Bagaimana Menjadi Sramana yang Sesuai Dharma

Pendahuluan
Pengertian sramana atau 沙门, (梵文/ Sansekerta:śramaṇa;巴利語 /Pali: samaṇa), maknanya 勤息、「止息」(rajin-melenyapkan) artinya “Praktisi yang rajin melaksanakan Sila Samadhi dan Prajna, juga berjuang melenyapkan Keserakahan, kebencian dan kebodohan”. Di India Sramana ini bisa untuk kedua kelompok yaitu 1. para bhiksu 2. para umat, dikarenakan nyatanya umat pun bisa meraih 3 tingkatan kesucian. Tetapi di Tiongkok sebutan sramana hanya untuk para praktisi yang meninggalkan kehidupan duniawi saja. Umat tidak boleh memakai sebutan sramana. Pada jaman sekarang sebutan sramana adalah praktisi selibat yang meninggalkan kehidupan duniawi dan berjuang untuk keluar dari arus kelahiran dan kematian dalam siklus tumimbal lahir.

Jasa pahala menjadi sramana
“Hyang Buddha di dalam Sutra Sien Yi Cing 《贤愚经》 memuji jasa pahala menjadi sramana lebih tinggi dibanding dengan ‘Gunung Semeru (Si Mi San)’, lebih dalam dibanding dengan ‘Maha Samudra’, lebih luas dibanding ‘Angkasa Raya’. Menjadi sramana mampu melenyapkan barisan Mara (Raja Iblis) dan pengikutnya, meneruskan generasi Sakya, berjuang untuk keluar dari proses kelahiran dan kematian. Dharma kebajikan bertambah luas, menjauhi dan meninggalkan kekotoran batin dan melenyapkan segala rintangan, dan dapat mengumpulkan ‘Pahala’ yang tiada bandingnya. Juga disebutkan: bila mana ada orang yang mempergunakan tujuh permata membangun Pagoda Buddha setinggi surga tiga puluh tiga langit (Setinggi sampai ke surga Tryamtimsa) jasa pahala membangun Pagoda Buddha tersebut tidak sebanding dan tidak sebesar dengan pahala menjadi sramana. Karena disebabkan kondisi luar seperti adanya orang galau/jahat dapat menghancurkan pagoda tujuh permata tersebut, tetapi jasa pahala menjadi sramana tidak ada orang/makhluk yang dapat merusaknya (kecuali dirusak oleh diri sendiri), juga disebutkan kesucian dan pahala internal sramana tidak terpikirkan, sampai mencapai ‘Bodhicitta Sempurna’ tidak bisa lenyap atau rusak.”

Di dalam Sutra Fo Shuo Chu Jia Kung Te Cing, (佛说出家功德经)disabdakan: barang siapa bisa satu hari satu malam saja menjadi sramana ( sramanera/sramaneri) dengan baik, maka jasa pahalanya akan dilahirkan menjadi ‘Putra Raja Dewata selama 20 kalpa.’

Faedah dan perjuangan seorang Bhiksu
Menurut Hyang Buddha, faedah-faedah menjadi Bhiksu antara lain:
1.    Setelah menjadi Bhiksu, ia harus hidup mengendalikan diri sesuai dengan Pratimoksa (bahasa Sansekerta) atau Patimokkha (bahasa Pali), yaitu:peraturan-peraturan Bhiksu, sempurna kelakuan dan latihannya, dapat melihat bahaya dalam kesalahan-kesalahan yang paling kecil sekalipun. Ia menyesuaikan dan melatih dirinya dalam peraturan-peraturan. Menyempurnakan perbuatan-perbuatan dan ucapannya. Suci dalam cara hidupnya, sempurna silanya, terjaga pintu-pintu inderanya. Ia memiliki perhatian murni dan pengertian jelas dan hidup sederhana, leluasa dan mudah puas.

2.    Tugas utama seorang Bhiksu adalah menyingkirkan lima rintangan (Panca Nivarana) dari dirinya. Lima rintangan tersebut adalah:

o    Kerinduan terhadap dunia     (Kamachanda-Nivarana)
o    Itikad- itikad jahat        (Vyapada-Nivarana)
o    Kemalasan dan kelambanan     (Thinamiddha-Nivarana)
o    Kegelisahan dan kekhawatiran     (Uddhacca-Kukkucca- Nivarana)
o    Keragu-raguan             (Vicikiccha-Nivarana)

Resiko menjadi sramana
Tentu semua jasa pahala besar yang disebutkan di atas dimiliki oleh sramana baik dan tekun melatih diri, tidak ada pelanggaran sila dan vinaya. Mengembangkan Bodhicitta dan berupaya menolong semua makhluk. Sebaliknya sramana jahat, sesat  atau sramana pelanggar sila bukan jasa pahala besar yang dimiliki melainkan karma buruk yang sangat luas dan dalam. Ada pepatah Buddhis mengatakan: “Banyak yang menjadi sramana yang terjatuh ke neraka”;  juga di katakan : “Satu butir nasi yang di danakan oleh umat, jasa pahalanya besar bagaikan gunung semeru, bila dalam kehidupan sekarang tidak melatih diri mencapai buah kesucian, maka kelak kulit, bulu dan tubuhnya harus membayarnya.” (dimakan orang atau jadi binatang untuk melayani orang, seperti: Sapi di ambil susunya, dipotong dan dimakan orang; Ayam dari telur, jengger sampai kakinya dimakan orang, bulunya dijadikan kemoceng, dan kotorannya dijadikan pupuk;   Kuda harus ditunggangi oleh orang dan menarik beban pedati; Kerbau untuk bajak sawah; Anjing penjaga rumah atau vihara dan lain sebagainya).
Sebab akibat merintangi atau merusak orang menjadi sramana
Di dalam Sutra Fo Shuo Chu Jia Kung Te Cing, (佛说出家功德经)disabdakan: barang siapa yang menghalangi, merintangi, melarang dan menggagalkan orang yang berniat menjadi sramana, atau menganggu dan merusak kehidupan sramana, maka matanya akan buta sebanyak 500 kelahiran. Setiap bentuk kelahiran walau masih menjadi janin di dalam perut kandungan ibunya matanya sudah buta. Karena telah merintangi orang untuk menapak jalan Buddha dan menghancurkan orang itu kelak membabarkan kebenaran Dharma, akibatnya ya ia sendiri selalu dilahirkan buta.

佛在《賢愚經》中說,若有人想發心出家,製造違緣或障礙使他出家不成的,這種惡業極為嚴重,就像人掉進黑暗一樣,會墮落到黑暗地獄中受無量痛苦. Buddha di dalam Sutra Sien Yi Cing, disabdakan: bila mana ada orang yang berpikir dan mengembangkan hatinya mau menjadi sramana, tetapi ada orang yang merusak jodohnya, merintangi/menghambat sehingga orang tersebut tidak jadi sramana. Sungguh karma buruk ini sangatlah berat, seperti orang kejeblos memasuki kegelapan, bisa terjatuh ke neraka gelap menerima kesakitan dan penderitaan yang tidak terbatas.

Tingkah laku sramana di era kemunduran Dharma
Ini adalah suatu masalah yang penting dan erat hubungannya dengan kita, tetapi juga sesuatu yang sering di abaikan. Lebih-lebih sekarang yang dikatakan sebagai “Periode Kemunduran Dharma  (MO FA)”. Di dalam sangha sering timbul hal-hal yang tidak sesuai dengan Dharma. Bagaimana caranya meningkatkan kualitas dan mutu anggota sangha, merupakan tugas yang mendesak dewasa ini.

在《佛說大迦葉問大寶積正法經》中有提到四種沙門:Di dalam Sutra Fo Shuo Ta Chia Ye Wen Ta Pao Ci Cen Fa Cing, disebutkan ada empat jenis sramana:

行色相沙門:如果有出家人剃髮的模樣,但身口意行卻都不清淨,徒具沙門形相而無實質.Sramana dalam rupa dan bentuk: jika ada seorang menjadi sramana yang hanya kepala digunduli, tetapi praktik perbuatan, ucapan dan pikirannya tidak murni (kotor/jahat), wujudnya menjadi sramana tapi tidak ada kebenaran dan kenyataan menjadi sramana.

密行虛誑沙門:也有人在佛教之中出家,雖然表面裝出很有威儀的樣子,來蒙騙賺取世間人的尊敬,但事實上心中卻貪愛世間法、執著人我的表相,對於解脫道所說世間一切法無常、苦、空的道理,不能信受,不能親證,所以不喜愛也不願離開世間的種種法。Sramana penipu yang penuh rahasia: ada sramana di dalam agama Buddha, walaupun penampilannya banyak wibawa yang dibuat-buat dan ditonjolkan, untuk penipu dan mendapatkan penghormatan minta dimuliakan oleh orang-orang duniawi, tetapi nyatanya hatinya serakah dan masih mencintai kondisi duniawi (merindukan kesenangan duniawi), masih melekat kepada sang aku dan kepribadian, terhadap praktik untuk memasuki pintu pembebasan, yaitu ketidak kekalan, derita, dan sunya (kekosongan) tidak bisa menerima, tidak berjuang merealisasikan untuk mencapainya, sehingga tidak suka bermacam-macam Dharma juga tidak bertekad untuk keluar dari dunia (triloka dhatu)

求名聞稱讚沙門:貪求名聲而外表像是有持戒的人,希望因此得到他人的讚嘆。 Sramana haus ketenaran dan pujian, serakah akan ketenaran, sanjungan/kedudukan, tetapi penampilannya seperti orang yang mempraktikkan sila , karenanya mengharapkan banyak orang memujinya.

實行沙門:不求名聞利養、能證解脫果.Sramana yang benar-benar melatih diri, tidak mencari ketenaran, sanjungan, keuntungan dan pelayanan. Mampu mencapai buah kesucian.

Saat sekarang, Di Tiongkok terdapat seratus ribu lebih anggota sangha. Hal itu bukan semata-mata mencukur rambut, kumis dan jenggot kemudian mengenakan jubah, yang dapat dikatakan sebagai bhiksu/bhiksuni. Terdapat bhiksu palsu dan bhiksu yang benar, ada bhiksu yang hanya secara lahiriah menjadi bhiksu tetapi batinnya tidak. Hal itu sejak dahulu kala hingga kini sudah ada. Demikian pula di tempat kelahiran agama Buddha India, sudah ada catatan yang menyelidiki dan menyatat masalah tersebut. Menurut terjemahan dari Maha Bhiksu Xuan Zhang Sastra Tentang Abhidharma  Cang Xien Cung Lun mencatat. Pada waktu itu terdapat lima macam perangai bhiksu:
1.    Bhiksu yang tidak tahu malu: merusak dan melanggar sila, tidak melatih diri, tidak bermoral yang merusak agama Buddha.
2.    Bhiksu yang pandir (bodoh): tidak mengerti teori Buddhadharma dan tidak menghayatinya, sehingga tidak berperan dalam perkembangan agama Buddha.
3.    Bhiksu yang berintrik: di dalam sangha mengadakan intrik pengacau, membuat perpecahan kelompok-kelompok Buddhis demi ambisi dan kepentingan diri sendiri, serta menyudutkan (menyusahkan) kelompok yang lain.
4.    Bhiksu yang mengumbar nafsu duniawi: ambisi, pikiran dan tingkah lakuknya lebih bersifat duniawi. Ada yang sesuai dengan Buddhadharma, ada yang tidak.
5.    Bhiksu yang mulia: memegang sila, mengerti ajaran Buddha. Ucapan dan tingkah laku sesuai dengan Buddhadharma. Ini baru meneruskan pelita kebijaksanaan Buddha, menyebarkan Dharma dan memberikan manfaat bagi makhluk lain.

Mari kita lihat, diri sendiri masuk pada golongan yang mana?
1.    Kelompok bhiksu yang tidak tahu malu: menghancurkan sila, tidak melaksanakan bhavana, tidak bermoral dan merusak agama Buddha. Mereka digolongkan kelompok Mara (raja iblis). Mengenakan jubah Buddha, makan makanan Buddha dan merusak ajaran dan citra agama Buddha.
•    Di dalam Bodhisattva Sila yang terdiri 48 sila dikatakan: dalam hal pelanggaran sila; seandainya seorang siswa Buddha dengan niat yang baik menjadi bhiksu, tetapi menginginkan ketenaran, bila dihadapan raja (pejabat) dan pembesar mengatakan dirinya sebagai Maha Bhiksu yang telah menerima dan mempraktikkan banyak sila dan mencapai buah kesucian. Mendeklarasikan dirinya sebagai Maha Bhiksu di hadapan banyak bhiksu dan bhiksuni serta umat lainnya untuk mengelabui siswa dan umat Buddha, bagaikan kutu-kutu yang ada di tubuh singa dan memakan tubuh singa. Umumnya gelar Maha Sramana, Maha Guru, atau Maha Bhiksu adalah seorang bhiksu yang mampu melaksanakan sila dan vinaya kebhiksuannya secara utuh, benar dan baik sehingga memiliki reputasi baik, tingkah lakunya penuh cinta kasih dan belas asih, memiliki ketenangan dan wibawa yang besar, memiliki keteladan, kebijaksanaan, kesucian, dan mampu mengajarkan Dharma berdasarkan pandangan dan pikiran yang sudah cerah, bukan karena sudah banyak membangun vihara, menerjemah sutra via perantara orang lain atau mengganti bahasa atau menulis syair lagu lantas berani menggunakan gelar Maha Bhiksu. Bila sramana tidak punya kualitas SADAR DIRI, SADAR DHARMA dan SADAR BODHI, juga sila dan vinaya kebhiksuannya banyak dilanggar, atau kehidupannya sramana sesat atau menyimpang tetapi masih berani memakai gelar Maha Sramana, Maha Guru atau Maha Bhiksu, maka ia menipu diri, menyombongkan diri, tidak punya rasa malu dan risih dengan gelar yang disandangnya, karena ia nyata-nyatanya tidak mempunyai  kemampuan dan kualitas sesuai gelar Maha Bhiksunya. Sesungguhnya orang yang sudah mencapai pencerahan menyeluruh dan mencapai kesucian akhir tidak lagi memiliki corak ‘Aku dan Dharma’, menyadari realitas kekosongan segala sesuatu, tentu  tidak lagi memakai segala gelar kesucian atau gelar atribut “Maha”. Nyatanya tiada ‘Aku’ bagaimana adanya ‘Maha’, ADANYA  “SANG AKU” YANG SUPER TINGGI BARU ADANYA “MAHA”. Umumnya segala sebutan, pujian atau gelar biasanya diberikan oleh Bhagavan Buddha, kalau sendiri memploklamirkan dan mempromosoikan dirinya adalah MAHA, maka itu adalah KESOMBONGAN DIRI, PALSU, PENUH REKAYASA.  Sramana yang masih terjebak dan melekat ‘AKU’, menyombongkan gelar diri  dan karyanya maka ia belum mencapai pencerahan dan kesucian apapun. Bagaikan tong kosong nyaring bunyinya, sedangkan tong berisi melempen suaranya. Pepatah mengatakan: padi makin berisi maka ia akan makin menunduk, sedang padi yang belum berisi dengan congkak berdiri ke atas.

Demikianlah siswa Hyang Buddha yang dapat merusak agama Buddha, bukan makhluk dari luar yang dapat merusak agama Buddha. Perlu diketahui, makhluk luar tidak dapat merusak agama Buddha, demikian pula aliran-aliran luar (sempalan) tidak dapat merusak agama Buddha. Hanya kalangan bhiksu (sramana) yang dapat merusak dari dalam agama Buddha.

Bhiksu Buddha dapat menerima sila juga dapat merusak sila. Bagaikan sebuah mangkok dapat dipecahkan setelah mengkok itu berada. Kalau mangkoknya tidak ada, bagaimana dapat memecahkan mangkok tersebut?.

Sila mengingatkan kepada kita, menerima sila tidak boleh merusak sila. Setelah memperoleh Dharma tidak boleh merusak Dharma. Diri sendiri tidak boleh merusak diri sendiri.

Seorang siswa Buddha demi pembebasan menjadi bhiksu (sramana), demi untuk menyelamatkan makhluk lain pergi menjadi bhiksu, demi untuk Buddhadharma pergi menjadi bhiksu. Hal ini dapat dikatakan memiliki niat yang baik untuk menjadi bhiksu. Kita sering mengatakan: “ bila niat tidak mundur, maka akan ada kesempatan mencapai pencerahan”. Tetapi ada banyak orang tidak memiliki ketetapan hati.  Setelah menjadi bhiksu (sramana) satu tahun, Buddha berada dihadapannya.  Setelah menjadi bhiksu dua tahun mulai memikirkan uang (materi) atau fasilitas. Setelah menjadi bhiksu tiga tahun, Hyang Buddha sudah dilupakan. Setelah menjadi bhiksu, bukan saja melaksanakan sila vinaya, dengan tenang melatih diri, tetapi malah menumbuh kembangkan keserakahan dan ketenaran pribadi, merusak dan melanggar sila vinaya, memiliki pandangan yang keliru dan salah. Diri sendiri tidak mengenal Buddhadharma tetapi juga tidak dapat membimbing umat ( orang lain) belajar Buddhadharma. Bagaikan seorang buta menuntun sekelompok orang buta dan sama-sama masuk ke dalam api neraka penuh penderitaan.

•    Di dalam Bodhisattva Sila dikatakan: Bila seseorang menerima sila Bodhisattva, maka dia harus membina diri dan menjaga sila, bagaikan seseorang yang menjaga putra tunggalnya. Bagaikan seseorang yang merawat kedua orang tuanya. Jangan sekali-kali merusak sila. Demikianlah seorang Bodhisattva berhadapan dengan orang jahat dari aliran luar mendengar kata-kata kasar menyerang sila-sila Buddhis. Terasa hati bagaikan di sembilu dan badan seperti di cabik. Rela diri sendiri masuk ke neraka serta dalam beberapa kelahiran tidak akan mendengar kata-kata jahat yang menyerang sila-sila Buddha, apalagi sampai merusak sila. Senantiasa berikrar mengajarkan Dharma yang benar, juga menunjukkan rasa hormat dan berbakti kepada Hyang Triratna (Buddha, Dharma dan Sangha).

•    Sebagai siswa-siswa Bhagavan Buddha harus mengemban tugas mulia untuk menyebarkan Buddhadharma dan mengembangkan kebijaksanaan Buddha. Melaksanakan tugas mulia harus dengan mentaati sila vinaya.

•    Seorang bhiksu (sramana) kalau tidak mentaati sila vinaya, apa bedanya dengan umat awam? Dengan demikian umat awam akan sukar memunculkan rasa hormat dan membangkitkan keyakinan terhadap agama Buddha. Sila vinaya adalah dasar dari semua latihan Metode Dharma. Dengan Sila (pengendalian ucapan dan perbuatan) timbul Samadhi (pengendalian pikiran), dari Samadhi berkembangnya Prajna (pengendalian pandangan/kebijaksanaan). Banyak sramana palsu membawa segala macam bendera (simbul) untuk melakukan penipuan. Menggunakan kelemahan umat awam karena banyak orang tidak mengenal dan mengerti sila vinaya, mereka mencari keuntungan pribadi dan ketenaran. Merusak Buddhadharma, bukan saja diri sendiri merosot tetapi juga menyeret mereka yang mendukungnya, sehingga sama-sama merosot, sungguh menyedihkan!

2.    Kelompok bhiksu pandir: tidak mengerti Buddhadharma, tidak paham tentang Buddhadharma, tidak berperan dalam pengembangan Buddhadharma. Kelompok bhiksu-bhiksu tersebut meskipun meninggalkan keluarga dan menjadi bhiksu, tetapi tidak memperhatikan bhavana (latihan), bersikap malas, terhadap Buddhadharma tidak mengerti dan tidak berperan dalam penyebaran Buddhadharma dan tidak membimbing umat. Tampil sebagai bhiksu tetapi tidak memiliki kualitas seorang bhiksu, dan tidak berbeda jauh dengan umat awam. Mereka enggan  mempelajari Dharma, kecenderungannya hanya menyibukan diri dengan ritual, seremonial dan minta sumbangan cari dana, atau hanya pandai ngurusin bisnis atau upacara untuk orang mati saja.

3.    Kelompok bhiksu yang suka intrik dan bermufakat jahat serta merusak orang lain: keadaan seperti ini banyak terjadi di dalam organisasi agama Buddha yang perkembangannya  pasang surut karena alasan kepentingannya masing-masing, antara bhiksu dengan bhiksu, bhiksu dengan pengurus, bhiksu dengn umat, antara umat dengan umat, antara vihara dengan vihara, saling bermusuhan dan penuh perselisihan, memunculkan  kontradiksi dan menimbulkan berbagai masalah, dampaknya menjadi aib bagi agama Buddha. Sering kali terjadi karena merebut kekuasaan dan pengaruh, mereka berselisih dan saling menjatuhkan, akibatnya terjadi  perpecahan umat Buddha dan mereka terkotak-kotak. Seorang bhiksu yang kurang memiliki pandangan dan pikiran benar, hanya memiliki pandangan sempit dan pikiran egois. Terhadap segala suatu yang bermanfaat bagi dirinya, ia  berusaha menarik dan mendekatinya. Tetapi sebaliknya terhadap segala sesuatu yang berlawanan dengan kepentingannya maka digunakan segala cara untuk menyerang dan menyudutkannya. Hendaknya diketahui, kehidupan perumah tangga adalah dengan kepemilikan secara pribadi sebagai dasar tujuannya, sedangkan kehidupan sebagai bhiksu (sramana) bertujuan untuk mengurangi rasa egois dan serakah, berangsur-angsur melepaskan kepemilikan dan keakuan. Bila para sramana atau bhiksu masih memiliki keakuan dan keserakahan sehingga membuat pikiran terus berkelana, sepanjang hari memikirkan kepentingan pribadi atau hubungannya timbal balik dengan orang lain. Terus memikirkan tentang soal mencari keuntungan-mencegah kerugian, mengejar kemuliaan-menghindari dihina orang, bagaimana didonasi oleh umat-jangan sampai ditinggali umat. Demikianlah para sramana atau bhiksu-bhiksu tersebut mencari kesibukan salah, dan  berputar-putar dalam angan-angan khayalan mereka.yang tidak sesuai dengan tujuan menjadi sramana
Sramana yang berintrik, cenderung licik, penuh nafsu dan ambisi jahat
Sramana atau Bhiksu yang mempunyai kecenderungan dan senang bermain di dalam dunia politik, dunia partai, atau berkecimpung dalam organisasi kemasyarakatan untuk mencari kedudukan, kekuasaan dan keuntungan. Ciri-ciri bhiksu bodoh tersebut pada umumnya adalah memiliki ambisi, nafsu dan egoisnya masih  tinggi. Kecenderungannya  masih serakah dengan ketenaran, keuntungan, kekayaan, kenikmatan dan pelayanan. Untuk mencapai ambisinya mereka bermain dan mengusai organisasi Buddhis untuk kepentingan dirinya sendiri. Tak segan-segan dana sosial, bantuan dana untuk musibah dimakan sendiri. Dijaman era kemunduran Dharma, banyak bhiksu-bhiksu ASPAL yang berpenampilan suci penuh kasih, tetapi dibalik kedoknya adalah SILUMAN yang berupa srigala berbulu domba yang hobbynya selalu mencari kelemahan orang untuk merusak orang yang berseberangan dengannya. Untuk memuluskan sepak terjangnya mereka tak segan-segan memelihara preman-preman Buddhis atau menjadikan umat Buddhis yang bodoh untuk dijadikan teroris untuk menyerang, merusak, mengacau dan menghancurkan kelompok lain yang yang bersebarangan atau menjadi persaingannya.    Mereka selalu memberi uang dan mengajari pegawai restauran,  pegawai super market atau kaum pengangguran untuk menaruhkan racun makanan atau racun udara  ke dalam makanan atau minuman, air condition (AC), ranjang dan bantal, hotel atau kuti, air galon, sayur atau buah, ac mobil, serta sinar radiasi  yang bertujuan merusak , menyakiti, menganggu kenyamanan dan ketentraman siswa/umat yang berseberangan dengannya.

Sekarang kelihatannya mereka senang dengan kelicikan dan kejahatannya, mereka berpikir toh bisa bertobat dan menyesal. Tapi mereka belum sadar bahwa selama hati belum sunya (murni) maka sebab akibat selalu menyertainya. Di dalam Sutra Buddha, disabdakan: Karma buruk mengganggu ketentraman dan kerukunan sramana atau anggota sangha termasuk kategori memecah belah sangha. Akibat buruknya kelak masuk ke neraka avici.  Keburukan untuk diri sendiri memang mudah memohon ampun dan bertobat, bagaimana dengan karma buruk berkatagori sepuluh penjuru? Jika yang disakiti tidak mengampuninya, tentu konsekuensi sebab akibat buruk harus diterima, sekarang pasti bunga karma ia akan menerimanya, kelak buah karma pasti harus diterimanya terjatu ke tiga alam celaka (alam Neraka, alam setan kelaparan dan alam binatang) untuk masa yang lama sekali. Sungguh kasihan sramana bodoh yang merusak diri dan kesempatan emas di jalan Buddha juga sangat iba melihat  umat bodoh yang berguru dan mengikuti jejak bhiksu jahat.

Sramana jahat yang memiliki ilmu hitam
Ada pula sramana atau bhiksu yang mempelajari ilmu sempalan seperti Maosan hitam, atau bersekutu dengan iblis atau dukun jahat untuk mengirim santet kepada bhiksu-bhiksu yang berseberangan untuk menjegal, menjatuhkan, merintangi dan mengacaukan umatnya, agar selalu ribut tidak rukun sehingga kekuatan bhiksu tersebut jadi pecah dan usaha mulianya jadi berantakkan. Juga bhiksu jahat tersebut agar umatnya patuh dan rajin berdana maka bhiksu jahat tersebut main ilmu Maosan atau santet agar umat tersebut jadi linglung/bingung sehingga apa yang diminta oleh bhiksu jahat tersebut semuanya dituruti.

Sramana keturunan Mara
Saat Buddha masih ada di dunia, Mara  tidak  bisa mengganggu dan merusak Triratna (Buddha, Dharma dan Sangha), tetapi setelah Buddha Parinirvana (mangkat). Mara akan menyuruh anak dan cucunya untuk menjadi siswa Buddha, memakai jubah Buddha  untuk merusak ajaran Buddha atau mengganggu dan meracuni siswa maupun umat Buddha lainnya. Di era kemunduran Dharma seperti sekarang ini, nyata-nyatanya banyak sramana aspal  keturunan mara, memasuki dunia Buddhis, menjadi siswa Buddha, menggunakan segala atribut Buddha, tapi mengacaukan dan merusak ajaran Budddha. Jelas-jelas mencapai tingkatan Buddha, tetapi berani memakai gelar Buddha, jelas-jelas belum bisa memahami ajaran Maha Tripitaka tapi ngaku sebagai Dharma Raja. Praktisi pembual penuh kesombongan dan khayalan, berani memakai gelar palsu GURU ANUTTARA, DHARMA RAJA-BUDDHA HIDUP,  membodohi dan mengelabui banyak orang. Karena jelas-jelas mereka tidak memiliki rupa, ciri dan tanda-tanda keagungan. Juga kesucian dan kemampuannya tidak ada yang sesuai gelar yang disandangnya. Mereka menjadi srigala yang  berbula angsa. Keturunan siluman mara yang berkedok menjadi sramana palsu yang bergelar GURU ANUTTARA, DHARMA RAJA-BUDDHA HIDUP  yang masih penuh nafsu keserakahan, kebodohan dan kebencian.   Mereka mengajarkan penyimpangan, dan menghilangkan sila dan vinaya. Mereka melonggarkan aturan baku yang sudah ditetepkan oleh Buddha. Mereka hidup bebas dan mengejar ketenaran, keuntungan, harta, kenikmatan dan pelayanan. Tentu siluman pun banyak keturunan dan pengikutnya. Begitu pula umat awam yang masih belum bisa membedakan asli dan palsu ajarannya maupun sramananya, sehingga  banyak yang terkecoh dan dikelabui oleh ulah para sramana siluman tersebut. Para siluman atau dukun tentu  memiliki ilmu gaib, mereka memelihara banyak asura, iblis, setan dan bersekutu dengan dunia hitam sehingga banyak penampilan kegaiban  untuk mempersona, menghipnotis, dan menyeret umat-umat bodoh untuk menjadi siswa atau umatnya untuk memasuki atau menjebloskan ke dunia hitam, dunia klenik,  dunia budak, dunia asura, iblis, setan  atau tiga alam celaka.
Sramana Parasit
Sutra Buddhis mengatakan: “seorang bisa menjadi sramana dan mencapai kesucian, maka sembilan tingkatan (horizontal atau vertikal) bisa terlahir di surga” tetapi sebaliknya seorang sramana melakukan kejahatan maka imbasnya keluarga maupun leluhurnya mengalami kemalangan atau penderitaan. Karena adanya KARMA UTAMA dan KARMA EFEK.

Banyak bhiksu-bhiksu parasit yang mempergunakan nama Triratna (Buddha, Dharma dan Sangha), vihara dan dana umat untuk kesenangan diri, foya-foya, menghambur-hamburkan uang Triratana, atau untuk memelihara istri, berondong, atau preman, maka kualitas dirinya terus merosot menjadi pengikut Mara atau menjadi siluman berjubah. Mereka melakukan berbagai doa atau sembhayang tidak ada yang manjur dan tidak gaib, karena tidak diberkati oleh Hyang Triratna. Tetapi aksi jahatnya pasti didukung oleh asura atau mara. Banyak sramana atau bhiksu siluman yang licik dan jahat memiliki keluarga kacau, berantakan, bangkrut dan satu persatu matinya konyol; Sedangkan bhiksu –bhiksu baik dan benar, umumnya keluarganya rukun, harmonis, maju berkembang, dan saat meninggalnya wajar dan damai. Kita bisa lihat dan tengok sejarah para bhiksu dan keluarganya, karena adanya peran karma utama dan karma efek. Ambil contoh air danau yang tenang, bila ditimpuk batu di tengah, maka gelombang riaknya akan sampai kepinggir danau. Begitu pula bila bhiksu bodoh menyalurkan dana Triratna, dana vihara kepada keluarganya (istri terselubung, kakak, adik atau keponakkan) mempergunakan uang dan fasilitas Triratana, termasuk dana bhiksu, maka mereka semua hidupnya susah, seret,  malang dan masa depannya suram. Disebabkan orang awam tidak menjadi sramana atau menjadi bhiksu dan tidak melatih diri secara utuh dan penuh, maka tidak boleh menerima dana. Bila mau dibantu oleh dana dari para sramana atau bhiksu maka keluarganya atau umatnya harus berlatih diri secara konsisten dan membantu vihara.
大乘大方等日藏经:若有破戒比丘,受他所舍乃至一华一果;是恶比丘以愚痴故,受他净心所施诸物获大恶报,于现在世得四恶报。何等为四?一者、恶名远闻流布十方;二者、父母师长、兄弟眷属、奴婢亲戚皆悉离散;三者、获大重病卧粪秽中,恶报相现痛苦而死;四者、衣钵坐具所有资财,悉为五家之所分散。是名四种恶报.于未来世复获四种大恶果报。何等为四?一者、身坏命终堕大地狱。二者、于地狱中久受勤苦,地狱终已复生畜生、饿鬼道中,得无手足报,居在旷野无水之处,经百千万岁具受辛苦。三者、从彼命终生毒蛇中,得无眼报,经无量岁唯食于土。四者、于彼命终得生人中,堕五浊世不值诸佛。于彼世中虽得人身,常无眼目亦无手足,住在旷野,唯食世间所弃秽食恒不充足,不得与人同共住止,从彼命终复堕地狱,于三恶道难得免出. Di dalam Sutra Ta Sheng Ta Fang Ten Re Cang Cing, disabdakan: Bilamana ada bhiksu yang melanggar sila, menerima persembahan umat satu bunga atau satu buah; adalah bhiksu jahat yang dilanda kebodohan, menerima persembahan suci dari umat akan mendapatkan balasan karma buruk yang besar, dikehidupan sekarang peroleh empat balasan. Empat balasan itu apa? 1. Nama busuk menyebar luas ke sepuluh penjuru; 2. Ayah ibu, guru, kakak, adik, keluarga, pegawai, kerabat semuanya pasti pecah berantakan dan meninggalkannya. 3. Mendapatkan penyakit berat, tidur bergelimang dengan kotoran, wujud pembalasan karma buruk sehingga sakit, menderita kemudian mati;  4. Pakaian, mangkok pindapatra, tempat duduk serta barang-barang miliknya, diambil /dirampas oleh ‘lima kelompok keluarga’ (raja/ pejabat jahat, pencuri, bencana air, bencana api, anak/murid durhaka) . Inilah empat jenis pembalasan karma buruk yang di alami dalam kehidupan sekarang.

Untuk masa yang akan datang terdapat empat pembalasan karma buruk besar? 1. Tubuh rusak dan mati terjatuh ke neraka besar. 2. Di neraka menerima siksaan penderitaan lama dan terus-menerus, setelah masa di neraka habis, dilahirkan jadi binatang, dan setan kelaparan yang tidak mempunyai tangan dan kaki, bermukim di padang gurun dimana tempat tidak ada air, melewati 1000.000.000  tahun menerima penderitaan. 3. Setelah mati kembali dilahirkan jadi binatang ular yang tidak memiliki mata, melewati usia yang tidak terbatas hanya memakan tanah. 4. Setelah mati baru dilahirkan jadi manusia, dilahirkan di saat jaman lima kerusuhan tidak bertemu dengan para Buddha. Walaupun bisa dilahirkan jadi manuisa dengan kondisi tidak memiliki mata, tiada tangan dan kaki, tinggal di gurun pasir/hutan belantara, hanya makan makanan kotor dan tidak cukup makan, tidak bisa tinggal bersama dengan orang lain.

Sramana yang merangkap profesi menjadi dukun, pakar hong shui, dan ahli nujum
Sekarang ini banyak sramana malas melatih diri dan juga enggan mau membabarkan kebenaran Dharma. Kecenderungan mereka mau cepat kaya dan dikenal banyak orang, sehingga mereka mengambil jalan pintas atau jalan menyimpang dari ajaran Buddha. Awalnya menjadi sramana lama-lama berubah profesi menjadi dukun, pakar hongshui, atau ahli nujum. Tentu praktik klenik ini bertentangan dengan  ajaran Buddha, dan berlawanan dengan tujuan menjadi sramana. Di dalam sutra-sutra Buddha di sabdakan: seorang sramana yang beralih profesi menjadi  dukun, pakar hongshui atau ahli nujum setelah wafatnya akan terjatuh ke alam neraka, karena melanggar sila vinaya juga membodohi banyak orang.
Sramana Malas
Tugas dan kewajiban para sramana/bhiksu setiap hari minimal adalah melakukan kebaktian pagi dan sore, melakukan Meng San Sese. Adapun kebaktian pagi untuk melafalkan mantra Shurangama gunanya untuk mendapatkan  perlindungan dan bimbingan dari Hyang Triratna, agar tidak mundur lagi untuk menapak jalan Buddha. Juga untuk membalas budi dan melakukan pelimpahan jasa pahala kepada para donatur, dermawan dan umat yang telah berdana, agar mereka dikaruniakan keselamatan, keberuntungan, kebijaksanaan. Bila sramana atau bhiksu MALAS tidak mau melakukan kebaktian pagi dan kemalasan ini sudah berlangsung lama, maka ia akan dirasuk dan diganggu oleh barisan mara atau siluman, sehingga pikirannya kotor, nafsunya tinggi, tabiatnya buruk, dan kebodohannya makin pekat, kecenderungan wataknya menjadi angkuh dan licik.  Sehingga memiliki pandangan dan pikirannya liar dan sesat, juga karena tidak ada pelimpahan jasa untuk donatur dan umat, sehingga donatur dan umatnya tidak peroleh buah keberuntungan karena bibitnya  telah ditanam di ladang tandus, sehingga mereka seret rejekinya, sulit maju, banyak kemalangan dan hidup susah. Kenapa banyak bhiksu atau sramana menjadi malas?, karena setelah mereka menjadi bhiksu atau sramana, mereka memilih tinggal dan hidup di rumah tinggal sendiri atau caitya mereka masing-masing, sehingga tidak ada guru yang membimbing dan mengontrol kelakuan mereka, sehingga kehidupan mereka mudah kacau, tidak tertib dan tidak teratur menjalankan tugas dan kewajiban bhiksu atau sramana. Kehidupan kacau mereka yang sudah berlangsung lama sehingga mudah tergoda dan tergiur oleh kenikmatan duniawi kembali, dan mudah diganggu dan dirasuk oleh makhluk yang terlihat maupun tidak, sehingga mereka mudah terpelosok kepada hal-hal yang melanggar sila dan vinaya, berperilaku negatif dan mengalami kebingungan berkepanjangan, dan pada akhirnya mereka memilih lepas jubah.

•    Seorang bhiksu (sramana) dalam proses belajar mencakup dua bagian:
a.    Dalam kehidupan berusaha melepaskan keinginan dan ke-egoisan yang kuat. Seorang perumah tangga memiliki istri, anak, harta dan kedudukan serta hubungan yang rumit antar manusia. Ketika seseorang menjadi sramana atau bhiksu, maka seseorang harus memiliki Nekhama (niat untuk keluar) dari keluaraga galau. Setelah memasuki sangha dan selamanya berlindung kepada Buddha, Dharma dan Sangha. Perlu diketahui, makna berlindung kepada Sangha adalah “Kemanunggalan Sangha”, bukan kepada Perpecahan Sangha atau “Aliran Sangha’. Karena itu di seluruh jagad raya hanya ada kesatuan Sangha yang hanya di akui oleh Hyang Buddha. Karena Buddha hanya mengajarkan, berlindung kepada Sangha saja, tidak mengajarkan berlindung kepada sangha yang ada embel-embel atau atributnya yang disertakan misalnya sekte, kelas (sangha raja, sangha suci atau sangha awam), negara dan wilayah. Karena diajarkan hanya berlindung kepada Sangha saja. Maka kita harus menghormati Kesatuan Sangha dan Keharmonisan Sangha. Semua anggota sangha adalah saudara, seharusnya menjadi persaudaraan secara Dharma, persaudaraan dalam melatih diri, dan persaudaraan dalam menapak jalan Buddha, sehingga tidak etis dikelompokan, di kotak-kotakan dan dibeda-bedakan. Untuk itu, umat harus mengerti dan menyadari bahwa makna dan tujuan “Berlindung Kepada Sangha” adalah Keseluruhan Sangha yang utuh dan luas yang meliputi alam semesta. Bukan kepada sangha yang terkotak-kotak dan dibatasi oleh sekte, kelas, negara dan wilayah.

Seseorang jika setiap hari hanya memikirkan diri sendiri, memikirkan vihara sendiri dan kepentingan diri sendiri, maka kilesa (keruwetan batin) akan semakin banyak.    Kecenderungannya selalu memikirkan keuntungan dan mencegah kerugian sehingga banyak menderita. Kalau kita dapat memikirkan para insan /makhluk, dapat memikirkan kebahagiaan orang lain, maka kilesa (keruwetan batin) dalam diri kita akan berkurang dan pikiran benar kita akan meningkat.

b.    Dari dalam batin kita menyingkirkan ke akuan. Bila seseorang terlalu melekat pada keakuannya, maka akan sulit untuk bergabung dengan Maha Karuna (belas kasih universal), maka akan terasa terpisah dengan para umat (insan), tidak dapat menyatu dengan Berkah Dharma.

Kalau seseorang tidak dapat merasakan kepentingan orang lain adalah kepentingan sendiri, kebahagiaan orang lain juga kebahagiaan diri sendiri, maka akan selamanya terasa ada perbandingan, kompetisi, kontradiksi. Dimana sifat Maitri Karuna (cinta kasih- belas kasih) sulit untuk tumbuh berkembang.

Buddhadharma mengajarkan kita jangan menggiring batin kita pada perhatian tersebut. Tetapi hendaknya batin kita memperhatikan pada Buddhadharma. Hendaknya merenungkan dalam hal ketidak-kekalan, senantiasa melafalkan nama Buddha. Dengan demikian batin kita akan menjadi tenang dan terang, maka angan-angan (khayalan) akan berkurang bahkan bisa lenyap.
4.    Kelompok bhiksu  (sramana) yang terlalu bersifat duniawi:  kelompok ini tindak tanduk dan pikirannya ada yang sesuai dengan Buddhadharma , ada yang tidak sesuai. Kelompok bhiksu (sramana)  meskipun telah menjadi bhiksu tetapi perilakunya atau batinnya tidak sesuai dengan kebhiksuannya. Bahkan ada terlihat perilaku sehari-harinya tercela dan  tidak pantas. Dalam sikap berjalan, berdiam, duduk dan berbaring tidak mencerminkan perilaku seorang bhiksu. Kata-kata dan tingkah lakunya tidak berbeda dengan orang awam. Begitu berbicara yang dibicarakan masalah duniawi, senang membicarakan masalah orang lain, dunia politik, dunia bisnis, dan dunia kesenangan (Dugem). Cara makan dan minum juga tidak sesuai dengan sila vinaya. Mengenakan jubah juga tidak rapih, tidak mencerminkan sikap dan perilaku seorang bhiksu, sehingga membuat umat tidak timbul rasa hormat/respek. Mungkin ada orang yang akan membantah dan mengatakan: jangan hanya semata-mata melihat penampilan seorang bhiksu. Mungkin bisa saja seorang bhiksu secara batiniah telah mencapai tingkatan tertentu, kita orang awam tidak memahaminya.

Agama Buddha mengajarkan cara makan mengharuskan saat makan yang lebih serius. Dalam hal makan dan minum, makanan vegetarian adalah yang utama dan terpenting. Pengertian makan vegetarian berarti tidak makan atau menyantap daging makhluk hidup dan berbau amis/nyengat. Yang dimaksud dengan makanan atau sayuran berbau amis adalah sayur mayur yang mengeluarkan bau tidak sedap seperti : bawang putih, daun bawang dan lokio.

Di dalam Shurangama Sutra dikatakan: sayur-sayur yang berbau amis/nyengat kalau dimakan menumbuhkan kebencian dan menumbuhkan rangsangan –rangsangan nafsu. Oleh karena itu, di dalam peraturan agama Buddha melarang makan makanan-makanan tersebut. Yang dimaksud dengan makanan berbau amis adalah makanan daging dari segala binatang, bahkan telur. Untuk makanan-makanan tersebut bhiksu Buddhis khusunya sekte mahayana dilarang makan makanan tersebut.

Di samping itu, di dalam peraturan agama Buddha, bhiksu Buddha tidak boleh merokok dan minum minuman keras (bir/alkohol). Meskipun merokok tidak tercakup dalam peraturan Pancasila, tetapi merokok adalah kebiasaan buruk yang menimbulkan banyak penyakit dan ketagihan serta menumbuhkan rangsangan emosi dan keinginan. Hal itu tidak sesuai dengan cita-cita/ idealisme Buddhis tentang ‘Ketenangan Tanpa Aku.’ Oleh karena itu, merokok juga merupakan salah satu yang tidak diperbolehkan dalam agama Buddha.

Tidak minum minuman keras (bir/alkohol) juga termasuk tidak minum minuman yang memabukkan seperti bir yang terbuat dari ragi dan ketan. Termasuk bir yang terbuat dari buah-buahan, terbuat dari gandum dan bir lainnya, semuanya dapat merusak jaringan syaraf dengan segala macam yang digolongkan ‘racun’ sehingga dilarang.

Mungkin ada orang-orang yang akan berkata dengan mengutip kata-kata Ji Gong “ Arak dan daging hanya melewati usus, Buddha bersemayam dalam batin”. Kata-kata begitu luas berkembang sampai menjadi buah bibir dan alasan bagi orang-orang yang tidak mengerti Buddhadharma, tetapi suka makan daging. Kalau melihat orang lain melatih diri dan bervegetarian malah balik mengkritik kenapa begitu melekat? Dengan mengira bahwa bervegetarian adalah kemelekatan. Hal tersebut sungguh keliru.

Orang-orang duniawi ini hanya mengetahui “Arak dan daging hanya melewati usus, Buddha bersemayam dalam batin” tetapi orang tidak tahu sesungguhnya kta-kata Bhiksu Daoji (Jigong) masih ada syair lagi dibelakang kata-kata: “ kalau orang di dunia ini mengikuti saya maka dia akan memasuki alam setan. Atau mengatakan “ orang yang mengikuti saya akan terlahir di alam neraka”. Kita hanya mengetahui yang satu tetapi tidak mengetahui yang berikutnya, sehingga pandangan salah berkembang, dampak negatifnya cukup besar. Ini adalah pandangan salah.

Di dalam catatan dari Maha Bhiksu Yin Guang dikatakan: Maha Bhiksu Daoji ( Ji Gong) adalah orang suci yang memiliki kemampuan batin. Untuk menunjukkan pengertian yang benar sering memperlihatkan hal-hal yang di luar pengertian kita. Kalau Beliau minum arak dan makan daging bertujuan hanya tidak menonjolkan sifat-sifat kesucian Beliau untuk menolong orang banyak. Juga bertujuan agar orang-orang bodoh mengira Beliau sungguh gila dan tidak dapat dipercaya. Sehingga masyarakat tidak menyembahnya dan melekat kepadanya. Kalau tidak berperilaku demikian,  maka Beliau tidak dapat berdiam sepanjang hayat di muka bumi  ini.

Setiap manifestasi dari para Buddha dan Bodhisattva, andai kata terlahir di dunia ini, hanya dapat dengan sifat-sifat budi yang luhur untuk membimbing para insan, tidak dapat dengan mempertunjukkan/memperlihatkan kemampuan-kemampuan batinnya. Kalau memperlihatkan kemampuan batinnya maka tidak akan lama hidup di dunia ini. Hanya dengan bertingkah seperti orang gila tetapi tidak berarti membenarkan seorang sramana untuk minum minuman keras dan makan daging.
Orang-orang saleh di dunia ini, banyak yang dapat menahan diri untuk tidak minum minuman keras dan makan daging, apalagi sebagai seorang siswa Buddha bertugas untuk mendidik para insan. Kalau diri sendiri tidak dapat melaksanakan Dharma Vinaya, bagaimana umat  atau orang awam dapat timbul keyakinan?  Oleh kareana itu, minum minuman keras dan makan daging tidak dibenarkan. Kalau anda tidak dapat mengeluarkan lagi makanan daging yang anda santap dan menjadi hidup kembali, bagaimana dapat dibenarkan menyantap daging/ makhluk hidup?  Kalau anda minum minuman keras, kemudian dapat menunjukkan bermacam-macam kemampuan batin, bila tidak bisa, bagaimana untuk dapat belajar yang lain?

Di samping itu, peraturan lain agama Buddha untuk para bhiksu adalah: mereka tidak menikah (selebat) dan tidak mengumpulkan harta materi. Seorang bhiksu mengembangkan tugas mulia untuk melestarikan Buddhadharma sebagai usaha seumur hidupnya. Oleh karena itu, harus membujang (selebat) baru dapat berkarya. Mengumpulkan harta adalah bertolak belakang dengan makna meninggalkan keduniawian.

Setelah seorang bhiksu menerima sila vinaya, juga di tuntut para bhiksu, bhiksuni (sramana) untuk berdiam dan tinggal di vihara masing-masing yang berbeda tempat tinggal. Mereka tidak boleh tinggal dalam satu vihara. Dalam hal tersebut sudah banyak yang dilanggar secara serius. Meskipun terjadi pada masa Akhir Dharma dan hal-hal tersebut telah diprediksi oleh Guru Buddha. Dan hal-hal tersebut juga memang cukup mengkhawatirkan.

Ada beberapa orang, begitu mendengar tentang sila vinaya, maka mereka suka mengutip kata-kata Patriach ke XI Hui Neng: “ Bila batin telah tenang, buat apa memegang sila vinaya”  serta kata-kata kutipan para master untuk membantah. Sesungguhnya diri sendiri menyadari bahwa batinnya belum tenang. Bagaikan seorang anak kecil yang suka memakan sepatu orang dewasa. Demikianlah orang awam yang suka mengutip kata-kata orang suci. Atau dengan kata-kata “ Batin sendiri sebenarnya Buddha”  untuk merendahkan makna dari latihan yang nyata. Sesungguhnya harus di mengerti, orang awam masih bagaikan logam emas yang belum ditempa. Sifat-sifat mulia masih harus di latih agar bisa timbul.

Bodhisattva yang ingin menjadi Buddha harus menempuh “Enam Paramita (SAD PARAMITA) dan puluhan ribu perbuatan bajik. Apalagi kita sebagai orang awam yang masih terbelenggu.

Buddha Dharma mengajarkan kepada kita :” Di dalam semua pelajaran Dharma tidak kurang satu pelajaran, di dalam kenyataan tidak ternoda debu. Kedua kebanaran saling menyentuh sehingga menjadi harmonis. Suatu pandangan yang melekat tanpa nilai kebenaran harus dilepas, begitu pula melekat kepada teori dan meniadakan masalah juga tidak boleh. Semua masalah timbul dari sebab penyebab yang timbul karena masalah keduanya tidak boleh ditinggalkan secara sepihak.

Sekarang ada banyak ‘bhiksu’ pelaksana Dharma’ sering berbicara tentang kutipan-kutipan seperti dirinya telah berhasil menyingkirkan kemelekatan dan merealisasikan kekosongan, tidak perlu lagi mentaati sila vinaya.

Sekarang pada saat orang-orang membaca kisah nyata Master Hui Neng, mereka hanya memperhatikan gatha yang berbunyi begini: “ Bodhi tak berpohon; Cermin terang juga tidak berbingkai; Sebenarnya tidak ada satu benda apapun; Bagaimana dapat dikotori oleh debu” sungguh sedikit orang yang memperhatikan pekerjaan apa yang pernah dilakukan oleh Master Hui Neng sebelum mencapai pencerahan. Sebelumnya Beliau bekerja di tempat penggilingan beras selama delapan bulan. Hal itu sama dengan sekarang kita belejar melatih diri. Setelah delapan bulan bekerja keras dan menyembunyikan ‘Nama Diri’ dan ‘Jati Diri’ selama lima belas tahun, barulah keluar membabarkan Dharma.

Di jaman sekarang, bagaimana orang-orang yang masih sedikit kebijaksanaannya dapat menyamakan diri dengan Master Hui Neng? Begitu juga dengan berdasarkan kesadaran dan kebijaksanaan apa untuk menyatakan dirinya telah memperoleh pencerahan mendadak (Tuen Wu)?

Di dalam aliran Chan/Zen, memang tidak menitik beratkan kata-kata dan lebih menekankan pada penyampaian secara batiniah. Tetapi orang-orang sekarang yang menamakan dirinya Chan, beramai-ramai berdasarkan dengan penyampaian non-verbal ( Pu Li Wen Ce). Tetapi mereka bermain dengan kata-kata dan terjebak dengan kutipan-kutipan kata-kata.

Ada lagi yang menamakan diri sebagai pelaksana dan praktisi Chan/Zen, meninggalkan pelajaran dan beralasan, bahwa “ Dharma yang disampaikan di luar ajatan” mereka tidak pernah membaca sutra dan sastra Buddhis.

Mereka tidak melatih “Mentaati Sila, berikrar, menyesali perbuatan buruk, memupuk kebajikan”. Tanpa memperhatikan kemampuan yang berbeda. Begitu masuk dalam agama Buddha, hanya melekat pada sebarisan kata-kata sebagai yang mutlak tanpa bimbingan guru yang bijaksana dan penyuluhan yang benar, bukan saja perlu waktu lama mencapai pencerahan, tetapi malah tersesat, menganggap bayangan sebagai kenyataan. Meskipun telah belajar banyak Samadhi dan bhavana selama bertahun-tahun, tetapi kilesa (kekotoran batin) sedikitpun tidak berkurang, bahkan kesombongan semakin bertambah serta pandangan sesat pun timbul. Akhirnya terjatuh pada pandangan salah, sesat dan keliru. Dengan mengeluarkan pendapat dan pandangan yang keliru terhadap Buddhadharma.

Seseorang apakah sudah mencapai pencerahan atau tidak. Harus dilihat dari kepribadian dan tingkah lakunya. Orang yang mencapai pencerahan harus memiliki kebijaksanaan, Maitri Karuna ( cinta kasih dan belas kasih) dan rasa tanggung jawab yang besar serta ‘Tanpa Aku’ dan ‘Tidak Egois.’ Dengan menyadari hal-hal demikian, rupanya sramana awam masih jauh untuk mengatakan telah mencapai pencerahan.

5.    Kelompok bhiksu yang memiliki kualitas baik: menerapkan sila vinaya, mengerti teori, metode  dan praktik Buddha Dharma, tingkah lakunya sesuai Buddhadharma. Ini baru dikatakan benar-benar mengemban tugas mulia untuk mengembangkan Buddhadharma yang benar. Membimbing para insan dan melaksanakan bhavana. Ini baru dapat dikatakan “Kader-kader unggulan Buddhis” . mereka adalah bhiksu yang menjadi panutan umat, mereka adalah “Sangha Ratna” yang patut dihormati. Wajahnya anggun dan mulia, batinnya bukan saja telah sadar tetapi tenang dan damai, selamanya tidak pernah meninggalkan umat dan bersikap cuek, tetapi selalu penuh dengan Maitri Karuna dan kebijaksanaan membimbing para umat / insan serta membawakan manfaat dan faedah kepada para insan/ makhluk.

Di zaman sekarang ada banyak bhiksu/bhiksuni yang benar-benar melaksanakan latihan bhavana. Mereka sangat tekun berlatih dan penuh perhatian, melakukan latihan berdasarkan petunjuk Buddha dengan mendengarkan, merenungkan dan melaksanakan Dharma. Mereka begitu di hormati umat, tetapi sayangnya, tidak memperhatikan usaha-usaha bagi pengembangan Dharma yang berguna bagi kepentingan orang banyak.

Seandainya saja mereka mau merubah sedikit niat dan metodenya, mengembangkan cita-cita Mahayana untuk menumbuh kembangkan kan Bodhicitta dan untuk manfaat bagi para insan, maka Buddhadharma yang benar akan dapat berkembang maju, para insan/umat akan dapat di arahkan menuju pembebasan dan pencerahan.

Kemudian kita lihat lagi perkembangan dalam agama Buddha: banyak orang senang membangun kuil/vihara Buddha dan arca Buddha, berusaha untuk menciptakan nuansa budaya Buddhis yang cemerlang, kita tidak memungkiri hal-hal demikian. Hal-hal demikian dalam hal tertentu bermanfaat bagi perkembangan agama Buddha, dan jasanya pun luar biasa. Tetapi kalau hanya berhenti memperhatikan perhatian kita pada semua yang bersifat keagungan penampilan saja dan mengabaikan ajaran-ajaran Buddha tidak kurang lima puluh tahun orang-orang akan salah menduga bahwa vihara dan arca Buddha adalah semua pelajaran agama Buddha. Tidak mengerti terhadap Buddhadharma, tetapi meletakkan ajaran Buddja pada tempat feodalistis dan takhayul, sehingga kehilangan kesemptan untuk memperoleh pencerahan, begitu saja lewat dalam kehidupan manusia. Seandainya umat Buddha dapat sepenuh hati memperhatikan usaha pengembangan Buddhadharma dan usaha-usaha yang bermanfaat bagi para insan, maka tugas utama yang harus dikerjakan adalah mengembangkan dan menjelaskan Buddhadharma yang benar, agar orang-orang mengerti dan mengenal Buddhadharma. Hanya dengan demikian, orang-orang baru akan dapat belajar Buddhadharma untuk memperoleh pembebasan dan pencerahan. Dengan demikian juga akan dapat menunjukkan dan memanifestasikan nilai-nilai luhur Dharma. Hanya dengan demikian, umat akan dapat melalui belajar Buddhadharma memperoleh pembebasan dan pencerahan, dan juga dapat memnifestasikan nilai nyata dari Buddhadharma.

Di dalam Sutra Ksitigarbha, disabdakan: barang siapa menjadi sramana tapi hatinya tidak menjadi sramana, maka setelah kematiannya pasti terjatuh ke neraka avici, tersiksa dan menderita karena dibungkus oleh jubah sramana yang panas terbakar dan membara.

Bhiksu Baik Jangan Khawatirkan Soal Kebutuhannya
Di dalam Sutra Ru Fo Jing, disabdakan. Bila ada bhiksu satukan hati melatih kesucian, maka ada ribuan milyar dewa langit, bertekad bersama-sama berdana kepada bhiksu tersebut. Hanya sepenuh hati melatih kesucian, tidak memikirkan kebutuhan akan pakaian dan makanan. Karena Tathagata yang memiliki wujud cahaya putih di dalam ratusan ribu milyar cahaya terang, satu bagian cahaya itu di danakan kepada para siswanya. Bilamana semua orang di dunia menjadi sramana dan mempraktikkan Dharma secara tekun dan benar maka semua cahayanya akan memancar kepada seluruh siswanya , bukan lagi hanya satu cahaya saja.

Kelakuan sramana diketahui oleh empat kelompok
Semua kelakuan sramana  diketahui oleh empat kelompok ,yaitu: Bumi, Langit, Saksi dan Diri sendiri, apapun yang diperbuat sramana akan mendatangkan sebab akibat, bentuk-bentuk karma kelahiran, jodoh dan kondisinya, karma mental, karma kemampuan dan karma memory pikiran.

Nasehat untuk sramana
Pilihan hidup orang untuk menjadi sramana tentu sudah dipikirkan matang-matang dan adalah pilihan berani, mengandung resiko dan pilihan terbaik di antara banyak pilihan lainnya. Pilihan menjadi sramana tentu berat, sulit dan banyak rintangan, salah satu adalah pasti ditentang dan  tidak disetujui termasuk orang tua kita, juga banyak di ejek dan dicerca oleh kawan maupun rekan. Tentu tujuan utamanya menjadi sramana adalah berjuang keras untuk segera keluar dari arus kelahiran dan kematian di dalam siklus tumimbal lahir. Kehidupan sramana bukanlah mencari kebebasan bertingkah laku walaupun mencari Membebasan Mutlak. Melainkan kehidupan sramana adalah pengendalian yang di atur dalam sila dan vinaya sramana sesuai jenjangnya, di mulai, dari sramanera/sramaneri, bhiksu/bhiksuni dan sila Bodhisattva lainnya. Untuk bisa hidup lurus dan sejalan dengan Dharma, sila dan vinaya, maka setiap penanggalan lunar Ce it atau Cap go wajib membaca sila dan vinaya.  Bila ada pelanggaran harus segera menyesal dan bertobat, berjanji tidak mengulangi lagi. Senantiasa bercermin diri, introspeksi diri, koreksi diri dan mengevaluasikan diri. Kejahatan yang belum dilakukan jangan dilakukan; Kejahatan yang sudah dilakukan segera hentikan; Kebaikan yang belum dilakukan segera lakukan; dan Kebaikan yang sudah dilakukan terus ditingkatkan.

Bagaimana sikap umat terhadapa berbagai kualitas sramana?
1.    Bagi sramana yang baik dan benar yang hidup sesuai Dharma dan senantiasa membabarkan Dharma, seluruh umat harus menghormati dan banyak belajar kepadanya dan mendukung usaha baiknya.
2.    Bagi sramana yang kurang baik, para umat harus menghormati dan menolongnya, membelikan buku-buku, dvd ajaran Buddha atau mengajak sramana tersebut mendengarkan Dharma dan belajar Dharma melalui dvd atau siaran televisi Dharma.  Guna kesadaran, kebijaksanaan dan kebajikannya tumbuh berkembang.
3.    Bagi sramana yang tidak baik, para umat juga harus menghormati, jangan menjelekkan nya, apalagi merendahkan, kasar, dan memukulnya. Sebagai umat yang baik dan mampu harus menolongnya atau membimbingnya, bila sramana tersebut menyadari kekeliruannya dan masih bisa dibimbing maka dukung upayanya untuk memperbaiki tingkah lakunya, tetapi bila sramana tersebut bersikeras kepala , angkuh, bodoh dan jahat, tidak mau berubah tingkah laku buruknya , maka para umat tetap harus menghormatinya dan segera tinggalkan sramana tersebut
4.    Bagi sramana yang bergelar kesucian palsu, menyombongkan ilmunya,  suka menonjolkan kegaibannya, suka promosi dan memakai atribut aneh dan nyentrik, penampilannya buka sebagai sramana karena memakai perhiasan dan hidup mewah, maka para umat jangan mencarinya, jangan belajar dengannya, apalagi berlindung dengannya. Segera jauhkan diri! Jangan mendukung kegiatannya, apalagi menyumbang kepada sramana sesat tersebut. Karena perilaku sramana tersebut sangat berbahaya, karena sramana tersebut adalah keturanan Mara, mengaku siswa Buddha, memakai jubah Buddha dan memakan dana Buddha tapi merusak ajaran Buddha. Sramana sesat ini dosanya dan karma buruknya terlalu besar, sudah tidak bisa ditolerir dan di ampuni lagi dan tidak mungkin lagi bisa ditolong atau dibimbing. Karena kesesatannya sudah begitu luas dan dalam. Bila ketemu sramana demikian jauhkan diri dan lupakan sramana tersebut segera!!!

Di dalam Ganda Vyuha Sutra, disabdakan: Layanilah Guru (Guru baik dan bijak) dengan hati laksana bumi, tak pernah lelah oleh bebannya. Dengan hati sekeras intan. Dengan sikap kesetiaan bagai seekor anjing, yang tidak kecewa karena disakiti. Dengan hati seperti pangeran muda yang menuruti pada kemauan raja berkuasa.

Renungan untuk menghormati para sramana:
“Hormati sramana  jangan merendahkan sramana; Jangan pula suka  mengukur kualitas para sramana; Merenungi kebajikan sramana, Jangan melihat keburukan sramana; Bantulah usaha mulia sramana. Jangan menyusahkan sramana’. Sebagai umat awam yang belum mencapai pencerahan atau kesucian, maka kita tidak memiliki mata dewa dan mata kebijaksanaan, sehingga tidak tahu bagaimana kualitas para sramana? Jangan lah kita mencemohkan dan memukul rata semua sramana sekarang sudah tidak baik atau sudah menyimpang dari tujuan menjadi sramana! Bila kita menuduh dan berpikiran buruk kepada sramana walaupun tidak dihadapan para sramana, maka kita sudah menodai pikiran kita sendiri dan menciptakan karma buruk yang luas. Secara tidak langsung sudah meremehkan keberadaan, kesatuan dan keutuhan Hyang Triratna (Buddha, Dharma dan Sangha).  Sramana pada umumnya dibagi dua kelompok, yaitu; 1.  Sramana suci (sudah tamat belajar ; 2. Sramana belum suci (masih tahap belajar). Tentu sramana suci tingkah lakunya sesuai Dharma dan mereka sudah keluar dari Triloka Dhatu (karma dhatu, rupa dhatu dan arupa dhatu); sedang sramana yang masih belum suci dipastikan tingkah lakunya jatuh- bangun, maju-mundur, lurus-menyimpang, hidup sesuai Dharma- melanggar Dharma. Karena kebanyakan sramana yang belum suci tersebut melatih diri karena tidak efektif, bagaikan menderita penyakit tertentu tetapi tidak di obati dengan obat yang sesuai dengan penyakitnya atau tidak efektif. Juga para sramana sekarang ini diumpamakan dilahirkan di persimpangan jalan. Pada masa Guru Buddha Sakyamuni sudah Parinirvana, sedangkan Buddha Maitreya belum datang, sehingga tidak ada Guru Agung yang membimbing secara efektif. Walau pun banyak senior sramana tapi kebanyakan mereka pun belum mencapai pencerahan atau kesucian. Itupun kehidupan mereka super sibuk dengan urusan dan kepentingannya masing-masing sehingga tidak ada waktu atau tidak mau membimbing para sramana yunior. Guru Buddha walaupun sudah menegaskan jadikanlah Dharma dan Vinaya sebagai ‘Guru Pengganti’, tapi keberadaan Guru bisa mengajar dan membimbing orang, sedangkan Dharma itu sendiri tidak bisa membabarkan Dharma, menjelaskan dan membimbing Dharma kepada kita semua. Hanya orang yang rajin dan tekunlah yang mau belajar terus dan rajin menekuni  ajaran Maha Tripitaka lah, ditambah tekad, pengorbanan, dan selalu tegar karena banyak rintangan dan hambatan baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat, orang itu baru bisa dan mampu berceramah dan banyak menulis artikel Dharma.

Seorang Sramana harus belajar tiga cara untuk mencapai pencerahan dan kesucian, yaitu:
1.    Memahami  ajaran Dharma yang tertulis dan tersirat untuk mengembangkan kebijaksanaan .
2.    Merenungkan, menganalisa dan menguji kebenaran ajaran Dharma sekaligus untuk memilih metode yang efektif sesuai  kondisi praktisi
3.    Mempraktikkan Sila (pengendalian diri), Samadhi (pengendalian pikiran) untuk mengembangkan Prajna (pengendalian pandangan yang pada akhirnya memunculkan kebijaksanaan) guna mencapai pencerahan dan kesucian.

Kesimpulan
Demikianlah kita telah membahas lima kelompok bhiksu dengan keadaan  dan kondisi yang berbeda dan sifat-sifatnya. Yang jelas dimasa sekarang kita sangat membutuhkan bhiksu/bhiksuni  atau sramana yang berkualitas baik. Tetapi bagaimana kita bersikap terhadapt empat kelompok bhiksu/bhiksuni  termasuk sramana lainnya?

Ada orang dengan emosinya menegaskan: mereka yang tidak dapat berjalan sesuai dengan Buddhadharma, bertentangan dengan ajaran Buddha, yang malas dan menumpang hidup dalam agama Buddha harus dikeluarkan. Jangan membiarkan “Setitik Nila Merusak Susu Sebelanga” , tetapi hal ini tidak mungkin. Pada waktu Bhagavan Buddha masih berada di dunia ini ada Devadatta, enam kelompok bhiksu yang merusak sangha dan menodai Buddhadharma. Apalagi di zaman sekarang dimana mental dan kualitas manusia semakin merosot.

Kita hanya bisa melakukan usaha untuk membina dan mendidik bhiksu/bhiksuni dan sramana yang bersifat duniawi. Terhadap tiga kelompok lainnya (bhiksu yang tidak tahu malu, bhiksu pandir dan bhiksu yang suka berintrik) juga harus dengan giat membantu, membina dan membimbing mereka agar berangsur-angsur merubah sikap mereka. Kalau memang tetap tidak mau berubah, bagi yang berperilaku terlalu buruk, terpaksa harus ditolak, dikeluarkan atau ditinggalkan!.

Penutup
Demikianlah artikel “Bagaimana Menjadi Sramana yang Sesuai Dharma” di angkat ke permukaan untuk dipahami, dan di ambil hikmahnya. Adapun maksud dan tujuan tulisan artikel ini dibuat, agar para siswa maupun umat Buddha bisa memahami keberadaan dan berbagai kualitas sramana di dalam dunia sangha. Supaya siswa dan umat Buddha tidak salah berguru dan terjerumus kepada sramana jahat dan sesat, maka sebelum berguru kita harus melihat kualitas dan tingkah laku sramana, supaya tidak menyesal nantinya. Sesungguhnya agama Buddha tidak bisa merosot apabila para sramana di jalan benar dan baik, senantiasa membabarkan kebenaran Dharma. Justru sekarang ini agama Buddha terus memudar dan merosot karena dipengaruhi kualitas buruk para sramananya, sehingga agama Buddha kena imbasnya dilupakan orang dan ditinggalkan oleh umatnya sendiri. Adalah menjadi tugas dan kewajiban kita sebagai siswa dan umatnya untuk menjaga, melindungi dan melestarikan keberadaan Hyang Triratna (Buddha, Dharma dan Sangha) agar tetap eksis dan menjadi cahaya bagi kegelapan, membimbing semua makhluk agar melenyapkan bodoh dan derita, peroleh pencerahan dan kebahagiaan. Siswa dan umat yang baik harus mempunyai tanggung jawab terhadap keberlangsungan agama Buddha, bukan masa bodoh terhadap kemerosotan agama Buddha. Nasib dan masa depan agama Buddha ada di tangan kita semua dsn menjadi tanggung jawab kita semua. Oleh karena itu,  pedulilah, lakukan peran dan sumbangsih untuk kemajuan kuantitas dan kualitas para sramana demi tegaknya,  langgengnya dan kejayaan Hyang Triratna. Akhir kata, semoga Hyang Triratna senantiasa membimbing dan melindungi kita semua, svaha.  Amithofo.