Maha Vaipulya Paripurnabuddhi Nitartha Sutra – 圆觉经 – Sutra Maha Kesadaran Yang Sempurna

Demikian yang kudengar Pada suatu ketika HyangBuddha sedang melaksanakan samadhi yang maha terang dan sangat menakjubkan, yaitu Mahaprabhagarbho Nama Samadhi dalam Pasamuan yang disebut Samarata. Beliau terus menikmati samadhiNya yang demikian terang, tenang, dan suci. Keadaannya tidak berbeda dengan para Tathagata yang selalu melaksanakan samadhi yang Maha terang. Namun keadaan yang maha terang itu bukan hanya dimiliki oleh para Tathagata, tetapi juga dimiliki oleh setiap umat di dalam hatinya ! Ia sebagai sebidang Alam Bodhi yang sangat suci, samarata nan sempurna, dan luasnya hingga sepuluh penjuru tanpa batas. Alam Bodhi berarti hanya satu tanpa ada dua. Ia dapat menuruti hati umat mengubah ientitasnya bila syarat dan waktunya telah tiba ! Maka, barang siapa bertekad memanfaatkan samadhi yang maha terang itu di dalam hatinya, dapat mewujudkan suatu alam suci seperti negeri negeri yang ditempati oleh para Arya Agung atau para Buddha.

Saat bersama-sama dengan Hyang Buddha melaksanakan samadhi, terdapat pula para Bodhisattva-Mahasattva serta pengikutnya. Mereka datang dari pelbagai dunia. Semuanya Berjumlah seratus ribu orang. Mereka adalah:
Bodhisattva Manjusri,
Bodhisattva Samantabhadra,
Bodhisattva Samantanetra,
Bodhisattva Vajragarbha,
Bodhisattva Maitreya,
Bodhisattva Vimalamati,
Bodhisattva Uggasvara,
Bodhisattva Pratibhanaghosa,
Bodhisattva Vimalasarvakarmavarana,
Bodhisattva Samantabodhi,
Bodhisattva Paripurnabodhi,
Bodhisattva Bhadrasiras,
Dan lain-lain.

Mereka selaku Sthavira memimpin hadirin melaksanakan samadhi serta menunggu Hyang Sakyamuni Buddha mengkhotbahkan Dharma Luhur dalam Pasamuan Samarata yang diciptakan oleh Beliau khusus untuk para Bodhisattva dan pengikutnya.

Setelah Hyang Buddha selesai samadhi, Bodhisattva Manjusri bangkit dari duduknya. Beliau merangkapkan telapak tangannya dan bernamaskara di depan kaki Buddha, lalu mengelilingi Buddha dari kanan ke kiri sebanyak 3 kali, kemudian berlutut dengan sikap anjali sambil berkata:

“O, Tathagata yang Maha Karunika! Dengan ikhlas dan jujur aku mewakili semua hadirin mengajukan permohonan, sudilah kiranya Hyang Buddha menguraikan tentang asal-usul saat Hyang Buddha masih berstatus seorang Bodhisattva, dan bagaimana Hyang Buddha menggerakkan Bodhicitta yang maha Luhur ? Bagaimana mempraktekkan Dharma ? Dengan metode apa Tathagata bisa mencapai kesempurnaan ? Apabila ada di antara para Bodhisattva yang bercita-cita luhur menyelamatkan makhluk sengsara dan bertekad berjuang dengan tingkat Mahayana, harus dengan cara apa agar dirinya dapat terhindar dari segala kesalahan dan kekeliruan sehingga mereka bersama pengikutnya dapat mencapai tingkat ke Buddha-an? Begitu pula, bagaimana para tokoh bijaksana harus membimbing umatnya yang berniat mengidentitaskan dirinya pada tingkat seorang Bodhisattva yang tekun mengamalkan ajaran Mahayana pada masa Periode Dharma Terakhir agar mereka tidak tergelincir ke dalam pandangan Mithyadarsana (Micchaditthi) atau pandangan sesat ?”

Seusai memohon, Bodhisattva Manjusri lantas bernamaskara di depan kaki Hyang Buddha sebanyak 3 kali sebagai pernyataan keinginan yang sedemikian teguh ! Hyang Buddha sangat menghargai kebijaksanaan Bodhisattva Manjusri. Lalu Beliau bersabda:
“Sadhu! Sadhu! Sadhu! Permohonan yang anda ajukan itu sangat bermanfaat. O, Putra yang berbudi! Untuk membantu para Bodhisattva, anda menginginkan Aku menerangkan saat Aku Mempraktekkan Dharma serta asal-usulnya, agar pelaksanaan Saddharma mereka cepat berhasil, dan untuk membimbing mereka yang tekun mengamalkan ajaran Mahayana pada masa Periode Dharma Terakhir, agar mereka dapat terus menuju ke jalan yang benar tanpa tergelincir ke dalam pandangan sesat.

O, Putra yang berbudi dan hadirin sekalian ! Dengarkan baik baik, sekarang Aku akan mengkotbahkannya!”
Saat Sang Manjusri mendengar bahwa permohonannya dikabulkan, hatinya amat gembira. Lalu Ia bersama-sama pengikutnya dengan sikap khidmat menantikan kotbah yang akan segera disampaikan Hyang Buddha.

Hyang Buddha melanjutkan sabda-Nya:
“Putra yang berbudi ! Ketahuilah Raja Dharma yang maha tahu memang memiliki suatu metode sebagai Maha Dharani Dvara yang disebut Paripurnabuddhi (Kesadaran Yang Sempurna). Apabila metode ini dapat diamalkan oleh umat, pastilah mereka akan mencapai puncak pengertiannya seperti Tathata tersuci yang dimiliki para Tathagata. Dan mereka akan mencapai kebijaksanaan Bodhi yang teragung hingga tingkat Nirvana. Mereka juga dapat mempergunakan ketrampilan luhur serta berbagai Paramita dalam membimbing pengikutnya serta Bodhisattva lain dengan Dharma yang dituntutnya hingga memperoleh keberhasilan!”

“Ada pun tentang asal-usul para Tathagata mulai menggerakkan Bodhicitta-Nya untuk mengamalkan Dharma, semua bersandar pada Paripurnabuddhi tersebut. Metode ini bersifat sangat terang, bulat, dan tak tercemar, serta berani menghancurkan Avidya yang selama ini bersemayam di dalam lahir-batin mereka hingga bersih total, sampai akhirnya mereka mencapai Anuttara Samyaksambodhi menjadi Tathagata. ”

“Apakah Avidya itu ? Berasal darimana ? O, Putra yang berbudi!” Hyang Buddha meneruskan sabda-Nya:
“Sesungguhnya, setiap makhluk hidup sejak dahulu kala berpandangan keliru, karena mereka selalu memandang segala sesuatu dengan pikiran terbalik, dan sikapnya seperti orang ‘sesat-lalu’ yang sulit sekali mengikuti jalan yang benar, bahkan jurusan timur dianggap barat, arah utara ditunjukkan ke selatan. ”

“Karena mereka berada di jalan sesat, maka tubuh yang dimiliki para makhluk yang sebenarnya terdiri dari Empat Unsur Besar atau Catur Mahabhuta (yaitu: tanah, air, api, dan udara) disalahartikan. Mereka menganggap unsur-unsur tersebut adalah ‘Aku’. Demikian pula ke-6 obyek indera atau Sad Ayatana (yaitu : bentuk, suara, bebauan, rasa, sentuhan, dan gagasan/bentuk-bentuk pikiran) selalu dijadikan kesan-kesan di dalam pikirannya. Padahal saat unsur-unsur tersebut buyar atau ayatana-ayatana sudah lenyap, ‘Aku ‘berada di mana?

Kesan-kesan atau benda-benda yang dianggap obyek itu berada dimana? Pandangan yang keliru ini tidak berbeda dengan seorang pasien yang sedang menderita penyakit mata. Ia selalu merasa bahwa ia dapat menyaksikan beberapa jenis ‘bunga’ di angkasa atau dapat melihat dua bulan dilangit bila ia memegang kelopak matanya.”

“O,Putra yang berbudi! Apakah di angkasa terdapat bunga atau dua bulan ? Tidak, bukan ? ini hanya fatamorgana saja! Karena ia telah melihat kekeliruan dan makin lama makin bersikeras pada pandangannya, maka ia sama sekali tidak dapat mengerti keadaan angkasa, bahkan bunga tersebut dari jenis apa dan berasal darimana, tak dapat dijelaskan olehnya. Karena itu, patutlah selama berjuta-juta Kalpa para makhluk terus-menerus diputar oleh roda lahir-mati (Samsaracakra). Itulah yang menyulitkannya untuk mendapat kesempatan agar dirinya terbebas dari alam sengsara. Ini yang dinamakan Avidya (Avijja, kegelapan-batin).”

Hyang Buddha melanjutkan sabda-Nya :
“O, Putra yang berbudi ! Anda seharusnya tahu bahwa yang disebut Avidya itu sebenarnya tidak berwujud. Hanya orang yang berada di jalan sesat yang dapat merasakannya. Namun apabila mereka telah sadar terhadap segala sesuatu, telah memiliki kebijaksanaan luhur, Avidya itu akan lenyap dengan sendirinya. Ketahuilah, keadaannya persis seseorang yang sedang bermimpi. Dalam impian mereka merasakan benar-benar ada sesuatu, akan tetapi setelah sadar dari mimpi, tak ada sesuatu apapun yang diperolehnya. Keadaan demikian juga tidak berbeda dengan ‘bunga’ yang lenyap di angkasa. Akan tetapi, anda jangan berkata: ‘Bunga itu telah lenyap dari angkasa’ . Mengapa ? Sebab ‘bunga’ yang bersifat khayalan itu bukan dari penciptaan, tentu saja tidak ada musnahnya. Seperti Dharma yang menunjukkan : ‘Segala sesuatunya bercorak hampa, tanpa lahir dan tidak bisa musnah'”.

“Sebenarnya, makhluk apapun memiliki Paripurna buddhi atau Kesadaran Yang Sempurna, yang suci murni, namun karena Avidya ada di dalam dirinya sehingga pandangannya menjadi sesat. Maka itu, mereka selalu dinamakan ‘Makhluk yang diliputi dengan samsara’. Paripurnabuddhi pun tidak dapat dimanfaatkan oleh mereka.”

“O, Putra yang berbudhi! “Hyang Buddha meneruskan sabda-Nya.
“Anda seharusnya tahu bahwa saat Tathagata mulai mempraktekkan metode Paripurnabuddhi yang tersuci itu, Beliau dengan kebijaksanaan yang luhur dan dengan pandangan yang benar telah memahami betul makna-makna seperti ‘bunga’ angkasa yang hanya suatu khayalan belaka. Berbeda dengan para umat yang masih beranggapan salah bahwa ‘Aku’ dan ‘Kekal’ itu tetap ada, padahal kedua istilah tersebut tanpa Svabhavanya (intisari). Hyang Tathagata tidak merasa lahir-batin-Nya terlibat roda samsara. Tathagata sengaja menyebut demikian karena pada dasarnya Svabhava-nya dan Alam Bodhi-nya itu suci bersih adanya.”

“Sungguh corak dari Kesadaran Yang Sempurna itu persis angkasa yang sangat bersih dan sangat luas. Namun, ia memiliki pengertian, dan sifat pengertian itu tidak berbeda dengan ‘bunga’ angkasa. Itu berarti pengertian itu tidak kosong total, masih ada corak-coraknya. Maka, seorang umat yang telah memiliki Paripurnabuddhi harus memegang kesadaran secara bulat. Apa yang dikontakkannya tak usah dijadikan kesan dalam pikiran, biarpun kesan itu ada atau kosong! ”

“Mengapa kesan ada atau kosong itu harus dilepaskan? Sebab Svabhava atau inti jati pada dasarnya suci bersih dan bersifat seperti angkasa. Ia demikian terang, tenang, dan tanpa reaksi (bukan relatif). Ia adalah Tathagatakosa (sari pribadi Buddha) yang bersifat tanpa lahir dan tanpa musnah, juga tanpa pengertian, namun ia tetap berfungsi seperti Dharmadhatu, bulat, realistis, dan lapang. Luasnya hingga sepuluh penjuru tanpa batas.”

“Inilah tentang asal-usul para Tathagata ketika mereka melaksanakan Dharma hingga memiliki Paripurnabuddhi. Kini telah banyak Bodhisattva secara tekun membaca asal-usul ini untuk membangkitkan Bodhicitta-Nya menuju ke Jalan Mahayana. Maka apabila ada umat yang akan rnengalami masa Periode Dharma Terakhir, dan mereka masih tekun mengamalkan metode ini, pastilah mereka tidak akan terjerumus ke dalam Mithyadarsana (Pali:Micchaditthi) atau Pandangan sesat!”

Kemudian Hyang Buddha mengulangi makna Dharma yang dikotbahkan-Nya dengan beberapa bait Gatha sebagai berikut :
“O, Bodhisattva Manjusri, anda seharusnya mengerti! Bahwa para Tathagata pernah mengalami, Asal-usul-Nya saat melaksanakan Dharma tertinggi, Semua Tathagata menggunakan ‘Paripurnabuddhi’. Beliau paham betul tentang corak Avidya, Corak Avidya persis ‘bunga’ angkasa. Maka,semua Tathagata terhindar dari roda samsara! Waktu sesat seperti orang tengah bermimpi, Setelah sadar tiada sesuatu yang diperolehnya.

Pikiran yang sadar tidak berbeda dengan angkasa, Bulat, rata, tanpa berubah-ubah. Luasnya Kesadaran Sempurna hingga 10 penjuru tanpa batas, Mudah sekali Beliau mencapai Samyaksambuddha! Lenyapnya Avidya pun tiada meninggalkan bekas.

Namun, Samyaksambuddha bukan tak mungkin tercapai, Karena setiap umat memiliki ‘Kesadaran Sempurna’. Bila Bodhisattva telah paham makna ini secara bulat, Pastilah mereka akan membangkitkan Bodhicitta-Nya. Apabila metode ini dipraktekkan oleh para umat, Mereka tak akan terjerumus ke dalam ‘Pandangan Sesat’. ”

Setelah mendengar Gatha-gatha yang diucapkan Hyang Buddha, Bodhisattva Samantabhadra masih merasa belum puas. Beliau lalu bangkit dari tempat dudukNya dan merangkapkan telapak-tanganNya kemudian ber-namaskara di depan kaki Hyang Buddha, mengelilingi Buddha dari kanan ke kiri sebanyak 3 kali, kemudian berlutut dengan sikap anjali sambil berkata:
“O, Tathagata yang Maha Karunika! Kami telah mendengar Dharma yang diuraikan Buddha tentang Paripurnabuddhi, yaitu bahwa setiap umat pada dasarnya memiliki Alam Bodhi yang sangat terang dan suci. Apabila kesadarannya sudah sempurna maka ia akan mencapai tingkat setara dengan Buddha. Karena makna tersebut terlalu luhur dan dalam sehingga sulit untuk dimengerti oleh kami, maka kami mohon sudilah Hyang Tathagata. Menerangkan maknanya kepada para Bodhisattva yang berada di dalam pertemuan ini, juga kepada para umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir, yang masih tekun mengamalkan ajaran Hyang Buddha menuju ketingkat Mahayana. Mereka telah mengetahui bahwa metode Paripurnabuddhi dapat menghancurkan Avidya, tapi belum memahaminya benar.

O, Tathagata ! Makna yang demikian dalam ini bagi para tokoh bijak agak mudah dimengerti, namun sulit dipahami oleh umat awam. Oleh karena itu, harus dengan cara apa supaya mudah dimengerti sehingga sanggup melaksanakannya?

O,Tathagata! Para umat sesungguhnya telah mengerti bahwa Avidya berasal dari khayal, tubuh dan pikiran, lahir dan batin, dan segala sesuatu di dunia fana ini juga bersifat khayal, tapi mereka masih kurang yakin dan selalu bertanya dalam hatinya : ‘Mengapa harus dengan sifat khayal untuk mempraktekkan Dharma khayal?’ ”

“Lagi, jika segala sesuatu yang bersifat khayal itu telah lenyap, Avidya juga musnah. Tubuh yang terdiri dari Empat Unsur dan pikiran kita juga ikut lenyap. Kalau begitu, siapakah yang bisa terus menjalankan praktek Dharma-nya ? Jika tak ada seorang pun yang bisa terus menjalankan praktek Dharma, mengapa kita masih terus-menerus menyebut hal-hal tentang mempraktekkan Dharma?”

“Andaikata para umat yang sejak dahulu kala belum pernah melaksanakan Dharma Buddha, dan selama berada di dunia yang penuh fantasi ini selalu berpandangan sesat atau banyak melakukan perbuatan jahat sehingga terus-menerus diputar oleh roda samsara, dan sama-sekali tidak tahu-menahu bahwa dirinya selama ini berada di alam fana yang bersifat khayal. Bagaimana membantu umat semacam ini agar pandangan mereka yang keliru itu dapat diarahkan ke jalan yang benar? Dan bagaimana agar mereka dapat terlepas dari alam samsara sedini mungkin?”

“Dengan ini, kami mohon Tathagata sudi menunjukkan jalan kepada mereka, yakni makhluk-makhluk yang tidak pernah memiliki Dharma yang benar, dan yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir, supaya mereka mendapat kesempatan memperoleh suatu metode yang lebih mudah sehingga berpeluang untuk melaksanakan Dharma yang benar secara bertahap. Juga agar mereka dapat mengatasi Avidya-nya dan segala kekotoran duniawi yang masih melekat padanya hingga bersih tuntas! ”

Selesai memohon, Bodhisattva Samantabhadra lantas ber-namaskara di depan kaki Hyang Buddha sebanyak 3 kali dengan sikap yang sangat khidmat.

Hyang Buddha bersabda kepada Bodhisattva Samantabhadra :
“Sadhu !Sadhu !Sadhu ! Putra yang berbudi ! Anda sedemikian bersemangat hendak membantu para Bodhisattva dan para umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir yang ingin mempraktekkan Dharma dengan Samadhi Mayagata (Samadhi terhadap corak kekhayalan), dan bermaksud mempergunakan metode secara ‘bertahap’ (tidak dengan cara mendadak untuk membangkitkan kesadarannya). Agar mereka dapat menjauhi segala corak kekhayalan dalam proses menghancurkan Avidya-nya. Sekarang dengarlah baikbaik, Aku akan menerangkan maknanya kepada kamu sekalian. ”

Saat Bodhisattva Samantabhadra mengetahui bahwa permohonannya akan dikabulkan oleh Hyang Buddha, Beliau merasa amat gembira. Lalu ia bersama-sama para hadirin menunggu kotbah Hyang Buddha dengan sikap sangat khidmat.

Hyang Buddha bersabda :
“O, Putra yang berbudi ! Anda seharusnya tahu bahwa segala sesuatu yang bercorak khayal, baik yang dapat dilihat maupun yang hanya dapat dirasakan dalam hati, semuanya itu berhubungan erat dengan Paripurnabuddhi yang dimiliki oleh para Tathagata dan umat. Jelasnya, segala sesuatu yang meliputi jasmani, pikiran, dan Avidya adalah khayal. Semua itu dapat diwujudkan dengan Paripurnabuddhi, dan sifatnya tidak berbeda dengan bunga khayal di mata si pasien. Bila rnata si pasien sudah pulih, ‘bunga’ tersebut seperti lenyap dari angkasa, tetapi sifat angkasa tetap seperti semula. Ini tidak berbeda dengan Paripurnabuddhi yang tetap dimiliki oleh para umat. Hakikat ini sama dengan para umat yang bertekad menggunakan jasmani dan pikiran yang bersifat khayal untuk dijadikan suatu alat yang ampuh dalam menghancurkan Avidya yang selama ini bersemayam di dalam dirinya hingga tuntas. Namun, saat Avidyasirna, kesadaran sempurna atau Paripurnabuddhi-nya masih tetap melekat pada dirinya tanpa berubah status sedikitpun! ”

“Akan tetapi bila kita menganalisa hakikat tersebut lebih mendalam, ternyata kesadaran yang ampuh itu masih berstatus khayal sebab ia masih tetap bisa kontak dengan Avidya. Ia sebenarnya belum sempurna ! Sebaliknya, jika anda menganggap kesadaran yang ampuh itu tidak ada sesuatu apa pun, gagasan ini juga termasuk khayalan. Seharusnya segala sesuatu yang meliputi lahir batin yang bersifat khayal itu telah lenyap, barulah kesadaran luhur itu menjadi sempurna dan tidak akan berubah statusnya lagi! ”

“O ,Putra yang berbudi ! Ketahuilah bahwa semua Bodhisattva dan para umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir yang ingin mencapai Paripurnabuddhi harus melalui 4 proses, yaitu:
•    Melaksanakan Dharma dengan tekad bulat tanpa lalai untuk melenyapkan Avidya hingga hancur total
•    Melenyapkan niat yang bercorak kekhayalan hingga bersih total
•    Gagasan atau maksud untuk melenyapkan niat itu juga bersifat khayal. Oleh karena itu, gagasan itu harus dilenyapkan
•    Segala sesuatu yang dianggap bisa menghalangi perwujudan Paripurnabuddhi juga termasuk kekhayalan. Semua itu harus dihancurkan hingga tiada bayangannya lagi. ”

“O, Putra yang berbudi ! Keadaan itu bisa diumpamakan dengan orang yang akan membuat api dengan 2 potong kayu. Setelah kayunya digosok-gosok hingga panas, nyalalah apinya dan asapnya mengepul. Namun, saat kayunya terbakar habis, api pun padamlah. Kemudian datang sang angin, maka hilanglah asap dan debunya tanpa bekas. Walaupun api telah padam dan abunya diterbangkan angin, janganlah anda mengartikan telah kosong total, sebab api masih tetap berada di alam semesta. Perumpamaan ini sama dengan saat Avidya telah lenyap, segala sesuatunya juga hancur total, namun Paripurnabuddhi atau Alam Bodhi yang amat terang dan suci itu masih tetap kita miliki. Ia tidak akan ikut sirna! ”

“O, Putra yang berbudi ! Sudahkah anda mengerti semua uraian-Ku ? Inti sarinya ialah Avidya janganlah dilekatkan dengan kukuh/kuat, karena segala sesuatu yang khayal meliputi jasmani dan pikiran harus dilepaskan apabila saatnya telah tiba. Namun demikian, tak usah sengaja mencari alasan untuk menghadapinya. Tentang mempraktekkan Dharma ‘Secara Bertahap’, itupun tidak perlu, sebab sifat kekhayalan itu telah lenyap dan digantikan oleh Kesadaran Sempurna ! Oleh karena itu, para Bodhisattva dan para umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir harus memegang teguh ajaran-Ku dalam mempraktekkan Dharma-nya sehingga Avidya yang selama ini menghalangi anda dapat teratasi dan memperoleh Paripurnabuddhi. Dengan demikian, identitasmu dapat mencapai tingkatan yang sama dengan Buddha!”

Kemudian Hyang Buddha mengulangi uraian-Nya, dengan mengucapkan beberapa bait Gatha sebagai berikut:
“O, Bodhisattva Bhadra! Anda harus mengerti, bahwa semua umat yang berada di 10 penjuru loka, sejak semula telah memiliki Avidya, padahal Avidya berasal dari perwujudan Paripurnabuddhi yang dimiliki para umat dan para Tathagata!

Avidya serta segala kekhayalan persis corak bunga, yang pernah terlihat oleh si pasien di angkasa . Saat ‘bunga’ angka satelah lenyap, status angkasa tetap pada semula ! Karena segala kekhayalan tumbuh dari hati, bila sifat kekhayalan sirna akan menjadi Kesadaran Sempurna. Kesadaran yang sempurna bisa dimiliki Tathagata atau Para umat yang tidak pernah berubah statusnya!

Seandainya para Bodhisattva-Mahasattva, serta para umat yang akan mengalami ‘Masa’, agar Avidya-nya sirna dan memperoleh Kesadaran Sempurna! Diumpamakan api yang berasal dari dua potong kayu, kayu habis terbakar, api pun padamlah. Namun api masih tetap berada di alam semesta!

Tak usah menitikberatkan ‘Cara Bertahap’, Juga tak perlu mencari metode mudah sebagai upaya Kusala !”

Kemudian Bodhisattva Samantanetra bangkit dari tempat duduknya. Beliau merangkapkan telapak-tangannya dan ber-namaskara di depan kaki Hyang Buddha, mengelilingi Buddha dari kanan ke kiri sebanyak 3 kali, lalu berlutut dengan sikap anjali sambil berkata:
“Tathagata yang Maha Karunika! Setelah kami mendengar uraian Buddha tadi, sekarang kami sudah mengerti bahwa makna-makna dari Dharma itu dapat disadarkan secara mendadak atau tidak perlu secara bertahap. Namun, kami beranggapan bahwa tahapan itu masih diperlukan. Demi para Bodhisattva yang berada di dalam pertemuan ini dan para umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir, kami mohon Hyang Tathagata sudi kiranya menguraikan suatu metode sebagai ‘Proses untuk pelaksanaan Dharma’ kepada mereka, agar mereka semua dapat mengerti bagaimana meresapi maknanya. Bagaimana mempertahankan hasil kerjanya agar tidak dipengaruhi oleh hal-hal yang buruk ? Dan bagi para umat yang belum begitu sadar atau belum begitu paham makna-makna Dharma, harus menggunakan metode apa agar mereka dapat membangkitkan Bodhicitta-nya hingga dapat mencapai kesadaran sempurna ? O,Tathagata ! Jika para umat tidak diberikan suatu metode dasar yang sederhana yang sesuai dengan kemampuannya, dikhawatirkan mereka tak akan sanggup memahaminya sebab mereka sama sekali belum memiliki Samyaksamkalpa atau Perenungan yang benar. Setelah mereka mendengar kotbah Buddha tentang Yathamaya Samadhi atau samadhi yang bersifat kekhayalan, pastilah pikiran mereka akan kacau dan bingung, karena yang disebut Paripurnabuddhi yang berasal dari diri mereka sendiri dan para Tathagata akan sangat sulit dipahami mereka ! Oleh karena itu, kami mohon Hyang Tathagata sudi kiranya dengan welas-asih menguraikan suatu metode dasar kepada mereka agar mereka dapat menggerakkan Bodhicitta-nya melangkah ke Jalan Bodhi, walau metode itu juga termasuk khayal belaka!”

Selesai memohon, Sang Samantanetra lalu ber-namaskara di depan kaki Hyang Buddha sebanyak 3 kali dengan sikap sangat khidmat.

Hyang Buddha bersabda kepada Bodhisattva Samantanetra:
“Sadhu !Sadhu !Sadhu !O, Putra yang berbudi ! Demi para Bodhisattva dan para umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir, anda dengan ikhlas memohon Tathagata menguraikan suatu metode dasar yang sederhana untuk mereka, walaupun sifatnya mengandung kekhayalan belaka ! Selain itu, anda juga memohon Aku menunjukkan ‘Proses Pelaksanaan Dharma’ dan cara perenungan yang benar, dan bagaimana mempertahankan hasil karyanya tanpa dipengaruhi oleh hal-hal yang buruk. Sekarang dengarlah baik baik dengan penuh pernatian, Aku akan memulainya!”

Saat Bodhisattva Samantanetra mendengar bahwa permohonan yang diajukannya dikabulkan oleh Hyang Buddha, hatinya amat gembira. Lalu ia bersama-sama pengikutnya dengan sikap khidmat menantikan kotbah Hyang Buddha.

Kemudian, Hyang Buddha bersabda:
“Putra yang berbudi! Ketauilah, para Bodhisattva yang baru menuntut ajaran setingkat Mahayana dan para umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir, apabila kalian ingin mewujudkan cita-cita sebagai Paripurnabuddhi agar bisa beridentitas sama dengan Tathagata, maka kamu harus mempergunakan cara Samyaksmrti atau Perenungan yang benar terhadap Dharma-nya. Bersamaan dengan itu, harus pula menjauhkan diri dari segala gagasan fantasi dan segala sesuatu yang bersifat khayal. Yang penting, pertama harus bertekad melakukan Samatha (suatu cara untuk menenangkan lahir dan batin) yang pernah dimanfaatkan oleh Tathagata ketika mempraktekkan Dharma. Kalian juga harus bertekad melakukan berbagai Sila. Apabila para pengikut telah diatur secara tertib hingga mereka dapat mengurus kehidupannya dan pelajarannya masing-masing, maka Sang Bodhisattva akan berstatus baru. Para umat yang bertekad menuntut ajaran Mahayana harus segera mencari suatu tempat yang sunyi dan bersituasi baik untuk melaksanakan meditasi dengan Samatha. Dalam melakukan meditasi itu mereka harus selalu mengadakan perenungan dan pemahaman bahwa:
Tubuh dan seluruh anggota badan yang dimiliki oleh ‘Aku’ itu terdiri dari Catur Dhatu atau Empat Unsur.Yang termasuk unsur tanah ialah : rambut, bulu, kuku, gigi, kulit/daging, otot/urat, tulang, sumsum, otak, kotoran-kotoran dari tubuh, dan sebagainya. Yang termasuk unsur air ialah : lendir, ingus, darah, nanah, ludah, dahak, airmata, mani , cairan haid, air seni, tinja, dan sebagainya .Yang termasuk unsur api ialah : segala enerji panas dan udara hangat yang berada di dalam tubuh kita. Yang termasuk unsur udara ialah : pernafasan, tenaga untuk peredaran darah, dan seluruh alat penggerak anggota badan.

O, Putra yang berbudi ! Cobalah mengadakan perenungan yang mendalam. Yang disebut Empat Unsur itu jika masing-masing telah mengalami penguraian atau perpecahan, lalu yang disebut ‘Aku’ itu berada dimana ? Dari hasil perenungan dan penganalisaan, jelaslah bahwa tubuh kita yang berasal dari Empat Unsur itu sebenarnya bukan suatu material yang kekal. Ia hanya suatu kombinasi dari bahan-bahan rapuh yang tak lama kemudian akan buyar total. Karena itu, ia benar-benar bersifat khayal. ”

“Disamping itu, oleh karena tubuh manusia terdiri dari Empat Unsur, maka saat ke-4 unsur itu sedang berkombinasi menjadi tubuh, ia dapat menghasilkan empat penghubung, yakni: lihat, dengar, rasa, dan sadar. Karena keempat penghubung ini saling berkaitan, maka tubuh kita langsung dilengkapi dengan 6 indera ‘Dalam’ yang bersifat khayal, yakni : mata, telinga, hidung, lidah, kulit, dan hati/pikiran. Selain ke-6 indera yang berwujud ‘Dalam’, ada lagi 6 Ayatana yang berwujud ‘Luar’, yakni : bentuk, suara, bebauan, rasa, sentuhan, dan gagasan / bentuk-bentuk pikiran. Setelah keenam Indera ‘Dalam’ berkontak dengan keenam Ayatana ‘Luar’ , maka jadilah 12 tempat penyimpan yang merupakan suatu fungsionalisasi yang luar biasa. Ia sebagai perasaan batin, juga seperti tempat menyimpan pengertian-pengertian. Ia berdaya lekat namun bersifat khayalan, yaitu yang biasa disebut ‘Fantasi’. ”

“O, Putra yang berbudi! Peristiwa tentang ‘Fantasi’ ini juga tidak kekal. Ketika keenam Ayatana lenyap, sulitlah bagi kita untuk mengenali bentuknya lagi. Apabila 4 unsur mengalami perpecahan, tentu saja keenam indera dan keenam Ayatana itu sama-sama hancur total. Bekas fantasipun tidak ada diantaranya, berarti fantasi tersebut ikut menghilang. Maka dari itu, O, Putra yang berbudi ! Mereka yang bercita cita mencapai metode Paripurnabuddhi harus memahami makna-makna tersebut. Apabila anggota badan yang bersifat khayalan telah lenyap, maka fantasi kita pun ikut lenyap. Demikian pula, jika fantasi telah menghilang, Avidya yang bisa disebut ‘debu’ (kekotoran batin) akan ikut sirna. Jika ‘debu’ itu benar-benar telah hilang total, ide-ide/gagasan gagasan yang dipakai untuk menghapuskan Avidya juga harus ikut dihilangkan, sebab ide tersebut juga bersifat khayalan yang tidak boleh dibiarkan berbekas dalam Alaya Vijnana (kesadaran yang kedelapan ) kita ! Kecuali ide-ide yang suci, yang tidak diliputi sedikitpun sifat khayalan seperti Alam Bodhi atau Paripurnabuddhi, ia tetap kekal tanpa ikut lenyap. Ketahuilah, hakikatnya persis sama dengan orang menggosok cermin kotor. Ketika kotoran cermin telah hilang, terangnya pun kembali seperti semula! ”

“O, Putra yang berbudi ! “Hyang Buddha melanjutkan sabda-Nya:
“Anda harus mengerti bahwa anggota badan manusia dan pikirannya telah lama dicemari ‘debu’ (kekotoran batin / Avidya) sehingga cermin hati manusia demikian gelap. Sebenarnya cermin hati manusia pada mulanya terang sekali, bersih tanpa debu sedikitpun. Apabila debu kotor yang bersifat khayalan itu dapat dibersihkan hingga tuntas, nah, cermin hati atau Alam Bodhi manusia akan kembali bersinar terang. Kebijaksanaan dan kesucian, kesemuanya akan ikut terwujud. Sebidang Alam Bodhi yang amat terang yang luasnya hingga 10 penjuru alam akan tercipta oleh anda sendiri. ”

“O, Putra yang berbudi ! Terhadap metode ini, kamu harus mempunyai pandangan yang benar. Seumpama ada sebuah mustika sejenis batu manikam yang bening sekali. Lalu dengan sengaja di letakkan 5 macam warna (merah, kuning, biru, hijau, dan ungu) di sisi manikam tersebut hingga warnanya menjadi 5 macam. Kejadian ini bagi si Bebal akan bersikeras menganggap bahwa manikam tersebut asalnya dari lima warna!”

“O, Putra yang berbudi ! Sifat Paripurnabuddhi pun demikian juga . Ia selalu mewujudkan sesosok jasmani dan fantasi sesuai dengan kehendak para umat. Namun sayang sekali ! Para umat awam selalu beranggapan salah. Mereka mengira sifat Paripurnabuddhi atau Alam Bodhi memiliki sesosok badan yang berpikiran dan sebagainya. Pandangan mereka tidak berbeda dengan si Bebal melihat manikam dengan lima macam warna. Mereka tetap bersikeras bahwa segala khayalan adalah ‘Aku’ dan kekal, sehingga mereka selama berjuta-juta masa tidak dapat melepaskan dirinya dari ‘Dunia Fantasi’. Itulah sebabnya mengapa selama ini Buddha tidak segan-segan menerangkan kepada para pendengar-Nya bahwa jasmani dan pikiran umat adalah suatu khayalan belaka. Hal itu semata-mata untuk menimbulkan kepercayaan mereka agar lebih mudah memahami makna yang penting ini. Apabila mereka telah memahami bahwa jasmani dan pikiran kita benar benar bersifat khayalan yang juga melambangkan ‘debu’ (kekotoran batin / Avidya) yang harus dibuang jauh-jauh, maka dengan sendirinya mereka akan segera mencari suatu metode yang ampuh untuk melenyapkannya, agar dapat terbebas dari belenggunya untuk selama-lamanya. Dan sejak itu mereka dapat membuktikan dirinya kepada para Buddha bahwa mereka benar-benar seorang Bodhisattva asli ! Namun, anda harus tahu pula, apabila ‘debu’ itu sudah lenyap, maka segala metode atau alat-alat untuk membersihkan ‘debu’ itu, bahkan orang serta ‘debu’-nya telah hilang semua. Karena itu, tidak perlu meninggalkan kesan di dalam Alaya Vijnana kita!”

“Dengarlah, Putra yang berbudi ! Jika para Bodhisattva dan para umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir dapat mengamalkan ajaran-Ku hingga mencapai suatu tingkat di mana kesadaran terhadap segala sesuatu (termasuk jasmani dan pikiran) bersifat khayalan, itu adalah suatu perwujudan yang datang dari sang Hati Suci atau Paripurnabuddhi kita. Ini berarti praktek yang selama ini ditekuninya telah sukses karena segala sesuatu yang bersifat khayalan telah hilang tuntas dari pandangannya. Nah, kesadaran yang sangat sempurna akan dimilikinya. Mereka akan merasa Alam Bodhinya seperti angkasa yang luasnya tanpa batas. Ia demikian terang benderang, suci murni, lahir batinnya demikian tenang, semangatnya maha perkasa dan tinggi kebijaksanaannya ! Dengan tercapainya Kesadaran Sempurna, maka cermin hati yang dapat menerangi segala sesuatu akan bercahaya terang benderang tanpa berkesudahan. Karena sang Hati telah suci bersih, maka Alaya Vijnana mereka ikut bersih, begitu pula penglihatannya. Dikarenakan fungsi penglihatan telah bersih, maka indera mata pun ikut bersih, yang berakibat Vijnana mata turut bersih, Vijnana mata yang telah bersih mempengaruhi pula fungsi pendengaran sehingga indera telinga juga ikut bersih. Indera telinga yang telah bersih membuat Vijnana telinga turut bersih. Demikian pula dengan perasaan, hidung, lidah, kulit, dan pikiran, semuanya ikut bersih. ”

“O,Putra yang berbudi ! Karena ke enam indera telah bersih, maka sebagai obyek yang saling berkaitan, keenam Ayatana pun ikut bersih. Dengan kata lain, bila indera bersih, ‘Bentuk’-nya pun ikut bersih. Bila bentuknya telah bersih, suara turut bersih. Begitu pula dengan bebauan, rasa, sentuhan, dan ide/gagasan (bentuk-bentuk pikiran), masing-masing juga ikut bersih. ”

“O,Putra yang berbudi ! Ketahuilah bahwa jika keenam Ayatana telah bersih, maka sumber Ayatana, yaitu Empat Unsur (tanah, air, api, dan udara), pun menjadi bersih. Dengan perkataan lain, bila tanah bersih, airpun bersih. Bila air bersih, api dan angin juga ikut bersih.”

“O,Putra yang berbudi ! Oleh karena ke Empat Unsur telah bersih, maka yang disebut 12 tempat penyimpan, 18 Alam, dan 25 jenis kehidupan pun ikut bersih. Karena segala sesuatu yang berada dialam semesta ini telah dipengaruhi oleh sang Cermin Hati atau Alam Bodhi kita, maka Dasa-Bala (10 macam kekuatan), Catur Vaisanadya (4 macam keberanian), Catur Pratisamvida jnanam (4 macam kebijaksanaan), 18 macam Venika Buddha, dan 37 macam Bodhipaksiyadharma pun menjadi suci bersih, bahkan 84 ribu macam Dharani ikut bersih semua.”

“O ,Putra yang berbudi ! Ketahuilah bahwa segala sesuatu yang termasuk duniawi maupun yang bukan duniawi, semuanya memiliki Bhuta Tathata (Jati-diri Buddha) yang pada dasarnya bersifat suci bersih. Ia adalah Cermin Hati dari para makhluk hidup. Avidya yang sudah lenyap akan mengembalikan Bhuta Tathata. Karena kesucian Bhuta Tathata telah kembali, maka tubuh pun ikut menjadi suci bersih. Jika satu tubuh dapat menjadi suci, maka tubuh-tubuh dari para umat juga bisa menjadi suci bersih. Dengan pandangan demikian, dapat disimpulkan bahwa tubuh-tubuh dari semua umat yang berada di 10 penjuru dunia pun dapat menjadi suci, yang berarti dapat mencapai Paripurnabuddhi yang suci dan terang.”

“O, Putra yang berbudi! Dengan bukti tersebut diatas, dapat pula disimpulkan bahwa apabila satu alam telah bersih, maka alam-alam lain juga ikut menjadi bersih. Kesuci-bersihan bukan saja bagi alam, tapi seluruh angkasa pun akan menjadi bersih, dan luasnya akan mencapai seluruh Maha Alam Semesta. Semua itu akan menjadikan seluruh Maha Alam Semesta beserta umatnya dari 3 masa (masa yang lalu, sekarang, dan yang akan datang) memiliki tingkatan yang sama. Demikian suci bersih, tidak berkesudahan dan tidak bisa dipengaruhi oleh apapun!”

“O, Putra yang berbudi ! Karena angkasa demikian tenang, suci bersih, dan sama-rata tanpa tingkatan juga tanpa musnah, lahir, dan tidak dipengaruhi apapun, maka itu berarti jati-diri dari Paripurnabuddhi juga demikian tenang, suci bersih, sama-rata, dan tidak dipengaruhi oleh apapun. Keempat maha Unsur yang dasarnya tiada lahir-musnah, tiada berubah status atau dipengaruhi apapun menjadikan jati-diri Paripurnabuddhi bersifat tenang, tanpa lahir-musnah, dan tidak berubah. Dengan pandangan seperti di atas, maka kita akan mengetahui bahwa banyaknya metode dari berbagai jenis Dharani yang 84 ribu macam, tiada satu pun yang tidak merata. Statusnya tidak akan berubah atau mengalami lahir-musnah. Akibatnya, jati diri dari Paripurnabuddhi pun menjadi bersih, tidak berubah dan tanpa lahir-musnah.”

“O, Putra yang berbudi ! Ketahuilah bahwa jati diri dari Paripurnabuddhi bersifat demikian suci bersih. Statusnya tidak akan berubah-ubah. Sama-rata mengayomi para umat dan segala sesuatu hingga dimana-mana tanpa batas. Kita harus mengerti pula bahwa ke enam indera juga berada di mana mana, melimpah di seluruh Dharma Dhatu atau alam semesta. Karena keenam indera berada di dalam alam semesta, maka keenam Ayatana yang berasal dari Empat Unsur itupun berada di dalam alam semesta. Karena keempat Unsur berada di dalam alam semesta, maka berbagai metode Dharani juga penuh sesak dalam alam semesta. ”

“O, Putra yang berbudi ! Oleh karena jati-diri Paripurnabuddhi telah penuh sesak di dalam Dharma Dhatu, maka jati-diri dari keenam indera dan Ayatana tidak akan menimbulkan kerusakan atau kesemrawutan (kekacauan). Karena indera dan Ayatana kedua-duanya tidak berkesudahan dan tetap teratur, maka segala metode Dharani pun tidak menjadi rusak atau kacau. Makna ini boleh kita umpamakan dengan sinar lampu. Jika terdapat ratusan ribu lampu sedang menyala serentak dan semua sinarnya mengarah ke satu kamar, walaupun sinarnya demikian banyak, namun sinar-sinar yang berada di dalam kamar itu tetap teratur, dan tidak semrawut.”

“O, Putra yang berbudi! Oleh karena Sang Bodhisattva yang telah mencapai kesuksesan dari metode Paripurnabuddhi juga berlimpah-limpah di dalam alam semesta, maka dengan sendirinya berkat yang melimpahi umat manusia dan segala sesuatu di dunia akan tersebar merata. Kebijaksanaan yang dimiliki oleh para Bodhisattva sangat luar biasa. Mereka tidak Akan terikat oleh hal-hal yang bersifat duniawi, namun demikian, mereka juga tidak terburu-buru melepaskan segala penderitaannya. Mereka tidak takut mati dan lahir kembali, juga tidak ingin mencapai Nirvana sedini mungkin. Mereka tidak menjunjung tinggi (memuji) para umat yang melakukan Sila dengan tekun, sebaliknya mereka tidak membenci umat yang melanggar Sila. Mereka tidak memuliakan para tokoh Dharma, tapi mereka juga tidak menyepelekan atau memandang rendah umat yang baru belajar Dharma. Mengapa para Bodhisattva bersikap demikian ? Tiada lain karena Kesadaran mereka telah mencapai tingkat sempurna ! Hakikat ini bisa diumpamakan sebagai fungsi terang yang berada di dalam mata. Bila mata telah dibuka, segala sesuatu dapat kita lihat dengan jelas, tanpa membedakan mana yang disukai atau mana yang dibenci oleh penglihatannya. Ini berarti, fungsi terang dari sang mata (sama dengan jati-diri Paripurnabuddhi) telah melimpahi segala sesuatu di alam semesta secara samarata (merata) tanpa benci dan suka!”

“O, Putra yang berbudi ! Para Bodhisattva dan para umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir, apabila mereka berani menuntut metode Paripurnabuddhi sekian lama tiada henti hingga mencapai sukses, maka ketika tersadar secara mendadak, mereka akan merasa hati dari Paripurnabuddhi-nya demikian terang dan sempurna. Yang dimilikinya hanya satu tiada dua. Kekal tiada berkesudahan. Namun kesemuanya itu sesungguhnya telah dimilikinya sejak awal, bukan datang dari luar atau dari hasil pengamalan. Dengan demikian, pahalanya tak usah disahkan oleh siapapun ! Dan ketahuilah, apabila mereka dengan ‘Hati’ tersebut menuruti syarat-syarat yang telah ditentukan, akan dapat mewujudkan suatu dunia yang sesuai dengan syaratnya. Banyaknya laksana pasir di Sungai Gangga sehingga sulit diterangkan dengan kata-kata, hanya dapat disebut dengan Asamkhya saja.Akan tetapi, karena dunia tersebut adalah penciptaan dari berbagai syarat oleh Sang Hati, maka ia harus mengikuti hukum tertentu melalui suatu proses, yakni mulai dari penciptaan, pertahanan, kerusakan, hingga kemusnahan. Bila syaratnya telah hilang, segala bentuk apapun ikut lenyap, tapi apabila syaratnya cukup, dunia atau segala sesuatu menurut Sang Hati dapat dibentuk kembali seperti semula. Oleh karena segala sesuatu terwujud dari Sang Hati, maka sifatnya persis ‘bunga’ angkasa. Mudah terwujud dan mudah menghilang, kecuali Hati dari Paripurnabuddhi

yang tiada berkesudahan. Ia tidak terikat pada segala sesuatu juga tidak terpisah dari segala sesuatu. Ia bebas total tanpa belenggu, juga tidak khawatir dirinya terbelenggu. Mereka telah memahami betul bahwa baik para Buddha, Bodhisattva, Dewa, manusia, maupun Asura, neraka, setan-lapar, dan bermacam-macam binatang, semuanya memiliki Hati Paripurnabuddhi yang beridentitas seorang Buddha. Apabila ke-Buddha-an telah tercapai, barulah bisa mengerti bahwa yang disebut lahir-mati yang diputari oleh roda samsara, atau nama-nama Bodhi yang dikejar-kejar oleh para umat, kesemuanya itu tidak berbeda dengan impian yang pernah dialami oleh para umat tadi malam, namun ketika terbangun tidak ada bekasnya lagi, hanya tinggal kesan saja.”

“O ! Putra yang berbudi ! Maka dari itu, barangsiapa yang masih dalam keadaan sesat, tidak berbeda dengan orang yang sedang bermimpi. Apabila mereka telah sadar, apa yang pernah dikerjakannya juga tidak berbeda dengan mimpi tadi malam. Maka jelas bahwa lahir-mati atau Nirvana, peristiwa itu adalah suatu wujud dari khayalan. Hakikatnya, tidak ada lahir dan tidak ada musnah, juga tidak ada yang datang atau pergi. Segala pahala dari ke-Buddha-an yang dibuktikan oleh diri sendiri tetap berada di dalam Hati Paripurnabuddhi, tak pernah hilang. Setelah sadar, barulah akan ditemukannya. Mereka yang telah terbukti mencapai Penerangan Agung, sebenarnya tidak melakukan praktek apapun. Tidak melakukan penenangan lahir batin, juga tidak membiarkan dirinya mengikuti arus. Demikianpula, mereka tidak sengaja melakukan fungsi hati dan jasmani serta indera dan Ayatana-nya. Pendeknya, untuk mencapai kebijakan hati yang sempurna, tidak ada metode yang dapat dipraktekkan, juga tidak ada pahala yang dapat dibuktikan. Sebenarnya segala nama dan kesan pada dasarnya tidak berbentuk. Hanyalah Hati dari Paripurnabuddhi yang demikian sama-rata (merata) serta kekal di alam semesta yang tiada berkesudahan.”

“O,Putra yang berbudi ! Para Bodhisattva yang bertekad mencapai puncak dari metode Paripurnabuddhi harus mengikuti ajaran-Ku sebagai pokok atau dasar dari prakteknya, kemudian secara bertahap ditingkatkan. Ketahuilah, kalian harus sungguh-sungguh merenungkan Dharma-nya, harus gigih mempertahankan pelajarannya, harus memahami metodenya, dan harus pula menyadarkan diri sendiri serta para pengikutnya. Ini berarti bukan saja diri sendiri dapat mencapai Kesadaran Sempurna, bahkan para pengikut juga mendapat suatu hasil yang gemilang tanpa sesat!”

Kemudian Hyang Buddha mengulangi makna Dharma yang dikhotbahkan-Nya dengan beberapa bait Gatha sebagai berikut:
“O, Bodhisattva Samantanetra! Anda harus tahu, Umat yang berada di 10 penjuru loka, Semua mempunyai lahir-batin atau jasmani yang bersifat khayal. Sebenarnya jasmani kita adalah kombinasi dari Empat Unsur, Enam Indera yang melekat pada 6 Ayatana menghasilkan Sang Hati. Waktu ke Empat Unsur rapuh dan masing-masing terpisah, ‘Aku’ berada dimana?

Dengan cara demikian anda melaksanakan Dharma-mu! Lama kelamaan Hatimu, Pandanganmu, bahkan segala sesuatu akan menjadi suci bersih.

Karena jati-diri dari Paripurnabuddhi melimpahi semesta tanpa terpengaruh atau berubah, Tanpa kerja, tanpa merenung, tanpa membiarkan diri, dan tanpa menaklukkan Hatinya. Juga tak ada pahala yang bisa dibuktikan kepada siapa pun .

Dunia Buddha yang berada di sepuluh penjuru dunia, Namun sifatnya tidak berbeda dengan ‘bunga’ angkasa. Walaupun masa yang lalu, sekarang, dan yang akan datang demikian sama-rata tanpa tingkatan, Kesemuanya tidak ada yang datang atau pergi, lahir atau pun musnah.

O, Bodhisattva yang berstatus baru , Serta para umat yang rajin menuntut Dharma yang akan mengalami masa terakhir ! Jika kalian bercita-cita mencapai Jalan ke-Buddha-an, Haruslah menuruti ajaran-Ku dan mempraktekkannya untuk menuntut Dharma!

Kemudian Bodhisattva Vajragarbha, yang juga berada di Pasamuan Dharma itu, bangkit dari tempat duduknya. Beliau bersujud di depan Hyang Buddha dengan sikap khidmat, mengelilingi Buddha sebanyak 3 kali, lalu dengan sikap anjali berkata :

‘O, Tathagata yang welas asih ! Buddha yang bijak dan sangat menyayangi para umat. Demi para Bodhisattva dan umat, Tathagata telah menjelaskan berbagai metode seperti Maha Dharani dari Paripurnabuddhi yang mahasuci, yang selalu dipegang Tathagata. Hyang Buddha juga menjelaskan asal-usul kala mulai mempraktekkan Dharma dengan cara yang sangat sederhana secara bertahap. Selain itu, Hyang Buddha tak segan-segan membina para umat hingga dapat mencapai kebijaksanaan luhur. Kini, atas berkah Hyang Tathagata, mata hadirin yang berada di Pasamuan Samarata yang diciptakan oleh Buddha sendiri, tidak akan dipengaruhi penyakit lagi .

Semua mempunyai mata yang jeli, terang, dan berpandangan jauh. Betapa girang hati mereka ! Namun bagi saya masih ada keraguan setelah mendengar khotbah Hyang Buddha tentang ‘Semua umat sejak awal telah memiliki ke-Buddha-an’. Karena itu, saya ingin bertanya ”

“O, Tathagata ! Jika semua umat telah memiliki ke-Buddha-an, mengapa masih banyak umat yang tetap memiliki Avidya? Apakah para umat yang sejak dahulu kala telah memiliki Avidya harus terus dipengaruhi oleh roda samsara di pelbagai dunia ? Mengapa Hyang Tathagata mengatakan mereka sejak awal telah menjadi Buddha? Apakah para umat dari 10 penjuru dunia yang sejak dahulu kala beridentitas seperti Buddha, karena kelalaiannya lalu dipengaruhi bermacam-macam Klesa sehingga lahir-batinnya menjadi Avidya? Andai kata hakikat ini tepat atau tidak ada yang keliru, saya yakin hadirin juga ingin mcngetahui kapan para Tathagata akan berbaur dengan Klesa (kekotoran batin) lagi? ”

“O ,Yang Maha Welas-asih! Tolonglah dan sudilah membuka rahasianya kepada para Bodhisattva dan umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir, agar mereka dapat memahami makna-makna tentang Nitarthasutranta (Dharma yang mengandung makna lengkap) yang sedang dikotbahkan Hyang Buddha. Dengan demikian diharapkan dapat menyirnakan keraguan mereka secepat mungkin!”

Setelah memohon, sang Bodhisattva Vajragarbha lantas ber-namaskara di depan kaki Hyang Buddha, kemudian dengan sikap khidmat diulangi sebanyak 3 kali.

Lalu Hyang Buddha bersabda kepada Bodhisattva Vajragarbha:
“Sadhu ! Sadhu ! Sadhu ! Putra yang berbudi! Kamu memang berbudi luhur dan suka membantu para Bodhisattva serta para umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir yang hendak menghilangkan keraguannya. Anda memohon kepada Tathagata agar membuka rahasia dan memberikan jawaban yang praktis dan sempurna. Ketahuilah, Nitarthasutranta adalah ajaran Buddha yang tingkatannya paling tinggi, sangat sempurna, dan lengkap bagi para Bodhisattva. Ajaran Dharma ini bisa mendorong para Bodhisattva yang bertekad menuntut metode Paripurnabuddhi hingga ke tingkat Mahayana, dan bagi para umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir dapat mempertebal kepercayaannya Dharma sehingga tidak akan timbul keraguan selama mereka menuntut ajaran Buddha! Sekarang dengarlah baik-baik ! Aku akan menjelaskan maknanya kepadakamu sekalian! ”

Saat Bodhisattva Vajragarbha mengetahui bahwa permohonannya telah dikabulkan oleh Hyang Buddha, hatinya sangat riang. Lalu Beliau bersama-sama dengan hadirin menantikan kotbah Hyang Buddha dengan sikap khidmat.

“O,Putra yang berbudi! Apakah kamu telah mengerti arti Samsara itu ? Sekarang dengarlah baik-baik agar kalian dapat meresapinya. Segala sesuatu yang berada di dunia, baik golongan umat manusia maupun ratusan ribu jenis benda lainnya semuanya mengalami awal dan akhir atau dari lahir hingga musnah, dari berwujud hingga tanpa bekas. Ketika syaratnya cukup, segala sesuatu dapat diwujudkan, tetapi apabila syaratnya telah tiada, segala sesuatu lantas menghilang. Semua itu menuruti 4 hukum/proses , yakni penciptaan, pertahanan, perusakan, dan pengosongan. Dari kesemuanya ini, yang bagian luar dapat kita saksikan secara jelas, sedangkan bagian yang dalam adalah Sang Hati yang tak pernah berhenti memikirkan atau merenungkan ratusan ribu hal. Hal-hal yang dingini atau disenanginya akan dikuasai untuk dimiliki, sebaliknya hal-hal yang tidak disukai atau dibencinya akan ditolak atau dijauhi. Keadaan demikian akan berulang terus-menerus tanpa henti. Sifatnya seperti lingkaran, menuruti hukum/proses: menimbulkan, mempertahankan, berubah, dan akhirnya sirna total. Proses itu berulang terus tiada hentinya. Inilah yang disebut samsara. ”

“Maka dari itu, apabila seseorang masih terkait dengan samsara atau enggan melepaskan diri dari samsara, dapat pula dengan Hati khayalan atau pandangan sesat menguasai dan memiliki kebijaksanaan dari Paripurnabuddhi. Ketahuilah, walaupun mereka telah memperolehnya, namun statusnya masih tetap berpandangan sesat. Bagi mereka, sungguh tidak mudah menghindarkan diri dari roda samsara! ”

“Diandaikan, seseorang sengaja menggoyangkan kedua matanya sehingga air danau yang tenang dilihatnya ikut bergoyang. Saat matanya tidak digoyang lagi, dia sengaja menatap putaran suluh api sehingga pandangannya ikut berputar. Lebih lebih lagi, karena ulah pandangannya kurang normal hingga rembulan dianggapnya cepat berlalu, padahal yang bergerak adalah awan. Oleh karena itu, waktu berlayar di laut, sering kali kita merasa daratan berlalu, sesungguhnya yang melaju itu adalah perahunya. ”

“O, Putra yang berbudi ! Apabila Sang hati atau lahir batin kita masih bergoyang terus tanpa ketenangan, pastilah dalam pandangan kita tiada benda-benda yang diam. Karena itu, sangat sulit mengungkapkan jati-diri yang dimiliki oleh semua benda, apabila para umat sedang dipengaruhi oleh tumimbal-lahir dan mati, penderitaan, penyakit, dan hari-tua! Selama tidak ada usaha untuk mengatasinya, mana mungkin pandangan mereka bisa normal, tidak terbalik, atau bergoyang terus-menerus terhadap jati-diri dari Paripurnabuddhi yang dimiliki oleh para Buddha ? Oleh sebab itu, pastilah dalam pikiranmu akan timbul tiga pertanyaan seperti yang kamu ragukan itu. ”

“O, Putra yang berbudi ! Pertanyaanmu itu boleh diumpakan dengan mata pasien yang telah tumbuh katarak hingga dia sering merasa melihat banyak ‘bunga angkasa’ di langit. Apabila kataraknya hilang dan matanyasembuh, ia tidak lagi melihat ada ‘bunga’ di langit. Tapi, si pasien masih percaya bahwa ‘bunga angkasa’ datang dari mata, hingga ia akan bertanya, kapankah matanya akan tumbuh katarak lagi agar bisa melihat ‘bunga’ di angkasa ? Inilah yang dinamakan keliru atau sama-sekali tidak memiliki kebijaksanaan luhur ! Mengapa ? Sebab ‘bunga’ tersebut bukan dari mata, dan katarak beserta ‘bunga’ itu bersifat khayal. Apalagi keduanya tidak saling berhubungan ! Karena mata si pasien telah sehat sehingga ia tidak pernah melihat ‘bunga’ angkasa di langit, seharusnya ia tidak boleh berpikiran kapankah ‘bunga’ langit akan tumbuh lagi ! Mengapa ? Sebab bunga khayalan tersebut berasal dari pandangan keliru, mana mungkin dikaitkan dengan cipta dan musnah!”

“Padahal para umat terikat oleh lahir dan mati. Sifatnya tidak berbeda dengan ‘bunga langit’. Apabila mereka tersadar dan telah mencapai Nirvana, keadaannya sama dengan bunga khayalan itu, musnah. Namun, yang tidak ikut musnah adalah jati-diri dari Paripurnabuddhi. Ia demikian terang-benderang, cahayanya terus menyinari hingga 10 penjuru loka tanpa batas. Sifatnya tidak ada sangkut pautnya dengan katarak dan bunga khayalan. ”

“O, Putra yang berbudi ! Kamu harus mengerti bahwa angkasa yang luasnya tanpa batas itu bukan suatu benda yang mudah berubah-ubah, apalagi kebijaksanaan dan jati-diri dari Paripurnabuddhi yang dimiliki para Tathagata ! Ia sama-sekali tidak mengalami perubahan dan tidak dipengaruhi hukum mati dan lahir, sifatnya persis ruang angkasa, sama-rata!”

“O, Putra yang berbudi ! Sekarang Aku akan menjelaskan soal yang kamu ragukan itu. Diandaikan, terdapat sebongkah emas yang sedang dilebur oleh tukang emas untuk dijadikan emas tulen (asli). Ketahuilah, emas tulen ini bukan dari peleburan, sebab sebelum dilebur emas tulen itu telah ada di dalam tambangnya. Untuk mendapatkan emas tulen tadi harus melalui suatu proses peleburan. Apabila emas tulen telah terbentuk, ia tidak akan menjadi tambangan lagi. Walaupun ia telah mengalami masa yang lama, namun emas tulen tetap pada semua, tak akan rusak. Maka janganlah kamu salah menafsirkan bahwa di dalam tambang tidak ada emas yang tulen ! Perumpamaan ini sama dengan kabijaksanaan Paripurnabuddhi yang dimiliki para Tathagata.”

“Ketika para umat masih sesat, tidak berbeda dengan emas yang masih berada di dalam tambangnya. Setelah sadar dan mencapai ke-Buddha-an, keadaannya persis bongkahan emas yang telah dilebur menjadi emas tulen, yang tidak akan menjadi tambang lagi. Maka, seorang Buddha yang telah mencapai Penerangan Agung tidak akan kembali berstatus seorang umat awam yang masih terikat Klesa!”

“O, Putra yang berbudi ! Para Tathagata yang memiliki kebijaksanaan dan jati-diri dari Paripurnabuddhi itu, pikiranNya sangat suci bersih tanpa kotoran sedikitpun. Kesan-kesan yang disebut Bodhi dan Nirvana tak ada dalam pikiran-Nya, apalagi nama atau gelar ‘ke-Buddha-an’ atau ‘Belum Mencapai Penerangan Agung’, dan sebagainya. Demikianpula, sama sekali tidak ada kesan tentang samsara atau kesan tentang tidak akan mengalami samsara dan sebagainya.”

“O, Putra yang berbudi ! Ketahuilah bahwa Paripurnabuddhi yang diperoleh para Pratyekabuddha, identitasnya masih berbeda dengan para Tathagata. Karena pandangan mereka masih terbatas dan hanya menitik beratkan pada jasmani dan segala sesuatu yang Sunya (kosong) saja. Mereka enggan memuncakkan Dharma agar pandangan dan pengetahuannya lebih lengkap dan sempurna sehingga identitasnya dapat meningkat hingga sama dengan tingkatan para Tathagata. Apalagi para umat yang masih berstatus awam yang hendak menggunakan Hati Khayalan untuk merenungkan jati-diri dari Paripurnabuddhi yang dimiliki para Tathagata ? Kelakuan ini persis orang yang ingin membakar gunung dengan sinar kunang-kunang. Sia-sia belaka ! Demikian pula, apabila para umat awam dengan pandangan sesat yang dihasilkan dari Sang Hati dan selalu dipengaruhi samsara itu ingin menerjunkan dirinya ke lautan kebijaksanaan Buddha, mana mungkin terwujud cita-citanya. Oleh karena itu, Aku sering menjelaskan maknanya kepada para Bodhisattva dan para umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir. Jika kalian benar benar hendak menuntut Dharma, pertama-tama harus mengenyahkan halangan samsara atau Avidya yang selama ini melekat pada kalian! ”

“O, Putra yang berbudi ! Ketahuilah segala pikiran yang bergerak terus-menerus itu datang dari Sang Hati. Ia selalu berkontak dengan keenam Ayatana untuk menghasilkan kesan kesan yang bersifat khayalan. Sang Hati bukan hanya jati-diri Paripurnabuddhi, melainkan sifatnya persis bunga khayalan. Maka sungguh sulit bagi siapapun yang hendak menggunakan Hati Khayalan untuk mengenal Alam Bodhi yang dimiliki para Tathagata. Niat demikian tidak berbeda dengan orang yang mengharapkan ‘bunga’ di langit itu cepat berbuah. Mustahil, bukan! ”

“O, Putra yang berbudi ! Ketahuilah, Sang Hati yang dimiliki para umat itu mudah sekali menghasilkan pandangan sesat atau pikiran yang bukan-bukan. Ia sulit sekali membangkitkan budi umat mencapai jati-diri Paripurnabuddhi hingga sempurna. Maka, tiga pertanyaan yang kamu ajukan itu keliru belaka. ”

Kemudian Hyang Buddha mengulangi makna Dharma yang dikotbahkan-Nya dalam beberapa bait Gatha sebagai berikut:

“Bodhisattva Vajragarbha, anda harus mengerti! Maha bijaksana Tathagata demikian suci bersih. Sejak awal tertahan terus-menerus tanpa akhir, Siapa yang Hati-nya masih terikat samsara, menafsirkannya, Pastilah mereka akan merasa matanya berputar. Sebab, pandangannya telah dihalangi samsara, sehingga sulit sekali menerjunkan diri kelautan Thathagata!

Diandaikan, seorang tukang melebur bongkahan emas, Emas bukan datang dari peleburan, Meskipun emas tulen diperoleh dari suatu proses peleburan, Namun, apabila emas telah menjadi tulen, takkan ia kembali ke asalnya, menjadi tambangan lagi!

Corak lahir dan mati serta Nirvana, Identitas dari para umat dan para Tathagata, Baik corak atau gelar, semuanya bersifat khayalan belaka.

Kini hati kamu masih dipengaruhi samsara, Benarkah? Dengan pertanyaan keliru memohon kepada Buddha. O, Sang Bodhisattva berbudi! Apabila Hati Khayalanmu telah sirna, Kebijaksanaan Paripurnabuddhi akan anda miliki!”

Kemudian, Bodhisattva Maitreya yang ikut dalam Pasamuan Dharma itu juga bangkit dari tempat duduknya, lalu bersujud dengan sikap khidmat di depan kaki Hyang Buddha dan mengelilingi-Nya sebanyak 3 kali. Kemudian dengan sikap anjali berkata:
“O, Tathagata ! Para Bodhisattva dan para umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir telah diajari oleh Hyang Tathagata. Sekarang saya ingin bertanya. Bagi mereka yang ingin menjelajah kelautan-bijaksana dan maha suci yang dimiliki para Tathagata, bagaimana caranya memutuskan akar yang masih berhubungan dengan samsara ? Mereka boleh membagi berapa jenis Gotha? Dan apabila mereka bercita-cita mempraktekkannya hingga bisa mencapai identitas setingkat dengan Thathagata, maka proses dan tahapannya harus disusun dengan cara apa, dan metodenya ada berapa macam? Apabila Dharma yang dituntut mereka telah berhasil dan mereka bercita-cita hendak kembali ke dunia sengsara untuk menyelamatkan para umat agar terbebas dari penderitaannya, harus dengan metode apa supaya tugasnya berjalan dengan mulus dan lancar? ”

“Dengan ini, kami semua berharap Hyang Tathagata yang Maha Welas Asih sudi memberikan suatu petunjuk agar para Bodhisattva yang sedang menuntut ajaran Mahayana dan para umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir, dapat menggunakan mata-bijak nan bersih yang telah dikuatkan oleh Hyang Tathagata untuk membedakan sesat dan benar, dan mampu mencapai kesadaran luhur terhadap kebijaksanaan dan pandangan para Tathagata!”

Setelah memohon, Sang Bodhisattva Maitreya lantas bernamaskara di depan kaki Hyang Buddha, kemudian dengan sikap khidmat diulangi sebanyak 3 kali.

Hyang Buddha bersabda kepada Bodhisattva Maitreya :
“Sadhu ! Sadhu ! Sadhu ! Putra yang berbudi ! Anda sungguh bijak dan amat berkasih-sayang kepada para Bodhisattva dan umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir. Anda mewakili mereka memohon Tathagata menerangkan Dharma yang berinti luhur serta rahasianya, agar mereka cepat mendapatkan sepasang mata-bijak dan pandangan yang benar untuk memutuskan akar samsara hingga tiada berkesudahan. Anda juga memohon kepada-Ku agar mereka diberi pengertian hingga bisa memahami inti Tathagata atau jatidiri ke-Buddha-an yang pada dasarnya dimiliki para umat itu sehingga mereka dapat mencapai tingkat Anutpattika Dharma Ksanti (Daya kesadaran terhadap segala sesuatu tanpa lahir dan musnah). Nah, dengarlah baik-baik, sekarang Aku hendak mengkotbahkannya kepada kamu sekalian!”

Saat Bodhisattva Maitreya mendengar permohonannya dikabulkan, hatinya amat gembira. Lalu Beliau bersama-sama hadirin menantikan kotbah Hyang Buddha dengan sikap khidmat.

Hyang Buddha bersabda :
“O, Putra yang berbudi ! Ketahuilah, segala makhluk biar berjenis apapun sejak awal terlalu mengagungkan atau menggemari nafsu birahi, hingga mereka dari masa ke masa terus dipengaruhi oleh roda samsara atau hukum tentang kematian dan kelahiran. Lihatlah, setiap makhluk yang berada dipelbagai dunia, baik mereka yang lahir dari tetasan telur maupun yang lahir dari kandungan, lahir dari kelembaban atau pun dari perubahan wujud. Kelahiran dari keempat macam ini, kesemuanya dihasilkan dari persetubuhan oleh dua jenis kelamin yang berbeda. Jelaslah, nyawa yang datang dari hasil persetubuhan ini tetap terikat roda samsara. Berarti samsara berasal dari persetubuhan makhluk yang berlainan jenis kelamin. Alam yang kita huni ini adalah suatu alam yang penuh godaan nafsu-birahi. Ia terus-menerus mendorong para makhluk terlibat dalam persetubuhan sehingga untuk selamanya dipengaruhi oleh hukum kematian dan kelahiran. Secara ringkas, adanya persetubuhan dikarenakan ada nafsu-birahi, sedangkan persetubuhan akan menghasilkan nyawa dan tubuh. Oleh karena para makhluk hanya mementingkan tubuh, nafsu-birahi tetap menjadi pokok. Jelas, siapa saja yang tidak dapat melepaskan diri dari nafsu-birahi, maka ia hanyalah mempunyai sesosok tubuh yang terus dipengaruhi oleh roda samsara. Inilah sebab akibatnya. ”

“Lebih menyedihkan lagi, karena keadaan dari alam yang penuh nafsu-birahi itu selalu berubah, kondisinya kadang-kadang baik kadang-kadang buruk. Saat para makhluk berada pada kondisi yang buruk, lahir-batin mereka dikuasai angkara murka. Mudah sekali timbul emosi seperti kebencian dan dendam, lalu melakukan pembunuhan, penganiayaan atau kemarahan, penyiksaan dan berbagai perbuatan jahat. Ironisnya, apabila mereka sedang berada dalam kondisi baik, mudah pula timbul berbagai nafsu rendah, nafsu-birahi, ketamakan, menguasai atau menggagahi dengan kekerasan, atau selalu membuat dosa dengan mulut dan sebagainya. Akhirnya mereka langsung diterjunkan ke Tiga Alam yang menyedihkan ( Tridusgati yaitu : Neraka, Alam Setan, dan Binatang).”

“Apabila mereka telah sadar bahwa yang mengakibatkan para makhluk terjun ke Tiga Alam tersebut adalah perbuatan jahat, lalu mereka berhenti berbuat kejahatan dan berubah haluan dengan banyak melakukan perbuatan baik, maka berkat timbunan kebajikan dari perbuatan baik itu akhirnya mereka dapat dilahirkan di Alam Bahagia atau kembali menjadi manusia. ”

“Karena berkat perbuatan baik dapat membuat mereka dilahirkan di Alam Bahagia, lalu mereka bercita-cita memanfaatkan Samadhi agar dirinya dilahirkan di suatu alam yang lebih bahagia. Namun, kebahagiaan itu masih berkaitan dengan samsara. Apabila masa kebahagiaan itu telah habis, berikutnya mereka akan diterjunkan kembali ke alam dasarnya. Maka, peristiwa yang tidak diharapkan ini benar-benar bukan satu satunya Jalan Agung!”

“Oleh karena itu, apabila para umat bertekad menghindarkan hukum kematian dan kelahiran, tidak lagi berkaitan dengan roda samsara, haruslah mengenyahkan segala ketamakan dan nafsu-nafsu lainnya.”

“O, Putra yang berbudi ! Kamu harus mengerti, semua Bodhisattva tidak takut akan roda samsara. Mereka selalu menjelmakan jasmaninya dengan berbagai cara perubahan, kemudian dilahirkan di alam sengsara yang diperuntukkannya. Namun, kelahiran dan kematian ini sama-sekali tidak ada hubungannya dengan persetubuhan, bahkan mereka bercita-cita menggabungkan diri dengan Maha Welas Asih untuk mengajar para umat agar tidak terkait dengan roda samsara. Mereka menasehati kalian agar menjauhkan persetubuhan dan nafsu birahi sedini mungkin. Rajin menuntut Dharma supaya dapat terbebas dari roda samsara secara total. Walaupun para Bodhisattva harus melewati jalan kematian dan kelahiran demi melancarakan tugas-tugasnya, namun mereka tak merasa takut! ”

“Bagi para umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir harus berani mengatasi segala ketamakan, kebencian, dan nafsu-birahinya. Dengan tekad menghindari roda samsara dan dengan hati bulat rajin mengamal jati-diri dari Paripurnabuddhi yang dimiliki para Tathagata, niscaya mereka akan mencapai Kesadaran yang sempurna dengan lahir-batin yang suci nan agung! ”

“O, Putra yang berbudi ! Ketahuilah bahwa Avidya yang dimiliki oleh para makhluk itu, sumbernya kebanyakan berawal dari dorongan berbagai macam ketamakan dan nafsu nafsu lain. Karenanya Gotra atau identitas budinya pun terseret Karma buruk. Gotra itu ada 5 macam. Apabila Gotra tersebut dipengaruhi 2 macam Halangan, akan menampakkan identitas yang berbeda-beda.”
“Apakah kedua Halangan itu? Adalah Jneyavarana dan Klesavarana.
•    Jneyavarana atau Halangan Paham, yaitu yang berdaya mempengaruhi atau menghalangi pandangan benar menjadi sesat.

• Klesavarana atau Halangan Kekotoran Batin, yaitu yang selalu membawa para umat mengalami lahir, usia lanjut, menderita berbagai penyakit dan kematian.

Apa kelima macam Gotra atau identitas budi itu? Adalah:
• Gotra Umat Awam (Prthagjanagotra)
Para umat awam yang tergolong dalam Gotra ini sama sekali belum bisa mengatasi kedua Halangan itu, karena mereka belum beridentitaskan ke-Buddha-an
• Gotra Hinayana (Hinayanagotra)
Para umat yang tergolong dalam Gotra ini umumnya bertekad menuntut Dharma Buddha dan bertekad mengatasi segala nafsu keduniawian, namun mereka hanya mampu menaklukkan halangan kekotoran batin, sedangkan halangan paham tetap melekat padanya dan amat sulit dimusnahkannya. Tingkat ke-Buddha-an yang mereka capai hanya pada pahala Sravakayana atau pahala Pratyekabuddhayana saja. Mereka belum bisa memperoleh tingkat Bodhisattva dan sulit mempertahankan dirinya di alam Bodhisattva Bhumi
•    Gotra Mahayana (Mahayanagotra atau Tathagatabhisamayagotra)
Golongan ini meliputi para umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir yang dengan tekad bulat mempraktekkan ajaran Buddha setingkat Mahayana, dan bercita-cita menjelajahi lautan kebijaksanaan Tathagata. Untuk itu mereka harus mampu mengatasi kedua halangan. Saat kedua halangan sudah dikuasai berarti mereka telah mencapai tingkat Bodhisattva, sedangkan apabila kedua halangan itu telah berhasil dienyahkan hingga bersih total, maka mereka langsung memperoleh Penerangan Agung dan mendapat pahala Mahayana seperti Tathagata yang ditempuhnya bukan Jalan Agung, akibatnya mereka akan dimasukkan dalam golongan Gotra Tidak Pasti.
•    Gotra Tidak Pasti (Aniyataikataragotra)
Setiap umat sebenarnya telah memiliki jati-diri Paripurnabuddhi. Apabila mereka berkesempatan baik sehingga menemukan guru bercitra luhur atau para tokoh bijak yang terpandang, untuk membimbing mereka dengan metode penting yang intinya sesuai dengan kemampuannya hingga berhasil. Tapi proses kesadaran tidaklah sama bagi setiap orang. Ada yang kesadarannya lebih dini atau mendadak, dan ada pula yang harus secara bertahap. Pokoknya semuanya harus dibawa ke Jalan Agung yang menuju ke alam Tathagata tanpa memandang akar bajiknya kuat atau lemah. Semua berkesempatan memperoleh Penerangan Agung. Akan tetapi, apabila mereka kurang mandiri atau jalan yang ditempuhnya bukan Jalan Agung, akibatnya mereka akan dimasukkan dalam golongan Gotra Tidak Pasti.
•    Gotra Berakar Tidak Baik atau Tanpa Gotra (Agotra)
Ada sebagian umat yang bernasib kurang mujur. Meskipun selama ini mereka telah bertekad menuntut Dharma, namun malang sekali, semua guru yang ditemuinya adalah guru yang berpandangan sesat (Guru Thirthika). Mereka dengan susah-payah berjuang seumur hidup, tapi tetap saja sulit mencapai kesadaran yang sempurna, juga sulit memperoleh jati-diri Paripurnabuddhi yang dimilikinya sejak awal itu. Inilah yang dinamakan Tirthikagotra. Kendati pun mereka adalah sekelompok murid sesat yang berpikiran sesat dan enggan mengubah jalan sesat menuju ke jalan yang benar, namun kesalahan itu bukan dari si murid, melainkan dari Sang Guru, dan Sang Guru-lah yang harus mempertanggung jawabkannya. Inilah Gotra yang Berakar Tidak Baik atau dengan kata lain Icchantikagotra.”

“O, Putra yang berbudi ! Kamu harus mengerti bahwa seorang Bodhisattva saat menerjunkan dirinya ke pelbagai dunia dengan membawa berupa-rupa metode disertai cara-cara praktek yang sederhana untuk membangkitkan para umat, agar mereka dapat menyadarkan dirinya, kemudian dengan langkah tepat menuju ke Jalan ke-Bodhi-an. Namun, para Bodhisattva hanya menyadarkan cita luhur dan sumpah setia. Sesungguhnya cita luhur serta perasaan maha welas-asih dan kasih sayang telah dimiliki sejak asal. Ketika mereka datang di alam yang berkondisi buruk ataupun yang baik, mereka tidak peduli dengan cara apapun, pokoknya harus dapat menolong para umat sengsara dengan sepenuh tenaganya. Mereka bekerja dengan susah-payah dan tanpa henti supaya para umat dapat keluar dari jalan sesat menuju ke jalan yang benar, sampai dapat menyelesaikan Dharma-Nya.”

“Oleh karena itu, para umat yang bertekad menuntut ajaran Buddha yang semuanya akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir. Apabila kalian ingin beridentitas seperti Bodhisattva atau setingkat Tathagata, dan ingin bersama-sama Tathagata menyeberangke ‘Pantai Seberang’ hingga memiliki Alam Bodhi yang agung, maka kamu harus dengan tekad bulat maju terus, pantang mundur. Pertama-tama harus meneguhkan kepercayaan untuk menggerakkan Hati Bodhi atau Bodhicitta hingga bulat. Kemudian, kalian boleh dengan khidmat menyatakan diri akan mengikuti jejak para Arya menjadi seorang Bodhisattva, lalu mengucapkan kata-kata dari Pranidhana (Janji Setia) sebagai berikut :

O, Hyang Tathagata ! Namo Ratna Trayaya! Lindungilah aku ! Bantulah aku agar mulai sekarang dapat ditempatkan di Alam Bodhisattvayana, di Alam Bodhi yang dimiliki para Tathagata ! Dan kuharap dapat memperoleh kesempatan yang baik agar selama aku menuntut Dharma bisa menemukan Sang Tokoh Dharma yang bijak, bukan para Guru Tirthika atau yana-yana yang lain. Aku bertekad dengan cita-cita yang suci, setahap demi setahap melepaskan berbagai Halangan hingga bersih tuntas. O, Hyang Tathagata ! Namo Ratna Trayaya !Apabila cita-citaku tercapai, aku akan dengan lahir-batin yang telah bebas, pergi menghadap Istana Dharma yang paling suci dan agung. Aku akan dengan Maha Kesadaran Diri menyaksikan Alam Bodhi yang demikian luas nan megah yang berasal dari jati-diri Paripurnabuddhi! Aku juga tidak akan melupakan tugasku dan bertekad kembali ke alam sengsara untuk menyelamatkan para umat di alamnya. Sekian!”

Kemudian Hyang Buddha mengulangi makna Dharma yang baru dikotbahkan-Nya dengan beberapa bait Gatha sebagai berikut:
“Sang Bodhisattva Maitreya, anda harus tahu ! Makhluk-makhluk apa saja yang berada di dunianya, Mengapa mereka tidak dapat membebaskan dirinya dari belenggu ?

Sebab hati mereka selalu terikat ketamakan dan nafsu rendah. Sehingga dirinya terus diputar oleh roda samsara! Apabila kalian dapat mengatasi emosi dendam dan nafsu-birahi, serta ketiga racun, yakni : kebencian, ketamakan, dan kebodohan batin.
Biarpun Gotra mereka tergolong apa saja,
Akhirnya dapat pula mencapai ke-Buddha-an.
Apabila kedua Halangan Darurat dapat dienyahkan,
Apalagi kalau dapat menemukan Sang Guru yang terpandang,
Pastilah mereka dapat menyempurnakan Bodhisattvayana dengan janji setia.
Pastilah mereka akan mencapai Parinirvana seperti Tathagata!
Ketahuilah para Bodhisattva yang berada di sepuluh penjuru dunia,
Semua bersandar pada Pranidhana yang berinti Maha Karunika.
Maka, mereka sering memperlihatkan ketrampilan di dunia samsara.
O, Putra berbudi yang bertekad mengamalkan Dharma, dan
Para umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir,
Jika kalian berhasil mengatasi persetubuhan dan pandangan sesat,
Niscaya dapat memperoleh jati-diri Paripurnabuddhi!”

Kemudian Bodhisattva Vimalamati bangkit dari tempat duduknya. Beliau bersujud dengan sikap khidmat di depan kaki Hyang Buddha, lalu mengelilingi Buddha sebanyak 3 kali, kemudian dengan sikap anjali berkata:

“O ,Tathagata yang Maha Karunika ! Buddha demikian kasih-sayang kepada kami semua. Demi memperdalam pengetahuan kami, Buddha telah menerangkan Dharma secara jelas, juga makna-makna dari roda samsara dan kelima golongan Gotra. Sungguh, dari dulu kami belum pernah tahu metodenya dan belum pernah mendengar artinya. Kini, berkat kebaikan hati Buddha yang demikian giat mendidik dan membimbing kami, hingga keraguan kami pun hilanglah, lahir-batin kami menjadi segar dan bening. Sungguh sangat besar manfaatnya!”

“Dengan ini, kami sekalian dengan hati jujur memohon Hyang Tathagata bersedia membantu hadirin yang berada di Pasamuan Dharma ini, sudi memberi penjelasan tentang jati diri dari Paripurnabuddhi yang dicapai oleh para Dharmaraja, kenapa kebijaksanaannya bisa demikian sempurna ? Para umat juga memiliki kebijaksanaan dari Paripurnabuddhi, apalagi para Bodhisattva, namun ke-Buddha-an yang dicapai oleh mereka antara satu dengan yang lain mengapa ada kelainan bila dibandingkan dengan Hyang Tathagata ? Mengapa bisa terjadi demikian ? Karena itu, mohon diterangkan secara jelas agar para umat setelah mendengar kotbah Buddha dapat ikut menyadarkan dirinya, kemudian dapat terus mengembangkan kebijaksanaannya hingga puncak. ”

Selesai memohon, Sang Bodhisattva Vimalamati kemudian bernamaskara didepan kaki Hyang Buddha sebanyak 3 kali dengan sikap khidmat.

Hyang Tathagata bersabda kepada Bodhisattva Vimalamati:

“Sadhu ! Sadhu ! Sadhu ! Putra yang berbudi ! Anda demikian bijak, mau membantu para Bodhisattva dan para umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir. Anda memohon Tathagata agar mau menerangkan perbedaan dari kebijaksanaan Paripurnabuddhi yang dicapai oleh para umat, para Bodhisattva, dan para Tathagata. Agar kalian dapat memahami maknanya dan bagaimana caranya mengembangkan kebijaksanaan itu hingga puncak, maka dengarlah baik-baik ! Sekarang Aku akan mengkotbahkan Dharma itu! ”

Saat Bodhisattva Vimalamati mendengar permohonannya dikabulkan Hyang Buddha, hatinya sangat gembira. Lalu Beliau bersama-sama pengikutnya dengan sikap khidmat menantikan kotbah Hyang Buddha.

Hyang Buddha bersabda:
“O, Putra yang berbudi ! Jati-diri dari Paripurnabuddhi itu terang sekali dan bercahaya di dalam hati umat. Ia sejak awal tidak pernah runtuh mau pun pudar, Ia juga sama-sekali tidak ada hubungannya dengan roda samsara dan kelima Gotra. Oleh karena para umat kurang waspada, lambat-laun mereka terjerumus ke jalan sesat, sampai akhirnya lahir dan batinnya dipengaruhi oleh Avidya sehingga hati mereka menjadi kekhayalan total. Mereka berpandangan keliru yang berakibat kelima macam Gotrapun ikut muncul. Padahal, dalam jati-diri dari Paripurnabuddhi atau Kesadaran Sempurna tidak ada kaitannya dengan gelar atau nama-nama yang disebut Bodhisattva atau umat awam. Demikian pula, tidak ada gelar atau nama yang disebut pahala ke-Buddha-an dan tidak ada orang yang dapat memperoleh pahala ke-Buddha-an. ”

“Mengapa ? Sebab, baik Bodhisattva maupun umat awam, mereka memiliki sesosok tubuh yang bersifat kekhayalan. Mereka lahir dari kekhayalan, mati pun menjadi kekhayalan, siapakah yang memperoleh pahala ? Seperti halnya indera mata kita, dapat melihat segala benda tapi tidak bisa melihat bola-mata sendiri. Demikian pula jati-diri dari Paripurnabuddhi, prinsipnya sama-rata. Kesamarataannya bukan sengaja dibuat oleh seseorang. Tetapi karena para umat awam berpandangan sesat, maka mereka selalu merasa tidak sama-rata. Mereka hanya menganggap tubuhnya dan segala sesuatu yang bersifat khayal itu adalah yang benar, kekal tanpa berkesudahan, hingga mereka sama-sekali tidak dapat menghilangkan corak atau kesan kekhayalan. Malahan mereka terus-menerus dipengaruhi oleh corak atau kesan kekhayalan tersebut. Walaupun mereka telah berniat dengan sekuat tenaga menghilangkan sesat dan Avidya-nya, namun pengaruh masih terus menghalanginya hingga usaha mereka sia-sia belaka. Inilah sebabnya yang menjadikan nama-nama Bodhisattva dan nama nama umat awam serta kelima Gotra itu terwujud. Apabila mereka telah sadar dan mencapai Paripurnabuddhi, telah beridentitas setingkat dengan Tathagata dan telah melepaskan segala keraguan dan Avidya-nya, maka mereka akan merasa jati-diri dari segala sesuatu demikian sama-rata (merata). Dalam kalbunya pasti tidak akan berkesan tentang nama-nama maupun segala macam corak. ”

“O, Putra yang berbudi ! Sejak dahulu kala para umat telah memiliki pikiran sesat. Mereka selalu menganggap ‘Aku’ yang bersifat kekhayalan itu adalah ‘Aku’ yang benar, sehingga dalam hatinya timbul kecintaan yang luar-biasa. Kendatipun demikian, ke-Aku-an atau kesayangan pada diri sendiri itu, kondisinya berubah terus-menerus setiap detik tanpa henti. Dari perubahan itu timbullah perasaan benci dan sayang di dalam hatinya, sehingga terjerumus ke dalam kelima macam nafsu duniawi, yaitu : kekayaan, kecantikan, ketenaran, gemar terhadap makanan dan tidur. Semua menuruti nafsunya masing-masing tanpa bisa mengatasinya. Umat-umat seperti ini, apabila mendapat kesempatan baik, kalian harus mengajari mereka dengan Dharma tentang jati-diri dari Paripurnabuddhi yang mengandung kebijaksanaan sangat suci murni, yang tetap pada asal tanpa dipengaruhi oleh perubahan. Selain itu, juga mengajari mereka bahwa nafsu duniawi atau segala sesuatu yang melekat pada diri kita, semuanya bersifat khayalan. Ia setiap detik berubah terus, kondisinya kadang nampak kadang tidak. Bila umat tidak memegang teguh jati-diri dari Paripurnabuddhi dan hanya mengejar benda-benda yang bersifat kekhayalan, akhirnya hanya akan merepotkan diri sendiri!”

“Andaikata ada umat yang dapat mengatasi kesulitan tersebut hingga tuntas, pikirannya akan merasa tenang dan bersih. Pandangannya tidak akan sesat lagi. Mereka akan paham bahwa alam semesta maupun jati-dirinya pada dasarnya suci murni. Kalau sudah begitu, Dharma-nya akan memperoleh sukses. Namun, dalam hatinya masih terbayang kesan dari ‘suci murni’ hingga menjadi suatu halangan di dalam pikirannya. Karena itu, kebijaksanaan dari Paripurnabuddhi masih sulit berkembang hingga ke puncak. Fenomena atau identitas ini dinamakan ‘Telah Mengikuti Kesadaran’ sebagai awam.”

“O, Putra yang berbudi ! Semua Bodhisattva telah mengerti halangan dari kesan yang disebutkan di atas. Siapa yang enggan melepaskan kesan tersebut Dharma-nya tetap terhalang. Oleh karenanya mereka sama-sekali tidak ada kaitannya dengan kesan apapun, hanya merasa kesan itu merupakan halangan saja. Ketahuilah walaupun para Bodhisattva telah berhasil menghilangkan kesannya, tapi mereka masih memiliki ‘Perasaan’ yang juga bersifat suatu halangan. Sebab, perasaan adalah sumber kekhawatiran dan keberatan di dalam pikirannya. Identitas ini dinamakan ‘telah mengikuti kesadaran sebagai Bodhisattva yang berstatus muda’ (belum mencapai Bhumi Arya).”

“O, Putra yang berbudi ! Ketahuilah, kesan apa saja, bahkan perasaan dari para Bodhisattva muda itu adalah suatu penghalang. Ia dapat menghadang kita mengembangkan kebijaksanaan dari Paripurnabuddhi hingga mencapai puncak. Para Bodhisattva yang telah sukses, biarpun perasaan masih bersarang di dalam hatinya, namun sedikitpun tidak dipertahankan di dalam pikirannya, melainkan pengertian dari kesan apapun dimusnahkan hingga tuntas agar pikirannya selalu suci bersih!”

“Diumpamakan, seseorang berniat menghilangkan nyawanya sendiri dengan cara memotong kepalanya. Setelah nyawanya hilang, sang pembunuh pun ikut hilang, karena mayat tidak bisa menjadi pembunuh lagi. Sama artinya, bila Sang Bodhisattva dengan hati yang masih dipengaruhi oleh halangan bertekad menyirnakan kesan atau perasaannya. Setelah kedua halangan tersebut sirna tuntas, hati masih berfungsi tapi pengaruh halangannya telah tak berwujud. Itu berarti, pikiran yang kacau telah normal, dan dalam kondisi suci murni. Kini, tidak perlu dengan Dharma atau ajaran, mereka pun dapat mengembangkan kebijaksanaannya hingga mencapai puncak. ”

“Ketahuilah, hakikat Sutra yang diwejangkan Tathagata, tidak berbeda dengan jari yang menunjuk bulan. Apabila bulan yang ditunjuk itu telah tampak jelaslah yang menunjuk bulan itu jari, bukan bulan yang menunjuk jari ! Bulan bisa kelihatan karena ada yang menunjuknya. Dari makna itu dapat diartikan bahwa para Tathagata bertekad dengan berbagai metode Dharma untuk membimbing para Bodhisattva hingga dapat mencapai Kesadaran Sempurna. Setelah para Bodhisattva sadar, segala halangan pun sirna. Mereka tidak perlu menggunakan alat Dharma atau ajaran lagi. Identitas seperti ini dinamakan telah mengikuti kesadaran sebagai Bodhisattva yang sukses atau Bodhisattva yang telah mencapai Bhumi Arya.”

“O, Putra yang berbudi ! Jika kamu masih selalu berpikir bahwa ada halangan yang harus dienyahkan, ketahuilah, dengan sikap demikian kamu masih sulit mengangkat kebijaksanaan hingga ke puncak. Kamu harus memandang segala halangan tersebut sebagai jati-diri dari Paripurnabuddhi yang demikian sempurna. Dengan demikian, pikiran tidak akan terpengaruh oleh apapun lagi. Kalau sudah begitu, barulah boleh dianggap telah sampai tahap penyelesaian. Pikiran yang masih terlibat kekalutan atau pun yang telah bersih, anggaplah semuanya telah bebas total tanpa perasaan ! Lagi, pengamalan Dharma yang berhasil atau pun yang gagal, anggaplah semuanya telah mencapai Nirvana. Yang berkebijaksanaan tinggi atau yang masih bodoh sekali, anggaplah telah memiliki Prajna. Keberhasilan atau keuntungan para Bodhisattva maupun para tokoh sesat, anggaplah mereka telah mencapai Bodhi. Demikian pula, Avidya ataupun Tathata, anggaplah kedua duanya tiada berbatas. Para Suci yang melaksanakan Sila, Samadhi, dan Prajna atau pun para umat yang memiliki ketamakan, kebencian, dan kebodohan, anggap saja mereka adalah orang yang berstatus Brahmacarita (Pelaku Suci). Makhluk makhluk beserta alam yang dihuninya, anggaplah dasar Dharmata (jati-diri dari Dharma). Alam Neraka maupun Sorga, anggaplah suatu alam suci. Baik yang bergolongan Gotra atau pun yang tidak memiliki Gotra, anggaplah mereka semua dapat mencapai ke-Buddha-an. Yang terlibat Klesa apa saja, anggaplah mereka dapat menyirnakannya hingga tuntas. Gunakan kebijaksanaan sebagai lautan dari jati-diri Paripurnabuddhi untuk menyaksikan corak atau wujud dari segala sesuatu, dan anggaplah sifatnya tidak berbeda dengan angkasa. Kalau sudah memiliki identitas demikian, bolehlah disebut telah mengikuti kesadaran Hyang Tathagata yang paling sempurna. ”

“O, Putra yang berbudi ! Yang penting, bila para Bodhisattva dan para umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir masih bertekad melaksanakan metode Paripurnabuddhi, kapan dan dimanapun, haruslah menjaga lubuk hatinya agar tidak menimbulkan corak khayalan atau kesan yang bukan-bukan di dalam pikirannya. Apabila corak khayalan atau kesan buruk itu kadang-kadang masih mengganggu pikiran, biarlah saja ! Jangan sengaja menyirnakan hati yang bersifat fantasi itu, sebab jati-diri kita pada dasarnya dipengaruhi perasaan. Bila hal itu tidak menimbulkan ide yang bukan bukan di dalam pikirannya, perasaan jati-diri bisa berfungsi mewujudkan pikiran yang benar. Maka dari itu, tak usahlah menitikberatkan pada soal itu, juga tak usah membedakan apakah alam makhluk itu fantasi atau bukan, meskipun kalian masih berada di alam fantasi. Sekali lagi Aku tegaskan, yang penting jangan membiarkan lubuk hati menimbulkan pikiran yang bersifat fantasi!”

“O, Putra yang berbudi ! Kamu harus mengetahui bahwa para umat yang telah mengikuti kesadaran sejati itu, kesemuanya sudah pernah mengikuti atau melayani dengan hormat kepada para Bodhisattva yang sukses atau para Tathagata yang jumlahnya laksana pasir dari ratusan ribu koti Sungai Gangga. Mereka telah menanamakan kebaikan dan jasa-jasa pada masa yang lalu. Kata Buddha, mereka akan memperoleh suatu gelar yang disebut Sarvajnaya (memiliki kebijaksanaan teragung), dan identitasnya setingkat dengan para Tathagata!”

Kemudian Hyang Buddha mengulangi makna Dharma yang dikotbahkan-Nya tadi dengan beberapa bait Gatha sebagai berikut:
“O, Bodhisattva Vimalamati, anda harus mengerti! Bahwa jati-diri Bodhi yang sempurna terdapat dimana mana, Mana ada pahala yang diperoleh, siapa yang dapat membuktikannya?

Hanyalah sang Sadar dan para penyesat, Pelaksanaan Dharma masing-masing masih ada perbedaan. Umat awam selalu dihalangi ‘Pandangan’, dan Para Bodhisattva kadang-kadang masih dipengaruhi ‘Perasaan’. Bila Bhumi Arya telah tercapai, barulah halangan sirna tuntas, Segala corak khayalan dan kesan buruk pun menghilang tanpa bekas. Maha Tahu adalah Maha Paripurnabuddhi, Nama mereka ‘Telah Mengikuti Kesadaran Sejati’. Para umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir, Kapan atau dimana saja, lubuk hati masih tetap suci murni. Kata Buddha : Umat tersebut dalam masa kini, Identitasnya adalah Bodhisattva yang telah mencapai Bhumi. Karena mereka pernah memuja Buddha yang banyaknya laksana pasir Gangga, Akar kebaikan serta jasanya sungguh tiada tara ! Metode untuk mencapai Paripurnabuddhi telah diungkapkan Tathagata, Maka dinamakan ‘Telah Mengikuti Kesadaran Sejati’ untuk mereka.”

Kemudian, Bodhisattva Uggasvara juga bangkit dari tempat duduknya di pasamuan tersebut. Beliau bersujud dengan sikap khidmat di depan kaki Hyang Buddha, lalu mengelilingi Buddha sebanyak 3 kali. Kemudian dengan sikap anjali berkata : “O, Tathagata yang Maha Welas-asih ! Tathagata baru saja mengkhotbahkan dan menerangkan tentang para umat, Bodhisattva, dan sebagainya, yang mengikuti penyadaran sesuai dengan kemampuannya untuk mengembangkan kebijaksanaan luhur. Setelah mendengar wejangan Buddha, banyak Bodhisattva yang merasa hatinya demikian terang dan tiada keraguan lagi. Demikianpula, banyak yang belum pernah melaksanakan Dharma, tapi karena menerima ajaran Buddha yang demikian agung dan sempurna, langsung memperoleh banyak faedah! ”

“O, Tathagata ! Umpamanya, ada sebuah kota besar di suatu daerah yang ramai. Keempat penjurunya dipasangi pintu gerbang yang besar dan megah untuk para  pendatang yang hendak keluar masuk kota itu. Para pendatang yang menuju ke kota itu berdatangan dari pelbagai jurusan. Karena itu, dibuat banyak sekali jalan yang menuju ke setiap pintu, bukanhanya satu ! Itu sama artinya, para Bodhisattva yang bercita-cita dan bertekad memegahkan Alam Buddha, tidak hanya menggunakan satu metode untuk mencapai Bodhi. Sekarang, kami semua ingin mengetahui, ada berapa macam metode, yang sederhana maupun yang rumit atau yang bertahap untuk mencapai Bodhi ? Dan, umat yang sedang melaksanakan Dharma itu ada berapa jenis ? Supaya hadirin dan umat-umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir yang masih ingin menuntut ajaran Mahayana dapat cepat mencapai kesadaran dan mendapat kesempatan untuk menjelajahi lautan suci dan tenteram yang dimiliki para Tathagata, maka dengan ini kami semua dengan hati jujur memohon kepada Hyang Tathagata agar sudi menjelaskannya. ” Setelah memohon, Bodhisattva Uggasvara lantas bernamaskara di depan kaki Hyang Buddha sebanyak 3 kali dengan sikap khidmat.

Hyang Buddha bersabda kepada Bodhisattva Uggasvara :
“Sadhu ! Sadhu ! Sadhu ! Putra yang berbudi ! Anda hendak membantu para Bodhisattva dan para umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir itu menggunakan suatu metode yang sesuai dengan kemampuannya, agar mereka dapat menuju ke jalan sukses. Baiklah, sekarang aku akan menjawab pertanyaanmu, harap kalian mendengarkannya dengan penuh perhatian.”

Saat Bodhisattva Uggasvara mendengar permohonannya dikabulkan, hatinya sangat gembira. Lalu beliau bersama-sama pengikutnya dengan sikap khidmat menantikan khotbah Hyang Buddha.

Hyang Buddha bersabda:
“O, Putra yang berbudi ! Kebijaksanaan dari Paripurnabuddhi yang teragung itu telah penuh padat di mana-mana atau di 10 penjuru dunia. Ketahuilah bahwa para Tathagata maupun para awam, bahkan segala sesuatu yang dalam kondisi bersih ataupun tercemar, dilahirkan atau diciptakan oleh kebijaksanaan tersebut ! Jati-diri mereka adalah sama-rata saat menuntut Dharma untuk mewujudkan cita-citanya mencapai Paripurnabuddhi. Jalannya pun sama, tiada dua. Hanya demi menyesuaikan kemampuan mereka, harus digunakan bermacam-macam metode. Sulit dipastikan metode itu ada berapa macam, akan tetapi metode yang dapat menyatukan metode metode lain dan mudah dilaksanakan oleh umat dapat disimpulkan menjadi 3 macam. ”

“O, Putra yang berbudi ! Metode penting yang pertama adalah Samatha. Apabila para Bodhisattva telah memahami bahwa jati-diri Paripurnabuddhi demikian luas dan penting, maka mereka harus menggunakan kesadaran suci ini untuk melaksanakan Dharma yang dituntutnya. Mereka harus memilih suatu tempat yang bersuasana agak sunyi, lalu melakukan meditasi yang menjurus Samatha tanpa henti. Lambat-laun, hati yang sejak awal penuh dengan corak kekhayalan itu akan terasa bersih. Meskipun kesan-kesan lain kadang-kadang masih bisa mengganggu ketenangan batin di dalam meditasi, namun si pelaksana Dharma harus waspada dan harus menganggap kesan-kesan itu hanya suatu khayalan saja yang sama sekali tidak berhubungan dengan kesadaran suci. Karena meditasi Samatha tersebut sesuai dengan kemampuannya maka lahir-batinnya pun bisa mencapai puncak ketenangan. Setelah merasa lubuk hatinya bersih, kebijaksanaan agung akan terwujud, dan semua kekotoran dari luar itu akan sirna tuntas. Si pelaku akan merasa sangat tenang dan tenteram di dalam lubuk hatinya. Saat itu seolah-olah terdapat sebuah cermin yang sangat terang dan bersih berada di dalam hati. Demikian pula, jati-diri Paripurnabuddhi dari para Tathagata yang berada di 10 penjuru itu pun langsung tercerminkan di depannya. Rupanya demikian jelas dan sangat sempurna ! Akhirnya, metode yang praktis dan sederhana ini akan membawa sang pelaku menuju ke jalan ke-Buddha-an. Metode ini disebut Samatha atau praktek menjurus ketenangan batin dalam meditasi.”

“O,Putra yang berbudi ! Metode penting yang kedua adalah Samapatti. Apabila para Bodhisattva telah memahami jati-diri Paripurnabuddhi yang semakin luas dan penting, selanjutnya mereka harus menggunakan kesadaran suci untuk menilik corak gerak-gerik dari sang Hati, dan menilik corak gerak-gerik dari ke enam indera dan ke enam Ayatana dengan teliti. Setelah memahami bahwa semua gerak-gerik tersebut adalah khayalan dan sama-sekali tidak mengandung sifat kebenaran, maka mereka harus lebih tekun bermeditasi. Gunakan ketrampilan yang bersifat khayalan itu sebagai senjata ampuh untuk menaklukkan Avidya-nya yang ganas, dan menumpasnya hingga tiada berbekas”. Apabila hasilnya tercapai, teruslah dengan tugas tersebut membantu para umat yang masih dikepung oleh fantasi, dan mengajarkan mereka ketrampilan yang walaupun masih bersifat fantasi namun sanggup menaklukkan corak fantasi itu sendiri ! Karena mereka telah berpandangan benar dan telah memahami bahwa lahir batin atau jasmani umat berasal dari sifat kekhayalan, maka saat mereka berjuang menjalankan tugas tidak akan merasa letih atau menderita ! Bahkan, lubuk hatinya akan selalu merasa segar dan tenteram yang datang dari perasaan iba dan maha welas-asih. Ketahuilah, semua Bodhisattva pun demikian. Mereka berani dan sabar, setahap demi setahap melaksanakan tugasnya hingga kebijaksanaannya terus memuncak. Akan tetapi Sang Bodhisattva masih terus-menerus mengadakan penelitian dan memperhatikan gerak-gerik dari segala sesuatu yang bersifat fantasi itu, guna membetulkan pikiran khayal serta pandangan keliru yang masih menghinggapinya. Namun, ini bukan berarti mereka masih melakukan pekerjaan yang sia-sia atau rela meleburkan dirinya yang berakibat fungsi pancangannya di alam fantasi menjadi kekhayalan total. Dengan cara ini maksudnya hendak dengan ketrampilan khayal menaklukkan Avidya hingga tidak berbekas lagi. Mereka inilah para Bodhisattva yang benar-benar telah mencapai kebijaksanaan agung dari Paripurnabuddhi. Andaikan ada seorang menanam bibit (diumpamakan hati) di dalam tanah (diumpamakan ketrampilan yang bersifat khayal). Tidak berselang lama, pohonnya akan tumbuh dan berbuah sangat lebat (diumpamakan akal yang bersifat khayal). Setelah buahnya masak dan dipanen (diumpamakan telah mencapai kebijaksanaan Paripurnabuddhi), tanah dan pohonnya pun ditinggalkan. Metode yang meneliti dan memperhatikan sifat Avidya, kemudian dengan ketrampilan yang bersifat khayal melawan khayal, dinamakan Samapatti atau kepatidaian dalam meditasi.”

“O, Putra yang berbudi ! Metode penting yang ketiga adalah Dhyana (Jhana). Apabila para Bodhisattva telah memahami arti jati-diri Paripurnabuddhi yang demikian tenang, luas, suci bersih, dan tidak mengandung gagasan buruk, maka selanjutnya mereka harus menempatkan kesadaran suci menjadi inti penting di dalam lubuk hatinya. Walaupun dirinya berada di suatu lingkungan yang kondisinya kurang baik namun pikirannya harus tetap mandiri, sama sekali tidak boleh tergantung pada alam yang tenang, juga tak usah memegang teguh segala wujud yang bersifat fantasi. Meski Sang Bodhisattva selalu merasa tubuhnya terdiri dari Empat Unsur Besar (Catur Maha Bhuta) dan sang Hati, namun semua itu disadarinya bersifat khayalan. Kedua duanya sering menjadi halangan yang dapat menggagalkan amalannya atau menghambat kebijaksanaan agung sehingga tidak dapat mencapai puncak. Biarpun begitu, mereka masih berani mempertahankan kesadaran sucinya, tidak rela digagahi oleh godaan indera dan ayatana, juga tidak mau dikuasai oleh sang Hati yang ganas. Walaupun situasi mulai memburuk, tapi mereka tetap mawas diri, tidak tergantung pada segala sandaran yang bersifat rapuh. Keberanian tidak hanya mampu mengatasi segala halangan yang berwujud maupun yang tidak berwujud, bahkan alam tenang dan segala kenikmatan pun sanggup diatasinya. Sekalipun hal itu dipraktekkannya, namun di mata orang hanya dianggap sebagai peristiwa yang biasa saja. Ini dikarenakan merekam asih berada di alam fantasi, lahir-batinnya belum sepenuhnya bebas dari duniawi. Akan tetapi kesadaran suci yang digunakannya persis suara genta tembaga yang amat keras. Walaupun dinding genta tembaga sangat tebal dan padat, setelah dipukul,suara keras itu menyebar keluar tanpa halangan ! Semua itu bisa diartikan, Klesa dan Nirvana keduanya berstatus lain. Saat diganggu Klesa martabat kesadaran suci sama-sekali tidak merosot. Sebaliknya, si pelaku yang telah mencapai Nirvana, martabatnya masih tetap seperti semula, tidak bertambah. Mengapa demikian ? Karena martabat kesadaran suci telah mampu mengatasi kedua halangan secara bebas dan mandiri ! Ketahuilah, apabila pengamalan Dharma-nya telah mencapai tahapan ini, lubuk hatinya akan merasa tenang dan tenteram. Dengan singkat kata, mereka telah mengikuti kesadaran sampai ketingkat Nirvana Agung. Jika menghendaki dirinya di tempatkan ketingkat agung ini, maka selama mengamalkan Dharma harus menghindarkan diri dari keterlibatan corak ‘Aku’, corak ‘Orang’, corak ‘Tubuh’, dan corak-corak lain dari sang Hati. Mereka akan merasa ‘gelar’ ataupun ‘nama’ bukan hal-hal yang berarti, bahkan usia panjang itu pun tiada perlu lagi. Metode ini dinamakan Dhyana (Jhana) atau Perhatikan benar tanpa mempersoalkan apapun dalam meditasi”

“O ,Putra yang berbudi ! Ketiga macam metode penting untuk meditasi itu, kesemuanya berdasarkan kesadaran jati-diri Paripurna buddhi dalam melaksanakan Dharma. Ia adalah metode yang sesuai dengan kemampuan umat dalam mengamalkan Dharma. Ketahuilah, para Tathagata yang berada di 10 penjuru negeri Buddha, semuanya mempergunakan metode ini hingga sukses. Bodhisattva-Bodhisattva dari pelbagai alam pun tidak meragukan metode ini, hanya caranya yang agak berbeda. Ada yang mengumpulkan banyak orang dengan menggunakan satu macam metode, ada juga yang hanya seorang diri tapi memakai beberapa macam metode untuk mempraktekkan Dharma-nya. Akan tetapi, kesemuanya tetap bersandar pada ketiga macam metode tersebut. Apabila dengan ketiga macam metode itu bisa membuat pengamalannya berhasil, berarti mereka telah mencapai kebijaksanaan Paripurnabuddhi. Identitasnya pun sama atau setingkat dengan Hyang Tathagata!”

“O, Putra yang berbudi ! Apabila ada seorang umat yang dengan tekun menuntut Dharma hingga berhasil, kemudian ia mengajarkan Dharma-nya kepadaratusan ribu koti umat hingga mencapai tingkat Arahat atau tingkat Pratyekabuddha, maka kebajikan yang diperolehnya sangat banyak bukan ? Akan tetapi kebajikannya itu jika dibandingkan dengan umat yang telah mendengar ketiga metode tadi yang lantas menuruti kemampuannya segera mempraktekkannya hingga mencapai jati-diri Paripurnabuddhi. Maka kebajikan dari yang mengajar Dharma itu masih tertinggal jauh dengan yang menggunakan metode ini! ”

Kemudian Hyang Buddha mengulangi makna Dharma yang dikhotbahkan-Nya tadi dengan beberapa bait Gatha seperti berikut:
“O, Bodhisattva Uggasvara, Anda harus memahami! Kebijaksanaan Agung dari Maha Paripurnabuddhi, Dasarnya tunggal tiada dua .
Karena menuruti kesadaran yang sesuai dengan kemampuan umat,
Metode yang digunakan umat banyaknya sulit dihitung !
Tapi, menurut kesimpulan Tathagata, metode yang penting,
Boleh disimpulkan menjadi tiga macam.
Samatha berarti ketenangan batin,
Menerangi segala corak fantasi dan cermin.
Samapatti ialah dengan hati khayalan melawan segala khayalan,
Boleh diumpamakan menanam bibit memanen kebijaksanaan .
Dhyana harus melekat pada obyek tanpa memihak,
Bagaikan suara genta tanpa dihalangi dinding tembaganya.
Ketiga macam metode yang amat penting itu,
Semua mengikuti kesadaran, membangkitkan kebijaksanaan luhur.
Ketahuilah, para Tathagata yang berada di 10 penjuru dunia,
Dan para Bodhisattva yang menghayati ajaran Mahayana,
Dengan metode ini mencapai Samyaksambuddha.
Bila ketiga-tiganya dapat diamalkan “bersama,
Gelar Parinirvana yang Anuttara akan dimiliki!

Selanjutnya, Bodhisattva Pratibhanaghosa bangkit dari tempat duduknya. Beliau dengan sikap sangat khidmat bersujud di depan kaki Hyang Buddha. Lalu mengelilingi Buddha dari kanan ke kiri sebanyak 3 kali, kemudian ber-anjali sambil berkata: “O, Hyang Tathagata yang Maha Welas-asih ! Metode yang diwejangkan Tathagata tadi sungguh unik dan amat bermanfaat. Sungguh, sejak dulu kami sekalian jarang mendengarnya, juga jarang mempergunakannya untuk melaksanakan Dharma. O, Tathagata ! Kini kami semua baru mengetahui bahwa metode ini sangat berguna, namun para Bodhisattva yang bercita-cita memperoleh kebijaksanaan dari Paripurnabuddhi itu, bila mereka ingin menggunakan metode penting ini, harus bagaimana melakukannya?

Apakah cukup hanya dengan satu macam saja atau harus dengan dua macam? Atau harus dengan 3 macam sekaligus ? Atau ada cara lain yang khusus bagi umat ? Mohon Tathagata sudi menunjukkan caranya agar hadirin dan para umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir dapat mengikuti cara itu dalam melaksanakan Dharma-nya, hingga dirinya dapat mencapai jati-diri Paripurnabuddhi yang dipegang para Tathagata!”

Setelah memohon, Sang Bodhisattva Pratibhanaghosa lantas bernamaskara di depan kaki Hyang Buddha sebanyak 3 kali dengan sikap sangat khidmat.

Hyang Tathagata bersabda kepada Bodhisattva Pratibhanaghosa:
“Sadhu ! Sadhu ! Sadhu ! O, Putra yang berbudi ! Anda demikian bijak dan bercita-cita hendak membantu hadirin serta para umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir itu. Anda memohon Aku menerangkan tentang ketiga macam metode penting dan bagaimana cara mempergunakannya. Baiklah, dengarkan baik-baik ! Sekarang Aku akan menerangkannya kepada kamu sekalian! ”

Saat Bodhisattva Pratibhanaghosa mendengar permohonannya dikabulkan oleh Hyang Buddha, hatinya sangat gembira. Lalu beliau bersama-sama pengikutnya dengan sikap khidmat menantikan khotbah Hyang Buddha.

Hyang Buddha bersabda : “O, Putra yang berbudi ! Sebenarnya kebijaksanaan dari jati-diri Paripurnabuddhi yang dipegang para Tathagata itu intinya sangat suci murni, tanpa isi apapun. Ia tidak mengandung Dharma, juga tiada satu metodepun yang diperuntukkan bagi siapa-siapa, sebab siapapun tidak memerlukan metode tersebut ! Namun, bagi para Bodhisattva dan para umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir, jika mereka belum bisa membuktikan dirinya telah menyaksikan Alam Bodhi dari Paripurnabuddhi yang dimilikinya sendiri, terpaksalah mereka harus menggunakan metode atau ketrampilan khayal untuk menaklukkan Avidya-nya agar Dharmanya dapat sukses. Itulah sebabnya mengapa mereka ingin mencari suatu metode sebagai pegangan ! Sekalipun dengan khayalan melawan khayalan, seakan-akan semuanya menjadi khayalan total, namun jati-diri dari Bodhi-nya dan kesadarannya berdasar suci murni, mana mungkin sampai menjadi khayalan total ! Maka dari itu, ketiga metode penting masih amat perlu bagi mereka. Bila mereka akan menggunakannya, boleh saja memakai satu, dua, atau ketiga-tiganya sekaligus. Bisa pula dengan mengumpulkan banyak orang dengan hanya menggunakan satu metode. Utamanya, pilihlah metode yang paling sesuai dengan kemampuan si umat. Untuk memudahkan para umat, maka metode itu dapat dijadikan 25 macam seperti roda yang berputar. Mana yang dianggap cocok dengan dirinya, ambil saja dan amalkan dengan tekun hingga mencapai kesadaran sempurna sedini mungkin ! Ke-25 macam metode itu akan Kujelaskan satu persatu sebagai berikut:
•    Ada Bodhisattva yang melaksanakan Dharma hanya dengan metode ketenangan batin untuk melatih dirinya hingga tenang sekali. Mereka setiap saat duduk bersila dalam sikap diam agar segala gagasan yang bersifat khayalan tidak timbul di dalam hatinya. Dengan cara demikian, lambat-laun corak kekhayalan atau kesan-kesan buruk akan sirna semua, Klesapun menghilang. Dan, mereka akan menyaksikan dirinya berada di suatu alam yang sangat tenang dan bening. Lubuk hatinya seperti bercahaya dan kebijaksanaan yang agung pun ikut terwujud. Itu berarti praktek mereka telah berhasil ! Ketahuilah, tanpa meninggalkan tempat meditasi pun mereka telah mencapai Nirvana. Cara yang ditempuh Bodhisattva yang sukses ini disebut Pelaksanaan Dharma hanya dengan satu macam metode, yakni Samattia.
•    Ada Bodhisattva yang melaksanakan Dharma hanya dengan menggunakan metode memperhatikan atau mencurahkan segenap semangat untuk meneliti situasi dan gerak-gerik dari segala sesuatu yang berubah terus tanpa henti. Dari perilaku ini mencerminkan bahwa mereka telah menyadari semua corak ini adalah kekhayalan belaka. Tidak ada yang kekal, semuanya bersifat rapuh dan tiada kebenarannya. Karena itu mereka bertekad dengan hati khayal melawan segala gagasan khayal hingga tuntas. Disamping itu, mereka juga bertekad bulat menjalankan tugas yang mulia untuk menyelamatkan para umat sengsara. Mereka sering berdoa memohon kepada Buddha agar selalu memberkati mereka, supaya dirinya bisa membentuk berupa-rupa alam dan bermacam-macam ketrampilan yang sesuai dengan kemampuan para umat. Mereka bercita-cita membimbing para umat menggunakan Dharma Buddha menaklukkan Avidya-nya hingga akhirnya dapat mencapai kesadaran yang sempurna (kebijaksanaan Paripurnabuddhi). Karena Sang Bodhisattva telah paham betul bahwa segala sesuatu khayalan tidak luput dari lahir-batinnya, maka mereka berjuang sambil menuntut Dharma Luhur untuk mengembangkan kebijaksanaan agung yang dimilikinya agar tugasnya selalu lancar ! Demikian pula, ratusan ribu Dharani penting atau Saddharma Buddha boleh dipraktekkan untuk menenangkan batin agar semuanya dapat ditangani tanpa meleset sedikitpun. Maka, cara yang dijalankan Bodhisattva yang sukses ini disebut Pelaksanaan Dharma hanya dengan satu macam metode, yakni Samapatti.
•    Ada juga Bodhisattva yang melaksanakan Dharma-nya hanya dengan menahankan pikirannya terhadap gerak-gerik dari segala pikiran dengan bersikap acuh tak acuh. Mereka tidak mencari cari corak khayal, tetapi juga tidak menolaknya apabila corak khayal itu memenuhi pikirannya. Tidak timbul gagasan liar dan tidak memikirkan hal yang bukan-bukan. Lubuk hatinya selalu suci bersih, segala corak kekhayalan telah dikosongkan tuntas. Avidya-nya tidak ada, Klesapun ikut menghilang tanpa bekas. Kesadaran luhur seperti sinar terang terus menyinari seluruh tubuhnya. Mereka akan menyaksikan dan membuktikan dirinya mencapai kebijaksanaan jati-diri Paripurnabuddhi. Maka, pengamalan Bodhisattva yang sukses ini disebut Pelaksanaan Dharma hanya dengan satu macam metode, yakni Dhyana (Jhana).

•    Ada pula Bodhisattva yang melaksanakan Dharma-nya dengan melatih dirinya untuk mencapai ketenangan batin. Mereka bermaksud menyingkirkan segala gagasan buruk yang selalu menyelinap di dalam pikirannya. Karena mereka bersungguh-sungguh dan rajin, lambat laun merasa lahir batinnya seperti berada di suatu alam yang sangat sunyi dan tenang. Kemudian di dalam jiwanya terbit kebijaksanaan yang amat suci dan bersih. Dalam keadaan ini, mereka menggunakan metode tadi dengan pandangan lebih tajam untuk memperhatikan segala gerak-gerik yang datang dari alam fantasi. Penemuan mereka menunjukkan bahwa semuanya” bercorak khayal. Sambil meneliti corak fantasi, mereka menjalankan tugas yang mulia membimbing para umat menggunakan ketrampilan khayal untuk menghilangkan Avidyanya. Para umat pun dapat diselamatkan dan terbebas dari sengsara. Sistim yang dipraktekkan Bodhisattva yang sukses ini disebut Pelaksanaan Dharma dengan metode Samatha kemudian disusul dengan metode Samapatti.
•    Ada Bodhisattva saat melaksanakan Dharma-nya, pertama-tama mereka menggunakan metode ketenangan lahir-batin. Lambat laun puncak dari ketenangan lahir-batin tercapai, maka kebijaksanaan luhur dari Paripurnabuddhi ikut terwujud. Tatkala segala Klesa yang berasal dari Avidya itu ditaklukkan oleh tenaga kebijaksanaan, saat itu pula mereka terbebas dari penderitaan yang meliputi mati dan tumimbal lahir, hingga dirinya bebas total. Jalan yang ditempuh Bodhisattva yang sukses ini disebut Pelaksanaan Dharma dengan metode Samatha kemudian disusul dengan metode Dhyana.
•    Ada pula Bodhisattva yang dalam melaksanakan Dharma-nya, pertama-tama mereka menggunakan metode ketenangan lahir batin sampai hati dan pikirannnya tenang total dan kebijaksanaan luhur tercapai. Kemudian mereka menggunakan kebijaksanaan luhur itu menciptakan berupa-rupa alam dan bermacam-macam ketrampilan untuk menyelamatkan para makhluk. Setelah tugasnya selesai, barulah mereka membebaskan dirinya sendiri dari segala Klesa yang berasal dari Avidya, hingga mencapai Nirvana. Dharma yang dijalankan Bodhisattva yang sukses ini disebut Pelaksanaan Dharma dengan metode Samatha kemudian disusul dengan metode Samapatti, dan akhirnya dengan metode Dhyana.
•    Begitupula, ada Bodhisattva yang dalam melaksanakan Dharmanya, pertama-tama mereka menggunakan metode ketenangan batin, agar dirinya dapat mencapai puncak ketenangan. Kemudian dengan tenaga dari ketenangan itu menghilangkan Klesa-nya. Setelah dirinya terbebas dari penderitaan mati dan lahir, lalu dengan metode memperhatikan dan ketrampilan menjalankan tugas membantu para umat membebaskan diri dari penderitaan mati dan lahir menuju ke jalan Nirvana. Cara yang dijalankan Bodhisattva yang sukses ini disebut Pelaksanaan Dharma dengan metode Samatha, kemudian dengan Dhyana dan akhirnya dengan Samapatti.
•    Ada Bodhisattva yang melaksanakan Dharma-nya pertama-tama mempraktekkan metode ketenangan batin. Karena tekadnya bulat maka mereka dapat mencapai puncak dari ketenangan tersebut. Kemudian, dengan sekuat tenaga mereka mengenyahkan segala Klesa dari Avidya yang menyelinap di dalam lahir-batinnya. Di samping itu, mereka juga menggunakan bermacam-macam metode yang sederhana untuk menyelamatkan para umat agar semuanya dapat terbebas dari Klesa buruk. Cara yang dipakai Bodhisattva yang sukses ini disebut Pelaksanaan Dharma dengan metode Samatha, kemudian dengan dua metode sekaligus, yaitu Samapatti dan Dhyana.
•    Ada juga Bodhisattva yang dalam melaksanakan Dharma-nya, pertama-tama mempergunakan 2 macam metode sekaligus, yaitu metode ketenangan batin dan metode memperhatikan gerak-gerik atau perubahan dari segala sesuatu. Selanjutnya mereka menciptakan berbagai ketrampilan untuk menolong para umat mempraktekkan Dharma Terakhir, mereka baru membebaskan dirinya sendiri dari segala belenggu dan mati lahir. Sistim yang digunakan Bodhisattva yang sukses ini disebut Pelaksanaan Dharma dengan memakai 2 macam metode sekaligus, yaitu Samatha dan Samapatti, kemudian disusul dengan metode Dhyana.
•    Ada pula Bodhisattva yang dalam melaksanakan Dharma-nya, pertama-tama mempergunakan 2 macam metode, yakni ketenangan batin dan memperhatikan dengan benar tanpa memihak. Karena dalam meditasi puncak dari ketenangan telah mencapai, maka mereka terus melakukan penaklukkan terhadap segala Klesa-nya yang berasal dari Avidya itu hingga tuntas, sampai dirinya mencapai Nirvana. Setelah itu barulah mereka memperjuangkan dirinya dengan menggunakan metode meditasi. Mereka menuruti situasi alam fantasi guna menciptakan berupa-rupa ketrampilan khusus untuk menyelamatkan para umat, agar umat itu dapat dilahirkan di alam Buddha. Pengamalan Bodhisattva yang sukses ini disebut Pelaksanaan Dharma dengan metode Samatha dan Dhyana, yang disusul dengan metode Samapatti.
•    Bodhisattva dalam melaksanakan Dharma-nya, ada pula yang pertama-tama menggunakan metode perhatian untuk meneliti corak kekhayalan dari segala sesuatu sampai pengetahuan dan pengalamannya cukup luas atau cukup banyak. Kemudian dengan pengalaman tersebut menciptakan berupa-rupa metode sederhana yang sesuai dengan kemampuan para umat untuk menyelamatkan mereka. Setelah tugas mulia ini berhasil barulah mereka mempergunakan metode ketenangan batin untuk mengheningkan lahir-jiwanya hingga dirinya mencapai jati-diri Paripurnabuddhi. Cara yang dilakukan Bodhisattva yang sukses ini disebut Pelaksanaan Dharma dengan metode Samapatti kemudian disusul dengan metode Samatha.
•    Ada pula Bodhisattva yang dalam melaksanakan Dharma-nya, pertama-tama memanfaatkan pengalamannya menciptakan berupa-rupa alam dan bermacam-macam metode sederhana khusus untuk para umat dalam mempraktekkan Dharma-nya. Setelah tugasnya berhasil, mereka tetap konsisten menggunakan metode samadhi hingga dirinya mencapai tingkat Nirvana. Jalan yang ditempuh Bodhisattva yang sukses ini disebut Pelaksanaan Dharma dengan metode Samapati yang disusul dengan metode Dhyana.
•    Ada Bodhisattva yang dalam melaksanakan Dharma-nya, pertama-tama menggunakan cara memperhatikan gerak-gerik dan perubahan dari segala sesuatu. Kemudian dengan berupa-rupa ketrampilan yang diciptakan dari tenaga gaibnya, mereka menjalankan tugas. Namun, jati-dirinya dan lahir-jiwanya masih tetap seperti semula. Untuk itu, mereka melakukan lagi samadhi secara intensif hingga segala Klesa-nya bersih tuntas. Sistim yang dianut Bodhisattva yang sukses ini disebut Pelaksanaan Dharma dengan metode Samapatti, kemudian dilanjutkan dengan metode Samatha, dan akhirnya dengan metode Dhyana.
•    Ada juga Bodhisattva saat melaksanakan Dharma-nya pertama-tama mempergunakan cara memperhatikan segala sesuatu yang identitasnya cepat berubah. Kemudian dengan tenaga gaibnya menyingkirkan segala halangan guna membimbing para umat menuntut Dharma Buddha. Disamping itu, mereka tetap mempraktekkan samadhi secara intensif guna menghilangkan Klesanya hingga tuntas. Setelah itu barulah mereka menggunakan metode ketenangan batin, agar dirinya selalu berada di alam hening .Pengamalan Dharma yang dijalankan Bodhisattva yang sukses ini disebut Pelaksanaan Dharma dengan metode Samapatti, disusul dengan metode Dhyana, dan terakhir menggunakan metode Samatha.
•    Demikian pula, ada Bodhisattva yang dalam melaksanakan Dharma-nya, pertama-tama menggunakan kepandaiannya dalam meditasi guna menciptakan berupa-rupa metode yang sederhana, yang sesuai dengan kemampuan para umat untuk menaklukkan Klesa-nya. Setelah tugas mereka berhasil, kemudian mereka menggunakan metode ketenangan batin untuk menenangkan lahir jiwanya. Di samping itu, mereka tetap melaksanakan samadhi secara intensif untuk membersihkan segala Klesa-nya. Cara yang dilakukan Bodhisattva yang sukses ini disebut Pelaksanaan Dharma dengan metode Samapatti, kemudian menggunakan 2 metode sekaligus, yakni Samatha dan Dhyana.
•    Ada Bodhisattva yang saat melaksanakan Dharma-nya, pertama-tama mempergunakan 2 macam metode sekaligus, yaitu metode ketrampilan gaib yang berguna untuk membantu para umat melepaskan belenggunya, dan metode ketenangan batin untuk menenangkan lahir-jiwanya agar pikirannya selalu hening dan sadar. Setelah kedua macam metode itu berjalan lancar, barulah mereka menjalankan samadhi secara intensif untuk menghancurkan segala penderitaan yang bersangkutan dengan kematian dan kelahiran, hingga dirinya dapat memperoleh Ketenangan Agung. Cara yang dimanfaatkan oleh Bodhisattva yang sukses ini disebut Pelaksanaan Dharma yang dimulai dengan 2 macam metode sekaligus, yakni Samapatti danSamatha, kemudian disusul dengan metode Dhyana.
•    Ada juga Bodhisattva yang dalam melaksanakan Dharma-nya, pertama-tama mempergunakan 2 macam metode, yaitu metode menciptakan berupa-rupa ketrampilan yang sesuai dengan kemarnpuan para umat, untuk membantu umat terbebas dari penderitaan sengsaranya, dan metode Samadhi Intensif untuk melatih diri sendiri agar segala Klesa dapat sirna secara tuntas. Setelah kedua metode itu berhasil, akhirnya mereka mempergunakan metode ketenangan batin agar dirinya selalu berada di suatu alam yang amat tenang dan tenteram. Sistem yang dipakai Bodhisattva yang sukses ini disebut Pelaksanaan Dharma dengan Samapatti dan Dhyana sekaligus, kemudian dengan metode Samatha.
•    Ada pula Bodhisattva yang mempraktekkan Dharma-nya dengan Samadhi secara intensif guna melatih dirinya mencapai tingkat Nirvana, namun mereka tidak ingin tetap berada di tingkat tersebut. Mereka ingin berada di suatu alam yang tidak memiliki corak apapun. Cara yang ditempuh Bodhisattva yang sukses ini disebut Pelaksanaan Dharma dengan metode Dhyana, kemudian dengan metode Samatha.
•    Ada Bodhisattva yang saat mempraktekkan Dharma-nya pertama tama melatih dirinya dengan metode Samadhi Intensif. Setelah membuktikan dirinya telah mencapai tingkat Nirvana, lalu mereka menggunakan tenaga gaibnya untuk memperhatikan corak gerak-gerik dari segala sesuatu. Kemudian mereka menciptakan suatu metode yang bermanfaat bagi para umat untuk membebaskan belenggunya. Langkah yang diambil Bodhisattva yang sukses ini disebut Pelaksanaan Dharma dengan metode Dhyana, kemudian disusul dengan metode Samapatti.
•    Ada juga Bodhisattva yang saat melaksanakan Dharma-nya pertama-tama dengan samadhi secara intensif untuk memuncakkan dirinya ke tingkat Nirvana. Kemudian dilanjutkan dengan metode ketenangan batin. Dalam kondisi tenang itu mereka dapat mengetahui bahwa para umat memang asalnya sudah memiliki jati-diri dari Paripurnabuddhi, walaupun sikap jati-diri dari masing-masing berlainan. Setelah hal ini diresapi oleh mereka, lalu dengan metode memperhatikan menciptakan berupa-rupa ketrampilan, kemudian menerjunkan dirinya kelautan sengsara untuk menyelamatkan para umat sengsara. Cara seperti yang dilakukan Bodhisattva yang sukses ini disebut Pelaksanaan Dharma dengan menggunakan metode Dhyana, kemudian Samatha, dan akhirnya Samapatti.
•    Ada Bodhisattva yang pertama-tama menggunakan metode Samadhi Intensif untuk membuktikan dirinya telah mencapai tingkat Nirvana. Kemudian dengan hasil dari keintensifannya menitik beratkan pada corak perubahan dari segala sesuatu, lalu mereka menggunakan tenaga gaib untuk mengembangkan berupa rupa metode yang sederhana untuk menolong para umat. Setelah tugas mulianya berjalan lancar dan sukses, diteruskan dengan metode ketenangan batin untuk mengheningkan lahir-batinnya. Cara yang ditempuh Bodhisattva yang sukses ini disebut Pelaksanaan Dharma dengan metode Dhyana, kemudianSamapatti dan akhirnya dengan Samatha.
•    Ada Bodhisattva yang memulai Dharma-nya dengan metode Samadhi Intensif untuk membuktikan dirinya telah terbebas dari segala Klesa. Kemudian dilanjutkan dengan 2 macam metode sekaligus, yakni metode menenangkan pikiran hingga mencapai keheningan, dan metode mawas diri agar tidak terikat oleh suatu apapun. Sesudah berhasil, mereka melanjutkannya dengan metode memperhatikan corak dari segala sesuatu yang bersifat khayal, lalu dengan tekad bulat menjalankan tugas yang mulia hingga sukses. Cara yang dipraktekkan oleh Bodhisattva yang sukses ini disebut Pelaksanaan Dharma dengan metode Dhyana, kemudian dengan 2 macam metode sekaligus, yakni Samatha dan Samapatti.
•    Ada juga Bodhisattva yang memulai Dharma-nya dengan 2 metode sekaligus yaitu metode Samadhi Intensif untuk menaklukkan Klesa-nya, dan metode ketenangan batin agar dirinya tetap berada di suatu alam yang sunyi dan tenang, hingga pikirannya merasa demikian hening dan penuh keinsafan. Setelah kedua metode itu terlaksana, barulah mereka menggunakan metode memperhatikan untuk meneliti gerak-gerik dari segala sesuatu. Lalu dengan tenaga gaibnya diciptakan berupa-rupa metode untuk menjalankan tugas mulia di dunia sengsara. Jalan yang ditempuh Bodhisattva yang sukses ini disebut Pelaksanaan Dharma dengan metode Dhyana dan Samatha sekaligus, kemudian disusul dengan metode Samapatti.
•    Ada pula Bodhisattva yang memulai Dharma-nya dengan 2 macam metode, yaitu Samadhi Intensif untuk menghilangkan Klesa-nya, lalu dengan ke-intensifan-nya dijadikan tenaga gaib guna menciptakan berbagai metode yang sederhana untuk membantu para umat melepaskan belenggunya. Setelah tugas itu berhasil, diteruskan dengan metode ketenangan batin untuk memperoleh suatu kebijaksanaan yang sangat terang dan suci. Dharma yang dijalankan Bodhisattva yang sukses ini disebut Pelaksanaan Dharma dengan metode Dhyana dan Samapatti sekaligus, kemudian diteruskan dengan metode Samatha.
•    Ada Bodhisattva yang sejak semula telah paham tentang jati-diri dari Paripurnabuddhi. Mereka dengan penuh kebijakan dan kesadaran sempurna meleburkan diri dengan ketiga macam metode untuk melaksanakan Dharma-nya. Karena ketiga metode itu sifat maupun manfaat atau jati-dirinya cukup sempurna, maka kesemuanya tidak akan terpisahkan dari kebijaksanaan dari jati diri Paripurnabuddhi. Dengan ketiga macam metode sekaligus melaksanakan Dharma, akan lebih cepat mencapai ke-Buddha-an. Adapun cara yang dipraktekkan oleh Bodhisattva yang sukses ini disebut Pelaksanaan Dharma dengan metode Samatha, Samapatti, dan Dhyana sekaligus.”

“O, Putra yang berbudi ! Inilah yang disebut 25 macam roda Bodhisattva. Semua Bodhisattva memanfaatkan metode ini hingga Dharma-nya sukses. Namun, kamu harus mengetahui bahwa apabila para Bodhisattva dan para umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir hendak mempergunakan metode-metode tersebut, harus melakukan beberapa hal sebagai berikut:
•    Hidup suci atau melakukan Brahmacarya selama 21 hari
•    Memanunggalkan pikiran serta penuh kepercayaan terhadap metodenya
•    Berdoa dan bertobat dengan hati yang jujur

Setelah genap 21 hari, buatlah 25 buah tanda. Setiap tanda ditulisi nomor 1 sampai 25, yang berarti satu nomor menunjukkan satu roda Bodhisattva. Kemudian dengan sikap khidmat berdoa. Maksudnya untuk mengetahui roda mana yang sesuai dengan si Pemuja agar pelaksanaan Dharma-nya cepat memperoleh sukses. Setelah berdoa, tanda tanda itu dikocok, lalu ambillah satu diantaranya. Dengan demikian, si pemuja akan tahu, harus dengan cara apa melaksanakan Dharma-nya, cara kilat ataukah secara bertahap. Janganlah kalian menyangsikan cara pengundian ini, karena kesangsian anda akan mempersulit anda memperoleh hasil yang memuaskan.”

Kemudian Hyang Buddha mengulangi makna Dharma yang dikhotbahkan-Nya tadi dengan beberapa bait Gatha seperti berikut:
“O, Bodhisattva Pratibhanaghosa ! Anda harus tahu,
Para Bodhisattva sukses yang berada di 10 penjuru dunia,
Tentang kebijaksanaan luhur nan suci yang dimiliki mereka,
Semua diperoleh dari pelaksanaan meditasi yang benar.
Caranya adalah mempergunakan metode Samatha,
Atau dengan metode Samapatti, Dhyana atau ketiga-tiganya sekaligus.
Namun, ketiga metode itu ada yang bersifat bertahap dan ada yang kilat ,
Jika dibagikan ada 25 roda jurus Bodhisattva.
Ketahuilah, para Tathagata yang berada di sepuluh penjuru,
Dan Buddha-Buddha dari tiga masa,
Pelaksanaan Dharma-Nya semua berpedoman pada metode ini,
Telah terbukti semuanya mencapai Samyaksambodhi.
Terkecuali bagi yang kesadarannya luar biasa yang mampu
Melaksanakannya secara kilat,
Pelajar yang lain harus mempergunakan metode roda.
O, Para Bodhisattva yang cinta Dharma,
Dan para umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir,
Pelaksanaanmu harus dengan metode roda.
Pilihlah tanda yang sesuai, dan harus mempunyai motivasi,
Berlindung kepada Sang Maha Karunika,
Pastilah dirimu akan mencapai Nirvana!”

Selanjutnya, Bodhisattva Vimalasarvakarmavarana juga bangkit dari tempatduduknya. Beliau dengan sikap sangat khitmad bersujud di depan kaki Buddha, lalu mengelilingi tempat duduk Buddha dari kanan ke kiri sebanyak 3 kali. Kemudian beliau ber-anjali sambil berkata:
“O, Tathagata yang Maha Karunika ! Demi kami semua Buddha telah dengan lugas dan jelas mewejangkan bermacam-macam metode yang intinya demikian luhur. Lagipula, asal-usul Hyang Tathagata saat melaksanakan Dharma pada zaman dahulu kala, itu pun diuraikan kepada kami dengan jelas. Sungguh, hal-hal tersebut belum pernah kami dengar sebelumnya. Kini, setelah dijelaskan kepada kami semua, ternyata keadaannya tidak berbeda ketika kami dengan mata kepala sendiri menyaksikan Hyang Buddha sejak zaman dulu selalu berada di berbagai alam yang menderita. Demi Dharma dan demi para umat, Tathagata berjuang terus-menerus dalam waktu yang sulit dihitung, bagaikan pasir di Sungai Gangga ! Namun bagi kami, kenyataan ini seperti hanya satu kali merenung tapi memberikan kesan demikian nyata dan mendalam. ”

“O, Tathagata ! Khotbah Tathagata sangat bermanfaat bagi para Bodhisattva dan kami semua. Betapa bahagia dan gembiranya hati kami ! Akan tetapi, kami masih merasa ada beberapa hal yang belum begitu paham, maka kami memohon Hyang Buddha sudi menjelaskannya!”

“O,Tathagata ! Kalau jati-diri dari Paripurnabuddhi yang dimiliki para umat itu berdasarkan mutunya suci bersih, mengapa masih bisa dicemari oleh ‘debu’ hingga mereka tetap berada di jalan sesat tanpa kesadaran ? Mengapa mereka enggan menerima Saddharma untuk membebaskan dirinya ? Tolonglah jelaskan hal-hal tersebut kepada kami agar hadirin dan para umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir dapat memperoleh sepasang mata yang terang, dan tidak akan terkungkung dalam kegelapan lagi!”

Setelah memohon, Sang Bodhisattva Vimalasarvakarmavarana lantas bernamaskara di depan kaki Hyang Buddha sebanyak 3 kali dengan sikap khidmat. Hyang Tathagata bersabda kepada Bodhisattva Vimalasarvakarmavarana:
“Sadhu ! Sadhu ! Sadhu ! O, Putra yang berbudi ! Permohonanmu sangat bermanfaat bagi hadirin dan para umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir. Dengarlah baik-baik, sekarang Aku akan menjawab keraguanmu! ”

Saat Bodhisattva Vimalasarvakaravarana mendengar permohonannya dikabulkan Hyang Buddha, hatinya sangat gembira. Lalu beliau bersama-sama pengikutnya dengan sikap khidmat menantikan khotbah Hyang Buddha.
Hyang Buddha bersabda :
“O, Putra yang berbudi ! Ketahuilah, sejak dulu para umat yang berada di dunia manusia ini selalu berpandangan keliru. Mereka selalu cenderung pada ke empat corak, yakni corak ke-Aku-an, corak orang, corak makhluk, dan corak usia panjang. Semua itu menjadi kesan di dalam pikirannya, sulitdihapuskan. Bahkan mereka bersikeras menganggap corak-corak yang bersifat khayal itu adalah benar, kekal tanpa berkesudahan. Mereka tetap ingin memilikinya. Karena mereka teguh mempertahankan ke empat corak tadi, maka di dalam hatinya timbul 2 sifat, yakni cinta dan benci. Padahal corak ke-Aku-an dan lahir-batin mereka adalah penciptaan yang bersifat khayal, apalagi cinta dan benci. Itu berasal dari corak ke-Aku-an dan corak lainnya ! Itu berarti mereka dengan ‘aku’ yang khayal memegang teguh emosi cinta dan benci yang bersifat khayal pula. Karena terlalu memegang teguh kedua emosi yang khayal itu, maka mereka terus melakukan berbagai perbuatan yang buruk. Oleh karena mereka memiliki banyak karma buruk, dengan sendirinya hukuman yang disediakan buat mereka juga banyak. Inilah yang disebut umat awam yang kebijaksanaanya terbatas. Dan, karena penglihatan yang keliru, maka mereka selalu terikat roda Samsara. Keenam alampun, yakni Dewa, Manusia, Asura, Neraka, Binatang, dan Setan Lapar, semuanya ikut roda putaran. Identitasnya berubah-ubah sesuai karma yang diamalkannya. Demikian pula para Sravaka dan para Praiyekabuddha yang disebut dua jenis Arya itu. Mereka juga berpandangan cenderung ke alam Nirvana yang tanpa lahir maupun musnah, karena mereka tidak suka pada roda Samsara. Namun mereka tidak berbeda dengan umat awam, tetap ada kesan di dalam pikirannya ! Karena itu sulit bagi mereka untuk mencapai jati-diri dari Paripurnabuddhi sebab Paripurnabuddhi tidak bisa menolak sesuatu. Umat yang sukses pun tidak dibantu oleh Paripurnabuddhi karena ia juga tidak bisa membantu sesuatu. Pada pokoknya, setiap pribadi harus bersandar pada kesadarannya sendiri. Tidak memegang teguh kesan yang khayal dan berani menghancurkan Avidyanya. Apabila pikiran kotor masih aktif dan setiap hari masih melakukan perbuatan jahat, mana mungkin mencapai puncak kebijaksanaan hingga tingkat tertinggi ! Kalau kedua jenis Arya itu pikirannya hanya tercurah pada pahala Nirvana, keadaan mereka juga tidak berbeda dengan umat awam sehingga sulit mencapai puncak kebijaksanaan yang paling luhur! ”

“Mengapa ? Sebab, sejak dulu umat telah dikuasai oleh Avidya. Mereka setiap hari dengan pikiran sesat mengejar hal-hal yang bersifat jahat, sehingga lambat-laun jati-diri dari Paripurnabuddhi pun menjadi pudar dan akhirnya menghilang. Lebih-lebih lagi, para umat yang belum mempunyai mata-bijak akan sulit memahami bahwa ke-aku-annya terwujud oleh Avidya. Akibatnya mereka tetap bersikeras memegang teguh ke-Aku-an dan corak-corak lainnya. Seperti seorang yang menyayangi dirinya sendiri, tentu saja ia enggan melakukan bunuh diri. Maka jelaslah apabila seseorang telah dikuasai oleh Avidya, pastilah akan mencintai atau menyayangi siapa saja yang bisa menyenangkan hatinya. Sebaliknya, siapa yang menentang mereka, pasti akan menimbulkan emosi kebencian atau dendam. Kedua macam emosi itu berasal dari Avidya. Jika seseorang tetap memelihara kedua emosi tersebut, Berarti dia memupuk dan menyuburkan Avidya-nya sendiri sehingga makin lama makin menyesatkan dirinya. Apabila para umat tetap berada dalam kondisi demikian, pastilah sulit memperoleh ke-Bodhi-an.”

“O, Putra yang berbudi ! Apakah yang disebut Corak ‘Aku’ itu ? Ia adalah suatu kesan yang telah dialami dan disaksikan oleh para umat. ”

“O , Putra yang berbudi ! Umpamanya ada seseorang yang segar-bugar yang selama ini tidak pernah diganggu oleh derita apapun. Setiap hari ia menikmati kebahagiaan tanpa mempedulikan hal-hal lain, termasuk anggota badannya. Oleh sebab lalai mengurus badannya, suatu saat ke empat anggota tubuhnya menderita penyakit reumatik sehingga amat sulit bergerak. Terpaksalah ia harus menjalani pengobatan dengan injeksi maupun oral (melalu imulut), bahkan ditambah dengan akupunktur dan moxibusion. Karena merasa sakit, barulah ia sadar bahwa ia memiliki sesosok badan. Setelah mengalami semua penderitaan itu, terasakanlah ke-aku-annya. ”

“O, Putra yang berbudi ! Ketahuilah, ada seorang suci yang telah membuktikan dirinya mencapai ke-Bodhi-an atau merasa dirinya benar-benar berada di Nirvana yang sangat tenang dan suci. Apa yang telah dirasakan dan dibuktikan oleh orang suci tersebut disebut ‘Corak Aku’.”

“O ,Putra yang berbudi ! Apakah yang disebut ‘Corak Orang’? Apabila seorang suci telah memahami bahwa apa yang dimengerti dan dibuktikan adalah hasil kerja sang Hati dan itu adalah Corak Aku. O, Putra yang berbudi ! Karena ia telah membuktikan Corak Aku itu adalah hasil keinginan Hati, maka ia sama-sekali tidak menaruh kesan ‘Aku’ itu di dalam pikirannya, karena dalam pandangannya ‘Aku’ sebenarnya bersifat khayal. Namun, orang suci tersebut masih memiliki hati tanggapan, artinya dia masih memegang teguh tanggapannya kelakuan seperti itu disebut Corak ‘Orang’. ”

“O, Putra yang berbudi ! Setelah memahami bahwa ‘Aku’ yang dibuktikan itu bukan aku yang benar, dan ketrampilan untuk membuktikan ‘Aku’ itu juga bukan ketrampilan yang benar karena kedua-duanya bersifat kosong (Sunya) tanpa inti, maka tidak perlu menaruh kesan padanya ! Jika dia masih memegang teguh pengalaman ‘Mengerti’, maka kebijaksanaan yang diperoleh dari hasil ‘Mengerti’ itu juga disebut Corak ‘Orang’. ”

“O, Putra yang berbudi ! Apakah yang disebut Corak ‘Makhluk’ ? Hal itu bisa diumpamakan seorang suci saat melaksanakan Dharma-nya telah memahami bahwa apa yang dibuktikan adalah Corak Aku dan apa yang dimengerti adalah Corak Orang. Karena kedua-duanya bersifat kosong tanpa inti, maka ia menganggap dirinya telah tiada Corak Aku dan Orang, atau benar-benar sudah menjadi seorang suci. Namun karena dia masih belum sanggup melepaskan kesan tentang ‘Menganggap Dirinya’, maka pikirannya itu termasuk Corak ‘Makhluk’.”

“O, Putra yang berbudi ! Andai kata ada seseorang yang berkata demikian ‘Siapa yang masih memegang Corak Aku, dia adalah makhluk!’ Menurut artinya, makhluk tersebut tidak hanya meliputi dia sendiri, tetapi juga meliputi orang lain. Mengapa ? Sebab, dia menyebut dirinya sendiri adalah makhluk, maka pastilah dia masih memiliki Corak Aku. Mengapa orang lain juga mempunyai Corak Makhluk ? Sebab, dia menganggap bila dirinya masih mempunyai ‘Aku’, pastilah dirinya adalah makhluk. Sama artinya, barang siapa yang pandai membedakan dirinya dengan orang lain, dia pasti mempunyai ‘Aku’. ”

“O, Putra yang berbudi ! Para umat mempunyai kesan merasakan atau membuktikan dirinya telah memperoleh sesuatu pahala. Nah, kesan ini adalah Corak Aku atau Corak Orang, walaupun mereka enggan menaruh kesan tersebut di dalam pikirannya. Namun karena merekam asih menyimpan daya pengertian terhadap kesan di lubuk hatinya, maka inipun disebut Corak ‘Makhluk’.”

“O, Putra yang berbudi ! Apakah yang disebut Corak ‘Usia’ ? Umpamakan saja, para umat saat melaksanakan Dharma-nya telah paham betul bahwa membuktikan diri telah mencapai kecerahan adalah Corak Aku, menganggap diri telah sadar adalah Corak Orang, dan mengerti dirinya tidak lagi memiliki corak apapun adalah Corak Makhluk. Namun karena mereka memiliki daya ‘Paham’ terhadap corak-corak tersebut, maka pemahaman itu disebut corak ‘Usia’. Karena perasaan dan daya paham itu amat sulit dibedakan, seperti usia yang dimiliki makhluk hidup tidak bisa dipisahkan dari soal nyawa. Itu pulalah disebut Corak ‘Usia’. ”

“O, Putra yang berbudi ! Apabila seorang suci masih memiliki daya pengertian yang dapat mengetahui ketiga macam corak, atau mampu menyimak ketiga macam corak yang bersifat tidak benar, maka daya pengertian dan daya menyimak yang dimilikinya sama-sama bersifat tidak benar, bahkan ia merupakan suatu halangan atau ‘debu’ . Karena itu, kedua macam daya itu harus dihilangkan agar di dalam lubuk hati tiada lagi halangan apapun, bersih total. Bila diumpamakan es yang disiram dengan air mendidih, maka es itu akan mencair. Es-es lain yang berada di dekatnya juga akan ikut mencair. Begitu pula, bila Corak Aku telah dienyahkan, corak yang lainpun akan ikut lenyap.”

“O, Putra yang berbudi ! Para umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir masih banyak yang belum memahami keempat macam yang pada dasarnya bersifat khayal itu, malahan banyak yang menganggap hal itu nyata. Oleh karena itu, walaupun mereka rajin dan telah membuang banyak waktu untuk menuntut Dharma-nya, tapi kualitas Dharma-nya tidak meningkat, masih tetap bermutu duniawi yang meliputi sifat perubahan serta lahir dan musnah. Dharma-nya itu dinamakan Samskrta Dharma (Pali:Sankhata Dhamma) karena sulit memperoleh pahala mulia dan luhur. Maka dari itu, keadaan mereka sering disebut ‘Berada dimasa Periode Saddharma tapi hasilnya persis di Periode Dharma Terakhir’, artinya biarpun sang umat saat ini sedang belajar pada Hyang Buddha, tapi hasilnya tidak berbeda dengan para umat yang belajar di masa terakhir. Sebabnya, karena mereka masih memegang teguh keempat corak sehingga pahala yang di perolehnya sangat kecil. ”

“Mengapa bisa demikian ? Karena mereka hanya tahu bahwa dirinya memiliki ‘Aku’. Yang dapat mencapai Nirvana juga ‘Aku’. Identitasku telah terbukti, dan benar. Pokoknya ada bukti dan sang Hati dapat mengungkapkan segala sesuatu yang dipandangnya tidak keliru. Hal-hal semacam itu dianggapnya telah mencapai sukses atau telah mencapai kebijaksanaan. Namun, apabila corak-corak itu tidak dilenyapkan, mana mungkin mencapai kebijaksanaan yang berjati-diri Paripurnabuddhi!”

“Seumpamanya ada seorang yang kaya mengambil seorang pencuri untuk dijadikan anak sendiri. Harta-harta di dalam rumahnya dijarah oleh si anak yang pencuri itu sampai habis, tapi si kaya masih belum sadar. Itu sama artinya, seorang penuntut Dharma dengan ketujuh Vijnana (Vinnana) menjadi ‘Aku’ tanpa menyadari bahwa itu bersifat kekhayalan, malah menganggap ‘Aku’ telah mencapai Nirvana. Itulah sebabnya, mereka sulit mendapatkan pahala agung.”

“Mengapa bisa demikian ? Karena bila para umat masih memiliki Corak Aku yang tidak benar, maka akan timbul dua macam emosi, yakni cinta atau keserakahan dan benci atau dendam yang dikuasai oleh sang Hati. Mereka akan menggunakan hati kecintaan terhadap Nirvana yang diperoleh dari ‘Aku’ itu, sementara hati khayal disembunyikan dulu agar dirinya dapat menikmati situasinya dan menjadikannya suatu corak, yakni ‘Corak Nirvana’. Apabila situasinya berubah maka akan timbul hati kebencian berupa lahir dan mati yang akan mengancam ‘Aku’-nya, padahal hati kebencian adalah sebab-musabab dari lahir dan mati. Maka, jika berani menghilangkan kecintaan ‘Aku’, hati kebencian pun akan lenyap. Apabila mereka masih bertekad membela sang Hati, pasti Klesa-nya sulit dibebaskan hingga tuntas.”

“Mengapa bisa mengetahui Klesa-nya sulit dibebaskan hingga tuntas?
O, Putra yang berbudi ! Apabila para umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir masih bertekad menuntut Dharma dan ingin memperoleh ke-Bodhi-an, maka mereka harus sadar terhadap Dharma. Tapi banyak diantara mereka menganggap dirinya telah bebas total, tidak ada Klesa lagi atau pikirannya telah suci bersih. Padahal Corak Aku-nya belum dihilangkan. Kalau ada orang memuji metode yang digunakannya itu bermanfaat, bukan main senang hatinya. Lalu timbul niat menjadi guru untuk mengkhotbahkan metodenya kepada orang yang memujinya. Sebaliknya, kalau ada orang yang mencemooh metodenya dengan mengatakan bahwa pelaksanaan Dharma-nya masih keliru, maka hatinya menjadi gundah dan sedih, lantas timbul emosi kemarahan dan kebencian. Dari itu jelaslah bahwa umat tersebut masih memegang teguh pada Corak Aku-nya. Untuk sementara, Corak Akunya masih tersembunyi di lubuk Vijnana Alaya-nya sehingga sulit diketahui oleh umat itu sendiri, tapi sewaktu-waktu Corak Aku itu bisa aktif kembali dan menggoda indera lain tanpa henti.”

“O, Putra yang berbudi ! Oleh karena itu, apabila si Penuntut Dharma enggan menghilangkan Corak Aku-nya, maka akan sangat sulit bagi mereka untuk mencapai jati-diri Paripurnabuddhi yang suci nan agung! ”

“O, Putra yang berbudi ! Hendaknya sang umat betul-betul memahami bahwa ‘Aku’ ini sebenarnya berasal dari Empat Maha Unsur (Catur Dhatu) dan Lima Kelompok Hidup (Panca Skandha). Apabila unsur dan kelompok tersebut bersama-sama bubar maka ‘Aku’ juga ikut menghilang. Orang yang bermaksud memfitnah ‘Aku’ akan sia-sia. Umat yang hendak mengkhotbahkan Dharma kepada orang yang memujinya menunjukkan bahwa ‘Aku’-nya belum hilang. Ia masih menguasai umat tersebut dengan leluasa. Corak-corak lain seperti Corak Orang, Makhluk, dan Usia pun demikian juga. Namun, apabila Corak Aku itu telah ditaklukkan oleh si Pemilik, maka ketiga corak lain itu pasti ikut musnah. ”

“O, Putra yang berbudi ! Para umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir selalu berpandangan keliru, selalu dengan Corak Aku menganggap dirinya telah berada di Nirvana. Keliru yang diperbuatnya itu tidak berbeda dengan suatu penyakit akut. Apabila penyakit akut ini dianggap sebagai suatu metode penting atau Dharma suci, betapa bahaya akibatnya ! Karena itu, jangan sekali-kali menirunya. Umat yang mempraktekkannya akan berakibat penyakitnya bertambah akut, jadi mana mungkin mencapai jati-diri Paripurnabuddhi walaupun mereka telah berjuang seumur hidup!”

“O, Putra yang berbudi ! Jika para umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir sama sekali tidak tahu-menahu tentang keempat corak tersebut, hal itu bisa menghambat pelaksanaan Dharmanya. Lebih-lebih lagi bagi umat yang tidak mampu menangkap makna-makna yang diterangkan oleh Tathagata. Juga bagi umat yang enggan menuruti petunjuk-petunjuk para tokoh, atau yang enggan menjadikan metode sebagai pedoman dalam pengamalan Dharma-nya. Itulah sebabnya, banyak umat yang telah berjuang keras tetapi sulit mencapai kebijaksanaan dari Paripurnabuddhi ! Selain itu, ada umat yang bertindak laku lebih keliru. Sebenarnya kebijaksanaan luhur belum tercapai olehnya tapi mereka berani berkata kepada orang lain bahwa dia telah mencapai jati-diri dari Paripurnabuddhi. Lagi, sebenarnya Klesa-nya belum tertaklukkan tapi mereka berani membuktikan dirinya telah bersih. Karena ke-Aku-an yang masih melekat maka apabila ia melihat orang lain lebih berhasil daripada dirinya, di hatinya lantas timbul perasaan benci. Karena mereka belum bisa menghilangkan Corak Aku dan emosi yang masih dikuasai sang Hati, maka sulitlah bagi mereka untuk mengembangkan kebijaksanaan luhur yang berakibat sulit pula mencapai jati-diri Paripurnabuddhi!”

“O, Putra yang berbudi ! Jika para umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir pikirannya hanya tertuju pada pahala Bodhi, tidak ingin melatih dirinya untuk mencapai kesadaran, lebih lebih hanya ingin banyak mendengar khotbah atau banyak membaca kita buntuk memperkaya pengetahuan, maka kelakuan ini bisa menghambat kesadarannya, malah dapat menguatkan sang Hati cenderung pada keserakahan dan sulit menghilangkan corak ‘Aku’-nya. Seharusnya sikap yang benar adalah dengan membulatkan tekad mempraktekkan Dharma-nya hingga berhasil. Disamping itu, mereka harus dengan penuh semangat dan keberanian menaklukkan segala Klesa. Juga harus berani menerima kenyataan bila pahala belum diperoleh, dan harus berusaha memperolehnya. Demikian pula, bila Klesa-nya belum bersih, harus dengan keberanian membasminya hingga tuntas.”

“Apabila dirinya menghadapi situasi yang baik ataupun yang buruk, maka ia sama-sekali tidak boleh membiarkan hatinya dikuasai oleh sifat jelek, atau beberapa macam emosi seperti keserakahan, kemarahan, kecintaan, sikap sombong, melecehkan, kecurangan, iri hati, dan kebencian. Disamping itu, ia harus selalu dengan perasaan hampa menghadapi percintaan yang berhubungan akrab antara ‘Orang’ dan ‘Aku’. Buddha pernah mengatakan kepadakamu : ‘Bila umat dapat mencontoh sikap seperti tersebut di atas, maka pelaksanaan Dharma mereka akan semakin sempurna dari hari ke hari!’ Akan tetapi, prakteknya tidak boleh lalai. Mereka harus selalu meminta petunjuk dari para tokoh bijak atau sang Guru supaya dirinya tidak terjerumus ke jalan yang sesat, dan tidak berpandangan keliru lagi. Terhadap para tokoh bijak atau sang Guru, hendaknya jangan timbul perasaan sangsi atau ingin membedakan Beliau, yang mana yang patut dihormati dan mana yang akan ditolak. Jika para umat mempunyai sikap demikian, pastilah mereka akan sangat sulit mencapai jati-diri Paripurnabuddhi yang suci. ”

Hyang Buddha mengulangi makna yang dikhotbahkan-Nya tadi dengan mengucapkan beberapa bait Gatha sebagai berikut:
“O, Bodhisattva Vimalasarvakarmavarana, ketahuilah !
Semua umat yang berada di dunia,
Karena memegang teguh Corak Aku, emosi benci, dan cinta,
Membuat Karma sejak awal terikat Samsara.
Apalagi keempat corak enggan dienyahkan hingga tuntas,
Mana mungkin mereka mencapai kesadaran sempurna !
Ketahuilah, bila benci dan cinta masih menguasai sang Hati,
Sikap melecehkan dan kecurangan juga dimiliki,
Ia mengakibatkan lahir-batin umat demikian gelap dan sesat,
Pastilah sulit mencapai jati-diri Paripurnabuddhi !
Amalkanlah Saddharma Buddha, anda akan sadar,
Taklukkanlah serakah, kemarahan, dan kebodohan hingga bersih !
Dalam pikiran tiada bersemayam corak apapun,
Dari hari ke hari pelaksanaannya semakin sempurna.
Pikirkanlah ! Tubuh umat berasal dari kekhayalan,
Mengapa anda masih menciptakan emosi kecintaan dan kebencian ?
Kunjungilah para tokoh bijak atau para guru mulia,
Niscaya anda tidak akan berpandangan sesat.
Janganlah biarkan dirimu membeda-bedakan sikap orang,
Karena ia akan mempersulit anda mencapai Kesadaran Sempurna”

Kemudian, Bodhisattva Samantabodhi juga bangkit dari tempat duduknya di pasamuan itu. Lalu beliau bersujud dengan khidmat di depan kaki Hyang Buddha, mengelilingi Buddha sebanyak 3 kali, kemudian berlutut lagi. Dengan sikap anjali beliau memohon kepada Hyang Buddha : “O, Tathagata yang Maha Karunika ! Betapa jelasnya Buddha menerangkan tentang penyakit akut yang diderita para umat, yaitu soal ‘Corak’ itu ! Sungguh, hal tersebut sebelumnya belum pernah diketahui oleh hadirin. Kini mereka merasa hatinya demikian lapang dan terang, begitu tenang dan tenteram setelah mendengar khotbah Buddha!”

“O, Tathagata ! Keadaan para umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir memang sangat mengkhawatirkan ! Masa di mana mereka berada, makin lama makin jauh dari masa ketika Hyang Buddha masih berada di dunia ! Apalagi pada masa yang akan datang, sulit bagi mereka untuk menemukan tokoh-tokoh bijak atau guru yang baik. Pada saat itu tentu banyak ajaran sesat atau pandangan yang keliru bermunculan, membanjiri, dan menyusup kemana-mana. Untuk menangkal semua itu, bagaimana para Bodhisattva harus bertindak ?

Metode apa yang harus digunakan untuk membimbing mereka ke jalan yang benar ? Siapa yang pantas menjadi pemimpinnya ? Metode apa yang paling sesuai dengan kemampuan umat, yang dapat memacu mereka untuk lebih tekun mempelajari dan melaksanakan Dharma ? Jika mereka terlanjur terlibat kesalahan atau menderita penyakit akut dalam melaksanakan Dharma-nya, harus bagaimana membetulkannya atau menyembuhkannya ? Cara apa yang harus dilakukan para umat untuk membangkitkan Bodhicitta-nya ? Demikian pertanyaan kami sudi kiranya Hyang Tathagata memberikan pedoman sehingga bisa dimanfaatkan oleh mereka yang masih buta kebijaksanaan tapi ingin menuntut Saddharma agung!”

Setelah selesai mengajukan permohonannya kepada Hyang Tathagata, beliau bernamaskara 3 kali di depan Hyang Buddha dengan sikap khidmat.

Hyang Buddha bersabda kepada Bodhisattva Samantabodhi :
“Sadhu ! Sadhu ! Sadhu ! O, Putra yang berbudi !Anda memang bijak, demi para umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir, anda mengajukan permohonan kepada-Ku, dan minta suatu petunjuk untuk mereka agar dapat memperoleh sepasang mata bijak, dapat memanfaatkan pandangan yang benar untuk membebaskan Klesa-nya sehingga bisa mencapai ke-Bodhi-an di kemudian hari.

O, Putra yang berbudi ! Dengarkanlah baik-baik, sekarang Aku akan mengkhotbahkannya kepada kalian !”

Saat Bodhisattva Samantabodhi mendengar bahwa permohonannya dikabulkan oleh Hyang Buddha, hatinya sangat gembira. Beliau bersama-sama pengikutnya dengan sikap khidmat menantikan khotbah Hyang Buddha.

Sabda Hyang Buddha
“O, Putra yang berbudi ! Ketahuilah, apabila para umat yang akan berada dimasa Periode Dharma Terakhir bertekad membangkitkan Bodhicitta-nya atau mencurahkan perasaan maha welas-asihnya kepada umat yang sengsara, dan bertekad mengarahkan cita-citanya ke tingkat Mahayana, maka mereka harus berguru kepada para tokoh bijak yang benar-benar memiliki pandangan yang benar dan berpengertian yang benar. Untuk mendapatkan guru yang baik, mereka boleh mengamati kelakuan para tokoh bijak. Apakah tokoh bijak itu masih memiliki ‘kecorakan’ ? Apakah dia hanya bercita-cita mendapatkan pahala dewata, dan enggan menuju ke Jalan Agung?

Apakah dia hanya memerlukan suatu alam sunyi-senyap yang tanpa lahir musnah, dan apakah kondisinya seperti para Sravaka dan Pratyekabuddha ? Atau sebaliknya ? Atau sebaliknya, apakah tokoh bijak itu selama ini merelakan dirinya menjadi seorang awam demi menyelamatkan para makhluk sengsara ? Apakah dirinya selalu tenggelam dalam lautan sengsara hingga tercemar oleh 6 macam ‘debu’ namun masih tetap sehat dan bersih pikirannya ? Apakah ia pernah berniat mundur atau berubah pendirian ? Seorang guru yang baik ialah dia yang sama sekali tidak tercemar oleh 3 racun, yakni keserakahan, kebencian, dan kebodohan. Walaupun begitu, dia selalu dengan terang-terangan mengakui dirinya banyak berbuat kesalahan. Mereka tidak menutupi kesalahan diri sendiri, malah sebaliknya selalu memuji orang yang tidak berbuat kesalahan. Memuji para orang suci yang melakukan Sila dengan ketat agar orang lain mengeritik kesalahannya, dan tidak meniru kesalahan atau perbuatan jahat yang dilakukannya. Apabila seorang tokoh bijak mempunyai budi pekerti seperti ini, dia adalah seorang yang benar. Siapa yang berkesempatan berguru kepadanya pastilah tidak akan berpandangan sesat sehingga pengamalan Dharma-nya bisa berhasil, dan bisa membebaskan dirinya dari segala Klesa sampai akhirnya dapat mencapai Samyaksambodhi. ”

“Apabila para umat yang berada di masa Periode Dharma Terakhir mendapat kesempatan bertemu dengan orang bijak seperti tersebut di atas, maka mereka harus dengan sikap jujur, tidak sayang materi maupun jiwa, mengabdikan diri kepada orang tersebut. Ketahuilah, para tokoh bijak maupun guru agama sejati selalu berpenampilan dan berkelakuan tertib, beradab, dan sopan-santun. Dalam keadaan duduk atau berbaring, tinggal dirumah atau pun berada di luar rumah, tetap menjaga susila secara ketat. Namun, adakalanya mereka sengaja membuat beberapa kesalahan seperti yang sering dilakukan oleh para umat, agar orang lain dapat mengerti bahwa kesalahan-kesalahan itu adalah jahat dan jangan menirunya. Karena itu jangan anda salah paham, berprasangka buruk atau mencemoohkan. Ketahuilah, bagi orang yang benar-benar berniat menjadi guru sejati, janganlah anda mengkhawatirkan soal materi maupun jiwa sendiri. Berikanlah semua harta, anggota keluarga, karyawan, pelayan, dan segala sesuatu yang anda miliki demi menyelamatkan umat sengsara!”

“Dan, para Putra yang berbudi, bila kalian berprasangka buruk atau menaruh curiga terhadap para tokoh bijak, maka setelah kalian berguru padanya menuntut Dharma hingga ketingkat tertinggi, pastilah mereka akan mencapai ke-Buddha-an. Kebijaksanaan dari Paripurnabuddhi yang mereka peroleh akan memancarkan sinar gemerlapan yang memencar ke sepuluh penjuru alam Buddha!”

“O, Putra yang berbudi ! Ingatlah, para tokoh bijak atau guru-guru mulia yang dihormati oleh para umat itu, bukan hanya luarnya saja, tetapi dalamnya pun harus diketahui bagaimana keadaannya. Jika mereka benar-benar seorang Tokoh Bijak, pastilah segala Hukum Sunyata yang telah dibuktikannya tiada bercela itu, isinya juga tidak mengandung keempat macam ‘Cacat’ . Apakah keempat macam Cacat itu ? Keempatnya yaitu:
•    Perbuatan. Umpamanya, seseorang berkata demikian ‘Aku, demi mengembangkan kebijaksanaan dari Paripurnabuddhi, telah banyak melakukan perbuatan baik’. Ketahuilah, orang seperti ini hanya semata-mata mencenderungkan kepada perbuatan untuk mencapai maksudnya. Contoh di atas menunjukkan bahwa orang tersebut tidak beridentitas Tokoh Bijak, sebab jati-diri Paripurnabuddhi bukan datang dari ‘Perbuatan’, melainkan dari kesadaran. Inilah ‘Cacat’ yang pertama.
•    Membiarkan.Umpamanya, seseorang berkata demikian ‘Aku tidak berniat menaklukkan segala Klesa yang meliputi lahir dan mati, juga tidak ingin terburu-buru memperoleh Nirvana. Kedua hal itu tidak mampu mendorong cita-citaku, maka selama ini aku membiarkannya saja. Pokoknya aku akan melakukan apa yang aku anggap wajar, pasti jati-diri Paripurnabuddhi akan kumiliki’. Orang yang berkata demikian sesungguhnya sangat congkak. Seorang umat yang ingin memperoleh jati-diri Paripurnabuddhi yang suci dan agung, harus bertekad bulat melaksanakan Dharma dengan dibimbing oleh guru bijak sampai mencapai kesadaran sempurna. Jika dengan cara ‘Membiarkan’, mana mungkin bisa berhasil ? Inilah ‘Cacat’ yang kedua.
•    Berhenti. Umpamanya, seseorang berkata demikian ‘Sekarang aku bertekad menghentikan segala angan-angan di dalam pikiranku agar hatiku sama dengan suatu benda yang sunyi-senyap tanpa gerak. Dengan suasana ini aku akan memperoleh jati-diri Paripurnabuddhi’. Ketahuilah, orang yang berkata demikian bukanlah seorang Tokoh Bijak, sebab dia tidak menggunakan metode Samatha untuk menenangkan batinnya, melainkan memaksa dirinya sebagai suatu benda yang berhenti gerakannya. Cara seperti itu merupakan cacat dalam melaksanakan Dharma. Inilah sebabnya disebut ‘Cacat’ yang ketiga.
•    Memusnahkan. Umpamanya, seseorang berkata demikian ‘Sekarang aku bertekad memusnahkan segala Klesa-ku, bahkan lahir-batinku pun akan kuanggap kosong. Begitu pula ‘debu-debu’ dari indera dan Ayatana, kesemuanya akan kumusnahkan hingga tuntas. Setelah semuanya tidak berbekas lagi, barulah aku akan melaksanakan Dharma untuk memperoleh jati-diri Paripurnabuddhi’. Ketahuilah, kebijaksanaan Paripurnabuddhi mengandung jati-diri yang sangat suci, luhur, dan aktif tanpa musnah. Bagaimana mungkin dengan ‘Musnah’ dapat memperolehnya? Orang yang berpikiran seperti di atas hanya pandai bicara tapi jarang melaksanakan Dharma secara benar. Maka jelaslah bahwa orang tersebut bukan Tokoh Bijak. Dan inilah yang disebut ‘Cacat’ yang keempat.”

“Dengan demikian jelaslah sudah, para Tokoh Bijak dan umat hendaknya menyingkirkan keempat cacat tersebut, agar pelaksanaan Dharma-nya tetap suci murni dan benar. Cara ini dinamakan pandangan benar, sedangkan yang diluar cara ini dinamakan pandangan keliru.”

“O, Putra yang berbudi ! Bila para umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir berniat menuntut Dharma Luhur hingga ke tingkat Yang tertinggi, mereka harus bertekad bulat dan rela mengorbankan diri seumur hidup melayani para tokoh bijak atau mengabdikan diri pada guru sejati. Apabila para tokoh bijak atau guru dengan maksud baik datang ke tempat kita, maka kita harus menghormati mereka dengan hati tulus, ikhlas, dan jangan menampilkan sikap sombong. Apabila mereka tidak berkunjung ke tempat kita, janganlah timbul perasaan kesal atau benci. Hendaknya kalian beranggapan begini, dalam situasi apapun, menyenangkan atau pun mengecewakan, sifatnya adalah hampa, tiada beda dengan sifat ruang angkasa. Lahir atau batin yang dimiliki para umat bersifat sama-rata, semua memiliki kesadaran yang sempurna. Tidak ada perbedaan antara Bodhisattva dengan para umat awam, hanya saja Sang Bodhisattva lebih bertekad dan mampu membangkitkan perasaan maha welas-asih dalam menjalankan tugasnya. Bila dengan pandangan demikian dalam melaksanakan Dharma, pastilah anda dapat mencapai jati-diri dari Paripurnabuddhi !”

“O , Putra yang berbudi ! Banyak umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir sulit mencapai ke-Buddha-an atau memperoleh kebijaksanaan Paripurnabuddhi, karena sejak masa lampau mereka telah memupuk bibit yang bersifat emosional, yakni kebencian dan kecintaan. Mereka selalu menampilkan sikap buruk atau sikap serakah terhadap orang lain. Karena bibitnya makin lama makin subur maka Klesa dan penderitaan mereka sulit terbebaskan. ”

“Ketahuilah, jika anda bertekad menghilangkan bibit yang buruk itu, maka harus rnengubah pandangan, misalnya menganggap musuh sebagai orang tua kita. Dengan pandangan sama-rata memberi hormat kepadanya, bukan membenci atau menimbulkan sikap dendam terhadapnya. Berpikir matang-matang tanpa memiliki dua hati, niscaya bibit buruk itu bisa tertanggulangi hingga tuntas.”

“Demikian pula terhadap segala sesuatu, hendaknya kita berpandangan sama-rata dan bersikap penuh hormat. Dengan demikian, emosi buruk yang kita miliki maupun yang dimiliki orang lain dapat dituntaskan sehingga tiada lagi perselisihan diantara mereka.”

“O , Putra yang berbudi ! Jika para umat yang berada di masa Periode Dharma Terakhir itu dengan tekad bulat bercita-cita membuktikan dirinya dapat menjelajah ke dalam lautan kebijaksanaan Paripurnabuddhi, pertama-tama mereka harus mengadakan Pranidhana (berikrar agung). Ikrar tersebut harus diucapkan dengan jujur di depan Buddha. Sebagai berikut:

‘Namo Buddhaya, Bodhisattvaya-Mahasattvaya!
Dengan ini, saya (sebutkan nama) mengucapkan ikrar kesetiaan dihadapan-Mu!
Saya bercita-cita membantu segala makhluk yang berada di alam semesta, agar mereka dapat mencapai jati-diri Paripurnabuddhi sedini mungkin ! Walaupun makhluk-makhluk yang pernah saya selamatkan itu telah mencapai kesadaran sempurna, namun hal itu tidak akan meninggalkan kesan dalam pikiran saya. Akan kuusahakan jangan sampai segala macam ‘Corak ‘ bersemayam di dalam batinku. Sekian’.”

“Ketahuilah, bila mereka berikrar seperti diatas di depan Buddha atau rupang-nya, pastilah jalan mereka tidak akan sesat dan pandangan mereka juga tidak akan keliru!”

Demikianlah khotbah yang disampaikan Hyang Buddha.

Kemudian Hyang Tathagata mengulangi makna dari khotbah-Nya, Beliau mengucapkan beberapa bait Gatha sebagai berikut:
“O, Bodhisattva Samantaboddhi, anda harus tahu!
Bila para umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir ,
Bertekad berguru kepada para Tokoh Bijak,
Pilihlah yang berpandangan benar dan memiliki welas-asih,
Tapi, Sravaka dan Pratyekabuddha, kedua Yana ini jangan dipilih !
Pelaksanaan Dharma anda bisa membersihkan keempat Cacat,
Yaitu Perbuatan, Berhenti, Membiarkan, dan Memusnahkan.
Janganlah bersikap sombong terhadap kedatangan Tokoh Bijak,
Janganlah merasa kesal bila ia tidak berkunjung ke tempat kita !
Situasi kadang baik kadang buruk, tak bisa diduga,
Tapi anggaplah itu suatu kesempatan baik.
Layanilah mereka seperti memberi hormat kepada Hyang Buddha.
Bila tidak melanggar peraturan atau Samvara,
Sila anda tetap suci nan muila !
Selamatkanlah para umat sengsara dengan ikrar setia,
Agar mereka dapat mencapai kesadaran sempurna,
Tuntaskanlah segala corak, juga Corak Aku dan corak Orang,
Dengan kebijaksanaan yang benar mempraktekkan Dharma.
Anda dapat menyingkirkan segala ajaran sesat,
Membuktikan diri memperoleh pahala menuju ke Nirvana.”

Kemudian Bodhisattva Paripurnabodhi ikut bangkit dari tempat duduknya. Beliau dengan sikap sangat khidmat bersujud di depan kaki Hyang Buddha, lalu mengelilingi Buddha sebanyak 3 kali. Kemudian berlutut lagi dengan sikap anjali sambil memohon kepada Hyang Buddha

“O ,Tathagata yang Maha Karunika ! Hyang Tathagata telah memberikan kesempatan yang demikian luas dengan penjelasan yang terperinci dan terang. Mengandung banyak metode berharga yang kesemuanya sangat cocok untuk para umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir. Bila mereka rajin menyimak penjelasan itu dan mengamalkannya, pastilah dapat membuktikan dirinya mencapai kebijaksanaan Paripurnabuddhi yang maha suci dan agung. O, Tathagata ! Betapa bahagianya kami atas kesudian Hyang Tathagata mengkhotbahkan Sutra ini. Berkat Dharma Luhur ini kami masing-masing telah mencapai tingkat kesadaran tertentu. Namun, apabila Hyang Buddha telah Parinirvana, para umat yang berada di masa yang akan datang tidak bisa bertemu dengan Hyang Buddha, dan tidak dapat lagi mendengar khotbah Hyang Buddha. Tentulah akan sulit bagi mereka untuk mencapai puncak kesadaran seperti kami ! Untuk membantu mereka agar dapat menuntut Sutra Paripurnabuddhi ini, apakah para Bodhisattva harus menciptakan suatu sarana seperti pasamuan kita ini ? Bagaimana kalau membangun suatu tempat ibadah sebagai tempat mereka belajar Sutra ? Seperti yang Buddha khotbahkan tadi, dalam Sutra Paripurnabuddhi terdapat 3 macam metode penting, yakni Samatha, Samapatti, dan Dhyana. Yang mana yang harus dimulai terlebih dahulu ? Sudilah kiranya Sang Maha Karunika memberi petunjuk kepada mereka agar dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya! ”

Setelah ia mengajukan permohonan kepada Hyang Buddha, lantas Bodhisattva Paripurnabodhi namaskara di depan kaki Hyang Buddha dengan sikap sangat khidmat. Hal itu dilakukan sebanyak 3 kali. Hyang Tathagata bersabda kepada Bodhisattva Paripurnabodhi:
“Sadhu ! Sadhu ! Sadhu ! Baik sekali, O, Putra yang berbudi ! Anda memohon kepada-Ku untuk memberikan petunjuk lagi agar para umat dapat memanfaatkan Dharma-nya hingga berhasil. Baiklah, sekarang dengarkan baik-baik ! Aku akan mengkhotbahkannya kepada kamu sekalian! ”

Saat mendengar permohonannya dikabulkan Hyang Tathagata, hati Bodhisattva Paripurnabodhi sangat gembira. Lalu beliau bersama sama pengikutnya menantikan khotbah Hyang Buddha.

Hyang Buddha bersabda
“O, Putra yang berbudi ! Semua umat yang memiliki cita-cita luhur atau berakar Mahayana dan yang bertekad melaksanakan Dharma Luhur, tentu bisa mencapai kesadaran sempurna baik ketika Buddha masih hidup maupun sesudah Parinirvana. Bagi mereka yang sedang mengalami masa Periode Dharma Terakhir, pertama-tama harus dengan hati bulat dan teguh meyakini jati-diri dari Maha Paripurnabuddhi yang merupakan suatu rahasia Buddha yang penting. Kalau mereka hendak mempraktekkan Sutra, boleh saja menggunakan Vihara atau rumah ibadah, kemudian mengatur pengikutnya ditempat itu agar tenang dan tertib, mencukupi apa yang kurang, dan menjaga agar tidak ada gangguan baik di dalam maupun di luar. Kemudian selangkah demi selangkah melaksanakan Dharma menurut rencana yang telah ditentukan sampai perjalanannya lulus.”

“Apabila sang umat masih mempunyai banyak urusan yang harus dikerjakan, mereka boleh memilih suatu metode belajar yang tidak mengganggu pekerjaannya. Jika mempunyai banyak waktu, tenangkanlah pikiran dulu, lalu memperhatikan dan menganalisa sifat segala sesuatu seperti yang pernah diceritakan di dalam Sutra ini. Jika sang umat mempunyai kesempatan, dia boleh membangun suatu peribadahan khusus untuk latihan Dharma (Marulalavata). Kegiatan itu boleh dijadwalkan dengan waktu yang tertentu, yakni jadwal panjang selama 120 hari, jadwal sedang selama 100 hari, dan jadwal pendek selama 80 hari. Tempat peribadahan harus dijaga kebersihannya, suasananya pun harus selalu tenang dan tenteram, tanpa gangguan apapun. Kemudian sang umat mensucikan pikirannya hingga lahir dan batin tidak terikat lagi dengan keduniawian. Setiap hari dengan penuh semangat melaksanakan Dharma menurut jadwal yang telah ditentukan hingga ibadahnya selesai! ”

“Ketahuilah, saat Buddha masih hidup, muridnya harus dengan sepenuh hati memperhatikan yang benar dan berpikiran benar terhadap Beliau, harus menganggap Buddha berada persis di depan kita walaupun Buddha berada di tempat yang jauh. Apabila Buddha sudah Parinirvana, para umat harus menyediakan rupang atau gambar-Nya untuk dipuja, untuk Vipasyana (Vipassana atau memperhatikan) dan untuk mengenang Beliau. Saat sedang memperhatikan rupang Buddha, harus dengan konsentrasi penuh dan membayangkan seakan-akan seluruh rupang Buddha bersinar keemasan. Sinar rambut yang berwarna putih diilusikan seolah-olah terpancar di tengah-tengah kening-Nya.”

“Apabila lingkungan mengijinkan, pasanglah beberapa lembar Dhvaja atau bendera beraneka warna di ruangan Mandalavata-nya agar suasananya khidmat dan megah. Taburkanlah bunga-bunga yang segar di altarnya agar suasananya indah dan semerbak. Kemudian si pemuja boleh menyebut atau mem-batin nama-nama Buddha yang berada di 10 penjuru Alam Buddha, dan dengan sikap khidmat bersujud di depan rupang-Nya. Si pemuja harus pula selalu berdoa atau bertobat di depan Buddha. Jika keadaan memungkinkan, teruskan pujanya sampai 21 hari tanpa berhenti. Sesudah genap 21 hari, satukan atau pusatkan pikiran untuk mempraktekkan ketiga macam metode yang telah diuraikan dalam Sutra ini.”

“Jika jadwal untuk melaksanakan Dharma telah dipastikan oleh si pemuja, walau liburan musim hujan Varsavasana sedang tiba, si pemuja tak boleh meninggalkan Mandalavata-nya mengikuti para Bhikshu atau umat lainnya berlibur. Anggaplah diri telah suci bersih dan sudah mengikuti para Bodhisattva mengadakan liburan yang jauh lebih penting dan Yana-nya jauh lebih tinggi. Dengan demikian, ia terbebas dari Yana Sravaka atau Pratyekabuddha. Demi dirinya cepat mencapai puncak kesadaran tertinggi, si pemuja tak usah mengajak pengikutnya atau rombongan lain hadir dalam pelaksanaan liburan musim hujan yang diselenggarakan oleh para Bhikshu. Datanglah ke depan Buddha atau rupang-Nya, dan dengan sikap khidmat dan tulus menjelaskan permasalahannya dengan kata-kata sebagai berikut :
‘Namo Buddhaya ! Bodhisattvaya-Mahasattvaya !
Saya selaku seorang Bhikshu (atau Bhikshuni,atau Upasaka, atau Upasika) bernama (sebutkan namanya) bercita-cita mempraktekkan tingkat Yana yang dipegang para Bodhisattva, melaksanakan Dharma Luhur menuju ke jalan ke-Buddha-an, dan ingin bersama-sama para Bodhisattva menenangkan diri di suatu alam yang suci murni. Sekarang saya bertekad menjadikan Maha Paripurnabuddhi sebagai vihara-ku supaya lahir maupun batin dapat seimbang dengan maha kebijaksanaan yang bersifat sama-rata, memasuki Svabhava (inti) dari Nirvana yang bebas total tanpa terikat suatu apapun. Maka dengan ini, saya memohon dan menjelaskan bahwa di hari liburan Varsavasana ini, saya tidak ikut kelompok Sravaka dan Pratyekabuddha. Saya hanya ikut para Tathagata dan para Bodhisattva-Mahasattva yang berada di 10 penjuru dunia. Menempatkan diri di sini demi melaksanakan Maha Paripurnabuddhi yang teragung yang dipegang para Bodhisattva agar cepat selesai. Maka saat ini saya menyepi di dalam Mandalavata ini, tidak mengikuti orang-orang yang berlibur. Sekian!’.”

“O, Putra yang berbudi ! Demikian disebutkan, Bodhisattva melakukan liburan Varsavasana-nya di dalam Mandalavata. Apabila jawal yang ditentukan itu sudah selesai dijalani, berarti selesai pula pujanya. Saat itulah si pemuja boleh berlibur ke mana saja tanpa halangan apapun!”

“O, Putra yang berbudi ! Bila para umat yang mengalami masa Periode Dharma Terakhir bercita-cita menuntut Jalan Bodhisattva atau tingkat Mahayana, haruslah membuat jadwai lagi meneruskan pelaksanaannya. Ketahuilah, mereka hanya boleh menggunakan metode yang diwejangkan oleh Buddha atau Sutra Buddha. Janganlah tertarik atau tergoda oleh mereka yang berpandangan keliru atau ajaran sesat, karena hal itu akan membuyarkan Dharma. Itu berarti merugikan diri sendiri! ”

“O, Putra yang berbudi ! Sekarang Aku akan mengulangi tentang ketiga macam metode yang pernah Aku kotbahkan. Dengarlah, bila si pemuja ingin mempraktekkan Samatha atau ketenangan batin, pertama-tama harus memulainya dari Tenang, yaitu menciptakan suasana yang sangat tenang dan menempatkan dirinya di suatu tempat atau lingkungan yang sunyi. Pandangan kosong tanpa terikat apapun. Hati tetap tenang sehingga tidak timbul kesan di dalam pikiran. Dengan cara demikian, kesadaran akan tercapai dan kebijaksanaan luhur juga akan dimiliki. Dalam suasana ketenangan yang menimbulkan kesadaran, kebijaksanaannya akan makin terwujud dari hari ke hari. Mula-mula hanya merasa dirinya sangat tenang, lama-kelamaan merasa seluruh dunia pun menjadi tenang. Itu berarti dirinya telah memiliki Paripurnabuddhi, seluruh dunia juga menjadi Paripurnabuddhi.”

“O, Putra yang berbudi ! Apabila Paripurnabuddhi itu telah memenuhi seluruh dunia, saat itu pula di pelosok mana pun akan menaruh perhatian dan perasaan padanya. Si pemuja pun pasti dapat menangkapnya. Peristiwa ini bukan saja dari satu dunia tetapi ratusan ribu dunia pun dapat mengerti keadaannya ! Namun apa yang disaksikan itu sama-sekali tidak sesuai dengan yang dibuktikan oleh si pemuja. Baik itu peristiwa yang indah atau pun yang buruk adalah khayalan Mara yang berasal dari pandangan keliru atau ajaran sesat. Karena itu hati-hatilah, jangan sampai tertarik olehnya!”

“O, Putra yang berbudi ! Jika para umat hanya memilih metode Samapatti atau kepandaian dalam meditasi, maka yang pertama-tama harus mereka lakukan ialah dengan pikiran hening mengingat para Tathagata dan para Bodhisattva yang berada di 10 penjuru dunia. Membayangkan betapa mereka dengan tekadnya yang bulat dan dengan semangat yang tak terhingga menyandarkan bermacam-macam metode yang sesuai dengan kemampuannya. Kenanglah pula perjuangannya yang selangkah demi selangkah mempraktekkan samadhi-nya hingga berhasil. Selain itu, renungkan pula keberaniannya berikrar setia yang maha luhur untuk memupuk bibit budinya menjadi sang maha welas-asih terhadap segala makhluk di berbagai alam semesta. Dengan mengenang perjuangan Buddha dan para Bodhisattva, niscaya metode Samapattiini dapat dijalani dengan berhasil ! Namun, harus pula waspada bahwa apa yang disaksikan sama-sekali tidak sesuai dengan yang dibuktikan oleh si pemuja, sebab semua itu bukan dari Dharma yang diajarkan oleh Hyang Buddha. Oleh karena itu harus dijauhi agar tidak merugikan diri sendiri! ”

“O,Putra yang berbudi ! Jika para umat hendak menggunakan metode Dhyana atau yang disebut Samadhi Intensif, maka mereka boleh memakai cara yang mudah, yakni menghitung pernafasan. Caranya begini : Setelah si pemuja memusatkan pikiran, duduklah dengan posisi sila (duduk bersila). Kemudian bernafas perlahan-lahan, lalu menghitung nafasnya mulai dari satu, dua hingga sepuluh, kemudian ratusan atau ribuan kali. Setelah latihannya melewati beberapa waktu atau jadwal tertentu, si pemuja bisa merasakan setiap pernafasan mengandung 4 macam proses, yakni tumbuh, berkembang, berubah, dan musnah. Apabila latihannya sudah mencapai tingkat trampil, maka walaupun si pemuja sedang duduk atau sedang berjalan, sedang berdiam diri atau pun sedang berbaring, ketrampilannya tak akan hilang. Bahkan, bila ada setetes air hujan jatuh di alam manapun, si pemuja dapat menyaksikan tetes air hujan itu dengan mata sendiri secara jelas ! Akan tetapi, si pemuja harus teliti menyimak setiap ajaran yang dikhotbahkan Hyang Buddha, sebab jika salah menafsirkannya, akan sulit baginya untuk melaksanakan Dharma-nya hingga berhasil.” “Ketiga macam metode yang Kujelaskan tadi sangat sederhana tapi sangat bermanfaat. Bila para umat dengan tekad yang bulat mempraktekkannya sekaligus tanpa henti, ketahuilah, keadaan mereka akan seperti seorang Tathagata yang muncul di dunia. Sudah pasti mereka dapat mencapai Paripurnabuddhi yang suci dan agung!”

“Apabila ada umat yang sedang berada di masa Periode Dharma Terakhir ingin menuntut Yana yang tertinggi, namun karena akar bijaknya terlalu tipis sehingga walaupun sudah berjuang sekian lama melaksanakan Dharma-nya, masih belum memperoleh hasil yang memuaskan. Ketahuilah, keadaan ini disebabkan pelajarannya terhambat oleh karma-karma yang pernah dibuatnya pada masa yang lampau. Karena itu si pemuja harus selalu bertobat di depan rupang Buddha, agar dosa-dosanya dapat diringankan atau dihapuskan. Selain itu, mereka harus berkeyakinan penuh terhadap Dharma-nya, dan yang lebih penting lagi, mereka harus dengan tegar hati menyingkirkan tabiat atau emosi seperti kebencian, iri-hati, melecehkan, kemarahan, dan kecurangan agar dirinya berakhlak dan berbudi luhur. Setelah itu mereka boleh memilih salah satu dari ketiga macam metode untuk dipraktekkan. Jika merasa metode yang dipilih itu tidak memberi hasil yang memuaskan, pilih lagi yang lain! Pokoknya jangan meninggalkan Dharma-nya. Boleh juga dengan cara selangkah demi selangkah menuntaskan pelajarannya. Dengan cara demikian, akhirnya mereka dapat membuktikan dirinya mencapai kebijaksanaan Paripurnabuddhi yang suci dan agung!”

Kemudian Hyang Tathagata mengulangi makna yang dikhotbahkannya tadi dengan mengucapkan beberapa bait Gatha sebagai berikut:
“O, Bodhisattva Paripurnabodhi, anda harus mengerti!
Para umat yang berada di dunia ini,
Bila ingin mencapai Paripurnabuddhi,
Sebaiknya dengan jadwal yang teratur melatih bijak diri.
Penting sekali bertobat di depan Buddha,
Selama duapuluh satu hari tanpa henti.
Kemudian memusatkan pikiran dengan melakukan meditasi.
Ajaran apa saja yang bukan dari Hyang Buddha,
Janganlah anda turut !
Ada pun metode Samatha khusus untuk menenangkan batin,
Samapatti untuk memperhatikan sifat segala sesuatu dalam samadhi,
Dhyana untuk menghitung pernafasan diri.
Inilah tiga metode penting yang bisa anda pilih!
Bila anda mampu melaksanakan ketiga metode itu,
Niscaya identitas akan setingkat Buddha, dan mencapai Samyaksambodhi !
Jika akar bijak ternyata rendah, cita-cita sulit terwujud,
Tobatlah dulu dengan tulus ikhlas!
Karma yang lampau sering menghambat Dharma,
Bila hambatan telah terlampaui,
Alam terang dari Paripurnabuddhi akan tampil di depan anda.

Kemudian, Bodhisattva Bhadrasiras juga ikut bangkit dari tempat duduknya. Dengan sikap khidmat ia bersujud di depan kaki Hyang Buddha, dan mengelilingi-Nya sebanyak 3 kali. Lalu berlutut lagi dan dengan sikap anjali ia memohon kepada HyangTathagata :

“O, Tathagata yang Maha Karunika ! Tathagata telah mengkhotbahkan demikian banyak Dharma penting yang semuanya bermakna sangat dalam nan luhur. Sungguh sangat berbahagia karena dengan itu kami dan para umat yang berada di masa yang akan datang mendapatkan suatu jalan agung menuju ke Paripurnabuddhi atau kesadaran yang sempurna. O, Tathagata! Apa nama Sutra Buddha yang dapat membawa para umat ketingkat Mahayana ini ? Bagaimana mempertahankan ajaran Buddha ini agar tetap lestari ? Kebajikan apa yang akan diperoleh para umat yang bertekad menuntut Sutra ini ? Sebagai Bodhisattva, bagaimana kami melindungi para umat yang setia memelihara Sutra ini ? Dan, Sutra ini harus disebarkan ke negeri mana saja ? Sudilah kiranya Hyang Tathagata memberikan petunjuk kepada kami semua!”

Setelah menyampaikan permohonannya kepada Hyang Tathagata, lalu Bodhisattva Bhadrasiras dengan sikap sangat khidmat namaskara di depan Hyang Buddha. Hal itu dilakukannya 3 kali.

Hyang Tathagata bersabda kepada Bodhisattva Bhadrasiras

“Sadhu ! Sadhu ! Sadhu ! O, Putra yang berbudi ! Kamu sungguh bijak, suka membantu hadirin dan para umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir. Dengan hati jujur anda menanyakan nama Sutra ini, dan harus bagaimana melestarikannya. Baiklah, sekarang dengar baik-baik, Aku akan menjelaskannya kepadakamu sekalian! ”

Saat Bodhisattva Bhadrasiras mendengar permohonannya dikabulkan Hyang Tathagata, hatinya sangat gembira. Lalu beliau bersama-sama dengan pengikutnya menantikan khotbah Hyang Buddha. Hyang Buddha bersabda:

“O, Putra yang berbudi ! Ketahuilah, sumber dan asal Sutra ini memang dari masa yang lampau. Ia adalah suatu warisan dari para Tathagata. Inti sarinya pernah dikhotbahkan oleh ratusan ribu Buddha di masa lampau. Warisan Sutra ini akan selalu dilindungi dan dilestarikan oleh para Buddha yang berada di 3 masa (masa lampau, sekarang, dan yang akan datang). Isinya dijadikan pedoman untuk melaksanakan Dharma Luhur oleh para Bodhisattva yang berada di 10 penjuru dunia. Ketahuilah, apabila makna Sutra ini sudah dipahami, maka Sutra-Sutra lain yang berada di dalam Tripitaka yang jumlahnya meliputi 12 bagian pun dapat dipahami dengan mudah. Maka, Sutra ini dinamakan Mahavaipulya Paripurnabuddhi Dharani, juga dinamakan Nitartha Sutra, atau Guhyaraja Samaani atau Tathagataniyata Visaya atau juga disebut Tathagatagarbha Svabhava Vikalpa. Oleh karenanya kamu harus menjaga dan memelihara Sutra yang penting ini dengan penuh perhatian. ”

“O, Putra yang berbudi ! Ketahuilah, Sutra Paripurnabuddhi ini intinya hanya menampilkan alam yang dibuktikan oleh para Tathagata, yang demikian indah dan serba guna. Demikian pula, Sutra yang maha penting ini hanya mampu dijelaskan maknanya oleh Hyang Tathagata secara jelas dan luas ! Apabila para Bodhisattva dan para umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir bertekad bulat menuruti maknanya dan secara bertahap merampungkan seluruh pelajarannya, pastilah akan mendapat kesempatan menjelajahi Alam Buddha yang sangat mulia dan agung!”

“O, Putra yang berbudi ! Sutra ini juga termasuk ajaran Buddha yang menuju ke tingkat Mahayana, khusus untuk para umat yang ingin mencapai kesadaran diri secara kilat atau memperoleh kesadarannya secara mendadak. Banyak Bodhisattva yang memiliki akar bijak yang tinggi setelah menuntut Sutra ini, sangat cepai mencapai jati-diri Paripurnabuddhi. Bagi para umat yang akar bijaknya kurang atau rendah, yang penting harus rajin melaksanakan Sutra ini, lama kelamaan juga dapat mencapai jati-diri Paripurnabuddhi yang sempurna ! Hal itu bisa diumpamakan sebuah lautan luas yang tak pernah menolak sungai kecil mengalirkan airnya ke dalam lautan tersebut. Demikian pula, bila serangga seperti nyamuk, lalat, dan sebagainya, atau para makhluk bertubuh besar seperti Asura dan lainnya yang merasa haus, laut itupun akan membiarkan airnya diminum sampai sepuas-puasnya! ”

“O, Putra yang berbudi ! Jika ada umat yang ingin membantu orang lain dengan menyumbangkan 7 macam permata (emas, perak, lazuardi, indung mutiara, kristal, mutiara merah, dan akik) yang jumlahnya mencapai 3 ribu maha ribu alam sekalipun, namun kebajikan yang demikian besar masih jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan kebajikan seorang umat yang bercita-cita memiliki makna dari Sutra ini, biarpun hanya beberapa makna yang penting saja.”

“O, Putra yang berbudi ! Jika ada orang yang mengajarkan Dharma kepada umat yang banyaknya tak terhingga bagaikan butiran pasir di sungai Gangga, dan membantu umat membebaskan Klesa-nya hingga mencapai pahala Arahat, namun semua jasanya itu masih kurang sempurna bila dibandingkan dengan jasa seorang guru yang mewejangkan Sutra ini kepada para umat yang cinta Dharma Luhur, walaupun hanya beberapa bait Gatha yang penting saja!”

“O, Putra yang berbudi ! Ketahuilah, barang siapa yang setelah mendengar nama Sutra ini, lalu dalam hati nuraninya timbul perasaan haru, kemudian percaya penuh pada maknanya tanpa ragu sedikitpun, maka umat ini bukan hanya telah menanam kebajikan dan kebijakan pada satu atau dua masa Buddha, melainkan mereka sudah pernah menanam kebajikan dan kebijakan pada ratusan ribu masa di Alam Buddha. Oleh karena itulah maka mereka mendapat kesempatan mendengarkan Sutra ini pada masa kini. O, Putra yang berbudi ! Kamu berkewajiban melindungi para umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir yang masih bertekad melaksanakan Dharma-nya. Bantulah mereka hingga mencapai tujuannya, tidak diganggu oleh para Mara yang bermaksud jahat atau dipengaruhi oleh para guru yang memeluk ajaran sesat yang dapat menyusahkan lahir-batinnya hingga Bodhicitta-nya merosot.”

Ketika khotbah Hyang Tathagata baru sampai di sini, ke 80 ribu Dewata Vajra yang dipimpin oleh Sang Ucchusmavajra, Sang Vidhvamsanavajra, dan Sang Nilavajra, dengan pengikutnya yang hadir dalam pasamuan itu, bangkit dari tempat duduknya masing-masing. Lalu semuanya dengan sikap sangat khidmat memberi hormat kepada Hyang Buddha, kemudian rombongan itu mengelilingi Buddha dari kanan ke kiri sebanyak 3 kali sambil berkata secara serentak:

“O, Tathagata yang terhormat ! Apabila para umat yang akan mengalami masa Periode Dharma Terakhir itu masih bercita-cita melaksanakan ajaran-ajaran Buddha hingga mencapai Yana tertinggi, maka kami akan memberi perlindungan kepada mereka seperti kami menjaga mata kami sendiri. Biarpun tempat mereka melaksanakan Dharma jauhnya tak terhingga, kami akan memimpin rombongan datang ke tempat mereka dan melindungi mereka. Siang atau malam, kami tetap menunggui mereka dengan setia agar Bodhicitta mereka tidak merosot! Ada pun rumah kediaman dan seluruh anggota keluarganya akan kami lindungi pula agar tidak menderita kecelakaan, kesehatannya terjamin, harta dan keperluan sehari-hari pun selalu dalam kelebihan. Demikianlah janji kami, Hyang Tathagata!”

Selanjutnya, Raja dari Maha Brahma, Raja-raja Dewata yang datang dari 28 kawasan Sorga, Raja dari Gunung Semeru, dan raja-raja dari Catur Maharaja Kayika dengan pengikutnya masing-masing juga bangkit dari tempat duduknya. Memberi hormat kepada Hyang Buddha dan dengan sikap khidmat mengelilingi tempat Buddha sebanyak 3 kali, kemudian bersujud sambil berkata:

“O ,Tathagata yang terhormat ! Kami selaku Raja beserta pengikut sekalian dengan senang hati juga ingin ikut memberi berkah kepada para umat yang bercita-cita mengamalkan Sutra yang dikhotbahkan Hyang Buddha ini, agar mereka selalu merasa berada dalam ketenangan dan aman tenteram. Dengan demikian, tentu mereka dapat menyelesaikan Dharma-nya dengan lebih cepat. Sekian, janji dari kami. ”

Kemudian, Raja Setan yang mempunyai tenaga paling kuat yang bernama Dewa Kubhanda bersama 100 ribu Raja Setan lainnya juga bangkit dari tempat duduk. Semuanya dengan sikap khidmat memberi hormat kepada Hyang Buddha, lalu mengelilingi Hyang Buddha sebanyak 3 kali. Kemudian dengan serentak berkata:

“O,Tathagata yang terhormat ! Kami semua juga bertekad memberi perlindungan kepada para si pemuja agar mereka selalu selamat Siang atau pun malam kami tetap berada di tempat peribadahannya. Kami juga akan datang ke rumah kediamannya untuk mengawasi dan menjaga seluruh penghuninya. Seandainya ada setan jahat yang berani mengganggu mereka dalam radius satu Yojana (sekitar 15 Km), pasti akan kami tangkap dan kami hukum, bahkan akan kami pukul hingga menjadi debu ! Sekian, janji dari kami.”

Demikianlah, Hyang Tathagata mengakhiri isi Sutra-Nya. Sementara itu para Bodhisattva, para Dewa, Naga, Malaikat, Raja-raja Setan, dan kedelapan kelompok makhluk, Raja-raja Dewa dari 28 kawasan Sorga, Raja-raja dari Catur Maharaja Kayika, Raja-raja dari Sorga Maha Brahma serta hadirin lainnya, setelah mendengar khotbah Hyang Buddha, semuanya dengan hati sangat gembira meyakini Sutra Nya. Kemudian mereka memberi hormat dengan sikap khidmat, lalu pergi.