan perayaan yang dilakukakan menambah corak budaya kita, dan sekaligus menunjukkan bahwa bangsa kita telah menjadi bangsa yang dewasa.

Tentu saja ini akan membuat posisi Indonesia semakin kuat dalam pandangan dunia internasional karena Indonesia telah mampu menjadi negara yang membuat semua warga negaranya dapat menikmati hak yang sama dalah kehidupan bernegara sekalipun kaum minoritas. Maka pantaslah jika Indonesia mendapatkan sebutan negara seribu wajah.

Artikel ini ditulis oleh AGMAD BASRAFI; Ketua Departemen Sosial dan Masyarakat KAMMI Lampung 2008-2010; http://fachruddin54.blogspot.com/2010/02/imlek-dan-kebebasan-bangsa.html