Hati dan Hakikat Buddha

Oleh: YM Bhiksu Tadisa Paramita Mahasthavira

Banyak kalangan umat Buddha masih melaksanakan corak kebaktian semu tanpa mengerti makna dan tujuannya. Begitupula saat mengadakan berbagai upacara ritual dan pemujaan untuk memohon keluar agar segala sesuatu yang diinginkan tercapai tanpa mau melakukan pembenahan diri ke dalam. Sebagian besar dari mereka masih belum menyadari keberadaan dan potensi unggul dirinya sendiri, sehingga mengabaikan kualitas pikiran manunggal mutlak yang sudah dimilikinya. Kecenderungan mereka hanya mengenal kebenaran relatif datang dan pergi segala sesuatu yang di luar saja, belum memahami realitas transenden (kebenaran absolut) Dharma tiada timbul dan lenyap.

Walaupun mereka mengaku sebagai umat Buddha dan mempraktikkan hukum sebab akibat, yaitu: berusaha tidak berbuat jahat melainkan senang berbuat baik, mereka masih lugu dan pasrah penuh harapan kepada yang dipuja saja atau mengharapkan keberuntungan dan hukum keadilan yang memihak mereka. Mereka tidak berusaha untuk meluruskan pandangan dan menumbuh kembangkan pikiran benar, pengertian dan praktik benar yang bermanfaat. Mereka belum memahami potensi hati dan jati dirinya sendiri, lantas bagaimana bisa mereka mempraktikkan Dharma secara baik dan benar? Bagaimanapula ia bisa melepaskan khayal diri, menggali potensi diri untuk bersemangat melaksanakan pelepasan untuk menapak jalan Kebuddhaan? Coba perhatikan, umat awam sering melakukan segala kebajikan tapi masih diliputi pikiran khayal dan pamrih “Dari Aku-Untuk Aku-Berharap Menjadi Milikku” sehingga dimensi hati selalu bergejolak pasang surut sehingga tergantung dan digantung oleh kondisi apa yang diterima dan apa yang sudah diberikannya. Jikalau setiap doanya manjur dan mendapatkan keberuntungan, atau adanya pelayanan istimewa maka ia semangat berbuat baik. Akan tetapi, bila sudah berbuat baik tapi rejekinya masih saja seret, juga segala doa dan harapannya masih belum terkabul atau tidak mendapatkan pelayanan baik, maka ia segan dan mundur lagi, menjadi malas melatih diri dan berbuat bajik. Bila kemunduran ini tidak disadari dan di antisipasi maka dikhawatirkan mereka bisa pasif atau pindah agama.

Umumnya umat awam tidak memahami realita, bahwa: Triloka (Karma-dhatu, Rupa-dhatu dan Arupa-dhatu) tidaklah aman untuk dihuni; Bumi dan Negara sangatlah rapuh dan berbahaya untuk dijadikan tempat tinggal permanen; Catur Mahabhuta (jasmani yang terdiri dari 4 unsur: padat, cair, panas dan udara) adalah gabungan palsu, mudah terurai dan tidak berlangsung lama; Panca Skandha (hati atau disebut lima agregat) realitanya sunya (kekosongan) tidak diperoleh. Apabila umat awam belum menyadari realita ini maka pikiran mereka terus diliputi khayalan “Aku dan Milikku” sehingga berperilaku bodoh, egois dan penuh keserakahan. Mereka terus terseret dan terombang-ambing oleh fenomena delapan penjuru angin, yakni: sukses-gagal; untung-rugi; celaan-pujian; bahagia-derita. Akibatnya batin dan kehidupan mereka menjadi nelangsa dan nestapa sepanjang hayatnya.

Perlu dipahami, bahwa Buddhadharma yang terangkum dalam Maha Tripitaka 12 bagian, sungguh luas dan dalamnya bagaikan samudra yang tidak terbatas. Semua ajaran bila diperhatikan dan di akomodasikan dengan seksama, kiranya hanya terdiri empat kelompok ajaran utama, yaitu:

  1. Hati;
  2. Hakikat Buddha;
  3. Sebab;
  4. Akibat.

Di dalam Sutra Fa-hua (lotus) disabdakan. “Para Buddha hanya ada satu sebab besar muncul di dunia ini, yaitu: membuka, menjelaskan, membimbing pencerahan dan memasuki tingkatan kesucian, yang mana setiap makhluk pada dasarnya sudah memiliki hakikat inti berupa kearifan dan kesadaran agung.” Hanya saja para makhluk masih diliputi khayalan, kemelekatan dan terjerat nafsu sehingga tidak menyadari dan lesu menggunakan potensi unggul yang sudah dimilikinya. Di dalam Sutra Avatamsaka, disabdakan: ‘Bila tidak memahami hati bagaimana mengetahui cara praktik benar?’ Di dalam Sutra Shurangama disabdakan: ‘Secara natural dapat diketahui setiap makhluk hakikatnya memiliki hati gaib, selamanya tidak lenyap.’ Di dalam Sutra Maha Vairocana juga disabdakan: ‘Apa yang disebut dengan Kebodhian? Hanyalah realita mengetahui potensi hatinya sendiri.’ Tujuan dari ribuan sutra dan penjelasan Abhidharma yang dibabarkan hanyalah menunjukkan hakikat sejati dari semua makhluk. Oleh sebab itu, semua praktisi bila ingin ada peningkatan kualitas spiritual maka harus memahami hati dan menampakkan hakikat Kebuddhaannya sendiri. Realita ajaran langsung menuju hati dan hakikat jati diri ini adalah bagaikan sum-sumnya Buddhadharma. Di umpamakan pula bagaikan kunci utama untuk meraih pencerahan, pencapaian kesucian dan pembebasan mutlak. Seperti yang dikatakan Patriach ke-5 Zen Master Hung Ren: ‘Tidak menyadari hati, belajar Dharma tidak bermanfaat’. Begitupula Patriach ke-6 Master Zen Hui Neng juga mengatakan: “Seketika menembusi hati dan jati diri, menampakkan hakikatnya untuk mencapai keBuddhaan.” Adanya kondisi demikian maka para Master Zen hanya membabarkan Dharma untuk menampakan ‘Jati-diri’ melampaui fenomena dualitas duniawi untuk melenyapkan kesesatan.

Mencari hati pada dasarnya tidak diperoleh, seperti di dalam Sutra Intan disabdakan: “Hati masa lalu tidak diperoleh, hati sekarang tidak diperoleh, hati yang akan datang tidak diperoleh”. Bila seseorang mau menentramkan hatinya, menyadari bahwa mencari hati tidak diperoleh, itulah realita menentramkan hatinya sendiri. Hati adalah karakteristik jati diri diliputi kondisi bayangan ilusi; Hati dan karakteristik jati diri bukan satu bukan pula mendua, seperti wujud dan bayangan. Karakteristik jati diri walaupun sunya dan sunyi tapi tidak bisa disebut lenyap total. Hati walaupun bergejolak khayal intinya tidak terlepas dari karakterisktik jati diri. Hati yang belum tergerak, senantiada menyinari tanpa ada yang menyadari dan disadari, itulah hati benar. Bila hati tergerak mengikuti kondisi dan berkelana, sehingga terjebak dan diskriminasi, itulah disebut hati khayal. Gejolak hati dalam kebenaran realitanya tidak ada, sedang karakteristik jati dirinya mutlak ada, walaupun ada tapi bukan kekal bukan pula tidak kekal.

Sebutan hati untuk kalangan orang awam jelas-jelas ada, tapi bagi orang yang memiliki pencerahan hanyalah bayang-bayang tidak realita. Bagaimanakah membedakan orang awam, orang mulia dan orang suci? “Gunakan hati tanpa disadari melekat kepada kondisi hati disebut perilaku orang awam; Gunakan hati belajar menyadari untuk tidak terjebak nuansa hati itulah praktik orang mulia. Gunakan hati dengan penceraharan tiada hati itulah kedamaian orang suci”.

Pada dasarnya semua makhluk memiliki jiwa Buddha. Buddha, hati dan semua makhluk pada intinya tidaklah berbeda. Hanya saja potensi Kebuddhaan yang dimiliki semua makhluk digunakan secara berbeda sehingga membentuk kondisi yang berbeda pula. Untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai hakikat Buddha, ada tiga kategori untuk dipahami:

Sebab memiliki kebenaran hakikat Buddha (正因 佛性): Setiap makhluk sudah lengkap memiliki karakteristik ajaib, para Buddha mencapai pencerahan mengetahui adanya natural Dharmakaya. Saat jadi makhluk awam tidak berkurang; Saat jadi suciwan tidak bertambah, walaupun mengalami siklus lahir mati dalam lingkaran tumimbal lahir, tidaklah ternoda, menetap di nirvana pun tidak murni. Para makhluk masih bodoh, khayal membelakanginya. Para Buddha menyadari dan telah mencapai pencerahan sempurna. Khayal dan cerah walaupun berbeda tapi hakikat Buddhanya tetap sama.

Memahami sebab hakikat Buddha (了因佛性). Karena menyadari adanya sebab kebenaran hakikat Buddha sehingga dapat mengembangkan kearifan benar, atau pengetahuan benar. Bisa juga karena didikan dan penjelasan sutra sehingga mengetahui sebab kebenaran hakikat Buddha. Dilanjutkan praktik sehingga cerah. Mengetahui ulah satu pikiran gelap tidak terang, sehingga merintangi dan menutup sumber hati. Tidak mengetahui enam fenomena sensasi seketika asalnya sunya, malah menganggap benar-benar ada, akibat lebih lanjut munculnya sifat-sifat keserakahan, kebencian dan kebodohan, melakukan pembunuhan, pencurian dan penzinaan. Karena sebab kebodohannya sendiri sehingga menciptakan karma buruk. Sebab perilaku karma buruk akibatnya menerima berbagai penderitaan. Disebabkan pikiran jungkir-balik memutar balikan sebab kebenaran hakikat Buddha, sehingga memulai kebodohan, menciptakan karma buruk dan menerima penderitaan. Setelah sekian lama tentu mereka menjadi lelah dan jenuh dengan segala penderitaan, mulailah mencari kebenaran untuk melenyapkan kebodohan, mempelajari berbagai sutra maupun Abhidharma, sehingga mulai menyadari kekeliruannya dan setahap demi setahap berkembang menjadi cerah, tidak lagi tergerus oleh nafsu, merubah khayalan menjadi realita kebenaran, untuk menampakkan jati diri karakterisknya sendiri.

Pengkondisian sebab hakikat Buddha (缘因佛性): Pengertian pengkondisian adalah membantu untuk mencapai pencerahan. Semua pencapaian harus di mulai praktik pengendalian, pelepasan dan konsentrasi yang dikenal dengan sebutan Sila, Samadhi dan Parjna. Melakukan praktik benar dan melakukan segala kebajikan. Dengan tekad kuat melenyapkan khayalan, kebodohan dan karma, mengembangkan rejeki dan kearifan, untuk memahami realitas kebenaran yang dimiliki, sampai akhirnya sendiri mengalami pencerahan.

Penjelasan: Sebab memiliki kebenaran hakikat Buddha (正因佛性), tapi masih belum tergali, bagaikan emas yang terkubur di dalam pertambangan, seperti kayu jauh dari api, umpama seperti terlihat cahaya di cermin. Walaupun pada dasarnya memiliki, tetapi bila tidak mengetahui, tidak menggali, tidak membersihkan, tidak dibentuk, maka selamanya tidak ada hasil dan tidak bisa dimanfaatkan. Walaupun sudah memahami adanya sebab memiliki kebenaran hakikat Buddha, bila tidak dilatih maka tidak ada hasil yang diinginkan. Oleh karena itu, para Buddha melihat semua makhluk adalah Buddha, sehingga Beliau senatiasa berhasrat untuk membimbing dan membebaskan.

Semua makhluk karena tidak cerah melihat semua makhluk selamanya adalah berupa makhluk sulit untuk berubah sehingga tidak mau membina diri melatih Dharma kebajikan. Akibatnya kalpa yang panjang mengalami siklus kelahiran dan kematian di arus tumimbal lahir, sulit untuk bisa keluar, bebas dari siklus tumimbal lahir. Para Tathagata banyak membabarkan aneka Dharma dengan berbagai metode kemudahan yang sesuai kodrat dan kondisi semua makhluk untuk melepaskan khayalan mengembalikan kebenaran, melenyapkan kebodohan mengembangkan kesadaran agung. Sesungguhnya semua makhluk sudah memiliki segala pahala dan kearaifan layaknya yang dimiliki Tathagata hanya saja karena khayalan dan kemelekatannya sehingga tidak menampakkannya. Siapa saja apabila dapat melepaskan khayalan dan kemelekatan, maka semua kearifan, kearifan natural, kearifan tanpa guru, kearifan tanpa rintangan akan didapat kembali.

Di dalam Sutra Shurangama, disabdakan: “Karakteristik ajaib sesungguhnya terang benderang, lepaskan segala nama dan rupa, sesungguhnya tidak ada dunia makhluk, disebabkan khayalan muncul maka semua fenomena muncul, karena adanya kemunculan maka adanya kelenyapan, timbul dan lenyap di namakan khayalan. Dapat melenyapkan khayalan disebut kebenaran, bisa disebut sebagai Tathagata, Anuttara Bodhi, atau Maha Nirvana.” Untuk melihat kebanaran hakiki, maka para praktisi harus menjauhi kata-kata menyebut rupa, menjauhi wujud nama, menjauhi corak kondisi hati, maka segera memahami realitas kebenaran transenden. Tentu di dalam melaksanakan kehidupan arif di dunia, para praktisi haruslah berada di jalur jalan tengah, yaitu: melihat, tidak melihat hanya sekedar melihat. Gunakan hati, tiada hati hanya sekedar hati. Diperoleh, tiada yang diperoleh hanya sepintas diperoleh. Nyatanya hati dan hakikat Buddha tidak ternoda, dasarnya sudah sempurna, hanya lepaskan pikiran khayal, seketika layaknya seorang Buddha.